DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA OLEH PETANI SAYURAN DI KECAMATAN GISTING TERHADAP KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA TANAH DAN RESIDU PESTISIDA

(1)

DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA OLEH PETANI

SAYURAN DI KECAMATAN GISTING TERHADAP

KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA TANAH DAN

RESIDU PESTISIDA

(Tesis)

Oleh

FERRY SUSILO WATI

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(2)

(3)

(4)

DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA OLEH PETANI

SAYURAN DI KECAMATAN GISTING TERHADAP

KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA TANAH DAN

RESIDU PESTISIDA

Oleh

FERRY SUSILO WATI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER ILMU LINGKUNGAN

Pada

Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Program Pascasajana Universitas Lampung

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(5)

(6)

(7)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Teluk Betung pada tanggal 27 Februari 1983, merupakan anak kedua dari empat bersaudara pasangan Bapak Suparno dan Ibu Duriah.

Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Kampung Sawah Lama Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 1995. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 1998. Pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2001.

Riwayat pendidikan tinggi dimulai penulis sebagai mahasiswa strata-1 pada Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jurusan Teknologi Hasil Pertanian dan studi diselesaikan pada tahun 2005. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Lampung pada tahun 2008. Penulis bekerja di Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kota Bandar Lampung.


(9)

K arya I ni D ipersembahkan kepada Suami,

M ama, Papa, N ayya, K hanza, K inau,

K akak serta


(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan petunjuk-Nya jualah seluruh rangkaian kegiatan dalam penyelesaian studi mulai dari perencanaan penelitian sampai penyusunan tesis ini dapat penulis laksanakan.

Selama penelitian dan penulisan tesis, penulis berhutang budi kepada banyak pihak yang telah membantu penulis setulus hati. Melalui kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya disertai ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat:

1. Mama dan Papa tercinta, bapak dan ibu yang telah mencurahkan segala kasih sayang, dukungan, dan doa tiada henti.

2. Ayah yang telah membantu dan mencurahkannya waktu dan pikirannya dalam menyelesaikan penulisan tesis.

3. Buah hatiku Nayya, terimakasih telah bersedia memberikan waktu kebersamaan kita untuk bunda menyelesaikan tesis ini.

4. Mas Yudi, Mba Tika, Nte Ira, Om Tomy, Om Iyo, Khanza, Kinaura terimakasih atas semangat dan dukungannya selama ini.

5. Prof. Dr. Ir. Purnomo, M.S., selaku pembimbing utama yang telah banyak mencurahkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan arahan.


(11)

6. Dr. Ir. Subeki, M.Si., M.Sc., selaku pembimbing kedua yang telah

memberikan motivasi, pemikiran, serta bimbingan selama menyelesaikan pendidikan.

7. Dr. Ir. Henrie Buchari, M.Si. selaku pembahas dan penguji atas masukan, arahan, saran dan kritik dalam penelitian dan penulisan tesis.

8. Badan Pusat Statistik, Badan Ketahanan Pangan Provinsi, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Tanggamus, BP4K Kabupaten Tanggamus atas data-data sekunder yang dibutuhkan dalam penulisan tesis. 9. Bapak Lurah Gisting Atas Pak Bambang, Lurah Sidokaton Bapak Suyut,

Lurah Campang dan Bapak Nurul Fikri yang telah membantu penulis dalam mengambil data yang dibutuhkan dalam penulisan tesis.

10.Petani di Kecamatan Gisting yang telah bersedia membantu penulis dalam pengambilan data dan sampel.

11.Teman-teman Alih Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Pak Sabirin, Pak Inaudi, Pak Tarno, Yasir, Jamal, Mba Asna, Mba Ita, Mba Evi, Farlina, dan rekan-rekan lain yang telah memberikan bantuan baik fisik maupun pemikiran yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

12.Kawan-kawan di Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Pertanian Mba Desi dan Evanyeline terimakasih atas kebersamaannya dan kepeduliannya kepada penulis sehingga akhirnya penulisan tesis ini dapat selesai.

13.Teman-teman di Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kota Bandar Lampung mba Henny Sunlinawati, Mba Yuliyanti, Mba Anida, Desi, Mba Yani, Mba Yuli, Mba Lili, Ka Naryo, Ka Azhar, Ka Rahmadi yang


(12)

senantiasa memberikan semangat untuk dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Karya ilmiah ini adalah hasil usaha terbaik yang dapat penulis persembahkan, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan masyarakat yang peduli terhadap lingkungan dan kesehatan.

Bandar Lampung, Februari 2015


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Kerangka Pikir ... 4

1.4 Hipotesis ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sayuran ... 8

2.2 Pestisida ... 9

2.3 Residu Pestisida ... 21

2.3.1 Batas Maksimum Residu (BMR) pestisida ... 22

2.3.2 Residu pestisida di lingkungan ... 23

2.3.3 Degradasi residu pestisida di lingkungan ... 24

2.4 Arthropoda Tanah ... 24

III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 29

3.2 Bahan dan Alat ... 29

3.3 Metode Penelitian... 30

3.3.1 Metode penelitian kualitatif ... 30

3.3.2 Metode penelitan kuantitatif ... 31

3.3.2.1 Keanekaragaman arthropoda tanah ... 31

3.3.2.2 Analisis residu pestisida ... 32

3.4 Pengumpulan Data ... 35

3.5 Pengolahan Data ... 36

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penggunaan Jenis Pestisida... 37

4.2 Frekuensi Penggunaan Pestisida ... 41

4.3 Keanekaragaman Arthropoda Tanah ... 43

4.3.1 Hasil uji t terhadap jumlah arthropoda tanah ... 46


(14)

4.4 Residu Pestisida ... 48 4.4.1 Residu pestisida pada sayuran ... 48 4.4.2 Residu pestisida pada arthropoda tanah ... 54 V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 58 5.2 Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1. Diagram alir kerangka pikir penelitian ... 6 2. Struktur kimia pestisida ... 10 3. Pemasangan pitfall trap secara diagonal ... 31 4. Menentukan titik pengambilan contoh dengan sistem diagonal


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Batas Maksimum Residu (BMR) pestisida pada cabai, sawi,

dan tomat ... 23

2. Kriteria nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener... 32

3. Daftar pestisida yang digunakan petani sayuran di Kecamatan Gisting... 38

4. Sepuluh besar penyakit di Kabupaten Tanggamus tahun 2007.... 41

5. Frekuensi, dosis, dan waktu penggunaan pestisida oleh petani cabai, sawi, dan tomat di Kecamatan Gisting ... 42

6. Jenis dan keanekaragaman arthropoda tanah ... 43

7. Hasil analisis kandungan residu pestisida pada sayuran ... 49

8. Hasil analisis kandungan residu pestisida pada arthropoda tanah ... 55

9. Kuisioner ... 65

10. Data hasil kuisioner di Pekon Gisting Atas ... 70

11. Data hasil kuisioner di Pekon Sidokaton ... 71

12. Data hasil kuisioner di Pekon Campang ... 73

13. Rekapitulasi data kuisioner di Pekon Gisting Atas ... 75

14. Rekapitulasi data kuisioner di Pekon Sidokaton ... 78

15. Rekapitulasi data kuisioner di Pekon Campang ... 81

16. Data jumlah arthropoda tanah ... 84

17. Hasil uji lanjut independent samples T-tes terhadap jumlah arthropoda tanah ... 84

18. Data indeks keanekaragaman arthropoda tanah ... 85

19. Hasil uji lanjut independent samples T-tes terhadap indeks keanekaragaman arthropoda tanah ... 86

20. Data residu pestisida pada cabai, sawi, dan tomat... 87

21. Hasil uji lanjut independent samples T-tes terhadap residu pestisida pada cabai, sawi, dan tomat ... 87

22. Data residu pestisida pada arthropoda tanah ... 88

23. Hasil uji lanjut independent samples T-tes terhadap residu pestisida pada arthropoda tanah ... 89

24. Standar endosulfan ... 90

25. Standar alfasipometrin ... 91

26. Standar aldrin ... 92

27. Hasil analisis residu organoklor pada cabai dengan aplikasi pestisida secara intensif ... 93


(17)

28. Hasil analisis residu organoklor pada cabai dengan aplikasi

pestisida secara tidak intensif ... 94

29. Hasil analisis residu organoklor pada sawi dengan aplikasi pestisida secara intensif ... 95

30. Hasil analisis residu organoklor pada sawi dengan aplikasi pestisida secara tidak intensif ... 96

31. Hasil analisis residu organoklor pada tomat dengan aplikasi pestisida secara intensif ... 97

32. Hasil analisis residu organoklor pada tomat dengan aplikasi pestisida secara tidak intensif ... 98

33. Standar profenofos ... 99

34. Standar diazinon ... 100

35. Standar dimetoat ... 101

36. Standar fention ... 102

37. Hasil analisis residu organofosfat pada cabai dengan aplikasi pestisida secara intensif ... 103

38. Hasil analisis residu organofosfat pada cabai dengan aplikasi pestisida secara tidak intensif ... 104

39. Hasil analisis residu organofosfat pada sawi dengan aplikasi pestisida secara intensif ... 105

40. Hasil analisis residu organofosfat pada sawi dengan aplikasi pestisida secara tidak intensif ... 106

41. Hasil analisis residu organofosfat pada tomat dengan aplikasi pestisida secara intensif ... 107

42. Hasil analisis residu organofosfat pada tomat dengan aplikasi pestisida secara tidak intensif ... 108

43. Hasil analisis residu organoklor pada arthropoda tanah di lahan cabai dengan aplikasi pestisida secara intensif ... 109

44. Hasil analisis residu organoklor pada arthropoda tanah di lahan cabai dengan aplikasi pestisida secara tidak intensif ... 110

45. Hasil analisis residu organoklor pada arthropoda tanah di lahan sawi dengan aplikasi pestisida secara intensif ... 111

46. Hasil analisis residu organoklor pada arthropoda tanah di lahan sawi dengan aplikasi pestisida secara tidak intensif ... 112

47. Hasil analisis residu organoklor pada arthropoda tanah di lahan tomat dengan aplikasi pestisida secara intensif ... 113

48. Hasil analisis residu organoklor pada arthropoda tanah di lahan tomat dengan aplikasi pestisida secara tidak intensif ... 114

49. Hasil analisis residu organofosfat pada arthropoda tanah di lahan cabai dengan aplikasi pestisida secara intensif ... 115

50. Hasil analisis residu organofosfat pada arthropoda tanah di lahan cabai dengan aplikasi pestisida secara intensif ... 116

51. Hasil analisis residu organofosfat pada arthropoda tanah di lahan cabai dengan aplikasi pestisida secara tidak intensif... 117

52. Hasil analisis residu organofosfat pada arthropoda tanah di lahan cabai dengan aplikasi pestisida secara tidak intensif... 119 53. Hasil analisis residu organofosfat pada arthropoda tanah di lahan


(18)

cabai dengan aplikasi pestisida secara tidak intensif... 121 54. Hasil analisis residu organofosfat pada arthropoda tanah di lahan

sawi dengan aplikasi pestisida secara intensif ... 123 55. Hasil analisis residu organofosfat pada arthropoda tanah di lahan

sawi dengan aplikasi pestisida secara intensif ... 124 56. Hasil analisis residu organofosfat pada arthropoda tanah di lahan

sawi dengan aplikasi pestisida secara tidak intensif... 125 57. Hasil analisis residu organofosfat pada arthropoda tanah di lahan

sawi dengan aplikasi pestisida secara tidak intensif... 127 58. Hasil analisis residu organofosfat pada arthropoda tanah di lahan

tomat dengan aplikasi pestisida secara intensif... 129 59. Hasil analisis residu organofosfat pada arthropoda tanah di lahan

tomat dengan aplikasi pestisida secara intensif... 130 60. Hasil analisis residu organofosfat pada arthropoda tanah di lahan

tomat dengan aplikasi pestisida secara tidak intensif ... 131 61. Hasil analisis residu organofosfat pada arthropoda tanah di lahan


(19)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanggamus merupakan salah satu daerah penghasil sayuran di Provinsi Lampung. Luas lahan sayuran di Tanggamus adalah 6.385 ha yang didominasi oleh tanaman cabai 1.961 ha (31%) (BPS, 2012). Salah satu sentra produksi sayuran di daerah Tanggamus adalah di Kecamatan Gisting dengan komoditas utamanya tanaman cabai, sawi, dan tomat (Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Tanggamus, 2013).

