RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) TERHADAP PEMBERIAN LIMA ISOLAT FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR DAN DUA TARAF DOSIS PUPUK NPK

(1)

ABSTRAK

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) TERHADAP PEMBERIAN LIMA ISOLAT FUNGI MIKORIZA

ARBUSKULAR DAN DUA TARAF DOSIS PUPUK NPK

Oleh

Novri Dwi Damayanti

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional dan sumber perolehan devisa negara. Budidaya tanaman kelapa sawit banyak dilakukan pada tanah ultisol yang mempunyai kendala kekahatan fosfor sehingga diperlukan perbaikan mutu di pembibitan dengan pemanfaatan fungi mikoriza arbuskular (FMA). Penelitian ini bertujuan untuk (1) menentukan jenis FMA terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit, (2) menentukan dosis pupuk NPK yang paling sesuai untuk bibit kelapa sawit, (3) mengetahui apakah respons bibit kelapa sawit terhadap jenis FMA dipengaruhi oleh dosis pupuk NPK, (4) menentukan dosis pupuk NPK terbaik untuk masing-masing jenis FMA.

Penelitian menggunakan rancangan faktorial (6 x 2) dengan 5 ulangan dalam Rancangan Kelompok Teracak Sempurna (RKTS). Faktor pertama adalah jenis FMA yang digunakan yaitu i0 (tanpa mikoriza), i1 (Glomus sp. MV 23), i2 (Glomus


(2)

sp. MV 26), i3 (Entrophospora sp. MV 22), (i4) (Entrophospora sp. MV 25), i5 (Entrophospora sp. MV 28). Faktor kedua adalah dosis pupuk NPK yaitu p1 (100 % dari dosis anjuran) dan p2 (50 % dosis anjuran). Kesamaan ragam antar perlakuan diuji dengan uji Barlett dan kemenambahan data diuji dengan uji Tukey. Pemisahan nilai tengah diuji dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata  5%.

Hasil penelitian menunjukkan terjadi interaksi antara jenis FMA dan dosis pupuk NPK yang digunakan sehingga dapat diambil kesimpulan sebagai (1) respon bibit kelapa sawit terhadap inokulasi jenis FMA ditentukan oleh dosis pupuk NPK yang digunakan hanya pada tinggi tanaman, bobot kering akar, dan jumlah akar primer, (2) dosis optimum untuk masing-masing jenis FMA yang digunakan berdasarkan data bobot kering akar adalah kombinasi dosis pupuk NPK 100% dengan masing-masing jenis FMA, kecuali pada FMA jenis Entrophospora sp. Isolat MV 22.


(3)

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) TERHADAP PEMBERIAN LIMA ISOLAT FUNGI MIKORIZA

ARBUSKULAR DAN DUA TARAF DOSIS PUPUK NPK (Skripsi)

Oleh

NOVRI DWI DAMAYANTI

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

(5)

(6)

(7)

Allah menganugrahkan al hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah

dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.

(QS. Al-Baqarah : 269)

Tidak ada tujuan yang lebih besar dalam hidup daripada hidup berguna. (Benjamin Franklin)

Memotivasi diri adalah modal sebuah tindakan.

Failure is only the opportunity to begin again more intelligently. ( Novri Dwi Damayanti )


(8)

(9)

SANWACANA

Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga penelitian dan

penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar. Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Dengan

diselesaikannya skripsi ini, maka penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Maria Viva Rini, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Rusdi Evizal, M.S.,

selaku pembimbing I dan pembimbing II atas bimbingan, saran, nasihat, kritik arahan, motivasi, dan perhatian yang diberikan kepada penulis selama

melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Yafizham, M.S., selaku penguji atas segala saran, masukan, dan kritikan yang membangun dalam penulisan skripsi ini.

3. Ibu Prof. Dr. Ir. Dermiyati, M.Agr.Sc., selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan motivasi, bimbingan, masukan, dan saran kepada penulis selama menjadi mahasiswa di Universitas Lampung.

4. Bapak Dr. Ir. Kuswanta F. Hidayat, M.P., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.


(10)

iii 6. PT Malaysian Agri Hi-Tech (MAH) selaku pihak yang memberikan dana

penelitian kepada penulis.

7. Myco Family Mbak A.D. Puspitasari, S.P., Kak M.G. Warganegara, S.P. M.P., Ibu Fatmawati dan Ahmad atas bantuan dan saran selama penulis menjalankan penelitian.

8. Kedua orang tua penulis Ayahanda Sugiarto (Alm), Ibunda Sumarni dan kakak Resta Yulia Sari, S.H. dan kakak Mustopa yang telah memberikan doa dan dukungan moril maupun materi kepada penulis.

9. Sahabat - sahabatku Ni Wayan Devhi Lestari, Retta R. Rias, Resti Kartini, S.P., Ryzkita P. Pramanda, S.P., D. Fazri, A. Wulandari, dan Leny. F. Mandasari yang telah memberikan dukungan dan kebersamaan selama ini. 10. Untuk teman-teman yang telah membantu penulis dalam penelitian Debby K.

Wibowo, Diago. F. Saputra, C. Prayudha, Restu Y. A. Putra, M. H. Romli, R. Kusuma, Y.A.L.D.J. Pangaribuan, S. A. pithaloka, S.P. Ernawati , Hixkia J. Marpaung, Iyut P. Napitupulu, S.P., dan teman-teman Agroteknologi 2010. 11. Teman-teman D3 Perkebunan Ardas, Anjar, Ari, Dedik, dan Eko atas bantuan

selama penelitian.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.

Bandar Lampung, Oktober 2014


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 6

1.3 Landasan Teori………... 6

1.4 Kerangka Pemikiran... 11

1.5 Hipotesis ... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 17

2.1 Informasi Umum Mengenai Kelapa Sawit ... 17

2.1.1 Morfologi Kelapa Sawit ... 18

2.1.2 Tipe Kelapa Sawit ... 21

2.1.3 Syarat Tumbuh ... 21

2.2 Fungi Mikoriza Arbuskular... 23

2.2.1 Morfologi Fungi Mikoriza Arbuskular ... 24

2.2.2 Jenis Fungi Mikoriza Arbuskular ... 26

2.3 Peranan FMA Pada Pertumbuhan Tanaman ... 30

2.4 Peranan Unsur NPK dan Gejala Kekurangan Unsur Hara... 31

III. BAHAN DAN METODE ... 33

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 33

3.2 Bahan dan Alat ... 33

3.3 Metode Penelitian ... 33


(12)

v

3.4.1 Penyemaian benih ... 36

3.4.2 Penyiapan media tanam di pre-nursery dan main nursery . 37 3.4.3 Penanaman di pre-nursery dan inokulasispora FMA ... 38

3.4.4 Penanaman di main nursery ... 39

3.4.5 Pemeliharaan tanaman ... 39

3.5 Variabel Pengamatan ... 41

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

4.1 Hasil Penelitian ... 45

4.1.1 Tinggi tanaman ... 46

4.1.2 Jumlah daun ... 48

4.1.3 Tingkat kehijauan daun ... 50

4.1.4 Bobot segar tajuk ... 51

4.1.5 Bobot kering tajuk ... 52

4.1.6 Bobot segar akar ... 53

4.1.7 Bobot kering akar ... 54

4.1.8 Jumlah akar primer ... 55

4.1.9 Volume akar ... 56

4.1.10 Persen infeksi akar oleh FMA ... 57

4.1.11 Jumlah spora ... 58

4.2 Pembahasan... 59

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

5.1 Kesimpulan ... 67

5.2 Saran ... 67 PUSTAKA ACUAN ... 68-71 LAMPIRAN ... 72-86


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Bagan alir kerangka penelitian. ….. ... 15 2. Proses perkembangan spora pada Glomus (Invam, 2013). ... 27 3. Proses perkembangan spora pada Acaulospora (Invam, 2013). ... 28 4. Proses perkembangan spora pada Entrophospora (Invam, 2013). ... 28 5. Proses perkembangan spora pada Gigaspora (Invam, 2013). ... 29 6. Proses perkembangan spora pada Scutellospora (Invam, 2013). ... 30 7. Tata Letak Percobaan pada main nursery. ... 36 8. Benih kelapa sawit yang telah berkecambah/germinated seed (kiri)

dan bibit kelapa sawit berumur 4 minggu yang siap dipindahkan

ke pre-nursery (kanan) ... 37 9. Cara inokulasi spora FMA pada bibit kelapa sawit di pre nursery. .. 38 10. Alat ponjo untuk membuat lubang tanam pada main nursery. ... 38 11. Cara pemupukan pada main nursery. ... 40 12. Pengaruh perlakuan FMA terhadap peningkatan tinggi bibit kelapa

sawit pada umur 6 sampai 9 bulan setelah semai... 47 13. Pengaruh dosis pupuk NPK terhadap peningkatan tinggi bibit kelapa

sawit pada umur 6 sampai 9 bulan setelah semai... 48 14. Pengaruh perlakuan FMA terhadap peningkatan jumlah daun bibit

kelapa sawit pada umur 6 sampai 9 bulan setelah semai. ... 49 15. Pengaruh perlakuan dosis pupuk NPK terhadap peningkatan jumlah


(14)

x 16. Akar tanaman kelapa sawit yang diinokulasi

Glomus sp.Isolat MV 26. ... 62 17. Akar tanaman kelapa sawit yang tidak diinokulasi FMA. ... 62 18. Perakaran bibit kelapa sawit umur 9 bulan di nampan

I0 : tanpa inokulasi, I1 : Inokulasi Glomus sp. Isolat MV 23, I2 : Inokulasi Glomus sp. Isolat MV 26, I3 : Inokulasi Entrophospora sp. Isolat MV 22, I4 : Inokulasi Entrophospora sp. Isolat MV 25, I5 : Inokulasi Entrophospora sp. Isolat MV 28 (kiri - kanan). P1 : dosis

pupuk 100 % (atas), P2 : dosis pupuk 50 % (bawah). ... 63 19. Tanaman bibit kelapa sawit umur 9 bulan I0 : tanpa inokulasi,

I1 : Inokulasi Glomus sp. Isolat MV 23, I2 : Inokulasi Glomus sp. Isolat MV 26, I3 : Inokulasi Entrophospora sp. Isolat MV 22, I4 : Inokulasi Entrophospora sp. Isolat MV 25, I5 : Inokulasi Entrophospora sp. Isolat MV 28 (kiri - kanan). P1 : dosis pupuk


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Deskripsi lima jenis fungi mikoriza arbuskular yang digunakan pada

penelitian. ….. ... 35 2. Jenis dan dosis pupuk yang digunakan dalam penelitian. ... 41 3. Rekapitulasi analisis ragam data penelitian. . ... 45 4. Kombinasi perlakuan jenis FMA dan dosis pupuk NPK pada tinggi

tanaman bibit kelapa sawit umur 9 bulan. ... 47

5. Pengaruh perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK pada jumlah daun

bibit kelapa sawit umur 9 bulan. . ... 49 6. Pengaruh perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK pada tingkat

kehijauan daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan. . ... 51 7. Pengaruh perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK pada bobot segar

tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan. ... 52 8. Pengaruh perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK pada bobot kering

tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan. ... 53 9. Pengaruh perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK pada bobot segar

akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan. ... 53 10. Pengaruh kombinasi perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK pada

bobot kering akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan. ... 55 11. Pengaruh kombinasi perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK pada

jumlah akar primer bibit kelapa sawit umur 9 bulan. ... 56 12. Pengaruh perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK pada volume akar

bibit kelapa sawit umur 9 bulan. . ... 57 13. Pengaruh perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK pada persen infeksi


