Composition, Abundance and Distribution of Fish Larvae in Pelawangan Timur Esturine, Segara Anakan Cilacap

(1)

KOMPOSISI, KELIMPAHAN DAN DISTRIBUSI LARVA IKAN

PADA ESTUARIA PELAWANGAN TIMUR

SEGARA ANAKAN,CILACAP

ASTRI SURYANDARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Komposisi, Kelimpahan dan Distribusi Larva Ikan pada Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan, Cilacap adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

Astri Suryandari C251090101


(3)

ABSTRACT

ASTRI SURYANDARI. Composition, Abundance and Distribution of Fish

Larvae in Pelawangan Timur Esturine, Segara Anakan Cilacap. Under

direction of M.MUKHLIS KAMAL and YUNIZAR ERNAWATI

The sustainability of fish resources depends on survival rate of the larval phase. Larval phase are susceptible to environmental disturbances such as changes in water quality. The aims of this study are assess the composition, abundance and distribution of fish larvae in Pelawangan Timur estuarine. The methodolgy of this research is analytical description and fish larval samples were collected by larval net on June-August 2011. The results showed that total larval fish caught is 5186 consist of 21 families and 32 genera. Gobiidae is dominant of total catch (66.62%), followed by Engraulidae (10.72%), Clupeidae (9.99%) and Blennidae (7.60%). Dominant genera are Tridentiger (1836 ind/100m3),

Rhinogobius (392 ind/100m3), Sardinella (316 ind/100m3), Omobranchus

(301ind/100m3), Stolephorus (266 ind/100 m3), Engraulis (159 ind/100m3) and

Herklotsichthys (79 ind/100 m3). Spatial abundance of fish larvae was highest at

station III (Cigintung) and IV (Sapuregel). Tridentiger larval are found in all station with a high abundance compared to other genera, Stolephorus and Engraulis

were abundant at station II (Donan), Sardinella and Herklotsichthys were abundant at station I (Muara Donan), Omobranchus (Blenniidae) larval were caught in all stations with lower abundace than Tridentiger. Tridentiger and

Rhinogobius are residents in estuarine ecosystem and spawned during the

observation. Clupeidae (Sardinella and Herklotsichthys) and Engraulidae

(Stolephorus and Engraulis) migrated into the estuary waters at specific times

associated with the spawning and nursery time. Tridentiger, Stolephorus and

Engraulis larvae can survive in turbid condition. Sardinella and Herklotsichthys

larvae were correlated to salinity and phytoplankton abundance.


(4)

RINGKASAN

ASTRI SURYANDARI. Komposisi, Kelimpahan dan Distribusi Larva Ikan di Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan Cilacap

Keberhasilan hidup pada fase larva menentukan keberhasilan rekrutmen dan ukuran stok sehingga menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan. Estuaria Pelawangan Timur, Segara Anakan merupakan ekosistem estuaria dengan hutan mangrove dan mendapatkan pengaruh pasang surut air laut dari Samudra Hindia serta masukan air tawar dari beberapa sungai di sekitarnya. Secara ekologis, estuaria memiliki fungsi sebagai derah asuhan (nursery ground) bagi larva berbagai jenis ikan laut. Sebagian dari siklus hidup ikan laut tergantung pada ekosistem estuaria. Namun demikian, ekosistem estuaria seperti Pelawangan Timur mengalami banyak tekanan akibat aktvitas antropogenik yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan serta sumberdaya perikanan yang ada di estuaria tersebut. Perubahan kondisi kualitas perairan estuaria Pelawangan Timur selama kurun waktu yang panjang berpengaruh pada komunitas larva ikan. Kajian mengenai komunitas larva ikan diharapkan dapat memberi gambaran tentang kondisi lingkungan estuaria saat ini sebagai habitat asuhan bagi larva ikan yang menjamin keberlanjutan stok ikan di perairan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi, kelimpahan dan distribusi larva ikan serta kaitannya dengan karakteristik habitat di estuaria Pelawangan Timur.

Penelitian berlangsung pada bulan Juni hingga Agustus 2011 di estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Penelitian dibagi kedalam 6 stasiun, penentuan stasiun didasarkan pada masing-masing wilayah estuaria yakni daerah aliran sungai, muara, serta daerah pedalaman (hulu) sungai di antara ekosistem mangrove. Pengambilan sampel larva ikan dilakukan dengan menggunakan jaring larva (Bonggo net) dengan diameter mulut jaring 60 cm dan mesh size 700µm, setiap 2 minggu sekali selama bulan Juni hingga Agustus. Selain pengambilan sampel larva ikan, dilakukan pula pengukuran parameter kualias air yang dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel larva ikan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah komunitas larva ikan yang meliputi komposisi dan kelimpahan jenis larva ikan, distribusi larva ikan baik secara temporal dan spasial. Parameter lingkungan yang diukur meliputi suhu air, kecerahan, kekeruhan (turbiditas), salinitas, pH, oksigen terlarut, N-Nitrat, orthoposfat, plankton dan kecepatan arus.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kelimpahan (larva ikan), Analisis Nodul (distribusi larva ikan dan kaitannya dengan lingkungan), Analisis Komponen Utama (kondisi lingkungan perairan), korelasi Spearman-rank (hubungan antara parameter kualitas air dengan kepadatan larva ikan).

Total larva ikan yang tertangkap selama penelitian adalah 5186 ekor yang terdiri dari 21 famili dan 32 genus. Larva ikan famili Gobiidae merupakan yang terbanyak dari seluruh total tangkapan (66,62%), diikuti oleh famili Engraulidae (10,72%), Clupeidae (9,99%) dan Blennidae (7,60%). Genus yang dominan terdiri dari Tridentiger, Rhinogobius, Sardinella, Omobranchus, Stolephorus,

Engraulis dan Herklotsichthys dengan masing-masing kelimpahan berturut-turut

adalah 1836 ind/100m3

, 392 ind/100m3,, 316 ind/100m3, 301ind/100m3, 266 ind/100 m3, 159 ind/100m3 dan 79 ind/100m3.


(5)

Kelimpahan larva ikan secara umum paling tinggi pada bulan Juni kemudian menurun pada bulan Juli dan Agustus. Jenis larva yang kelimpahannya tinggi adalah Tridentiger (Gobiidae). Larva Tridentiger dan

Rhinogobius selalu tertangkap setiap bulan selama penelitian berlangsung. Larva

ikan Clupeidae (Sardinella dan Herklotsichthys) tertangkap hanya pada bulan Juli sedangkan larva ikan Engrulidae tertangkan dengan kelimpahan tinggi pada bulan Agustus.

Secara spasial kelimpahan larva ikan tertinggi adalah di stasiun III (Cigintung) dan IV Sapuregel. Larva ikan yang kelimpahannya tinggi pada kedua lokasi tersebut adalah larva Tridentiger dan Rhinogobius. Larva ikan Sardinella

(Clupeidae) ditemukan melimpah pada bulan Juli di stasiun I, walaupun larva tersebut ditemukan pula di stasiun II, IV dan Vi namun dalam kelimpahan yang rendah dibandingkan di stasiun I, sedangkan larva ikan Herklotsichthys

(Clupeidae) hanya ditemukan melimpah di stasiun I. Larva Omobranchus

(Blennidae) tertangkap di semua stasiun dengan kelimpahan yang lebih rendah didandingkan Tridentiger.

Secara morfologi, larva ikan yang tertangkap terdiri dari beberapa fase yakni preflexion, flexion dan postflexion. Dilihat dari bentuk morfologinya, larva-larva tersebut masih dalam tahap perkembangan.

Nilai rata-rata kualitas air di semua stasiun di estuaria Pelawangan Timur selama penelitian cukup berfluktuasi. Kondisi parameter kualitas air masih dalam batas yang masih diperbolehkan untuk kehidupan biota air, kecuali untuk nilai kekeruhan yang cukup tinggi di beberapa waktu pengamatan. Berdasarkan analisis komponen utama terlihat bahwa stasiun I (Muara Donan) dicirikan oleh salinitas, pH, kelimpahan fitoplankton dan zooplankton yang tinggi, arus yang besar serta kedalaman perairan yang dalam. Stasiun II dicirikan dengan oksigen terlarut dan kekeruhan yang tinggi, stasiun III dicirikan oleh suhu air yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Stasiun IV dicirikan oleh kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya sedangkan stasiun V dicirikan oleh kandungan N-NO3 dan stasiun VI (Kembang Kuning) ditandai dengan kandungan ortofosfat yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya.

Hasil analisis nodul menunjukkan bahwa larva ikan dari famili Gobiidae seperti Tridentiger, Rhinogobius, memiliki sebaran yang luas di perairan estuaria Pelawangan Timur sedangkan Sardinella dan Herklotsichthys cenderung berada pada bagian estuari yang berhubungan dekat dengan laut. Stolephorusn dan

Engraulis tersebar di perairan estuari namun memiliki kecenderungan berada

pada bagian estuari yang dekat dengan mulut estuari. Larva Omobranchus

tersebar di semua lokasi namun memiliki kecenderungan berada di stasiun I. Larva ikan famili Gobiidae seperti Tridentiger dan Rhinogobius memiliki penyebaran yang luas di semua wilayah perairan Pelawangan Timur dan ditemukan sepanjang waktu penelitian dengan berbagai tahap morfologi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kedua jenis ikan tersebut merupakan ikan estuari Pelawangan Timur yang memijah sepanjang waktu penelitian berlangsung. Hasil analisis korelasi terhadap parameter lingkungan menunjukkan bahwa parameter kekeruhan berkorelasi posistif dengan kelimpahan larva Tridentiger. Hal tersebut menunjukkan bahwa larva ikan

Tridentiger dapat hidup pada kondisi perairan yang keruh.

Larva ikan famili Clupeidae (Sardinella dan Herklotsichthys)) cenderung berada pada daerah estuaria bagian luar yang berhubungan dengan laut. Parameter lingkungan yang berperan terhadap keberadaan larva Clupeidae

(Sardinella dan Herklotsichthy) adalah salinitas dan fitoplankton. Larva

Stolephorus tersebar di semua lokasi penelitian namun kelimpahan teritinggi


(6)

korelasi menunjukkan bahwa parameter lingkungan yang berkorelasi positif dengan kelimpahan larva adalah suhu, kekeruhan dan arus, sedangkan parameter lingkungan yang berkorelasi positif dengan Engraulis adalah kekeruhan. Korelasi positif antara kekeruhan dan kelimpahan larva Stolephorus

dan Engraulis menunjukkan bahwa kedua jenis larva tersebut masih dapat

bertahan hidup pada perairan yang keruh.

