The Distribution and Abundance of Fish Larvae in Pulau Pari’s Lagoon and It Surrounding

(1)

DISTRIBUSI DAN KELIMPAHAN LARVA IKAN DI

PERAIRAN LAGUNA PULAU PARI DAN SEKITARNYA

MUHAMMAD TAUFIK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Distribusi dan Kelimpahan Larva Ikan di Perairan Laguna Pulau Pari dan sekitarnya adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Muhammad Taufik NRP: C551080151


(3)

ABSTRACT

MUHAMMAD TAUFIK. The Distribution and Abundance of Fish Larvae in Pulau Pari’s Lagoon and It Surrounding. Under direction of DEDI SOEDHARMA and MOHAMAD MUKHLIS KAMAL.

Research on Fish larvae abundance and distribution has been conducted in Pulau Pari’s lagoon waters started from June to November 2011. The 5 sampling stations are Pulau Tikus (1), Pulau Burung (2), Pulau Kongsi (3), Tubir (4) dan LIPI (5). The result found there are 22844 fish larvaes consists of 67 families and 107 genera. The top 5 families with highest composition are Aulostomidae with 13.14%, followed by Blenniidae (9.98%), Pomacentridae (9.28%), Engraulidae (6.46%) and Pinguipedidae (5.02%). While the top 5 genera are Aulostomus chinensis of Aulostomidae (13.14%), followed by Stanulus of Blenniidae (5.95%), Stolephorus of Engraulidae (5.68%), Parapercis of Pinguipedidae (5.02%) and Pomacentrus of Pomacentridae (4.58%)

The abundance range from 8 – 2764 ind/m3. Spatially, the highest abundance of fish larvae are in station 2 followed by station 4 while the lowest is in station 5. Temporally, the highest abundance of fish larvae are in July at station 1,3 and 4 while at station 2 and 5 the highest was in June. The highest abundance genus is

Aulostomus chinensis. Most of families caught are reef associated fishes. Most of the genera also caught in preflexion stadia especially in July and October. Analyzes on community indices showed that the highest diversity index’s values is on station 4 with 3.03 and the lowest is station 5 with 2.8. correlation analyzes between environmental factors showed that negative correlation between abundance and temperature; also between abundance and nitrat while positive correlation showed by abundance and pH, abundance and salinity; and between abundance and silicate.


(4)

iv

RINGKASAN

MUHAMMAD TAUFIK. Distribusi dan Kelimpahan Larva Ikan di Perairan Laguna Pulau Pari dan sekitarnya. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA sebagai ketua komisi pembimbing dan MOHAMAD MUKHLIS KAMAL sebagai anggota komisi pembimbing.

Kondisi perikanan tangkap di beberapa wilayah perairan di Indonesia saat ini telah menunjukkan adanya indikasi kondisi tangkap lebih dan menjadi penyebab utama menurunnya stok ikan di daerah-daerah perikanan artisanal hingga di bawah ambang batas tangkapan lestarinya. Hal lain yang menjadi penyebab menurunnya stok ikan adalah degradasi lingkungan dan tekanan penangkapan yang berupa aktifitas perikanan yang merusak seperti penggunaan racun, bahan peledak, jumlah alat tangkap dan armada yang tidak dibatasi dan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan sehingga menyebabkan degradasi lingkungan di tempat ikan memijah.

Pemahaman tentang biologi ikan sangatlah penting dimulai dengan pengetahuan yang baik tentang perkembangan awal daur hidup ikan, baik ekologi maupun kehidupannya. Pada perkembangan ikan dari stadia larva menjadi juvenil memiliki konsekwensi ekologis sehingga terjadi hubungan yang kritis terhadap kelulushidupan (survival) dan pertumbuhan (growth). Pentingnya aspek ini karena mempunyai keterkaitan dengan fluktuasi ikan, bahkan kelangsungan hidup dari spesies itu sendiri. Seperti diketahui pada tahap awal daur hidup ikan mempunyai mortalitas yang tinggi karena kepekaan terhadap predator, ketersediaan makanan, dan juga perubahan lingkungan yang terjadi di alam (critical period). Keberhasilan larva dan awal stadia juvenil ikan mencapai nursery area akan sangat menentukan dalam tahapan proses rekrutmen stok ikan di alam.

Penelitian tentang distribusi dan kelimpahan larva ikan telah dilakukan di Perairan Pulau Pari selama bulan Juni-November 2010 dengan tujuan untuk mengetahui sebaran spasial dan temporal larva ikan yang ada di lokasi tersebut serta untuk mengetahui waktu dan lokasi pemijahan berdasarkan fluktuasi kelimpahan dan stadia larva ikan. Penelitian dilakukan pada lima stasiun yaitu Pulau Tikus, Pulau Burung, Pulau Kongsi, Tubir dan LIPI selama enam bulan dimana sampling terhadap larva ikan dilakukan dengan menggunakan larva net sebanyak dua kali setiap bulan. Selain larva ikan juga dilakukan pengambilan sampel terhadap parameter lingkungan seperti suhu, salinitas, pH dan nutrient. Sampel larva ikan diidentifikasi hingga tingkat takson terendah.

Hasil penelitian menemukan sebanyak 22844 individu larva ikan yang tersusun atas 67 famili dan 107 genus. Lima famili dengan komposisi tertinggi adalah Aulostomidae (13.14%), Blenniidae (9.98%), Pomacentridae (9.28%), Engraulidae (6.46%) dan Pinguipedidae (5.02%). Sedangkan lima genus dengan komposisi tertinggi adalah Aulostomus chinensis (Aulostomidae), Stanulus

(Blenniidae), Stolephorus (Engraulidae), Parapercis (Pinguipedidae) dan

Pomacentrus (Pomacentridae) dengan nilai berturut-turut 13.14%, 5.95%, 5.68%, 5.02% dan 4.58%. Kisaran nilai kelimpahan adalah 8 – 2764 ind/m3. Secara spasial kelimpahan tertinggi ada di stasiun 2 diikuti oleh stasiun 4 dan terendah ada di stasiun 5. Secara temporal kelimpahan tertinggi larva ikan terjadi di bulan Juli (stasiun 1,3 dan 4) sedangkan di stasiun 2 dan 5 kelimpahan tertinggi ada di


(5)

bulan Juni. Genus dengan kelimpahan tertinggi adalah Aulostomus yang ditemukan hampir disemua stasiun. Sebagian besar jenis larva ikan yang tertangkap adalah larva ikan-ikan karang. Sebagian besar larva tertangkap pada stadia preflexion. Secara temporal stadia ini banyak terdapat pada bulan Juli dan Oktober.

Secara spasial kisaran nilai indeks keanekaragaman adalah 2.8 – 3.03 dengan nilai tertinggi ada di stasiun 4 dan terendah ada di stasiun 5. Kisaran nilai indeks keseragaman adalah 0,81 - 0,87 dan indeks dominasi kisarannya dalah 0,06 – 0,11. Berdasarkan matriks korelasi hasil analisa komponen utama menunjukkan korelasi negatif antara kelimpahan larva ikan dengan nitrat dan salinitas sedangkan korelasi positif didapat dari hubungan kelimpahan dengan suhu dan pH sedangkan terhadap silikat dan fosfat hubungan tidak ada.

Kata kunci : larva ikan, distribusi, kelimpahan


(6)

vi

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(7)

DISTRIBUSI DAN KELIMPAHAN LARVA IKAN DI

PERAIRAN LAGUNA PULAU PARI DAN SEKITARNYA

MUHAMMAD TAUFIK

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

viii


(9)

Judul Tesis : Distribusi dan Kelimpahan Larva Ikan di Perairan Laguna Pulau Pari dan Sekitarnya

Nama : Muhammad Taufik

NRP : C551080151

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA

Ketua

Dr. Ir.M. Mukhlis Kamal , M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(10)

x

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT atas segala rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Distribusi dan Kelimpahan Larva Ikan di Perairan Laguna Pulau Pari dan Sekitarnya”. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA dan Bapak Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, M.Sc masing-masing sebagai Ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini. Juga kepada Ibu Dr. Ir. Neviaty P Zamani, M.Sc sebagai Ketua Mayor Ilmu Kelautan FPIK IPB dan Ibu Dr. Reny Puspasari, M.Si sebagai penguji luar komisi. Selain itu penulis juga mengucapkan rasa terimakasihnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ali Suman, Kepala Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) -Balitbang KP.

2. Bapak Ir. Duto Nugroho, M.Si (Kepala BPPL 2008-2011). Sekarang Kepala Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan (P4KSI)-Balitbang KP.

3. Bapak Drs. Suwarso, M.Si (BPPL), Awwaluddin, M.Sc (Tokyo University of Marine Science) dan Ibu Dra.Sri Turni Hartati, MS (P4KSI) atas bantuannya selama penelitian.

4. Rekan-rekan IKL 2008 : bang Syamsul, Ajay Patty, Ayu, Achis Siregar, Mas Tri Nurcahyo, Agung, Afdal, Sayyid Afdhal.

5. Rekan-rekan di BPPL:, Pak Koderi, Pak Nurwiyanto, Wahyuningsih, Adrian Damora, Pratiwi Lestari, Yoke Hany, Mas Elvi, Septa Prihantara, Mas Roni dan Mas Murtado (Pulau Kongsi), bang Antoni Sisco dan Nurulludin.

6. Semua pihak yang telah memberikan bantuan selama penulisan tesis ini yang tidak dapat ditulis satu persatu.

Penulis berharap apa yang tertulis dalam tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu kelautan di Tanah Air Tercinta, Indonesia.

Bogor, Juli 2012


(11)

RIWAYAT HIDUP

MUHAMMAD TAUFIK dilahirkan pada Tanggal 22 September 1977 di Jakarta, anak pertama dari empat bersaudara pasangan Ridwan Thalib dan (alm) Syukriah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD Negeri Tugu VI Cimanggis pada tahun 1990 dilanjutkan ke SMP Negeri 20 (1990-1993) dan SMA Negeri 14 (1993-1996) keduanya berada di Jakarta Timur. Pada Tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang. Lulus tahun 2002 dengan gelar sarjana teknik (ST).

Pada tahun 2003 penulis diangkat sebagai calon peneliti di Balai Riset Perikanan Laut, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Kelautan pada Program Pascasarjana IPB, dan lulus dengan gelar Magister Sains pada Tahun 2012. Saat ini penulis menjadi anggota pada kegiatan kelompok penelitian perikanan demersal di Balai Penelitian Perikanan Laut.


