SELEKSI LIMA ISOLAT FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR UNTUK PEMBIBITAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) PADA DUA DOSIS PUPUK NPK

(1)

ABSTRAK

SELEKSI LIMA ISOLAT FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR UNTUK PEMBIBITAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) PADA

DUA DOSIS PUPUK NPK Oleh

Retta Ramadhina Rias

Kelapa Sawit di Indonesia banyak diusahakan pada lahan yang tergolong lahan marginal seperti jenis tanah ultisol dengan tingkat kesuburan yang rendah, sehingga perlu dilakukan peningkatan mutu bibit dengan pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dan dosis pupuk NPK. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menentukan jenis FMA yang paling sesuai untuk pembibitan kelapa sawit, (2) menentukan dosis pupuk NPK yang paling baik untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit, (3) mengetahui apakah respon bibit kelapa sawit terhadap jenis FMA ditentukan oleh dosis pupuk NPK, (4) menentukan dosis pupuk NPK terbaik untuk masing-masing isolat FMA.

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Produksi Perkebunan, rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dan lahan Politeknik Negeri Lampung sejak bulan Mei 2013 sampai Februari 2014. Penelitian menggunakan rancangan rancangan perlakuan faktorial (6 x 2) dengan 5 ulangan dalam Rancangan


(2)

Retta Ramadhina Rias yang terdiri dari 6 taraf yaitu m0 (Kontrol), m1 (Entrophospora sp. Isolat MV 3), m2 (Entrophospora sp. Isolat MV 12), m3 (Glomus sp. Isolat MV 4), m4 (Glomus sp. Isolat MV 11), dan m5(Glomus sp. Isolat MV 13). Faktor kedua adalah dosis pupuk NPK (P) yang terdiri dari 2 taraf yaitu p1 (100% dari dosis anjuran), p2 (75% dari dosis anjuran). Kesamaan ragam antar perlakuan diuji dengan uji Barlett dan kemenambahan data diuji dengan uji Tukey. Pemisahan nilai tengah diuji dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata  5%.

Hasil penelitian menunjukan (1) Seluruh jenis FMA yang diujikan dapat

meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit dibandingkan tanpa FMA kecuali Glomus sp. Isolat MV 11, (2) pemberian dosis pupuk NPK 100% dari dosis anjuran menghasilkan pertumbuhan terbaik bibit kelapa sawit yang ditunjukkan oleh bobot segar akar, volume akar, bobot segar tajuk, bobot kering akar, bobot kring tajuk, dan tingkat kehijauan daun, (3) respon pertumbuhan bibit kelapa sawit terhadap inokulasi FMA tidak ditentukan oleh dosis pupuk NPK yang diberikan, (4) tidak terdapat dosis optimum pupuk NPK untuk masing-masing jenis FMA yang digunakan.


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

iii RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada 07 Maret 1992 dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Tubagus Asep Saepuloh dan Ibu Gusri Mulyani. Penulis menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-kanak Sandhy Putra, Bengkulu pada tahun 1998, kemudian lulus di Sekolah Dasar Negeri 2 Rawa Laut, Bandar Lampung pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Bandar Lampung pada tahun 2004 dan pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Bandar Lampung. Pada tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam kegiatan akademis. Penulis melaksanakan kegiatan Praktik Umum di PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bergen, Lampung Selatan pada bulan Juli 2013 dengan judul “Teknik Pembibitan dan Pemeliharaan Kebun Entres Tanaman Karet (Hevea brasiliensis [Muell.] Arg.) di PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bergen”, kemudian pada bulan Januari 2014 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata


(8)

iii Penulis pernah menjadi asisten dosen untuk beberapa mata kuliah yaitu

Pembibitan Karet (2013), Produksi Tanaman Perkebunan (2014), Pengantar Produksi Tanaman Perkebunan (2014), Tanaman Penghasil Rempah dan Fitofarmaka (2014), dan Pembibitan Kelapa Sawit (2014).


(9)

Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT, dengan kerendahan hati sebagai wujud kasih sayang dan bakti penulis, penulis mempersembahkan kerja keras karya pertama penulis kepada ayahanda Tubagus Asep Saepuloh, Ibunda Gusri

Mulyani, dan adik-adik penulis Azhar Shidqi Espana Putrasyari dan Sulthan Syiffa Syawal Syariputra, serta Almamater penulis tercinta Universitas Lampung.


(10)

Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat, maka wajib baginya

memiliki ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu (HR. Turmidzi).

Tak peduli apapun atau siapapun yang menghalangi, sebuah karya akan tetap tercipta dari sebuah perjuangan yang kita lakukan dengan sepenuh hati, maka


(11)

Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat, maka wajib baginya

memiliki ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu (HR. Turmidzi).

Tak peduli apapun atau siapapun yang menghalangi, sebuah karya akan tetap tercipta dari sebuah perjuangan yang kita lakukan dengan sepenuh hati, maka


(12)

iii SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan nikmat, hidayah, dan kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah menerima banyak bantuan,

bimbingan, dan dukungan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Dr. Ir. Maria Viva Rini, M.Sc., selaku pembimbing utama atas bantuan, bimbingan, semangat, motivasi, nasehat, kesabaran, dan waktu dalam membimbing penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Fitri Yelli, S.P., M.Si., selaku pembimbing kedua atas bimbingan, saran, motivasi, kesabaran, dan waktu dalam menyelesaikan skripsi.

3. Dr. Ir. Yafizham, M.S., selaku penguji bukan pembimbing yang telah memberikan motivasi, pengarahan, dan saran selama penulisan skripsi. 4. Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung.

5. Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi. 6. Pihak Myagri Hi-Tech atas segala bantuan dana yang diberikan kepada


(13)

iii 7. Dr. Ir. Darwin H. Pangaribuan, M.Sc., selaku dosen pembimbing akademik

atas bimbingan dan motivasi kepada penulis selama kegiatan perkuliahan. 8. Kedua orang tua penulis, ayahanda Tubagus Asep Saepuloh serta ibunda

Gusri Mulyani dan kedua adik-adik penulis Azhar Shidqi Espana Putra Syari dan Sulthan Syifa Syawal Syariputra atas segala kasih sayang, dukungan, doa, semangat, bantuan, dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 9. Restu Yasin Adi Putra atas segala waktu, bantuan, motivasi, perhatian, dan

dukungan yang diberikan kepada penulis selama ini.

10. Sahabat Penulis, Ni Wayan Devhi Lestari, Novri Dwi Damayanti,

Resti Kartini, S.P., dan Ryzkita Prima Pramanda, S.P. atas segala bantuan, motivasi, saran, dan semangat yang diberikan kepada penulis.

11. Teman-teman Laboratorium Produksi Perkebunan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung, Anggun D. Puspitasari, S.P., Garry Warganegara, S.P., M.P., Ahmad, dan Ibu Fatmawati atas bantuan dan motivasi kepada penulis. 12. Teman-Teman penulis, Cahyadi P, Debby K, Rusdiyan I, Reza P, serta

Adik-Adik mahasiswa D3 Perkebunan Dedik, Adi W, Eko, Ginanjar, Ari Nur, Didin, dan Ajang atas bantuannya saat penelitian.

Semoga Allah SWT membalas semua Kebaikan yang telah mereka berikan dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Oktober 2014 Penulis,


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2 Tujuan Penelitian. ... 5

1.3 Landasan Teori... 6

1.4 Kerangka Pemikiran... 13

1.5 Hipotesis ... 18

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 19

2.1 Tanaman Kelapa Sawit ... 19

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Kelapa Sawit ... 20

2.1.2 Varietas Kelapa Sawit ... 23

2.1.3 Syarat Tumbuh Kelapa Sawit ... 25

2.2 Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) ... 25

2.2.1 Kelompok Mikoriza ... 26

2.2.2 Klasifikasi FMA... 27

2.2.3 Morfologi FMA ... 30

2.2.4 Faktor-Faktor yang Menentukan Perkembangan FMA ... 32

2.3 Pupuk NPK ... 35

III. BAHAN DAN METODE ... 37

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

3.2 Bahan dan Alat ... 37


(15)

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 39

3.4.1 Penyemaian benih ... 39

3.4.2 Penanaman di Pre-nursery serta Inokulasi Mikoriza ... 40

3.4.3 Penanaman di Main Nursery ... 41

3.4.4 Pemeliharaan ... 42

3.5 Variabel Pengamatan ... 43

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1 Hasil Penelitian ... 47

4.1.1 Tinggi tanaman ... 48

4.1.2 Jumlah daun ... 48

4.1.3 Tingkat kehijauan daun ... 49

4.1.4 Bobot segar tajuk ... 50

4.1.5 Bobot kering tajuk ... 51

4.1.6 Bobot segar akar ... 52

4.1.7 Bobot kering akar ... 53

4.1.8 Jumlah akar primer ... 54

4.1.9 Volume akar ... 55

4.1.10 Persen infeksi akar ... 56

4.1.11 Jumlah spora ... 57

4.2 Pembahasan... 58

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

5.1 Kesimpulan ... 66

5.2 Saran ... 66

PUSTAKA ACUAN ... 67-72 LAMPIRAN ... 73-85


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Deskripsi lima jenis fungi mikoriza arbuskular yang digunakan

pada penelitian. ….. ... 38 2. Jenis dan dosis pupuk yang digunakan dalam penelitian. ... 43 3. Rekapitulasi analisis ragam data penelitian. . ... 47 4. Pengaruh perlakuan jenis FMA dan dosis pupuk NPK pada

tinggi tanaman bibit kelapa sawit umur 9 bulan. ... 48 5. Pengaruh perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK pada jumlah

daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan. . ... 49 6. Pengaruh perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK pada tingkat

kehijauan daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan. . ... 50 7. Pengaruh perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK pada bobot

segar tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan. ... 51 8. Pengaruh perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK pada bobot

kering tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan. ... 52 9. Pengaruh perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK pada bobot

segar akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan. ... 53 10. Pengaruh kombinasi perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK

pada bobot kering akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan. ... 54 11. Pengaruh kombinasi perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK

pada jumlah akar primer bibit kelapa sawit umur 9 bulan. ... 55 12. Pengaruh perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK pada volume

akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan. . ... 56 13. Pengaruh perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK pada persen


(17)

14. Pengaruh perlakuan FMA dan dosis pupuk NPK terhadap

jumlah spora pada media tanah bibit kelapa sawit umur 9 bulan ... 58

15. Rekapitulasi uji Bartlett untuk homogenitas ragam antarperlakuan. ... 74

16. Rekapitulasi uji nonaditivitas. ... 74

17. Data tinggi bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 75

18. Analisis ragam untuk tinggi tanaman bibit kelapa sawit ... 75

19. Data jumlah daun bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 76

20. Analisis ragam untuk jumlah daun bibit kelapa sawit. ... 76

21. Data tingkat kehijauan daun bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 77

22. Analisis ragam untuk tingkat kehijauan daun bibit kelapa sawit. ... 77

23. Data bobot segar tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 78

24. Analisis ragam untuk bobot segar tajuk bibit kelapa sawit. ... 78

25. Data bobot kering tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 79

26. Analisis ragam untuk bobot kering tajuk bibit kelapa sawit. ... 79

27. Data bobot segar akar bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 80

28. Analisis ragam untuk bobot segar akar bibit kelapa sawit. ... 80

29. Data bobot kering akar bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 81

30. Analisis ragam untuk bobot kering akar bibit kelapa sawit. ... 81

31. Data jumlah akar primer bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 82

32. Analisis ragam untuk jumlah akar primer bibit kelapa sawit. ... 82

33. Data volume akar bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 83

34. Analisis ragam untuk volume akar bibit kelapa sawit. ... 83

35. Data persen infeksi akar bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 84


(18)

37. Data jumlah spora pada media bibit kelapa sawit umur 9 bst. ... 85 38. Analisis ragam untuk jumlah spora pada media kelapa


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Diagram alir kerangka pemikiran. ….. ... 17 2. Proses inokulasi spora FMA pada bibit kelapa sawit ... 40 3. Tata letak percobaan di Main nursery. ... 42 4. Akar kelapa sawit yang (1) tidak terinfeksi mikoriza,

(2) terinfeksi Entrophospora sp, dan (3) terinfeksi Glomus sp. ... 61 5. Bibit kelapa sawit umur 9 bulan dengan perlakuan FMA

m0 (Kontrol), m1 Entrophospora sp., Isolat MV 3), m2 (Entrophospora sp., Isolat MV 12),

m3 (Glomus sp., Isolat MV 4), m4 (Glomus sp., Isolat MV 11), dan m5 (Glomus sp., Isolat MV 13) dengan pupuk NPK 100%

dosis anjuran.. ... 62 6. Akar kelapa sawit yang (1) tidak diinokulasi FMA dan


(20)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Kelapa sawit juga merupakan sumber perolehan devisa negara Indonesia yang mampu menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat.