Larva ikan famili Gobiidae seperti Tridentiger dan Rhinogobius memiliki sebaran yang luas di estuaria Pelawangan Timur dan memijah sepanjang waktu penelitian. Larva ikan famili Clupeidae (Sardinella dan Herklotsichthys) dan Engraulidae (Stolephorus dan Engraulis) cenderung berada pada bagian estuaria yang dekat dengan laut. Jenis tersebut merupakan ikan yang bermigrasi ke perairan estuaria pada waktu tertentu terkait dengan masa pemijahan dan pengasuhan larva sedangkan famili Gobiidae merupakan penghuni tetap perairan estuaria (sedentary) dan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan di ekosistem tersebut. Parameter lingkungan yang berkorelasi positif terhadap keberadaan larva Clupeidae (Sardinella dan Herklotsichthy) adalah salinitas dan fitoplankton. Kekeruhan perairan tidak menjadi penghalang bagi keberadaan larva Gobiidae (Tridentiger) dan larva Engraulidae (Stolephorus dan Engraulis) di estuaria tersebut.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

KOMPOSISI, KELIMPAHAN DAN DISTRIBUSI LARVA IKAN

PADA ESTUARIA PELAWANGAN TIMUR

SEGARA ANAKAN,CILACAP

ASTRI SURYANDARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

Judul Tesis

: Komposisi, Kelimpahan dan Distribusi Larva Ikan Pada

Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan, Cilacap

Nama

: Astri Suryandari

NIM

: C251090101

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, MSc

Anggota

Dr.Ir.Yunizar Ernawati,MS

Diketahui,

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga

Dekan Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWTatas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul: Komposisi, Kelimpahan dan Distribusi Larva Ikan pada Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan

Cilacap, berhasil diselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam

penyelesaian tesis ini, mulai dari tahap pelaksanaan penelitian, pengolahan data hingga penulisan hasil tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan arahan berbagai pihak

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. M.Mukhlis Kamal,MSc dan Ibu Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku pembimbing, Bapak Dr. Ir. Didik Wahju Hendro Tjahjo selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberi saran serta Bapak Dr. Ir. Enan M.Adiwilaga selaku ketua Program Studi yang berkenan memberikan masukan untuk kesempurnaan tesis ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Balai Riset Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan beserta rekan-rekan atas dukungan dan bantuan selama melaksanakan studi dan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, suami serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar dan administrasi Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP), staf administrasi pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan rekan-rekan SDP 2009 serta semua pihak yang telah membantu penulis selama masa perkuliahan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis merasa bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna sehingga masih dibutuhkan penelitian serupa yang lebih lengkap dan sempurna. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memberi kontribusi bagi pengembangan bidang ichtyoplankton di Indonesia.

Bogor, Agustus 2012


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 9 Juli 1979 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Djoko Sasono dan Surtiningsih. Pada tahun 1997 penulis lulus dari SMA Negri 12 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran dan lulus pada tahun 2002.

Penulis bekerja di Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (BP2KSI) sejak tahun 2003 di Jatiluhur. Pada tahun 2006 penulis menikah dengan Nanang Widarmanto,S.Pi dan telah dikaruniai 1 orang putri yaitu Fadhillah Ahadiana Khairiani

Tahun 2009 penulis diberi kesempatan tugas belajar program magister sains (S2) pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP) Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Dalam usaha menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana, penulis melakukan penelitian dengan judul “Komposisi, Kelimpahan dan Distribusi Larva IKan pada Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan, Cilacap”.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL………. xv

DAFTAR GAMBAR………. xvi

DAFTAR LAMPIRAN……….. xviii

1. PENDAHULUAN………. 1

1.1 Latar Belakang………. 1

1.2 Perumusan Masalah……… 2

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 4

2. TINJAUAN PUSTAKA……… 5

2.1 Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan………... 5

2.2 Biologi Larva………. 6

2.3 Faktor-faktor Lingkugan yang Berperan dalam Kehidupan Larva Ikan... 9

2.4 Pengetahuan Larva Ikan dalam Bidang Perikanan……… 10

2.5 Ekosistem Estuaria dan Asosiasinya dengan Komunitas Ikan…………. 12

3. METODE PENELITIAN………. 14

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian……….. 14

3.2 Alat dan Bahan………. 16

3.3 Metode Kerja……… 16

3.3.1 Prosedur Kerja di Lokasi Penelitian ……….. 16

Pengambilan dan Penanganan Sampel Larva Ikan di Lokasi…… 16

Pengukuran Parameter Lingkungan Perairan………... 17

Pengumpulan Data Hasil Tangkapan………. 18

3.3.2 Prosedur Kerja di Laboratorium……….. 18

3.4 Analisis Data………. 20

3.4.1 Komunitas Larva Ikan……… 20

Kelimpahan Larva Ikan………. 20

Indeks Keanekaragaman……….. 21

Indeks Keseragaman………. 21

Indeks Dominasi………. 22

3.4.2 Karakteristik Habitat Larva Ikan Berdasarkan Parameter Biofisik Kimia Perairan……… 22

3.4.3 Distribusi dan Preferensi Habitat Larva Ikan………. 24

3.4.4 Hubungan Parameter Kualitas Air dengan Larva Ikan………. 25

4. HASIL DAN PEMBAHASAN……… 26

4.1 Komposisi dan Kelimpahan Larva Ikan……….. 26

4.2 Kondisi Lingkungan Perairan Pelawangan Timur……… 32

4.2.1 Kondisi Parameter BioFisika Kimia Perairan Pelawangan Timur… 32 4.2.2 Kondisi Parameter Biofisika Kimia Perairan Pelawangan Timur secara Spasial dan Temporal……… 36

4.2.3 Karakteristik Kondisi Lingkungan di Stasiun Penelitian………. 39

4.3 Distribusi Larva Ikan……….. 42 4.4 Distribusi Larva Ikan dan Hubungannya dengan Kondisi Lingkungan…. 46


(13)

4.5 Komposisi Jenis Ikan di Estuaria Pelawangan Timur……….. 54

4.6 Implikasi Penelitian Larva Ikan di Estuaria Pelawagan Timur bagi Pengelolaan Perikanan………. 55

5. SIMPULAN DAN SARAN……….. 58

5.1 Simpulan……… 58

5.2 Saran……… 58

DAFTAR PUSTAKA……… 60

LAMPIRAN……… 67


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Lokasi stasiun pengambilan contoh ... 15

2. Parameter serta alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian.. ... 16

3. Jenis/Genus, kelimpahan dan persentase larva ikan ... 26

4. Nilai rataan parameter bio-fisika kimia perairan pelawangan timur... 33

5. Korelasi antar variabel lingkungan hasil analisis komponen utama ... 39

6. Diagonalisasi Komponen Utama ... 40

7. Kelompok Larva Ikan Hasil Analisis Cluster ... 48

8. Kelompok ikan berdasarkan siklus hidupnya di ekosistem estuaria ... 54

9. Jenis dan komposisi ikan hasil tangkapan nelayan di Pelawangan Timur, Segara Anakan……… 55


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram alur perumusan masalah ... 4

2. Tahap perkembangan morfologi larva ikan ... 8

3. Peta lokasi ... 14

4. Pengambilan dan penanganan sampel larva ikan ... 17

5. Mikroskop yang digunakan untuk menyortir dan identifikasi; sampel larva yang disimpan dalam botol dengan pengawet alkohol………. ……… 19

6. Hipotesis teknik identifikasi secara morfologi larva ikan ... 20

7. Komposisi famili larva ikan secara temporal ... 29

8. Komposisis famili larva ikan secara spasial ... 29

9. Komposisi morfologi larva ikan secara temporal ... 20

10. Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi di lokasi penelitian ... 32

11. Nilai kecerahan selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur………...…. 36

12. Kecepatan arus selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur……… ... 37

13. Nilai pH selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di pelawangan timur ... 37

14. Nilai kekeruhan (turbiditas) selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur………... 38

15. Kadar oksigen terlarut selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur ... 38

16. Salinitas selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur ... 39

17. Grafik Analisis Komponen Utama pada sumbu faktorial 1 dan 2 (F1 dan F2) ... 41


(16)

18. Grafik Analisis Komponen Utama pada sumbu

faktorial 1 dan 3 (F1 dan F3), ... 41

19. Distribusi larva ikan dominan di lokasi penelitian ... 43

20. Komposisi morfologi larva ikan secara spasial ... 44

21. Kelimpahan larva ikan pada bulan Juni... 45

22. Kelimpahan larva ikan pada bulan Juli ... 46

23. Kelimpahan larva ikan pada bulan Agustus………... 46

24. Pengelompokan stasiun berdasarkan parameter biofisika kimia perairan 47 25. Pengelompokan larva ikan dengan analisis cluster………. 48

26. Analisis nodul berdasarkan indeks constancy... ... 49

27. Analisis nodul berdasarkan indeks fidelity... 49

28. Peta kawasan lindung dan lokasi penelitian di Pelawangan Timur………. 56


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kelimpahan Larva Ikan (ind/ 100 m3) di Stasiun I, II, III………. 67

2. Kelimpahan Larva Ikan (ind/100 m3) di stasiu IV, V, VI... 68

3. Kualitas Air Bulan Juni di Lokasi Penelitian ... 69

4. Kualitas Air Bulan Juli di Lokasi Penelitian ... 70

5. Kualitas Air Bulan Agustus di Lokasi Penelitian ... 71

6. Data Kelimpahan Fitoplankton (sel/l) Bulan Juni ... 72

7. Data Kelimpahan Fitoplankton (sel/l) Bulan Juli ... 73

8. Data Kelimpahan Fitoplankton (sel/l) Bulan Agustus ... 74

9. Korelasi Spearman Larva Tridentiger dan Rhinogobius dengan parameter kualitas air………. 75

10. Korelasi Spearman Engraulis dan Stolephorus dengan parameter kualitas air ... 76

11. Korelasi Spearman Sardinella dan Herklotsichthys dengan parameter kualitas air……….. 77

12. Korelasi spearman Omobranchus dengan parameter kualitas air ... 78

13. Foto Beberapa Larva Ikan ... 79

14. Lokasi Penelitian ... 80


(18)

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberhasilan hidup pada fase larva menentukan keberhasilan rekrutmen dan ukuran stok sehingga menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan. Fase larva merupakan bagian dalam siklus hidup ikan yang rentan terhadap gangguan lingkungan seperti perubahan kualitas perairan. Dengan demikian kajian mengenai larva ikan beserta habitat dan dinamikanya menjadi salah satu unsur yang diperlukan bagi pengelolaan perikanan diantaranya dalam penentuan kawasan fisheries refugia ikan, pemantauan kelimpahan populasi ikan, pengembangan budidaya ikan, serta pemantauan kualitas lingkungan perairan (Mitchell, 1994; Quist et al.,2004; UNEP, 2007)

Sebagian besar kelangsungan hidup ikan laut pada fase larva tidak dapat dipisahkan dengan ekosistem estuaria. Estuaria merupakan wilyah pesisir semi tertutup yang memiliki hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Ekosistem estuaria dengan produktivitas yang tinggi merupakan salah satu habitat yang memiliki daya dukung untuk berkembangbiaknya berbagai jenis biota akuatik termasuk ikan. Ekosistem estuaria seringkali berasosiasi dengan hutan mangrove yang secara ekologi berperan sebagai habitat asuhan (nursery ground), habitat pemijahan (spawning ground) dan habitat mencari makan (feeding ground) bagi biota akuatik seperti ikan, udang dan gastropoda (Beck et al., 2001; Elliot and Hemingway, 2002; Tse et al., 2008).

Pelawangan Timur merupakan bagian timur dari ekosistem estuaria Segara Anakan, Cilacap. Segara Anakan merupakan ekosistem yang unik sebagai hasil interaksi antara ekosistem perairan laguna, hutan mangrove, daratan (termasuk Pulau Nusa Kambangan) dan ekosistem laut. Estuaria Pelawangan Timur dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan mendapat pasokan air tawar yang berasal dari Sungai Sapuregel, Donan dan Sungai Kembang Kuning. Selain itu, estuaria Pelawangan Timur juga memiliki vegetasi mangrove yang masih cukup baik.


(19)

2 Masukan air tawar dari beberapa aliran sungai di Pelawangan Timur membawa sedimen serta nutrien berupa bahan-bahan organik dan anorganik tersuspensi yang menyebabkan kondisi perairan menjadi keruh dan mempercepat pendangkalan. Perubahan kualitas perairan karena sedimentasi serta pencemaran dari hasil aktivitas antropogenik dan industri berpengaruh terhadap perkembangan telur dan larva ikan sehingga mengganggu keberhasilan rekrutmen dan keberlanjutan sumberdaya ikan (Griffin et al., 2009; Mc Kinley, et al., 2011).