(16)

vii 14. Pengaruh perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK terhadap jumlah

spora pada media tanah bibit kelapa sawit umur 9 bulan yang

ditransformasi dengan x+0,5 dan didetransformasi x2– 0,5. ... 59

15. Rekapitulasi uji Bartlett untuk homogenitas ragam antarperlakuan. . 73

16. Rekapitulasi uji nonaditivitas. ... 73

17. Data tinggi bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 74

18. Analisis ragam untuk tinggi tanaman bibit kelapa sawit. ... 74

19. Data jumlah daun bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 75

20. Analisis ragam untuk jumlah daun bibit kelapa sawit. ... 75

21. Data tingkat kehijauan daun bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 76

22. Analisis ragam untuk tingkat kehijauan daun bibit kelapa sawit. ... 76

23. Data bobot segar tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 77

24. Analisis ragam untuk bobot segar tajuk bibit kelapa sawit. ... 77

25. Data bobot kering tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 78

26. Analisis ragam untuk bobot kering tajuk bibit kelapa sawit. ... 78

27. Data bobot segar akar bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 79

28. Analisis ragam untuk bobot segar akar bibit kelapa sawit. ... 79

29. Data bobot kering akar bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 80

30. Analisis ragam untuk bobot kering akar bibit kelapa sawit. ... 80

31. Data jumlah akar primer bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 81

32. Analisis ragam untuk jumlah akar primer bibit kelapa sawit. ... 81

33. Data volume akar bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 82

34. Analisis ragam untuk volume akar bibit kelapa sawit. ... 82

35. Data persen infeksi akar bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 83


(17)

viii 37. Data jumlah spora pada media bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 84 38. Data jumlah spora pada media bibit kelapa sawit umur 9 bst

yang ditransformasi  x + 0,5. ... 85 39. Analisis ragam untuk jumlah spora pada media bibit kelapa sawit


(18)

i Kupersembahkan karya ini untuk orang-orang yang kusayangi,

Bapak Sugiarto (Alm) dan Ibu Sumarni, Kakak ku Resta Yulia Sari, S.H yang senantiasa memberi doa, semangat, dan cinta yang tiada pernah berakhir,


(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bandar Lampung, pada tanggal 22 November 1992 sebagai merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Sugiarto (Alm) dan Ibu Sumarni.

Penulis mengawali pendidikan formal pada tahun 1997 di Taman kanak - kanak TK Kartika II - 6. Tahun 1998 melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Kartika II - 5. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 29 Bandar Lampung pada tahun 2004. Pada tahun 2007, penulis

melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 12 Bandar Lampung. Pada tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama menjadi mahasiswa, penulis melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di desa Umpu Kencana, Blambangan Umpu, Kabupaten Way Kanan pada bulan Januari 2013. Pada bulan Juli 2013 penulis melaksanakan Praktik Umum di PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bergen, Tanjung Bintang, Lampung Selatan dengan judul “ Manajemen Pemeliharaan Tanaman Karet (Hevea brasiliensis [Muell.] Arg.) Belum Menghasilkan dan Panen di PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bergen”. Penulis pernah aktif dalam


(20)

keorganisasian mahasiswa di Lembaga Studi Mahasiswa Pertanian (LS MATA) Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Penulis juga pernah menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Pembibitan Karet pada tahun 2013, mata kuliah Pengantar Produksi Perkebunan dan Produksi Tanaman Penghasil Getah, Gula dan Bahan Penyegar pada tahun 2014.


(21)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang memiliki prospek pengembangan cukup cerah. Kelapa sawit menghasilkan minyak sawit dan inti sawit yang dimanfaatkan sebagai minyak pangan, minyak industri, maupun bahan bakar nabati (biodiesel). Minyak kelapa sawit menghasilkan produk yang kaya manfaat di berbagai industri, bahkan limbahnya masih dapat dimanfaatkan untuk industri kosmetik, oleokimia, hingga pakan ternak (Fauzi et al., 2012).

Bagi Indonesia, tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja juga sebagai sumber perolehan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu produsen utama minyak sawit, bahkan saat ini telah menempati posisi kedua di dunia setelah Malaysia. Indonesia memiliki luas areal kelapa sawit terbesar di dunia, yaitu sebesar 34,18% dari luas kelapa sawit dunia (Fauzi et al., 2012).

Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia menjadi sangat berkembang pesat karena: (1) kebutuhan minyak nabati dunia cukup besar dan akan terus meningkat, sebagai akibat jumlah penduduk yang terus meningkat sedangkan tingkat konsumsi per kapita yang masih rendah, (2) di antara berbagai jenis


(22)

2

tanaman penghasil minyak nabati, kelapa sawit merupakan tanaman dengan potensi produksi minyak tertinggi, dan (3) semakin berkembangnya jenis-jenis industri hulu pabrik kelapa sawit maupun industri hilir oleokimia dan

oleomakanan (oleochemical dan oleofoods), hingga industri konversi minyak sawit sebagai bahan bakar biodiesel. Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit (Kementerian Pertanian, 2010).

Pada tahun 2012, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai ± 9.074.621 ha dan total produksi ± 23.521.071 ton TBS (tandan buah segar). Sedangkan di Provinsi Lampung sampai tahun 2012, luas perkebunan kelapa sawit mencapai ± 153.160 ha dan total produksi ± 401.952 ton TBS dengan sebagian besar jenis tanah di Lampung adalah Podsolik Merah Kuning (PMK) seluas 1.522.336 ha (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012).

Dalam sistem klasifikasi tanah USDA, tanah PMK secara umum tergolong dalam ordo Ultisol. Menurut Notohadiprawiro (2006) yang dikutip oleh Madjid (2009), pada umumnya lahan kering masam didominasi oleh tanah ultisol yang dicirikan oleh kapasitas tukar kation (KTK) dan kemampuan memegang atau menyimpan air yang rendah, tetapi kadar Al tinggi. Oleh karena itu, kesuburan tanah ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kadar bahan organik pada lapisan atas, dan bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin hara dan bahan organik. Selain itu, kekahatan fosfor merupakan salah satu kendala terpenting bagi usaha tani di lahan masam. Hal ini karena sebagian besar koloid dan mineral tanah yang terkandung


(23)

3

dalam tanah ultisol mempunyai kemampuan menyemat fosfat cukup tinggi, sehingga sebagian besar fosfat dalam keadaan tersemat oleh Al dan Fe, tidak tersedia bagi tanaman maupun biota tanah.

Untuk mengatasi permasalahan budidaya tanaman kelapa sawit pada tanah ultisol diperlukan pengembangan teknologi yang dilakukan dengan perbaikan mutu tanaman di pembibitan. Kegiatan pembibitan berperan sangat penting dalam menghasilkan tanaman kelapa sawit yang baik dan bermutu. Salah satunya adalah dengan pemanfaatan mikroorganisme tanah berupa fungi mikoriza yang dapat bekerja sama dengan akar tanaman dalam menyerap unsur hara dan air.

Mikoriza merupakan suatu bentuk asoasiasi mutualisme antara cendawan (myces) dan perakaran (rhiza) tumbuhan tingkat tinggi. Berdasarkan struktur tubuhnya dan cara infeksi terhadap tanaman inang, mikoriza dapat dikelompokkan ke dalam 3 golongan besar yaitu Endomikoriza, Ektomikoriza, dan Ektendomikoriza

(Kabirun dan Widada, 1994). Fungi yang tergabung ke dalam endomikoriza banyak mendapat perhatian karena penyebarannya lebih luas dan dapat berasosiasi dengan hampir 90% spesies tanaman tingkat tinggi. Salah satu jenis fungi

endomikoriza yang banyak diteliti adalah fungi mikoriza arbuskular (FMA) (Cruz, Ishii dan Kadoya, 2000).

Kelapa sawit adalah tanaman yang secara alami dapat bersimbiosis dengan FMA. Fungi mikoriza yang bersimbiosis ini dapat membantu meningkatkan daya absorbsi hara, air dan memperbaiki agregasi tanah. Selain itu, fungi mikoriza dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen (Sunarti et al., 2004). Mikoriza juga sangat berperan dalam meningkatkan toleransi tanaman


(24)

4

terhadap kekeringan, logam berat Al dan Fe, dan meningkatkan serapan hara terutama unsur hara P (Setiadi et al., 2003). Untuk mempelajari potensi suatu organisme, hal pertama yang harus diketahui adalah melihat keanekaragaman organisme tersebut. Dengan adanya data tentang keanekaragaman FMA dapat dilakukan seleksi untuk mendapatkan isolat FMA yang potensial dan efektif. Keanekaragaman dan penyebaran mikoriza sangat bervariasi, hal ini dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang bervariasi juga. Eksplorasi jenis-jenis FMA pada daerah pertanaman kelapa sawit merupakan studi awal yang penting dan diperlukan untuk dapat mengidentifikasi jenis-jenis FMA dominan dan spesifik yang ada. Setiap jenis FMA mungkin berbeda-beda dalam

kemampuannya membentuk hifa di dalam tanah, baik distribusi maupun kuantitasnya yang berhubungan dengan kemampuan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman (Delvian, 2003 yang dikutip oleh Hartoyo et al., 2011). Keberadaan dan keberagaman FMA pada rizosfer kelapa sawit belum cukup memberikan gambaran peran FMA, perlu dilakukan uji lanjut untuk mengetahui jenis FMA yang kompatibel dan efektif untuk meningkatkan pertumbuhan kelapa sawit.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan FMA. Keefektifan setiap jenis FMA dipengaruhi oleh jenis tanaman dan jenis tanah. Setiap jenis tanaman memberikan tanggapan yang berbeda terhadap jenis FMA. Persentase kolonisasi antara spesies FMA dan tanaman inang sering dihubungkan dengan pertumbuhan akar dan kepekaan tanaman. Faktor jenis tanah berkaitan erat dengan pH dan tingkat kesuburan tanah (Daniels dan Menge, 1981 yang dikutip


(25)

5

oleh Kartika, 2012). Perbedaan jenis tanah, tekstur, serta jarak dari garis pantai menyebabkan perbedaan keanekaragaman spesies dan populasi fungi mikoriza, misalnya pada tanah dengan fraksi lempung berdebu merupakan tanah yang baik bagi perkembangan Glomus sp. Pada tanah mangrove yang bercirikan tanah berlumpur dan cenderung liat hanya Glomus sp. yang dapat hidup, sedangkan tanah yang berpasir genus Acaulospora sp. dan Gigaspora sp. ditemukan dalam jumlah yang tinggi (Siradz dan Kabirun, 2007).

Selain itu juga, aktivitas dan perkembangan fungi mikoriza sangat dipengaruhi oleh tingkat pemupukan fosfat. Penambahan pupuk fosfat dapat menurunkan aktivitas fungi mikoriza dan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman, karena pupuk mempunyai pengaruh yang lebih cepat terhadap pertumbuhan daripada infeksi mikoriza (White, 1989 yang dikutip Zulaikha dan Gunawan 2006).

Berdasarkan latar belakang dan masalah yang telah diajukan maka dilaksanakan suatu penelitian untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut :

1. Jenis FMA mana yang paling baik dalam meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit?

2. Dosis NPK manakah yang paling sesuai digunakan untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit?

3. Apakah respons bibit kelapa sawit terhadap jenis FMA dipengaruhi oleh dosis pupuk NPK yang diberikan?


(26)

6

4. Berapakah dosis NPK yang terbaik untuk masing-masing jenis FMA yang digunakan?

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut :

1. Menentukan jenis FMA terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit.

2. Menentukan dosis NPK yang paling sesuai untuk bibit kelapa sawit.

3. Mengetahui apakah respons bibit kelapa sawit terhadap jenis FMA dipengaruhi oleh dosis pupuk NPK.

4. Menentukan dosis NPK terbaik untuk masing-masing jenis FMA. 1.3 Landasan Teori

Dalam rangka menyusun penjelasan teoretis terhadap pertanyaan yang telah dikemukakan, digunakan landasan teori sebagai berikut.