(12)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Kondisi Umum Pulau Pari ... 4

2.2 Biologi Larva Ikan ... 6

2.2.1 Morfologi Larva Ikan ... 8

2.2.2 Identifikasi Larva Ikan ... 10

2.3 Distribusi Larva Ikan... 11

III METODE PENELITIAN ... 14

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 14

3.2 Alat dan Bahan ... 15

3.2.1 Prosedur Kerja ... 15

3.3 Analisa Data ... 16

3.3.1 Kelimpahan Larva Ikan ... 16

3.3.2 Indeks Keanekaragaman ... 16

3.3.3 Indeks Keseragaman ... 17

3.3.4 Indeks Dominasi ... 18

3.3.5 Analisa Komponen Utama (Principal Component Analysis) ... .. 18

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1 Kondisi Umum Lingkungan Perairan ... 20

4.1.1 Suhu ... 20

4.1.2 Salinitas ... 21

4.1.3 pH ... 22

4.1.4 Nutrient ... 22

4.2 Komposisi Hasil Tangkapan Larva Ikan ... 24


(13)

4.3.1 Distribusi Spasial Larva Ikan ... 27

4.3.2 Distribusi Temporal Larva Ikan ... 32

4.3.3 Distribusi Spasial dan Temporal berdasarkan Stadia ... 36

4.4 Indeks Komunitas ... 37

4.5 Hubungan antara Kondisi Lingkungan dengan Kelimpahan Larva Ikan ... 41

V SIMPULAN DAN SARAN ... 50

5.1 Simpulan ... 50

5.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Kelimpahan Famili dan genus larva ikan yang ditemukan di

semua stasiun selama penelitian (ind/m3) ... 50 2. Hasil pengukuran kualitas lingkungan selama penelitian ... 55 3. Hasil perhitungan indeks komunitas (keanekaragaman,

keseragaman dan dominasi) ... 57 4. Tabel hubungan Antara Kondisi Lingkungan dengan


(15)

DAFTAR GAMBAR

No. halaman

1. Fase Perkembangan ikan Trachurus symmetricus ... 9

2. Larva Ikan pada stadia preflexion ... 10

3. Larva Ikan pada stadia postflexion ... 10

4. Peta Lokasi Penelitian ... 14

5. Larva Net ... 15

6. Fluktuasi rata-rata suhu permukaan air di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November ... 21

7. Fluktuasi rata-rata salinitas di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November ... 21

8. Fluktuasi nilai rata-rata pH di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November ... 22

9. Fluktuasi rata-rata nilai Nitrat (NO3) di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November ... 22

10. Fluktuasi rata-rata nilai Fosfat (PO4) di semua stasiun penelitian selama bulan Juni-November ... 23

11. Fluktuasi rata-rata nilai Silikat (Si (OH)) di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November ... 23

12. Komposisi Famili larva ikan yang ditemukan di semua stasiun selama penelitian ... 24

13. Komposisi genera larva ikan yang tertangkap di semua stasiun penelitian ... 25

14. Komposisi larva ikan berdasarkan habitat hidupnya . ... 25

15. Sebaran kelimpahan larva ikan yang tertangkap di semua stasiun selama penelitian ... 27

16. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 2 (P. Burung) selama penelitian ... 27

17. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 4 (Tubir) selama penelitian ... 28

18. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 5 (LIPI) selama penelitian ... 29

19. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 1 (P. Tikus) selama penelitian ... 29


(16)

xvi

20. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 3 (P.

Kongsi) selama penelitian ... 30 21. Sebaran kelimpahan larva ikan secara temporal di semua stasiun

penelitian ... 31 22. Komposisi kelimpahan jenis larva ikan di stasiun 1 setiap bulan

selama Juni-November 2010 ... 32 23. Sebaran kelimpahan larva ikan di stasiun 2 selama bulan

Juni-November 2010 ... 33 24. Komposisi kelimpahan jenis larva ikan di stasiun 3 setiap bulan

selama Juni-November 2010 ... 33 25. Komposisi kelimpahan jenis larva ikan di stasiun 4 setiap bulan

selama Juni-November 2010 ... 34 26. Komposisi kelimpahan jenis larva ikan di stasiun 5 setiap bulan

selama Juni-November 2010 ... 35 27. Distribusi larva ikan berdasarkan perkembangan stadianya,

preflexion (A) dan postflexion (B) selama Juni-November 2010 ... 35 28. Komposisi stadia famili larva ikan karang yang diteukan di semua

lokasi penelitian ... 36 29. Sebaran spasial kelimpahan famili larva ikan karang pada stadia

preflexion yang ditemukan di semua stasiun penelitian ... 36 30. Sebaran temporal kelimpahan famili larva ikan karang pada stadia

preflexion yang ditemukan di semua stasiun penelitian ... 37 31. Sebaran nilai indeks komunitas (H’= keaneakaragaman, E =

keseragaman dan D = dominasi) di semua stasiun penelitian ... 38 32. Sebaran nilai Indeks keaneakaragaman (H’) di semua stasiun

penelitian selama bulan Juni-November 2010 ... 39 33. Sebaran nilai Indeks keseragaman (E) di semua stasiun penelitian

selama bulan Juni-November 2010 ... 39 34. Sebaran nilai Indeks dominasi (D) di semua stasiun penelitian

selama bulan Juni-November 2010 ... 40 35. Hasil analisa PCA ... 41


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kondisi perikanan tangkap di beberapa wilayah perairan di Indonesia saat ini telah menunjukkan adanya indikasi kondisi tangkap lebih (overfishing) dan terjadi adanya degradasi lingkungan. Hal ini ditengarai menjadi penyebab utama menurunnya stok ikan di daerah-daerah perikanan artisanal hingga di bawah ambang batas tangkapan lestarinya (ICLARM, 1997; Tomascik et al. 1997). Aktifitas perikanan yang merusak (Destructive and poisonous Fishing) banyak terjadi di kawasan ini (Pauly et al. 1989; White et al. 2000).

Stok sumberdaya ikan pelagis di perairan Laut Jawa telah mengalami degradasi yang cukup drastis, di mana kondisi biomass SDI pelagis pada tahun 2004 tersisa hanya sekitar 25% dari biomass pada tahun 1976 (Atmadja, 2006). Pada tahun 2008, perikanan pelagis kecil hasil tangkapan pukat cincin mencapai titik yang terendah, dimana total hasil tangkapan pukat cincin hanya sekitar 47% dari total hasil tangkapan tahun sebelumnya. Laju tangkap (Kg/trip) pada tahun 2008 hanya sekitar 96% dari laju tangkap tahun 2007 (Suwarso et al., 2008). Hal ini banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang ditimbulkan akibat aktivitas manusia, seperti tekanan penangkapan, aktivitas pencemaran yang menyebabkan kerusakan kerusakan lingkungan tempat habitat ikan memijah, banyaknya jumlah alat tangkap dan armada yang beroperasi.

Struktur manajemen dan penyelenggaraan yang lemah tentang pembatasan penangkapan, dan praktek perikanan yang merusak juga menjadi penyebab lain dari penurunan stok ikan. Kerusakan ekosistem laut juga menjadi kegelisahan dari sebagian nelayan, khususnya yang ada di Teluk Jakarta. Nelayan yang sehari-hari menggantungkan kehidupannya di laut, mengeluhkan berkurangnya tangkapan. Perairan pantai yang terdiri dari daerah pasang surut, estuari, mangrove, padang lamun, terumbu karang, maupun pantai berpasir merupakan daerah asuhan bagi berbagai jenis ikan. Selain itu pantai utara Jawa juga sudah tercemar sehingga satwa-satwa laut seperti kerang, kepiting dan sebagainya juga terancam kepunahan dan perkembang biakannya pun tidak baik seperti dahulu. Pengelolaan sumber daya ikan yang tepat dengan memperhatikan daerah pemijahan dan


(18)

2

asuhan serta musim pemijahan ikan dapat memberikan perlindungan yang dibutuhkan agar rekruitmen tetap berlangsung dengan baik.

Ikan dalam mengawali daur hidupnya melalui tiga tahap yaitu telur, larva dan juwana. Tahap transisi terjadi antara telur dan larva (yolk sac) serta antara larva dan juwana (transformasi larva). Pada tahap larva juga dibagi menjadi tiga sub divisi yaitu: preflexion larva, flexion larva dan postflexion larva (Hoar dan Randall, 1987). Selanjutnya Amarullah (2008) mengemukakan bahwa perkembangan ikan dari stadia larva menjadi juvenil memiliki konsekwensi ekologis sehingga terjadi hubungan yang kritis terhadap kelulushidupan (survival) dan pertumbuhan (growth). Konsekwensi ekologis terpenting yang berpengaruh diantaranya adalah yang berkaitan dengan makanan dan pemangsaan (food and feeding), deteksi predator dan kemampuan menghindar (predator detection and escape) serta peralihan habitat (habitat shift) yang pada gilirannya sangat berpengaruh terhadap rekrutmen stok ikan di suatu perairan. Keberhasilan larva dan awal stadia juvenil ikan mencapai nursery area akan sangat menentukan dalam tahapan proses rekrutmen stok ikan di alam. Faktor hidrografi di perairan pantai atau habitat nursery yang berpengaruh sebagai stimuli tingkah laku imigrasi larva diantaranya adalah aliran pasang surut (tidal flux) termasuk di dalamnya kecepatan arus, salinitas (terutama perairan estuari), kekeruhan, komposisi substrat dan juga pengaruh siklus bulan.

Pulau Pari merupakan pulau terbesar di gugusan laguna dengan luas 41.32 ha dan dihuni secara permanen oleh penduduk. Aktifitas masyarakat di pulau ini dapat memberikan pengaruh langsung terhadap kondisi perairan laguna. Perairan sekitar Pulau Pari digunakan sebagai lahan budi daya rumput laut, lahan konservasi mangrove, Daerah Perlindungan Laut (DPL) serta penangkapan ikan (fishing ground). Limbah rumah tangga dan aktivitas pengolah rumput laut berpengaruh terhadap kualitas perairan terutama kandungan bahan organik dan konsentrasi nutrien perairan. Selain pengaruh dari dalam laguna, perairan laguna juga mendapat pengaruh dari perairan sekitarnya. Laguna Pulau Pari terletak paling selatan dari gugusan pulau seribu dan berjarak hanya 40 km dari kota Jakarta, sehingga perairan laguna juga mendapatkan pengaruh dari perairan Teluk Jakarta yang tingkat pencemarannya sudah tinggi.


(19)

3

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah

Saat ini penelitian tentang sumberdaya ikan selalu ditekankan pada catch and effort management dimana informasi mengenai potensi dan produksi hasil perikanan serta jumlah armada yang memanfaatkannya menjadi topik utama sedangkan informasi biologi seperti distribusi frekuensi panjang, tingkat kematangan gonad, preferensi makanan dan pola rekruitmen masih sedikit diamati. Pemahaman tentang biologi ikan sangatlah penting dimulai dengan pengetahuan yang baik tentang perkembangan awal daur hidup ikan, baik ekologi maupun kehidupannya. Pentingnya aspek ini karena mempunyai keterkaitan dengan fluktuasi ikan, bahkan kelangsungan hidup dari spesies itu sendiri. Seperti diketahui pada tahap awal daur hidup ikan mempunyai mortalitas yang tinggi karena kepekaan terhadap predator, ketersediaan makanan, dan juga perubahan lingkungan yang terjadi di alam (critical period). Gugus Pulau Pari sebagai bagian dari Taman Nasional Kepulauan Seribu yang di dalamnya juga terdapat DPL (Daerah Perlindungan Laut) diharapkan dapat bereperan penting sebagai sumber penyedia stok ikan.

1.3 Tujuan Penelitian

- Mengetahui jenis-jenis, kelimpahan dan distribusi spasial-temporal larva ikan (iktioplankton) yang ada di perairan laguna Pulau Pari.

- Mengkaji pengaruh parameter lingkungan baik fisika dan kimia terhadap populasi larva ikan di perairan laguna Pulau Pari.

- Memberikan informasi mengenai waktu dan lokasi pemijahan berdasarkan fluktuasi kelimpahan larva ikan.

1.4 Manfaat Penelitian

- Mengiventarisasi jenis-jenis larva ikan yang ada di Perairan Laguna Pulau Pari

- Mengetahui pola distribusi larva ikan secara spasial dan temporal di Perairan Laguna Pulau Pari

- Sebagai dasar pengelolaan sumberdaya ikan berdasarkan keberhasilan proses rekrutmen dari suatu daerah asuhan tempat perkembangan larva ikan untuk rekruitmen stok yang berkesinambungan.