Penelitian mengenai larva ikan di Segara Anakan telah dilakukan oleh Nursid (2002) dan Sugiharto (2005). Hasil penelitian Nursid (2002) menyebutkan bahwa sebanyak 23 famili dan 38 genus larva ikan ditemukan di perairan laguna Segara Anakan dengan komposisi terbesar adalah larva Gobiidae kemudian Engraulidae dan Apogonidae. Menurut Nursid (2002) beberapa parameter lingkungan yang secara nyata berperan dalam kehidupan larva ikan adalah salinitas dan kekeruhan. Penelitian yang dilakukan Sugiharto (2005) mendapatkan sebanyak 12 jenis dari 4 famili larva ikan dengan komposisi yang terbesar adalah dari famili Gobiidae. Menurut Sugiharto (2005), kecepatan arus memegang peranan dalam keberadaan dan sebaran larva ikan sedangkan faktor fisik-kimia air lainnya seperti kekeruhan, salinitas, oksigen terlarut dan temperatur belum merupakan faktor yang berpengaruh pada distribusi larva.

Perubahan kondisi perairan dan dinamika lingkungan memungkinkan adanya perubahan terhadap kehidupan larva termasuk jenis, kelimpahan dan sebarannya di estuaria, sehingga adanya penelitian berikutnya diharapkan dapat memberikan informasi terkini mengenai sumberdaya larva ikan dan fungsi ekologis ekosistem tersebut sebagai daerah asuhan.

1.2 Perumusan Masalah

Daerah estuaria merupakan habitat asuhan (nursery ground) bagi berbagai jenis ikan laut (Velascho, 1996; Elliot and Hemingway, 2002; Bonecker et al.,2007). Estuaria Pelawangan Timur, Segara Anakan merupakan ekosistem estuaria yang mendapatkan pengaruh pasang surut air laut dari Samudra Hindia dan masukan air tawar dari beberapa sungai di sekitarnya serta memiliki vegetasi mangrove. Sebagai ekosistem estuaria dengan komunitas mangrove, Segara Anakan merupakan habitat asuhan bagi berbagai jenis ikan (Dudley, 2000; Kohno dan Sulistiono 1994 dalamSugiharto dkk., 2007).


(20)

3 Ekosistem estuaria secara alami selama kurun waktu tertentu dapat mengalami perubahan kondisi kualitas perairan seperti meningkatnya kekeruhan dan sedimentasi yang disebabkan masukan air tawar dari daratan yang membawa sedimen serta bahan organik dan anorganik tersuspensi. Hal ini terjadi pula di perairan Pelawangan Timur. Meningkatnya kekeruhan (turbiditas) perairan dapat menghalangi penetrasi sinar matahari di perairan sehingga mengganggu proses fotosintesis fitoplankton yang merupakan sumber makanan bagi organisme akuatik termasuk larva ikan selain itu peningkatan turbiditas dan sedimen tersuspensi dapat mengurangi oksigen terlarut dalam kolom air sehingga mengganggu proses pernafasan bahkan meningkatkan mortalitas telur dan larva ikan (Ward, 1992; Wilber and Clarke, 2001; North and Houde, 2001). Proses sedimentasi yang terus menerus mengakibatkan pendangkalan dan mempersempit ketersediaan habitat untuk bertelur, mengurangi aktivitas bertelur dan meningkatkan mortalitas telur dan larva ikan (Ryan, 1991). Selain proses alami, perubahan kualitas lingkungan estuaria semakin dipercepat oleh tekanan limbah dari kegiatan industri dan pemukiman di sekitarnya. Kawasan Pelawangan Timur terutama di sepanjang Donan sampai Kebon Sayur merupakan kawasan industri, pemukiman dan pelabuhan yang menghasilkan limbah ke perairan. Masukan bahan organik dan anorganik dari aktivitas tersebut yang berinteraksi dengan karakter fisik estuaria seperti pasang surut, masukan air tawar dari sungai dan angin semakin meningkatkan kekeruhan, sedimentasi serta eutrofikasi sehingga mempengaruhi kualitas perairan estuaria yang akhirnya mempengaruhi sintasan larva ikan. Keberhasilan larva ikan dalam bertahan hidup hingga mencapai tahap daur hidup selanjutnya menentukan proses rekrutmen yang menjamin keberlanjutan stok.

Perubahan kondisi kualitas perairan estuaria Pelawangan Timur selama kurun waktu yang panjang tentunya berpengaruh pada komunitas larva ikan. Dengan demikian, kajian mengenai komunitas larva ikan diharapkan dapat pula memberikan gambaran tentang kondisi lingkungan estuaria saat ini sebagai habitat larva ikan yang menjamin keberlanjutan stok ikan di perairan tersebut. Alur perumusan masalah dalam penelitian ini dideskripsikan pada Gambar 1 .


(21)

4 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi, kelimpahan dan distribusi larva ikan di ekosistem estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan dalam kaitannya dengan kondisi lingkungan di ekosistem tersebut. Manfaat penelitian adalah untuk menginventarisir jenis sumberdaya ikan serta mengetahui karakteristik habitat jenis ikan yang hidup di daerah tersebut sebagai salah satu informasi dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Segara Anakan.

Gambar 1. Alur perumusan masalah Ekosistem Estuaria Pelawangan Timur Proses Hidrodima nika: pasang surut,masu kan air Aktivitas Antropogenik: pelabuhan, industri,pemuki man

Faktor biofisik kimia Perairan Fisika: arus, suhu, kecerah an Kimia: Salinitas, DO, turbiditas, nitrat, ortofosfat Biologi: Fitoplankton, predator, competitor SD Larva Ikan: Sedentary, migratory, occasional Perubahan Kualitas Perairan Turbiditas, sedimentasi, eutrofikasi Pertumbuhan Mortalitas Sintasan kelimpahan Keberlanjutan Stok ikan estuaria Segara Anakan I N P U T O U T P U T P R O S E S


(22)

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan

Estuaria Pelawangan Timur merupakan bagian timur dari Kawasan Segara Anakan, Cilacap. Segara Anakan merupakan satu-satunya ekosistem estuari dengan hutan mangrove yang terletak di Kabupaten Cilacap di selatan Jawa. Segara Anakan berhubungan dengan Samudra Hindia melalui dua buah inlet yaitu Pelawangan Barat dan Pelawangan Timur. Bagian barat Segara Anakan (Pelawangan Barat), terletak pada sudut barat daya laguna dimana lebar dan panjang salurannya lebih pendek dibandingkan bagian timur (Pelawangan Timur). Estuaria Pelawangan Timur merupakan cabang dari Sungai Kembang Kuning yang bersatu dengan Sungai Sapuregel dan Donan dan akhirnya bermuara di Teluk Penyu (Djuwito, 1985).

Perairan Pelawangan Timur memiliki kedalaman air antara 5-10m (White et al.,1989). Inlet Pelawangan Timur dekat dengan pelabuhan Cilacap dan merupakan saluran yang menghubungkan laguna ke Samudera Hindia (Jennerjahn et al., 2007). Perairan Pelawangan Timur terdiri dari kawasan lindung Sapuregel sampai wilayah Karang Bolong (ujung timur pulau Nusakambangan). Luas perairan kawasan lindung Pelawangan Timur ±650 Ha. Luas perairan Sapuregel ± 120 Ha dan perairan Kembang Kuning ± 40 Ha (Hadi, 1998 dalam Sugiharto, 2005). Sedangkan perairan Donan sejak tahun 1978 ditetapkan sebagai kawasan lalu lintas kapal-kapal tanker sehingga kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan di perairan tersebut tidak diijinkan lagi (Sugiharto, 2005).

Hutan mangrove di Segara Anakan merupakan satu-satunya hutan mangrove yang utama di Pulau Jawa. Luas hutan mangrove di Segara Anakan sekitar 9.600 ha (Ardli, 2007). Sebanyak 26 jenis mangrove terdapat di Segara Anakan (Pribadi, 2007). Kawasan Sapuregel, Pelawangan Timur memiliki hutan mangrove dengan kerapatan yang cukup tebal dan terdiri dari beberapa spesies mangrove yang biasanya merupakan formasi dari hutan yang cukup matang dengan substrat yang stabil (Pribadi, 2007). Mangrove merupakan daerah makanan (feeding ground) dan asuhan (nursery ground) bagi beberapa jenis ikan dan udang baik ikan yang menetap di estuaria atau pun ikan laut yang


(23)

6 melakukan migrasi ke ekosistem mangrove dalam daur hidupnya (King, 2007; Laegdsgaard & Johnson, 2001).

Perubahan kondisi lingkungan seperti perubahan kawasan sekitar perairan menjadi area pertanian banyak ditemukan di bagian barat Segara Anakan, namun demikian bagian timur juga mengalami masalah yang sama walaupun dalam skala yang lebih kecil (Ardli, 2007).

Komunitas ikan di Segara Anakan cukup beragam. Sebanyak 45 jenis ikan yang termasuk dalam 37 famili ditemukan di Segara Anakan (Ecology team, 1984;Djuwito, 1985). Dari 45 jenis tersebut 17 jenis merupakan jenis ikan yang selalu melakukan migrasi (migratory species) ke Segara Anakan, 12 jenis merupakan jenis yang menetap (residential species) di perairan tersebut sedangkan 16 jenis lainnya merupakan jenis ikan yang sesekali memasuki perairan tersebut (Ecology team, 1984). Sedangkan menurut Dudley (2000), dari hasil tangkapan di Segara Anakan, diperoleh 60 jenis ikan dan ditemukan pula juvenile dari Scianidae, Leioghnatidae, Anguillidae, Ariidae, Carangidae, Clupeidae, Engraulidae, Haemulidae, Sparidae, Synodontidae, Teraponidae dan Trichiuridae.

2.2 Biologi Larva Ikan

Dalam siklus hidupnya, ikan mengalami suatu fase yang disebut larva. Larva ikan merupakan fase atau tingkatan ikan setelah telur menetas. Awal daur hidup ikan meliputi stadia telur dan perkembangannya, yaitu stadia larva dan juvenil (Effendie, 1997). Stadia telur dan larva ikan dapat digolongkan sebagai plankton yaitu sebagian dari siklus hidupnya merupakan plankton sementara atau meroplankton (Odum, 1993).

Larva ikan yang baru menetas ditandai dengan adanya yolk sac (kantong kuning telur) yang terletak di bagian bawah depan dan sebuah sirip tak berjari yang mengelilingi badan larva, mulai dari punggung, ekor sampai pada bagian bwah sebatas belakang anus. Pada beberapa jenis ikan batas sirip keliling terletak tepat di belakang kuning telur (Romimohtarto & Juwana, 2004).

Secara garis besar, perkembangan larva dibagi menjadi dua fase yaitu prolarva dan post larva (Russel,1976 dalam Bensman,1990). Pro larva merupakan fase dimana larva masih mempunyai kantung kuning telur, tubuhnya transparan dengan beberapa butir pigmen yang fungsinya belum diketahui


(24)

7 (Gambar 2a). Sirip dada dan ekor sudah ada tetapi belum sempurna bentuknya dan kebanyakan prolarva yang baru keluar dari cangkang telur ini tidak mempunyai sirip perut yang nyata melainkan hanya bentuk tonjolan saja. Sistem pernafasan dan peredaran darah pun belum sempurna sedangkan mulut dan rahang belum berkembang serta ususnya masih berupa tabung yang lurus. Makanannya didapat dari sisa kuning telur yang belum habis diserap.