Menurut Madjid (2009), ultisol adalah tanah-tanah yang berwarna kuning merah dan telah mengalami pencucian lanjut yang dikenal sebagai Podsolik Merah Kuning (PMK). Tanah-tanah ini mendominasi lahan kering yang ada di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Usaha pertanian di tanah Ultisol akan menghadapi sejumlah permasalahan. Tanah Ultisol umumnya mempunyai pH rendah yang menyebabkan kandungan Al, Fe, dan Mn terlarut tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Jenis tanah ini biasanya miskin unsur hara esensial


(27)

7

makro seperti N, P, K, Ca, dan Mg; unsur hara mikro Zn, Mo, Cu, dan B, serta bahan organik.

Menurut Tisdale, Nelson, dan Beaton (1995) yang dikutip oleh Wachjar (2002), tingginya biaya pemupukan bagi kelapa sawit (berkisar 20-60% dari biaya pemeliharaan kebun) mendorong upaya untuk mencari cara supaya

mengefisienkan pemupukan agar biaya produksi dapat dikurangi. Salah satunya adalah penemuan di bidang bioteknologi dalam pemanfaatan fungi mikoriza. Hubungan simbiosis mutualisme antara fungi (mykes) dan perkaran (rhiza) tumbuhan tinggi ini diketahui mampu memberikan sejumlah keuntungan bagi tanaman inang dan yang terpenting adalah peranannya dalam membantu tanaman menyerap unsur hara terutama hara fosfor.

Fosfor merupakan salah satu unsur hara esensial penyusun beberapa senyawa kunci dan sebagai katalis reaksi-reaksi biokimia penting di dalam tanaman. Kandungan hara P dalam tanah melimpah, namun sebagian fraksi P di dalam tanah berada dalam bentuk mineral atau senyawa yang tidak mudah dimanfaatkan oleh tanaman. Ion ortofosfat (HPO4-2 dan H2 PO4-) adalah dua bentuk P utama yang dapat tersedia bagi tanaman. Fosfor memiliki reaktivitas tinggi terhadap partikel tanah. Pupuk P yang diberikan ke dalam tanah akan cepat mengalami reaksi dengan partikel liat dan senyawa Fe dan Al pada tanah masam begitu pula dengan Ca pada tanah-tanah alkalin. Hal ini menyebabkan akar tanaman tidak dapat menyerap P. Penggunaan FMA dapat memberikan manfaat positif bagi tanaman inang yang diinfeksinya dalam penyediaan air dan unsur hara terutama P yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman (Munawar, 2010).


(28)

8

Menurut Smith dan Read (2008), terdapat tiga mekanisme FMA dalam meningkatkan serapan P, yaitu (1) modifikasi kimia oleh FMA terhadap akar tanaman sehingga FMA dapat mengeluarkan enzim fosfatase dan asam-asam organik; (2) dengan adanya hifa eksternal FMA, jarak difusi ion-ion fosfat tersebut dapat diperpendek sehingga proses difusi menjadi lebih cepat; dan (3) kemampuan hifa FMA untuk tumbuh melampaui zona deplesi dan

mendistribusikan P ke akar merupakan efek positif terhadap serapan P dan pertumbuhan tanaman. Proses ini terjadi karena aktifitas hifa eksternal yang tinggi sehingga terjadi peningkatan daya tarik-menarik ion-ion fosfat yang menyebabkan pergerakan P lebih cepat ke dalam hifa FMA.

Fungi mikoriza arbuskular (FMA) termasuk dalam golongan endomikoriza

dengan klasifikasi termasuk ke dalam filum Glomeromycota. FMA mempunyai 4 ordo, yaitu ordo Glomerales, Diversisporales, Archaeosporales, dan

Paraglomerales. Ordo Glomales mempunyai satu famili yaitu Glomaceae dengan genus Glomus. Ordo Diversisporales mempunyai 4 famili yaitu famili

Acaulosporaceae dengan genus Acaulospora dan Entrophospora, famili Gigasporacea dengan genus Gigaspora dan Scutellospora, famili

Diversisporaceae dengan genus Diversispora (Glomus), dan famili Pacisporaceae dengan genus Pacispora. Ordo Archaeosporales mempunyai 2 famili yaitu famili Archaeosporaceae dengan genus Archaeospora dan famili Geosiphonaceae

dengan genus Geosiphom. Ordo Paraglomerales mempunyai satu famili yaitu Paraglomaceae dengan genus Paraglomus (Rini, 2012).


(29)

9

Hasil penelitian Musfal (2010), memperlihatkan bahwa pemberian FMA pada tanaman jagung dapat meningkatkan serapan P oleh tanaman, bobot kering tanaman, hasil pipilan kering jagung, dan dapat mengefisienkan penggunaan pupuk hingga 50%. Penggunaan FMA dapat meningkatkan produksi kedelai di lahan kering (Hapsoh, 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam

simbiosisnya dengan tanaman kelapa sawit, fungi ini dapat meningkatkan serapan P baik melalui perbaikan sistem perakaran tanaman sawit maupun melalui

aktifitasnya dalam memineralisasi P organik tanah. Percobaan di kebun kelapa sawit Cimulang dan Sukamaju PTPN VIII juga menunjukkan bahwa inokulasi FMA dapat mengurangi pupuk 75% untuk menghasilkan pertumbuhan yang sama dengan metode standar pembibitan (Widiastusi et.al., 2006 yang dikutip oleh Widiastusi dan Rostiwati 2011).

Inokulasi FMA pada kelapa sawit dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, pertumbuhan, dan serapan hara. Keefektifan inokulasi untuk setiap jenis FMA pada bibit kelapa sawit belum diketahui secara pasti. Keefektifan inokulasi FMA salah satunya dipengaruhi oleh jumlah inokulum. Hasil yang diperoleh

menunjukkan bahwa pada G. margarita inokulasi 500 spora menghasilkan pertumbuhan terbaik dibandingkan dengan inokulasi 200 spora dan 350 spora. Tampak bahwa baik jumlah spora maupun spesies FMA mempengaruhi peubah pertumbuhan bibit kelapa sawit. Jumlah spora 200 buah kemungkinan kurang sesuai untuk inokulum bibit kelapa sawit yang mempunyai perakaran dengan pertumbuhan yang relatif lambat dibandingkan dengan tanaman lainnya. Jumlah spora sebanyak 500 buah menyebabkan kesempatan spora untuk menginfeksi akar tanaman menjadi lebih besar (Widiastuti et al., 2005).


(30)

10

Berdasarkan hasil penelitian Prasetyo (2012), diketahui bahwa waktu inokulasi spora FMA saat bibit berumur 1 bulan merupakan waktu terbaik dalam

meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit yang ditunjukkan oleh tingginya bobot segar tajuk, bobot kering tajuk, dan tinggi tanaman. Hal itu berhubungan erat dengan mulai terjadinya infeksi FMA pada akar bibit kelapa sawit sehingga penyerapan hara dan air lebih optimal. Infeksi awal dapat terjadi lebih optimal pada bibit berumur 1 bulan karena sudah terbentuknya akar sekunder.

Keanekaragaman dan penyebaran mikoriza sangat bervariasi, hal ini dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang bervariasi juga. Semua mikoriza tidak mempunyai sifat morfologi dan fisiologi yang sama, oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui identitasnya (Puspitasari et.al , 2012). Species dan strain mempunyai perbedaan didalam meningkatkan penyerapan nutrient dan pertumbuhan tanaman. Hal ini menyebabkan dilakukannya penelitian untuk mengetahui spesies atau strain mana yang unggul dibandingkan dengan strain yang lain untuk tanaman tertentu. Setiap spesies mempunyai “innate

effectiveness”. Spesies yang paling efektif meningkatkan pertumbuhan adalah yang paling cepat dan efektif didalam infeksinya (Suhardi, 1988).

Hasil penelitian Saputra (2011) menunjukkan bahwa inokulasi FMA jenis Glomus sp. asal Sumatera Barat memberikan respons yang lebih baik dibandingkan tanpa FMA dan FMA jenis Entropospora sp. asal Sribawono Lampung Timur pada pertumbuhan bibit kelapa sawit dengan berbagai kondisi cekaman air yang dicobakan. Kemampuan FMA Glomus sp. dapat lebih baik daripada FMA Entrophospora sp. dalam menginfeksi akar diduga karena spora


(31)

11

Glomus sp. berkecambah lebih cepat daripada spora Entrophospora sp. Menurut Tawaray et al. (1996) yang dikutip oleh Widiastuti et al. (2005) spora beberapa spesies Acaulospora sp. dan Entrophospora sp. memerlukan waktu tiga bulan untuk berkecambah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Irawan (2011) menunjukkan bahwa Glomus sp. telah mampu menginfeksi bibit kelapa sawit 2 minggu setelah inokulasi.

Perkembangan FMA sangat dipengaruhi oleh ketersediaan hara tanah.

Perkembangan FMA terhambat jika kandungan nitrogen dan fosfor tanah tinggi. Pada kondisi tanah yang subur, perkecambahan spora agak terhambat karena adanya kemungkinan kegiatan mikroba di dalam tanah akan mengakibatkan penguraian dinding spora atau hyperparasitis pada spora FMA, akibatnya akan mengurangi kemampuan berkecambah dari spora. Selain itu, pH juga merupakan pengendali penting perkembangan FMA karena mempengaruhi ketersediaan dan keracunan unsur hara (Suhardi, 1988).

1.4 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan, berikut ini disusun kerangka pemikiran untuk memberikan penjelasan teoretis terhadap perumusan masalah. Fungi mikoriza Arbuskular (FMA) merupakan salah satu fungi yang dapat bersimbiosis mutualisme dengan akar tanaman. Jika inokulum FMA

diaplikasikan pada akar bibit kelapa sawit, maka spora FMA akan berkecambah di dalam tanah, kemudian tumbuh menuju akar dan seterusnya akan masuk ke dalam akar membentuk simbiosis dengan akar tanaman.


(32)

12

Mekanisme simbiosis berawal ketika spora berkecambah dan mengeluarkan hifa yang kemudian masuk ke dalam akar kemudian akar tanaman akan mengeluarkan eksudat berupa gula, asam organik, dan asam amino yang berfungsi sebagai sumber makanan bagi FMA untuk pertumbuhan hifa yang tumbuh dari spora. Hifa akan terus tumbuh membentuk apresorium, kemudian menembus sel epidermis akar dan selanjutnya berkembang dalam jaringan korteks. Hifa yang masuk ke dalam sel akan terus bercabang secara dikotomi disebut arbuskular, sementara hifa yang berkembang pada ruang antar sel ada yang menggelembung membentuk vesikel yang berisi cadangan makanan untuk perkembangan FMA. Selain membentuk hifa internal, FMA membentuk hifa eksternal yang berperan dalam meningkatkan kapasitas akar untuk meningkatkan serapan air dan unsur hara. Kemampuan asosiasi tanaman dengan FMA ini memungkinkan tanaman memperoleh hara dan air yang cukup pada kondisi lingkungan yang miskin unsur hara dan kering, perlindungan terhadap patogen tanah maupun unsur hara

beracun, dan secara tidak langsung melalui perbaikan struktur tanah.

Tanah yang digunakan pada penelitian adalah jenis tanah PMK yang umumnya memiliki kendala kekahatan fosfor karena sebagian besar koloid dan mineral tanah mempunyai kemampuan menyemat fosfat cukup tinggi sehingga sebagian besar fosfat dalam keadaan tersemat oleh Al dan Fe, tidak tersedia bagi tanaman maupun biota tanah. Melalui hifa eksternal mikoriza yang berukuran lebih halus dari bulu-bulu akar memungkinkan menyusup ke pori-pori tanah yang kecil sehingga hifa bisa menyerap unsur fosfat dari dalam tanah dan diubah menjadi senyawa polifosfat kemudian dipecah menjadi fosfat organik yang dapat diserap


(33)

13

oleh tanaman. Dengan adanya hifa eksternal ini penyerapan hara terutama fosfor menjadi lebih besar dibandingkan dengan tanaman yang tidak terinfeksi dengan mikoriza, sehingga pertumbuhan tanaman yang bermikoriza lebih baik

dibandingkan yang tidak bermikoriza.

