Penentuan Tinggi Badan Berdasarkan Panjang Lengan Bawah

(1)

PENENTUAN TINGGI BADAN BERDASARKAN

PANJANG LENGAN BAWAH

T E S I S

REINHARD JOHN DEVISON

047113001/IKF

PROGRAM PEN DI DI K AN DOK T ER SPESI ALI S DEPART EM EN K EDOK T ERAN FOREN SI K

FAK U LT AS K EDOK T ERAN U N I V ERSI T AS SU M AT ERA U T ARA M EDAN


(2)

PENENTUAN TINGGI BADAN BERDASARKAN

PANJANG LENGAN BAWAH

T E S I S

REINHARD JOHN DEVISON

047113001/IKF

PROGRAM PEN DI DI K AN DOK T ER SPESI ALI S DEPART EM EN K EDOK T ERAN FOREN SI K

FAK U LT AS K EDOK T ERAN U N I V ERSI T AS SU M AT ERA U T ARA M EDAN


(3)

PENENTUAN TINGGI BADAN BERDASARKAN

PANJANG LENGAN BAWAH

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Spesialis Forensik (Sp.F)

Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis

Konsentrasi Ilmu Kedokteran Forensik

Pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

REINHARD JOHN D

EVISON

047113001/IKF

PROGRAM PEN DI DI K AN DOK T ER SPESI ALI S DEPART EM EN K EDOK T ERAN FOREN SI K

FAK U LT AS K EDOK T ERAN U N I V ERSI T AS SU M AT ERA U T ARA M EDAN


(4)

Judul Tesis : Penentuan Tinggi Badan Berdasarkan Panjang Lengan Bawah

Nama Mahasiswa : Reinhard John Devison

Nomor Induk Mahasiswa : 047113001

Program Pendidikan : Dokter Spesialis

Konsentrasi : Kedokteran Forensik

Menyetujui Komisi Pembimbing :

Dr. H. Mistar Ritonga, Sp.F Ketua

Dr. H. Guntur Bumi Nasution,Sp.F Anggota

Ketua Program Studi Ketua TKP PPDS


(5)

Telah diuji pada

Tanggal _____________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : ______________________________________

Anggota : 1. ___________________________________

2. ___________________________________

3. ___________________________________


(6)

PENENTUAN TINGGI BADAN BERDASARKAN

PANJANG LENGAN BAWAH

T E S I S

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat orang lain yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Hormat saya, Penulis


(7)

Salam sejahtera,

Puji syukur kepada Allah Bapa di Surga yang melimpahkan kasih dan karunia NYA serta kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul “PENENTUAN TINGGI BADAN BERDASARKAN PANJANG LENGAN BAWAH”. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa yang sedang menjalani kepaniteraan klinik senior (KKS) di bagian Kedokteran Forensik FK-USU/ RSUP.H. Adam Malik/ RSU. Dr. Pirngadi Medan, serta pada para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I dan Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan.

Dalam penyusunan Tesis ini, penulis tentunya banyak menemukan hambatan dan kesukaran, namun berkat ketabahan dan kerja keras penulis serta bantuan dari berbagai pihak akhirnya tesis ini dapat terselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua responden (subjek penelitian) atas kesediaan dan keterlibatan yang diberikan. Kepada dr.H.Mistar Ritonga, SpF dan dr.H.Guntur Bumi Nasution, SpF selaku pembimbing serta para staf pengajar di Departemen Forensik FK-USU saya ucapkan terima kasih. Kepada dr.Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes atas bantuannya menyelesaikan metode penelitian dan analisa statistiknya. Terima kasih pula kepada Dokter, Pimpinan, staf dan pegawai di LP Klas I dan Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan. Atas dukungan moral yang diberikan, penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Pelayanan Kesehatan RSU.dr.Djasamen Saragih Pematangsiantar, termasuk pula para pegawai di Instalasi Jenazah dan Kedokteran Forensik RSU.dr.Djasamen Saragih Pematangsiantar.

Tidak lupa rasa bangga dan terima kasih kepada Orang tua tercinta, mertua dan seluruh keluarga. Terima kasih atas ketabahan dan doa istri dan anak-anakku tercinta. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan, yang telah membantu proses pendidikan dan selesainya tesis ini penulis mengucapkan terima kasih.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membalas segala kebaikan kita dan selalu melimpahkan berkatNYA kepada kita semua.