Postlarva adalah fase larva mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organ-organ yang telah ada sehingga pada masa akhir dari postlarva tersebut secara morfologi sudah mempunyai bentuk hampir seperti induknya. Sel-sel pigmen berkembang menurut pola-pola yang menjadi karakter berbagai jenis post larva ikan. Tanda-tanda pengenal lainnya adalah bentuk dan ukuran badan serta bentuk ukuran sirip. Pada perkembangan larva lebih lanjut, sirip ekor berkembang diikuti oleh pemisahan sirip punggung dan sirip dubur. Vertebrata dan tulang-tulang iga mengeras dan dengan perubahan –perubahan pigmentasi badan maka post larva mencapai tingkat benih.

Pada fase post larva secara morfologi larva ikan mengalami beberapa tahap perkembangan hingga dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu preflexion, flexion dan postflexion. Preflexion adalah bentuk tahap perkembangan larva dimana mulai terbentuk fleksi (lekukan) pada bagian notochord (Gambar 2 B). Flexion adalah bentuk tahap perkembangan yang ditandai dengan adanya fleksi pada notochord dan berakhir pada tulang hypural membentuk posisi vertical (Gambar 2C) sedangkan postflexion adalah tahap perkembangan larva yang ditandai dengan pembentukan sirip ekor (yang merupakan elemen hypural vertical) hingga perkembangan bagian meristik eksternal seperti pada bagian sirip (Gambar 2 D).


(25)

8 A. pro larva dengan kantung kuning

telur (yolk sac) B. fase preflexion

C. fase flexion D. fase postflexion

Gambar 2. Tahap perkembangan morfologi larva ikan (sumber : Kendall et al.,1983)

Beberapa sifat taksonomik yang digunakan untuk mengenal larva ikan meliputi:

a) Berbagai struktur atau bentuk bagian tubuh, seperti mata, kepala, badan, lambung dan sirip (khususnya sirip dada)

b) Urutan munculnya sirip-sirip dan kedudukannya, fotofora dan unsur tulang

c) Ukuran larva

d) Pigmentasi (letak, jumlah dan bentuk melanofora)

e) Tanda-tanda yang sangat khas seperti lipatan sirip yang membengkak, sirip yang memanjang dan terubah, jenggot pada dagu, duri pada pre operculum dan sebagainya

Karakter melanophora merupan ciri diagnostik utama dalam mengidentifikasi spesies pada stadia post larva. Perbedaan bentuk dan pola melanophora dan distribusinya dapat dibagi dengan jelas. Kesamaan antar spesies dapat dilihat dari ada atau tidaknya melanophora atau posisi dimana melanophora berada. Lokasi melanophora biasanya terletak di bagian eksternal dari epidermis atau dermis, bagian internal peritoneum, di atas atau di bawah kolom vertebral dan di daerah otoctystic.


(26)

9 2.3 Faktor-Faktor Lingkungan yang Berperan dalam Kehidupan Larva Ikan

Keberadaan dan sebaran hewan laut termasuk plankton larva tidak terjadi begitu saja, tetapi sebagai hasil dari kejadian-kejadian yang teratur yang berjalan terus menerus berupa faktor-faktor lingkungan tunggal atau ganda yang menata bentuk sebaran, kelulushidupan dan kepadatan hewan laut tersebut. Beberapa yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup larva adalah kualitas perairan, makanan, deteksi predator dan kemampuan menghindar (Esteves et al., 2000; Garcia et al., 2001; Patrick, 2008). Faktor-faktor lingkungan laut yang diketahui mempengaruhi kehidupan hewan laut termasuk pada fase larva adalah faktor fisik, kimiawi dan biologi. Fakor fisik terdiri dari suhu, tingkat keasinan (salinitas), tekanan, penyinaran atau cahaya, gelombang, arus dan pasang surut.

Pengaruh suhu pada plankton larva tidak seragam di seluruh perairan dan terhadap masing-masing kelompok atau populasi. Suhu mempengaruhi perilaku larva seperti kecepatan berenang, pertumbuhan dan durasi larva seperti yang ditemukan pada larva ikan karang Amphiprion melanopus (Green & Fisher, 2004).

Perairan pesisir seringkali mengalami fluktuasi salinitas. Hewan akuatik yang hidup di perairan ini sudah terbiasa dengan kondisi fluktuasi tersebut namun bagi sebagian lainnya termasuk pada fase larva tidak dapat mentolerir kondisi tersebut sehingga dengan demikian faktor salinitas akan mempengaruhi kehidupannya. Penelitian yang dilakukan Barletta-Bergan et al. (2002), menunjukkan bahwa fluktuasi salinitas mempengaruhi variasi jumlah spesies dan struktur komunitas larva ikan di Estuaria Caete’.

Cahaya mempunyai pengaruh secara tidak langsung yakni sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis fitoplanktton yang menjadi tumpuan hidup hewan laut karena menjdi sumber makanan. Selain itu faktor cahaya mempengaruhi dalam pergerakan ruaya (vertical migration). Sebates (2004) menemukan bahwa distribusi larva ikan secara vertikal pada siang hari berada pada kolom air bagian atas sedangkan pada malam hari larva ikan lebih banyak ditemukan di lapisan air yang lebih dalam.

Arus memainkan peranan penting pada larva ikan terutama pada pola distribusi. Arus akan membawa larva ikan masuk atau pun keluar dari perairan estuaria. Adakalanya arus membawa larva ikan yang masih rentan ke habitat yang ekstrim sehingga apabila larva belum siap terhadap kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidupnya (Joyeux, 1999).


(27)

10 Faktor kimiawi yang berperan bagi kehidupan biota laut termasuk larva ikan adalah oksigen terlarut, karbondioksida, pH (derajat keasaman) dan senyawa organik lainnya. Oksigen terlarut dibutuhkan oleh organisme perairan dalam metabolism tubuhnya. Oksigen terlarut dibutuhkan dalam proses respirasi semua organisme termasuk larva ikan. Oksigen terlarut juga berpengaruh dalam proses oksidasi senyawa kimia lainnya di perairan. Derajat keasaman (pH) mempengaruhi proses kimiawi yang terjadi di perairan. Penurunan pH perairan laut menyebabkan gangguan reoroduksi pada biota laut seperti kelompok Echinodermata, ikan dan udang (Ros, et al.,2011).

Faktor biologi yang berperan dalam kehidupan larva ikan diantaranya adalah makanan, predator dan kompetitor (Romimohtarto & Juwana, 1998; Esteves et al., 2000). Makanan bagi larva ikan adalah fitoplankton. Fitoplankton merupakan produsen dalam jaring-jaring makanan di ekosistem perairan, sehingga kelimpahan fitoplankton di perairan menjadi pendukung bagi keberlanjutan sumberdaya larva. Larva ikan sangat rentan terhadap gangguan predator. Predator larva dapat berupa ikan yang lebih besar dan bersifat karnivora dan ubur-ubur. Laju kelulushidupan larva di perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan predator. Kompetitor larva ikan dapat berupa sesama jenis larva ikan, larva biota lainnya atau pun ikan yang lebih besar. Persaingan selalu terjadi antar organisme dalam suatu ekosistem demikian pula dengan larva ikan. Persaingan dapat terjadi dalam memperebutkan sumberdaya makanan yaitu fitoplankton ataupun persaingan ruang (habitat) yang ditempati. Fitoplankton bukan hanya sumber makanan bagi larva ikan saja, namun juga bagi organisme perairan lainnya termasuk larva udang, kepiting, Moluska serta ikan-ikan herbivora dan omnivora yang telah dewasa.

2.4 Pengetahuan Larva Ikan dalam Bidang Perikanan

Pengetahuan mengenai awal daur hidup ikan (larva ikan) mempunyai kaitan erat dengan berbagai aplikasi dalam bidang perikanan seperti budidaya, estimasi jumlah stok ikan, monitoring kondisi kualitas perairan serta penetapan kawasan konservasi dan refugia ikan. Upaya untuk mempelajari larva dan telur ikan sudah dikenal sejak beberapa tahun lampau bahkan di Indonesia lebih dari 100 tahun yang lalu di daerah pesisir Pulau Jawa diketahui adanya usaha pertambakan bandeng. Pada masa itu banyak orang yang mengumpulkan nener bandeng di sepanjang pantai untuk bibit yang dibesarkan di dalam tambak


(28)

11 sampai ukuran yang dapat dipanen. Para pengumpul dengan mudah mengenal nener bandeng yang tak lain adalah fase larva dari ikan bandeng.

Mempelajari variasi kelimpahan dan distribusi larva ikan pada suatu habitat merupakan hal penting untuk memahami mekanisme dalam proses rekrutmen serta faktor-faktor yang mempengaruhinya (Mitchell, 1994; Quist, et al., 2004; Shoji & Tanaka, 2008). Informasi mengenai distribusi, kelimpahan dan pertumbuhan larva ikan di perairan laut merupakan hal penting yang diperlukan dalam pengelolaan perikanan (Van der Lingen & Hugget, 2003). Pengetahuan mengenai pertumbuhan dan mortalitas larva ikan di suatu habitat perairan diperlukan untuk dapat mengetahui laju serta tingkat keberhasilan rekrutmen yang menjamin keberlanjutan stok (Smith, 1981). Selain itu, dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan di suatu habitat seringkali dilakukan upaya perlindungan habitat seperti menetapkan daerah perlindungan laut (Marine Protected Area) dan kawasan Perikanan Refugia (Fisheries Refugia). Salah satu faktor penting dalam penetapan kawasan tersebut adalah informasi mengenai daerah asuhan yang diindikasikan dengan keberadaan larva dan telur ikan di daerah tersebut (Ward, et al., 2001; UNEP, 2007).

Pengetahuan mengenai transpor larva dari satu habitat seperti mangrove ke habitat lain seperti terumbu karang menjelaskan keterkaitan antara ekosistem tersebut dan peranannya sebagai habitat asuhan yang potensial bagi ikan sehingga perlu dipertahankan kondisinya (Huijbers,et al., 2008). Kondisi kelimpahan dan komposisi larva ikan di suatu habitat juga dapat menjadi indikator kualitas suatu habitat (Mc Kinley et al., 2011). Selain itu, pengetahuan mengenai larva ikan terutama ikan ekonomis penting juga penting dalam pengembangan kegiatan budidaya (The Research Council of Norway, 2009). Dengan demikian mempelajari fase larva ikan menjadi bagian yang cukup penting dalam pengelolaan perikanan.

2.5 Ekosistem Estuaria dan Asosiasinya dengan Komunitas Ikan

Menurut Blaber (2000), estuaria merupakan perairan semi tertutup yang memiliki hubungan dengan laut dimana perairan tersebut mendapatkan pengaruh dari air laut dan air tawar dari daratan. Wilayah estuaria dapat berupa muara sungai dan delta-deltabesar, hutan mangrove dekat estuaria, teluk dan rawa pasang surut.


(29)

12 Ekosistem estuaria seringkali berasosiasi dengan mangrove sehingga sering disebut dengan ekosistem mangrove. Mangrove didefinisikan sebagai vegetasi dengan tipe batang keras yang berada di lingkungan laut dan payau (Giesen et al., 2006). Ekosistem mangrove memiliki fungsi penting bagi kehidupan berbagai jenis ikan termasuk ikan ekonomis penting yakni sebagai habitat pemijahan dan asuhan (Ikejima et al,2003; Giesen et al., 2006). Penelitian yang dilakukan Sasekumar et al. (1992) menemukan sebanyak 119 spesies ikan di daerah mangrove di Selangor, Malaysia yang mayoritas adalah fase juvenile. Sedangkan Tse,et al., (2008) mendapatkan bahwa komunitas ikan memiliki ketergantungan terhadap ekosistem mangrove dalam penyediaan sumber makanan bagi fase larva dan juvenilnya.