Budidaya sayuran cabai, sawi, dan tomat di Kecamatan Gisting tidak terlepas dari penggunaan pestisida sintetik. Cabai, sawi, dan tomat merupakan tanaman

musiman yang umurnya relatif pendek sehingga perlu penanggulangan yang cepat apabila terdapat permasalahan dalam budidayanya. Permasalahan utama dalam budidaya sayuran adalah terjadinya serangan hama dan penyakit tanaman yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas produksi. Pestisida sintetik menjadi pilihan petani dalam mengatasi permasalahan hama dan penyakit yang menyerang tanaman cabai, sawi, dan tomat agar kehilangan hasil produksi dapat ditekan sekecil mungkin.

Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa pemakaian pestisida sintetik pada tanaman cabai, sawi, dan tomat di Kecamatan Gisting masih cukup tinggi. Pada


(20)

2

umumnya petani banyak menggunakan pestisida golongan organofosfat, dan karbamat. Golongan pestisida organofosfat dan karbamat banyak

direkomendasikan digunakan pada budidaya sayuran karena cepat mematikan hama tanaman (Afriyanto, 2008). Pestisida golongan karbamat banyak digunakan petani karena dapat diaplikasikan dengan takaran yang relatif sedikit, spekrum pengendaliannya luas, tidak persisten, dan memiliki efek melumpuhkan yang sangat baik (Kusnoputranto, 1995).

Pada umumnya petani di Kecamatan Gisting tidak mengikuti petunjuk

penggunaan pestisida dengan benar sesuai dengan petunjuk penggunaan yang tertera pada label kemasan pestisida. Mereka menggunakan pestisida berdasarkan pengalaman dan informasi dari petani lainnya. Ketakutan kegagalan panen membuat petani menggunakan pestisida dengan tidak bijaksana. Berdasarkan hasil penelitian Prakosa et al. (2004), banyak petani yang berpendapat dengan meningkatkan dosis dan frekuensi pemberian pestisida akan memberikan hasil yang lebih baik.

Penggunaan pestisida yang berlebihan dapat mengakibatkan residu pestisida pada produk pertanian dan dapat melebihi Batas Maksimum Residu (BMR). Residu pestisida pada produk pertanian yang dikonsumsi dapat menyebabkan penyakit kanker dan penyakit kronis lainnya. Berdasarkan penelitian Rustia et al. (2010), petani sayuran di Kecamatan Gisting mengalami keracunan ringan 71,4% dan keracunan sedang 28,6% akibat terpapar pestisida organofosfat. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Tanggamus (2007), sepuluh besar penyakit di


(21)

3

28,26%, penyakit lain pada pernafasan akut 16,63%, penyakit sistem otot dan jaringan 10,02%, dan penyakit infeksi lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi pestisida sebanyak 20-24 kali dalam satu siklus tanam bawang merah berdampak buruk terhadap kesehatan dengan meningkatnya kasus kerusakan jaringan tubuh, gangguan syaraf, serta tercemarnya air susu ibu oleh logam berat (Koster, 1990; Reflinaldo et al., 2009). Menurut Khan (2003), pestisida telah merusak keseimbangan alami pada tanah pertanian dan menurunkan keanekaragaman arthropoda tanah.

Hingga saat ini belum ada kajian dampak penggunaan pestisida oleh petani sayuran terhadap keanekaragaman arthropoda tanah dan residu pestisida di Kecamatan Gisting. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai dampak penggunaan pestisida oleh petani sayuran terhadap keanekaragaman arthropoda tanah dan residu pestisida di Kecamatan Gisting.

1.2 Tujuan

1. Mengetahui jenis dan frekuensi penggunaan pestisida pada sayuran cabai, sawi, dan tomat oleh petani di Kecamatan Gisting.

2. Mengetahui pengaruh penggunaan pestisida pada sayuran cabai, sawi, dan tomat terhadap tingkat keanekaragaman arthropoda tanah di Kecamatan Gisting.

3. Mengetahui pengaruh penggunaan pestisida pada sayuran cabai, sawi, dan tomat terhadap kandungan residu pestisida sayuran dan arthropoda tanah di Kecamatan Gisting.


(22)

4

1.3 Kerangka Pikir

Sayuran merupakan tanaman musiman yang umurnya relatif pendek sehingga perlu penanggulangan yang cepat jika ada permasalahan dalam budidayanya. Permasalahan utama dalam budidaya sayuran adalah terjadinya serangan hama dan penyakit tanaman yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas produksi. Secara umum budidaya sayuran secara monokultur dalam hamparan yang luas akan meningkatkan potensi terjadinya serangan hama dan penyakit tanaman. Penggunaan pestisida sintetik merupakan pilihan petani dalam mengatasi

permasalahan hama dan penyakit yang menyerang sayuran agar kehilangan hasil produksi dapat ditekan sekecil mungkin.

Pada umumnya petani menggunakan pestisida berdasarkan pengalaman dan informasi yang mereka dapatkan dari petani lainnya. Berdasarkan penelitian Wahyuni (2010), diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani dalam penggunaan pestisida adalah pengaruh teman seprofesi, kurangnya sosialisasi kebijakan, serta persepsi petani yang masih keliru tentang pestisida. Hal ini berdampak pada penggunaan pestisida yang tidak sesuai dengan petunjuk dan aturan yang tepat. Pola penggunaan pestisida harus tepat jenis, dosis, waktu penggunaan, cara penggunaan, sasaran, dan kombinasi (Djojosumarto, 2008).

Pestisida yang disemprotkan pada tanaman berpotensi meninggalkan residu pada tanaman. Pestisida yang digunakan selain mengenai hama sasaran dan musuh alami juga dapat mengenai tanaman, tanah, dan air. Pestisida yang mengenai hama sasaran sekitar 20% dan sisanya jatuh ke tanah dan terakumulasi di dalam tanah (Sa’id, 1994; Dwifianti, 2013). Residu ini dapat bertahan lama dalam tanah


(23)

5

sampai beberapa tahun tergantung jenis pestisidanya. Residu pestisida ini dapat mempengaruhi kehidupan arthropoda di dalam tanah dan terakumulasi di dalam tubuh arthropoda tanah (Hardjowigeno, 1995).

Di dalam ekosistem pertanian, arthropoda tanah sangat beranekaragam dan berfungsi dalam mengaduk dan mengaerasi tanah, menghancurkan bahan-bahan organik, dan mengatur jumlah populasi fauna lainnya (Moldenke, 2001). Pengunaan bahan kimia seperti pestisida dan pupuk kimia sangat berpengaruh terhadap keanekaragaman arthropoda tanah. Penggunaan pestisida dengan konsentrasi yang tinggi dapat menurunkan keragaman spesies arthropoda tanah (Agustine, 2000). Penggunaan pestisida yang tepat pada kebun jeruk

menunjukkan keanekaragaman arthropoda tanah lebih tinggi dibandingkan dengan kebun jeruk dengan pemakaian pestisida yang tidak sesuai dengan aturan (Khairia, 2009).

Dampak negatif penggunaan pestisida terhadap lingkungan perlu mendapat perhatian dari semua pihak baik dari pemerintah, petani, peneliti, maupun masyarakat konsumen produk pertanian. Residu insektisida golongan

organofosfat ditemukan pada jenis sayuran cabai dan wortel dengan kandungan profenofos 0,11 mg/kg, deltametrin 7,73 mg/kg, klorpirifos 2,18 mg/kg,

tulubenzuron 2,89 mg/kg, dan permetrin 1,80 mg/kg (Soemirat, 2003).

Pengunaan pestisida golongan organofosfat dan karbamat di Kecamatan Gisting perlu mendapat perhatian supaya tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Pada penelitian ini dilakukan kajian tentang dampak penggunaan pestisida oleh petani sayuran di Kecamatan Gisting terhadap keanekaragaman


(24)

6

arthropoda tanah dan residu pestisida di Kecamatan Gisting. Frekuensi

penggunaan pestisida berbeda-beda antar petani di Kecamatan Gisting. Frekuensi penggunaan pestisida yang dilakukan oleh petani pada umumnya tergantung dari faktor psikologis yaitu adanya rasa ketakutan dan kekhawatiran akan gagal panen (Prakosa et al., 2004). Kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir kerangka pikir penelitian

1.4 Hipotesis

Penggunaan pestisida secara intensif dan tidak intensif pada sayuran cabai, sawi, dan tomat di Kecamatan Gisting berpengaruh terhadap keanekaragaman arthropoda tanah serta kandungan residu pestisida.

Petani sayuran cabai, sawi, dan tomat di Kecamatan Gisting

Penggunaan Pestisida :  Jenis pestisida

 Frekuensi penggunaan

Tingkat pengetahuan dan Persepsi petani

Analisis residu pestisida pada cabai,

sawi, dan tomat

Dampak Negatif

Baku Mutu BMR SNI 7313:2008

Keanekaragaman arthropoda tanah pada lahan cabai, sawi, dan tomat

Analisis residu pestisida pada arthropoda tanah


(25)

7

1.5 Manfaat Penelitian

1. Sebagai sumber informasi bagi pemerintah terutama Dinas Pertanian mengenai penggunaan pestisida yang tidak sesuai anjuran berdampak pada keanekaragaman arthropoda tanah dan residu pestisida.

2. Sebagai masukan bagi petani agar menggunakan pestisida sesuai dengan ambang batas ekonomi hama dan penyakit tanaman serta dosis anjuran. 3. Sebagai bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut dampak penggunaan


(26)

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sayuran

Sayuran merupakan bahan pangan asal tumbuhan yang mengandung

kadar air tinggi dan dikonsumsi dalam keadaan segar atau setelah diolah. Sayuran dikonsumsi dengan cara yang berbeda-beda, baik sebagai bagian dari menu utama maupun sebagai makanan sampingan. Sayuran sangat bermanfaat bagi kesehatan karena mengandung kadar air tinggi, nutrisi, pembentuk sifat basa, vitamin, mineral, dan serat pangan (Supriati et al., 2008).

Permasalahan utama dalam budidaya sayuran yaitu serangan hama dan penyakit tanaman yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas produksi. Oleh karena itu, petani menggunakan pestisida untuk mengatasi serangan hama dan penyakit tanaman tersebut. Penggunaan pestisida yang tidak sesuai dengan aturan

menyebabkan sayuran menjadi tercemar oleh pestisida tersebut. Akibatnya banyak sayuran yang yang beredar di pasaran mengandung residu pestisida yang melebihi batas maksimum (BMR). Residu insektisida golongan organofosfat ditemukan pada jenis sayuran cabai dan wortel dengan kandungan profenofos 0,11 mg/kg, deltametrin 7,73 mg/kg, klorpirifos 2,18 mg/kg, tulubenzuron 2,89 mg/kg, dan permetrin 1,80 mg/kg (Soemirat, 2003). Residu pestisida diazinon pada bawang merah dari Alahan Panjang dan Sungai Nanam Kecamatan Lembah


(27)

9

Gumati Padang telah melewati nilai BMR yaitu 2,006 mg/kg dan 1,764 mg/kg (Asmita, 2010).