Indonesia merupakan salah satu produsen utama minyak sawit (Fauzi et al., 2012). Saat ini Indonesia merupakan produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar didunia. Pada tahun 2012, luas lahan perkebunan di Indonesia mencapai 9 juta ha dengan produksi CPO 24 juta ton per tahun. Produksi ini dikonsumsi di dalam negeri sebesar 5 juta ton, sementara 80 % sisanya di ekspor. Lampung memiliki lahan perkebunan kelapa sawit dengan luasan 118.634 ha pada tahun 2012, dengan produksi CPO sekitar 401.052 ton (Direktorat Jendral Perkebunan, 2012).

Kelapa sawit menghasilkan berbagai bentuk produk olahan. Produk yang

dihasilkan pada tingkat perkebunan yaitu buah yang berbentuk tandan buah segar (TBS), produk ini diolah pada unit ekstraksi yang terletak di perkebunan menjadi produk setengah jadi. Produk setengah jadi ini berbentuk minyak kelapa sawit (MKS = crude palm oil, CPO) dan minyak inti kelapa sawit (IKS = palm kernel


(21)

2

oil, PKO). Hasil olahan ini dapat diolah kembali menjadi bermacam – macam produk dan kegunaan (Pahan, 2012).

Produksi kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh kualitas bibit yang digunakan karena tahap pembibitan merupakan titik penentu penyediaan bibit yang baik, sehat, dan berkualitas, sehingga pada saat pembudidayaan di lapangan bibit kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik. Bibit yang berkualitas dapat diperoleh dengan penggunaan pupuk yang tepat yang dapat diperoleh melalui peningkatan daya dukung tanah dan efisiensi pelepasan hara.

Kendala pengembangan kelapa sawit di Indonesia adalah langkanya lahan subur dan biaya pemeliharan khususnya pemupukan yang relatif tinggi. Pengembangan kelapa sawit banyak diusahakan pada lahan yang tergolong lahan marginal,dengan tingkat kesuburan yang rendah (Hardjowigno, 1993). Sebagian besar tanah di Indonesia meliputi tanah Ultisol yang mempunyai sebaran sangat luas, hampir 25% dari total daratan Indonesia. Hampir semua jenis tanaman dapat tumbuh dan dikembangkan pada tanah ini, kecuali terkendala olehkesuburan, iklim, dan relief (Kementrian Pertanian, 2010).

Menurut Sieverding (1991), pada tanah Ultisol penambahan bahan organik dan batuan fosfat dapat menjadi sumber unsur hara terutama fosfor (P) yang menjadi masalah utama pada tanah ini. Unsur P yang terlarut dari bahan organik ataupun batuan fosfat pada tanah ini masih mungkin terhambat oleh aktivitas Al dan Fe sehingga menjadi tidak larut atau mengalami penyematan oleh mineral-mineral yang ada. Penambahan bahan organik dan batu fosfat yang dapat mencukupi kebutuhan agar tanah mampu menyediakan hara yang cukup khususnya P pada


(22)

3

tanah ini sangat terbatas. Hal ini dapat menyebabkan tingginya intensitas pemupukan, sedangkan biaya untuk pemupukan menjadi tinggi.

Biaya pemeliharan kelapa sawit khususnya pemupukan menjadi faktor penentu keberhasilan pengembangan kelapa sawit di Indonesia, karena pemupukan

merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan produksi dan menjaga stabilitas tanaman. Dalam usaha perkebunan rakyat, swasta, maupun negara, hampir 60 % dari total biaya pemeliharaan dialokasikan untuk biaya pemupukan. Pupuk fosfat mengandung unsur P yang merupakan unsur yang diperlukan dalam jumlah besar dengan jumlah ketersedian di dalam tanah yang relatif lebih kecil. Dewasa ini mulai dikembangkan pemanfaatan mikrooganisme yang bermanfaat khususnya Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) sebagai alternatif cara untuk mengatasi masalah ketersediaan unsur hara khususnya P, sebagai unsur hara makro. Fungi Mikoriza Arbuskular pada lahan marginal yang miskin unsur hara mampu meningkatkan penyerapan hara makro (terutama P) dan hara mikro melalui hifa eksternalnya (Simanungkalit, 2004).

Fungi Mikoriza Arbuskular merupakan asosiasi antara fungi dengan akar tanaman yang membentuk jalinan interaksi yang kompleks dan memiliki kemampuan berasosiasi hampir dengan 90% tanaman dan membantu tanaman dalam meningkatkan efisiensi penyerapan unsur hara terutama fosfor. Selain itu,

beberapa fungi menghasilkan antibiotik yang dapat menyerang bakteri, virus, dan fungi yang bersifat patogen. FMA ini dapat berperan penting dalam memperbaiki struktur tanah dengan menyelimuti butir-butiran tanah. Stabilitas agegat dapat meningkat dengan lapisan gel polysakarida yang dihasilkan fungi pembentuk


(23)

4

FMA (Anas, 1989). Fungi ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif teknologi untuk membantu pertumbuhan bibit kelapa sawit, meningkatkan

produktivitas dan kualitas tanaman kelapa sawit yang ditanam pada tanah Ultisol.

De La Cruz (1981) yang dikutip oleh Octavitani (2009) membuktikan bahwa FMA mampu menggantikan kira-kira 50% penggunaan fosfat, 40% nitrogen dan 25% kalium. Meningkatnya efisiensi pemupukan dengan adanya FMA di akar tanaman karena FMA dapat memperpanjang dan memperluas jangkauan akar dalam penyerapan unsur hara. Serapan unsur hara pada tanaman pun meningkat sehingga hasil tanaman juga akan meningkat (Husin dan Marlis, 2000 dalam Octaviani 2009).

Keberhasilan simbiosis salah satunya ditentukan oleh jenis FMA dan tanaman inangnya. Beberapa genus FMA yang umum dijumpai adalah Glomus,

Gigaspora, Acauluspora, dan Scutellospora (Brundrett et al., 1996). Tetapi setiap jenis FMA memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam membantu

meningkatkan pertumbuhan tanaman (Tian et al., 2004 yang dikutip oleh Nurbaity et al., 2009), sehingga pemilihan isolat FMA yang benar-benar kompatibel

dengan tanaman yang dibudidayakan perlu dilakukan. Fungi Mikoriza

Arbuskular (FMA) hidup bersimbiosis dengan tanaman inang yang responsif dan memiliki perakaran yang kasar (Simanungkalit 2004).

Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) yang digunakan pada bibit kelapa sawit diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit, sehingga penggunaan pupuk anorganik pada bibit dapat dikurangi. Tetapi pengurangan penggunaan pupuk anorganik diharapkan tidak berpengaruh buruk terhadap bibit,


(24)

5

sehingga bibit dapat tumbuh baik dan menjadi tanaman yang produktif. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menguji lima isolat FMA pada pembibitan kelapa sawit pada dua dosis pupuk NPK.

Percobaan ini dilakukan untuk menjawab masalah yang telah dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut :

1. Jenis FMA mana yang paling baik dalam meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit ?

2. Dosis pupuk NPK yang paling sesuai untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit ? 3. Apakah respon bibit kelapa sawit terhadap Jenis FMA dipengaruhi oleh dosis

pupuk NPK yang diberikan ?

4. Berapakah dosis pupuk NPK terbaik untuk masing-masing jenis FMA yang digunakan ?

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut :

1. Menentukan jenis FMA yang paling sesuai untuk pembibitan kelapa sawit. 2. Menentukan dosis pupuk NPK yang paling baik untuk pertumbuhan bibit

kelapa sawit.

3. Mengetahui apakah respon bibit kelapa sawit terhadap jenis FMA ditentukan oleh dosis pupuk NPK.


(25)

6

1.3 Landasan Teori

Dalam rangka menyusun penjelasan teoretis terhadap pertanyaan yang telah dikemukakan, penulis menggunakan landasan teori sebagai berikut. Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dan berproduksi tinggi jika dikelola dengan baik. Pengelolaan yang baik meliputi kegiatan pemupukan yang sangat dibutuhkan bagi tanaman untuk tumbuh dan berproduksi. Hal ini disebabkan karena tanaman tidak cukup hanya dengan menyerap unsur hara yang ada di tanah, tetapi membutuhkan pemupukan yang cukup banyak. Unsur hara yang dibutuhkan dalam pemupukan kelapa sawit adalah N, P, K, Mg, Cu, dan B (Mangoensoekarjo, 2007).

Rendahnya ketersediaan fosfor (P) pada tanah Ultisol yang menjadi kendala utama bagi pertumbuhan tanaman. Sumber P pada tanah ini umumnya rendah sampai sangat rendah baik organik maupun anorganik, oleh karena itu diperlukan tambahan sumber P. Pengikatan P terlarut oleh mineral yang ada dapat

menyebabkan jumlah P tersedia menjadi rendah, dan hal ini tidak cukup efektif diatasi dengan penambahan bahan-bahan yang mengandung P saja

(Notohadiprawiro, 2006).

Menurut Leiwakabessy (1988), pemupukan P menjadi masalah penting karena rendahnya efisiensi pemupukan. Ketersedian unsur P sangat dipengeruhi oleh pH tanah. Pada tanah masam yang memilki pH rendah, kelarutan Al3+ dan Fe3+ yang tinggi dapat berikatan dengan fosfat. Kondisi ini yang dapat menyebabkan unsur P menjadi tidak tersedia bagi akar tanaman (Salisburry dan Ross, 1995).


(26)

7

Menurut Nyakpa et al. (1988), dalam tanaman unsure P berperan pada proses fotosintesis, glikolisis, metabolisme asam amino, oksidasi biologis, dan sejumlah reaksi dalam proses kehidupan yang lainnya, sehingga unsur P sangat dibutuhkan oleh tanaman untuk dapat tumbuh dan berproduksi tinggi. Selain itu, fosfat berfungsi dalam pembelahan sel, pembentukan albumin, memperkuat batang sehingga tanaman tidak mudah tumbang, perkembangan akar, ketahanan tanaman terhadap penyakit, metabolisme karbohidrat, dan menyimpan serta memindahkan energi (Hardjowigeno, 2002 ; Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Mikoriza merupakan bentuk hubungan simbiosis mutualisme antara akar tanaman dengan fungi. Pada hubungan simbiosis ini baik fungi maupun tanaman

memperoleh keuntungan yaitu, bagi tanaman inang serangan patogen dapat berkurang dan lebih tahan terhadap lingkungan yang ekstrem, sebaliknya fungi dapat menenuhi keperluan hidupnya berupa senyawa karbon dari tanaman inang. Fungi mikoriza ini juga dapat membantu tanaman mengambil unsur hara yang terikat didalam tanah, sehingga pertumbuhan tanaman akan lebih baik ( Anas, 1997).