Medan, Maret 2009 Penulis


(8)

DOA SYUKUR MENYELESAIKAN

PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


(9)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan Pembimbing i

Lembar Penetapan Panitia Penguji ii

Lembar Surat Pernyataan iii

Ucapan Terima Kasih iv

Doa Syukur v

Daftar Isi vi

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar xii

Abstrak xiv

BAB I Pendahuluan

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 4

1.3. Hipotesis 4

1.4. Tujuan Penelitian 4

1.5. Manfaat Penelitian 5

Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1. Antropometri 6

2.2. Struktur Tinggi Tubuh Manusia 9

2.3. Pertumbuhan Tulang 13

2.4. Kelainan-Kelainan Tulang 17

2.5. Mutilasi 20

2.6. Prosedur Identifikasi 22

2.7. Identifikasi Tulang 23

2.8. Perkiraan Tinggi Badan 26


(10)

Bab 3 Metodologi Penelitian

3.1. Rancangan Penelitian 45

3.2. Tempat Dan Lama Penelitian 45

3.3. Populasi Penelitian 45

3.4. Sampel Dan Cara Pemilihan Sampel 46

3.5. Besar Sampel 46

3.6. Kriteria Penelitian 47

3.7. Ijin Subjek Penelitian 47

3.8. Etika Penelitian 48

3.9. Instrumen Penelitian 48

3.10. Cara Kerja Penelitian 49

3.11. Batasan Operasional 49

3.12. Pengolahan Dan Analisa Data 50

Bab 4 Hasil Penelitian Dan Pembahasan

4.1. Hasil Penelitian 51

4.2. Pembahasan 67

Bab 5 Kesimpulan Dan Saran

5.1. Kesimpulan 72

5.2. Saran 72

Daftar Pustaka 73

Lampiran :

1. Tabel Induk Data Pengukuran Hasil Subjek Penelitian 2. Tabel - Tabel dan Grafik-Grafik Visualisasi Komputer 3. Surat Lembar Penjelasan kepada Subjek Penelitian 4. Surat Lembar Persetujuan Subjek Penelitian 5. Lembar Data Hasil Pengukuran Subjek Penelitian

6. Surat Permohonan Izin Penelitian di LP Tanjung Gusta dari Departemen Kedokteran Forensik FK – USU.

7. Surat Izin Penelitian Dari Departemen Hukum dan HAM Kantor Wilayah Sumatera Utara.

8. Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian di LP Klas I Medan.

9. Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian di LP Wanita Klas II-A Medan.


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Tabel gambaran derajat garis epifise (Epiphyseal line/ union) 16 Tabel 1.2. Klasifikasi tinggi badan menurut Martin Knussmann 19 Tabel 1.3. Klasifikasi lain tinggi badan menurut Martin Knussmann 20

Tabel 2.1. Perkiraan rata-rata kehilangan tulang rawan 29

Tabel 2.2. Formula Karl Pearson Untuk laki-laki dan Perempuan 31

Tabel 2.3. Formula Trotter-Glesser (1952) 32

Tabel 2.4. Formula Trotter-Glesser (1958). 34

Tabel 2.5. Formula Modifikasi Trotter-Glesser 35

Tabel 2.6. Formula Dupertuis dan Hadden. 36

Tabel 2.7. Formula Telkka 38

Tabel 2.8. Formula Parikh 38

Tabel 2.9. Formula Mohd. Som dan Syed Abdul Rahman. 38

Tabel 2.10. Formula Antropologi Ragawi UGM 39

Tabel 2.11. Formula Djaja Surya Atmadja 40

Tabel 2.12. Formula Amri Amir 40

Tabel 2.13. Formula Amri Amir 41

Tabel 2.14. Formula Amri Amir 42

Tabel 2.15. Formula Amri Amir 42

Tabel 2.16. Formula Perkalian Penentuan Tinggi Badan di India 43

Tabel 3.1 Sebaran Responden Secara Umum 51

Tabel 3.2. Sebaran Responden Menurut Kelompok Umur 52

Tabel 3.3. Sebaran Responden Menurut Jenis Kelamin 53

Tabel 3.4. Sebaran Responden Menurut Suku Bangsa 53

Tabel 3.5. Sebaran Responden Menurut Status Perkawinan 54


(12)

Tabel 3.7. Sebaran Responden Menurut Ukuran Berat Badan, Tinggi

Badan, Panjang Lengan Kanan dan Kiri 55

Tabel 3.8. Sebaran Perbandingan Panjang Lengan Bawah Kanan dan Kiri 55 Tabel 3.9. Perbandingan Tinggi Badan laki-laki dan Perempuan 56 Tabel 3.10. Hubungan Panjang Lengan Bawah Kanan dengan Tinggi Badan 56 Tabel 3.11. Hubungan Panjang Lengan Bawah Kiri dengan Tinggi Badan 57 Tabel 3.12. Perbandingan Panjang Lengan Bawah Kanan – Kiri Antara

Laki-laki dengan Perempuan 57

Tabel 3.13. Hubungan Panjang Lengan Bawah Kanan dan Kiri dengan

Tinggi Badan pada Laki-laki 58

Tabel 3.14. Hubungan Panjang Lengan Bawah Kanan dan Kiri dengan

Tinggi Badan pada Perempuan 58

Tabel 3.15. Hubungan Panjang Lengan Bawah Kanan dengan Tinggi Badan 59 Tabel 3.16. Hubungan Panjang Lengan Bawah Kiri dengan Tinggi Badan 59 Tabel 3.17. Hubungan Panjang Lengan Bawah Kanan dengan Tinggi Badan

menurut Jenis Kelamin 60

Tabel 3.18. Hubungan Panjang Lengan Bawah Kiri dengan Tinggi Badan

menurut Jenis Kelamin 60

Tabel 4.1. Perbandingan Hasil Konversi Panjang Lengan Bawah Terhadap Rumus Peneliti dan Beberapa Rumus/ Formula Yang Telah Ada 70