2.2 Pestisida

Pestisida berasal dari Bahasa Inggris yaitu pest berarti hama dan cida berarti pembunuh. Pestisida merupakan zat yang dapat membunuh atau mengendalikan berbagai hama dan penyakit tanaman. Menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk: (1) memberantas hama dan penyakit yang merusak tanaman; (2) memberantas rerumputan; (3) mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan; (4) mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman; (5) memberantas hama pada hewan piaraan atau ternak, (6) memberantas hama air; (7) memberantas binatang dan jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan; (8) memberantas binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah, atau air.

Menurut Kusnoputranto (1995), berdasarkan bahan aktifnya pestisida dapat

digolongkan menjadi organoklor, organofosfat, karbamat, piretroid, dan kelompok lainnya. Struktur kimia pestisida tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.


(28)

10 N Cl Cl Cl O P S O O

CH2 CH3

CH2 CH3

O

H3C P

C

S O H3C

O

NH

CH3 N N

CH3

H3C

H3C O

P S O O CH3 CH3 CH3 S H3C

O P S

O CH3

O CH3 Br Cl O P O

OC2H5 C3H7S

Cl Cl Cl Cl O S O O Cl Cl

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

Gambar 2. Struktur kimia pestisida (a) endosulfan, (b) profenofos, (c) klorpirifos, (d) dimetoat, (e) diazinon, dan (f) fention

a. Organoklor

Organoklor merupakan racun terhadap susunan saraf (neuro toxins) yang

merangsang sistem saraf serangga maupun mamalia hingga menyebabkan tremor dan kejang-kejang. Salah satu bahan aktif golongan organoklor yang banyak digunakan yaitu endosulfan yang merupakan insektisida dan akarisida

berspektrum luas. Endosulfan pertama kali digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1954 untuk mengendalikan hama serangga pertanian dan tungau pada berbagai jenis sayuran dan buah.

Endosulfan diperdagangkan dengan beberapa nama dagang seperti Thiodan, Akodan, Fanodan, dan lain-lain (Komisi Pestisida, 1997). Endosulfan ini


(29)

11

berbentuk pekatan berwarna coklat yang dapat dielmusikan dalam air, mempunyai kelarutan rendah dalam air tetapi larut dalam pelarut organik.

Endosulfan merupakan salah satu insektisida organoklor golongan siklodien, campuran dua isomer yaitu isomer alfa dan isomer beta. Endosulfan memiliki nama kimia 6,7,8,9,10,10-hexachloro-1,5,5a,6,9,9a-hexahydro-6,9-methano-2,4,3-benzodioxathiepin-3-oxide dan rumus kimia C9H6CL6O3S serta memiliki bobot molekul 406, 95 dalton. Waktu paruh endosulfan dalam air lebih kurang 4 hari, tetapi kondisi pH yang rendah akan memperpanjang waktu paruhnya. Di dalam air endosulfan dapat didegradasi membentuk alkohol. Di dalam tanah isomer alfa lebih cepat hilang dibanding isomer beta dan membentuk hasil degradasi berupa senyawa endosulfan sulfat (Arianti, 2002).

Struktur molekul senyawa endosulfan mempunyai bentuk heterosiklik yang secara sintesis dapat diperoleh melalui reaksi kondensasi dies-alder dari

heksaklopentadiena dan cis-2-buten-1,4-diol yang dilanjutkan pada tahap kedua yaitu pengubahan dari senyawa sulfit melalui persamaan reaksi dengan tionil klorida (Sitting, 1980).

Endosulfan memiliki tingkat toksisitas yang tinggi bagi serangga, ikan, mamalia, dan organisme lainnya. Endosulfan masuk ke dalam tubuh melalui beberapa cara yaitu melalui pencernaan, pernafasan, dan jaringan kulit. Adanya endosulfan dalam tubuh mengakibatkan terjadinya penghambatan ATP-ase terutama pada mitokondria akson sinaptik dan sedikit pada endoplasmik retikulum.

Penghambatan ATP-ase berkaitan dengan Ca++ yang menyebabkan peningkatan pelepasan neurotransmiter (Tarumingkeng, 1992).


(30)

12

b. Organofosfat

Organofosfatadalah racun pembasmi serangga yang paling toksik terhadap binatang bertulang belakang seperti ikan, burung, kadal, cicak, dan mamalia. Pestisida ini mengganggu pergerakan otot dan dapat menyebabkan kelumpuhan. Organofosfat dapat menghambat aktifitas enzim cholinesterase yang mempunyai peranan penting pada transmisi saraf.

Senyawa organofosfat adalah kelompok insektisida yang paling banyak digunakan di dunia. Organofosfat tidak persisten atau bioakumulasi di lingkungan. Senyawa organofosfat pertama dikenal pada tahun 1854, namun karena sifatnya yang toksik maka senyawa ini baru muncul kembali pada tahun 1930-an. Tetraethyl

pyrophosphate (TEPP) adalah insektisida organofosfat yang pertama kali digunakan.

Senyawa golongan organofosfat merupakan turunan dari asam fosfat yang dapat dibedakan menjadi turunan alifatik seperti tetraetilpiriofosfat, azordin, diklorovos, mevinfos, dan metamidofos, turunan fenil seperti parathon, profenofos, sulprofos, dan turunan heterosoklik seperti diazinon, azinfosmetil, klorpirifos (Minton and

Murray, 1988).

Toksisitas pestisida organofosfat sangat tergantung pada kandungan bahan aktifnya. Organofosfat dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok, (a)

kelompok yang sangat toksik, seperti chlorfenvinphos, yang memiliki LD50 pada range 1-30 mg/kg, (b) kelompok yang memiliki LD50 pada range 30-50 mg/kg,


(31)

13

seperti dichlorvos, dan (c) kelompok toksik yang memiliki range 60-1300 mg/kg, seperti malathion (Minton and Murray, 1988).

Senyawa organofosfat bersifat tidak stabil, mudah terurai dilingkungan dan bersifat lebih toksik dibandingkan senyawa organoklor, dengan konsentrasi yang kecil mampu menyebabkan kematian (Afriyanto, 2008). Senyawa organofosfat dapat mempengaruhi sistem saraf dan menghambat fungsi enzim asetilkolin esterase, sehingga asetilkolin tidak terhidrolisa. Keracunan pestisida golongan organofosfat disebabkan asetilkolin yang berlebihan, mengakibatkan

perangsangan terus menerus saraf muskarinik, nikotinik, dan sistem saraf pusat.

Gejala efek muskarinik yaitu saliva, lacrimasi, urinasi, diare, kejang perut, nausea, vomitus, bradicardia, miosis, dan berkeringat. Gejala efek nikotinik yaitu pegal-pegal, lemah, tremor, paralysis, dyspnea, dan tachicardia. Gejala efek sistem saraf pusat yaitu bingung, gelisah, insomnia, neurosis, sakit kepala, emosi tidak stabil, bicara terbata-bata, depresi respirasi, dan gangguan jantung, serta koma (Afriyanto, 2008). Semua organofosfat dapat terabsorbsi melalui oral, inhalasi maupun kulit yang sehat (Sartono, 2002).

Profenofos merupakan salah satu insektisida golongan organofosfat. Insektisida ini merupakan racun kontak dan lambung berspektrum luas. Mempunyai nama kimia O-4-bromo-2-klorofenil O-etil S-propil fosforotioat (C11H15O3PSBrCl) dengan berat molekul 373, 65 g/mol (US EPA, 2006). Di Indonesia, profenofos pada umumnya diaplikasikan pada tanaman cabai dan tomat. Profenofos memiliki nama dagang Curacron, Polycron, dan Selecron.


(32)

14

Profenofos merupakan insektisida yang mudah terdegradasi. Profenofos dalam tanah akan hilang pada kondisi netral sampai basa dengan waktu paruh beberapa hari. Degradasi klorpirifos dalam tanah akan menghasilkan produk 4-bromo-2-chlorophenol dan O-ethyl-S-propylphosphorthioate. 4-bromo-2 4-bromo-2-chlorophenol bersifat persisten di tanah sedangkan O-ethyl-S-propyl phosphorthioate belum diketahui tingkat persistensinya (US EPA, 2006).

Proses degradasi profenofos terjadi karena reaksi-reaksi hidrolisis, fotolisis, dan aktivitas mikroorganisme. Pada proses hidrolisis dengan pH 7, waktu paruh profenofos adalah 24-62 hari. Pada proses fotolisis di air dan di tanah senyawa profenofos bersifat stabil. Pada proses aktivitas mikroorganisme di tanah dengan kondisi aerobik waktu paruh profenofos 104-108 hari sedangkan pada kondisi anaerobik waktu paruhnya adalah 3 hari. Pada proses aktivitas mikroorganisme anaerobik di air waktu paruh profenofos adalah 3 hari (US EPA, 2006).

Pestisida golongan organofosfat yang banyak digunakan selain profenofos adalah klorpirifos. Klorpirifos adalah insektisida golongan organofosfat yang bersifat non sistemik (WHO, 2002) yang bekerja ketika terjadi kontak dengan kulit, termakan (masuk ke lambung), dan terhirup (masuk ke sistem pernafasan). Penerapan klorpirifos pada bibit dan tumbuhan dilakukan dengan penyemprotan langsung atau tidak langsung. Klorpirifos adalah kristal putih yang memiliki bau yang tajam, yang tidak bercampur dengan air tapi bercampur dengan liquid berminyak. Klorpirifos digunakan untuk mengendalikan coleoptera, diptera, homoptera, dan lepidoptera, serta untuk mengontrol hama seperti nyamuk (larva dan dewasa), blattellidae, muscidae, dan isoptera.


(33)

15

Klorpirifos memiliki karakteristik yaitu dari tidak memiliki warna sampai berwarna putih kristal, serta memiliki bau seperti senyawa sulfur. Klorpirifos memiliki tekanan uap 1,87 x 10-5 mmHg pada suhu 25 ºC dan memiliki berat molekul 350,6 g/mol. Sifat lainnya dari klorpirifos yaitu memiliki tingkat kelarutan 0,0014 g/L (1,4 mg/L) pada suhu 25 ºC dan memiliki koefesien penyerapan tanah sebesar 360 sampai 31.000 tergantung pada tipe tanah dan kondisi lingkungan (Christensen et al., 2009). Klorpirifos mempunyai nama dagang Dursban, Lorsban, Dowcow, Eradex, dan Piridane.

Proses utama dalam degradasi klorpirifos adalah metabolisme aerobik dan

anaerobik. Klorpirifos terserap (terabsorpsi) secara kuat kedalam tanah dan tidak bisa langsung terlepas. Karena sifat alami klorpirifos yang non polar, klorpirifos memiliki kelarutan yang rendah dalam air dan di alam memiliki kecendrungan untuk membagi fasa dari fasa aqueous menjadi fasa organik (WHO, 2004).