McHugh (1984) dalam Dando (1984) dan Kennish (1990)

mengelompokkan ikan-ikan estuaria menjadi 6 kelompok yang menggunakan estuaria sebagai tempat pemijahan, migrasi dan tempat hidupnya yaitu:

1. Passage Migrants, yaitu spesies anadromus dan katadromus misalnya Salmoidae, Petromyzonidae dan Anguilla spp.

2. Spesies ikan tawar yang sering secara musiman masuk ke daerah yang bersalinitas rendah untuk mencari makan. Ikan-ikan ini merupakan ikan dari daerah air tawar yang masuk ke dalam estuaria karena banjir, contohnya adalah Carrasius carrasius, Leuciscus leuciscus, Thymallus thymallus. Beberapa diantara spesies tersebut misalnya Leuciscus leuciscus membentuk populasi yang permanen di daerah pasang surut air tawar di sepanjang estuaria.

3. Spesies ikan air laut yang masuk ke mulut estuaria sebagai opportunist feeders. Ikan-ikan ini sering masuk dan meninggalkan daerah pasang surut, misalnya ikan dari Estuaria Tamar di S.W. England yakni Squatina squatina, Conger conger dan Scomber scombrus.

4. Ikan estuaria yakni ikan-ikan yang menghabiskan sebagian besar atau seluruh hidupnya di daerah euryhalin. Ikan estuaria yang sesungguhnya, menghabiskan seluruh siklus hidupnya di daerah estuaria, contohnya adalah ikan-ikan gobid seperti Pomatoschistus microps, Fundulus confluentus, dan Hypsoblennius henzti. Ikan-ikan estuaria lain meninggalkan estuaria dalam periode yang singkat, biasanya untuk melakukan pemijahan misalnya ikan Platichthys flesus, Brevoortia tyrannus dan Morone Americana.


(30)

13 5. Ikan laut yang menggunakan estuaria sebagai daerah asuhan (nursery

ground). Ikan-ikan ini merupakan kelompok dominan di daerah estuaria Atlantik, diantaranya Clupea harengus, C.sprattus, Pogonia cromis, Dicentranchus labrax, Solea solea Idan Paralichthys dentatus.

6. Ikan air tawar dan air laut yang masuk ke daerah estuaria dalam bentuk dewasa untuk melakukan pemijahan, contohnya Galaxia spp dan Pseudopleuronectes americanus.

Ekosistem estuaria merupakan jalan masuk dan keluar bagi ikan-ikan diadromus (anadromus dan katadromus). Ikan anadromus menggunakan estuaria sebagai jalan masuk dari laut menuju sungai atau danau, sebaliknya ikan katadromus menggunakan estuaria sebagai jalan keluar dari sungai atau danau untuk bermigrasi ke laut.

Ikan memiliki pola migrasi secara musim (temporal) dan ruang (spasial). Di daerah estuaria pola migrasi ini terlihat jelas. Ikan yang bermigrasi dari air laut ke air tawar untuk bertelur (spesies anadromus) misalnya dari famili Serranidae, Petromyzontidae, Clupeidae, Osemeridae, Salmolidae dan Acipenseridae, sedangkan ikan yang melakukan migrasi dari air tawar ke air laut untuk bertelur (spesies katadromus) seperti Anguilla sp (Kennish,1990). Ikan melakukan migrasi dalam rangka bertelur, mencari makan, kawin dan mencari perlindungan. Menurut Dando (1984), banyak spesies ikan laut yang masuk atau naik ke perairan tawar untuk bertelur tetapi pada masa larva dan postlarvanya menggunakan daerah estuaria sebagai tempat asuhannya.


(31)

14

3 METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di estuaria Pelawangan Timur, Segara anakan, Cilacap (Gambar 3). Penelitian berlangsung pada bulan Juni–Agustus 2011. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 6 kali dengan interval waktu 2 (dua) minggu sekali. Penentuan stasiun pengambilan sampel didasarkan pada masing-masing wilayah estuaria yakni daerah aliran sungai, muara, serta daerah pedalaman (hulu) sungai di antara ekosistem mangrove. Adapun karakteristik masing-masing stasiun tertera pada Tabel 1.

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian (ket: I:Muara Donan, II:Donan, III: Cigintung, IV: Sapuregel, V: Pisangan, VI: Kembang Kuning)

I

II

III

IV

V


(32)

15 Tabel 1. Lokasi stasiun pengambilan contoh

Stasiun Lokasi Posisi

Geografis Karakteristik I. Muara Donan 07o 45 ’143” S

109o 00’ 612”E

- Terletak di mulut kanal Timur

- Pengaruh pasang surut air laut dominan

- merupakan alur kapal besar

- dijumpai beberapa alat tangkap apong

II. Donan 07o42’ 653”S -

108o 59’ 553”E

- aliran sungai Donan

- sekitarnya merupakan daerah industri

- merupakan alur kapal besar

- dekat pemukiman penduduk

- dasar perairan: berlumpur (warna hitam)

- pasang surut melalui kanal Timur III. Cigintung 07o40’ 099” S

108o59’ 707’’E

- Daerah pedalaman

- Merupakan aliran sungai diantara ekosistem mangrove dengan jenis Rhizopora, Avicennia

- Minim aktivitas penangkapan IV. Sapuregel 07o 43 ’ 114’’ S

108o 58 282”E

- merupakan muara Sungai Sapuregel

- merupakan daerah penangkapan dengan alat tangkap apong

V. Pisangan 07°41’ 262”S

108°57’ 370”E - merupakan daerah pedalaman yang berupa aliran sungai dengan ekosistem mangrove di sekitarnya - tidak terdapat alat tangkap apong

VI. Kembang

Kuning

07°43’ 207”S 108°56’ 708”E

- Aliran sungai Kembang Kuning - daerah penangkapan ikan dengan

alat tangkap apong.

- merupakan alur menuju laguna sebelah barat


(33)

16 3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang dibutuhkan meliputi alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel larva dan pengukuran parameter lingkungan perairan. Alat dan bahan serta parameter yang dipergunakan selama penelitian disajikan pada Tabel 2 berikut ini:

Tabel 2. Parameter serta alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

No. Parameter Unit Alat dan Bahan

1. Larva Ind/m3 Jaring larva (diameter mulut jaring:60 cm,mesh

size 700µm), formalin 5%, Alkohol 70%, botol larva

2. Plankton sel/l Plankton net, lugol

3. Salinitas % refraktometer

4 Tingkat keasaman (pH) Water Quality Checker Horiba

5 Oksigen terlarut (DO) mg/l Botol Winkler, H2SO4, MnCl, NaOh,KI

6 Kekeruhan NTU Turbidimeter

7 Kecerahan cm Keping secchi

8 Suhu air ºC Water Quality Checker Horiba

9 Arus m/s Current meter

10 Kedalaman perairan m Depth meter

11 Nitrat mg/l Spectrofotometer,Brucine

12 Orthofosfat mg/l Spectrofotometer, Amonium molibdat

3.3 Metode Kerja

3.3.1 Prosedur Kerja di Lokasi Penelitian

Pengambilan dan Penanganan Sampel Larva Ikan di Lokasi

Pengambilan sampel larva dilakukan pada pagi hingga siang hari dengan menggunakan jaring larva (larva net) dengan ukuran mesh size 729 µm dan diameter 60 cm (Gambar 4 A). Jaring larva dipasang atau diikat pada bagian belakang perahu motor dengan jarak 10 meter dan kedalaman ± 0,5 meter (Gambar 4 B dan 4 C). Kemudian jaring larva ditarik secara horizontal dengan kecepatan perahu 1,5 knot selama 10 menit. Setelah itu perahu berhenti, kemudian jaring ditarik dan diangkat untuk diambil sampel larvanya. Sampel larva disimpan dalam botol sampel dan diawetkan dengan larutan formalin 4 % (Sanchez-Velasco et al., 1996; Romimohtarto & Juwana, 2004) seperti tertera pada Gambar 4 D.


(34)

17

A. Jaring larva B.Pengoperasian jaring larva

C.Penarikan jaring larva setelah selesai dioperasikan

D. Sampel larva di lapangan yang diawetkan dengan formalin

Gambar 4. Pengambilan dan penanganan sampel larva ikan

Pengukuran Parameter Lingkungan Perairan

Pengukuran beberapa parameter kualitas lingkungan perairan dilakukan secara langsung di lokasi (in situ). Sampel air diambil dengan menggunakan

Kemmerer water sampler, kemudian sebagian dimasukan ke dalam botol sampel

dan botol winkler untuk pengukuran oksigen terlarut. Pengukuran suhu air dan tingkat keasaman (pH) dilakukan dengan bantuan alat Water Quality Checker Horiba secara langsung di lokasi. Oksigen terlarut diukur dengan menggunakan metode Winkler yang dilakukan langsung di lokasi. Salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer dan kekeruhan (turbiditas) dengan turbidimeter secara langsung di lokasi. Kecerahan diukur dengan cara memasukan keping sechi (Sechi disk) ke dalam perairan sedangkan kecepatan arus air diukur dengan menggunakan current meter.

Pengukuran nitrat dan ortofosfat dilakukan di laboratorium dengan alat spectrophotometer. Sampel air untuk pengukuran parameter tersebut diambil di lokasi bersamaan dengan sampel untuk pengukuran parameter kualitas air lainnya. Sampel air yang digunakan untuk pengukuran parameter nitrat dan


(35)

18 ortofosfat disimpan dalam botol sampel dan dimasukkan ke coolbox yang telah diberi batu es untuk menjaga kondisi suhu air tetap rendah agar terhindar dari kerusakan sebelum dianalisis lebih lanjut.

Pengumpulan Data Hasil Tangkapan

Data hasil tangkapan nelayan merupakan data pendukung yang diperoleh melalui wawancara dengan nelayan setempat. Data tersebut dikumpulkan untuk mengetahui jenis ikan yang tertangkap, jenis dan alat tangkap serta musim dan daerah penangkapan.

3.3.2 Prosedur Kerja di Laboratorium

Penyortiran dan Identifikasi Larva ikan

Pengamatan sampel larva dilakukan di laboratorium Biologi Ikan Balai Riset Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Jatiluhur. Larva ikan yang didapat dari lokasi penelitian kemudian disortir terlebih dahulu untuk memisahkan antara larva ikan, larva udang, telur ataupun material lain seperti serasah yang ikut masuk sewaktu dilakukan pengambilan sampel di lapangan. Penyortiran dilakukan dengan langkah sebagai berikut:

1. Sampel larva dari lapangan disaring dengan menggunakan kain jaring plankton

2. Spesimen hasil penyaringan tersebut kemudian dicuci dengan air tawar dan disimpan pada pada wadah (gelas kimia) dengan air tawar atau akuades.

3. Sedikit demi sedikit dari specimen tersebut dituang pada cawan petri untuk dipisahkan/disortir untuk mendapatkan telur dan larva ikan menggunakan mikroskop Merk Olympus SZ 61 perbesaran 10-40 kali (Gambar 5 A) 4. Larva ikan dan telur hasil sortir tersebut sekaligus dihitung jumlahnya dan

dipindahkan secara hati-hati dengan menggunakan pinset ke dalam botol specimen berisi larutan alkohol 70 % yang sudah diberi label (Gambar 5 B).