(20)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Pulau Pari

Ekosistem Teluk Jakarta yang disebut juga Greater Jakarta Bay Ecosystem terletak pada posisi antara garis 106o 20' - 107o 03' bujur timur dan pada garis 5o 10' - 6o

Laguna Pulau Pari yang terdapat di gugusan Kepulauan Seribu berfungsi sebagai daerah asuhan bagi banyak larva ikan. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan Kaswadji (1997), yang menemukan larva-larva ikan dari enam famili, yaitu Ambassidae, Apogonidae, Teraponidae, Hemirhamphidae, Gobiidae dan Serranidae. Pulau Pari sendiri saat ini termasuk salah satu dari 7 lokasi DPL-BM (Daerah perlindungan Laut Berbasis Masyarakat) yang berlokasi di Kepulauan Seribu sedangkan 6 lokasi lainnya adalah Pulau Tidung, Pulau Harapan, Pulau Panggang (Gosong Pramuka) dan Pulau Kelapa, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Kawasan Gosong Pramuka dan Kel. Pulau Panggang. DPL Pulau Pari mempunyai luas 12 ha dari total 122,1 ha wilayah DPL yang ada di Kepulauan Seribu (Amri dan Agus, 2011).

10' lintang selatan. Teluk Jakarta terikat oleh bagian Barat Tanjung Pasir dan bagian timur Tanjung Karawang adalah sebagian besar dipengaruhi oleh aktivitas berbasis lahan. Williams et. al (2000) dalam Arifin (2004) menyatakan bahwa ekosistem Teluk Jakarta terdiri dari dua ekosistem pantai (coastal ecosystems), yaitu Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu.

Sebagai ekosistem semi tertutup laguna pulau pari mendapatkan pengaruh dari pulau-pulau yang ada di dalam laguna (Pulau Pari, Pulau Kongsi, Pulau Burung, Pulau Tikus dan Pulau Tengah) dan juga dari perairan di sekitarnya. Terumbu karang mengelilingi semua gugus pulau-pulau tersebut dengan membentuk bagian-bagian terumbu yang cukup komplit, seperti rataan terumbu (reef flat), goba (lagoon) dan terumbu yang mengelilingi goba (atol) sehingga menyerupai pulau atol yang dikenal juga dengan atol semu atau (pseudo atol) (Abrar, 2011).

Perairan Laguna Pulau Pari dihubungkan dengan laut lepas melalui 6 kaloran (inlet) yang beragam lebar dan kedalamannya (Kaswadji, 1997). Aktifitas


(21)

masyarakat yang tinggal di Pulau Pari dan sekitarnya dapat memberikan pengaruh langsung terhadap kondisi perairan laguna. Limbah rumah tangga dan aktivitas pengolah rumput laut berpengaruh terhadap kualitas perairan terutama kandungan bahan organik dan konsentrasi nutrien perairan. Selain pengaruh dari dalam laguna, perairan laguna juga mendapat pengaruh dari perairan sekitarnya. Laguna Pulau Pari terletak paling selatan dari gugusan pulau seribu dan berjarak hanya 40 km dari kota Jakarta, sehingga perairan laguna juga mendapatkan pengaruh dari perairan Teluk Jakarta yang tingkat pencemarannya sudah tinggi. Pengaruh pencemaran dari Teluk Jakarta telah dirasakan oleh para petani rumput laut, yang menyatakan adanya penurunan hasil budidaya rumput laut yang dikarenakan oleh seringnya terkena serangan penyakit sebagai akibat semakin menurunnya kualitas air dalam laguna.

Contoh adanya pengaruh lingkungan adalah terjadinya fluktuasi kondisi nutrien dan konsentrasi klorofil yang tidak beraturan, seperti yang dilaporkan oleh Kaswadji (1997). Lebih lanjut lagi Kaswadji (1997) juga melaporkan bahwa nilai nitrat berfluktuasi antara 0,001 – 0,326 (mg N/l), nilai fosfat berfluktuasi antara 0,00009 – 0,15 (mg P/l) dan nilai silikat berfluktuasi antara 0,006 – 2,052 (mg Si/l). Konsentrasi klorofil a berfluktuasi sangat tajam selama setahun, nilai terendah yang teramati adalah 0,066 (µg/l) sampai 13,388 (µg/l). Dari hasil pengukuran terhadap luas penampang kaloran (jalan masuk air) dan mengalikannya dengan kecepatan arus, Kaswadji (1997) menemukan bahwa jumlah massa air yang masuk melalui kaloran adalah 63637,2 m3

Kedua pengaruh yang diterima perairan Laguna Pulau Pari, baik dari dalam maupun dari luar laguna dapat menyebabkan terjadinya dinamika kondisi perairan baik pada kondisi kimia, fisik maupun biologi perairan. Proses fisik seperti pengadukan masa air dapat mempengaruhi distribusi vertikal dari fitoplankton dan zooplankton. Secara fisik, masa air yang ada di dalam laguna bergerak keluar masuk melalui kaloran, yang dipengaruhi oleh arus dan pasang surut. Pergerakan masa air dan tekanan angin dapat menyebabkan teradinya pengadukan pada kolom air dalam goba.

/jam. Masuknya massa air dari perairan sekitar, dapat menyebabkan terjadi fluktusi kondisi perairan di dalam laguna.


(22)

Di dalam laguna Pulau Pari terdapat tujuh goba dengan kedalam yang berbeda yaitu Goba Soa Besar (15 m), Goba Labangan pasir (5 m), Goba Kuanji (5 m), Goba Besar satu (5 m), Goba besar dua (1 m), Goba Ciaris (1 m) dan Goba buntu (0,5 m) (Kaswadji, 1997). Dengan kedalaman yang berbeda pada masing-masing goba yang ada, menyebabkan adanya variasi dalam proses pengadukan masa air pada setiap goba. Di dalam laguna Pulau Pari ditemukan tiga tipe ekosistem, yaitu terumbu karang, lamun dan mangrove. Ketiga tipe ekosistem pantai ini juga dapat memberikan pengaruh terhadap kondisi hidrodinamika perairan dalam laguna.

Perubahan yang terjadi secara fisik (arus, pasang surut, angin, turbulensi) dan kimiawi (konsentrasi nutrien) dapat mempengaruhi kondisi biologis perairan. Hal ini ditegaskan oleh Tondato et al (2010) yang menyatakan bahwa faktor-faktor biotik (ketersediaan makanan, keberadaan predator dan kompetisi) dan abiotik (fisika dan kimia), atau interaksi antar keduanya dapat menentukan musim dan kecocokan dari suatu habitat dalam keberhasilan reproduksi. Perubahan yang terjadi pada produsen primer akan mempengaruhi pembentukan biomassa produsen sekunder (protozoa dan zooplankton) dan organisme pada tingkatan trofik yang lebih tinggi lagi (larva ikan). Akibat terjadinya dinamika pada komponen produsen primer dan sekunder, maka ketersediaan makanan bagi larva ikan, tidak selalu terpenuhi setiap saat.

2.2 Biologi Larva Ikan

Iktioplankton merupakan salah satu cabang dari Ichthyologi yang membahas tentang daur hidup ikan, dimulai dari fase telur hingga larva yang hidup secara planktonik dan sifatnya sangat dipengaruhi oleh lingkungannya terutama pergerakan dan migrasinya. Penelitian tentang ikthioplankton pertama kali dilakukan di dunia oleh G.O. Sars ditahun 1865 saat ia menemukan telur-telur ikan Cod (Gadus morrhua) di perairan Norwegia (Westhaus-Ekau, 2004). Selanjutnya di tahun 1878 dua orang Jerman C. Kupfer dan H.A. Meyer, berhasil melakukan pembuahan terhadap telur ikan herring dan menetaskan larvanya dan di tahun 1885, hatchery ikan laut komersial pertama di dunia pun berdiri. Di Indonesia penelitian iktioplankton pertama kali dilakukan oleh Delshman (1926).


(23)

Westhaus-Ekau (2004) menyebutkan berdasarkan sejarahnya maka ada dua macam penelitian iktioplankton yaitu 1) non quantitative sampling in the sea

(identifikasi, distribusi) dan 2) quantitative surveys for estiamtion of abundance

(recruitment ecology). Lebih jauh lagi Westhaus-Ekau (2004) menambahkan, ada empat tujuan utama dalam penelitian stadia awal, yaitu :

1. Pengetahuan umum tentang early life stages per se, morfogenesis, fisiologi, tingkah laku, taksonomi, sistematika dan zoogeografi.

2. Peranan telur dan larva ikan dalam ekosistem akuatik, rantai makanan dan jaring-jaring makanan.

3. Menetaskan telur dan larva untuk uji-uji toksikologi, fisiologi dan genetik serta untuk mengidentifikasi spesies yang belum diketahui.

4. Pengetahuan mengenai populasi ikan dan eksploitasi optimumnya.

Awal daur hidup ikan, menurut Effendie (1978) dan Metarase et.all. (1989), meliputi stadia telur dan perkembangannya, yaitu stadia larva dan juvenil (ikan muda). Ikan-ikan pada stadia telur dan larva ikan dapat digolongkan sebagai plankton yaitu sebagian dari siklus hidupnya merupakan plankton sementara atau meroplankton (Odum, 1993). Pemijahan sebagai salah satu bagian dari reproduksi merupakan mata rantai daur hidup yang menentukan kelangsungan hidup spesies. Penambahan populasi ikan bergantung kepada berhasilnya pemijahan dan bergantung kepada kondisi dimana telur dan larva ikan kelak berkembang (Effendie, 1997). Keberadaan ikthioplankton sendiri sangat penting karena mortalitas yang dialaminya sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses rekruitmen ikan dewasa sekaligus sumberdaya perikanan. Lebih lanjut lagi kemampuan gerak yang sangat terbatas dari ikthioplankton mengakibatkan mudahnya kedua komponen (telur dan larva) ini dimangsa oleh predator-predator yang ada di lingkungan perairan (Syahailatua, 2006).

Penelitian di bidang fish early life history, terutama tentang iktioplankton atau larva ikan di Indonesia masih sangat jarang sehingga belum memberikan sumbangan yang signifikan dalam manajemen perikanan yang saat ini berbasis pengelolaan yang berkelanjutan (sustainable fisheries). Dengan melakukan survei ikthioplankton dalam jangka waktu yang panjang maka kita akan dapat mengetahui informasi mengenai lokasi pemijahan, waktu pemijahan dan


(24)

intensitasnya (Westhaus-Ekau, 2004). Pengetahuan tentang lokasi pemijahan larva ikan di laut mempunyai kaitan erat dengan berbagai segi aplikasi yaitu dapat menduga atau meramalkan musim benih (spatfall), mengefisienkan pengumpulan benih tersebut, mendukung kemajuan di bidang budidaya, mengetahui dimana kumpulan larva ikan yang bernilai ekonomis ini berasal dan mencari makan, serta konservasi lingkungan pantai (Romimohtarto dan Juwana 1998).

2.2.1 Morfologi Larva Ikan

Russel (1976) menyebutkan bahwa larva ikan merupakan bentuk atau tingkatan ikan setelah menetasnya telur dan isitilah larva digunakan dengan merujuk pada larva yang masih memiliki kantong telur atau yolk sac sedangkan isitlah “post larva” adalah untuk ikan muda antara stadia larva dan juwana. Mantiri (1995) mendeskripsikan ikthioplankton sebagai organisme ikan yang masih berada pada stadia telur dan larva sedangkan Effendie (1978) menyebutkan bahwa perkembangan larva secara garis besar dibagi menjadi dua tahap, yaitu

prolarva dan postlarva. Prolarva adalah stadia dimana larva masih mempunyai kantung kuning telur (yolk sac) yang terletak di bagian depan bawah, tubuh masih transparan dengan beberapa pigmen yang belum diketahui fungsinya. Sedangkan postlarva adalah stadia dimana kantong kuning telur menghilang dan terbentuknya organ-organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organ yang ada sehingga secara morfologis sudah mempunyai bentuk yang sama dengan induknya. Sirip dorsal sudah mulai dapat dibedakan, demikian juga sirip ekor sudah ada garis bentuknya. Berenangnya sudah lebih aktif dan kadang-kadang memperlihatkan sifat bergerombol walaupun tidak selamanya demikian (Effendie 1997). Selanjutnya apabila masa postlarva berakhir, ikan akan memasuki masa juvenile. Untuk beberapa ikan dalam memasuki masa ini ada yang mengalami beberapa perubahan bentuk tubuhnya atau bermetamorphose. Westhaus-Ekau Ekau (2004) menyebutkan bahwa fase untuk perkembangan ikan adalah :

o Yolk-sac stage (fase pada saat larva baru menetas dimana kantong kuning telurnya masih ada).

o Larvastage (fase preflexion, flexion dan postflexion)

o Transformation stage (fase dimana larva ikan kehilangan karakteristik larvanya)


(25)

o Juvenil Stages (fase juvenil)

Gambar fase perkembangan hidup ikan dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 1. Fase perkembangan ikan Trachurua symmetricus (Ahlstorm dan Ball, 1954 dalam SEAFDEC, 2007).