Proses degradasi klorpirifos terjadi karena reaksi-reaksi hidrolisis, fotolisis, dan aktivitas mikroorganisme. Pada proses hidrolisis dengan pH 7, waktu paruh klorpirifos adalah 72 hari. Pada proses fotolisis di air dan di tanah senyawa klorpirifos bersifat stabil. Pada proses aktivitas mikroorganisme di tanah dengan kondisi aerobik waktu paruh klorpirifos 11-180 hari sedangkan pada kondisi anaerobik waktu paruhnya adalah 39-51 hari (Christensen et al., 2009).

Dimetoat (dimethoate) memiliki nama kimia O,O-dimethylS-(N-methylcarbamoylmethyl) phosphorodithioate dengan rumus empiris

C5H12NO3PS2, serta memiliki berat molekul 229,3 g/mol. Dimetoat memiliki karakteristik yaitu berwarna kristal putih padat, berbau merkaptan, dan titik didih


(34)

16

45–48 oC. Dimetoat memiliki tingkat kelarutan 25 g/L pada suhu 21 oC, memiliki tingkat kelarutan yang tinggi pada chloroform, methylene chloride, benzene, toluene, alkohol, ester, dan keton, serta memiliki tingkat kelarutan yang rendah pada xylen, karbon tetrachloride, dan aliphatik hidrokarbon (United States Environmental Protection Agency, 2008).

Diazinon pertama kali terdaftar di Amerika Serikat pada tahun 1956 sebagai insektisida organofosfat, akarisida, dan nematisida. Diazinon merupakan jenis insektisida organofosfat yang digunakan untuk pertanian dan non pertanian (rumah dan taman). Diazinon adalah insektisida non-sistemik yang diaplikasikan pada buah-buahan, tanaman hortikultura, kentang, padi, tebu, tembakau, dan lain-lain.

Sifat fisik dan kimia diazinon yaitu tidak mempunyai warna, mempunyai tekanan uap 8,25 x 10-5 mmHg pada suhu 25 ºC, memiliki rumus molekul C12H21N2O3PS dengan berat molekul 304,36 g/mol, tingkat kelarutan dalam air 40 mg/L pada suhu 25 ºC dan memiliki koefesien penyerapan tanah (KOC) sebesar 2,28 (Christensen et al., 2009). Diazinon mempunyai nama dagang Diazinon, Spectracide, dan Basudin.

Diazinon merupakan senyawa organofosfat yang tidak persisten di dalam tanah. Diazinon yang diaplikasikan akan hilang dari tanah melalui degradasi secara kimiawi dan biologi. Sekitar 46% dari diazinon yang ditambahkan ke tanah akan hilang dalam 2 minggu. Jika diazinon diaplikasikan ke dalam tanah, tidak akan terikat secara kuat dengan tanah (Christensen et al., 2009).


(35)

17

Menurut Christensen et al. (2009), hidrolisis diazinon menjadi lebih lambat pada pH > 6, tetapi cukup signifikan di tanah. Produk utama dari hidrolisis adalah 2-isopropyl-4-methyl-6-hydroxypyrimidine. Namun, jika tidak cukup air pada kondisi asam, tetraetil dithio dan thiopirofosfat diproduksi, keduanya lebih toksik dari diazinon.

Fention (fention) pertama kali terdaftar di Amerika Serikat pada tahun 1965 sebagai insektisida, akarisida, dan pengendali serangga lainnya. Fention memiliki nama kimia O,O-dimethylO-(4-(methylthio)-m-tolyl) phosphorothioate dengan rumus kimia C10H15O3PS2 dan bobot molekul 278,3 g/mol (United States Environmental Protection Agency, 2001).

Fention murni adalah cairan berwarna kuning-coklat dengan sedikit bau bawang putih. Titik cairnya adalah <-25 °C dan titik didih 105°C pada 0,01 mm Hg. Fention tidak larut dalam air dan dapat larut dengan methanol, ethanol, ether, acetone, dan pelarut organik lainnya (terutama chlorinated hydrocarbons). Fention stabil hingga suhu 210 °C dan tahan pada alkali sampai pH 9 (United States Environmental Protection Agency, 2001).

c. Karbamat

Pestisida jenis karbamat menghambat enzim cholinesterase dan dapat memperkuat efek toksik dari efek bahan racun lain. Karbamat merupakan insektisida yang bersifat sistemik dan berspektrum luas sebagai nematosida dan akarisida (Bonner et al., 2005).


(36)

18

d. Piretroid

Piretroid merupakan salah satu insektisida tertua di dunia yang berasal dari beberapa ester pyretrin yang diektraksi dari bunga chrysantemum. Piretroid yang relatif stabil terhadap sinar matahari antara lain: deltametrin, permetrin,

fenvlerate. Sedangkan yang tidak stabil terhadap sinar matahari antara lain: difetrin, sipermetrin, fluvalinate, siflutrin, fenpropatrin, tralometrin,

sihalometrin,dan flusitrinate.

e. Kelompok lain

Senyawa yang diproduksi secara alami oleh tumbuh-tumbuhan. Produk tumbuhan yang secara alami merupakan pestisida antara lain nikotin, rotenon, kamper, dan terpentium.

Frekuensi penyemprotan pestisida sesuai golongan adalah sebagai berikut: a. Golongan organofosfat

Golongan ini mempunyai masa degradasi dalam lingkungan sekitar 2 minggu. Dengan demikian frekuensi penyemprotan golongan ini adalah 2 minggu sekali.

b. Golongan karbamat

Golongan ini hampir sama dengan organofosfat. Mempunyai masa degradasi di lingkungan hampir sama dengan organofosfat yaitu sekitar 12-14 hari, oleh karena itu maka frekuensi penyemprotannya berkisar 12-14 hari.


(37)

19

Dalam menentukan pestisida yang tepat, perlu diketahui karakterisitk pestisida yang meliputi efektivitas, selektivitas, fitotoksitas, residu, resistensi, LD50, dan kompabilitas (Djojosumarto, 2008).

a. Efektivitas

Merupakan daya bunuh pestisida terhadap organisme pengganggu. Pestisida yang baik seharusnya memiliki daya bunuh yang cukup untuk mengendalikan organisme pengganggu dengan dosis yang tidak terlalu tinggi, sehingga memperkecil dampak buruknya terhadap lingkungan.

b. Selektivitas

Selektivitas sering disebut dengan istilah spektrum pengendalian, merupakan kemampuan pestisida untuk membunuh beberapa jenis organisme. Pestisida yang disarankan untuk pengendalian hama terpadu adalah pestisida yang berspektrum sempit.

c. Fitotoksitas

Fitotoksitas merupakan sifat yang menunjukkan potensi pestisida untuk memberikan efek keracunan bagi tanaman yang ditandai dengan pertumbuhan yang abnormal setelah aplikasi pestisida.

d. Residu

Residu adalah racun yang tertinggal pada tanaman setelah penyemprotan yang akan bertahan sebagai racun sampai batas tertentu. Residu yang bertahan lama pada tanaman akan berbahaya bagi kesehatan manusia.


(38)

20

e. Persistensi

Persistensi adalah kemampuan pestisida bertahan dalam bentuk racun di dalam tanah. Pestisida yang mempunyai persistensi tinggi sangat berbahaya karena dapat meracuni lingkungan.

f. Resistensi

Resistensi merupakan kekebalan organisme pengganggu terhadap aplikasi suatu jenis pestisida. Jenis pestisida yang mudah menyebabkan resistensi organisme pengganggu sebaiknya tidak digunakan.

g. LD 50 (lethal dosage 50%)

LD 50 merupakan besarnya dosis yang mematikan 50% dari jumlah hewan percobaan.

h. Kompatabilitas

Kompatabilitas adalah kesesuaian suatu jenis pestisida untuk dicampur dengan pestisida lain tanpa menimbulkan dampak negatif. Informasi tentang jenis pestisida yang dapat dicampur dengan pestisida tertentu biasanya terdapat pada label di kemasan pestisida.

Efektivitas pemakaian pestisida ditentukan oleh : a. Pemilihan jenis pestisida yang tepat

Pemilihan jenis pestisida yang cocok dan efektif digunakan tergantung dari jenis organisme pengganggu yang sedang berjangkit, jenis tanaman yang terserang, harga pestisida, spektrum pestisida, dan kekebalan organisme terhadap pestisida (Sudarmo, 1992).


(39)

21

b. Dosis, konsentrasi, dan volume semprot yang tepat

Dosis konsentrasi dan volume semprot adalah istilah dalam aplikasi pestisida yang harus diketahui. Disarankan untuk menggunakan konsentrasi dan dosis terkecil lebih dahulu (Wudianto, 2010).

c. Cara dan waktu aplikasi yang tepat

Cara pengendalian organisme pengganggu untuk setiap jenis pestisida (fungisida, insektisida dan herbisida) sangat bervariasi begitu juga dengan formulasinya. Oleh sebab itu sebelum menggunakan pestisida, harus dipilih jenis dan merek dagang pestisida yang sesuai dengan hama dan penyakit tanaman, formulasi yang sesuai dengan peralatan yang tersedia dan bagaimana menggunakan pestisida secara efektif dan efisien (Wudianto, 2010). Waktu aplikasi adalah pilihan rentang waktu yang tepat untuk mengaplikasikan pestisida yaitu pada saat organisme pengganggu tanaman berada pada stadium paling peka terhadap pestisida. Aplikasi pada waktu yang tepat juga seringkali lebih murah dan lebih aman (Djojosumarto, 2008).

2.3 Residu Pestisida

Residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil pertanian, bahan pangan, atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari penggunaan pestisida (Kelompok Kerja Penyusunan Revisi Metode Analisis Residu Pestisida pada Hasil Pertanian, 2004).


(40)

22

2.3.1 Batas Maksimum Residu (BMR) Pestisida

Hasil pertanian yang beredar di Indonesia baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri tidak boleh mengandung residu pestisida melebihi Batas Maksimum Residu (BMR). BMR didefinisikan sebagai konsentrasi maksimum residu pestisida yang secara hukum diizinkan atau diketahui sebagai konsentrasi yang dapat diterima pada hasil pertanian, bahan pangan, atau bahan pakan hewan. Konsentrasi tersebut dinyatakan dalam miligram residu pestisida per kilogram (Kelompok Kerja Penyusunan Revisi Metode Analisis Residu Pestisida pada Hasil Pertanian, 2004).

Setiap negara memiliki kebijakan pertanian mengenai batas residu maksimum. BMR yang diizinkan bervariasi di setiap negara tergantung pada wilayah dan kondisi iklim serta geografis. Batas residu maksimum internasional telah

dikeluarkan oleh FAO dan WHO di tahun 1963 mengenai pengembangan standar pangan internasional, kode panduan penerapan, dan rekomendasi untuk keamanan pangan. Standar internasional yang berkaitan dengan pangan yang merupakan hasil rumusan dari Codex Alimentarius Commission (CAC). CAC adalah badan antar pemerintah yang dibentuk oleh FAO dan WHO (Joint FAO/WHO Food Standards Programme). Codex dibentuk dengan tujuan antara lain untuk melindungi kesehatan konsumen, menjamin praktek yang jujur dalam

perdagangan pangan internasional serta mempromosikan koordinasi pekerjaan standardisasi pangan yang dilakukan oleh organisasi internasional lain (Menteri Kelautan dan Perikanan, 2012). Batas Maksimum Residu Pestisida berdasarkan SNI 7313:2008 dapat dilihat pada Tabel 1.