Tanaman yang akarnya diinokulasi dengan mikoriza dapat menyerap unsur hara yang terikat di dalam tanah dan yang tidak tersedia bagi tanaman. Hal ini disebabkan karena mikoriza dapat efektif meningkatkan daya serap tanaman terhadap unsur hara, baik unsur hara makro maupun mikro, sehingga tanaman yang diinokulasi dengan mikoriza akan tumbuh lebih baik dari pada tanaman yang tidak diinokulasi dengan mikoriza (Anas, 1997).


(27)

8

Inokulasi FMA pada tanaman kelapa sawit dapat meningkatkan efisiensi

pemupukan dan serapan hara. Menurut Sieverding (1991), keberhasilan inokulasi FMA tergantung kepada spesies FMA serta potensi dari inokulum. Lebih jauh dikemukakan bahwa keefektifan FMA berhubungan dengan beberapa faktor yaitu status tanaman inang, hara tanah, kepadatan propagul, dan kompetisi antara FMA dan mikroorganisme tanah yang lainnya. FMA tidak memiliki inang yang

spesifik secara alami. Setiap jenis FMA telah ditemukan menginfeksi banyak jenis tanaman dari bermacam- macam genus, famili, dan kelas (Harley dan Smith, 1983 yang dikutip oleh Rini, 1996).

Perakaran bibit kelapa sawit yang diinokulasi FMA lebih baik dibandingkan dengan bibit yang tidak diinokulasi. Menurut Salisburry dan Ross (1995), akar merupakan organ penting untuk menunjang pertumbuhan tanaman karena fungsinya dalam penyerapan hara, air, dan penopang tegaknya tanaman. Alasan tanaman sulit menyerap air dan hara mineral, karena terbatasnya kemampuan akar menjangkau air dan hara mineral yang berada jauh di dalam tanah.

Smith dan Read (2008) membagi mikoriza kedalam dua subdivisi besar yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Ektomikoriza dicirikan dengan mantel dan jaringan Hartig hifa interselular di akar tanaman, sedangkan endomikoriza

memiliki ciri hifa intraselular. Endomikoriza terdiri atas fungi mikoriza arbuskula (FMA), orchidaceous, dan ericoid.

Pada jenis FMA, jaringan hifa masuk kedalam sel kortek akar dan membentuk struktur yang khas berbentuk oval yang disebut vesikular dan sistem percabangan hifa yang disebut arbuskular, sehingga endomikoriza disebut juga


(28)

vesicular-9

arbuskular mycorrhizae (VAM). Hifa FMA masuk kedalam sel korteks dari akar serabut. Hifa ini tidak membentuk selubung yang padat, namun membentuk miselium yang tersusun longgar pada permukaan akar, tetapi karena tidak semua genus fungi tergolong dalam VAM memiliki vesicular, maka saat ini VAM disebut sebagai Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) (Harijoko et al., 2006).

Suhardi (1989) mengemukakan bahwa FMA adalah salah satu fungi yang dapat bersimbiosis dengan akar tanaman dan melalui hifa eksternal mampu

meningkatkan serapan hara immobil dari dalam tanah terutama fosfor sehingga dapat mengurangi gejala defisiensi dan mengurangi penggunaan pupuk NPK. Adanya simbiosis mutualistik memungkinkan fungi memperoleh fotosintat atau senyawa organik (terutama gula dari tanaman inang), dan sebaliknya fungi akan membantu penyerapan hara dan air untuk tanaman.

Menurut Bonfante dan Biancitto (1995) yang dikutip oleh Gustiawan (2011), fase kontak dan proses infeksi FMA dengan akar tanaman dapat dijelaskan sebagai berikut: Adanya akar tanaman inang, fungi melalui hifanya akan kontak dengan tanaman inang melalui proses simbiotik. Fase kontak dimulai dengan kejadian seperti pertentangan pertumbuhan fungi dengan akar tanaman, pola percabangan akar baru, dan pada akhirnya terbentuk apresorium. Apresorium adalah struktur yang berupa penebalan masa hifa yang kemudian menyempit seperti sudut lancip, dan merupakan struktur terpenting dalam siklus hidup FMA. Hal ini dapat

diinterprestasikan sebagi kunci untuk pengenalan interaksi yang berhasil dengan bakal calon tanamn inang. Fase kontak akan diikuti dengan fase simbiotis. Apresorium akan membantu hifa menembus ruang sel epidemis melalui


(29)

10

permukaan akar, atau rambut-rambut akar dengan cara mekanis dan enzimatis. Hifa yang telah masuk kelapisan korteks kemudian menyebar di dalam dan

diantara sel-sel korteks. Hifa tersebut akan membentuk benang-benang bercabang yang mengelompok yang disebut arbuskular yang berfungsi sebagai jembatan transfer unsur hara antara fungi dan tanaman inang. Pada sistem ini, perakaran yang terinfeksi akan muncul hifa yang terletak diluar akar, yang menyebar disekitar daerah perakaran dan berfungsi sebagai alat pengabsorbsi unsur hara. Hifa eksternal ini dapat membantu memperluas daerah penyerapan hara oleh akar tanaman.

Suatu spesies FMA dapat dikatakan efisien penggunaannya apabila memenuhi indikator sebagai berikut: (1) Mampu mengolonisasi akar secara cepat dan ekstensif, (2) mampu bersaing dengan mikroorganisme lain untuk menginfeksi dan mengabsorpsi dan mentransfer nutrisi, (3) mampu membentuk miselium secara ekstensif, (4) mampu mengabsorpsi dan mentransfer nutrisi untuk tanaman, dan (5) mampu meningkatkan keuntungan non-nutrisi kepada tanaman, seperti kestabilan agegat dan stabilitas tanah (Novriani dan Madjid, 2009).

Mekanisme peningkatan penyerapan unsur hara oleh adanya FMA menurut Suhardi (1989) dapat diterangkan sebagai berikut:

a. Hifa eksternal yang berkembang diluar akar akan memperluas daerah

penyerapan akar sehingga volume tanah yang dapat dijangkau juga meningkat. b. Kegiatan metabolisme akar yang memiliki FMA akan lebih tinggi, dengan

konsumsi oksigen 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan akar tanaman tanpa FMA. Dengan demikian, akar yang memiliki FMA dapat memperbesar


(30)

11

penyerapan garam-garam dengan memperbesar suplai ion-ion hidrogen yang dapat dipertukarkan.

c. Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) mempunyai enzim fosfatase yang dapat membantu penyerapan fosfor yang tidak tersedia bagi tanaman.

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) juga menghasilkan enzim fosfatase yang mampu mengkatalis hidrolisis kompleks fosfat tidak larut yang terdapat di dalam tanah menjadi bentuk fosfat larut yang tersedia bagi tanaman (Fakuara dan Setiadi 1990 dalam Niswati et al., 1996). Selanjutnya fosfat larut ini dengan cepat akan diserap langsung oleh hifa eksternal FMA dan kemudian di transfer ke tanaman inang.

Kesesuaian antara inang dan spesies FMA sangat menentukan keberhasilan simbiosis. Beberapa spesies FMA dapat bersimbiosis dengan satu jenis tanaman, namun tingkat keberhasilannya akan berbeda. Sebagai contoh hasil penelitian Widiastuti et al. (2005) menunjukkan bahwa spesies Acaulospora tuberculata lebih efisien dibandingkan dengan Gigaspora margarita pada tanaman kelapa sawit. Penelitian dengan menggunakan bibit manggis menghasilkan bahwa spesies Glomus manihotis lebih efisien dalam meningkatkan tingkat kehijauan daun dibandingkan G. Mosseae (Yansyah, 2005). G. macrocarpus sangat lambat mengkolonisasi akar Allium cepa, sedikit atau tidak berpengaruh nyata pada pertumbuhan tanaman atau pengambilan P, sedangkan G. mosseae dan Gigaspora mengkolonisasi akar allium cepa lebih cepat sehingga pengambilan P dan

pertumbuhan meningkat. Glomus fasciculatum memberikan kolonisasi FMA tertinggi dibanding G. mosseae dan G. macrocarpus (Daniels dan Trappe, 1980).


(31)

12

Glomus deserticola beradaptasi paling baik dan paling efekif menginfeksi

dibawah kondisi cengkaman kekeringan pada tanaman (Ruiz-Lozano, Azcon, dan Gomez., 1995).

Spora-spora Glomus sp. yang berukuran lebih kecil dari genus-genus lainnya akan mempunyai fase hidrasi yang lebih cepat sehingga aktivitas enzim–enzim yang berhubungan dengan perkecambahan juga akan berlangsung lebih awal. Pada akhirnya proses perkecambahan juga akan terjadi lebih awal dibandingkan dengan genus lainnya. Spora-spora glomus sp. terbentuk pada hifa-hifa eksternal didekat perakaran. Biasanya spora glomus sp. yang matang berwarna putih atau kuning kecoklatan ( Delvian, 2006).

Jenis FMA yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis Glomus sp. yang diperoleh dari tanaman inang kelapa sawit didaerah sekampung udik (Lampung) dan jarak di daerah Notonegoro (Jember), dan jenis Entrophospora sp. yang diperoleh dari tanaman inang kelapa sawit didaerah Sri Bawono , Sekampung Udik (Lampung), dan Bentar Kersik (Medan). Menurut Siradz dan Kabirun (2007), Secara umum pemberian jenis Glomus sp. dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman karena FMA jenis ini mudah beradaptasi pada tanah marginal yang menyebabkan infeksi akar meningkat. Sedangkan jenis

Entrophospora sp. dapat ditemukan di daerah tanah berliat sehingga adaptasi diharapkan dapat meningkatkan pengaruh FMA terhadap tanaman.

Pada ketersediaan hara yang rendah atau tanah yang tidak subur, hifa dapat menyerap hara dari tanah yang tidak dapat diserap oleh akar sehingga pengaruh FMA terhadap serapan hara tinggi. Tetapi pada kondisi tanah yang subur dengan


(32)

13

kandungan P yang cukup tinggi dalam tanah, akar tanaman berperan sebagai organ penyerap hara sehingga tanaman mengakumulasi P dalam jumlah yang tinggi. Keadaan ini membuat FMA tetap mendapatkan hasil fotosintat dari tanaman untuk hidup, sehingga terjadi penolakan respon terhadap kolonisasi yang mempengaruhi metabolisme tanaman. Hal ini menyebabkan kandungan P yang sangat tinggi akan menjadi pembatas pertumbuhan tanaman (Smith dan Read, 2008).

1.4 Kerangka pemikiran

Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan, berikut ini disusun kerangka pemikiran untuk memberikan penjelasan teoretis terhadap perumusan masalah (Gambar 1). Peningkatan produksi kelapa sawit dapat diusahakan dengan cara mengaplikasikan FMA dan pupuk NPK. Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) yang berupa spora diinokulasikan pada akar bibit kelapa sawit yang telah berumur 1 bulan. Asosiasi FMA dengan akar bibit kelapa sawit dimulai saat hifa yang dihasilkan oleh spora merespon akar yang diikuti dengan pertumbuhan hifa. Hifa akan tumbuh dan berkembang di sepanjang permukaan akar. Penetrasi akar dimulai dengan terbentuknya apresorium, apresorium merupakan tempat pada akar tanaman dimana hifa menempel. Kemudian akan terbentuk simbiosis antara FMA dan tanaman, lalu tanaman akan memberikan sebagian fotosintatnya kepada FMA yang memungkinkan FMA berkembang dan memperluas bidang

penyerapan hara.

Hifa FMA yang berkembang di dalam akar (internal) kemudian masuk terus tumbuh melui celah antar sel epidermis, sehingga hifa aseptat tersebar secara


(33)

14

interseluler (antar sel) maupun intraseluler (dalam sel) pada sel korteks di

sepanjang akar. Hifa intraseluler yang sudah mencapai sel korteks lalu menembus sel dan akan membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks, sehingga terlihat seperti pohon kecil yang memiliki cabang yang bernama arbuskular. Sementara pada hifa interseluler akan terjadi pembengkakan dan membentuk struktur yang bernama vesikular, vesikular ini merupakan organ tempat cadangan makanan disimpan berupa lemak yang dapat digunakan untuk perkembangan FMA .