Pada perkembangan selanjutnya sirip ekor mulai berkembang yang kemudian diikuti oleh pemisahan sirip punggung dan sirip dubur. Dengan mengerasnya vertebrae dan osteogenesis serta adanya perubahan pigmentasi pada tubuh larva ikan maka fase post larva akan memasuki fase selanjutnya yaitu juwana (juvenil). Pada fase ini seluruh organ dan pigmentasi yang ada akan menjadi lebih jelas dan mirip dengan induknya sehingga akan lebih mudah


(26)

dikenali/diidentifikasi. Gambar 2 dan 3 dibawah adalah contoh larva ikan dalam stadia preflexion dan postflexion. Stadia larva sangat penting untuk diketahui karena dapat menentukan waktu dan lokasi pemijahan. Bila di suatu tempat ditemukan larva ikan dengan stadia preflexion dalam jumlah banyak maka dapat dipastikan maka lokasi pemijahannya tidak jauh.

Gambar 2. Larva ikan pada stadia preflexion (Leis and Carson-Ewart, 2000).

Gambar 3. Larva ikan pada stadia postflexion (Leis and Carson-Ewart, 2000).

2.2.2. Identifikasi Larva Ikan

Menurut Leis and Carson-Ewart (2000) ada empat metode untuk mengidentifikasi larva ikan :

1. Menggunakan literatur dari para ahli yang telah melakukan pekerjaan identifikasi sebelumnya


(27)

2. Series method, yaitu mengumpulkan sejumlah larva dari jenis tertentu dan melakukan identifikasi dari stadia tertinggi berdasarkan kesamaan morfologi dari ikan dewasa. Metode ini membutuhkan bahan dalam jumlah yang banyak, terutama dari berbagai metode pengumpulan untuk mendapatkan kisaran ukuran yang luas.

3. Biokimia, yaitu dengan menggunakan bahan-bahan kimia untuk melakukan identifikasi molekuler dengan menggunakan DNA. Metode ini tidak praktis untuk pekerjaan identifikasi secara rutin tetapi akurat walaupun mahal.

4. Rearing, yaitu menetaskan telur di laboratorium dari ikan dewasa yang telah teridentifikasi dimana sejumlah diantaranya diambil untuk diamati pertumbuhan dan ciri-ciri morfologinya. Sayangnya larva yang ditetaskan di laboratorium kadang tidak mirip dengan larva yang ditangkap dari alam karena pengaruh kondisi laboratorium yang berbeda dengan alam.

Romimohtarto dan Juwana (1998) menambahkan, pada larva ikan ada beberapa kelompok sifat taksonomik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis larva yaitu :

1. Berbagai struktur dan bentuk tubuh seperti mata, kepala, bentuk badan, lambung dan sirip khususnya sirip dada.

2. Urutan munculnya sirip-sirip dan kedudukannya, fotofora dan unsur tulang.

3. Pigmentasi (letak, jumlah dan bentuk melanophora).

4. Tandan-tanda yang sangat khusus seperti lipatan sirip yang membengkak, sirip yang memanjang dan berubah, jenggot (sungut) pada dagu, duri (spine) pada preoperculum dan lain-lain.

Karakter dari melanophora merupakan ciri pembeda utama dalam mengidentifikasi jenis dari larva. Kesamaan antar spesies dapat dilihat dari ada atau tidaknya melanophora serta posisi dimana melanophora tersebut berada. Menurut Russel (1976) posisi melanophora bisa terletak di bagian eksternal dari epidermis atau dermis, bagian internal peritoneum, di atas atau di bawah kolom vertebral, dan di daerah otocystic.


(28)

2.3 Distribusi Larva Ikan

Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme didalamnya, tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan keperluan yang berbeda-beda terhadap lingkungan tempatnya hidup. Menurut Nikolsky (1963) ada tiga alasan utama bagi ikan untuk memilih tempat hidup yaitu: 1. Sesuai dengan kondisi tubuhnya, 2. Ketersediaan sumber makanan yang cukup, 3. Cocok untuk perkembangbiakan dan pemijahan.

Larva ikan biasanya memanfaatkan daerah yang terlindung sebagai habitat pengasuhan. Secara umum distribusi ikthioplankton ditentukan oleh faktor-faktor dari tingkah laku seperti faktor-faktor fisik seperti sirkulasi pasang surut (Laprise and Dodson, 1989), suhu, salinitas dan turbiditas (Able, 1978), keberadaan predator (Brodeur and Rugen, 1993) dan ketersediaan makanan. Selain itu juga ada pergerakan berdasarkan waktu dan cahaya (Mantiri, 1995)

Ekosistem laguna merupakan tipe ekosistem yang dimanfaatkan oleh banyak biota laut sebagai habitat pengasuhan bagi larva dan juvenile (Williams, 1983; Dufour and Galzin, 1997; Kaswadji, 1997; Renjaan, 2003). Ekosistem laguna biasanya dibatasi oleh terumbu karang yang menyebabkan masa air yang ada di dalam laguna tidak tercampur secara langsung dengan masa air di sekitarnya, dan tidak terkspos secara langsung oleh faktor fisik perairan sekitarnya seperti arus dan ombak (Choat and Bellwood, 1991). Kondisi seperti ini dapat memberikan perlindungan bagi larva dan juvenile ikan yang masih lemah dan memiliki pergerakan terbatas.

Beberapa Ikan karang dari family Pomacentridae (Williams, 1983; Wilson, 2003), Labriidae, Scaridae, dan Gobiidae (Dufour and Galzin, 1997) dan beberapa larva moluska (Renjaan, 2003) ditemukan berlindung di perairan laguna. Larva-larva ikan biasanya bergerombol memasuki laguna pada saat sore hingga malam hari terutama pada waktu bulan gelap (Dufour and Galzin, 1997). Selain larva yang berasal dari luar laguna, di dalam laguna juga dihasilkan larva-larva ikan, yang berasal dari ikan karang yang memijah di dalam laguna.

Sulistiono et al., (2000) menyatakan bahwa sebagian besar ikan di ekosistem terumbu karang adalah ikan-ikan yang bersifat diurnal (aktif pada siang hari). Mereka mencari makan dan tinggal di permukaan karang dan memakan


(29)

plankton yang lewat di atasnya. Ikan-ikan diurnal ini seperti Famili Pomacentridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Acanthuridae, Labridae, Lutjanidae, Balistidae, Serranidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Blennidae, dan Gobiidae. Sebagian kecil lainnya adalah ikan-ikan bersifat nocturnal (aktif pada malam hari). Ikan ini pada siang hari menetap di gua-gua dan celah-celah karang. Yang termasuk dalam kelompok ikan ini adalah Holocentridae, Apogonidae, Haemulidae, Muraenidae, Scorpaenidae dan termasuk juga Famili Serranidae dan Labridae. Ada pula sebagian kecil jenis-jenis ikan yang sering melintasi ekosistem terumbu karang seperti Famili Scombridae, Sphyraenidae dan Caesionidae.

Ikan-ikan karang mempunyai hubungan keterkaitan yang sangat kuat dengan terumbu karang dan mempunyai pola pergerakan yang sangat terbatas, contohnya adalah ikan dari famili Scaridae, Acanthuridae, Siganidae, Chaetodontidae, Pomachantidae dan beberapa spesies dari family Labriidae dan Pomacentridae (Choat and Bellwood, 1991). Dengan banyaknya jenis ikan yang memanfaatkan laguna sebagai daerah asuhan, maka laguna harus memiliki kemampuan untuk mendukung keberhasilan hidup larva-larva ikan tersebut melalui jaminan ketersediaan makanan berupa fitoplankton dan zooplankton.


(30)

III. MATERI DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni - Nopember 2010. Sampling dilakukan setiap bulan dengan ulangan dua kali setiap bulan. Lokasi sampling meliputi daerah laguna dan tubir disekitar Pulau Pari dan pulau-pulau di sekelilingnya (Pulau Burung, Pulau Tikus dan Pulau Kongsi). Ada 5 stasiun pengambilan sampel (Gambar 4). Stasiun pengambilan sampel ditentukan berdasarkan karakter fisik yaitu kedalaman dan input massa air. Setiap goba mempunyai kedalaman dan luas yang berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut, maka ditetapkan lima stasiun pengamatan, yaitu: Stasiun 1 di goba Soa besar/P. Tikus (kedalaman maks 15 m), Stasiun 2 di goba Labangan pasir (kedalaman maks 5 m)/P. Burung, Stasiun 3 di goba Ciaris/P. Kongsi (kedalaman maks 1 m) stasiun 4 di goba Buntu/LIPI (kedalaman maks 0,5 m) dan Tubir .


(31)

16

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva net dengan ukuran diameter 60 cm, panjang 3 m dan ukuran mata jaring 500 µm (Gambar 5). Thermometer dengan skala Hg untuk pembacaan suhu, refraktometer untuk pengukuran salinitas, Global Positioning System (GPS) untuk menetukan lokasi/stasiun sampling, pH meter untuk mengukur tingkat keasaman air dan stereo mikroskop Zeiss DV-40 dengan perbesaran maksimal 10x untuk pengamatan larva ikan. Bahan penelitian yang dipakai adalah alkohol 70% untuk pengawetan sampel larva ikan setelah disortir dan formalin 4% sebagai pengawet pada saat sampling di lapangan.

Gambar 5. Larva net

3.2.1 Prosedur Kerja

Sampling larva ikan dilakukan dengan cara menarik larva net secara horisontal dengan menggunakan perahu motor pada kedalaman lebih kurang 1 meter, selama 10 menit dengan kecepatan 2 knot. Sampel larva ikan yang tertangkap kemudian diawetkan dengan formalin 5% setelah itu dibawa ke


(32)

17

laboratorium untuk analisa lebih lanjut. Selain sampling larva ikan juga dilakukan sampling kualitas air seperti suhu, salinitas, ph dan nutrien. Untuk analisa nutrien (NO3, PO4

Di laboratorium sample dipisahkan dari zooplankton disimpan dalam larutan alkohol 70%. Larva ikan diidentifikasi hingga tingkatan takson yang terendah dengan mengacu pada buku Leis and Carson-Ewart (2000), Delshman (1926; 1932), Petunjuk Identifikasi FAO (Smith and Richardson, 1977) dan Sirisaksophon and Patterson (2006). Identifikasi dilakukan di Laboratorium Biologi milik Balai Penelitian Perikanan Laut-KKP Jakarta dan Laboratorium Plankton milik Balai Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jatiluhur-KKP.

dan Si) dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan (Proling) FPIK IPB.