(41)

23

Tabel 1. Batas Maksimum Residu (BMR) pestisida pada cabai, sawi, dan tomat

No. Jenis Pestisida Batas Maksimum Residu Pestisida (ppm)

Cabai Sawi Tomat

1 Organoklor

 Endosulfan 2 2 0,5

 Alfasipometrin - - -

 Aldrin - - -

2 Organofosfat

 Profenofos 2 1 2

 Diazinon 0,5 0,5 0,5

 Dimetoat - - 1

 Fention - - 0,5

 Klorpirifos 2 - 0,5

3 Karbamat

 Mankozeb - - 0,2

Sumber: SNI 7313:2008

2.3.2 Residu pestisida di lingkungan

Residu pestisida dapat tersimpan di dalam tanah selama bertahun-tahun dan dapat merusak komposisi mikroba tanah, serta mengganggu ekosistem perairan. Residu pestisida dapat tercuci dari tanah melalui air permukaan tanah (erosi) sehingga berpindah ke lokasi lain disekitarnya. Residu pestisida pada tanaman dapat masuk ke jaringan tanaman atau permukaan tanaman. Beberapa jenis pestisida lipofilik cenderung terakumulasi pada lapisan lilin dan lemak tanaman di bagian kulit. Pestisida masuk ke dalam jaringan tanaman melalui proses adsorbsi tanaman dan di dalam jaringan tanaman pestisida menyebar melalui proses translokasi dan metabolisme tanaman (Norris, 1974).


(42)

24

2.3.3 Degradasi residu pestisida di lingkungan

Proses degradasi residu pestisida adalah proses penguraian pestisida setelah digunakan melalui proses mikroba, reaksi kimia, dan sinar matahari. Residu pestisida dapat terurai melalui pencucian, penguapan, pelapukan, degradasi enzimatik, dan translokasi. Pestisida dapat berpindah ke lokasi lain pada permukaan tanah akibat erosi, aliran air, sungai, laut, dan hembusan angin. Lamanya proses degradasi residu pestisida tergantung pada kondisi lingkungan dan sifat-sifat kimia pestisida (Manuaba, 2009). Jumlah residu pestisida pada tanaman tergantung pada cara, waktu, frekuensi aplikasi, dan dosis. Hasil penelitian Dibyantoro (1979) menyebutkan bahwa semakin dekat waktu

penggunaan pestisida dengan masa panen akan menyebabkan peningkatan jumlah residu pestisida pada tanaman.

2.4 Arthropoda Tanah

Pada permukaan tanah terdapat banyak makhluk hidup yang sebagian besar dihuni oleh jenis-jenis arthropoda. Hewan ini umumnya menggunakan sumber daya yang ada dipermukaan untuk melangsungkan aktivitas kehidupannya. Arthropoda tanah cepat bereaksi akibat pengolahan tanah.

Arthropoda merupakan filum terbesar dari animal kingdom. Karena arthropoda merupakan filum yang terbesar maka mereka terdapat dimana-mana, baik itu di hutan, dataran rendah maupun dataran tinggi. Secara literal arthropoda berarti kaki yang beruas-ruas. Semua anggota dari kelompok ini mempunyai bagian tubuh yang beruas-ruas, tidak hanya pada kakinya (Borror et al., 1992).


(43)

25

Arthropoda yang hidup di tanah disebut arthropoda tanah. Arthropoda tanah dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya di dalam tanah sebagai penghancur, predator, herbivor, dan pemakan fungi (Moldenke, 2001).

a. Penghancur

Beberapa arthropoda besar di atas permukaan tanah biasanya sebagai penghancur. Mereka mengunyah bahan-bahan tumbuhan yang telah mati, sekaligus juga memakan bakteri dan fungi yang menempel di permukaan tanaman. Jenis yang paling melimpah pada kelompok ini adalah lipan, kutu, rayap, dan tungau. Dalam tanah pertanian, kelompok arthropoda ini dapat menjadi hama karena memakan akar tanaman yang masih hidup jika bahan-bahan makanan yang telah mati kurang mencukupi (Moldenke, 2001). b. Predator dan parasit

Beberapa arthropoda tanah adalah predator dan parasit. Predator dan

mikropredator disebut generalis, yaitu memakan beberapa tipe mangsa yang berbeda atau hanya berburu satu tipe mangsa. Predator meliputi kelabang, laba-laba, kumbang tanah, kalajengking, laba-laba serigala, pseudoscorpion, semut, dan tungau. Beberapa predator memakan hama tanaman diantaranya kumbang dan tawon parasit telah dikembangkan untuk biokontrol komersial (Moldenke, 2001).

c. Herbivora

Beberapa arthropoda yang menghabiskan hidupnya di dalam tanah seperti kumbang, symphylans, cicadas, mole-crikets, dan lalat centhomyiid adalah herbivora dan dapat menjadi hama tanaman. Jumlah herbivora ini cukup besar


(44)

26

dan menyebabkan kerusakan pada akar atau bagian tanaman lainnya (Moldenke, 2001).

d. Pemakan fungi

Beberapa arthropoda seperti springtail, tungau, silverfish memakan fungi dan juga beberapa jenis bakteri. Mereka menggaruk dan memakan bakteri dan fungi yang ada di permukaan akar. Sejumlah besar fraksi nutrient bagi tumbuhan dihasilkan oleh fauna pemakan mikroba ini (Moldenke, 2001).

Peranan serangga dalam kehidupan manusia ada yang menguntungkan dan merugikan. Peranan serangga yang menguntungkan adalah penyerbukan tanaman, penghasil produk, bersifat entomofagos (predator dan parasitoid), pemakan bahan organik, pemakan gulma, sebagai bahan penelitian. Sedang peranan serangga yang merugikan adalah perusak tanaman, perusak produk dalam simpanan, sebagai faktor penyakit bagi tanaman, hewan maupun manusia (Jumar, 2000).

Arthropoda umumnya hidup di serasah-serasah sebagai tempat hidup dan sumber makanannya. Sisa-sisa tumbuhan membentuk bahan organik tanah yang bila terurai seluruhnya akan menjadi humus. Kondisi seperti ini tentunya dapat menyuburkan tanah dan baik untuk tanaman.

Keanekaragaman adalah suatu keadaan makhluk hidup yang bermacam-macam. Keanekaragaman dapat dilihat dari perbedaan bentuk, ukuran, struktur, warna, fungsi, organ, dan habitatnya. Keanekaragaman makhluk hidup diantara individu sejenis disebut variasi. Lingkungan yang berperan penting dalam


(45)

27

lingkungannya agar tetap hidup. Karena jumlah individu serta

keanekaragamannya begitu besar, maka untuk mengenal dan mempelajari setiap individu perlu diklasifikasikan.

Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan komunitas memiliki

kompleksitas tinggi. Hal ini karena dalam komunitas terjadi interaksi jenis yang tinggi. Odum (1998) dan Fachrul (2007) mengatakan bahwa keanekaragaman identik dengan kestabilan suatu ekosistem. Jika keanekaragaman suatu ekosistem tinggi, maka kondisi ekosistem tersebut cenderung stabil. Jumlah spesies dalam komunitas adalah penting dari segi ekologi, karena keanekaragaman jenis akan bertambah bila komunitas menjadi stabil. Gangguan parah menyebabkan

penurunan yang nyata dalam keanekaragaman. Keanekaragaman yang besar juga mencirikan corak (Michael, 1994).

Keanekaragaman cenderung menjadi tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dan menjadi rendah dalam komunitas yang baru terbentuk. Produktivitas atau arus energi seluruhnya mempengaruhi keanekaragaman jenis (Odum, 1998). Hewan dapat hidup di lingkungan yang dapat menyediakan berbagai keperluan untuk kelangsungan daur hidupnya. Menurut Curry (1998) dan Lee (1991); Samudra et al. (2013) frekuensi pengolahan lahan dan penggunaan bahan kimia berdampak besar terhadap kelimpahan dan keanekaragaman organisme tanah. Aktivitas pertanian berdampak positif dan negatif dalam kelimpahan,

keanekaragaman, dan aktivitas fauna tanah (Hendrix dan Edward, 2004).

Dampak negatif penggunaan pestisida dapat menurunkan kemelimpahan arthropoda permukaan tanah. Hasil penelitian Winasa dan Rauf (2005)


(46)

28

menunjukkan aplikasi deltametrin pada sawah menurunkan kemelimpahan arthropoda permukaan tanah dari famili lycosidae, lyniphidae, carabidae dan formicidae. Penggunaan pestisida kimia dapat menurunkan kemelimpahan dan keanekaragaman arthropoda tanah pada lahan pertanian di Nigeria (Desmond et al., 2013). Aplikasi insektisida sintetik dapat menurunkan keanekaragaman dan kemelimpahan arthropoda predator yang aktif di permukaan tanah (Herlinda et al., 2008). Menurut Shelton et al. (1983), penggunaan pestisida dapat menurunkan predator yang ada di permukaan tanah.

Penggunaan pestisida golongan organofosfat, karbamat dan piretroid pada

budidaya bawang merah dengan intensitas yang tinggi yaitu 20-22 kali untuk satu musim dapat menurunkan populasi ordo hymenoptera, collembola, dan diplura (Asmita, 2010). Keanekaragaman arthropoda tanah pada lahan sayuran organik tergolong sedang, sedangkan keanekaragaman arthropoda tanah pada lahan pertanian sayuran yang intensif tergolong rendah (Samudra et al., 2013). Pengaruh pertanian intensif pada arthropoda akan menyebabkan fast cycle, hal ini menyebabkan berkurangnya keberagaman serta pertumbuhan mikroorganisme yang cepat sehingga organisme akan cenderung dominan dan berpotensi menjadi hama (Bardgett and Cook, 1998).


(47)

29

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 - Februari 2014 di Pekon Gisting Atas, Campang, dan Sidokaton Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Ketiga pekon tersebut dipilih menjadi tempat penelitian karena ketiga pekon tersebut merupakan daerah dengan luas hamparan cabai, sawi, dan tomat terluas di Kacamatan Gisting.

Sampel cabai, sawi, dan tomat diambil dari lahan sayuran yang berada di Pekon Gisting Atas, Campang, dan Sidokaton. Identifikasi arthropoda tanah dilakukan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Universitas Lampung. Sedangkan analisis residu pestisida dilakukan di Laboratorium Pengujian Mutu Hasil

Pertanian Universitas Lampung.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah sayuran cabai, sawi, dan tomat yang diperoleh dari lahan pertanian di Kecamatan Gisting (Pekon Gisting Atas, Campang, dan


(48)

30

Peralatan yang digunakan adalah kromatografi gas dengan detektor ECD, FPD, dan NPD, alumunium foil, plastik, label, pencincang, blender, erlemeyer, gelas ukur, pipet tetes, sentrifus, rotavapor, timbangan analitik, dan gelas plastik.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian dilakukan secara deskriptif dengan metode pengukuran secara kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan survei dan metode kuantitatif dilakukan analisis residu pestisida serta keanekaragaman arthropoda tanah pada sampel yang ditentukan.

3.3.1 Metode penelitian kualitatif

Metode yang digunakan adalah teknik wawancara (interview) dengan

menggunakan kuesioner dan pengamatan secara langsung. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan purposive sampling dengan jumlah responden 60 orang petani sayuran cabai, sawi, dan tomat. Petani yang menggunakan pestisida ini dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu :

a. Petani sayuran (cabai, sawi, dan tomat) yang menggunakan pestisida secara tidak intensif. Merupakan petani sayuran yang menggunakan jenis pestisida tersebut secara tidak terjadwal. Frekuensi penggunaan pestisida setiap 7-10 hari sekali.

b. Petani sayuran (cabai, sawi, dan tomat) yang menggunakan pestisida secara intensif. Petani sayuran pada kategori ini menggunakan pestisida secara


(49)

31

terjadwal tanpa melihat ada serangan hama atau patogen penyakit tanaman. Frekuensi penggunaan pestisida sebanyak 3 hari sekali.