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. (A). Papan Osteometri

(B). Antropometer menurut Martin 7

Gambar 1.2. Dataran Frankfurt 8

Gambar 1.3. (A). Pengukuran beberapa ukuran panjang lengan

(B). Beberapa titik anatomis tubuh 9

Gambar 1.4. Anatomi kerangka tubuh manusia tampak depan dan

belakang 10

Gambar 1.5. Posisi anatomi tubuh manusia tampak depan dan belakang 11

Gambar 1.6. Kaliper Geser/ sorong 12

Gambar 1.7. Gambar pengukuran tinggi badan dan pengukuran tinggi

titik anatomis lainnya 13

Gambar 1.8. Sketsa radiologis bagian caput tulang panjang 15 Gambar 1.9. Gambaran komponen tulang panjang pada potongan sagital 16 Gambar 1.10. Gambaran penyatuan garis epifise pada tulang-tulang

kerangka manusia 17

Gambar 1.11. Gambar korban mutilasi 21

Gambar 1.12. Gambaran Radiologis Processus Olecranii ulnae di daerah

siku 24

Gambar 1.13. Gambaran posisi titik Processus Olecranii ulna lengan

kanan bawah pada saat posisi di fleksikan. 25

Gambar 1.14. Struktur ruas lengan kanan; diangun atas lengan atas dan

lengan bawah. 29

Gambar 2.1. Tabel Kerangka Konsepsional 43

Gambar 3.1. Grafik Linier / Persamaan Tinggi Badan dengan Panjang


(14)

Gambar 3.2. Grafik Linier / Persamaan Tinggi Badan dengan Panjang

Lengan Bawah Kiri 62

Gambar 3.3. Grafik Linier / Persamaan Tinggi Badan dengan Panjang

Lengan Bawah Kanan pada Laki-laki 63

Gambar 3.4. Grafik Linier / Persamaan Tinggi Badan dengan Panjang

Lengan Bawah Kiri pada Laki-laki 64

Gambar 3.5. Grafik Linier / Persamaan Tinggi Badan dengan Panjang

Lengan Bawah Kanan pada Perempuan 65

Gambar 3.6. Grafik Linier / Persamaan Tinggi Badan dengan Panjang


(15)

ABSTRAK

Menentukan tinggi badan seseorang merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam proses identifikasi forensik. Ada banyak cara yang dapat dilakukan ahli kedokteran forensik maupun antropologi forensik untuk menentukan tinggi badan seseorang, diantaranya adalah dengan melakukan pengukuran terhadap bagian tubuh tertentu lainnya. Salah satu penentuan tinggi badan dapat dilakukan melalui pengukuran terhadap panjang ruas lengan bawah. Ada berbagai macam formula yang telah dirumuskan oleh para ahli kedokteran forensik dan antropologi tentang perkiraan tinggi badan dengan mengukur panjang beberapa tulang panjang, diantaranya adalah yang dikemukakan oleh Trotter – Glesser ( tahun 1952, 1958), namun penelitian untuk mencari formula pada orang hidup belum cukup banyak dilakukan, padahal tidak semua jenazah yang ditemukan menjadi tulang belulang. Pada kasus mutilasi, sebagian korban dalam keadaan terpotong-potong dengan jaringan otot dan kulit pembungkus tulang masih dijumpai/ melekat.

Penelitian ini dilakukan terhadap subjek penelitian orang laki-laki dan perempuan yang masih hidup sebanyak 348 orang. Lalu dilakukan pengukuran tinggi badan dan panjang lengan bawah secara cermat untuk mencari formula hubungan antara panjang lengan bawah terhadap tinggi badan.

Dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat sekat lintang (cross sectional) dan uji statistik Pearson Correlation diperoleh nilai r = 0,852 (untuk panjang lengan bawah kanan) dan r = 0,857 (untuk panjang lengan bawah kiri) yang berarti menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara panjang lengan bawah dengan tinggi badan seseorang.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.6. LATAR BELAKANG

Secara defenisi disebutkan bahwa ilmu kedokteran forensik adalah salah satu cabang spesialistik dari ilmu kedokteran yang mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum serta keadilan. Dalam istilah lain, ilmu kedokteran forensik juga dikenal dengan nama Legal Medicine.(1) Seiring dengan perkembangan zaman dan perjalanan waktu, ilmu kedokteran forensik terus berkembang menjadi suatu ilmu yang universal karena meliputi berbagai aspek ilmu pengetahuan. Salah satu bidang penting dalam ilmu kedokteran forensik adalah identifikasi.(2)

