11
BAB II TEORI REKONSILIASI KONFLIK
Dalam bab ini, akan dibahas kajian teoritis yang digunakan sebagai dasar penuntun dalam analisa data secara holistik. Menurut Budiardjo teori adalah generalisasi yang
abstrak mengenai beberapa fenomena. Tentang menyusun generalisasi itu teori selalu memakai konsep-konsep yang lahir dalam pikiran
mind
manusia dan karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan.
1
Lebih spesifik Kerlinger menjelaskan teori adalah serangkaian asumsi, konsep, defenisi, dan proposisi
untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.
2
Penulis akan membahas teori-teori rekonsiliasi, akan tetapi sebelum membahas teori-teori rekonsiliasi, penulis akan terlebih dahulu membahas
hakekat konflik, sehingga lebih tertata.
2.1. Hakekat Konflik
Konflik berasal dari kata
confligere, conflictum
yang artinya saling benturan dan mendapat makna sebagai semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian,
ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi yang antagonis-bertentangan.
3
Berdasarkan asal kata tersebut di atas konflik diartikan sebagai relasi-relasi antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan,
1
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik Jakarta: Gramedia, 1979, 30.
2
F. N. Kerlinger, Foundations of Behavioral Research. 2
nd
Edition, Holt, Rinehart and Winston, 1973, 9.
3
D. Jary and Julia Jary, Collinss Dictionary of Sociology Great Britain: Harper Collinss Publisher, 1991, 56.
12
interest-interest eksklusif yang tidak dapat dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan dan struktur-struktur nilai yang berbeda. Konflik dapat terjadi, jika ada
ketidaksepahaman ilmiah di antara individu atau kelompok yang berbeda sikap, kepercayaan, nilai dan kebutuhan. Konflik juga dapat berasal dari persaingan masa lalu
maupun perbedaan individual.
4
Konflik juga seringkali muncul karena adanya kompetisi terhadap akses atau kontrol pada sumber-sumber atau kesempatan yang langka. Lebih jauh konflik juga merupakan
aksi dan reaksi terhadap ketidakadilan, ketidakjujuran dan kebencian terhadap kelompok atau orang tertentu. Konflik dapat terjadi pada semua kelompok atau siapa saja, tidak
mengenal status dan kedudukan.
5
Konflik merupakan bagian dari dinamika sosial yang lumrah terjadi di setiap interaksi sosial dalam tatanan pergaulan keseharian baik individu, ataupun kelompok dalam
masyarakat.
6
Menurut Weber, konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial, terjadinya konflik tidak terelakkan dalam suatu masyarakat disebabkan karena masyarakat
dipandang sebagai struktur sosial yang mencakup proses-proses asosiatif dan disosiatif yang hanya dapat dibedakan secara analisis.
7
Bagi Weber seperti yang dikutip oleh Anthony Giddens dan kawan-kawan bahwa konflik merupakan pencerminan pertentangan
kepentingan dan naluri untuk bermusuhan.
8
Mengingat konflik merupakan gejala yang
4
Bnd: Bambang Mulyanto, dkk, 1998 dalam Kutut Suwondo, Gereja dan Kemajemukan: Gereja Dalam Konflik Dengan Agama-agama Lain : Jalan
Baru Me uju Ter e tuk ya Civil “o iety , : Visi Gereja Memasuki Milenium Baru, Bunga Rampai Pemikiran, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002, 85.
5
Hargyaningtyas, Anatomi Konflik - Bahan Pengantar Diskusi Untuk Peserta KRA 34 Lemhannas, 2001,7.
6
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1990, 56.
7
Max Weber, The Sociology of Religion Boston: Beacon Press, 1963, 154-155.
8
Anthony Giddens, Daniel Bell, DKK, Sosiologi: Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004, 38.
13
selalu hadir dalam masyarakat, maka konflik tidak mungkin dihilangkan, melainkan hanya dapat diatur mekanisme penyelesaiannya.
9
Konflik seringkali dinilai sebagai sesuatu yang selalu berdampak negatif. Lewis A. Coser menilai secara positif fenomena konflik. Coser mengatakan bahwa konflik adalah
unsur penting bagi integrasi sosial. Selama ini konflik selalu dipandang sebagai faktor negatif yang memecah belah. Konflik sosial dalam beberapa cara memberikan sumbangan
pada kepentingan kelompok serta mempererat hubungan interpersonal.
10
Bertolak dari kedua pandangan di atas yang sama-sama melihat konflik sebagai gejala yang normal dan alamiah terjadi maka dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya konflik
tidak mengacaukan sistem sosial, akan tetapi memberikan kontribusi menuju terpeliharanya masyarakat. Konflik dapat berperan sebagai pemicu proses menuju pada
penciptaan keseimbangan sosial bahkan dapat berperan sebagai alat perekat kehidupan individu, atau kelompok dalam masyarakat.
11
Konflik dapat membangun dan membentuk manusia menjadi manusia yang
civil
dan dewasa tapi konflik juga berbahaya dan merusak dunia kehidupan manusia. Itu berarti konflik tidak dapat dihindari namun dapat dihadapi.
Karena penghindaran konflik bisa mengakibatkan terjadinya konflik yang lebih besar.
9
Ibid
10
Lewis A. Coser, The Function of Social Conflict New York: The Free, 1964, 22.
11
Durkheim juga melihat bahwa kelompok manusia memiliki sifat yang lebih dari atau sama dengan jumlah dari sifat-sifat individual yang menyusun kelompok tersebut. Dari sini Durkheim menekankan
bahwa sistem sosial seimbang, oleh karena adanya nilai-nilai yang dianut bersama oleh individu, seperti nilai moral dan agama. Nilai-nilai inilah yang mengikat individu dalam kelompok masyarakat. Rusaknya
nilai-nilai ini berarti rusaknya keseimbangan sosial melalui ketidaknyamanan pada individu-individu masyarakatnya. Pemikiran Durkheim ini dikritik oleh teori fungsionalis yang melihat masyarakat pada
awalnya disusun oleh individu-individu yang ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Adanya kelanggengan kolektif ini membentuk nilai masyarakat, dan nilai-nilai inilah yang membuat masyarakat
tetap seimbang, Kedua teori ini sama-sama memiliki persamaan dalam melihat keseimbangan yang terjadi dalam masyarakat terbentuk karena adanya nilai-nilai dan norma-norma yang mengikat individu
dalam masyarakat. Band: Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, New York : Free Press, 1965, 121. Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini, Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam
Perkembangan Sosiologi Jakarta: Sinar Grafika, 1988, 89-93.
14
Semakin cepat konflik ditangani dan dihadapi atau bahkan dicegah semakin baik. Konflik tidak selalu negatif, melainkan bisa dijadikan wadah atau sarana untuk membangun saling
pengertian dan membentuk kedewasaan berinteraksi antar individu maupun kelompok yang memiliki beragam sifat, sikap dan kepentingan.
2.2. Konsep-konsep Rekonsiliasi