3.3.2 Metode penelitian kuantitatif

Penelitian kuantitatif dilakukan dengan menganalisis residu pestisida dan keanekaragaman arthropoda tanah.

3.3.2.1 Keanekaragaman arthropoda tanah

Dilakukan dengan menggunakan metode pitfall trap. Pitfall trap yang digunakan adalah gelas plastik berdiameter 7 cm yang disi dengan 50 mL alkohol 70% (berfungsi sebagai pengawet arthropoda). Pitfall trap dipasang secara menyebar mengikuti arah garis diagonal. Pada setiap garis diagonal masing-masing

dipasang 10 pitfall trap sehingga dalam1 area sampel terdapat 20 pitfall trap. Pemasangan pitfall trap dilakukan pagi hari pada pukul 06.00 WIB. Pitfall trap dipasang selama 24 jam. Cara pemasangan pitfall trap dapat dilihat pada Gambar 3.


(50)

32

Pengamatan dan identifikasi arthropoda tanah dilakukan berdasarkan ciri-ciri morfologinya. Berdasarkan ciri-ciri morfologi serangga yang diperoleh kemudian diklasifikasikan sampai tingkat famili. Selanjutnya dilakukan analisis

keanekaragaman dengan Indeks Shanon-Wienner (Michael, 1994) yaitu dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan : H’= Indeks keanekaragaman;

pi = perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis;

pi = ni / N

ni = jumlah individu jenis ke-i

N = jumlah total individu semua jenis

Kriteria nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Krebs, 1978) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Keanekaragaman

Shannon-Wiener (H’)

Kriteria Keanekaragaman H’ > 3

H’ = 1 – 3 H’ < 1

Tinggi sedang rendah Sumber: Krebs (1978)

3.3.2.2 Analisis residu pestisida

Analisis residu pestisida dilakukan terhadap sayuran cabai, sawi, dan tomat serta arthropoda tanah. Sampel arthropoda tanah diperoleh dari serangga yang ada di areal tanaman cabai, sawi, dan tomat.

H’ = -  pi ln pi


(51)

33

a. Sayuran

Sampel cabai, sawi, dan tomat diambil pada lahan petani yang disemprot dengan pestisida secara intensif dan tidak intensif. Sampel diambil dari lahan pertanian sayuran yang siap panen dan dilakukan dengan cara diagonal yaitu area sampel di lapangan ditarik garis diagonalnya (diagonal acak), dari titik-titik diagonal

tersebut diambil sampel. Cara pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 4.

Sampel sayuran cabai, sawi, dan tomat masing-masing diambil sebanyak 2 kg dan dibungkus dengan alumunium foil agar tidak terkontaminasi. Kemudian

ditempelkan label sebagai informasi tentang lokasi pengambilan, kode dan tanggal pengambilan. Sampel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kotak pendingin untuk menjaga sampel dalam kondisi segar dan dibawa ke laboratorium.

Gambar 4. Menentukan titik pengambilan sampel dengan sistem diagonal acak

b. Arthropoda tanah

Sampel arthropoda tanah yang akan dianalisis kandungan residunya adalah arthropoda tanah yang terdapat pada lahan cabai, sawi, dan tomat dengan aplikasi pestisida intensif dan tidak intensif. Sampel arthropoda tanah diindentifikasi


(52)

34

terlebih dahulu, kemudian sampel dibungkus dengan kantong plastik dan diberi label. Sampel kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis.

c. Pengujian Residu Pestisida

Metode yang digunakan untuk menganalisis residu pestisida adalah metode analisis multiresidu pestisida dalam matriks nonlemak yang mengacu pada Analytical Methods for Residues of Pesticides in Foodstuffs Ministry of Welfare, Health, and Cultural Affairs, Nederland (Komisi Pestisida, 1997).

Analisis residu pestisida dilakukan dengan menimbang sampel analitik yang telah dicincang seberat 15 g. Kemudian ditambahkan 30 mL aseton dan dihomogenkan dengan ultra turaks selama 30 detik. Selanjutnyaditambahkan 30 mL diklormetan dan 30 ml petroleum eter. Kemudian larutan dihomogenkan dengan ultra turaks selama 30 detik. Larutan didiamkan selama 15 menit sampai terbentuk endapan. Selanjutnya dipipet 25 mL larutan lapisan atas lalu dimasukkan ke dalam labu bulat dan dipekatkan dengan evaporator pada suhu tangas air 40 oC dengan 4000 rpm, sampai hampir kering. Kemudian ditambahkan larutan 5 mL iso oktana : toluena (90:10, v/v).

Kemudian dilakukan penetapan yaitu dengan menyuntikkan 1 µL ekstrak ke dalam kromatografi gas. Pestisida organoklor menggunakan detektor ECD (Electron Capture Detector) dengan suhu oven 100 oC, injektor 280 oC, detektor 300 oC dan gas yang digunakan adalah helium dan nitrogen. Pestisida

organofosfat menggunakan detektor FPD (Flame Photometric Detector) dengan suhu oven 100 oC, injektor 250 oC, detektor 300 oC dan menggunakan gas


(53)

35

hidrogen, helium, nitrogen, dan udara. Pestisida karbamat menggunakan detektor NPD (Nitrogen Phosphorus Detector) dengan suhu oven 100 oC, injektor 250 oC, detektor 300 oC dan gas yang digunakan adalah hidrogen, helium dan udara. Setelah itu dilakukan perhitunganyaitu denganmembandingkan waktu tambat dan luas puncak kromatogram yang diperoleh dari larutan cuplikan dan larutan baku pembanding. Nilai perolehan kembali merupakan 80 – 100% dengan batas penetapan ˂ 0,1 mg/kg.

3.4 Pengumpulan Data

Pengumpulan data bertujuan untuk mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian lapangan ini. Data yang diperoleh didapatkan dari

pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari penelitian melalui survei lapangan. Data sekunder diperoleh dari pengumpulan data yang ada pada instansi pemerintah maupun swasta berupa laporan, hasil penelitian, peraturan, dan dokumen yang menunjang.

a. Data primer

Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara pemberian kuisioner dan wawancara ke petani sayuran, identifikasi arthropoda tanah, dan analisis residu pestisida.

b. Data sekunder

Data sekunder merupakan data-data penunjang penelitian yang tidak

didapatkan pada penelitian di wilayah studi melainkan didapatkan dari literatur maupun instansi-instansi terkait dalam penelitian ini yang akan digunakan


(54)

36

sebagai data awal penelitian dan data pendukung dalam melakukan analisis. Adapun instansi-instansi terkait dalam penelitian ini yaitu:

1. Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang dibutuhkan adalah berkaitan dengan jumlah areal dan produksi sayuran Provinsi Lampung. 2. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung. Data yang dibutuhkan

adalah hasil pengujian residu pestisida pada produk hortikultura di Provinsi Lampung.

3. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten

Tanggamus. Data yang diperlukan berupa curah hujan, luasan lahan, dan produksi sayur di Kabupaten Tanggamus.

3.5 Pengolahan Data

Pengolahan data primer dilakukan dengan menggunakan SPSS 17. Kemudian dilakukan uji lanjutan yaitu uji-t independen (independent samples T-Tes) terhadap hasil identifikasi dan keanekaragaman arthropoda serta residu pestisida pada taraf 5%.


(55)

58

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Jenis pestisida yang banyak digunakan pada sayuran cabai, sawi, dan tomat oleh petani di Kecamatan Gisting adalah golongan organofosfat dan karbamat dengan frekuensi penggunaan intensif 3 hari sekali dan tidak intensif 7-10 hari sekali.

2. Keanekaragaman arthropoda tanah berbeda nyata pada lahan cabai dengan aplikasi pestisida secara intensif dan tidak intensif, sedangkan pada lahan sawi dan tomat tidak berbeda nyata.

3. Tingkat residu pestisida golongan organofosfat dan organoklor masih di bawah Batas Maksimum Residu (BMR), bahkan untuk tomat residu pestisida tidak terdeteksi. Penggunaan pestisida secara intensif dan tidak intensif tidak berpengaruh terhadap residu pestisida pada cabai, sawi, dan tomat, serta keanekaragaman arthropoda tanah.

5.2 Saran

Petani dalam budidaya sayuran cabai, sawi, dan tomat agar tidak melakukan penyemprotan pestisida secara intensif karena dapat menurunkan keanekaragaman arthropoda tanah.


(56)

59

DAFTAR PUSTAKA

Afriyanto. 2008. Kajian Keracunan Pestisida pada Petani Penyemprot Cabai di Desa Candi Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang. Agustine, W. 2000. Pengaruh Aplikasi Beberapa Jenis Insektisida terhadap

Keragaman Arthropoda Tanah pada Pertanaman Kubis (Brassica oleraceae var. capitata L.) di Cipanas, Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Arianti, F.D. 2002. Toksisitas Insektisida Endosulfan terhadap Ikan Nila

(Oreochromis Niloticus) dalam Lingkungan Air Tawar. Tesis. Bogor. Program Sarjana. IPB.

Asmita, N. 2010. Dampak Penggunaan Pestisida terhadap Keanekeragaman Arthopoda dan Residunya pada Tanaman Bawang Merah (Allium cepa var. Ascolonicum) di Kecamatan Lembah Gumanti Sumatera Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Padang.

Bargett, D. Richard, and C. Roger. 1998. Functional Aspect of Soil Animal diversity in Agricultural Grassland. Applied Soil Ecology 10: 263-276. Bonner, M.R., W.J. Lee, D.P. Sandler, J.A. Hoppin, M. Dosemeci and M.C.R.

Alavanja. 2005. Occupational Exposure to Carbofuran and The

Incidence of Cancer in The Agricultural Health Study. Environ. Health Perspect. 113(3): 285 – 289.

Borror, D.J., I.C.A. Triplehrorn, and N.F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi Keenam Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Badan Pusat Statistik. 2012. Tanggamus dalam Angka. Kabupaten Tanggamus. Christensen, K., B. Harper, B. Luukinen, K. Buhl, D. Stone. 2009. Chlorpyrifos Technical Fact Sheet; National Pesticide Information Center, Oregon State University Extension Services.

http://npic.orst.edu/factsheets/chlorptech.pdf

Crop Life Australia. 2010. Crop Life Australia Fungicide Resistance Management Review Group. Crop Life Australia. Canberra. Australia.


(57)

60

Dadang. 2005. Strategi Pengurangan Residu Pestisida pada Budidaya Tanaman Sayuran. Proceding Simposium Nasional Ketahanan dan Keamanan Pangan pada Era Otonom dan Globalisasi. Bogor: 54-61.

Desmond, A.O. and U.O. Alex. 2013. A Comparative Assessment of Soil Arthropod Abundance and Diversity in Practical Farmlands of University of Ibadan, Nigeria. The International Journal of Environmental Resources Research. 1 (1): 17 – 29.

Dibyantoro, H. 1979. A Case Study of Organophosphate Pesticide Residue in Lettuce and Carrot. Bulletin Penelitian Hortikultura. VII (5): 17 – 23. Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Tanggamus. 2013. Data

Produksi Sayuran di Kabupaten Tanggamus. Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Tanggamus.