Untuk kepentingan visum et repertum (VeR), ketika dokter memeriksa jenazah maka identifikasi pada jenazah tetap dilakukan sekalipun jenazah tersebut dikenal. Dokter haruslah mencatat jenis kelamin, umur, suku bangsa, panjang dan berat badan, kebangsaan, warna kulit, perawakan, keadaan otot, keadaan gizi, rambut, mata, gigi, bekas-bekas luka, tahi lalat, tato (rajah), pakaian, perhiasan, barang-barang yang ada pada jenazah, ada tidaknya kumis/ jenggot (pada laki-laki), cacat tubuh (bawaan atau didapat) dan sebagainya.(2)(3) (4)

Dalam bidang kedokteran forensik peranan pemeriksaan identifikasi sangatlah penting pada korban yang telah meninggal, hal ini oleh karena setelah dilakukan


(17)

pemeriksaan dapat dilanjutkan pada tingkat berikutnya. Pada jenazah yang sejak semula tidak dikenal atau biasa disebut dengan istilah Mr.X, tentunya identifikasi menjadi sulit, dan pemeriksaan jenazah untuk identifikasi ini akan menjadi semakin sulit lagi bila mayat yang dikirim ke rumah sakit atau puskesmas telah mengalami pembusukan atau mengalami kerusakan berat baik akibat kebakaran, ledakan, kecelakaan pesawat, ataupun tinggal sebagian jaringan tubuh misalnya pada kasus mutilasi (tubuh terpotong-potong). Pada kondisi tersebut tak jarang pihak kepolisian (penyidik) hanya menyerahkan kepala saja, sebagian lengan atau kaki yang terpotong-potong atau kadang kala tinggal tulang belulang saja.(1)(3)

Terjadinya peningkatan kasus-kasus korban mutilasi pada akhir-akhir ini membuat penulis berpikir bahwa proses identifikasi sangat dibutuhkan oleh penyidik untuk mengungkap identitas korban mutilasi tersebut. Menurut berbagai data yang diperoleh penulis baik media cetak maupun elektronik, Kabareskrim Mabes Polri; Irjen. Pol. Drs. Susno Duadji,SH menyatakan bahwa di wilayah hukum Polda Metro Jaya saja sepanjang tahun 2008 tercatat 6 (enam) kasus mutilasi, dan yang paling menggemparkan adalah kasus korban mutilasi Heri Santoso yang dimutilasi menjadi tujuh potongan dengan pelaku mutilasi adalah Very Idam Heriyansyah alias Ryan dari Jombang. Salah satu identifikasi yang diperlukan adalah memperkirakan panjang badan korban mutilasi tersebut.

Tinggi badan adalah ukuran seseorang pada saat masih hidup, sedangkan panjang badan adalah ukuran seseorang (jenazah) pada saat setelah meninggal. Panjang badan adalah salah satu hal penting untuk identifikasi. Maka untuk proses


(18)

identifikasi tersebut, memperkirakan tinggi badan seseorang pada saat masih hidup dilakukan dengan mengukur panjang badan jenazah (panjang jenazah) setelah meninggal. Mengukur panjang jenazah bila masih utuh bukanlah merupakan suatu pekerjaan yang sulit, namun kesulitan akan muncul bila jenazah mengalami kerusakan yang sangat hebat atau tidak lagi utuh.(2)(5)

Pada saat jenazah tidak lagi utuh (terpotong-potong), perkiraan panjang jenazah dapat dilakukan dengan mengukur bagian tertentu tubuh jenazah untuk memperkirakan tinggi badan seseorang pada saat masih hidup. Ada beberapa pengukuran bagian tubuh yang dapat dilakukan untuk memperkirakan tinggi badan secara umum adalah dengan mengukur jarak kedua ujung jari kanan dan kiri, mengukur panjang puncak kepala sampai symphisis pubis dikali 2, panjang salah satu ujung jari tengah sampai ujung olecranon sisi yang sama dikali 3,7, panjang femur dikali 4, ataupun panjang humeri dikali 6, yang semua perhitungan tersebut dapat memperkirakan panjang jenazah (tinggi badan) seseorang.(2)

Dalam keadaan termutilasi, penentuan panjang jenazah (tinggi badan) seseorang, dapat dilakukan melalui beberapa pengukuran. Beberapa penelitian di FK USU yang pernah dilakukan adalah penentuan tinggi badan berdasarkan tulang panjang dan ukuran beberapa bagian tubuh yang pernah diteliti oleh Prof. Dr. Amri Amir,SpF (K) serta penentuan tinggi badan berdasarkan Formula G.S. Kler dengan menentukan Tinggi Hidung yang pernah diteliti oleh Dr. H. Mistar Ritonga, SpF.