3.3 Analisa Data

3.3.1 Kelimpahan Larva Ikan

Kelimpahan larva ikan yang didefinisikan sebagai banyaknya larva ikan persatuan volume air dihitung dengan menggunakan rumus :

N = n/V Dimana :

tsr

N = kelimpahan larva ikan (ind/m3

n = jumlah larva tercacah (ind) )

Vtsr = volume air tersaring (Vtsr = l x t x v) l = luas bukaan mulut larva net

t = lama waktu penarikan (towing time) (menit)


(33)

18

3.3.2 Indeks Keanekaragaman

Indeks keanekaragaman larva diperlukan untuk menggambarkan kehadiran jumlah individu antar genus dalam suatu komunitas. Nilai ini dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener (Bengen, 2000). Formulasi Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener berdasarkan persamaan sebagai berikut :

Keterangan :

H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener N = jumlah total individu dalam komunitas (ni) ni = jumlah individu spesies atau jenis ke-i pi = proporsi individu spesies ke-i (ni/N) i =1,2,3,...,s

s = jumlah genus/spesies

3.3.3 Indeks Keseragaman

Keseragaman adalah suatu gambaran tentang sebaran individu dari setiap spesies dalam suatu komintas. Nilai indeks keseragaman (E) dihitung berdasarkan persamaan berikut :

atau E

Keterangan :

E = indeks keseragaman H’ = indeks keanekaragaman s = jumlah genus/spesies

Indeks Keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan penyebaran jumlah individu dari setiap genus/spesies pada tingkat komunitas. Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1. Nilai E mendekati 1 apabila sebaran individu antar jenis merata (seragam) sedangkan Nilai E mendekati 0 apabila sebaran individu tidak merata atau ada jenis yang mendominasi.


(34)

19

3.3.4 Indeks Dominasi

Indeks dominasi diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Odum, 1994) :

=

Keterangan :

D = indeks dominasi

ni = jumlah individu genus ke-i N = jumlah total individu

pi = proporsi individu spesies ke-i I = 1,2,3,...,s

s = jumlah genus

3.3.5 Analisis Komponen Utama/PCA (Principal Component Analysis)

Analisis ini digunakan untuk mendeterminasi sebaran parameter bio-fisikakimia perairan (Bengen 2000). Analisis Komponen Utama adalah suatu teknik ordinasi yang memproyeksikan dispersi matriks dari data multidimensi dalam suatu ruang datar. Dengan cara mereduksi ruang maka diperoleh sumbu-sumbu baru yang merepresentasikan secara optimal dari sebagian besar variabilitas data matriks multidimensi sehingga dapat ditemukan hubungan antar ciri dan hubungannya antar obyek. Analisis ini membagi matriks korelasi parameter menjadi beberapa komponen, kemudian menyusun keragaman komponen bersangkutan dari yang terbesar pada sumbu komponen utama hingga didapatkan ditribusi spasial parameter biologi, fisika dan kimia pada suatu daerah tertentu. Korelasi linear antar dua parameter yang dianalisis dari indeks sintetik merupakan peragam dari kedua parameter yang telah dinormalisasikan.

Analisis Komponen Utama mencari indeks yang menunjukkan ragam stasiun maksimum. Indeks ini disebut Komponen Utama Pertama yang merupakan sumbu utama 1 (F1). Suatu proporsi tertentu dari ragam total stasiun direpresentasikan oleh F1. Selanjutnya dicari Komponen Utama Kedua (F2) yang memiliki korelasi nol dengan F1. Komponen F2 ini memberikan informasi


(35)

20

terbesar sebagai pelengkap F2. Proses ini berlanjut terus hingga memperoleh komponen utama ke-p, dimana begian informasi dapat dijelaskan semakin kecil. Analisis Komponen Utama menggunakan indeks jarak Euclidean pada data. Jarak Euclidean (Bengen 2000) hubungan didasarkan pada rumus:

(i,i’) = ∑ (Xij-Xi’j)

Keterangan : i.i’ = dua stasiun (pada baris) 2

j = parameter lingkungan

Semakin kecil jarak Euclidean antar 2 stasiun, maka karakteristik bio-fisikakimia antar 2 stasiun tersebut semakin mirip, demikian pula sebaliknya. Perhitungan PCA dilakukan dengan bantuan paket program statistik STATISTICA versi 6.0.


(36)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Lingkungan Perairan

Penelitian dilakukan di Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Gugusan ini tersusun atas pulau-pulau sangat kecil yang termasuk kategori pulau karang timbul dan pulau dataran rendah (low islands) yang terletak pada posisi 5°50’– 5°52’ LS dan 106°34’ - 106°36’ BT. Pulau-pulau yang ada disana adalah Pulau Pari, Pulau Tengah, Pulau Kongsi, Pulau Burung dan Pulau Tikus. Semua gugus pulau-pulau tersebut dikelilingi oleh terumbu karang yang membentuk bagian-bagiab terumbu yang cukup lengkap, seperti rataan terumbu (reef flat), goba (lagoon) dan terumbu yang mengelilingi goba (atol) sehingga menyerupai pulau atol yang dikenal juga dengan atol semu atau pseudo atol ( Abrar, 2011). Wilayah Pulau Pari sendiri termasuk salah satu dari 7 DPL (Daerah Perlindungan Laut) yang dibentuk pada tahun 2005 dengan luas 12 ha (Amri dan Agus, 2011).

4.1.1 Suhu

Secara umum, kisaran suhu di semua stasiun penelitian berkisar antara 28,8 – 32,75 °C dengan rata-rata 30,21 °C. Suhu rata-rata tertinggi tercatat ada bulan Agustus yaitu 30,65 °C sedangkan terendah ada di bulan Oktober (Gambar 6). Penelitian Kaswadji (1997) menunjukkan kisaran 29,8 – 32 °C pada periode bulan Juni-November dimana suhu tertinggi ada di bulan September yaitu 32 °C. Tingginya suhu di bulan Agustus dikarenakan bulan tersebut sudah memasuki musim kemarau walaupun hujan masih sering turun. Selain itu suhu yang tinggi juga disebabkan oleh sifat perairan laguna yang semi tertutup sehingga pergantian massa air sangat jarang terjadi. Lalli & Parsons (1997) menyatakan bahwa suhu air untuk laguna tropis dangkal bisa mencapai hingga 40 °C.

4.1.2 Salinitas

Salinitas sangat berpengaruh terhadap proses osmoregulasi biota laut terutama ikan. Kisaran nilai salinitas di semua stasiun penelitian adalah 30 – 33 ‰ dengan nilai tertinggi ada pada bulan Juli dan terendah ada pada bulan Juni (Gambar 7). Hal ini sedikit lebih rendah dengan hasil penelitian Kaswadji (1997) yang menemukan kisaran salinitas 31 – 34 ‰ selama bulan Juni-November.


(37)

22

Rendahnya salinitas pada bulan Oktober dikarenakan musim hujan sedang berlangsung saat sampling dilakukan.

Gambar 6. Fluktuasi rata-rata suhu permukaan air di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November.

Gambar 7. Fluktuasi rata-rata salinitas di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November.

4.1.3 pH

Secara umum kisaran pH di semua stasiun penelitian berkisar 6,49 – 7,56 dengan nilai tertinggi ada di stasiun 1 pada bulan Juli sedangkan terendah ada di stasiun 3 di bulan Agustus (Gambar 8). Hasil ini sedikit berbeda dengan Abrar (2011) yang mendapatkan kisaran pH 7 – 8 serta Hartati dan Syam (2011) yang mendapatkan 7,58 – 7,7. Rendahnya rata-rata nilai pH pada bulan Agustus-September dikarenakan pada bulan-bulan tersebut banyak ditemukan sampahyang

28 29 30 31

Jun Jul Aug Sep Oct Nov

°C

Bulan

28,5 29,5 30,5 31,5

Jun Jul Aug Sep Oct Nov


(38)

23

terbawa arus dari teluk Jakarta sehingga pada saat tersebut terjadi proses dekomposisi sehingga menyebabkan turunnya nilai pH. Nilai pH di perairan Indonesia sendiri bervariasi antar lokasi dengan nilai kisaran 6,0 – 8,5 dan perubahannya dapat memberikan pengaruh yang buruk terhadap biota laut, baik secara langsung maupun tidak langsung (Romimohtarto, 1991).

Gambar 8. Fluktuasi nilai rata-rata pH di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November.

4.1.4 Nutrien

Kisaran nilai nutrien yang terukur di semua stasiun cukup variatif. Nitrat (NO3) mempunyai kisaran nilai 0,056 – 1,689 mg/m3 dimana nilai tertinggi ada di stasiun 5 di bulan September sedangkan terendah ada di stasiun 4 di bulan Oktober (Gambar 9). Kisaran nilai Fosfat adalah 0,001 – 0,068 mg/m3 dengan nilai tertinggi ada di stasiun 2 di bulan September sedangkan terendah ada di stasiun 3 di bulan Oktober-November (Gambar 10). Sedangkan kisaran nilai Silikat adalah 0,034 – 1,986 mg/m3 dengan nilai terendah ada di stasiun 2 di bulan September sedangkan tertinggi juga di stasiun 2 pada bulan Juni-Juli (Gambar 11).

5,6 5,8 6 6,2 6,4 6,6 6,8 7 7,2 7,4 7,6 7,8

Jun Jul Aug Sep Oct Nov


(39)

24

Gambar 9. Fluktuasi rata-rata nilai Nitrat (NO3) di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November.

Secara umum nilai kisaran nutrien terukur di perairan laguna Pulau Pari tidak mempunyai pola tertentu karena selalu naik turun tidak beraturan. Hal ini dapat terjadi karena di perairan tropis tidak ada mekanisme yang mengatur adanya fluktuasi nutrient yang teratur tiap tahun (Kaswadji, 1997). Berbeda dengan di perairan empat musim, dimana pada saat musim dingin nutrien akan terakumulasi di perairan karena tidak dimanfaatkan oleh organisme (terutama fitoplankton) dikarenakan organisme tersebut dalam keadaan kurang aktif disebabkan oleh adanya musim dingin.

Gambar 10. Fluktuasi rata-rata nilai Fosfat (PO4) di semua stasiun penelitian selama bulan Juni-November.

-0,1 1,6E-15 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6

Jun Jul Aug Sep Oct Nov

m

g/

m

3

Bulan

0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06

Jun Jul Aug Sep Oct Nov

m

g/

m

3


(40)

25

Gambar 11. Fluktuasi rata-rata nilai Silikat (Si (OH)) di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November.

4.2 Komposisi Hasil Tangkapan Larva Ikan

Secara umum ditemukan sebanyak 22844 larva ikan yang terdiri atas 68 famili dan 106 genus (Lampiran 1). Kelimpahan famili terbanyak adalah Aulostomidae (13.14%), diikuti oleh Blenniidae (9.98%), Pomacentridae (9.28%), Engraulidae (6.46%) dan Pinguipedidae (5.02%) (Gambar 12). 63 famili lainnya yang juga tertangkap tetapi dimunculkan dalam grafik dengan kategori lainnya. Untuk genus Aulostomus (Aulostomidae) menjadi genus dominan, diikuti oleh

Stanulus (Blenniidae), Stolephorus (Engraulidae), Parapercis (Pinguipedidae),

Pomacentrus (Pomacentridae), Leptobramma (Leptobramidae) dan Chromis

(Pomacentridae) dengan nilai berturut-turut 13.14%, 5.95%, 5.68%, 5.02%, 4.58%, 4.01% dan 3.88% (Gambar 13).

0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8

Jun Jul Aug Sep Oct Nov

m

g/

m

3


(41)

26

Gambar 12. Komposisi Famili larva ikan yang ditemukan di semua stasiun selama

penelitian.

Gambar 13. Komposisi genera larva ikan yang tertangkap di semua stasiun penelitian

13,14%

9,98%

9,28%

5,90%

5,02% 4,01% 3,07%

3,00% 2,68%

43,92%

Aulostomidae

Blenniidae

Pomacentridae

Engraulidae

Pinguipedidae

Leptobramidae

Gobiidae

Carangidae

Leiognathidae

Lainnya

13,14%

5,95%

5,68% 5,02%

4,58% 4,01% 3,88% 2,53% 1,94%

53,27%

Aulostomus

Stanulus

Stolephorus

Parapercis

Pomacentrus

Leptobramm a


(42)

27

Gambar 14. Komposisi larva ikan berdasarkan habitat hidupnya.