Dinas Kesehatan Kabupaten Tanggamus. 2007. Profil Kesehatan Kabupaten Tanggamus (2007). Dinas Kesehatan Kabupaten Tanggamus. Djojosumarto, P. 2008. Panduan Lengkap Pestisida dan Aplikasinya. PT

Agromedia Pustaka. Jakarta.

Dono, D., S. Ismayana, Idar, D. Prijono, dan I. Muslikha. 2010. Status dan Mekanisme Resistensi Biokimia Crocidolomia Pavonana

(F.)(Lepidoptera: Crambidae) Terhadap Insektisida Organofosfat serta Kepekaannya terhadap Insektisida Botani Ekstrak Biji Barringtonia asiatica. J. Entomol. Ind. 7(1) : 9-27.

Dwifianti, D. 2013. Pertumbuhan Vegetatif dan Kandungan Klorofil Capsicum annum L. dan Lycopersicon esculentum M. yang Terpapar Sipermetrin. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia.

Eeva, T., J. Sorvari, V. Koivunen. 2004. Effects of Heavy Metal Pollution on Red Wood ant (Formica s. str.) Populations. Environmental Pollution 132: 533-539.

European Food Safety Authority. 2014. Reasoned Opinion on The Review of The Existing MRLs for Carbofuran, Carbosulfan, Benfuracarb and

Furathiocarb and The Setting of An Import Tolerance for Carbofuran in Cultivated Mushrooms Parma. Italy. EFSA Journal. 12 (2): 1 – 38. Fachrul, N.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.

Hasibuan, R. 2012. Insekstisida Pertanian. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. 149 hlm.


(58)

61

Hendrix, P. F. and C.A. Edward. 2004. Earthworm in Agroecosystems: research Approarches, in: Edward, C. A. (Eds.), Earthworm Ecology, second ed. CRC Press, Boca Raton, London, New York: 287-295.

Herlinda, S., Waluyo, S.P. Estuningsih, C. Irsan. 2008. Perbandingan Keanekaragaman Spesies dan Kelimpahan Arthropoda Predator Penghuni Tanah di Sawah Lebak yang diaplikasi dan Tanpa Aplikasi Insektisida. J, Entomol. Ind. 5 (2) :96 - 107.

Jung, G., J. Popko, B. Dicklow, and R. Wick. 2010. Chemical Classes and Modes of Action of Fungicides Registered for Use on Turfgrasses. University of Massachusetts-Amherst, Department of Plant, Soil, and Insect Sciences.

Jumar. 2000. Entomologi Serangga. PT. Rineka Cipta. Jakarta

Isnawati, A. dan D. Mutiatikum. 2003. Analisa Residu Pestisida Organoklorin dalam Tomat dan Selada dari Beberapa Pasar di Jakarta. (Artikel). Media Litbang Kesehatan Volume XIII Nomor 3 Tahun 2003. 5 hlm. Kelompok Kerja Penyusun Revisi Metode Analisis Residu Pestisida pada Hasil

Pertanian. 2004. Metode Analisis Residu Pestisida pada Hasil

Pertanian. Direktorat Perlindungan Tanaman. Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Khairia, W. 2009. Dampak Penggunaan Pestisida terhadap Keanekaragaman Arthropoda Tanah dan Kadar Residu Pestisida pada Buah Jeruk (Kasus Petani Hortikultura di Kabupaten Karo). Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Khan, M. Z. 2003. Effect of Pesticides on Biodiversity: Comparison of Malathion with Biosal on Protein Contents in Calotes versicolor. J. nat. hist. wildl. 2 (1) : 25-28.

Komisi Pestisida. 1997. Metode Pengujian Residu Pestisida dalam Hasil Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Krebs, C.J. 1978. Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Third Edition. Harper and Row Publishers. New York. Kusnoputranto. 1995. Toksikologi Lingkungan. Pusat Penelitian Sumber Daya

Manusia Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta.

Manuaba, I.B.P. 2009. Cemaran Pestisida Karbamat dalam Air Danau Buyan Buleleng Bali. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana Bali. Jurnal Kimia 3(1): 47-54.


(59)

62

Menteri Kelautan dan Perikanan. 2012. Sidang ke-32 Codex Committee on Fish and Fishery Product. Bali 1-5 Oktober 2012

Michael, P.E. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapang dan

Laboratorium. Terjemahan Yanti R. Koester. Universitas Indonesia. Jakarta.

Minton, N.A. and V.S.G. Murray. 1988. A Review of Organophosphate Poisoning. Medical Toxicology 3: 350-375.

Moldenke, A.R. 2001. The Soil Biology Primer. Oregon State University.

http;//www. Statlab.iastate.edu/survey/SQI/Soil Biology/arthopods.htm. Munarso, S.J., Miskiyah, dan W. Broto. 2009. Studi Kandungan Residu Pestisida

pada Kubis, Tomat, dan Wortel di Malang dan Cianjur. Buletin Teknologi Pasca panen Pertanian 5: 27 – 32.

Norris, L.A. 1974. Behavior Pesticides in Plants. USDA Forest Service General Technical Report PNW. Environmental Health Sciences Center at Oregon State University, Corvallis.

Nugrohati, S. dan K. Untung. 1986. Procedings Seminar Kemanan Pangan dalam Pengolahan dan Penyajian. PAU Pangan dan Gizi. UGM.

Odum, E.P. 1998. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga, Terjemahan: Tjahyono Samingan. Gadjah Mada. University Press. Yogyakarta.

Patnaik, P. 2007. A Comprehensive Guide to The Hazardous Properties of Chemical Substances. A John Wiley & Sons, Inc. United States of America. 83 pp.

Prakosa, C., P. Hastuti, dan U. Santoso. 2004. Monitoring Residu Klorpirifos dalam Pembuatan Saus Tomat. J. Agrosains. 17 (2).

Quinn, L.P.B., J. de Vos, M. Fernandes-Whaley, C. Roos, H. Bouwman, H. Kylin, R. Pieters, and J. Van Den Berg. 2011. Pesticide Use in South Africa: One of the Largest Importers of Pesticides in Africa. in Pesticides in the Modern World-Pesticides Use and Management. Dr. Margarita

Stoytcheva (Ed). In Tech. 520 pp.

Reflinaldo, O. Melinda, dan Asril. 2009. Penggunaan Pestisida dan Dampaknya terhadap Keanekaragaman Hayati serta Upaya Restorasi Agroekosistem di Kawasan Sentra Sayuran Kecamatan Lembah Gumanti Sumatera Barat.

Rustia, H.N., B. Wispriyono, D. Susanna, dan F.N. Luthfiah. 2010. Lama Pajanan Organofosfat terhadap Penurunan Aktivitas Enzim Kolinesterase dalam Darah Petani Sayuran. J. Makara. 14 (2): 95 – 101.


(60)

63

Samudra, F.B., M. Izzat, dan H. Purnaweni. 2013. Kelimpahan dan

Keanekaragaman Arthropoda Tanah di Lahan Sayuran Organik “Urban Farming”. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013. Banjarbaru 6 Februari 2013.

Sartono. 2002. Racun dan Keracunan. Widya Medika Cetakan I. Jakarta.

Shelton, A.M., J.T. Andaloro, and C.W. Hoy. 1983. Survey of Ground-Dwelling Predaceous and Parasite Arthropods in Cabbage Field in Upstate New York. Environ. Entomol. 12: 1026 – 1030.

Sinulingga, K. 2006. Telaah Residu Organoklor pada Wortel Daucus Carota L. di Kawasan Sentra Kabupaten Karo Sumatera Utara. Jurusan Fisika F-MIPA Universitas Medan: Jurnal Sistem Teknik Industri 7(1): 92-97. Sitting, M. 1980. Endosulfan. Manufactor and Toxic Materials Control

Encyclopedia. USA. Noyes dat Crops.

Soemirat, J. 2003. Toksikologi Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sudarmo, S. 1992. Pestisida untuk Tanaman. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Supriati, Y., Y. Yulia, dan I. Nurlaela. 2008. Tanaman Sayur. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Tarumingkeng, R.C. 1992. Insektisida: Sifat, Mekanisme Kerja, dan Dampak Penggunaannya. Jakarta. Universitas Kristen Krida Wacana.

Tuhumury, G.N.C., J. A. Leatemia, R.Y. Rumthe, dan J.V. Hasinu, 2012. Residu Pestisida Produk Sayuran Segar di Kota Ambon. J. Agrologia 1(2): 99-105.

United States Environmental Protection Agency (US EPA). 1993. Avermectin (Also Called Abamectin): Extension of Temporary Tomerances on Apples. US Environmental Protection Agency Office of Pesticide Programs.

United States Environmental Protection Agency (US EPA). 2001. Revised Interim Reregistration Eligibility Decisions for Dimethoate. Interim

Reregistration Eligibility Decision for Fenthion.

United States Environmental Protection Agency (US EPA). 2006. Reregistration Eligibility Decision for Diazinon. EPA. Washington DC.

United States Environmental Protection Agency (US EPA). 2008. Revised Interim Reregistration Eligibility Decisions for Dimethoate. EPA. Washington DC.


(61)

64

United States Environmental Protection Agency (US EPA). 2008. Pesticide Fact Sheet: Chlorantraniliprole. US Environmental Protection Agency Office of Pesticide Programs.

Wahyuni, S. 2010. Perilaku Petani Bawang Merah dalam Penggunaan dan Penanganan Pestisida serta Dampaknya terhadap Lingkungan (Studi Kasus di Desa Kemukten, Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes). Tesis. Program Magister Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro.Semarang.

WHO. 2002. The World Health Report Reducing risks, promoting healthy life. Geneva.

WHO. 2004. The World Health Report Changing History. Geneva.

Winasa, I.W. dan A. Rauf. 2005. Pengaruh Sampling Aplikasi Deltametrin terhadap Artropoda Predator Penghuni Permukaan Tanah di Pertanaman Kedelai. J, Entomol. Ind. 2 (2):39-47.

Wudianto, R. 2010. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta. Way, M. J. and K.C. Khoo. 1992. Role of Ants in Pest Management. Annual

Review of Entomology 37: 479-503.

http://ditbuah.hortikultura.deptan.go.id BMR (SNI 7313:2008). Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Afriyanto. 2008. Kajian Keracunan Pestisida pada Petani Penyemprot Cabai di Desa Candi Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang. Agustine, W. 2000. Pengaruh Aplikasi Beberapa Jenis Insektisida terhadap

Keragaman Arthropoda Tanah pada Pertanaman Kubis (Brassica oleraceae var. capitata L.) di Cipanas, Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Arianti, F.D. 2002. Toksisitas Insektisida Endosulfan terhadap Ikan Nila

(Oreochromis Niloticus) dalam Lingkungan Air Tawar. Tesis. Bogor. Program Sarjana. IPB.

Asmita, N. 2010. Dampak Penggunaan Pestisida terhadap Keanekeragaman Arthopoda dan Residunya pada Tanaman Bawang Merah (Allium cepa var. Ascolonicum) di Kecamatan Lembah Gumanti Sumatera Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Padang.

Bargett, D. Richard, and C. Roger. 1998. Functional Aspect of Soil Animal diversity in Agricultural Grassland. Applied Soil Ecology 10: 263-276. Bonner, M.R., W.J. Lee, D.P. Sandler, J.A. Hoppin, M. Dosemeci and M.C.R.

Alavanja. 2005. Occupational Exposure to Carbofuran and The

Incidence of Cancer in The Agricultural Health Study. Environ. Health Perspect. 113(3): 285 – 289.