Terjadinya infeksi FMA pada akar tanaman dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu kecocokan jenis FMA dengan tanaman inang, kondisi jaringan akar tanaman, dan faktor lingkungan. Kecocokan jenis FMA dengan tanaman inang berhubungan erat dengan eksudat akar yang disekresikan oleh tanaman. Kondisi jaringan akar tanaman berhubungan dengan kelunakan epidermis.

Beberapa penelitian menguji keefektifan beberapa spesies fungi mikoriza pada beberapa jenis tanaman menunjukkan bahwa terdapat kesesuaian antara spesies fungi mikoriza dengan tanaman inang tertentu. Adanya adaptasi yang tinggi FMA jenis Glomus sp. dan kecenderungannya untuk bersimbiosis dengan akar kelapa sawit, menyebabkan spora FMA ini dapat berkecambah dan menginfeksi jaringan akar yang lebih baik daripada FMA jenis Entropospora sp. Selain jenis FMA, daerah asal FMA juga mempengaruhi keberhasilan inokulasi. Penggunaan jenis FMA yang berasal dari daerah Lampung dapat lebih baik dibandingkan jenis FMA yang berasal dari daerah Sumatera Utara dan Jawa Timur karena daya adaptasi terhadap lingkungan lebih sesuai sehingga spora FMA asal Lampung dapat lebih cepat berkecambah dan menginfeksi jaringan akar.

Penelitian mengenai dosis pemupukan NPK sudah banyak dilakukan. Pada umumnya dosis pemupukan NPK 100% sesuai dengan dosis anjuran


(34)

14

akar diharapkan dapat menguntungkan pertumbuhan bibit kelapa sawit. Fungi mikoriza arbuskular akan mendapatkan fotosintat dari eksudat akar, sedangkan bibit kelapa sawit dapat memperbaiki sistem perakaran karena pada akar terdapat jaringan hifa eksternal FMA yang akan memperluas bidang serapan air dan unsur hara. Ukuran hifa yang lebih halus dari bulu-bulu akar memungkinkan hifa bisa menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil (mikro) sehingga hifa dapat menyerap air pada kondisi tanah yang rendah dan keberadaan unsur hara P yang jauh dari jangkauan akar akan lebih mudah dimobilisasi di daerah perakaran. Sedangkan pada kondisi unsur hara P yang cukup akar tanaman mengakumulasi P dalam jumlah yang tinggi, FMA mendapatkan senyawa C dari tanaman yang mempengaruhi metabolisme tanaman sehingga inokulasi FMA dapat

meningkatkan efisiensi pemupukan sampai 50 % dari dosis anjuran.

Dengan pertumbuhan sistem perakaran yang baik menyebabkan tanaman lebih mudah dalam penyerapan air dan unsur hara sehingga mempengaruhi proses fisiologi tanaman. Dengan meningkatnya kandungan air dan unsur hara, dan CO 2 maka senyawa organik yang disintesis tanaman akan meningkat juga. Hasil sintesis ini dimanfaatkan dalam proses pembelahan dan penambahan ukuran sel di seluruh jaringan tanaman. Dengan adanya penambahan ukuran dan pembelahan sel-sel baru menyebabkan akar yang terbentuk lebih banyak, meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah daun, serta bobot kering brangkasan meningkat akibat akumulasi bahan organik pada jaringan tanaman sehingga pertumbuhan bibit optimal dan meningkatkan kualitas bibit kelapa sawit (Gambar 1).


(35)

15

interaksi

Gambar 1. Bagan alir kerangka penelitian

Produksi kelapa sawit di Indonesia rendah karena banyak ditanam pada tanah marginal atau tanah ultisol yang memiliki ketersediaan fosfor rendah dan kelarutan Al dan Fe yang tinggi.

Penggunaan bibit berkualitas

Aplikasi FMA

keragaman jenis dan daerah asal FMA Dosis pemupukan NPK

Pengujian:

tanpa inokulasi FMA (kontrol), Entrophospora sp. (Isolat MV 22,

Isolat MV 25, dan Isolat MV 28), Glomus sp. (Isolat MV 23 dan Isolat

MV 26)

Pengujian: 100% dosis anjuran dan 50% dosis anjuran

Keefektifan infeksi

Simbiosis FMA dan bibit kelapa sawit

1.Kecocokan jenis FMA dengan tanaman inang 2.Faktor lingkungan

1. Meningkatkan serapan unsur hara P.

2. Meningkatkan serapan air dan ketahanan terhadap kekeringan.

3. meningkatkan daya adaptasi tanaman terhadap serangan penyakit akar.

Kualitas bibit kelapa sawit meningkat dengan pertumbuhan bibit optimal karena sistem perakaran baik dan daya adaptasi lingkungan


(36)

16

1.5 Hipotesis

Dari kerangka pemikiran yang telah dikemukakan dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut:

1. FMA jenis Glomus sp. menghasilkan pertumbuhan bibit kelapa sawit terbaik. 2. Dosis NPK yang sesuai untuk bibit kelapa sawit adalah dosis pupuk yang

diberikan sesuai dengan dosis anjuran.

3. Respons bibit kelapa sawit terhadap pemberian FMA ditentukan oleh dosis pemupukan.

4. Dosis pemupukan 50% dari dosis rekomendasi merupakan dosis terbaik untuk perkembangan masing-masing jenis FMA.


(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Informasi Umum Mengenai Kelapa Sawit

Klasifikasi tanaman kelapa sawit menurut Pahan (2012): Divisi : Embryophyta Siphonagama

Kelas : Angiospermae Ordo : Monocotyledonae

Famili : Arecaceae (dahulu disebut Palmae) Subfamili : Cocoideae

Genus : Elaeis

Spesies : 1. E. guineensis Jacq.

2. E. oleifera (H.B.K) Cortes 3. E. odora

Kelapa sawit pertama kali diintroduksikan ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848 tepatnya di kebun Raya Bogor. Pada tahun 1876, Sir YosephHooker mencoba menanam 700 bibit tanamana kelapa sawit di Labuhan Deli, Sumatera Utara. Sayangnya, 10 tahun kemudian, tanaman yang benihnya dibawa dari Kebun Raya Kew (London) ini ditebang habis dan diganti dengan tanaman kelapa. Sesudah tahun 1911, K. Schadt-seorang berkebangsaan Jerman dan M. Adrien Hallet berkebangsaan Belgia-mulai mempelopori budidaya


(38)

18

tanaman kelapa sawit. Schadt mendirikan perusahhan perkebunan kelapa sawit di Tanah Ulu (Deli), sedangkan Hallet mendirikan perkebunan di daerah Pulau Raja (Asahan) dan Sungai Liput (Aceh). Sejak itulah, mulai dibuka perkebunan-perkebunan baru. Pada tahun 1938, di Sumatera diperkirakan sudah ada 90.000 ha perkebunan sawit (Pahan, 2012).

2.1.1 Morfologi Kelapa Sawit

a. Akar

Sistem perakaran kelapa sawit merupakan sistem akar serabut. Akar kelapa sawit terdiri dari akar primer, sekunder, tersier dan kuarter. Akar primer adalah akar yang tumbuh langsung dari pangkal batang dengan diameter 5-10 mm. Akar sekunder adalah akar yang tumbuh dari akar primer dengan arah tumbuhnya mendatar maupun ke bawah, berdiameter 1-4 mm. Akar tersier adalah akar yang tumbuh dari akar sekunder dengan arah tumbuhnya mendatar, panjang mencapai 15 cm, berdiameter 0,5-1,5 mm. Akar kuarter adalah akar yang tumbuh dari akar tersier dengan diameter 0,2-0,5 mm dan panjangnya rata-rata 3 cm. Akar tersier dan kuarter inilah yang paling aktif mengambil hara dan air dari dalam tanah (Setyamidjaja, 2006).

b. Batang

Kelapa sawit merupakan tanaman monokotil, batangnya tidak mempunyai kambium dan umumnya tidak bercabang. Batang kelapa sawit berbentuk silinder dengan diameter 20-75 cm. Tanaman yang masih muda batangnya tidak terlihat karena tertutup oleh pelepah daun. Pertambahan tinggi batang terlihat jelas


(39)

19

setelah berumur 4 tahun. Tinggi batang bertambah 25-75 cm/tahun. Jika kondisi lingkungan sesuai, pertambahan tinggi batang dapat mencapai 100 cm/tahun. Pertumbuhan batang tergantung pada jenis tanaman, kesuburan lahan, dan iklim setempat (Fauzi et al., 2012).

c. Daun

Daun-daun membentuk suatu pelepah yang panjangnya dapat mencapai kurang lebih 7,5–9 m. Daun muda yang masih kuncup berwarna kuning pucat. Pada tanah-tanah yang subur daun akan cepat membuka yang berarti makin efektif menjalankan fungsinya sebagai tempat berlangsungnya fotosintesis dan alat respirasi (Fauzi et al., 2012).

Pada tanaman dewasa ditemukan 40-50 pelepah. Jumlah kedudukan pelepah daun pada batang kelapa sawit disebut juga filotaksis yang dapat ditentukan

berdasarkan perhitungan susunan duduk daun, yaitu dengan menggunakan rumus duduk daun 1/8 yaitu setiap satu kali berputar melingkari batang terdapat duduk pelepah sebanyak delapan helai. Pertumbuhan pelepah daun mengarah ke kanan atau ke kiri menyerupai spiral (Fauzi et al., 2012).

d. Bunga

Kelapa sawit mulai berbunga pada umur sekitar 2 tahun. Bunga kelapa sawit berumah satu, pada satu batang terdapat bunga jantan dan bunga betina yang letaknya terpisah pada tandan bunga yang berbeda. Seringkali terdapat pula tandan bunga betina yang mendukung tandan bunga jantan (hermaprodit). Bunga betina terletak dalam tandan bunga. Tiap tandan bunga mempunyai 100-200


(40)

20

cabang, dan setiap cabang terdapat paling banyak 30 bunga betina. Dalam satu tandan terdapat 3000-6000 bunga betina. Bunga betina yang memiliki tiga putik dan 6 perhiasan bunga. Bunga jantan maupun bunga betina biasanya terbuka dalam 2 hari, kecuali pada musim hujan bunga akan mekar bisa sampai 4 hari. Tepung sari dapat menyerbuki selama 2-3 hari, tetapi makin lama daya hidupnya (viabilitas) makin menurun (Setyamidjaja, 2006).

Letak bunga jantan yang satu dengan yang lainnya dalam tandan bunga jantan sangat rapat dan membentuk cabang-cabang bunga yang panjangnya antara 10-20 cm. Pada tanaman dewasa, satu tandan mempunyai ± 200 cabang bunga. Setiap cabang mengandung 700-1200 bunga jantan. Bunga jantan ini terdiri dari 6 helai benang sari dan 6 perhiasan bunga. Tepung sari berwarna kuning pucat dan berbau spesifik. Satu tandan bunga jantan dapat menghasilkan 25-300 gr tepung sari (Setyamidjaja, 2006).

e. Buah

Kira-kira lima bulan setelah terjadinya penyerbukan, buah menjadi masak. Setiap buah panjangnya 2-5 cm dan beratnya dapat melebihi 30 gr. Bagian-bagiannya terdiri dari kulit buah (exocarp), daging buah (pulp atau mesocarp) yang banyak mengandung minyak, cangkang (tempurung atau shell atau endocarp), dan inti (kernel atau endosperm), mengandung minyak seperti minyak kelapa. Exocarp dan mesocarp sering juga disebut sebagai pericarp yaitu bagian buah yang mengandung sebagian besar minyak kelapa sawit. Rendemen minyak dalam pericarp sekitar 24%, sedangkan dalam inti hanya sekitar 4%. Kualitas minyak


(41)

21

inti lebih baik daripada minyak yang terkandung dalam pericarp (Setyamidjaja, 2006).