Selain terbentuknya hifa di dalam akar, sebagian hifa FMA juga berkembang di luar akar tanaman (eksternal). Pada hifa eksternal akan terbentuk spora yang merupakan bagian penting dari FMA. Terdapatnya hifa eksternal dapat

meningkatkan kapasitas penyerapan hara. Produksi jalinan hifa eksternal secara intensif dapat meningkatkan kapasitas akar dalam menyerap unsur hara, dan dapat menembus daerah penipisan nutrien yang terdapat di sekitar perakaran untuk menyerap unsur hara dari daerah tersebut.

Hifa eksternal yang terbentuk mampu meningkatkan kemampuan akar dalam menyerap air dan unsur hara. Tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza mampu menyerap air hingga pori terkecil, sehingga kelembaban pada stomata dapat selalu terjaga. Kondisi stomata ini akan mengakibatkan laju fotosintesis meningkat, sehingga fotosintat hasil fotosintesis meningkat yang kemudian akan diangkut ke organ atau jaringan lain agar dapat dimanfaatkan. Fotosintat dapat dimanfaatkan oleh organ atau jaringan untuk pertumbuhan, pembelahan sel, ataupun ditimbun sebagai cadangan makanan. Oleh karena itu, tanaman yang berasosiasi dengan


(34)

15

FMA akan meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, pertumbuhan akar, maupun bobot kering berangkasan pada bibit kelapa sawit yang telah terinfeksi FMA.

Fungsi utama hifa eksternal adalah untuk menyerap unsur hara terutama fosfor dari dalam tanah. Hifa FMA mengandung enzim fosfatase yang mampu

memutuskan ikatan-ikatan kovalen Al3+, Fe3+, Ca2+, dan liat dengan P, sehingga unsur P dapat tersedia bagi tanaman. Unsur P yang tersedia bagi tanaman lalu diserap oleh hifa eksternal pada akar, kemudian disalurkan ke dalam hifa internal yang dipertukarkan dengan sel akar melalui arbuskul. Di dalam arbuskular, senyawa polifosfat dipecah menjadi fosfat organik yang kemudian dilepas ke seluruh sel tanaman inang. Pada akar kemudian unsur tersebut disalurkan ke xilem untuk diangkut ke daun dan bagian tanaman yang lainnya.

Perkembangan dan aktifitas mikoriza dipengaruhi oleh tingkat pemupukan fosfor. Unsur fosfor sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman di dalam tanah, sehingga efisiensi serapan hara fosfor sangat rendah. Hal ini menyebabkan dosis

pemupukan fosfor mempengaruhi perkembangan FMA. Kandungan fosfor yang tersedia tinggi dalam tanah akan menghambat pertumbuhan FMA, karena akar tanaman mampu menyerap hara fosfor yang terdapat disekitarnya tanpa bantuan lagi dari FMA. Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) yang telah menginfeksi akar tanaman menjadi tidak berfungsi dalam proses penyerapan unsur hara yang menyebabkan FMA tidak berkembang, sehingga FMA dapat menjadi parasit bagi tanaman karena FMA ikut memanfaatkan fotosintat dari tanaman tanpa perlu membantu tanaman dalam proses penyerapan unsur hara.


(35)

16

Perkembangan FMA dipengaruhi oleh kesuburan tanah, tanaman inang, serta asal FMA diperoleh. Pada tanah yang subur ketersediaan unsur P sudah tinggi, sehingga akar mampu menyerap unsur P tanpa bantuan FMA dan hal ini menyebabkan FMA menjadi parasit bagi tanaman. Jenis FMA yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis Glomus sp. yang diperoleh dari tanaman inang kelapa sawit didaerah sekampung udik (Lampung) dan jarak di daerah Notonegoro (Jember), dan jenis Entrophospora sp. yang diperoleh dari tanaman inang kelapa sawit didaerah Sri Bawono , Sekampung Udik (Lampung), dan Bentar Kersik (Medan). Secara umum pemberian jenis Glomus sp. dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman karena FMA jenis ini mudah beradaptasi pada tanah marginal yang menyebabkan infeksi akar meningkat. Sedangkan jenis Entrophospora sp. dapat ditemukan di daerah tanah berliat sehingga adaptasi diharapkan dapat meningkatkan pengaruh FMA terhadap tanaman.


(36)

17

Gambar 1. Diagam alir kerangka pemikiran. Peningkatan produksi kelapa sawit.

Aplikasi FMA diinokulasikan ke bibit.

Dosis pupuk NPK.

Pengujian : Inokulum mikoriza Entrophospora sp.Isolat MV 3, Entrophospora sp.

Isolat MV 12, Glomus sp. Isolat MV 4, Glomus sp. Isolat MV 11,

Glomus sp. Isolat MV 13

Pengujian : 100% dosis pupuk anjuran dan 75% dosis

pupuk anjuran.

1. Meningkatkan serapan unsur P dalam tanah 2. Meningkatkan ketahanan tanaman terkadap kekeringan. 3. Meningkatkan ketahanan terhadap patogen yang menyerang. Interaksi Hara tanaman tercukupi Pertumbuhan bibit kelapa sawit meningkat


(37)

18

1.5 Hipotesis

Dari kerangka pemikiran yang telah dikemukakan dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut :

1. FMA jenis Glomus sp. yang paling sesuai untuk petumbuhan bibit kelapa sawit.

2. Dosis pupuk NPK 100% dari dosis anjuran baik digunakan untuk petumbuhan bibit kelapa sawit.

3. Respon bibit kelapa sawit tehadap inokulasi jenis-jenis isolat FMA ditentukan oleh dosis pemupukan NPK.

4. Dosis Pupuk NPK 75% dari anjuran baik digunakan untuk isolat FMA dan tanpa FMA..


(38)

19

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) berasal dari Afrika Barat. Tetapi ada sebagian berpendapat justru menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari kawasan Amerika Selatan yaitu Brazil. Hal ini karena spesies kelapa sawit banyak ditemukan di daerah hutan Brazil dibandingkan Amerika. Pada kenyatannya tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya, seperti malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini. Bahkan, mampu memberikan hasil produksi perhektar yang lebih tinggi (Fauzi et al,. 2012).

Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Maritius dan Amsterdam untuk ditanam di Kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Haller, seorang berkebangsaan Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika. Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sejak saat itu


(39)

20

sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatra (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya saat itu sebesar 5.123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara Eropa, kemudian tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton (Fauzi et al,. 2012).

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Kelapa Sawit

Klasifikasi tanaman kelapa sawit menurut Pahan (2012), sebagai berikut: Divisi : Embryophyta Siphonagama

Kelas : Angiospermae Ordo : Monocotyledonae

Famili : Arecaceae (dahulu disebut Palmae) Subfamili : Cocoideae

Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis Jacq.

Morfologi tanaman Kelapa Sawit menurut PTPN VII (2006) dideskripsikan sebagai berikut :

a. Akar

Kelapa sawit merupakan tumbuhan monokotil yang tidak memiliki akar tunggang. Radikula (bakal akar) pada bibit terus tumbuh memanjang ke arah bawah selama enam bulan terus-menerus dan panjang akarnya mencapai 15 meter. Akar primer kelapa sawit terus berkembang.


(40)

21

Susunan akar kelapa sawit terdiri dari serabut primer yang tumbuh vertikal ke dalam tanah dan horizontal ke samping. Serabut primer ini akan bercabang menjadi akar sekunder ke atas dan ke bawah. Akhirnya, cabang-cabang ini juga akan bercabang lagi menjadi akar tersier, begitu seterusnya. Kedalaman perakaran tanaman kelapa sawit bisa mencapai 8 meter hingga 16 meter secara vertikal.

b. Batang

Tanaman kelapa sawit umumnya memiliki batang yang tidak bercabang. Pada pertumbuhan awal setelah fase muda (seedling) terjadi pembentukan batang yang melebar tanpa terjadi pemanjangan internodia (ruas). Titik tumbuh batang kelapa sawit terletak di pucuk batang, terbenam di dalam tajuk daun, berbentuk seperti kubis dan enak dimakan.

Pada batang tanaman kelapa sawit terdapat pangkal pelepah-pelepah daun yang melekat kukuh dan sukar terlepas walaupun daun telah kering dan mati. Pada tanaman tua, pangkal-pangkal pelepah yang masih tertinggal di batang akan terkelupas, sehingga batang kelapa sawit tampak berwarna hitam beruas.

c. Daun

Tanaman kelapa sawit memiliki daun (frond) yang menyerupai bulu burung atau ayam. Di bagian pangkal pelepah daun terbentuk dua baris duri yang sangat tajam dan keras di kedua sisinya. Anak-anak daun (foliage leaflet) tersusun berbaris dua sampai ke ujung daun. Di tengah-tengah setiap anak daun terbentuk lidi sebagai tulang daun.


(41)

22

d. Bunga dan buah

Tanaman kelapa sawit yang berumur tiga tahun sudah mulai dewasa dan mulai mengeluarkan bunga jantan atau bunga betina. Bunga jantan berbentuk

lonjong memanjang, sedangkan bunga betina agak bulat. Tanaman kelapa sawit mengadakan penyerbukan silang (cross pollination). Artinya, bunga betina dari pohon yang satu dibuahi oleh bunga jantan dari pohon yang lainnya dengan perantaraan angin dan atau serangga penyerbuk.

Buah kelapa sawit tersusun dari kulit buah yang licin dan keras (epicarp), daging buah (mesocrap) dari susunan serabut (fibre) dan mengandung minyak, kulit biji (endocrap) atau cangkang atau tempurung yang berwarna hitam dan keras, daging biji (endosperm) yang berwarna putih dan mengandung minyak, serta lembaga (embryo).

Lembaga (embryo) yang keluar dari kulit biji akan berkembang ke dua arah, yaitu:

1. Arah tegak lurus ke atas (fototropy), disebut dengan plumula yang selanjutnya akan menjadi batang dan daun

2. Arah tegak lurus ke bawah (geotrophy) disebut dengan radicula yang selanjutnya akan menjadi akar.

Plumula tidak keluar sebelum radikulanya tumbuh sekitar 1 cm. Akar-akar adventif pertama muncul di sebuah ring di atas sambungan radikula-hipokotil dan seterusnya membentuk akar-akar sekunder sebelum daun pertama muncul. Bibit kelapa sawit memerlukan waktu 3 bulan untuk memantapkan dirinya


(42)

23

sebagai organisme yang mampu melakukan fotosintesis dan menyerap makanan dari dalam tanah.

Buah yang sangat muda berwarna hijau pucat. Semakin tua warnanya berubah menjadi hijau kehitaman, kemudian menjadi kuning muda, dan setelah matang menjadi merah kuning (orange). Jika sudah berwarna orange, buah mulai rontok dan berjatuhan (buah leles).

e. Biji

Setiap jenis kelapa sawit memiliki ukuran dan bobot biji yang berbeda. Biji dura afrika panjangnya 2-3 cm dan bobot rata-rata mencapai 4 gam, sehingga dalam 1 kg terdapat 250 biji. Biji dura deli memiliki bobot 13 gam per biji, dan biji tenera afrika rata-rata memiliki bobot 2 gam per biji.

Biji kelapa sawit umumnya memiliki periode dorman (masa non-aktif). Perkecambahannya dapat berlangsung lebih dari 6 bulan dengan keberhasilan sekitar 50%. Agar perkecambahan dapat berlangsung lebih cepat dan tingkat keberhasilannya lebih tinggi, biji kelapa sawit memerlukan pre-treatment.

2.1.2 Varietas Kelapa Sawit.

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman monokotil yang tergolong dalam famili palmae. Tanaman kelapa sawit digolongkan berdasarkan ketebalan tempurung (cangkang) dan warna buah (Pahan, 2012).