(36)

19

A. B

Gambar 5. A. mikroskop yang digunakan untuk menyortir dan identifikasi; B. sampel larva yang disimpan dalam botol dengan pengawet alkohol

Setelah penyortiran selesai dilakukan pada seluruh sampel yang diperoleh dari lapangan, selanjutnya dilakukan proses identifikasi sampai ke takson yang paling memungkinkan. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan mikroskop Binokuler Merk Olympus SZ 61 perbesaran 10-40 kali dan mikroskop binokuler Merk Olympus SX 31 yang dilengkapi dengan kamera dan mikrometer okuler untuk mengukur proporsi panjang tubuh larva. Larva ikan yang tertangkap diidentifikasi sampai ke takson yang paling memungkinkan. Identifikasi menggunakan Okiyama (1988) dan Leis & Carson-Ewart (2000). Identifikasi dilakukan dengan melihat karakter morfologi pada larva seperti tertera pada Gambar 6.

Beberapa karakter yang digunakan dalam mengidentifikasi larva menurut Leis and Carson-Ewart (2000) adalah sebagai berikut:

1) Bentuk tubuh 2) Myomer

3) Usus/saluran pencernaan

4) Gelembung udara/gelembung renang 5) Duri pada kepala

6) Pembentukan sirip 7) Ukuran tubuh 8) Pigmen


(37)

20 Gambar 6 Hipotesis teknik identifikasi secara morfologi larva ikan (Leis &

Carson-Ewart, 2000).

3.4 Analisis Data

3.4.1 Komunitas Larva

Kelimpahan Larva Ikan

Kelimpahan larva ikan yang didefenisikan sebagai banyaknya larva ikan persatuan luas daerah pengambilan contoh dihitung dengan menggunakan rumus :

Keterangan:

N : kelimpahan larva ikan (ind/m3) n : jumlah larva ikan yang tercacah (ind) Vtsr : Volume air tersaring (Vtsr = l x t x v) l : luas bukaan mulut saringan

t : lama waktu penarikan saringan (menit)

Nothocord tip Nostril

Head Tail

Cleithral Symphysis

Trunk Serrate spine

Soft ray Soft ray base

Post anal myomers

Spine base Smooth spine

Soft ray

Cleithrum Gut Anus

Pre analmyomers

Head Trunk

Brain

External pigment

Myoseptaa Myomeres

Pectoral base

Gas Blader

Notochord tip

Post anal myomeres Dorsal fin

Striated gut

anus Pelvic bud

Tail


(38)

21 v kecepatan tarikan (m/menit)

Indeks Keanekaragaman

Keanekaragaman larva ikan diperlukan untuk menjelaskan kehadiran jumlah individu antar genus dalam suatu komunitas. Keanekaragaman larva ikan dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener (Krebs, 1989) Formulasi Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener berdasarkan persamaan sebagai berikut :

Keterangan:

H’ : indeks keanekaragaman Shanon-Wiener pi : proporsi individu spesies ke-i

s : Jumlah genus

Nilai indeks keanekaragaman merujuk pada nilai indeks keanekaragaman Wilhm and Doris (1968) dalam Mason (1981) adalah

H’<1 : keragaman larva ikan rendah H’=1-3: keragaman larva ikan sedang H’>3 : Keragaman larva ikan tinggi Indeks Keseragaman

Keseragaman adalah suatu gambaran tentang sebaran individu setiap spesies dalam komunitas. Indeks keseragaman (E) larva ikan dihitung berdasarkan persamaan berikut :

.

,

! ! ,

maks H

H

E atau

s

H

E

ln

,

Keterangan :

E = indeks keseragaman H, = indeks keanekaragaman


(39)

22 Indeks Keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui berapa besar kesamaan penyebaran jumlah individu setiap genus pada tingkat komunitas. Indeks Keseragaman berdasarkan Odum (1971) adalah :

Indeks Keseragaman berkisar antara 0-1. Apabila nilai E mendekati 1 sebaran individu antar jenis merata (seragam). Nilai E mendekati 0 apabila sebaran individu antar jenis tidak merata atau ada sekelompok jenis tertentu yang dominan

Indeks Dominasi

Indeks Dominasi diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Odum 1971) :

2

1 1

2 n

i i S

i i

N n p

D

Keterangan :

D : Indeks dominasi

ni : jumlah individu genus ke-i N : jumlah total individu

pi : proporsi individu spesies ke-i (ni/N) s : Jumlah genus

Kriteria nilai sebagai berikut :

D mendekati 0 tidak ada jenis yang mendominasi, dan D mendekati 1 terdapat jenis yang mendominasi jenis yang lain.

3.4.2 Karakteristik Habitat Larva Ikan Berdasarkan Parameter Biofisik Kimia Perairan

Analisis Komponen Utama digunakan untuk mendeterminasi sebaran parameter biofisika kimia perairan. Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) digunakan untuk memudahkan menginterpretasi data dari suatu matriks data yang berukuran cukup besar (Bengen,2000). Tujuan utama penggunaan analisis komponenn utama dalam suatu matriks data berukuran cukup besar diantaranya adalah (1).mengekstraksi informasi esensial yang terdapat dalam suatu tabel/matriks data yang besar, (2)menghasilkan suatu representasi grafik yang memudahkan interpretasi, (3) mempelajari suatu tabel/matriks data dari sudut pandang kemiripan antara individu atau hubungan antar variabel.


(40)

23 Langkah-langkah yang diperlukan dalam analisis komponen utama adalah sebagai berikut:

a) Satu individu dapat dijelaskan dengan baik oleh nilai-nilai yang diperleh dari p variabel. Hal yang sama, satu variabel didefinisikan oleh n nilai yang berkaitan dengan distribusi individunya. Dengan demikian satu individu dapat didefinisikan oleh satu titik dari satu geometrik berdimensi p, sedangkan satu variabel dipresentasikan oleh satu titik dari satu ruang berdimensi n. Semua individu (atau variabel) akhirnya membentuk suatu kumpulan titik-titik. Analisis Komponen Utama memungkinkan adanya suatu reduksi terhadap dimensi dari ruang-ruang ini agar dapt lebih mudah dibaca dengan kehilangan informasi sesedikit mungkin (Bengen, 2000).

b) Sumbu-sumbu faktorial yang diperoleh merepresentasikan kombinasi linear dari variabel-variabel asal. Faktor/sumbu utama menjelaskan dengan lebih baik variabilitas data asal/inisial. Faktor kedua menjelaskan dengan lebih baik variabilitas residu yang tidak tergambarkan pada faktor utama dan selanjutnya.

c) Untuk menemukan kembali informasi yang lengkap, maka perlu diperhatikan semua sumbu yang jumlahnya sama dengan variabel (kecuali terdapat suatu korelasi sempurna antar variabel). Manfaat dari Analisis Komponen Utama adalah dapat mengasosiasikan pada sumbu faktorial yang berbeda, suatu peran deskriptif dalam batasan kualitatif dan kuantitatif.

Secara umum informasi yang diberikan dari hasil Analisis Komponen Utama adalah

Matriks korelasi antar semua variabel

Akar ciri dari setiap sumbu faktorial:berkaitan dengan jumlah inersi dari setiap sumbu.

Vektor ciri yang menjelaskan koefisien variabel (pemusatan dan pereduksian) dalam persamaan liniearyang mendeterminasikan sumbu-sumbu utama.

Korelasi antara variabel dan sumbu yang dapat menginterpretasikan sumbu utama;

Grafik bidang yang memvisualisasikan variabel terhadap sumbu. Juga dapat digambarkan pada setiap grafik, lingkaran korelasi (=1): semakin


(41)

24 dekat suatu lingkaran pada lingkaran korelasi nsemakin besar perannya terhadap sumbu (grafik bidang). Korelasi terhadap sumbu sama dengan kosinus sudut antara sumbu dan garis lurus yang melewati pusat gravitasi dan titik variabel, maka dengan demikian kita tidak menginterpretasikan posisi suatu variabel terhadap jarak dari pusat gravitasi tetapi sudut yang dibentuk oleh garis lurus dengan sumbu atau dengan variabel lain apabila variabel ini memberikan kontribusi yang besar (dekat dengan lingkaran korelasi).

Koordinat individu pada setiap sumbu.

Kualitas representasi titik-individu dalam setiap grafik bidang.

Grafik bidang yang memperlihatkan kemiripan (kedekatan) antar titik-individu.

3.4.6 Distribusi dan Preferensi Habitat Larva Ikan

Distribusi larva ikan kaitannya dengan karakteristik parameter kualitas lingkungan dilakukan dengan analisis Nodul. Analisis nodul yaitu membuat matrik hubungan antara kelompok spesies dengan kelompok habitat selanjutnya dihitung dengan Indeks constancy (Cij) dan Indeks Fidelity (Fij) (Boesch,1977). Constancy adalah proporsi jumlah kemunculan kelompok spesies pada suatu habitat/tempat dalam setiap kemungkinan kejadian. Sedangkan Fidelity adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauh mana keberadaan suatu spesies pada suatu kelompok tempat/habitat. Indeks Constancy dihitung dengan persamaan:

keterangan :

Cij : indeks constancy kelompok spesies-i pada kelompok habitat -j aij : jumlah anggota kelompok spesies-i pada kelompok habitat- j ni & nj : jumlah seluruh kelompok spesies dan kelompok tempat/habitat

Nilai indeks :0-1, dimana nilai 1 apabila kelompok spesies tersebut ditemukan pada kelompok tempat/habitat yang ada dan nilai 0 apabila kelompok spesies tersebut tidak ditemukan pada tempat/habitat .Sedangkan indeks Fidelity dihitung dengan persamaan :


(42)

25 Keterangan :

Fij : indeks fidelity kelompok jenis I pada kelompok habitat-j

aij : jumlah kehadiran kelompok jenis i pada kelompok tempat/habitat-j ni dan nj : jumlah seluruh kelompok jenis dan kelompok tempat/habitat

jika nilai indeks Fidelity kurang dari 1 (satu) artinya terdapat hubungan negatif antara jenis dengan habitat sedangkan nilai indeks lebih dari 1 (satu) artinya terdapat hubungan positif antara jenis dengan habitat. I

3.4.7 Hubungan Parameter Kualitas Air dengan Kelimpahan Larva Ikan Untuk melihat hubungan antara parameter kualitas lingkungan dengan kelimpahan genus larva digunakan analisis korelasi Spearman rank. Tehnik perhitungan dilakukan dengan menggunakan program STATISTICA.


(43)

26

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi dan Kelimpahan Larva Ikan

Total larva ikan yang tertangkap selama penelitian adalah 5186 ekor yang terdiri dari 21 famili dan 32 genus (Tabel 3). Famili Gobiidae merupakan penyumbang terbesar dari seluruh total tangkapan (66,62%), diikuti oleh famili Engraulidae (10,72%), Clupeidae (9,99%) dan Blennidae (7,60%). Genus yang dominan terdiri dari Tridentiger, Rhinogobius, Sardinella, Omobranchus, Stolephorus, Engraulis dan Herklotsichthys dengan masing-masing kelimpahan berturut-turut adalah 1836, 392,, 316, 301, 266, 159 dan 79 individu per 100 m3.