(19)

dihilangkan, dimana hal tersebut dilakukan tentunya untuk menghilangkan identitas si korban. Beberapa cara memisahkan bagian tubuh yang sering terjadi pada kasus mutilasi adalah dengan memisahkan kepala pada daerah leher, memisahkan tangan pada daerah ketiak, siku ataupun pergelangan tangan, memisahkan kaki pada daerah paha atau lutut.(5)(6)

Untuk menentukan tinggi badan dengan lebih baik, maka para ahli telah merumuskan formula penentuan tinggi badan berdasarkan ukuran panjang tulang-tulang panjang. Oleh karena beberapa formula dirumuskan berdasarkan pengukuran orang eropah (barat), maka untuk memakainya pada orang Indonesia harus dipertimbangkan faktor koreksinya. Perkiraan tinggi badan dengan mengukur panjang salah satu tulang panjang yang masih dibungkus otot dan kulit seperti ruas lengan bawah yang dibentuk oleh 2 tulang panjang; radius dan ulna, kiranya dapat dilakukan.(2)

1.7. RUMUSAN MASALAH

Pada keadaan termutilasi tubuh terpotong-potong menjadi beberapa bagian, sehingga akan semakin menyulitkan proses identifikasi, sehingga pengukuran bagian tubuh tertentu dapat dilakukan untuk memperkirakan tinggi badan si korban.

Seperti diungkapkan oleh beberapa ahli bahwa pengukuran panjang dari tulang-tulang panjang dapat digunakan sebagai salah satu dari sekian banyak teori tentang cara penentuan tinggi badan berdasarkan pengukuran bagian – bagian tubuh tertentu.


(20)

Dalam penelitian ini, akan diteliti lengan bawah yang masih utuh, artinya tidak dalam keadaan tinggal tulang belulang. Sehingga dirumuskanlah permasalahan, apakah ada signifikansi (hubungan) penentuan tinggi badan berdasarkan panjang lengan bawah pada orang Indonesia di kota Medan ?

1.8. HIPOTESIS

Untuk proses identifikasi dalam menentukan tinggi badan seseorang (jenazah), maka dapat dilakukan dengan mengukur panjang ruas lengan bawah.

1.9. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Umum

Untuk mengetahui apakah identifikasi tinggi badan dapat ditentukan dengan mengukur panjang anggota gerak / alat gerak tubuh.

Tujuan Khusus

Untuk mengetahui apakah dalam menentukan tinggi badan dapat ditentukan dengan mengukur panjang ruas lengan bawah.

1.10. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan oleh para dokter-dokter (dokter umum) di Indonesia sebagai salah satu bahan masukan dalam cara menentukan tinggi badan manusia pada tubuh yang tidak lagi utuh atau sudah


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.10. ANTROPOMETRI

Dalam pengamatan sehari-hari akan membawa kita kepada pengalaman bahwa manusia, walaupun satu species, bervariasi juga. Kenyataan ini mendorong orang untuk melihat perbedaan-perbedaan ini makin teliti dan metode yang paling tepat adalah ukuran, dimana disamping ketepatan memungkinkan juga objektivitas. Dengan demikian lahirlah sebidang ilmu yang disebut antropometri. Antropometri berasal dari kata Anthropos yang berarti man (orang) dan Metron yang berarti

measure (ukuran). Jadi antropometri merupakan pengukuran terhadap manusia

(mengukur manusia).(7)

Johan Sigismund Elsholtz adalah orang pertama yang menggunakan istilah antropometri dalam pengertian sesungguhnya (tahun 1654). Ia adalah seorang ahli anatomi berkebangsaan Jerman. Pada saat itu ia menciptakan alat ukur yang disebut “anthropometron”, namun pada akhirnya Elsholtz menyempurnakan alat ukurnya dan inilah cikal bakal instrumen atau alat ukur yang sekarang kita kenal sebagai antropometer. (Gambar 1.1 )(8)


(22)

(A) (B)

Gambar 1.1: (A). Papan Osteometri(18)

(B). Antropometer menurut Martin(8)

Pada abad 19, penelitian di bidang antropometri mulai berkembang dari perhitungan sederhana menjadi lebih rumit, yaitu dengan menghitung indeks. Indeks adalah cara perhitungan yang dikembangkan untuk mendeskripsikan bentuk (shape) melalui keterkaitan antar titik pengukuran. Perhitungan indeks, titik pengukuran dan cara pengukuran berkembang pesat yang berdampak pada banyaknya variasi cara klasifikasi. Hal ini berdampak pada tidak adanya standardisasi, terutama pada bidang osteometri (pengukuran tulang-tulang).(8)(9) Tidak adanya standardisasi ini membuat para ahli tidak bisa membandingkan hasil penelitiannya karena standar pengukuran, titik pengukuran serta indeks yang berbeda-beda. (8)

Upaya standardisasi mulai dilakukan pada pertengahan abad 19 berdasarkan studi Paul Broca yang mana upaya tersebut telah telah dilakukan sejak awal 1870-an, dan kemudian disempurnakan melalui kongres ahli antropologi Jerman pada 1882 di


(23)

menentukan garis dasar posisi kepala atau kranium ditetapkan sebagai garis “Frankfurt Horizontal Plane” atau “Dataran Frankfurt” (Gambar 1.2).(8)