Menurut Pahan (2012), berdasarkan ketebalan cangkang, tanaman kelapa sawit dibagi menjadi tiga varietas, yaitu:


(43)

24

1. Varietas Dura, dengan ciri-ciri yaitu ketebalan cangkangnya 2-8 mm, dibagian luar cangkang tidak terdapat lingkaran serabut, daging buahnya relatif tipis, dan daging biji besar dengan kandungan minyak yang rendah. Varietas ini biasanya digunakan sebagai induk betina oleh para pemulia tanaman.

2. Varietas Pisifera, dengan ciri-ciri yaitu ketebalan cangkang yang sangat tipis (bahkan hampir tidak ada). Daging buah pissifera tebal dan daging biji sangat tipis. Pisifera tidak dapat digunakan sebagai bahan baku untuk tanaman komersial, tetapi digunakan sebagai induk jantan oleh para pemulia tanaman untuk menyerbuki bunga betina.

3. Varietas Tenera merupakan hasil persilangan antara dura dan pisifera. Varietas ini memiliki ciri-ciri yaitu cangkang yang yang tipis dengan ketebalan 1,5 – 4 mm, terdapat serabut melingkar disekeliling tempurung dan daging buah yang sangat tebal. Varietas ini umumnya menghasilkan banyak tandan buah.

Berdasarkan warna buah, tanaman kelapa sawit terbagi menjadi 3 jenis yaitu: 1. Nigescens , dengan ciri-ciri yaitu buah mudanya berwarna ungu

kehitam-hitaman, sedangkan buah yang telah masak berwarna jingga kehitam-hitaman. 2. Virescens, dengan ciri-ciri yaitu buah mudanya berwarna hijau, sedangkan

buah yang telah masak berwarna jingga kemerah-merahan dengan ujung buah tetap berwarna hijau.

3. Albescens, dengan ciri-ciri yaitu buah mudanya berwarna keputih-putihan, sedangkan buah yang telah masak berwarna kekuning-kuningan dengan ujung buah berwarna ungu kehitaman (Adi, 2011).


(44)

25

2.1.3 Syarat Tumbuh Kelapa Sawit

Kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan – hutan, lalu dibudidayakan. Tanaman kelapa sawit memerlukan kondisi lingkungan yang baik agar mampu tumbuh dan berproduksi secara optimal. Keadaan iklim dan tanah merupakan faktor utama bagi pertumbuhan kelapa sawit, di samping faktor – faktor lainnya seperti sifat genetika, perlakuan budidaya, dan penerapan teknologi lainnya.

Kelapa sawit dapat tumbuh pada bermacam jenis tanah. Ciri tanah yang baik untuk kelapa sawit diantaranya gembur, aerasi dan drainase baik, kaya akan humus, dan tidak memiliki lapisan padas. Tanaman kelapa sawit cocok dibudidayakan pada pH 5,5 – 7,0. Curah hujan dibawah 1250 mm/th sudah merupakan pembatas pertumbuhan, karena dapat terjadi defisit air, namun jika curah hujan melebihi 2500 mm/th akan mempengaruhi proses penyerbukan sehingga kemungkinan terjadi aborsi bunga jantan maupun bunga jantan maupun bunga betina menjadi lebih tinggi. Ketinggian tempat yang baik untuk ditanam tanaman kelapa sawit yaitu antara 0 – 500 m dpl dengan kemiringan lereng sebesar 0 – 3 % (Tim Bina Karya Tani, 2009).

2.2 Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA)

Mikoriza merupakan suatu bentuk hubugan simbiosis mutualisme antara fungi tanah dengan akar tanaman. Simbiosis mutualisme ini membentuk hubungan yang saling menguntungkan antra fungi tanaman yang memperoleh nutrisi dari


(45)

26

hasil fotosintesis tanaman inang, dan tanaman inang dapat memperoleh unsur hara serta air yang sulit terjangkau akar melalui hifa fungi tersebut.

Menurut Sieverding (1991), FMA sangat bermanfaat bagi tanaman karena dapat meningkatkan penyerapan unsur hara terutama unsur fosfor. FMA yang

teanarinfeksi pada akar dapat mengeluarkan enzim fosforase dan asam-asam organik, khususnya oksalat yang dapat membebaskan unsur fosfor yang terikat didalam tanah. Sehingga FMA dapat membantu masalah ketersediaan unsur fosfor melalui pengaruh langsung oleh jaringan hifa eksternal yang diproduksinya secara intensif, sehingga akar akan lebih intesif dalam menyerap unsur hara.

FMA berperan penting terhadap ketersediaan fosfor bagi tanaman. Hifa mikoriza dapat menyerap hara dari tanah yang tidak dapat diserap akar, sehingga FMA berpengaruh terhadap penyerapan hara yang tinggi di kondisi tanah yang

ketersediaan haranya rendah. Pada kondisi fosfor yang cukup, akar tanaman dapat berperan sebagai organ yang menyerap hara, sehingga tanaman dapat

mengakumulasi unsur fosfor dalam jumlah yang tinggi. Pada kondisi ini FMA akan tetap memperoleh senyawa C dari tanaman yang akan mempengaruhi metabolisme tanaman (Smith dan Read, 2008).

2.2.1 Kelompok Mikoriza

Berdasarkan struktur tubuh dan cara fungi menginfeksi akar, mikoriza dapat dikelompokkan kedalam tiga tipe (Harijoko et al,.2006), yaitu:

1. Ektomikoriza, merupakan asosiasi dari fungi Basidiomycetes dan lainnya yang membentuk bengkalan pada akar lateral pendek yang diselubungi oleh hifa.


(46)

27

Hifa tumbuh menjorok keluar dan berfungsi sebagai alat yang efektif dalam menyerap unsur hara serta air. Pada akar terdapat jaringan Hartig yaitu hifa yang mengitari epidermis atau sel koteks.

2. Ektendomikoriza, merupakan bentuk antara (intermediat) dengan ektomikoriza dan endomikoriza. Karakteristik fungi mikoriza ini adalah terdapatnya hartig net di dalam jaringan korteks serta terdapat mantel yang menyelubungi akar. Hifa dapat menginfeksi sel korteks dan dinding sel korteks. Penyebarannya terbatas didalam tanah-tanah hutan.

3. Endomikoriza, karakteristik fungi mikoriza ini antara lain yaitu akar yang terkena infeksi tidak membesar, lapisan hifa pada permukaan akar tipis, hifa menginfeksi sel jaringan korteks, adanya bentukan khusus yang berbentuk oval yang disebut vesikular dan sistem percabangan hifa yang dikotomi disebut arbuskular. Arbuskular merupakan tempat pertukaran metabolit antara fungi dan tanaman inang (Brundrett et al., 1996).

2.2.2 Klasifikasi FMA

Menurut Invam (2012) FMA dapat dikelompokan berdasarkan cara terbentuknya spora pada setiap genus, berikut dijelaskan terbentuknya spora yang dapat

menjadi penciri genus pada FMA:

1. Glomus

Spora glomus merupakan hasil dari perkembangan hifa. Ujung dari hifa akan mengalami pembengkakan hingga terbentuknya spora. Perkembangan spora ini berasal dari hifa yang disebut chlamidospora. Pada Glomus juga dikenal


(47)

28

struktur yang dinamakan sporocarp. Sporocarp merupakan hifa yang bentuknya bercabang sehingga membentuk chlamidospora.

2. Paraglomus

Proses pembentukan spora paraglomus hampir sama dengan proses

pembentukan spora pada glomus. Spora tersebut berasal dari ekspansi blastic dari ujung hifa. Untuk dapat membedakan spora glomus dan paraglomus harus

dilakukan uji pewarnaan melzer’s reagent. Paraglomus tidak bereaksi dalam

reagent Melzer 3. Acalulospora

Spora yang terbentuk ditanah dengan bentuk globose, subglobose, ellipsoid maupun fusiformis. Awal proses pembentukan spora seperti dimulai dari ujung hifa, karena pada ujung hifa tersebut akan terjadi pembengkakan hifa yang strukturnya menyerupai spora atau disebut saccule. Kemudian dengan berkembangnya saccule tersebut akan disertai dengan munculnya bulatan kecil yang terbentuk diantara hifa terminus dan subtending hifa. Bulatan kecil itu akan berkembang disamping hifa terminus menjadi spora. Pada spora yang telah masak terdapat satu lubang yang dinamakan ciatric.

4. Entrophospora

Proses pembentukan spora Enterophospora hampir sama dengan proses pembentukan spora pada Acaulospora. Perbedaan keduanya terdapat pada proses perkembangan azygospora berada dalam blastik atau ditengah hifa terminus, sehingga akan terbentuk dua lubang yang simetris pada spora yang telah matang.


(48)

29

5. Archaespora

Perkembangan spora pada genus archaespora merupakan perpaduan antara perkembangan spora genus glomus dan enterophospora atau acoulospora. Pada awalnya, diujung hifa akan terbentuk Sporiferous saccule. Selanjutnya, pada leher saccule atau subtending hifa akan berkembang pedicel atau percabangan hifa dari leher saccule. Pada ujung pedicel tersebut akan berkembang spora seperti halnya perkembangan spora pada glomus.

6. Gigaspora

Struktur spora yang terbentuk berupa globose dan subglobose, berbentuk ovoid, pyriformis atau irregular. Spora pada genus gigaspora berasal dari ujung hifa (subtending hifa) yang membulat disebut suspensor. Kemudian diatas bulbose suspensor tersebut terbentuk spora, lalu spora tersebut terbentuk dari suspensor yang dinamakan azygospora.

7. Scutellospora

Struktur spora yang terbentuk biasanya globose atau subglobose tetapi lebih sering berbentuk ovoid, obovoid, pyriformis, atau irregular. Proses

terbentuknya spora pada scutellospora sama dengan pembentukan spora pada genus gigaspora. Pembeda genus gigaspora dengan scutellospora adalah pada scutellospora terdapat germination shield, dan pada saat berkecambah hifa akan keluar dari germanation shield tersebut.


(49)

30

2.2.3 Morfologi FMA

FMA membentuk organ-organ khusus dan mempunyai perakaran yang spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscule), vesikular (vesicle) dan spora (Pattimahu, 2004).

1. Vesikular (Vesicle)

Vesikular merupakan struktur fungi yang berasal dari pembengkalan hifa internal secara terminal dan interkalar, kebanyakan berbentuk bulat telur, dan berisi banyak senyawa lemak sehingga merupakan organ penyimpanan

cadangan makanan dan pada kondisi tertentu dapat berperan sebagai spora atau alat untuk mempertahankan kehidupan fungi. Tipe FMA vesikular memiliki fungsi yang paling menonjol dari tipe fungi mikoriza lainnya. Hal ini

dimungkinkan karena kemampuannya dalam berasosiasi dengan hampir 90 % jenis tanaman, sehingga dapat digunakan secara luas untuk meningkatkan probabilitas tanaman (Pattimahu, 2004).

2. Arbuskul

Fungi ini dalam akar membentuk struktur khusus yang disebut arbuskular. Arbuskula merupakan hifa bercabang halus yang dibentuk oleh percabangan dikotomi yang berulang-ulang sehingga menyerupai pohon dari dalam sel inang (Pattimahu, 2004). Arbuskul merupakan percabangan dari hifa masuk kedalam sel tanaman inang. Masuknya hara ini ke dalam sel tanaman inang diikuti oleh peningkatan sitoplasma, pembentukan organ baru, pembengkokan inti sel, peningkatan respirasi dan aktivitas enzim.


(50)

31

Hifa intraseluler yang telah mencapai sel korteks yang lebih dalam letaknya akan menembus dinding sel dan membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks, tampak seperti pohon kecil yang mempunyai cabang-cabang yang dibenamkan Arbuskul. Arbuskul berperan dua arah, yaitu antara simbion fungi dan tanaman inang.