Borror, D.J., I.C.A. Triplehrorn, and N.F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi Keenam Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Badan Pusat Statistik. 2012. Tanggamus dalam Angka. Kabupaten Tanggamus. Christensen, K., B. Harper, B. Luukinen, K. Buhl, D. Stone. 2009. Chlorpyrifos Technical Fact Sheet; National Pesticide Information Center, Oregon State University Extension Services.

http://npic.orst.edu/factsheets/chlorptech.pdf

Crop Life Australia. 2010. Crop Life Australia Fungicide Resistance Management Review Group. Crop Life Australia. Canberra. Australia.


(2)

Dadang. 2005. Strategi Pengurangan Residu Pestisida pada Budidaya Tanaman Sayuran. Proceding Simposium Nasional Ketahanan dan Keamanan Pangan pada Era Otonom dan Globalisasi. Bogor: 54-61.

Desmond, A.O. and U.O. Alex. 2013. A Comparative Assessment of Soil Arthropod Abundance and Diversity in Practical Farmlands of University of Ibadan, Nigeria. The International Journal of Environmental Resources Research. 1 (1): 17 – 29.

Dibyantoro, H. 1979. A Case Study of Organophosphate Pesticide Residue in Lettuce and Carrot. Bulletin Penelitian Hortikultura. VII (5): 17 – 23. Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Tanggamus. 2013. Data

Produksi Sayuran di Kabupaten Tanggamus. Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Tanggamus.

Dinas Kesehatan Kabupaten Tanggamus. 2007. Profil Kesehatan Kabupaten Tanggamus (2007). Dinas Kesehatan Kabupaten Tanggamus. Djojosumarto, P. 2008. Panduan Lengkap Pestisida dan Aplikasinya. PT

Agromedia Pustaka. Jakarta.

Dono, D., S. Ismayana, Idar, D. Prijono, dan I. Muslikha. 2010. Status dan Mekanisme Resistensi Biokimia Crocidolomia Pavonana

(F.)(Lepidoptera: Crambidae) Terhadap Insektisida Organofosfat serta Kepekaannya terhadap Insektisida Botani Ekstrak Biji Barringtonia asiatica. J. Entomol. Ind. 7(1) : 9-27.

Dwifianti, D. 2013. Pertumbuhan Vegetatif dan Kandungan Klorofil Capsicum annum L. dan Lycopersicon esculentum M. yang Terpapar Sipermetrin. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia.

Eeva, T., J. Sorvari, V. Koivunen. 2004. Effects of Heavy Metal Pollution on Red Wood ant (Formica s. str.) Populations. Environmental Pollution 132: 533-539.

European Food Safety Authority. 2014. Reasoned Opinion on The Review of The Existing MRLs for Carbofuran, Carbosulfan, Benfuracarb and

Furathiocarb and The Setting of An Import Tolerance for Carbofuran in Cultivated Mushrooms Parma. Italy. EFSA Journal. 12 (2): 1 – 38. Fachrul, N.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.

Hasibuan, R. 2012. Insekstisida Pertanian. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. 149 hlm.


(3)

Hendrix, P. F. and C.A. Edward. 2004. Earthworm in Agroecosystems: research Approarches, in: Edward, C. A. (Eds.), Earthworm Ecology, second ed. CRC Press, Boca Raton, London, New York: 287-295.

Herlinda, S., Waluyo, S.P. Estuningsih, C. Irsan. 2008. Perbandingan Keanekaragaman Spesies dan Kelimpahan Arthropoda Predator Penghuni Tanah di Sawah Lebak yang diaplikasi dan Tanpa Aplikasi Insektisida. J, Entomol. Ind. 5 (2) :96 - 107.

Jung, G., J. Popko, B. Dicklow, and R. Wick. 2010. Chemical Classes and Modes of Action of Fungicides Registered for Use on Turfgrasses. University of Massachusetts-Amherst, Department of Plant, Soil, and Insect Sciences.

Jumar. 2000. Entomologi Serangga. PT. Rineka Cipta. Jakarta

Isnawati, A. dan D. Mutiatikum. 2003. Analisa Residu Pestisida Organoklorin dalam Tomat dan Selada dari Beberapa Pasar di Jakarta. (Artikel). Media Litbang Kesehatan Volume XIII Nomor 3 Tahun 2003. 5 hlm. Kelompok Kerja Penyusun Revisi Metode Analisis Residu Pestisida pada Hasil

Pertanian. 2004. Metode Analisis Residu Pestisida pada Hasil

Pertanian. Direktorat Perlindungan Tanaman. Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Khairia, W. 2009. Dampak Penggunaan Pestisida terhadap Keanekaragaman Arthropoda Tanah dan Kadar Residu Pestisida pada Buah Jeruk (Kasus Petani Hortikultura di Kabupaten Karo). Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Khan, M. Z. 2003. Effect of Pesticides on Biodiversity: Comparison of Malathion with Biosal on Protein Contents in Calotes versicolor. J. nat. hist. wildl. 2 (1) : 25-28.

Komisi Pestisida. 1997. Metode Pengujian Residu Pestisida dalam Hasil Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Krebs, C.J. 1978. Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Third Edition. Harper and Row Publishers. New York. Kusnoputranto. 1995. Toksikologi Lingkungan. Pusat Penelitian Sumber Daya

Manusia Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta.

Manuaba, I.B.P. 2009. Cemaran Pestisida Karbamat dalam Air Danau Buyan Buleleng Bali. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana Bali. Jurnal Kimia 3(1): 47-54.


(4)

Menteri Kelautan dan Perikanan. 2012. Sidang ke-32 Codex Committee on Fish and Fishery Product. Bali 1-5 Oktober 2012

Michael, P.E. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapang dan

Laboratorium. Terjemahan Yanti R. Koester. Universitas Indonesia. Jakarta.

Minton, N.A. and V.S.G. Murray. 1988. A Review of Organophosphate Poisoning. Medical Toxicology 3: 350-375.

Moldenke, A.R. 2001. The Soil Biology Primer. Oregon State University.

http;//www. Statlab.iastate.edu/survey/SQI/Soil Biology/arthopods.htm. Munarso, S.J., Miskiyah, dan W. Broto. 2009. Studi Kandungan Residu Pestisida

pada Kubis, Tomat, dan Wortel di Malang dan Cianjur. Buletin Teknologi Pasca panen Pertanian 5: 27 – 32.

Norris, L.A. 1974. Behavior Pesticides in Plants. USDA Forest Service General Technical Report PNW. Environmental Health Sciences Center at Oregon State University, Corvallis.

Nugrohati, S. dan K. Untung. 1986. Procedings Seminar Kemanan Pangan dalam Pengolahan dan Penyajian. PAU Pangan dan Gizi. UGM.

Odum, E.P. 1998. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga, Terjemahan: Tjahyono Samingan. Gadjah Mada. University Press. Yogyakarta.

Patnaik, P. 2007. A Comprehensive Guide to The Hazardous Properties of Chemical Substances. A John Wiley & Sons, Inc. United States of America. 83 pp.

Prakosa, C., P. Hastuti, dan U. Santoso. 2004. Monitoring Residu Klorpirifos dalam Pembuatan Saus Tomat. J. Agrosains. 17 (2).

Quinn, L.P.B., J. de Vos, M. Fernandes-Whaley, C. Roos, H. Bouwman, H. Kylin, R. Pieters, and J. Van Den Berg. 2011. Pesticide Use in South Africa: One of the Largest Importers of Pesticides in Africa. in Pesticides in the Modern World-Pesticides Use and Management. Dr. Margarita

Stoytcheva (Ed). In Tech. 520 pp.

Reflinaldo, O. Melinda, dan Asril. 2009. Penggunaan Pestisida dan Dampaknya terhadap Keanekaragaman Hayati serta Upaya Restorasi Agroekosistem di Kawasan Sentra Sayuran Kecamatan Lembah Gumanti Sumatera Barat.

Rustia, H.N., B. Wispriyono, D. Susanna, dan F.N. Luthfiah. 2010. Lama Pajanan Organofosfat terhadap Penurunan Aktivitas Enzim Kolinesterase dalam Darah Petani Sayuran. J. Makara. 14 (2): 95 – 101.


(5)

Samudra, F.B., M. Izzat, dan H. Purnaweni. 2013. Kelimpahan dan

Keanekaragaman Arthropoda Tanah di Lahan Sayuran Organik “Urban Farming”. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013. Banjarbaru 6 Februari 2013.

Sartono. 2002. Racun dan Keracunan. Widya Medika Cetakan I. Jakarta.

Shelton, A.M., J.T. Andaloro, and C.W. Hoy. 1983. Survey of Ground-Dwelling Predaceous and Parasite Arthropods in Cabbage Field in Upstate New York. Environ. Entomol. 12: 1026 – 1030.

Sinulingga, K. 2006. Telaah Residu Organoklor pada Wortel Daucus Carota L. di Kawasan Sentra Kabupaten Karo Sumatera Utara. Jurusan Fisika F-MIPA Universitas Medan: Jurnal Sistem Teknik Industri 7(1): 92-97. Sitting, M. 1980. Endosulfan. Manufactor and Toxic Materials Control

Encyclopedia. USA. Noyes dat Crops.

Soemirat, J. 2003. Toksikologi Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sudarmo, S. 1992. Pestisida untuk Tanaman. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Supriati, Y., Y. Yulia, dan I. Nurlaela. 2008. Tanaman Sayur. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Tarumingkeng, R.C. 1992. Insektisida: Sifat, Mekanisme Kerja, dan Dampak Penggunaannya. Jakarta. Universitas Kristen Krida Wacana.

Tuhumury, G.N.C., J. A. Leatemia, R.Y. Rumthe, dan J.V. Hasinu, 2012. Residu Pestisida Produk Sayuran Segar di Kota Ambon. J. Agrologia 1(2): 99-105.

United States Environmental Protection Agency (US EPA). 1993. Avermectin (Also Called Abamectin): Extension of Temporary Tomerances on Apples. US Environmental Protection Agency Office of Pesticide Programs.

United States Environmental Protection Agency (US EPA). 2001. Revised Interim Reregistration Eligibility Decisions for Dimethoate. Interim

Reregistration Eligibility Decision for Fenthion.

United States Environmental Protection Agency (US EPA). 2006. Reregistration Eligibility Decision for Diazinon. EPA. Washington DC.

United States Environmental Protection Agency (US EPA). 2008. Revised Interim Reregistration Eligibility Decisions for Dimethoate. EPA. Washington DC.


(6)

United States Environmental Protection Agency (US EPA). 2008. Pesticide Fact Sheet: Chlorantraniliprole. US Environmental Protection Agency Office of Pesticide Programs.

Wahyuni, S. 2010. Perilaku Petani Bawang Merah dalam Penggunaan dan Penanganan Pestisida serta Dampaknya terhadap Lingkungan (Studi Kasus di Desa Kemukten, Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes). Tesis. Program Magister Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro.Semarang.

WHO. 2002. The World Health Report Reducing risks, promoting healthy life. Geneva.

WHO. 2004. The World Health Report Changing History. Geneva.

Winasa, I.W. dan A. Rauf. 2005. Pengaruh Sampling Aplikasi Deltametrin terhadap Artropoda Predator Penghuni Permukaan Tanah di Pertanaman Kedelai. J, Entomol. Ind. 2 (2):39-47.

Wudianto, R. 2010. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta. Way, M. J. and K.C. Khoo. 1992. Role of Ants in Pest Management. Annual

Review of Entomology 37: 479-503.

http://ditbuah.hortikultura.deptan.go.id BMR (SNI 7313:2008). Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013.