Tabel 3. Jenis/Genus, kelimpahan dan persentase larva ikan

Famili Genus Kelimpahan Panjang Standar (mm) Keterangan Ind/m3 % Rata-rata Kisaran

Ambassidae Ambassis 21 0,54 5 2,5-6,7 F,Pf

Atherinidae Hypoatherina 5 0,12 3,4 2,5-5,1 Pof Blenniidae Omobranchus 301 7,6 2,4 1,8-4,1 Pf,F

Cynoglossidae Cynoglossus 1 0,02 1,8 1,8 Pf

Carangidae Caranx 10 0,25 2,4 2,0-2,7 Pf

Clupeidae Herklotsichthys 79 2,01 5,8 4,3-11,6 F, Pof Clupeidae Sardinella 316 7,98 5,6 4,0-11,2 F, Pof Engraulidae Engraulis 159 4,01 6,2 2,1-10,5 Pf,F,Pof Engraulidae Stolephorus 266 6,71 10,6 4,0-21,9 Pf,F,Pof

Eleotridae Eleotris 2 0,06 8,6 8,3-8,6 Pof

Gerreidae Gerres 1 0,02 2,5 2,2-3,5 Pf

Gobiidae Gobiidae sp1 285 7,19 2,2 1,8-2,7 Pf

Gobiidae Gobiidae sp 2 94 2,37 2,3 1,8-2,8 Pf

Gobiidae Glossogobius 24 0,62 4,2 2,3-9,0 F

Gobiidae Tridentiger 1836 46,39 7,2 1,8-14,2 Pf, F,Pof

Gobiidae Rhinogobius 392 9,91 2,5 1,9-3,3 Pf

Gobiidae Rediogobius 2 0,06 3,1 2,8-3,3 Pf

Gobiidae Acentrogobius 2 0,06 4,4 2,8-7,7 Pf

Gobiidae Parachaeturichthys 1 0,02 2,8 2,8 Pf

Leioghnatidae Secutor 12 0,31 14,2 12,6-17,8 Pof

Mugilidae Mugil 18 0,44 1,8 1,6-2,5 F

Mugilidae Liza 12 0,31 7,9 6,9-8,8 Pof

Mugiloididae Parapercis 3 0,08 2 1,8-2,5 Pf

Mullidae Upeneus 7 0,17 2,5 1,7-2,8 Pf

Ostracidae Ostracidae spp 2 0,04 4,0 3,5-5,4 Pf Pomacentridae Pomacentrus 2 0,04 1,7 1,3-2,0 Pf Pomachantidae Pomacentrus 2 0,04 1,7 1,3-2,0 Pf Polynemidae Eleutheronema 2 0,04 4,1 3,8-4,3 F

Silaginidae Silago 1 0,02 3,3 3,3 Pf

Synghnatidae Parasyngnathus 95 2,41 14,4 7,4-24,8 F

Synghnatidae Oostethus 2 0,04 4,4 4,3-4,5 F

Tetraodontidae Tetraodontidae spp 4 0,10 2,2 1,5-2,8 Pf

Pf=preflexion; F=flexion; Pof=Postflexion

Larva ikan Gobiidae merupakan larva ikan yang dominan ditemukan selama penelitian ini, seperti halnya pada penelitian Sugiharto (2005) dan Nursid


(44)

27 (2002) di estuaria Segara Anakan. Beberapa penelitian lain juga menemukan bahwa larva ikan Gobiidae merupakan penyumbang terbesar dalam komunitas larva di ekosistem estuaria (Sanvicente-Añorve et al.,2003; Bonecker et al.,2009; Ramos et al.,2012). Famili Gobiidae terdiri dari 212 genera dan 1875 spesies (Nelson, 1994). Anggota jenis dari famili Gobiidae hidup di habitat air tawar, estuaria hingga laut. Sebagian besar dari famili Gobiidae hidup di ekosistem estuaria. Gobiidae memiliki toleransi terhadap rentang salinitas yang cukup luas. Beberapa anggota jenis Gobiidae yang hidup di air tawar akan pergi ke perairan estuaria untuk memijah (Miller, 1984). Anggota jenis dari famili Gobiidae yang mendominasi pada penelitian ini adalah genus Tridentiger. Jenis tersebut juga dominan ditemukan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sugiharto (2005).

Famili Engraulidae merupakan penyusun komunitas larva terbesar kedua setelah Gobiidae pada penelitian ini. Hal tersebut serupa dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nursid (2002) di laguna Segara Anakan. Penelitian di estuaria lain yang dilakukan Morais and Morais (1994) serta Barleta–Bergan (2002) juga menemukan bahwa larva ikan Engraulidae merupakan larva ikan yang dominan ditemukan selain Gobiidae. Menurut hasil penelitian Sanchez-Velasco et al. (1996), ikan Gobiidae dan Engraulidae dalam siklus hidupnya memiliki ketergantungan terhadap ekosistem estuaria terutama pada fase larva. Anggota jenis dari Engraulidae dikenal sebagai ikan konsumsi ekonomis penting di berbagai perairan estuaria dan laut. Genus dari famili Engraulidae yang ditemukan selama penelitian ini adalah Stolephorus dan Engraulis dengan kelimpahan Stolephorus lebih tinggi daripada Engraulis.

Larva ikan famili Clupeidae merupakan larva terbanyak setelah Gobiidae dan Engraulidae. Penelitian yang dilakukan Nursid (2002) di perairan Laguna Segara Anakan juga mendapatkan famili tersebut, namun tidak demikian halnya pada penelitian Sugiharto (2005) yang dilakukan di Pelawangan Timur. Larva ikan Clupeidae yang tertangkap pada penelitian ini terdiri dari genus Sardinella dan Herklotsichthys. Habitat Clupeidae adalah perairan laut dan pesisir. Beberapa jenis dari famili tersebut mampu mentolerir salinitas yang lebih rendah dan melakukan migrasi ke daerah muara sungai untuk bertelur. Ikan Clupeidae hidup berkumpul membentuk schooling dan berenang secara bersama-sama di suatu perairan (Carpenter and Niem, 1999).


(45)

28 Larva ikan famili Blennidae merupakan larva ikan berikutnya yang cukup banyak dalam komposisi hasil tangkapan di selama penelitian. Famili Blenniidae tersebar di perairan tawar, payau hingga laut, merupakan ikan dasar yang menyukai daerah pasang surut dan berbatu dengan kedalaman lebih kurang 20 m. Beberapa anggota dari famili ini bahkan hidup di aliran sungai. Anggota jenis Bleniidae bukan ikan konsumsi ekonomis penting.

Secara temporal kelimpahan larva ikan paling tinggi terjadi pada bulan Juni dengan komposisi yang dominan adalah famili Gobiidae (Gambar 7). Pada bulan Juli, jumlah kelimpahan menurun demikian juga pada bulan Agustus. Kelimpahan larva ikan pada bulan Juli didominasi oleh famili Clupeidae sedangkan pada bulan Agustus adalah Engraulidae. Larva Gobiidae tertangkap pada setiap bulan pengamatan sedangkan Clupeidae hanya tertangkap pada bulan Juli dan Engraulidae pada bulan Agustus. Tingginya kelimpahan larva ikan pada bulan Juni dapat berkaitan dengan masa pemijahan dari ikan. Beberapa jenis ikan Gobiidae memiliki masa pemijahan sepanjang tahun dengan puncak pemijahan pada waktu tertentu.

Secara spasial kelimpahan larva ikan tertinggi adalah di stasiun III (Cigintung) dan IV Sapuregel (Gambar 8). Larva Gobiidae merupakan larva ikan yang ditemukan di semua stasiun penelitian dengan kelimpahan yang tinggi dibandingkan famili lainnya. Larva Engraulidae tertangkap di stasiun I (Muara Donan), II (Donan), III (Cigintung), IV (Sapuregel) dan VI (kembang Kuning), namun kelimpahan tertinggi hanya ada di stasiun II, sedangkan larva Clupeidae ditemukan melimpah di stasiun I (Muara Donan), walaupun juga terdapat di stasiun lainnya dengan kelimpahan yang rendah dibandingkan di stasiun I. Seperti halnya pada larva Gobiidae, larva ikan Blenniidae juga tertangkap di semua stasiun penelitian namun dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan Gobiidae.


(1)

75

Lampiran 9. Korelasi Spearman Larva

Tridentiger

dan

Rhinogobius

dengan parameter kualitas air

Tridentiger KDLM SUHU ARS SAL TBD PH KEC DO NITRAT FOSFAT FITO ZOO Tridentiger 1 -0.492 0.254 0.098 -0.312 0.331 -0.3 -0.393 -0.269 0.057 0.039 -0.365 -0.027

KDLM -0.492 1 -0.217 0.128 0.219 -0.297 0.251 0.231 0.077 -0.12 -0.095 0.267 -0.022

SUHU 0.254 -0.217 1 -0.004 -0.374 0.083 -0.289 -0.269 -0.183 -0.023 0.002 -0.485 0.083

ARS 0.098 0.128 -0.004 1 0.203 0.193 -0.256 -0.211 -0.061 -0.098 -0.023 0.086 -0.215

SAL -0.312 0.219 -0.374 0.203 1 0.223 0.268 -0.097 0.269 0.054 0.087 0.475 -0.161

TBD 0.331 -0.297 0.083 0.193 0.223 1 -0.116 -0.827 0.008 0.108 0.008 0.088 -0.125

PH -0.30 0.251 -0.289 -0.256 0.268 -0.116 1 0.118 0.421 -0.091 -0.07 0.393 0.188

KEC -0.393 0.231 -0.269 -0.211 -0.097 -0.827 0.118 1 0.009 -0.078 0.087 0.032 0.231

DO -0.269 0.077 -0.183 -0.061 0.269 0.008 0.421 0.009 1 0.036 0.096 0.322 0.151

NITRAT 0.057 -0.12 -0.023 -0.098 0.054 0.108 -0.091 -0.078 0.036 1 0.015 -0.168 0.063

FOSFAT 0.039 -0.095 0.002 -0.023 0.087 0.008 -0.07 0.087 0.096 0.015 1 -0.083 0.179

FITO -0.365 0.267 -0.485 0.086 0.475 0.088 0.393 0.032 0.322 -0.168 -0.083 1 0.033

ZOO -0.027 -0.022 0.083 -0.215 -0.161 -0.125 0.188 0.231 0.151 0.063 0.179 0.033 1

Rhinogobius KDLM SUHU ARS SAL TBD PH KEC DO NITRAT FOSFAT FITO ZOO Rhinogobius 1 -0.32 0.28 -0.09 -0.48 -0.18 -0.27 0.04 -0.3 -0.09 0.11 -0.53 -0.03

KDLM -0.32 1 -0.22 0.13 0.22 -0.3 0.25 0.23 0.08 -0.12 -0.1 0.27 -0.02

SUHU 0.28 -0.22 1 0 -0.37 0.08 -0.29 -0.27 -0.18 -0.02 0 -0.49 0.08

ARS -0.09 0.13 0 1 0.2 0.19 -0.26 -0.21 -0.06 -0.1 -0.02 0.09 -0.22

SAL -0.48 0.22 -0.37 0.2 1 0.22 0.27 -0.1 0.27 0.05 0.09 0.47 -0.16

TBD -0.18 -0.3 0.08 0.19 0.22 1 -0.12 -0.83 0.01 0.11 0.01 0.09 -0.13

PH -0.27 0.25 -0.29 -0.26 0.27 -0.12 1 0.12 0.42 -0.09 -0.07 0.39 0.19

KEC 0.04 0.23 -0.27 -0.21 -0.1 -0.83 0.12 1 0.01 -0.08 0.09 0.03 0.23

DO -0.30 0.08 -0.18 -0.06 0.27 0.01 0.42 0.01 1 0.04 0.1 0.32 0.15

NITRAT -0.09 -0.12 -0.02 -0.1 0.05 0.11 -0.09 -0.08 0.04 1 0.01 -0.17 0.06

FOSFAT 0.11 -0.1 0 -0.02 0.09 0.01 -0.07 0.09 0.1 0.01 1 -0.08 0.18

FITO -0.53 0.27 -0.49 0.09 0.47 0.09 0.39 0.03 0.32 -0.17 -0.08 1 0.03


(2)