Mosse dan Hepper (1975) mengamati bahwa struktur yang dibentuk pada akar-akar muda adalah Arbuskul. Dengan bertambahnya umur, Arbuskul ini berubah menjadi suatu struktur yang menggumpal dan cabang-cabang pada arbuskul lama kelamaan tidak dapat dibedakan lagi. Pada akar yang telah dikolonisasi oleh VMA dapat dilihat berbagai Arbuskul dewasa yang dibentuk berdasarkan umur dan letaknya. Arbuskul dewasa terletak dekat pada sumber unit kolonisasi tersebut.

3. Spora

Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis funginya. Perkecambahan spora sangat sensitif tergantung kandungan logam berat di dalam tanah dan juga kandungan Al. Kandungan Mn juga mempengaruhi pertumbuhan miselium. Spora dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan sampai sekarang beberapa tahun. Namun untuk perkembangan FMA memerlukan tanaman inang. Spora dapat disimpan dalam waktu yang lama sebelum digunakan lagi (Mosse, 1991).


(51)

32

2.2.4 Faktor-Faktor yang Menentukan perkembangan FMA

Menurut Novriani dan Madjid (2009), perkembangan FMA ditentukan oleh faktor biotik dan abiotik. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah suhu, tanah, kadar air tanah, pH, bahan organik tanah, intensitas cahaya dan ketersediaan hara. Berikut adalah penjelasan tentang faktor – faktor tersebut :

1. Suhu

Suhu yang relatif tinggi akan meningkatkan aktivitas fungi. Proses perkecambahan pembentukan FMA melalui 3 tahap yaitu perkecambahan spora di tanah, penetrasi hifa ke dalam sel akar dan perkembangan hifa di dalam korteks akar. Suhu optimum untuk perkecambahan spora sangat beragam tergantung pada jenisnya (Mosse, 1991).

Suhu yang tinggi pada siang hari (350 C) tidak menghambat perkembangan akar dan aktivitas fisiologi FMA. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu di atas 400C. Suhu bukan merupakan faktor pembatas utama bagi aktivitas FMA. Suhu yang sangat tingi lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang (Mosse, 1991).

2. Kadar Air tanah

Untuk tanaman yang tumbuh di daerah kering, adanya FMA menguntungkan karena dapat meningkatkaan kemampuan tanaman untuk tumbuh dan bertahan pada kondisi yang kurang air. Adanya FMA dapat memperbaiki dan


(52)

33

bahwa tanaman yang tidak berFMA memiliki evapotranspirasi yang lebih besar dari tanaman ber FMA.

Ada beberapa dugaan mengapa tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan diantaranya adalah : (1) adanya mikoriza menyebabkan resistensi akar terhadap gerakan air menurun sehingga transport air ke akar meningkat, (2) tanaman kahat P lebih peka terhadap kekeringan, adanya FMA

menyebabkan status P tanaman meningkat sehingga menyebabkan daya tahan terhadap kekeringan meningkat pula, (3) adanya hifa ekternal menyebabkan tanaman ber FMA lebih mampu mendapatkan air daripada yang tidak ber FMA, tetapi jika mekanisme ini yang terjadi berarti kandungan logam-logam tanah lebih cepat menurun. Penemuan akhir-akhir ini yang menarik adalah adanya hubungan antara potensial air tanah dan aktivitas mikoriza. Pada tanaman ber mikoriza jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 gam bobot kering tanaman lebih sedikit dari pada tanaman yang tidak bermikoriza, karena itu (4) tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan barangkali karena pemakaian air yang lebih ekonomis, (5) pengaruh tidak langsung karena adanya miselium ekternal menyebabkan FMA mampu dalam mengagegasi butir-butir tanah sehingga kemampuan tanah menyimpan air meningkat (Rotwell, 1984).

3. pH tanah

Fungi pada umunya lebih tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun demikian daya adaptasi masing-masing spesies fungi FMA terhadap pH tanah


(53)

34

berbeda-beda karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan, perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman (Mosse, 1991).

4. Bahan Organik

Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang penting disamping bahan anorganik, air dan udara. Jumlah spora FMA tampaknya berhubungan erat dengan kandungan bahan organik di dalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang mengandung bahan

organik 1-2 % sedangkan pada tanah-tanah berbahan organik kurang dari 0.5 % kandungan spora sangat rendah (Anas, 1997).

Residu akar mempengaruhi ekologi fungi FMA, karena serasah akar yang terinfeksi mikoriza merupakan sarana penting untuk mempertahankan generasi FMA dari satu tanaman ke tanaman berikutnya. Serasah tersebut mengandung hifa, vesikular dan spora yang dapat menginfeksi akar tanaman dan dapat berfungsi sebagai inokulan untuk generasi tanaman berikutnya (Anas, 1997).

5. Cahaya dan Ketersediaan Hara

Anas (1997) menyimpulkan bahwa intensitas cahaya yang tinggi dengan kekahatan nitrogen ataupun fospor sedang akan meningkatkan jumlah karbohidrat di dalam akar sehingga membuat tanaman lebih peka terhadap infeksi oleh cendawan FMA. Derajat infeksi terbesar terjadi pada tanah-tanah yang mempunyai kesuburan yang rendah. Pertumbuhan perakaran yang sangat aktif jarang terinfeksi oleh FMA. Jika pertumbuhan dan perkembangan akar menurun infeksi FMA meningkat.


(54)

35

Peran mikoriza yang erat dengan penyediaan P bagi tanaman menunjukkan keterikatan khusus antara mikoriza dan status P tanah. Pada wilayah beriklim sedang konsentrasi P tanah yang tinggi menyebabkan menurunnya infeksi FMA yang mungkin disebabkan konsentrasi P internal yang tinggi dalam jaringan inang (Anas, 1997).

2.3 Pupuk NPK

Unsur hara seperti nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) merupakan unsur hara makro yang dibutuhkan oleh tanaman dengan jumlah yang relatif besar (di atas 1000 ppm) bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Ketiga jenis unsur hara tersebut terdapat didalam pupuk NPK yang merupakan pupuk majemuk, pupuk yang mengandung lebih dari ssatu unsur hara tanaman (Foth, 1984).

Nitrogen merupakan unsur hara yang banyak ditemukan didalam senyawa penting. Jika kekurangan unsur hara N ini maka pertumbuhan tanaman akan terhambat. Terdapat dua bentuk utama ion nitrogen yang dapat diserap dari dalam tanah, yaitu nitrat (NO3-) dan ammonium (NH4+). Gejala yang ditimbulkan jika kekurangan nitrogen yaitu tanaman akan mengalami gejala klorosis pada daun tua. Tanaman yang mendapatkan nitrogen berlebihan akan memilki daun berwarna hijau yang rimbun dengan sistem perakaran yang dangkal (Salisbury dan Ross, 1995).

Fosfor merupakan unsur yang terdapat disetiap tanah, walupun jumlahnya tidak sebanyak N dan K. Unsur ini diserap terutama oleh tanaman dalam bentuk ortofosfat primer (H2PO4-) kemudian dalam bentuk HPO42- (Nyakpa et al., 1988).


(55)

36

Pupuk fosfor sangat penting bagi pertumbuhan tanaman, tetapi jumlahnya sedikit didalam tanah karena terfiksasi. Menurut Hakim et al. (1986), unsur fosfor sangat penting dalam proses pembelahan sel dan perkembangan jaringan meristem sehingga akan merangsang pembentukan akar pada tanaman. Pertumbuhan akar yang baik memungkinkan serapan hara oleh tanaman lebih banyak sehingga akan membuat pertumbuhan semakin baik. Kekurangan fosfor berakibat buruk bagi tanaman karena dapat mempengaruhi proses metabolisme penting tanaman khususnya fotosintesis (Ashari, 1995).

Kalium merupakan unsur ketiga yang terpenting setelah nitrogen dan fosfor. Kalium merupakan pengaktif dari sejumlah besar ion yang penting untuk fotosintesis dan respirasi. Kalium juga mengaktifkan enzim yang diperlukan untuk pembentukan pati dan protein bagi tumbuhan. Kalium mudah disalurkan dari organ dewasa ke organ muda, sehingga gejala yang ditimbulkan akibat kekurangan unsur ini berupa nekrosis pada daun tua. Tanaman yang mengalami gejala kekurangan unsur kalium memiliki batang yang lemah dan akar yang mudah terserang oleh penyakit busuk akar yang menyebabkan tanaman mudah rebah (Salisbury dan Ross, 1995).


(56)

37

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan waktu penelitian

Percobaan ini dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Laboratorium Produksi Perkebunan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dan Lahan Politeknik Negeri Lampung dari bulan Mei 2013 sampai Februari 2014

3.2 Bahan dan Alat

Bahan - bahan yang digunakan adalah germinated seed kelapa sawit varietas Tenera Simalungun, pasir, tanah, aquades, larutan KOH 10%, HCL 1%, glycerol, trypan blue, pupuk “Rock phosphate”, Urea, NPK, dan mikoriza yaitu Glomus sp. dan Entrophospora sp. (Deskripsi masing-masing FMA dapat dilihat pada Tabel 1).

Alat-alat yang digunakan adalah mikroskop stereo dan majemuk, timbangan elektrik, pinset spora, cawan petri, saringan mikro, gelas ukur, cangkul, counter, polibag, cutter, ember, gembor, oven, cover glass, kaca preparat, dan alat tulis .


(57)

Tabel 1. Deskripsi lima jenis fungi mikoriza arbuskular yang digunakan pada penelitian. Uraian Entrophospora sp.

Isolat MV 3

Entrophospora sp. Isolat MV 12

Glomus sp. Isolat MV 4

Glomus sp. Isolat MV 11

Glomus sp. Isolat MV 13 1 Ciri-Ciri

Spora

Bentuk : setengah lingkaran

Ukuran : kecil

Warna : kuning emas

Bentuk : bulat Ukuran : kecil Warna : kuning kecoklatan

Bentuk : bulat

Ukuran : kecil-sedang Warna : kuning

Bentuk : Bulat

Ukuran : kecil - sedang Warna : cream

kekuningan

Bentuk : Bulat

Ukuran : kecil - sedang Warna : cream

kecoklatan 2 Reaksi

terhadap Melzer

Positif Positif Negatif Negatif Negatif

3 Asal Simpang Sribawono, Lampung.

Bentar Kersik B, Sumatera Utara Sekampung Udik, Lampung Sekampung Udik, Lampung Notonegoro Jember, Jawa Timur

4 Sporocarp Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada

5 Spora di dalam/di luar akar atau kedua

di luar dan di dalam akar

Di luar akar Di luar akar Di luar Akar Di luar akar

6 Gambar Reaksi Spora terhadap Melzer


(58)

39

3.3 Metode penelitian

Untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah dan untuk menguji

hipotesis, rancangan perlakuan yang digunakan adalah rancangan faktorial (6 x 2) dengan 5 ulangan. Faktor pertama adalah jenis mikoriza (M) yang terdiri dari 6 taraf yaitu m0 (Kontrol), m1 (Entrophospora sp. Isolat MV 3), m2 (Entrophospora sp. Isolat MV 12), m3 (Glomus sp. Isolat MV 4), m4 (Glomus sp. Isolat MV 11), dan m5(Glomus sp. Isolat MV 13). Faktor kedua adalah dosis pupuk NPK (P) yang terdiri dari 2 taraf yaitu p1 (100% dari dosis anjuran), p2 (75% dari dosis anjuran).

Perlakuan diterapkan pada satuan percobaan dalam rancangan kelompok teracak sempurna (RKTS). Kesamaan ragam antar perlakuan diuji dengan Uji Barlett. Kemenambahan data diuji dengan Uji Tukey. Jika asumsi terpenuhi yaitu ragam perlakuan homogen dan data bersifat menambah, maka data dianalisis ragam. Pemisahan nilai tengah diuji dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan peluang melakukan kesalahan ditentukan sebesar 0,05.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Penyemaian Benih

Benih kelapa sawit berupa benih berkecambah (germinated seed) disemai pada media pasir steril selama 4 minggu hingga kecambah tumbuh menjadi bibit yang baik. Setelah empat minggu, bibit sudah siap ditransplanting ke pre-nursery.