2.1.2 Tipe Kelapa Sawit

Menurut Fauzi et al. (2012), kelapa sawit berdasarkan ketebalan tempurung dan daging buahnya dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: (1) jenis Dura yang memiliki tempurung tebal (2-8 mm), daging buah relatif tipis (35-50% dari buah) dan kernel besar dengan kandungan minyak rendah. Dalam persilangan, jenis dura ini digunakan sebagai pohon induk betina; (2) jenis Pisifera memiliki tempurung sangat tipis (bahkan hampir tidak ada). Berbeda dengan jenis dura, daging buah pisifera lebih tebal. Jenis pisifera tidak dapat diperbanyak tanpa menyilangkan dengan jenis lain karena bunga betinanya steril. Dalam persilangan, jenis pisifera ini digunakan sebagai pohon induk jantan; (3) jenis Tenera merupakan hasil persilangan antara Dura dan Pisifera. Tenera mempunyai tempurung tipis (0,5-4 mm), daging buah sangat tebal (60-96% dari buah), dan tandan buah lebih banyak, tetapi ukurannya relatif lebih kecil. Hasil persilangan ini telah terbukti memiliki kualitas dan kuantitas yang lebih baik dibandingkan dengan jenis lainnya.

2.1.3 Syarat Tumbuh

Fauzi et al. (2012), menyatakan bahwa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan kelapa sawit meliputi iklim dan tanah. Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika segar di antara 12⁰ LU - 12⁰ LS pada ketinggian 0-500 m dpl. Beberapa unsur iklim yang penting dan saling


(42)

22

mempengaruhi adalah curah hujan, sinar matahari, suhu, kelembaban udara, dan angin.

Curah hujan optimum rata-rata yang diperlukan tanaman kelapa sawit adalah 2000 – 2500 mm/tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun tanpa bulan kering (defisit air) yang berkepanjangan. Namun, yang terpenting adalah tidak terjadi defisit air di atas 250 mm. Tanaman kelapa sawit memerlukan intensistas cahaya yang tinggi untuk berfotosintesis, kecuali saat kondisi tanaman masih muda di pre-nursery. Lama penyinaran yang optimum yang diperlukan tanaman kelapa sawit antara 5-12 jam. Suhu optimum yang dibutuhkan agar tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik adalah 24-28⁰C. Beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi rendah suhu adalah lama penyinaran dan ketinggian tempat (Fauzi et al., 2012).

Kelembaban udara dan angin adalah faktor penting yang menunjang pertumbuhan kelapa sawit. Kelembaban optimum bagi pertumbuhan kelapa sawit adalah 80%. Sedangkan angin yang kering menyebabkan penguapan lebih besar, mengurangi kelembaban, dan dalam waktu lama mengakibatkan tanaman layu (Fauzi et al., 2012).

Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh secara baik pada berbagai jenis tanah, seperti Podsolik (Ultisol), Latosol, Hidromorfik Kelabu, Regosol, Andosol, dan tanah Alluvial. Beberapa hal yang menentukan sifat tanah adalah tekstur,

struktur, konsistensi, kemiringan tanah, permeabilitas, ketebalan lapisan tanah dan kedalaman permukaan air tanah. Tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada tanah gembur, subur, berdrainase baik, permeabilitas sedang, mempunyai solum yang


(43)

23

tebal sekitar 80 cm, tanpa lapisan tanah yang keras (padas). Tekstur tanah ringan dengan kandungan pasir 20-60%, debu 100-40%, dan liat 20-50% (Fauzi et al., 2012).

Sifat kimia tanah dapat dilihat dari keasaman dan komposisi kandungan hara mineralnya. Kelapa sawit dapat tumbuh pada pH tanah 4,0 - 6,5; sedangkan pH optimumnya adalah 5-5,5. Tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada tanah yang memiliki kandungan unsur hara yang tinggi, dengan C/N mendekati 10 (Fauzi et al., 2012).

2.2 Fungi Mikoriza Arbuskular

Mikoriza adalah suatu bentuk asosiasi simbiotik antara akar tumbuhan tingkat tinggi dan miselium fungi tertentu. Nama mikoriza pertama kali dikemukakan oleh ilmuwan Jerman Frank pada tanggal 17 April 1885.

Menurut Hadayanto dan Hairiah (2007), ada tiga bentuk atau tipe mikoriza yaitu Ektomikoriza, Endomikoriza dan Ektendomikoriza. Jenis ektomikoriza disebut juga mikoriza ektotrofik, merupakan karakteristik berbagai tanaman pohon di daerah agak dingin. Tanaman inang ektomikoriza termasuk dalam famili Pinaceae, Betulaceae, dan Myrtaceae. Akar yang terinfeksi oleh ektomikoriza umumnya mempunyai ujung akar yang tumpul dan pendek yang diselimuti oleh mantel jaringan jamur, serta tidak ada atau hanya sedikit rambut akar. Jenis endomikoriza terdiri dari fungi mikoriza arbuskular (FMA), ericoid mikoriza dan mikoriza anggrek. FMA dijumpai pada sebagian besar tanaman budidaya maupun tanaman liar, dengan peran penting dalam serapan unsur hara dan perlindungan


(44)

24

terhadap kekeringan dan serangan patogen. Ericoid mikoriza dijumpai berasosiasi pada tanaman ordo Ericales. Mikoriza pada tanaman anggrek berperan

menyediakan karbon dan vitamin untuk perkembangan embrio karena biji yang kecil dengan sedikit cadangan makanan. Jenis ektendomikoriza berasosiasi dengan sebagian besar Gimnospermae.

2.2.1 Morfologi Fungi Mikoriza Arbuskular

Fungi mikoriza arbuskular membentuk organ-organ khusus dan mempunyai fungsi yang spesifik. Perkembangan kolonisasi FMA dimulai dengan

pembentukan suatu apresorium. Apresorium merupakan struktur penting dalam siklus hidup FMA. Hal ini diinterpretasikan sebagai kejadian kunci bagi

pengenalan interaksi yang berhasil dengan bakal calon tanaman inang. Fase kontak akan diikuti dengan fase simbiotik. Sejak fase itu, fungi menyempurnakan proses morfogenesis kompleks dengan memproduksi hifa interseluler dan

intraseluler, vesikel, dan arbuskular. Struktur utama FMA adalah arbuskular, vesikel, hifa eksternal dan spora (Dewi, 2007).

Menurut Smith dan Read (2008) dan Brundrett et al. (2008), arbuskularadalah struktur hifa yang berasal dari percabangan hifa di dalam sel korteks akar tanaman inang. Bentuk arbuskular menyerupai pohon kecil dan berfungsi sebagai tempat pertukaran zat-zat metabolit primer (terutama Glukosa dan Fosfor) antara fungi endomikoriza dan akar tanaman. Brundrett et al. (2008) dan Hapsoh (2008) menyatakan bahwa arbuskular mempunyai peran yang sangat vital dari fungi endomikoriza karena berfungsi sebagai tempat masuknya hara mineral dari tanah yang diabsorbsi oleh akar dan hifa ke dalam sel inang. Proses tersebut


(45)

25

menyebabkan terjadinya peningkatan sitoplasma, respirasi, dan aktivitas enzim pada kedua organisme tersebut sehingga tanaman/inang akan dapat memanfaatkan fosfor dari fungi dan sebaliknya fungi endomikoriza mengabsorbsi glukosa dan karbon dari inangnya.

Vesikel merupakan hifa fungi endomikoriza yang mengalami penggembungan (melebar). Penggembungan hifa bisa terjadi secara internal di dalam sel atau keluar dari sel akar inang yang terbentuk pada hifa terminus dan interkalar. Bentuk vesikel adalah bulat atau oval/lonjong, berisi senyawa lemak sehingga vesikel merupakan organ penyimpanan cadangan makanan bagi fungi

endomikoriza (Brundrett et al., 2008). Pada kondisi tertentu, vesikel yang telah dewasa dapat berperan sebagai spora atau alat pertahanan fungi tersebut jika berada pada lingkungan yang tidak menguntungkan (Pattimahu, 2004).

Vesikel biasanya dibentuk lebih banyak di antara dinding sel korteks pada daerah infeksi yang sudah tua, dan terbentuk setelah pembentukan arbuskular. Jika suplai metabolik dari tanaman inang berkurang, cadangan makanan itu akan digunakan oleh fungi sehingga vesikel mengalami degenerasi. Pada famili Gigasporaceae tidak semua genus memiliki vesikel. Gigaspora dan Scutellospora adalah dua genus yang tidak membentuk vesikel di dalam akar. Oleh karena itu, ada dua pendapat yaitu ada yang menyebut fungi Mikoriza Vesikula Arbuskular dan ada juga yang menggunakan istilah Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA). Nama vesikel-arbuskular tampaknya berdasarkan karakteristik struktur arbuskular yang terdapat di dalam sel-sel korteks dan vesikel yang terdapat di dalam atau di antara sel-sel korteks akar tanaman (Brundrett etal., 2008).


(46)

26

Spora terdapat pada ujung hifa eksternal dan dapat hidup selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Spora-spora endomikoriza mampu bertahan di dalam tanah tanpa inang sampai 6 bulan bahkan beberapa spesies seperti Scutelospora sp, Gigaspora sp. dapat bertahan sampai satu–dua tahun (Brundrett et al., 2008). Spora-spora yang dihasilkan secara aseksual maupun seksual pada prinsipnya merupakan salah satu bentuk atau alat pertahanan diri di alam yang dapat berfungsi untuk proses adaptasi terutama apabila mikoriza tersebut belum menemukan tanaman inang yang kompatibel (Smith and Read, 2008).

Hifa eksternal merupakan struktur lain dari FMA yang berkembang di luar akar. Hifa ini berfungsi menyerap hara dan air di dalam tanah. Adanya hifa eksternal yang berasosiasi dengan tanaman akan berperan penting dalam perluasan bidang adsorpsi akar sehingga memungkinkan akar menyerap hara dan air dalam jangkauan yang lebih jauh. Distribusi hifa eksternal ini sangat dipengaruhi oleh faktor biotik dan lingkungan abiotik seperti sifat kimia, fisika tanah, kandungan bahan organik, mikroflora dan mikrofauna (Mosse, 1991).

2.2.2 Jenis Fungi Mikoriza Arbuskular

Fungi Mikoriza Arbuskular dikelompokkan berdasarkan cara terbentuknya spora pada setiap genus. Karakteristik yang khas untuk masing-masing genus ialah sebagai berikut:

1. Glomus

Pada genus Glomus, proses perkembangan spora adalah dari ujung hifa yang membesar sampai mencapai ukuran maksimal dan terbentuk spora (Gambar 2). Spora glomus berbentuk bulat dan jumlahnya banyak. Dinding spora berjumlah


(47)

27

satu, seluruh lapisan yang ada pada dinding spora berasal dari dinding hifa pembawa. Permukaan dinding spora halus tidak memiliki ornamen. Ada dudukan hifa (subtending hyphae) lurus berbentuk silinder (Invam, 2013).