76

Lampiran 10.Korelasi Spearman

Engraulis

dan

Stolephorus

dengan parameter kualitas air

Spearman Rank Order Correlations (KORELASI) MD pairwise deleted Marked correlations are significant at p <.05000

Stolephorus KDLM SUHU ARS SAL TBD PH KEC DO NITRAT FOSFAT FITO ZOO Stolephorus 1 -0.111 0.395 0.404 -0.094 0.314 -0.318 -0.456 -0.27 -0.008 0.169 -0.274 -0.322

KDLM -0.111 1 -0.217 0.128 0.219 -0.297 0.251 0.231 0.077 -0.12 -0.095 0.267 -0.022

SUHU 0.395 -0.217 1 -0.004 -0.374 0.083 -0.289 -0.269 -0.183 -0.023 0.002 -0.485 0.083

ARS 0.404 0.128 -0.004 1 0.203 0.193 -0.256 -0.211 -0.061 -0.098 -0.023 0.086 -0.215

SAL -0.094 0.219 -0.374 0.203 1 0.223 0.268 -0.097 0.269 0.054 0.087 0.475 -0.161

TBD 0.314 -0.297 0.083 0.193 0.223 1 -0.116 -0.827 0.008 0.108 0.008 0.088 -0.125

PH -0.318 0.251 -0.289 -0.256 0.268 -0.116 1 0.118 0.421 -0.091 -0.07 0.393 0.188

KEC -0.456 0.231 -0.269 -0.211 -0.097 -0.827 0.118 1 0.009 -0.078 0.087 0.032 0.231

DO -0.27 0.077 -0.183 -0.061 0.269 0.008 0.421 0.009 1 0.036 0.096 0.322 0.151

NITRAT -0.008 -0.12 -0.023 -0.098 0.054 0.108 -0.091 -0.078 0.036 1 0.015 -0.168 0.063

FOSFAT 0.169 -0.095 0.002 -0.023 0.087 0.008 -0.07 0.087 0.096 0.015 1 -0.083 0.179

FITO -0.274 0.267 -0.485 0.086 0.475 0.088 0.393 0.032 0.322 -0.168 -0.083 1 0.033

ZOO -0.322 -0.022 0.083 -0.215 -0.161 -0.125 0.188 0.231 0.151 0.063 0.179 0.033 1

Spearman Rank Order Correlations (KORELASI) MD pairwise deleted Marked correlations are significant at p <.05000

Engraulis sp KDLM SUHU ARS SAL TBD PH KEC DO NITRAT FOSFAT FITO ZOO Engraulis sp 1 0.032 0.214 0.193 0.021 0.274 -0.284 -0.218 -0.283 -0.024 0.199 -0.06 -0.061

KDLM 0.032 1 -0.217 0.128 0.219 -0.297 0.251 0.231 0.077 -0.12 -0.095 0.267 -0.022

SUHU 0.214 -0.217 1 -0.004 -0.374 0.083 -0.289 -0.269 -0.183 -0.023 0.002 -0.485 0.083

ARS 0.193 0.128 -0.004 1 0.203 0.193 -0.256 -0.211 -0.061 -0.098 -0.023 0.086 -0.215

SAL 0.021 0.219 -0.374 0.203 1 0.223 0.268 -0.097 0.269 0.054 0.087 0.475 -0.161

TBD 0.274 -0.297 0.083 0.193 0.223 1 -0.116 -0.827 0.008 0.108 0.008 0.088 -0.125

PH -0.284 0.251 -0.289 -0.256 0.268 -0.116 1 0.118 0.421 -0.091 -0.07 0.393 0.188

KEC -0.218 0.231 -0.269 -0.211 -0.097 -0.827 0.118 1 0.009 -0.078 0.087 0.032 0.231

DO -0.283 0.077 -0.183 -0.061 0.269 0.008 0.421 0.009 1 0.036 0.096 0.322 0.151

NITRAT -0.024 -0.12 -0.023 -0.098 0.054 0.108 -0.091 -0.078 0.036 1 0.015 -0.168 0.063

FOSFAT 0.199 -0.095 0.002 -0.023 0.087 0.008 -0.07 0.087 0.096 0.015 1 -0.083 0.179

FITO -0.06 0.267 -0.485 0.086 0.475 0.088 0.393 0.032 0.322 -0.168 -0.083 1 0.033


(3)

77

Lampiran 11.Korelasi Spearman

Sardinella

dan

Herklotsichthys

dengan parameter kualitas air

Spearman Rank Order Correlations (KORELASI) MD pairwise deleted Marked correlations are significant at p <.05000

Sardinella KDLM SUHU ARS SAL TBD PH KEC DO NITRAT FOSFAT FITO ZOO Sardinella 1 0.298 -0.446 -0.036 0.257 0.047 0.195 -0.024 0.149 -0.143 -0.149 0.36 -0.119

KDLM 0.298 1 -0.217 0.128 0.219 -0.297 0.251 0.231 0.077 -0.12 -0.095 0.267 -0.022

SUHU -0.446 -0.217 1 -0.004 -0.374 0.083 -0.289 -0.269 -0.183 -0.023 0.002 -0.485 0.083

ARS -0.036 0.128 -0.004 1 0.203 0.193 -0.256 -0.211 -0.061 -0.098 -0.023 0.086 -0.215

SAL 0.257 0.219 -0.374 0.203 1 0.223 0.268 -0.097 0.269 0.054 0.087 0.475 -0.161

TBD 0.047 -0.297 0.083 0.193 0.223 1 -0.116 -0.827 0.008 0.108 0.008 0.088 -0.125

PH 0.195 0.251 -0.289 -0.256 0.268 -0.116 1 0.118 0.421 -0.091 -0.07 0.393 0.188

KEC -0.024 0.231 -0.269 -0.211 -0.097 -0.827 0.118 1 0.009 -0.078 0.087 0.032 0.231

DO 0.149 0.077 -0.183 -0.061 0.269 0.008 0.421 0.009 1 0.036 0.096 0.322 0.151

NITRAT -0.143 -0.12 -0.023 -0.098 0.054 0.108 -0.091 -0.078 0.036 1 0.015 -0.168 0.063

FOSFAT -0.149 -0.095 0.002 -0.023 0.087 0.008 -0.07 0.087 0.096 0.015 1 -0.083 0.179

FITO 0.362 0.267 -0.485 0.086 0.475 0.088 0.393 0.032 0.322 -0.168 -0.083 1 0.033

ZOO -0.119 -0.022 0.083 -0.215 -0.161 -0.125 0.188 0.231 0.151 0.063 0.179 0.033 1

Spearman Rank Order Correlations (KORELASI) MD pairwise deleted Marked correlations are significant at p <.05000

Herklotsichthys KDLM SUHU ARS SAL TBD PH KEC DO NITRAT FOSFAT FITO ZOO Herklotsichthys 1 0.089 -0.313 -0.025 0.253 0.06 0.219 -0.015 0.205 0.024 -0.268 0.075 -0.115

KDLM 0.089 1 -0.217 0.128 0.219 -0.297 0.251 0.231 0.077 -0.12 -0.095 0.267 -0.022

SUHU -0.313 -0.217 1 -0.004 -0.374 0.083 -0.289 -0.269 -0.183 -0.023 0.002 -0.485 0.083

ARS -0.025 0.128 -0.004 1 0.203 0.193 -0.256 -0.211 -0.061 -0.098 -0.023 0.086 -0.215

SAL 0.253 0.219 -0.374 0.203 1 0.223 0.268 -0.097 0.269 0.054 0.087 0.475 -0.161

TBD 0.061 -0.297 0.083 0.193 0.223 1 -0.116 -0.827 0.008 0.108 0.008 0.088 -0.125

PH 0.219 0.251 -0.289 -0.256 0.268 -0.116 1 0.118 0.421 -0.091 -0.07 0.393 0.188

KEC -0.015 0.231 -0.269 -0.211 -0.097 -0.827 0.118 1 0.009 -0.078 0.087 0.032 0.231

DO 0.205 0.077 -0.183 -0.061 0.269 0.008 0.421 0.009 1 0.036 0.096 0.322 0.151

NITRAT 0.024 -0.12 -0.023 -0.098 0.054 0.108 -0.091 -0.078 0.036 1 0.015 -0.168 0.063

FOSFAT -0.268 -0.095 0.002 -0.023 0.087 0.008 -0.07 0.087 0.096 0.015 1 -0.083 0.179

FITO 0.075 0.267 -0.485 0.086 0.475 0.088 0.393 0.032 0.322 -0.168 -0.083 1 0.033


(4)

78

Lampiran 12. Korelasi spearman

Omobranchus

dengan parameter kualitas air

Omobranchus KDLM SUHU ARS SAL TBD PH KEC DO NITRAT FOSFAT FITO ZOO

Omobranchus 1.000 0.142 -0.206 -0.091 0.280 -0.209 0.206 0.263 0.094 0.091 0.138 0.281 0.058

KDLM 0.142 1.000 -0.217 0.128 0.219 -0.297 0.251 0.231 0.077 -0.120 -0.095 0.267 -0.022

SUHU -0.206 -0.217 1.000 -0.004 -0.374 0.083 -0.289 -0.269 -0.183 -0.023 0.002 -0.485 0.083

ARS -0.091 0.128 -0.004 1.000 0.203 0.193 -0.256 -0.211 -0.061 -0.098 -0.023 0.086 -0.215

SAL 0.280 0.219 -0.374 0.203 1.000 0.223 0.268 -0.097 0.269 0.054 0.087 0.475 -0.161

TBD -0.209 -0.297 0.083 0.193 0.223 1.000 -0.116 -0.827 0.008 0.108 0.008 0.088 -0.125

PH 0.206 0.251 -0.289 -0.256 0.268 -0.116 1.000 0.118 0.421 -0.091 -0.070 0.393 0.188

KEC 0.263 0.231 -0.269 -0.211 -0.097 -0.827 0.118 1.000 0.009 -0.078 0.087 0.032 0.231

DO 0.094 0.077 -0.183 -0.061 0.269 0.008 0.421 0.009 1.000 0.036 0.096 0.322 0.151

NITRAT 0.091 -0.120 -0.023 -0.098 0.054 0.108 -0.091 -0.078 0.036 1.000 0.015 -0.168 0.063

FOSFAT 0.138 -0.095 0.002 -0.023 0.087 0.008 -0.070 0.087 0.096 0.015 1.000 -0.083 0.179

FITO 0.281 0.267 -0.485 0.086 0.475 0.088 0.393 0.032 0.322 -0.168 -0.083 1.000 0.033


(5)

79

Lampiran 13. Foto Beberapa Larva Ikan

Polynemidae

Engraulis

Rhinogobius

Tridentiger

Upeneus

Stolephorus

Mugil

Sardinella

Mugil

Omobranchus

Hypoatherina

Ambassis


(6)

80

Lampiran 14. Lokasi Penelitian

Stasiun V (Pisangan)

Stasiun IV (Sapuregel)

Stasiun III (Cigintung)

Stasiun II ( Donan)

Stasiun I (Mura Donan)