Berdasarkan habitat hidupnya 57% dari famili larva ikan yang tertangkap adalah termasuk kelompok ikan karang, sedangkan sisanya adalah pelagis (17%) dan demersal (26%) (Gambar 14). Famili ikan ikan karang yang dominan tertangkap adalah Aulostomidae dan Pomacentridae. Famili Aulostomidae hanya dihuni oleh genus Aulostomus. Aulostomus atau dikenal juga dengan ikan terompet (trumpet fish) merupakan ikan karnivor yang memangsa ikan-ikan kecil dan udang. Ikan ini banyak ditemukan perairan terumbu yang dangkal dan jernih dalam keadaan soliter (Leis and Carson-Ewart, 2000) dengan 80 cm adalah

ukuran terbesar yang pernah tertangkap

merupakan famili yang mempunyai sebaran ekologis yang luas. Ikan ini ditemukan baik di ekosistem air tawar hingga laut, baik di tropis maupun subtropis (Leis and Carson-Ewart, 2000). Stanulus merupakan genus anggota Blenniidae yang menghuni bagian luar dari rataan terumbu (reef flats) yang

terekspos oleh gelombang

distribusi yang cukup luas dan mempunyai kelimpahan dan keanekaragaman yang tinggi sehingga mempunyai nilai yang penting secara ekologis, terutama pada ekosistem terumbu karang (Leis and Carson-Ewart, 2000). Larva ikan karang lainnya yang tertangkap antara lain Labridae, Scaridae, Balistidae, Ephippidae,

Pelagis 17%

Demersal 26% Karang


(43)

28

Haemulidae, Serranidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Monacanthidae dan Pomacanthidae.

Famili ikan yang termasuk pelagis antara lain adalah Engraulidae, Clupeidae, Chanide, Leptobramidae dan Scathopagidae sedangkan famili ikan yang termasuk demersal adalah antara lain Acropomatidae, Ambassidae, Bothidae, Cynoglossidae, Leiognathidae dan Opistognathidae. Engraulidae dan Clupeidae merupakan famili larva ikan pelagis yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Beberapa jenis dari anggota kedua famili ini dimanfaatkan secara komersial seperti Stolephorus (Engraulidae) serta Hilsa, Amblygaster dan

Sardinella (Clupeidae). Jenis-jenis demersal didominasi oleh ikan sebelah seperti Cynoglossidae, Bothidae dan Opistognathidae. Selain itu juga ada Leiognathidae yang merupakan jenis ekonomis penting yang menjadi salah satu hasil tangkapan utama kapal cantrang.

4.3 Distribusi Spasial dan Temporal Larva

4.3.1 Distribusi Spasial Larva Ikan

Secara spasial kelimpahan larva tertinggi ada di stasiun 2 dengan nilai 7734 ind/m3, diikuti stasiun 4 dengan nilai 7159 ind/m3 sedangkan terendah ada di stasiun 5 dengan nilai kelimpahan 2583 ind/m3 (Gambar 15). Genus yang mendominasi di stasiun adalah Stanulus (1359 ind/m3) dari famili Blenniidae, diikuti oleh Parapercis (841 ind/m3) dari Pinguipedidae, Stolephorus (586 ind/m3) dari Engraulidae dan Aulostomus (492 ind/m3) dari Aulostomidae. Stasiun 2 merupakan stasiun dengan kondisi perairan yang tenang dan merupakan pulau yang tidak berpenghuni sehingga kondisinya sangat mendukung untuk kehidupan ikan. Hal ini dibuktikan oleh Hartati et al (2010) yang menemukan stasiun pulau Burung merupakan stasiun dengan kelimpahan juvenil tertinggi dibandingkan dengan stasiun-stasiun lainnya yang ada di laguna Pulau Pari.


(44)

29

Gambar 15. Sebaran kelimpahan larva ikan yang tertangkap di semua stasiun selama penelitian.

Gambar 16. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 2 (P. Burung) selama penelitian.

Total kelimpahan larva ikan di stasiun 4 adalah 7159 ind/m3 dengan kelimpahan tertinggi adalah Aulostomus (1452 ind/m3), diikuti oleh Pomacentrus

(560 ind/m3) dari Pomacentridae, Leptobramma (484 ind/m3) dari Leptobramidae dan Chromis (331 ind/m3) juga dari Pomacentridae (Gambar 17). Stasiun 4 merupakan stasiun yang didominasi oleh keberadaan terumbu karang dan terekspos oleh gelombang laut karena lokasinya yang merupakan pintu masuk (kaloran) bagi air laut ke dalam laguna pulau Pari sehingga didominasi oleh

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

St.1 St.2 St.3 St.4 St.5

K e li m p a h a n ( in d /m 3) Stasiun 0 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 3.500 K e li m p a h a n ( in d /m 3)


(45)

30

keberadaan larva ikan pelagis seperti Leptobramma, Bregmaceros dan

Parapercis. Selain itu juga ditemukan larva ikan karang seperti Chromis,

Pomacentrus dan Lethrinidae.

Gambar 17. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 4 (Tubir) selama penelitian.

Pada stasiun 5 ditemukan larva ikan dengan kelimpahan 2583 ind/m3. Dari jumlah ini A. chinensis adalah jenis yang paling banyak dengan kelimpahan 629 ind/m3, diikuti oleh Chromis (242 ind/m3), Upeneus (227 ind/m3) dari Mullidae dan Gerres (135 ind/m3) dari Gerreidae. Selain itu juga ditemukan Terapon

(Terapontidae) dan Decapterus (Carangidae) dengan nilai kelimpahan 127 ind/m3 dan 122 ind/m3 (Gambar 18). Stasiun 5 merupakan stasiun yang banyak didominasi oleh substrat pasir bercampur lumpur dan banyak ditemukan rubble

dari dead coral dari terumbu karang yang mati dikarenakan terekspos pada saat surut.

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500

K

e

li

m

p

a

h

a

n

(

in

d

/m


(46)

31

Gambar 18. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 5 (LIPI) selama penelitian.

Gambar 19. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 1 (P. Tikus) selama penelitian.

Kelimpahan larva ikan di stasiun 1 didominasi oleh larva ikan pelagis seperti Stolephorus (405 ind/m3), Caranx (217 ind/m3), Leptobramma (178 ind/m3) dan Tenualosa (178 ind/m3) (Gambar 19). Selain itu juga ditemukan larva ikan demersal seperti Exallias (168 ind/m3) dan ikan karang seperti Pomacentrus

(155 ind/m3), Gerres (110 ind/m3), Scarus (102 ind/m3) dan Aulostomus (92 ind/m3). Stasiun 1 yang terletak di Pulau Tikus merupakan stasiun tempat dimana Goba Soa Besar berada. Goba ini mempunyai kedalaman 15 m (Kaswadji, 1997)

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1.000 K e li m p a h a n ( in d /m 3) 0 200 400 600 800 1000 1200 K e li m p a h a n ( in d /m 3)


(47)

32

dan dekat dengan ekosistem terumbu karang (Abrar, 2011). Stasiun ini mempunyai persentase tutupan lamun sedang dengan nilai 47% dan didominasi oleh lamun dari jenis Thalassia hemprichi, Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata (Hartati et al, 2010). Lebih jauh lagi Hartati et al (2010) menemukan bahwa Pulau Tikus merupakan stasiun dengan nilai indeks keanekaragaman tertinggi untuk juvenil ikan sehingga menjadi tempat asuhan (nursery ground) bagi juvenil ikan. Dominasi larva ikan pelagis dikarenakan hanya menjadikan lokasi ini sebagai tempat pemijahan saja sedangkan untuk tempat asuhan didominasi oleh famili ikan-ikan demersal dan karang seperti Apogonidae, Gobiidae, Scaridae, Labridae, Soleidae dan Moncanthidae (Hartati et al, 2010).

Gambar 20. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 3 (P. Kongsi) selama penelitian.

Stasiun 3 di Pulau Kongsi didominasi oleh larva ikan karang Aulostomus

(336 ind/m3), dan pelagis seperti Fistularia (255 ind/m3), Solenostomus (204 ind/m3), Anadontosoma (102 ind/m3), Leptobramma (127 ind/m3), Bregmaceros

(102 ind/m3) dan Stolephorus (102 ind/m3) (Gambar 20). Stasiun 3 sendiri merupakan stasiun yang terletak ditengah-tengah laguna Pulau Pari, tepatnya di goba Ciaris yang kedalamannya berkisar 1 m (Kaswadji, 1997). Stasiun ini didominasi substrat pasir berlumpur dan mempunyai tutupan lamun yang cukup baik yaitu 56 % (Hartati et al, 2010).

0 200 400 600 800 1000 1200

K

e

li

m

p

a

h

a

n

(

in

d

/m


(48)

33

4.3.2 Distribusi Temporal Larva Ikan

Kelimpahan larva ikan bervariasi di setiap stasiun penelitian disetiap bulannya. Di stasiun 1, nilai kelimpahan berkisar antara 153 – 955 ind/m3 dengan rata-rata 78 ind/m3 (Gambar 21). Kelimpahan tertinggi ada di bulan Juli sedangkan terendah ada di bulan Agustus dan September. Di stasiun 2 kelimpahan berkisar 191 – 2369 ind/m3 dengan tertinggi ada di bulan Juni terendah ada di bulan Agustus sedangkan di stasiun 3 kelimpahan tertinggi ada dibulan Juli dan terendah ada di bulan November dengan kisaran 51 – 1325 ind/m3. Di stasiun 4 nilai kelimpahan berkisar 408 – 3210 ind/m3 dengan kelimpahan tertinggi ada pada Juli dan terendah di bulan Agustus. Kisaran kelimpahan di stasiun 5 adalah 102 – 662 ind/m3 dengan kelimpahan tertinggi ada di bulan Juni dan terendah ada di bulan November. Dari keseluruhan stasiun terlihat pada stasiun 1,3 dan 4 kelimpahan tertinggi larva ikan ada pada bulan Juli sedangkan pada stasiun 2 dan 5 kelimpahan tertinggi ada pada bulan Juni. Bulan Juni-Juli yang merupakan musim timur merupakan musim dimana ikan melakukan pemijahan.

Gambar 21. Sebaran kelimpahan larva ikan secara temporal di semua stasiun penelitian.

Pada bulan Juni kelimpahan larva ikan di stasiun 1 didominasi oleh

Leptobramma (153 ind/m3), pada bulan Juli Tenualosa (153 ind/m3), Stolephorus

pada bulan Oktober dan November sedangkan pada bulan Agustus dan September hanya ada sedikit (153 ind/m3) (gambar 22). Leptobramma ditemukan di setiap

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 Jun Jul Aug Sep Oct Nov K e li m p a h a n ( in d /m 3) Bulan St.1 St.2 St.3 St.4 St.5


(49)

34

stasiun dan selalu muncul pada bulan Juli (stasiun 1,2,4 dan 5) serta di stasiun 1 pada bulan Oktober.

Gambar 22. Komposisi kelimpahan jenis larva ikan di stasiun 1 setiap bulan selama Juni-November 2010.