Garis C adalah Dataran Frankfurt Yang merupakan bidang horizontal sejajar dengan dasar/ lantai yang melalui titik paling bawah pada satu lekuk mata (umumnya paling kiri) dan titik paling atas pada dua lubang telinga luar (porion pada tengkorak, tragion pada manusia hidup). Dataran ini merupakan patokan penilaian dan pengukuran baik pengukuran tinggi badan maupun pengukuran sudut. Gambar 1.2: Dataran Frankfurt(8)

Perkembangan berikutnya dibuat oleh antropologi Jerman lainnya yaitu Rudolf Martin yang pada tahun 1914 menerbitkan buku yang berjudul “Lehrbuch der

Anthropologie”. Selanjutnya pada tahun 1981 bersama Knussmann, Rudolf Martin

memperbaharui buku tersebut.(8)(9)

Masyarakat lama umumnya telah menggunakan satuan ukuran dengan lebar jari, lebar telapak tangan, jengkal, hasta, depa, langkah kaki dan sebagainya. Namun Rudolf Martin dalam bukunya menjelaskan dengan teliti masing-masing titik anatomis yang dipergunakan. Masing-masing titik diberikan nama serta simbolnya, yang terdiri dari satu sampai tiga huruf. Jarak antara titik-titik antropometris ini menjadi ukuran antropometris, yang dilambangkan dengan simbol kedua titik/ ujung,


(24)

misalnya simbol v ialah vertex, sty ialah stylion yang merupakan titik paling distal pada ujung processus styloideus (Gambar 1.3). Disamping itu masing-masing ukuran lazimnya disertai nomor sesuai numerus pada buku Martin.(8)

(A) (B)

Gambar 1.3 (8) : (A). Pengukuran beberapa ukuran panjang lengan

(B). Beberapa titik anatomis tubuh

2.11. STRUKTUR TINGGI TUBUH MANUSIA

Struktur tubuh manusia disusun atas berbagai macam organ yang tersusun sedemikian rupa satu dengan lainnya, sehingga membentuk tubuh manusia seutuhnya, dan kerangka adalah struktur keras pembentuk tinggi badan (Gambar 1.4).(11)


(25)

Gambar 1.4 (11) : Anatomi kerangka tubuh manusia tampak depan dan belakang Proses pertumbuhan dimulai sejak terjadi konsepsi dan berlangsung terus-menerus sampai umur dewasa, kemudian stabil dan pada usia relatif tua akan kembali berkurang. Pada saat sesudah dilahirkan, umur dapat diperkirakan sesuai golongan pertumbuhan dan perkembangan badan, antara lain bayi, balita, anak-anak, dewasa


(26)

muda. Pada janin, bayi baru lahir dan anak-anak sampai masa puber, umur dapat ditentukan berdasarkan tinggi (panjang) dan berat badan. Beberapa faktor harus dipertimbangkan antara lain keturunan, bangsa, gizi dan lain-lain. Namun pada orang dewasa penentuan umur berdasarkan tinggi badan dan berat badan tidak dapat dipergunakan lagi.(2)(10)

Anatomi adalah ilmu yang mempelajari struktur tubuh dan hubungan bagian-bagiannya satu sama lain. Pada sikap anatomi menunjukkan semua gambaran tubuh manusia didasarkan pada anggapan bahwa orang berdiri secara tegak lurus dengan ekstremitas (alat gerak) atas disamping tubuh, telapak tangan dan wajah menghadap ke depan (Gambar 1.5).(11)(12)


(27)

Dalam rangka membangun/ membentuk tinggi tubuh manusia, maka tubuh dibangun atas struktur susunan tulang-tulang/ kerangka yang terikat/ terkait satu sama lainnya, dengan demikian maka tinggi tubuh manusia akhirnya dapat diukur. Pengukuran tinggi badan manusia umumnya diukur dalam satuan centimeter (cm), ini juga didasari atas formula tentang perkiraan tinggi badan yang sudah ada, dan alat ukur yang digunakan umumnya adalah antropometer ataupun alat ukur lainnya (seperti kaliper geser/ sorong) (Gambar 1.6). (8)(13)

Kaliper Geser/ sorong Gambar 1.6 (8) :

Tinggi badan diukur pada saat berdiri secara tegak lurus dalam sikap anatomi. Kepala berada dalam posisi sejajar dengan dataran Frankfurt. Tinggi badan adalah hasil pengukuran maksimum panjang tulang-tulang secara paralel yang membentuk poros tubuh (The Body Axix), yaitu diukur dari titik tertinggi di kepala (cranium) yang disebut Vertex, ke titik terendah dari tulang kalkaneus (the calcanear tuberosity) yang disebut heel (Gambar 1.7).(13)


(28)

Gambar 1.7 (8) : Gambar pengukuran tinggi badan dan pengukuran tinggi titik anatomis lainnya