Gambar 2. Proses perkembangan spora pada Glomus (Invam, 2013). 2. Paraglomus

Proses pembentukan spora paraglomus hampir sama dengan proses pembentukan spora glomus. Spora tersebut berasal dari ekspansi blastic dari ujung hifa.

paraglomus tidak bereaksi dalam reagen Melzer (Invam, 2013). 3. Acaulospora

Proses perkembangan spora Acaulospora seolah-olah dari ujung hifa tapi sebenarnya tidak. Pertama-tama ada hifa yang ujungnya membesar yang

strukturnya seperti spora disebut saccule. Kemudian saccule berkembang disertai muncul bulatan kecil diantara hifa terminus dan subtending hifa. Bulatan kecil tersebut akan berkembang dari sisi subtending hifa menjadi spora (Gambar 3) (Invam, 2013).


(48)

28

Gambar 3. Proses perkembangan spora pada Acaulospora (Invam, 2013). 4. Entrophospora

Proses perkembangan spora Entrophospora hampir sama dengan proses perkembangan spora Acaulospora, yaitu di antara hifa terminus dengan subtending hifa. Perbedaan keduanya adalah pada proses perkembangan azygospora berada di dalam blastik atau ditengah hifa terminus, sehingga akan terbentuk dua lubang yang simetris pada spora yang telah matang (Gambar 4). Warna sporanya kuning coklat, tetapi jika spora belum matang warnanya tampak jauh lebih buram (Invam, 2013).

Gambar 4. Proses perkembangan spora pada Entrophospora (Invam, 2013). 5. Archaespora

Perkembangan spora pada genus archaespora merupakan perpaduan antara perkembangan spora genus glomus dan entrophospora atau acaulospora. Pada awalnya, di ujung hifa akan terbentuk Sporiferoussaccule. Selanjutnya pada


(49)

29

leher saccule atau subtending hifa akan berkembang pedicel atau percabangan hifa dari leher saculle (Invam, 2013).

6. Gigaspora

Spora berkembang secara blastik dari ujung hifa yang membengkak dan menjadi "sel sporogenous". Setelah sel sporogenous mencapai ukuran penuh (biasanya sekitar 25-50 μm di sebagian besar spesies), spora mulai berkembang di ujung sel sporogenous (Gambar 5). Lapisan luar dan lapisan laminasi berkembang secara bersamaan, dan sering tidak dapat dibedakan dalam spora muda tanpa bantuan pewarnaan Melzer (Invam, 2013).

Gambar 5. Proses perkembangan spora pada Gigaspora (Invam, 2013). 7. Scutellospora

Proses perkembangan spora Scutellospora sama dengan Gigaspora, untuk membedakan dengan genus Gigaspora, pada Scutellospora terdapat lapisan kecambah (Gambar 6). Bila berkecambah, hifa ke luar dari lapisan kecambah (germination shield) tadi. Spora bereaksi dengan larutan Melzer secara

menyeluruh. Warna sporanya merah coklat ketika bereaksi dengan larutan Melzer (Invam, 2013).


(50)

30

Gambar 6. Proses perkembangan spora pada Scutellospora (Invam, 2013). 2.3 Peranan FMA Pada Pertumbuhan Tanaman

Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman karena status hara tanaman tersebut dapat ditingkatkan dan diperbaiki (Hapsoh, 2008). Bagi tanaman inang, adanya asosiasi ini dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi pertumbuhannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, mikoriza berperan dalam perbaikan struktur tanah,

meningkatkan kelarutan hara, dan proses pelapukan bahan induk (biogeokhemis). Sedangkan secara langsung, mikoriza dapat meningkatkan serapan air, hara, dan melindungi tanaman dari patogen akar dan unsur toksik, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim, meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti auksin, sitokinin, giberelin, dan vitamin tanaman inangnya. Dengan demikian, mikoriza mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman karena status nutrisi tanaman dapat ditingkatkan dan diperbaiki, terutama untuk daerah yang bermasalah seperti tanah-tanah marginal (Sieverding 1991 yang dikutip oleh Nurhayati, 2012).


(51)

31

2.4 Peranan Unsur NPK dan Gejala Kekurangan Unsur Hara

Nitrogen (N) merupakan bagian dari semua sel hidup. Di dalam tanaman, N berfungsi sebagai komponen utama protein, hormon, klorofil, vitamin, dan enzim-enzim esensial untuk kehidupan tanaman. Nitrogen menyusun 40% - 50% bobot kering protoplasma, bahan hidup sel tanaman. Oleh karena itu, N diperlukan dalam jumlah besar untuk seluruh proses pertumbuhan di dalam tanaman.

Metabolisme N merupakan faktor utama pertumbuhan vegetatif, batang, dan daun (Munawar, 2010). Gejala defisiensi unsur hara N pada tanaman kelapa sawit ditandai dengan warna daun menjadi kuning pucat, helaian daun menjadi pendek dan keras, pertumbuhan tanaman terhambat (kerdil), pada kondisi buruk jaringan daun menjadi kering dan mati (Fauzi et al., 2012).

Fosfor (P) adalah unsur hara esensial penyusun beberapa senyawa kunci dan sebagai katalis reaksi-reaksi biokimia penting di dalam tanaman. Fosfor berperan di dalam menangkap dan mengubah energi matahari menjadi senyawa-senyawa yang sangat berguna bagi tanaman. Fosfor merupakan bagian esensial proses fotosintesis dan metabolisme karbohidrat sebagai fungsi regulator pembagian hasil fotosentesis antara sumber dan organ reproduksi, pembentukan inti sel, pembelahan dan perbanyakan sel, pembentukan lemak dan albumin, dan organisasi sel (Havlin et al., 2005 yang dikutip oleh Munawar, 2010). Gejala defisiensi unsur hara P pada tanaman kelapa sawit ditandai dengan bagian tepi daun, cabang, dan batang mengecil berwarna keunguan dan lambat laun berubah


(52)

32

menjadi kuning, warna daun hijau tua dan permukaannya terlihat mengilap kemerah-merahan, serta daun berbentuk pendek-pendek (Fauzi et al., 2012). Menurut Munawar (2010), bersama-sama dengan unsur N dan P, Kalium(K) adalah unsur hara esensial primer bagi tanaman yang diserap oleh tanaman dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan unsur-unsur hara lainnya, kecuali N. Kalium terlibat banyak dalam proses biokimia dan fisiologi yang sangat vital bagi pertumbuhan dan hasil tanaman, serta ketahanan terhadap cekaman. Unsur K esensial dalam fotosintesis karena terlibat dalam sintesis ATP, produksi dalam aktivitas-aktivitas enzim fotosintesis, penyerapan CO2 melalui mulut daun dan terlibat dalam pengangkutan hasil-hasil fotosintesis. Selain itu juga, kalium berfungsi dalam pembentukan lapisan kutikula yang sangat penting untuk pertahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Gejala defisiensi unsur hara K pada tanaman kelapa sawit ditandai dengan daun tua akan mengerut atau keriting, terdapat bercak kuning transparan pada daun dan berubah merah kecokelatan serta mengering seperti hangus terbakar dan tanaman rentan terhadap penyakit (Fauzi et al., 2012).


(53)

33

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Produksi Perkebunan, rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dan lahan Politeknik Negeri Lampung dari bulan Mei 2013 sampai Februari 2014.

3.2Bahan dan Alat

Peralatan yang digunakan antara lain mikroskop stereo dan majemuk, kaca preparat, cawan petri, pinset spora, timbangan elektrik, oven listrik, saringan mikro (ukuran 500 μm, 63 μm, dan 45 μm), gelas ukur, meteran, cangkul, gunting, ember, gembor, nampan plastik. Bahan-bahan yang digunakan antara lain benih kelapa sawit (D x P) Simalungun, pupuk “ Rock Phospate ”, pupuk Urea, pupuk NPK, mikoriza Glomus sp. (Isolat MV 23 dan Isolat MV 26) Entrophospora sp. (Isolat MV 22, Isolat MV 25, dan Isolat MV 28), pasir, tanah, polibag, air, larutan KOH 10%, HCL 1%, glycerol, trypan blue, dan akuades.

3.3 Metode Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan dalam perumusan masalah dan untuk menguji hipotesis, percobaan ini menggunakan rancangan faktorial (6 x 2) dengan 5 ulangan. Faktor pertama yaitu jenis mikoriza (I) yang terdiri dari 6 jenis yaitu


(54)

34

tanpa inokulasi mikoriza (i0), Glomus sp. Isolat MV 23 (i1), Glomus sp. Isolat MV 26 (i2), Entrophospora sp. Isolat MV 22 (i3), Entrophospora sp. Isolat MV 25 (i4), Entrophospora sp. Isolat MV 28 (i5). Deskripsi masing-masing isolat yang

digunakan dapat dilihat pada Tabel 1. Faktor kedua yaitu pemberian pupuk NPK (P) yang terdiri dari 2 taraf yaitu 100% dosis anjuran NPK/polibag (p1) dan 50% dosis anjuran NPK/polibag (p2). Dosis pupuk anjuran yang digunakan seperti yang tercantum dalam Tabel 2 (hlm. 41)

Perlakuan diterapkan pada satuan percobaan di pre-nursery dan main nursery dalam rancangan kelompok teracak sempurna (RKTS) (Gambar 7). Kesamaan ragam antar perlakuan diuji dengan uji Barlett dan kemenambahan data diuji dengan uji Tukey. Jika asumsi terpenuhi, data dianalisis ragam dan dilanjutkan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%.


(55)

35

Tabel 1. Deskripsi lima jenis fungi mikoriza arbuskular yang digunakan pada penelitian Uraian Glomus sp. 14

(Isolat MV 23)

Glomus sp. 16 (Isolat MV 26)

Entrophospora sp.6 (isolat MV 22)

Entrophospora sp.7 (isolat MV 25)

Entrophospora sp.5 (Isolat MV 28) 1 ciri-ciri spora:

warna cream-kuning orange orange kuning Orange

ukuran Kecil kecil - sedang kecil kecil - sedang kecil

bentuk Bulat bulat bulat bulat ½ lingkaran

sporocarp tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada

sporiferous saccule

tidak ada tidak ada ada ada Ada

2 reaksi terhadap melzer

spora tidak berubah warna

spora tidak berubah warna

bagian tengah spora berwarna lebih gelap daripada bagian tepi

bagian tengah spora berwarna lebih gelap daripada bagian tepi

bagian tengah spora berwarna lebih gelap daripada bagian tepi 3 asal Kebun kelapa sawit

di Gunung Para, Sumatera Utara

Kebun jarak di Notonegoro Jember Jawa Timur

Kebun kelapa sawit di Sekampung Udik Lampung Timur

Kebun kelapa sawit di Bentar Kersik B Sumatera Utara

Kebun kelapa sawit Sendang Anom, Lampung 4 gambar spora

dalam larutan melzer


(56)

36

Ulangan 1

Ulangan 2

Ulangan 3

Ulangan 4

Ulangan 5

Gambar 7.Tata Letak percobaan pada main nursery. Keterangan:

i0 = Tanpa inokulasi mikoriza i1= Glomus sp. Isolat MV 23 i2= Glomus sp. Isolat MV 26

i3= Entrophospora sp. Isolat MV 22 i4= Entrophospora sp. Isolat MV 25 i5= Entrophospora sp. Isolat MV 28

p1 = 100% dosis pupuk anjuran p2 =50% dosis pupuk anjuran

3.4 Pelaksanaan Penelitan

3.4.1 Penyemaian benih

Media tanam yang digunakan adalah pasir steril. Pasir disterilisasi dengan

autoclaf pada suhu 121⁰C selama 1 jam selama 2 kali dengan selang waktu 1 hari. Kemudian pasir yang sudah steril dicampur hingga merata dan dilembabkan

i5p2 i3p2 i5p1 i1p2 i0p2 i4p1 i0p1 i2p1 i3p1 i1p1 i2p2 i4p2

i4p2 i3p1 i1p1 i2p2 i0p1 i1p2 i2p1 i5p2 i4p1 i0p2 i5p1 i3p2

i0p2 i3p2 i2p1 i1p1 i1p2 i5p2 i2p2 i4p1 i3p1 i5p1 i0p1 i4p2

i2p1 i0p1 i5p1 i1p2 i4p2 i3p1 i5p2 i1p1 i4p1 i0p2 i2p2 i3p2


(57)

37

dengan menggunakan air aquades. Selanjutnya benih kelapa sawit yang telah berkecambah (germinated seed) disemai pada media pasir yang telah disterilkan sampai umur 4 minggu sebelum dipindahkan ke pre-nursery (Gambar 8).