Komposisi kelimpahan larva ikan di stasiun 2 bervariasi setiap bulannya. Kelimpahan bulan Juni didominasi oleh Parapercis dan Stolephorus sedangkan pada bulan Agustus Stanulus adalah yang paling dominan. Stanulus dari famili Blenniidae ternyata hanya ditemukan di stasiun 2 saja dalam kelimpahan yang cukup besar sehingga mendominasi kelimpahan secara keseluruhan (1359 ind/m3) (gambar 23). Stolephorus selalu ada di bulan Juni-Juli pada stasiun 1 dan 3, Juli-November di stasiun 4 serta Oktober-Juli-November di stasiun 3 (Gambar 24). Jenis ini tidak tertangkap pada bulan apapun di stasiun 5. Di stasiun 3 kelimpahan tertinggi adalah di bulan Juli lalu diikuti bulan Juni. Kelimpahan bulan Juli didominasi oleh Fistularia dan Solenostomus sedangkan pada bulan Juni didominasi oleh Stolephorus dari famili Engraulidae. Kisaran kelimpahan di stasiun 3 adalah 51 - 1325 ind/m3.

0 500 1000 1500

Jun Jul Aug Sep Oct Nov

K

e

li

m

pa

ha

n (

ind/

m

3)

Bulan

Abudefduf Ambassis Amblyopinae Gobiidae sp

Ammodytiodes Anacanthus Anaora

Aulostomus chinensis Bleekeria Callionymidae sp

Caranx Chromis Decapterus

Ephinephelus Exallias Gerres

Iso Istiblennius Labridae sp


(50)

35

Gambar 23. Sebaran kelimpahan larva ikan di stasiun 2 selama bulan Juni-November 2010.

Kisaran kelimpahan larva ikan di stasiun 4 selama bulan Juni-November berkisar antara 408-3210 ind/m3 dengan kelimpahan tertinggi ada di bulan Juli dan terendah ada di bulan Agustus. Kelimpahan bulan Juli didominasi oleh

Leptobramma (408 ind/m3) sedangkan bulan Juni oleh Aulostomus (1197 ind/m3) (Gambar 25).

Gambar 24. Komposisi kelimpahan jenis larva ikan di stasiun 3 setiap bulan selama Juni-November 2010.

0 1000 2000 3000

Jun Jul Aug Sep Oct Nov

K elim p ah an ( in d /m 3) Bulan

Abudefduf Antennariidae sp Aulostomus chinensis

Bembrops Calumia Caragobius

Chanos chanos Cheilio Chromis

Crossorhombus Decapterus Doederleina

Eleotris Encrasicholina Ephippus

Epinephelus Gazza Gerres

Harpadon Herklosichthys Iso

Leiognathus Leptobramma muelleri Lutjanus

Microcanthus Omobranchus Opistognathus

0 500 1000 1500

Jun Jul Aug Sep Oct Nov

K elim p ah an ( in d /m 3) Bulan

Abalistes Amblyopinae Gobiidae sp Ammodytiodes Anadontosoma Anthinae Serranidae sp Argyrops Aulostomus chinensis Bleekeria Brachypleura Branchyamblypus Bregmaceros Carangidae sp

Chanos chanos Cheilio Decapterus Epinephelus

Fistularia Gerres Kyphosus Lagocephalus

Leiognathus Leptobramma muelleri Monacanthus Parablennius Parapercis Parapriacanthus Pentapodus Pentaprion Pomacentrus Priacanthus Ptereleotris Schindleria Scomber Scombridae sp Solenostomus Stolephorus


(51)

36

Gambar 25. Komposisi kelimpahan jenis larva ikan di stasiun 4 setiap bulan selama Juni-November 2010.

Stasiun 5 merupakan stasiun dengan kelimpahan terendah dari semua stasiun yang ada. Kisaran kelimpahan di stasiun ini selama bulan Juni-November berkisar 102 - 662 ind/m3 dengan kelimpahan tertinggi ada di bulan Juni dan terendah ada di bulan November (Gambar 26). Kelimpahan di bulan Juni didominasi oleh Aulostomus (459 ind/m3), dan jenis ini selalu muncul dari bulan Juni - Oktober dengan nilai kelimpahan beruturut-turut 459 , 76 , 61, 8 dan 25 ind/m3. Selain Pomacentrus, genera dari famili Pomacentridae lainnya yang tertangkap di stasiu 5 adalah Chromis dan Abudefduf dimana Chromis tertangkap di bulan Juni-Agustus dan Oktober sedangkan Abudefduf hanya ada di bulan Juli.

0 2000 4000

Jun Jul Aug Sep Oct Nov

K

elim

p

ah

an

(

in

d

/m

3)

Bulan

Abudefduf Amblyopinae Gobiidae sp Anaora Antennariidae sp Argyrops Aulostomus chinensis Bregmaceros Calumia Caragobius Centropygae Chanos chanos Chirocentrus

Chromis Crossorhombus Cynoglossus Diagramma

Doederleina Enneaptygius Gerres Gramnatocynus

Herklosichthys Hypseoleotris Iso Istiblennius

Kyphosus Labridae sp Leiognathus Leptobramma muelleri


(52)

37

Gambar 26. Komposisi kelimpahan jenis larva ikan di stasiun 5 setiap bulan selama Juni-November 2010.

4.3.3 Distribusi Spasial dan Temporal Larva Berdasarkan Stadia

Secara umum, mayoritas larva yang tertangkap di semua stasiun penelitian ada pada stadia preflexion sedangkan berdasarkan waktu larva stadia ini banyak ditemukan pada bulan Juni-Juli dan Oktober (Gambar 27A). Demikian halnya dengan larva ikan pada stadia postflexion yang juga banyak ditemukan pada bulan Juni, Juli dan Agustus (Gambar 27B). Aulostomus sebagai genus dominan hanya ditemukan pada fase postflexion yang merupakan stadia akhir sebelum fase juvenil. Aulostomus ditemukan di stasiun 5 hanya pada bulan September dan tidak ditemukan pada bulan November di stasiun manapun.

A B

Gambar 27. Distribusi larva ikan berdasarkan perkembangan stadianya, preflexion (A) dan postflexion (B) selama Juni-November 2010.

0 500 1000

Jun Jul Aug Sep Oct Nov

K elim p ah an ( in d /m 3) Bulan

Abudefduf Atule Aulostomus chinensis Bleekeria

Cheilinus Cheilodactylus Chromis Crossorhombus

Decapterus Dinematichthys Dussumeria Echiodon

Eleotris Exallias Gerres Gobinae sp

Herklosichthys Hypseoleotris Iso Kuhlia

Kyphosus Leptobramma muelleri Omobranchus Petroscirtes Plagiotremus Pomacentrus Pseudochromis Scarus

Schindleria Scombridae sp Siganus Tenualosa

0 20 40 60

Jun Jul Aug Sep Oct Nov

N

bulan

St.1 St.2 St.3 St.4 St.5

0 20 40 60

Jun Jul Aug Sep Oct Nov

bulan


(53)

38

Dari 40 famili ikan karang yang tertangkap 60% diantaranya ditemukan pada fase preflexion, sisanya ada fase flexion (32.5%) dan postflexion (7.5%) (Gambar 28). Larva ikan karang pada fase preflexion ditemukan pada semua stasiun dengan kelimpahan tertinggi ada pada stasiun 4 dan paling sedikit ada pada stasiun 3 (Gambar 29) dan didominasi oleh famili Pomacentridae (Gambar 29). Pomacentridae sendiri juga ditemukan pada fase ini di semua stasiun dengan jumlah terbanyak ada pada stasiun 4 (Gambar 29).

Gambar 28. Komposisi stadia famili larva ikan karang yang ditemukan di semua lokasi penelitian.

Gambar 29. Sebaran spasial kelimpahan famili larva ikan karang pada stadia preflexion yang ditemukan di semua stasiun penelitian.

60,0% 32,5%

7,5%

Preflexion

Flexion

Postflexion

0 10 20 30 40 50 60 70 80

1 2 3 4 5

k

e

li

m

pa

ha

n (

ind/

m

3)

Stasiun

Antennariidae Callionymidae Carangidae Gerreidae Haemulidae Kyphosidae Labridae Lethrinidae Monacanthidae Mullidae Nemipteridae Pempherididae Plesiopidae Pomacanthidae Pomacentridae Scaridae Scombridae Serranidae Siganidae Sillaginidae Solenostomidae Terapontidae Tetraodontidae Tripterygiidae


(54)

39

Gambar 30. Sebaran temporal kelimpahan famili larva ikan karang pada stadia preflexion yang ditemukan di semua stasiun penelitian.

Berdasarkan sebaran temporal famili larva ikan karang pada stadia preflexion kelimpahan tertinggi ada pada bulan Juli dan diikuti pada bulan Oktober (Gambar 30). Famili yang mendominasi adalah Pomacentridae, muncul pada setiap stasiun dengan kelimpahan tertinggi ada pada bulan Juli (Gambar 30). Selain itu Blenniidae juga ditemukan pada bulan Juni, Juli, September dan Oktober.

4.5 Indeks Komunitas

Nilai indeks keanekaragaman menyatakan tingkat keragaman jenis dari suatu populasi. Secara spasial, nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 2,84 – 3,33. Nilai tertinggi ada di stasiun 4 sedangkan terendah ada di stasiun 5 (Gambar 31). Kisaran nilai indeks keanekaragaman larva ikan di Pulau Pari termasuk tinggi dikarenakan jumlah jenis larva ikan yang tertangkap cukup banyak untuk setiap stasiun. Sedangkan sebaran nilai indeks keseragaman menunjukkan nilai kisaran yang cukup tinggi yaitu antara 0,81 – 0,87. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran jenis larva ikan yang tertangkap cukup merata yang didukung juga oleh tidak adanya dominasi dari jenis tertentu yang ditunjukkan oleh kisaran nilai indeks dominasi yang cukup rendah yaitu 0,06 – 0,11(Gambar 32) .

0 20 40 60 80 100

Jun Jul Aug Sep Oct Nov

k

e

li

m

pa

ha

n (

ind/

m

3)

Bulan

Antennariidae Blenniidae Callionymidae Carangidae Gerreidae

Haemulidae Kyphosidae Labridae Lethrinidae Monacanthidae

Mullidae Nemipteridae Pempherididae Plesiopidae Pomacanthidae Pomacentridae Scaridae Scombridae Serranidae Siganidae Sillaginidae Solenostomidae Tetraodontidae Tripterygiidae


(55)

40

Gambar 31. Sebaran nilai indeks komunitas (H’= keaneakaragaman, E = keseragaman dan D = dominasi) di semua stasiun penelitian.

Secara temporal sebaran nilai indeks komunitas lebih variatif. Secara keseluruhan, nilai indeks keanekaragaman di semua stasiun selama bulan Juni-November 2010 berkisar antara 0 – 2,67, dengan nilai tertinggi ada di stasiun 1 pada bulan Juli dan terendah ada di stasiun 3 pada bulan November (Gambar 32). Rendahnya nilai indeks (=0) di stasiun 3 di karenakan pada bulan November hanya tertangkap 1 jenis larva ikan yaitu Scombridae sp. Karena hanya ada satu maka nilai indeks keseragamannya menjadi tidak terdefinisikan sedangkan nilai indeks dominasi menjadi 1 dikarenakan hanya ada dominasi dari satu jenis saja.

Untuk sebaran nilai indeks keseragaman di semua stasiun selama penelitian berkisar antara 0,29 – 1,00. Nilai indeks tertinggi ada di stasiun 2 dan 5 pada bulan November sedangkan terendah ada di stasiun 4 pada bulan Juni (Gambar 33). Nilai indeks di stasiun 3 pada bulan November tidak dapat terdefinisi akibat hanya ada 1 jenis dalam jumlah 1 individu yang tertangkap di stasiun tersebut pada bulan November. Sedangkan pada di stasiun 2 pada bulan November hanya tertangkap 3 jenis dimana setiap jenis mempunyai jmulah yang sama dan demikian halnya dengan stasiun 5 di bulan yang sama yang hanya tertangkap 2 jenis dengan setiap jenis jumlahnya sama.