2.12. PERTUMBUHAN TULANG

Kerangka merupakan organ penyangga tubuh kita sehingga tubuh dapat berdiri tegak. Ada sekitar 206 jumlah tulang manusia dewasa yang membentuk bangun tubuh manusia.(12)(14). Sedangkan pada anak-anak jumlah tersebut sebenarnya lebih dari 300 tulang. Proses pertumbuhan anak-anak (bayi) menjadi dewasa menyebabkan terjadinya penyatuan beberapa tulang sehingga ketika dewasa jumlahnya menjadi lebih sedikit.(14)

Tempat dimana dua tulang atau lebih saling berhubungan dinamakan sendi. Beberapa sendi tidak mempunyai pergerakan, namun beberapa sendi lainnya ada yang memiliki gerakan sedikit dan banyak. Mengukur tinggi badan adalah mengukur tubuh yang dibentuk oleh tulang yang dihubungkan dengan sendi.(12) Struktur utama


(29)

yang membentuk tinggi badan adalah kepala, leher, tulang belakang dan tulang-tulang panjang kaki.(12)(14)

Kerangka/ tulang pada tubuh manusia adalah jaringan yang hidup yang sepertiga bagiannya adalah air.(14) Seperti jaringan ikat lainnya, tulang terdiri atas sel-sel, serabut-serabut dan matriks. Mempunyai pembuluh darah yang masuk membawa oksigen dan zat makanan serta keluar membawa sisa makanan.(11) Struktur dasar tulang pada umumnya terdiri atas epifise, metafise dan diafise (Gambar 1.8 & 1.9).(15)(16) Epifise adalah pusat kalsifikasi pada ujung-ujung tulang, metafise adalah bagian diafisis yang berbatasan dengan lempeng epifiseal, dan diafise sendiri adalah pusat pertumbuhan tulang yang ditemukan pada batang tulang. Pada tulang-tulang panjang ekstremitas (alat gerak) terjadi perkembangan secara osifikasi endokondral, dan osifikasi ini merupakan proses lambat dan tidak lengkap dari mulai dalam kandungan sampai usia sekitar 18-20 tahun atau bahkan dapat lebih lama lagi.(12) Pertumbuhan manusia dimulai sejak dalam kandungan, sampai usia kira-kira 10 tahun anak pria dan wanita tumbuh dengan kecepatan yang kira-kira sama. Sejak usia 12 tahun, anak pria sering mengalami pertumbuhan lebih cepat dibandingkan wanita, sehingga kebanyakan pria yang mencapai remaja lebih tinggi daripada wanita.(12) Pusat kalsifikasi pada ujung-ujung tulang atau dikenal dengan “Epifise Line” akan berakhir seiring dengan pertambahan usia, dan pada setiap tulang, penutupan dari garis epifise line tersebut rata-rata sampai dengan umur 21 tahun (Tabel 1.1 dan

Gambar 1.10).(16)(17)(18) Hal inilah yang menjadi dasar peneliti menetapkan usia


(30)

besar pada pengukuran, oleh karena pertumbuhan tulang yang masih berlanjut bila dilakukan dibawah usia 21 tahun.

Secara teori disebutkan bahwa umumnya pria dewasa cenderung lebih tinggi dibandingkan wanita dewasa dan juga mempunyai tungkai yang lebih panjang, tulangnya yang lebih besar dan lebih berat serta massa otot yang lebih besar dan padat. Pria mempunyai lemak sub kutan yang lebih sedikit, sehingga membuat bentuknya lebih angular. Sedangkan wanita dewasa cenderung lebih pendek dibandingkan pria dewasa dan mempunyai tulang yang lebih kecil dan lebih sedikit massa otot. Wanita lebih banyak mempunyai lemak sub kutan. Wanita mempunyai sudut siku yang lebih luas, dengan akibat deviasi lateral lengan bawah terhadap lengan atas yang lebih besar.(12)

Seluruh permukaan tulang, kecuali permukaan yang mengadakan persendian, diliputi oleh lapisan jaringan fibrosa tebal yang dinamakan periosteum. Periosteum banyak mengandung pembuluh darah, dan sel-sel pada permukaannya yang lebih dalam bersifat osteogenik. Periosteum khususnya berhubungan erat dengan tulang-tulang pada tempat-tempat perlekatan otot, tendon, dan ligamentum pada tulang-tulang.(12)

Gambar 1.8 (15) :

Sketsa radiologis bagian caput tulang panjang


(31)

Gambar 1.9 (16) : Gambaran komponen tulang panjang pada potongan sagital.