Gambar 8. Benih kelapa sawit yang telah berkecambah/germinated seed (kiri) dan bibit kelapa sawit berumur 4 minggu yang siap dipindahkan ke pre-nursery (kanan).

3.4.2 Penyiapan media tanam di pre-nursery dan main nursery

Media tanam yang digunakan di pre-nursery adalah tanah dan bahan organik dengan perbandingan 7:1. Kedua media tersebut dicampur kemudian ditambahkan pupuk “ Rock Phospate ” sebanyak 100 g untuk 60 polybag pre-nursery lalu diaduk sampai homogen. Media tanam untuk pre-nursery dimasukkan ke dalam polybag ukuran 18 x 25 cm dan dilakukan penyiraman 2 kali sehari sebelum dilakukan penanaman. Sedangkan media tanam yang digunakan di main nursery adalah tanah tanpa campuran bahan organik. Media tanam untuk main nursery dimasukkan ke dalam polybag ukuran 50 x 40 cm.


(58)

38

3.4.3 Penanaman di Pre-nursery dan inokulasi spora FMA

Benih kelapa sawit yang telah dikecambahkan selama 4 minggu dalam media pasir yang telah disterilkan dipindahkan/transplanting ke polibag berukuran 18 x 25 cm dengan media tanam tanah dan bahan organik (satu bibit per polibag) dan diletakkan di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Proses inokulasi FMA sesuai perlakuan diawali dengan mengeluarkan bibit dari media semaian, kemudian dibuat lubang tanam pada media di polibag yang ukurannya disesuaikan dengan morfologi akar bibit. Inokulum FMA yang disiapkan dalam masing-masing gelas yang berbeda ditaburkan merata pada akar yang terletak di atas lubang tanam (Gambar 9). Inokulan dengan carrier zeolit dan pasir mengandung kepadatan spora yaitu ± 500 spora/bibit. Selanjutnya, perakaran bibit disusun sebelum lubang tanam ditutup dengan media agar perakaran bibit tetap utuh. Setelah bibit berumur 4 minggu, dilakukan pemupukan dengan cara disemprotkan pada daun setiap minggu menggunakan pupuk urea dengan dosis 2 g/liter untuk 100 bibit.


(59)

39

3.4.4 Penanaman di main nursery

Transplanting bibit dari pre-nursery ke main nursery dilakukan setelah bibit berumur 3 bulan. Penanaman bibit diawali dengan membuat lubang tanam pada media yang ada di polibag main nursery dengan menggunakan alat ponjo (Gambar 10). Ukuran lubang tanam disesuaikan dengan ukuran polibag di pre-nursery. Selanjutnya, polibag disayat kemudian bibit dilepaskan dan ditanam pada lubang tanam. Selanjutnya polibag disusun berdasarkan tata letak percobaan di lahan Politeknik Negeri Lampung.

Gambar 10. Alat ponjo untuk membuat lubang tanam. 3.4.5 Pemeliharaan tanaman

Pemeliharaan yang dilakukan selama penelitian sebagai berikut: 1. Penyiraman

Penyiraman dilakukan 2 kali sehari pada pre-nursery dan 1 kali sehari pada main nursery. Penyiraman dilakukan pada media tanam hingga air keluar dari lubang polibag yang menunjukkan bahwa media tanam telah mengandung air tersedia.


(60)

40

2. Penyiangan gulma

Penyiangan gulma dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang tumbuh di permukaan media tanam pada polibag.

3. Pengendalian hama

Hama yang sering menyerang biibt kelapa sawit pada penelitian adalah belalang dan kutu putih. Hama belalang dikendalikan secara manual dan menangkap dan

memusnahkannya. Sedangkan hama kutu putih dikendalikan dengan mengusap daun bibit kelapa sawit dengan alkohol 20%.

4. Pemupukan

Jenis dan dosis pupuk yang digunakan pada penelitian ini disesuaikan dengan pertumbuhan bibit dan perlakuan yang digunakan. Pemupukan dilakukan dengan membuat lubang di sekitar perakaran tanaman lalu pupuk diberikan secara ditabur kemudian permukaan tanah ditutup kembali (Gambar 11). Jenis dan dosis pupuk yang digunakan terdapat pada Tabel 2.


(61)

41

Tabel 2. Jenis dan dosis pupuk yang digunakan main nursery. Umur tanaman

(minggu)

N:P:K (15:15:15) (g/polibag)

100% dosis anjuran 50% dosis anjuran

14-15 2,5 1,25

16-17 5 2,5

18-20 7,5 3,75

22-24 10 5

26 10 5

28 10 5

30 10 5

32 10 5

34 15 7,5

36 15 7,5

Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit, (2013). 3.5 Variabel pengamatan

Pengamatan dilakukan setelah bibit berumur 36 minggu setelah semai. Untuk

menguji kesahihan kerangka pemikiran dan hipotesis dilakukan pengamatan terhadap variabel-variabel sebagai berikut:

1. Tinggi tanaman

Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun terpanjang.

Pengukuran dilakukan menggunakan meteran dalam satuan cm. Pengukuran tinggi tanaman dimulai setelah bibit berumur 7,8 dan 9 bulan setelah semai.

2. Jumlah daun

Jumlah daun yang telah membuka sempurna pada setiap bibit dihitung. Penghitungan jumlah daun dimulai dari bibit berumur 7, 8 dan 9 bulan setelah semai.


(62)

42

3. Tingkat kehijauan daun

Kehijauan daun diukur dengan menggunakan klorofilmeter. Daun yang diambil sampelnya adalah daun ke-3 dan dipilih 2 helai anak daun yang berada ditengah-tengah pelepah. Pengukuran dilakukan pada 6 titik pada setiap sampel daun, sehingga nilai tingkat kehijauan daun merupakan rerata dari 6 titik pengukuran tersebut.

4. Bobot segar tajuk

Seluruh tajuk pada bibit kelapa sawit dipotong, lalu ditimbang dengan timbangan digital dalam satuan gram. Tajuk bibit merupakan organ tanaman yang tumbuh ke atas, dimulai dari pangkal batang hingga ujung daun.

5. Bobot kering tajuk

Seluruh tajuk pada bibit kelapa sawit dipotong, dibersihkan lalu dikeringkan menggunakan oven. Tajuk dikeringkan hingga bobotnya konstan pada suhu 80⁰C. Setelah kering, tajuk ditimbang dengan timbangan digital dalam satuan gram. 6. Bobot segar akar

Seluruh akar pada bibit kelapa sawit dipotong lalu ditimbang dengan timbangan digital dalam satuan gram. Akar bibit kelapa sawit dipotong dari titik tumbuh akar pada pangkal batang.

7. Bobot kering akar

Seluruh akar bibit kelapa sawit dipotong pada bagian titik tumbuh akar (pangkal batang). Kemudian, dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 80⁰C sampai


(63)

43

bobotnya konstan. Setelah bobot akar konstan, akar ditimbang dengan timbangan digital dalam satuan gram.

8. Jumlah akar primer

Akar primer merupakan akar yang tumbuh pada pangkal batang kelapa sawit. Semua akar primer yang tumbuh dihitung.

9. Volume akar

Seluruh akar pada bibit kelapa sawit yang telah dipotong, lalu dimasukkan ke dalam gelas ukur yang telah diisi air yang telah diketahui volumenya. Volume akar

merupakan penambahan volume air pada gelas ukur dalam satuan ml. 10. Persen infeksi akar oleh FMA

Penghitungan persen infeksi akar oleh FMA diawali dengan mengambil akar sekunder dan tersier secara acak lebih kurang sebanyak 2 g, lalu dicuci dengan air sampai bersih dan dimasukkkan ke dalam botol film. Botol film yang berisi akar tersebut diisi dengan larutan KOH 10% sehingga semua akar terendam dan dikukus dalam water bath dengan suhu ± 80⁰C selama ± 30 menit. Hal itu dilakukan untuk membersihkan sel dari sitoplasma. Selanjutnya larutan KOH dibuang dan akar dicuci kembali dengan air hingga bersih, lalu direndam dalam larutan HCl 1%. Kemudian, akar dikukus kembali dalam water bath pada suhu ± 80⁰C. Setelah ± 15 menit., larutan HCl dibuang dan ditambahkan larutan trypan blue 0,05% (0,5 g trypan blue + 450 ml glycerol + 500 ml aquades + 50 ml HCl 1%). Akar tersebut dikukus kembali dalam water bath pada suhu ± 80⁰C selama 10 menit. Akar yang telah diwarnai


(64)

44

tersebut dipotong sepanjang ± 2 cm, kemudian di letakkan di atas kaca preparat untuk diamati di bawah mikroskop majemuk dengan perbesaran 100 kali. Adanya infeksi ditandai dengan adanya struktur pembentuk mikoriza (hifa, vesikel, dan arbuskular) pada jaringan akar dan dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

Infeksi akar (%) = Σ Pengamatan yang positif terinfeksi x 100% Σ Total pengamatan

11.Penghitungan jumlah spora

Diambil sampel tanah di sekitar perakaran bibit kelapa sawit (polybag main nursery) sebanyak 100 g. Kemudian sebanyak 100 g sampel tanah dimasukkan ke dalam gelas ukur kemudian ditambahkan air lebih kurang 1000 ml, kemudian diaduk selama lebih kurang 1 menit supaya spora-spora terperangkap di antara partikel tanah terbebaskan. Larutan dituangkan pada saringan mikro dengan berbagai ukuran dilakukan

pencucian butiran-butiran tanah untuk disaring menggunakan deretan saringan mikro yang berbeda-beda ukurannya (250 m, 63 m, dan 45 m). Penyaringan dilakukan sampai 5 kali pencucian butiran tanah. Lalu bahan yang tertinggal pada saringan dicuci dari saringan dan dikumpulkan pada cawan untuk diamati dan dihitung jumlah sporanya di bawah mikroskop stereo.


(65)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan terjadi interaksi antara jenis FMA dan dosis pupuk NPK yang digunakan sehingga dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Respon bibit kelapa sawit terhadap inokulasi jenis FMA ditentukan oleh dosis pupuk NPK yang digunakan hanya pada tinggi tanaman, bobot kering akar, dan jumlah akar primer.

2. Dosis optimum untuk masing-masing jenis FMA yang digunakan berdasarkan data bobot kering akar adalah kombinasi dosis pupuk NPK 100% dengan masing-masing jenis FMA, kecuali pada FMA jenis Entrophospora sp. Isolat MV 22.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan untuk penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukannya pengujian ulang dengan menggunakan varietas kelapa sawit yang berbeda dan diperlukan perlakuan tanpa pemupukan pupuk NPK pada bibit kelapa sawit untuk mengetahui pengaruh jenis FMA yang lebih nyata dibandingkan tanpa inokulasi pada bibit kelapa sawit.


(66)

68

PUSTAKA ACUAN

Allen, M.F. 2001. Modeling Arbuscular Mycorrhizal Infection: is % Infection an Appropriate Variable? Mycorrhiza J. 10: 255–258.