(59)

40

3.4.2 Penanaman di Pre-nursery serta Inokulasi Mikoriza

Bibit kelapa sawit yang telah berumur 1 bulan dipisahkan secara berkelompok berdasarkan panjang akar dan tinggi daunnya. Setelah dipisahkan sesuai ukurannya, bibit ditanam dalam polibag yang berukuran 18x25 cm dengan satu bibit per polibag.

Saat bibit akan ditransplanting ke dalam polibag yang sebagian tanahnya telah dikeluarkan terlebih dahulu untuk membuat lubang tanam, akar bibit diinokulasi dengan inokulum FMA terlebih dahulu. Inokulum FMA ditaburkan secara merata dan perlahan pada akar-akar bibit dengan dosis ±500 spora/bibit, sehingga

inokulum tersebar merata dipermukaan akar (Gambar 1). Proses inokulasi ini dilaksanakan dengan perlahan dan teliti agar inokulum mikoriza tidak

terkontaminasi serta tercampur dengan jenis yang lainnya.


(60)

41

Setelah proses inokulasi selesai, tanah ditambahkan ke dalam polibag sampai akar bibit tertanam dengan baik. Polibag-polibag yang sudah ditanami bibit dan diinokulasi dengan FMA sesuai perlakuan, kemudian disusun di dalam rumah kaca dan dipelihara selama dua bulan. Pemupukan dilakukan dengan

menyemprotkan pupuk kepermukaan helai daun menggunakan pupuk urea dengan dosis 2g/liter untuk 100 bibit.

3.4.3 Penanaman di Main Nursery

Transplanting bibit dari pre-nursery ke main nursery dilakukan setelah bibit di pre nursery berumur 3 bulan setelah semai. Sebelum proses transplanting dilakukan, disiapkan polibag yang berisi tanah top soil sebanyak 20 kg/polibag. Lubang tanam dalam polibag dibuat sesuai dengan ukuran polibag di pre nursery menggunakan alat ponjo agar bibit dapat ditransplanting tanpa merusak perakarannya dan memudahkan proses transplanting.

Kemudian polibag pada bibit prenursery disayat untuk memudahkan dalam melepaskan polibag dan agar tanah dalam polibag dalam keadaan utuh. selanjutnya bibit dimasukkan ke dalam polibag yang telah dibuat lubang

tanamnya dan ditekan perlahan. Setelah transplanting berhasil dilakukan, media dalam polibag disiram untuk menjaga kelembabannya. Polibag main nursery kemudian disusun di lapangan berdasarkan tata letak percobaan yang telah ditentukan (Gambar 2).


(61)

42

Kelompok 1

m2p2 m5p1 m4p0 m5p2 m3p2 m0p2 m2p1 m3p1 m1p2 m1p1 m4p1 m0p1

Kelompok 2

m1p0 m3p2 m1p1 m5p2 m2p2 m0p1 m4p2 m5p1 m3p1 m0p2 m4p1 m2p1

Kelompok 3

m2p2 m5p2 m0p1 m5p1 m2p1 m3p2 m1p2 m4p1 m0p2 m3p1 m4p2 m1p1

Kelompok 4

m3p2 m4p2 m2p2 m5p2 m0p2 m2p1 m5p1 m3p1 m0p1 m1p2 m1p1 m4p1

Kelompok 5

m2p2 m0p2 m5p1 m4p1 m0p1 m1p1 m3p2 m1p2 m3p1 m4p2 m5p2 m2p1

Gambar 3. Tata letak percobaan di main nursery.

3.4.4 Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan selama di pembibitan adalah penyiraman, penyiangan, pengendalian hama penyakit tanaman, dan pemupukan. Penyiraman dilakukan sesuai dengan keadaan media tanam. Penyiraman dilakukan

menggunakan selang sampai kondisi lapang dan tidak berlebihan. Penyiangan gulma dilakukan secara manual, yaitu gulma yang terdapat di dalam maupun di luar polibag dicabut menggunakan tangan tanpa alat. Penyiangan ini dilakukan agar pertumbuhan bibit tidak terhambat ataupun terganggu karena terdapatnya gulma. Pengendalian hama penyakit kutu putih dilakukan dengan cara

membersihkan bagian daun yang terserang kutu putih dengan alkohol 20% yang diusapkan menggunakan tisu hingga permukaan daun bersih dari gejala serangan


(62)

43

hama. Pengendalian penyakit dilakukan dengan cara menggunting bagian daun yang terkena karat daun dan mengusap permukaan daun dengan alkohol 20%, untuk menghindari penyebaran penyakit.

Pemupukan dilakukan dengan jenis dan dosis pupuk yang disesuaikan dengan perlakuan dan pertumbuhan bibit. Pemupukan mulai dilakukan saat bibit berumur 4 minggu menggunakan pupuk urea dan diganti dengan pupuk NPK (15:15:15) ketika berumur 14 minggu setelah semai. Jenis dan dosis pupuk yang digunakan tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis dan dosis pupuk yang digunakan selama penelitian.

Umur bibit kelapa sawit ( minggu)

Anjuran Penelitian ( 75% dari anjuran) NPK 15 : 15 : 15 NPK 15 : 15 : 15

14 -15 2,5 g 1,875 g

16 -17 5 g 3,75 g

18 – 20 7,5 g 5,625 g

22 -24 10 g 7,5 g

26 10 g 7,5 g

28 10 g 7,5 g

30 10 g 7,5 g

32 10 g 7,5 g

34 15 g 11,25 g

36 15 g 11,25 g

3.5 Variabel Pengamatan

Setelah bibit berumur 36 minggu setelah semai, untuk menguji kesahihan kerangka pemikiran dan hipotesis dilakukan pengamatan terhadap variabel– variabel berikut:


(63)

44

1. Tinggi Tanaman

Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi. Pengukuran tinggi tanaman ini menggunakan meteran dengan satuan cm.

2. Jumlah Daun

Daun yang dihitung adalah daun yang telah terbuka secara sempurna.

3. Tingkat Kehijauan Daun

Tingkat kehijauan daun diukur menggunakan klorofilmeter. Pengukuran dilakukan pada daun ke-3 dan telah membuka secara sempurna. Pengukuran dilakukan sebanyak 6 titik disetiap sampel daun, sehingga nilai tingkat kehijauan daun diperoleh dari rata-rata nilai 6 titik tersebut.

4. Bobot Segar Tajuk

Bobot segar tajuk diukur setelah tanaman dipanen. Bobot segar tajuk terdiri dari pangkal batang hingga ujung daun. Bagian akar tanaman dipotong agar dapat dipisahkan, kemudian ditimbang untuk memperoleh bobot segar tajuknya.

5. Bobot Segar Akar

Bagian akar yang telah dipotong, kemudian dipisahkan dari tajuk. Akar-akar yang patah dan tersisa pada media dikumpulkan dan dicampurkan pada akar yang telah dipotong dan selanjutnya dibersihkan dan ditimbang untuk memperoleh bobot segar akar.


(64)

45

6. Bobot Kering Tajuk

Tajuk yang telah ditimbang bobot segarnya, lalu dikeringkan dengan oven pada suhu 80o C hingga bobot keringnya konstan, kemudian ditimbang

menggunakan timbangan elektrik untuk memperoleh bobot kering tajuk.

7. Bobot Kering Akar

Akar yang telah dipisahkan dari tajuk, kemudian dimasukan ke dalam oven untuk dikeringkan dengan suhu 80o C. Setelah bobot akar konstan, baru dapat diperoleh bobot kering akar dengan menimbang menggunakan timbangan elektrik.

8. Jumlah Akar Primer

Akar primer adalah akar-akar yang tumbuh langsung dari pangkal batang bibit. Seluruh akar primer yang tumbuh dihitung secara manual.

9. Volume akar

Akar yang belum dikeringkan di oven terlebih dahulu dimasukkan ke dalam gelas ukur yang telah berisi air dan diketahui volume airnya. Penambahan volume air pada gelas ukur merupakan volume akar bibit.

10. Persentase infeksi akar

Persentase infeksi akar bibit kelapa sawit oleh FMA dihitung setelah panen. Perhitungan ini diawali dengan mengumpulkan akar-akar sekunder dan tersier secara acak sebanyak 1 gam dan dimasukkan ke dalam botol film. Setelah akar dipisahkan lalu dicuci bersih menggunakan air hingga kotoran yang melekat pada akar bersih. Akar yang telah bersih di dalam botol film diberikan KOH


(65)

46

10% hingga seluruh akar terendam, lalu dikukus dalam water bath dengan suhu ±80o C selama ±30 menit. Hal ini dilakukan untuk membersihkan sel dari sitoplasma, kemudian larutan KOH dibuang dan akar dicuci kembali dengan air, lalu akar direndam kembali dengan larutan HCL 1% dan dikukus lagi selama ±15 menit. Setelah itu larutan HCL dikeluarkan dan ditambahkan kedalam botol film larutan trypan blue 0,05% (0,5 g trypan blue + 450 ml glycerol + 500 ml aquades + 50 ml HCL 1%), kemudian akar dikukus selama 10 menit. Setelah akar diwarnai, lalu dipotong sepanjang ± 2 cm, kemudian disusun di atas kaca preparat secara teratur agar akar mudah diamati. Sampel akar kemudian diamati menggunakan mikroskop majemuk dengan perbesaran 100 kali. Jika akar telah terinfeksi, akan dilihat dengan tanda adanya struktur pembentuk mikoriza (hifa, visikel, dan arbuskular) pada jaringan akar. Perhitungan persentase infeksi akar dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :

Infeksi akar (%) = � � � � �� � � � �

� � � � � x 100%

11. Jumlah Spora

Jumlah spora yang terdapat pada tanah yang telah ditanami bibit kelapa sawit dihitung dengan mengambil sampel 50 g dari setiap polibag. Tanah yang telah ditimbang, dilarutkan dalam 1,5 L air, lalu disaring menggunakan 3 lapis saringan khusus tanah dengan ukuran 500 µm, 150 µm, dan 45 µm. Tanah yang telah disaring diletakkan pada 3 cawan petri, kemudian diamati

menggunakan mikroskop stereo dengan perbesaran 4 k0ali dan mulai dihitung jumlah sporanya menggunakan counter.


(66)

66

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Seluruh jenis FMA yang diujikan dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit dibandingkan tanpa FMA kecuali Glomus sp. Isolat MV 11. 2. Dosis pupuk NPK 100% dari dosis anjuran menghasilkan pertumbuhan bibit

kelapa sawit yang lebih baik didukung oleh data bobot segar akar, volume akar, bobot segar tajuk, bobot kering akar, bobot kring tajuk, dan tingkat kehijauan daun.

3. Respon pertumbuhan bibit kelapa sawit terhadap inokulasi FMA tidak ditentukan oleh dosis pupuk NPK yang diberikan.

4. Tidak terdapat dosis optimum pupuk NPK untuk masing-masing jenis FMA yang digunakan.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan dapat disarankan pada penelitian selanjutnya untuk menambahkan perlakuan dengan tanpa dipupuk NPK sehingga dapat diamati perbedaan dengan tanaman dipupuk NPK.


(1)

PUSTAKA ACUAN

Adi, P. 2011. Kaya dengan bertani kelapa sawit. Pustaka Baru Press. Yogyakarta. 146 hlm.

Anas, I. 1997. Bioteknologi Tanah. Laboratorium Biologi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.

Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB. Bogor.

Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 485 hlm.

Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Gove, and N. Malajczuk. 1996. Working with mycorhizas in Forestry and Agiculture. Australia Center For

International Agicultural Research (ACIAR). Camberra. 374 pp.

Daniels, B.A dan J.M. Trappe. 1980. Factors affecting spore germination of vesicular-arbuskular mycorrizal fungus, Glomus epigaeus. Mycologi. 72:457-463.

Delvian. 2005. Respon pertumbuhan dan perkembangan fungi mikoriza arbuskula dan tanaman terhadap salinitas tanah. Karya Ilmiah Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. 4 hlm. ______. 2006. Koleksi Isolat Cendawan Mikoriza Arbuskular. Karya Tulis.

Universitas Sumatera Utara. Medan.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Tabel Produksi, Luas Areal dan

Produktivitas Perkebunan di Indonesia. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.


(2)

Fakuara, Y.M. 1998. Mikoriza, Teori, dan Kegunaan dalam Praktek. Pusat Antar Universitas IPB-Lembaga Sumber Daya Informasi IPB. Bogor.

Foth, H. D. 1984. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Diterjemahkan oleh Purbayanti, Lukiwati, Trimulatsih, Diedit oleh Hudoyo. Gajah mada University Press. Yogyakarta. Indonesia. 782 hlm.

Fauzi, Y., Y. E Widyastuti., I. Satyawibawa, dan R. H. Paeru. 2012. Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta. 236 hlm.

Gustiawan. 2011. Pengaruh Dosis Inokulum Fungi Mikoriza Arbuskular Entrophospora sp. dan Glomus sp. pada Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Pembibitan Awal. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta. 320 hlm.

Harijoko, S., I. Budiman, E. Suherman, dan Tocin. 2006. Booklet Teknik Produksi Bibit Bermikoriza. Balai Perbenihan Tanaman Hutan Jawa dan Madura. Sumedang. Jawa Barat. 42 hlm.

Harley, L.L. and S.E. Smith. 1983. Mycorrhizal Symbiosis. Academic press. London.

Hasan, S.N. 2012. Pengaruh berbagai jenis fungi mikoriza arbuskular pada pertumbuhan bibit kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) yang ditanam pada media yang terinfeksi dan tidak terinfeksi Ganoderma sp. Skripsi Universitas Lampung. Bandar Lampung. 54 hlm.

Husna, F. D. Tuheteru, dan Mahfudz. 2007. Aplikasi mikoriza untuk memacu pertumbuhan jati di Muna. Balai besar Penelitian dan Pemuliaan Tanaman Hutan. 5:1.

Invam. 2012. Phylogeni perkembangan dan taksonomi ordo glomales. http://invam.caf.wvu.edu/fungi/taxonomy/classification.htm. Diakses tanggal 3 November 2013.


(3)

Kementrian Pertanian. 2010. Outlook Komoditas Pertanian Perkebunan. Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. Jakarta. 189 hlm. Koide, R. T., dan R. P. Schreiner. 1992. Regulation of the Vesicular-Arbuskular

mycorrhizal symbiosis. Annu. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol. 43 : 557-581.

Lakitan, B. 2010. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta. PT Raja Gafindo Persada.

Leiwakabessy, F. M. 1988. Kesuburan Tanah. Bogor. Intstitut Pertanian Bogor. Mangoensoekarjo, S. 2007. Manajemen Tanah dan Pemupukan Budidaya

Perkebunan. Yogyakarta. Gadjah Mada University.

Marschner, H.1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. Academic Press. New York. 889 hlm.

Manjunath, A., and D.J. Bagyaraj. 1984. Gowth of anion. Plant and Soil. 78 : 147-150.

Marschner, H., and B. Dell. 1994. Nutrient uptake in mycorrhizal symbiosis. In A. D. Robson, L.K. Abbott, and N. Malajczuk. Management of Mychorrhizas in Agiculture, Horticulture, and Forestry. Pp 89-102. Kluwer Academic Publishers. Netherlands

Mosse, B. 1991. Vesicular-arbuscular mycorrhiza. Research for Tropical Aiculture. Res. Bull. No. 194. Hawaii Inst. of Trop. Aic. and Human Resource. Univ of Hawaii, Honolulu. 82 p.

Mosse, S., and Hepper. 1975. VAM Research for Tropical Agriculture. Institut of Tropical Agriculture and Human Resource. Hawai.

Niswati, A., S.G. Nugoho, M. Utomo dan Suryadi. 1996. Pemanfaatan mikoriza vesikular arbuskular untuk mengatasi pertumbuhan jagung akibat cekaman kekeringan. Jurnal Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung.


(4)

Notohadiprawiro, T. 2006. Ultisol, Fakta, dan Implikasi Pertaniannya. Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada. 13 hlm.

Novriani dan Madjid. 2009. Peran dan Prospek Mikoriza. Universitas Sriwijaya. Palembang.

Nugroho, S.G. 1990. Tanggapan Tanaman Jagung Hibrida Pioneer terhadap Inokulasi MVA dan Pemupukan P pada Tanah Ultisol Rangkas Bitung Banten. Laporan penelitian. Kerjasama AARP-Dikti. Jakarta. 54 hlm.

Nurbaity, A., D. Herdiyantoro, dan O. Mulyani. 2009. Pemanfaatan bahan organik sebagai bahan pembawa inokulan fungi mikoriza arbuskular. Jurnal Biologi XIII (1) : 17-11.

Nusantara, A. D., G. Anwar, dan Rismayati. 2010. Tanggapan semai sengon [Paraserianthes falcataria (L) Nielson] terhadap inokulasi ganda cendawan mikoriza arbuskular dan Rhizobium sp. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian

Indonesia, 4 (2) : 62-70.

Nyakpa, M. Y., A. M. Lubis, M. A. Pulung, G. Amran, G. B. Hong. 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung.

Octavitani, N. 2009. Pemanfaatan CMA sebagai pupuk hayati untuk

meningkatkan produksi pertanian. http://uwityangyoyo.wordpress.com. Diakses pada tanggal 10 Mei 2013. 1 hlm.

Pahan, I. 2012 . Kelapa Sawit:Manajemen dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta. 411 hlm.

Pattimahu, D. V. 2004. Restorasi lahan kritis pasca tambang sesuai kaidah ekologi. Makalah Mata Kuliah Falsafah Sains. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Jawa Barat.

PTPN VII (Persero). 2006. Budidaya Tanaman Kelapa Sawit. Wineka Media. Bandar Lampung. 167 hlm.

Rini, M.V. 2012. Arbuscular Mycorrhiza Fungi: An Amazing Soil Microbe. Beneficial Microbes Symposium 2012-KL. Malaysia.


(5)

Rosmarkam, A., and N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Yogyakarta. 325 hlm.

Rotwell, F. M. 1984. Agegation of surface mine soil by interaction between VAM fungi and lignin degradation product of lespedeza. Plant and Soil. 80 : 99 - 104.

Ruiz-Lazano, J.M., R. Azcon, and M. Gomez. 1995. Effect of arbuscular-mycorrhizal Glomus species on drought tolerance: Physiological and Nutritional Plant Responses. Microbiology. 61(2):456-460.

Safitri, N. 2012. Pengaruh Berbagai Jenis dan Dosis Fungi Mikoriza Arbuskular pada Pertumbuhan dan Produksi Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.). Skripsi Universitas Lampung. Bandar Lampung. 81 hlm.

Saputra, H. 2011. Pengaruh Dua Jenis Fungi Mikoriza Arbuskular dan Berbagai Kondisi Cekaman Air pada Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis

guineensis Jacq.). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 82 hlm.

Salisbury, F. B., and C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1.

Diterjemahkan oleh Diah R. Lukman. ITB Bandung. Bandung. 225 hlm. Setiadi, Y. 1992. Mengenal Mikoriza, Rhizoboium, dan Aktinorizas untuk

Tanaman Kehutanan. Laboratorium Silvikultur. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sieverding, E. 1991. Vesicular-Arbuskular Mycorrhiza Management in Tropical Agosystem. Deutsche Gesellscaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Eschborn Germany. 371 pp.

Simanungkalit, R.D.M. 2004. Fungi Mikoriza Arbuskular di bidang Pertanian. Prosiding. Workshop Mikoriza Teknik Produksi Bibit Tanaman

Bermikoriza. Bogor.

Siradz, S. A. Dan S. Kabirun. 2007. Pengembangan Lahan Marginal Pesisir Pantai Dengan Biotenologi Masukan Rendah. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 7(2),83-92.


(6)

Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Jogyakarta.

Smith, S.E. and D.J. Read. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press. New York. 614 pp

Subiksa, I. G. M. 2002. Pemanfaatan Mikoriza untuk Penanggulangan Lahan Kritis. Makalah falsafat Sains Progam Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Suhardi. 1989. Pedoman Kuliah Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA). Universitas Gadjah Mada. 183 hlm.

Suherman, C. 2008. Pertumbuhan Bibit Cengkeh Kultivar Zanzibar yang diberi Fungi Mikoriza Arbuskular dan Pupuk Majemuk NPK. Jurnal Agivigor. 8 (1) : 39-48.

Tim Bina Karya Tani. 2009. Pedoman Bertanam Kelapa Sawit. Yrama Widya. Bandung. 128 hlm.

Ulfa, M. M. A. Waluyo, dan E. Martin. 2009. Pengaruh Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula Glomus clorum, Glomus etunicatum, dan Gigaspora sp. terhadap Pertumbuuhan Semai Mahoni dan Seru. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 6 (5) : 273-280

Wacjhar, A., Y. Setiadi, dan T. R. Hastuti. 1998. Pengaruh Dosis Inokulum Cendawan Mikoriza Arbuskular ( Gigaspora rosea) dan Pupuk Nitrogen terhadap Pertumbuhan Bibit Kopi Robusta. Buletin Agonomi. 26(2): 1-7.

Widiastuti, H., N. Sukarno, L.K. Darusman, D.H. Goenadi, S. Smith, dan E. Guhardi. 2005. Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai inokulum untuk meningkatkan pertumbuhan dan serapan hara bibit kelapa sawit. Menara Perkebunan. 73(1): 26-34.

Yansyah, Y.M. 2005. Pengaruh aplikasi cendawan mikoriza arbuskular Glomus manihotis dan Glomus mosseae terhadap pertumbuhan bibit manggis (Garcinia mangostana L.): umur 0-4 bulan. Skripsi Universitas Lampung. Bandar Lampung. 41 hlm.


Dokumen yang terkait

Respons Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Pemberian Kompos Sampah Pasar dan Pupuk NPKMg (15:15:6:4) di Pre Nursery

6 79 69

Respon Morfologi dan Fisiologi Pada Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Aplikasi Pupuk Magnesium Dan Nitrogen

3 97 84

Uji Kompatibilitas Mikoriza Vesikular Arbuskular Pada Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guimensis Jacq) di Pembibitan Pada Media Tanam Histosol dan Ultisol

0 26 82

Pengaruh Pemberian Limbah Kalapa sawit (Sludge) dan Pupuk Majemuk NPK Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guinsensis Jacq) di Pembibitan Awal

0 25 95

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis jacq) Terhadap Pupuk Cair Super Bionik Pada Berbagai Jenis Media Tanam di Pembibitan Utama

0 30 78

Respons Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Pada Konsentrasi dan Interval Pemberian Pupuk Daun Gandasil D Pada Tanah Salin Yang Diameliorasi Dengan Pupuk Kandang

1 28 184

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) di Main Nursery Terhadap Komposisi Media Tanam dan Pemberian Pupuk Posfat

6 92 114

Pertumbuhan Mucuna Bracteata L. Dan Kadar Hara Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.) Dengan Pemberian Pupuk Hayati

3 63 66

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) TERHADAP PEMBERIAN LIMA ISOLAT FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR DAN DUA TARAF DOSIS PUPUK NPK

1 20 69

PENGARUH INOKULASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR DAN DOSIS PUPUK FOSFAT PADA PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DI PEMBIBITAN

1 11 77