0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50

1 2 3 4 5

N

il

a

i i

n

d

e

k

s

Stasiun

H'

E


(56)

41

Gambar 32. Sebaran nilai Indeks keaneakaragaman (H’) di semua stasiun penelitian selama bulan Juni-November 2010.

Gambar 33. Sebaran nilai Indeks keseragaman (E) di semua stasiun penelitian selama bulan Juni-November 2010.

Sementara itu untuk nilai sebaran indeks dominasi kisarannya adalah 0,09 – 1,00. Nilai terendah ada di stasiun 1 pada bulan Juli sedangkan tertinggi ada di stasiun 3 pada bulan November. Tingginya nilai indeks dominasi di stasiun 3 dikarenakan hanya ada 1 jenis dengan jumlah 1 individu saja yang tertangkap.

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 n il a i I n d e k s Bulan St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 N il a i i n d e k s Bulan St.1 St.2 St.3 St.4 St.5


(57)

42

Gambar 34. Sebaran nilai Indeks dominasi (D) di semua stasiun penelitian selama bulan Juni-November 2010.

4.6 Hubungan antara Kondisi Lingkungan Dengan Kelimpahan Larva Ikan

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan PCA, diperoleh beberapa variabel yang berhubungan dengan variabel lainnya, baik yang berbanding lurus (korelasi positif) maupun bertolak belakang (korelasi negatif). Matriks korelasi pada tabel 1 menunjukkan adanya korelasi negatif antara kelimpahan larva dengan nitrat dan salinitas, sedangkan terhadap suhu dan pH menunjukkan korelasi positif. Tidak ada hubungan korelasi antara kelimpahan dengan fosfat. Nilai korelasi kelimpahan dengan nitrat lebih tinggi daripada dengan salinitas. Hal ini berarti kelimpahan larva saat meningkat maka konsentrasi nitrat akan berkurang. Hal ini dikarenakan peranan nitrat yang dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh ketersediaan nutrien (Anwar, 2008).

Nilai korelasi negatif antara kelimpahan dan salinitas adalah bila salinitas meningkat maka kelimpahan larva akan berkurang. Hayes dan Laevastu (1982) menjelaskan bahwa salinitas mempengaruhi fisiologis kehidupan organisme dalam hubungannya dengan penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dan lingkungan. pengaruh ini berbeda pada setiap organisme baik itu fitoplankton, zooplankton, maupun ichthyoplankton. Pengaruh salinitas pada ikan dewasa

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20

Bulan

St.1

St.2

St.3

St.4


(58)

43

sangat kecil karena salinitas di laut relatif stabil yaitu berkisar antara 30 - 36 o/oo, sedangkan larva ikan biasanya cenderung memilih perairan dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya.

Berdasarkan sumbu korelasi pada gambar 35 menunjukkan bahwa salinitas, silikat, fosfat dan suhu mempunyai pengaruh terhadap sumbu 1 (horisontal). Dari keempat faktor ini salinitas adalah faktor yang paling besar pengaruhnya. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu akan diikuti oleh peningkatan salinitas. Kelimpahan berdekatan dengan pH dan suhu menunjukkan bahwa kelimpahan dipengaruhi oleh kedua faktor tersebut. Sementara kelimpahan menunjukkan sudut hampir 90° dengan silikat, fosfat dan nitrat menunjukkan tidak ada hubungan antara kesemua faktor tersebut.

Gambar 35. Korelasi antara faktor lingkungan dengan kelimpahan larva ikan di perairan Pulau Pari selama penelitian.


(1)

30 Labridae

Atule 38 38

Cheilinus 23 23

Cheilio 8 23 31

Labridae sp 33 51 84

31 Leiognathidae

Gazza 306 306

Leiognathus 51 178 76 306

32 Leptobramidae

Leptobramma muelleri 178 76 127 484 51 917

33 Lethrinidae

Lethrinus 204 204

34 Lutjanidae

Lutjanus 15 25 41

35 Menidae

Mene maculata 51 51

36 Microcanthidae

Microcanthus 51 51

37 Microdesmidae

Ptereleotris 15 8 23

38 Monacanthidae

Anacanthus 15 15

Monacanthus 25 25 51

39 Mugilidae

Liza 76 76

Mugil 25 25

40 Mullidae

Upeneus 15 201 227 443

41 Nemipteridae

Pentapodus 25 102 127

42 Ophichthidae

Ophichthidae sp 25 25

43 Opistognathidae

Opistognathus 31 102 102 234

44 Pempherididae

Parapriacanthus 25 25

45 Percophidae

Bembrops 25 25

46 Pinguipedidae

Parapercis 841 51 255 1,146

47 Platycephalidae

Platycephalid sp 25 25

48 Plesiopidae


(2)

49 Polynemidae

Polydactilus 51 161 204 416

50 Pomacanthidae

Centropygae 51 51

Pomacanthidae sp 51 51

Pomacanthus 153 153

51 Pomacentridae

Abudefduf 51 33 76 25 186

Chromis 64 250 331 242 887

Pomacentrus 155 255 51 560 25 1,047

52 Priacanthidae

Priacanthus 8 51 59

53 Pseudochromidae

Pseudochromis 25 25 51

54 Samaridae

Samariscus 51 51

55 Scaridae

Scarus 102 25 25 153

56 Scatophagidae

Selenotoca 51 51

57 Schindleriidae

Schindleria 8 23 15 46

58 Scombridae

Gramnatocynus 25 25

Scombridae sp 51 51 102

59 Serranidae

Anthinae Serranidae sp 51 51

Epinephelus 15 110 25 150

60 Siganidae

Siganus 85 25 110

61 Sillaginidae

Sillago 51 102 153

62 Solenostomidae

Solenostomus 41 204 102 346

63 Sparidae

Argyrops 76 127 204

Sparidae sp1 102 102

Sparidae sp2 51 51

64 Synodontidae

Harpadon 25 25

65 Terapontidae

Terapon 272 25 153 127 577

66 Tetraodontidae


(3)

67 Triglidae

Synagops 25 25

68 Tripterygiidae

Enneaptygius 102 102

69 ui

ui 296 466 112 280 206 1,360

70 Xenisthmidae


(4)

Lampiran 2. Hasil pengukuran kualitas lingkungan selama penelitian

TANGGAL STASIUN KA NUTRIEN (mg/m

3)

suhu pH salinitas NO3 PO4 Si(OH)

2-Jun 1 30.05 7.35 30.00 0.72 0.02 1.79

2 30.03 7.30 30.00 0.62 0.03 1.99

3 30.68 7.30 31.00 0.22 0.03 0.95

4 30.40 7.43 30.00 0.24 0.02 1.32

5 30.28 7.35 30.00 0.24 0.05 1.71

Rata-rata 30.29 7.35 30.20 0.41 0.03 1.55 15-Jun 1 26.16 6.76 30.00 0.06 0.01 0.99

2 31.00 6.77 30.00 0.08 0.01 1.14

3 29.45 6.81 32.00 0.13 0.02 0.75

4 30.75 6.59 33.00 0.20 0.06 0.74

5 29.10 6.81 31.00 0.10 0.02 0.84

Rata-rata 29.29 6.75 31.20 0.11 0.02 0.89 5-Jul 1 31.00 7.42 30.00 0.12 0.03 1.79

2 30.90 7.53 30.00 0.10 0.05 1.99

3 29.75 7.53 32.00 0.12 0.04 0.95

4 29.75 7.53 33.00 0.11 0.03 1.32

5 30.50 7.53 31.00 0.12 0.05 1.71

Rata-rata 30.38 7.51 31.20 0.11 0.04 1.55 21-Jul 1 29.75 6.57 30.00 0.15 0.02 0.16

2 32.75 6.51 30.00 0.16 0.07 0.01

3 29.20 6.49 32.00 0.26 0.03 0.03

4 32.75 6.60 30.00 0.22 0.27 0.03

5 28.80 6.65 30.00 0.15 0.02 0.05

Rata-rata 30.65 6.56 30.40 0.19 0.08 0.06 5-Aug 1 29.75 6.57 30.00 0.34 0.02 1.36

2 32.75 6.51 30.00 0.30 0.01 1.04

3 29.20 6.49 32.00 0.28 0.03 1.32

4 32.75 6.60 30.00 0.26 0.02 0.61

5 28.80 6.65 30.00 0.26 0.04 0.50

Rata-rata 30.65 6.56 30.40 0.29 0.02 0.96 26-Aug 1 31.00 6.72 31.00 0.07 0.07 0.55

2 31.25 6.72 30.00 0.11 0.12 0.50

3 29.50 6.78 32.00 0.16 0.06 0.36

4 30.50 6.76 31.00 0.22 0.12 0.45

5 30.25 6.72 32.00 0.18 0.05 0.30

Rata-rata 30.50 6.74 31.20 0.15 0.08 0.43 19-Sep 1 31.00 6.72 31.00 0.18 0.06 0.55

2 31.25 6.72 30.00 0.14 0.07 0.03


(5)

TANGGAL STASIUN KA NUTRIEN (mg/m

3)

suhu pH salinitas NO3 PO4 Si(OH)

19-Sep 4 30.50 6.76 31.00 0.46 0.04 1.01

5 30.25 6.72 32.00 1.69 0.03 1.10

Rata-rata 30.50 6.74 31.20 0.52 0.05 0.56 5-Oct 1 29.25 7.56 31.00 0.15 0.04 1.01

2 29.03 7.51 30.00 0.10 0.05 1.12

3 29.50 7.42 32.00 0.08 0.00 0.88

4 29.70 7.41 31.00 0.06 0.00 0.92

5 29.15 7.46 32.00 0.11 0.02 1.11

Rata-rata 29.33 7.47 31.20 0.10 0.02 1.01 18-Oct 1 29.95 7.25 30.00 0.39 0.07 1.56

2 30.00 7.20 32.00 0.10 0.05 0.88

3 30.60 7.28 31.00 0.08 0.00 0.79

4 30.00 7.25 32.00 0.06 0.00 0.88

5 29.90 7.30 30.50 0.11 0.02 0.88

Rata-rata 30.09 7.26 31.10 0.15 0.03 1.00 19-Nov 1 29.95 6.98 30.00 0.15 0.04 1.01

2 30.00 7.20 30.00 0.10 0.05 1.12

3 30.60 6.98 32.00 0.08 0.00 0.88

4 30.00 7.30 30.00 0.06 0.00 0.92

5 29.90 7.20 30.00 0.11 0.02 1.11


(6)

Lampiran 3. Hasil perhitungan indeks komunitas (keanekaragaman, keseragaman dan dominasi) selama penelitian.

1.

Indeks Keanekaragaman (H’)

St.1 St.2 St.3 St.4 St.5

Juni 1.49 2.41 2.29 0.56 1.04

Juli 2.67 2.48 2.51 3.24 2.23

Agustus 1.71 1.35 1.97 1.87 1.81

September 1.33 1.16 1.37 1.81 1.86

Oktober 1.94 2.34 1.62 2.58 2.51

November 1.63 1.10 0.00 2.06 0.69

2.

Indeks Keseragaman (E)

St.1 St.2 St.3 St.4 St.5

Juni 0.93 0.81 0.87 0.29 0.65

Juli 0.91 0.84 0.93 0.93 0.93

Agustus 0.88 0.69 0.82 0.90 0.87

September 0.96 0.65 0.99 0.87 0.78

Oktober 0.81 0.89 0.78 0.89 0.95

November 0.91 1.00 0.94 1.00

3.

Indeks Dominasi (D)

St.1 St.2 St.3 St.4 St.5

Juni 0.25 0.13 0.13 0.79 0.50

Juli 0.09 0.11 0.10 0.05 0.13

Agustus 0.23 0.39 0.22 0.18 0.21

September 0.28 0.47 0.26 0.21 0.25

Oktober 0.21 0.12 0.28 0.10 0.10