Brundrett, M., N. Bougher, B. Del, T. Ove, and N. Malajczuk. 2008. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR Monograph 32. Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. Cruz, A.F., T. Ishii., and K.Kadoya. 2000. Effect of Arbuscular Mycorrhizal

Fungi on Tree Owth, Leaf Water Potential, and Levels of 1

Aminocyclopropane-1-Carboxylic Acid and Ethylene in the Roots of Papaya under Water-Stress Conditions. Mycorrhiza J. 10(3): 121-123.

Dewi. I. 2007. Peran, Prospek dan Kendala dalam Pemanfaatan Endomikoriza. Makalah Universitas Padjajaran. Bandung.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Tabel Produksi, Luas Areal dan Produktivitas Perkebunan di Indonesia. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.

Fauzi, Y., Y. E Widyastuti., I. Satyawibawa, dan R. H. Paeru.2012. Kelapa Sawit . Penebar Swadaya. Jakarta. 236 hlm.

Hadi, A.M. 2011. Pengaruh Pemberian Glomus sp. Isolat Gigaspora sp. Isolat Entrophospora sp. Isolat dan Dua Dosis NPK pada Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). di Pembibitan. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 65 hlm.

Hapsoh, 2008. Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula pada Budidaya Kedelai di Lahan Kering. Makalah. Pengukuhan Guru Besar. 14 Juni 2008. Kampus USU Medan. 35 hlm.

Handayanto, E. dan K. Hairiah. 2007. Biologi Tanah Landasan Pengelolaan Lahan Sehat. Pustaka Adipura. Yogyakarta.


(1)

44

tersebut dipotong sepanjang ± 2 cm, kemudian di letakkan di atas kaca preparat untuk diamati di bawah mikroskop majemuk dengan perbesaran 100 kali. Adanya infeksi ditandai dengan adanya struktur pembentuk mikoriza (hifa, vesikel, dan arbuskular) pada jaringan akar dan dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

Infeksi akar (%) = Σ Pengamatan yang positif terinfeksi x 100% Σ Total pengamatan

11.Penghitungan jumlah spora

Diambil sampel tanah di sekitar perakaran bibit kelapa sawit (polybag main nursery) sebanyak 100 g. Kemudian sebanyak 100 g sampel tanah dimasukkan ke dalam gelas ukur kemudian ditambahkan air lebih kurang 1000 ml, kemudian diaduk selama lebih kurang 1 menit supaya spora-spora terperangkap di antara partikel tanah terbebaskan. Larutan dituangkan pada saringan mikro dengan berbagai ukuran dilakukan

pencucian butiran-butiran tanah untuk disaring menggunakan deretan saringan mikro yang berbeda-beda ukurannya (250 m, 63 m, dan 45 m). Penyaringan dilakukan sampai 5 kali pencucian butiran tanah. Lalu bahan yang tertinggal pada saringan dicuci dari saringan dan dikumpulkan pada cawan untuk diamati dan dihitung jumlah sporanya di bawah mikroskop stereo.


(2)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan terjadi interaksi antara jenis FMA dan dosis pupuk NPK yang digunakan sehingga dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Respon bibit kelapa sawit terhadap inokulasi jenis FMA ditentukan oleh dosis pupuk NPK yang digunakan hanya pada tinggi tanaman, bobot kering akar, dan jumlah akar primer.

2. Dosis optimum untuk masing-masing jenis FMA yang digunakan berdasarkan data bobot kering akar adalah kombinasi dosis pupuk NPK 100% dengan masing-masing jenis FMA, kecuali pada FMA jenis Entrophospora sp. Isolat MV 22.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan untuk penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukannya pengujian ulang dengan menggunakan varietas kelapa sawit yang berbeda dan diperlukan perlakuan tanpa pemupukan pupuk NPK pada bibit kelapa sawit untuk mengetahui pengaruh jenis FMA yang lebih nyata dibandingkan tanpa inokulasi pada bibit kelapa sawit.


(3)

68

PUSTAKA ACUAN

Allen, M.F. 2001. Modeling Arbuscular Mycorrhizal Infection: is % Infection an Appropriate Variable? Mycorrhiza J. 10: 255–258.

Brundrett, M., N. Bougher, B. Del, T. Ove, and N. Malajczuk. 2008. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR Monograph 32. Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. Cruz, A.F., T. Ishii., and K.Kadoya. 2000. Effect of Arbuscular Mycorrhizal

Fungi on Tree Owth, Leaf Water Potential, and Levels of 1

Aminocyclopropane-1-Carboxylic Acid and Ethylene in the Roots of Papaya under Water-Stress Conditions. Mycorrhiza J. 10(3): 121-123.

Dewi. I. 2007. Peran, Prospek dan Kendala dalam Pemanfaatan Endomikoriza. Makalah Universitas Padjajaran. Bandung.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Tabel Produksi, Luas Areal dan Produktivitas Perkebunan di Indonesia. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.

Fauzi, Y., Y. E Widyastuti., I. Satyawibawa, dan R. H. Paeru.2012. Kelapa Sawit . Penebar Swadaya. Jakarta. 236 hlm.

Hadi, A.M. 2011. Pengaruh Pemberian Glomus sp. Isolat Gigaspora sp. Isolat Entrophospora sp. Isolat dan Dua Dosis NPK pada Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). di Pembibitan. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 65 hlm.

Hapsoh, 2008. Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula pada Budidaya Kedelai di Lahan Kering. Makalah. Pengukuhan Guru Besar. 14 Juni 2008. Kampus USU Medan. 35 hlm.

Handayanto, E. dan K. Hairiah. 2007. Biologi Tanah Landasan Pengelolaan Lahan Sehat. Pustaka Adipura. Yogyakarta.


(4)

Hartoyo, B., M. Ghulamahdi, L. K. Darusman, S. A. Aziz, dan I. Mansur. 2011. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Rizosfer

Tanaman Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban). Jurnal Littri 17(1): 32-40.

INVAM. 2013. http://invam.wvu.edu/the-fungi/classification. Diakses tanggal 18 Oktober 2013

Irawan, D. 2011. Pengaruh 5 Jenis Fungi Mikoriza Arbuskular pada Waktu Terjadinya Simbiosis dan Pertumbuhan . Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Kabirun, S. dan J. Widada. 1994. Response of Soybean Own on Acid Soil to Inoculation of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Biotrop Spec. Publ. 56: 131-137.

Kartika, E. 2012. Isolasi, Karakterisasi dan Pengujian Keefektifan Fungi Mikoriza Arbuskular Terhadap Bibit Kelapa Sawit pada Tanah Gambut Bekas Hutan. Jurnal Agronomi. 10(2): 63-70.

Kementrian Pertanian. 2010. Outlook Komoditas Pertanian Perkebunan. Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. Jakarta. 189 hlm. Madjid, A. 2009. Pengelolaan Kesuburan Tanah Mineral Masam untuk Pertanian.

Makalah Pengelolaan Kesuburan Tanah, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang.

Mosse, B. 1991. Vesicular-arbuscular mycorrhiza. Research for Tropical Aiculture. Res. Bull. No. 194. Hawaii Inst. of Trop. Aic. and Human Resource. Univ of Hawaii, Honolulu.

Munawar, A. 2010. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. IPB Press. Bogor. 240 hlm.

Musfal. 2010. Potensi Cendawan Mikoriza Arbuskula untuk Meningkatkan Hasil Tanaman Jagung. Jurnal Litbang Pertanian. 29(4): 154-157

Nurhayati. 2012. Pengaruh Berbagai Jenis Tanaman Inang dan Beberapa Jenis Sumber Inokulum Terhadap Infektivitas dan Efektivitas Mikoriza.

Jurnal Agrista. 16 (2): 80-86.

Pahan, I. 2012 . Kelapa Sawit : Manajemen dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta. 411 hlm.

Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi Lahan Kritis Pasca Tambang Sesuai Kaidah Ekologi. Makalah Mata Kuliah Falsafah Sains, Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor.


(5)

70

Prasetyo, M. 2012. Pengaruh Waktu Inokulasi dan Dosis Inokulasi Spora Fungi Mikoriza Arbuskular pada Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis

guineensis Jacq.). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Puspitasari, D., K. I. Purwani, A. Muhibuddin. 2012. Eksplorasi Vesicular Arbuscular Mycorrhiza (VAM) Indigenous pada Lahan Jagung di Desa Torjun, Sampang Madura. Jurnal Sains dan Seni.1: 19–22.

Rini, M.V. 2012. Arbuscular Mycorrhiza Fungi: An Amazing Soil Microbe. Beneficial Microbes Symposium 2012-KL. Malaysia.

Saputra, H. 2011. Pengaruh Dua Jenis Fungi Mikoriza Arbuskular dan Berbagai Kondisi Cekaman Air pada Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis

guineensis Jacq.). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Setiadi, Y. 2003.“Arbuscular Mycorhiza InokulumProduction”. Program dan Abstrak Seminar dan Pameran Teknologi Produksi dan Pemanfaatan Inokulan Endo-Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. 16 September 2003, Bandung.

_____ .2012. Mengenal Fungsi Mikoriza sebagai Penyokong Kehidupan

Tanaman Pada Lahan Lahan Marginal. Post Mining Restoration Technical Notes. Bogor.

Setyamidjaja. 2006. Kelapa Sawit. Kanisius. Yogyakarta. 56 hlm.

Siradz, S.A. dan S. Kabirun. 2007. Pengembangan Lahan Marginal Pesisir Pantai dengan Bioteknologi Masukan Rendah. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 7(2): 83-92.

Smith, S.E. and D.J. Read. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press. New York. 614 pp

Suhardi. 1988. Pedoman Kuliah Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA). Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Universitas Gadjah Mada. PAU-

Bioteknologi Universitas Gadjah Mada. 178 hlm.

Sunarti, R., S. Ika, Syekhfani dan L.A. Abdul. 2004. Peranan Jamur Mikoriza Pada Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit dan Pengaruhnya dalam Menekan Kolonisasi Patogen Ganoderma Boninense. Jurnal Agrivita 2: 212-221. Wacjhar, A., Y. Setiadi, dan N. Yunike. 2002. Pengaruh Inokulasi Dua Spesies

Fungi Mikoriza Arbuskular dan Pemupukan Fosfor terhadap Pertumbuhan dan Serapan Fosfor Tajuk Bibit Kelapa Sawit(Elaeis guineensis Jacq.). Bul. Agron. 30(3): 69-74.


(6)

Widiastuti, H., N. Sukarno, L.K. Darusman, D.H. Goenadi, S. Smith, dan E. Guhardi. 2002. Optimalisasi Simbiosis Cendawan Mikoriza Arbuskula Acaulospora tuberculata dan Gigaspora margarita pada Bibit Kelapa Sawit di Tanah Masam. Menara Perkebunan. 70 (2): 50-57.

Widiastuti, H., N. Sukarno, L.K. Darusman, D.H. Goenadi, S. Smith, dan E. Guhardi. 2003. Arsitektur Akar Bibit Kelapa Sawit yang diinokulasi Beberapa Cendawan Mikoriza Arbuskula. Menara Perkebunan. 71(1): 28- 43.

Widiastuti, H., N. Sukarno, L.K. Darusman, D.H. Goenadi, S. Smith, dan E. Guhardi. 2005. Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai inokulum untuk meningkatkan pertumbuhan dan serapan hara bibit kelapa sawit. Menara Perkebunan. 73(1): 26-34.

Widiastuti, H dan T. Rostiwati, 2011. Keefektifan Pupuk Hayati Mikoriza yang diperkaya terhadap Pertumbuhan Bibit Nyamplung. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza : Pupuk dan Pestisida Hayati Pendukung Pertanian Berkelanjutan yang Ramah Lingkungan. Hlm 149-156.

Zulaikha, S dan Gunawan. 2006. Serapan Fosfat dan Respons Fisiologis

Tanaman Cabai Merah Cultivar Hot Beauty terhadap Mikoriza dan Pupuk Fosfat pada tanah Ultisol. Bioscientiae. 3(2): 83-92.