Table 1.1 Tabel gambaran derajat garis epifise (Epiphyseal line/ union)(18)

Jenis Tulang Usia (Thn) Jenis Tulang Usia (Thn)

Head of femur 16-19 Acromion 17-19

Greater trochanter 19-19 Distal femur 17-20

Lesser trochanter 16-19 Proximal tibia 17-19

Head of humerus 16-23 Proximal fibula 16-21

Distal humerus 13-16 Dista tibia 16-19

Medial epicondyle 16-17 Distal fibula 16-19

Proximal radius 14-17 Metatarsals 15-17

Proximal ulna 14-17 Iliac crest 18-22

Distal radius 18-21 Primary elements pelvis 14-16

Distal ulna 18-21 Sternal clavicle 23-28


(32)

Gambar 1.10 (18) : Gambaran penyatuan garis epifise pada tulang-tulang kerangka manusia (usia dalam tahun)

2.13. KELAINAN-KELAINAN TULANG


(33)

oleh karena faktor penyakit yang diperoleh setelah dilahirkan maupun setelah dewasa.(14) Dengan demikian, akhirnya kita mengenal beberapa kategori manusia berdasarkan tingginya, ada yang sangat tinggi, tetapi ada juga yang sangat pendek (Tabel 1.2 dan 1.3).(8)

Pada penyakit gigantisme yang disebabkan oleh karena kelainan hormon dapat mengakibatkan pertumbuhan tulang terjadi dengan sangat cepat. Roberto wadlow adalah seorang Amerika yang pernah tercatat sebagai manusia tertinggi dengan tinggi badan mencapai 270 centimeter. Selain gigantisme dapat pula terjadi hal yang sebaliknya, dimana ukuran pertumbuhan yang terjadi sangat pendek, sehingga pernah tercatat ukuran manusia terkecil berkisar antara 60 sampai 75 centimeter. Manusia cebol yang terkenal yang pernah tercatat bernama Charles Stratton (General Tom Thumb).(14) di Indonesia kita mengenal artis yang cebol bernama Ucok Baba.

Selain itu, faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi tinggi badan manusia adalah patah tulang (fraktur). Derajat deformitas tulang yang hebat akan sangat mempengaruhi tinggi badan seseorang, terutama bila yang mengalami patah tulang adalah tulang belakang, maupun tulang-tulang tungkai bawah.

Pada penyakit Ricket, terdapat gangguan mineralisasi matriks tulang rawan pada tulang yang sedang tumbuh. Hal tersebut menimbulkan keadaan dimana sel tulang rawan terus tumbuh, menimbulkan pertumbuhan tulang rawan berlebihan dan pelebaran lempeng epifiseal. Matriks tulang rawan yang mineralisasinya jelek ini serta matriks osteoid yang lunak, menyebabkan terjadinya pembengkokan tulang bila


(34)

terkena tekanan berat badan. Deformitas yang ditimbulkan adalah pelebaran hubungan kostokondral, pembengkokan tulang-tulang panjang ekstremitas bawah dan penonjolan tulang-tulang frontal tengkorak, juga dapat terjadi deformitas pelvis.(12)

Penyakit saraf tertentu; seperti Siringomielia, dapat mengakibatkan sensasi nyeri pada sendi akan menjadi hilang. Ini berarti bahwa sensasi untuk penanda rasa nyeri yang dirasakan bila sendi bergerak melampaui batas pergerakan normalnya tidak akan disadari, efeknya dapat terjadi destruksi sendi dan dapat berakibat pada pertumbuhan tulang dan tinggi badan.(9)

Faktor usia juga sering berperan dalam mempengaruhi tinggi badan, diantaranya adalah osteoporosis, scoliosis dan lordosis. Keadaan struktur tulang yang mengalami penyusutan akibat penurunan fungsi metabolik tubuh, gangguan gizi/ diet, gangguan endokrin akan mempengaruhi struktur tulang.(12)

Tabel 1.2 (8) : Klasifikasi tinggi badan menurut Martin Knussmann

Laki-laki (dalam cm) Wanita (dalam cm)

Kerdil

Sangat pendek Pendek

Di bawah sedang Sedang

Di atas sedang Tinggi

Sangat tinggi

x-129,9 130,0-149,9 150,0-159,9 160,0-163,9 164,0-166,9 167,0-169,9 170,0-179,9 180,0-199,9

x-120,9 121,0-139,9 140,0-148,9 149,0-152,9 153,0-155,9 156,0-158,9 159,0-167,9 168,0-186,9


(35)

Tabel 1.3 (8) : Klasifikasi lain tinggi badan menurut Martin Knussmann

Laki-laki (cm) Wanita (cm)

Nanosomi Hyposomi Narmosomi Hypersomi

x-134 135-150 151-188 189-x

x-122 123-136 137-178 179-x

2.14. MUTILASI

Kasus mutilasi telah berlangsung sejak lama, pendapat ini disampaikan oleh guru besar psikologi Universitas Indonesia, Enoch Markum dalam The 1st National Discussion on Indegenous Psycology: Mutilation Case Indonesian Perspective, di

Jakarta pada akhir Desember 2008 yang dimuat pada harian Sinar Indonesia Baru halaman pertama edisi minggu, 7 Desember 2008. Profesor Enoch menyebutkan bahwa mutilasi telah berlangsung sejak 100 SM di Amazon Amerika. Di Indonesia menurutnya bahwa kasus mutilasi tercatat sebanyak 61 kasus sejak tahun 1967. Menanggapi kasus mutilasi yang menghebohkan yang dilakukan oleh Very Idam Heriyansyah alias Ryan dari Jombang, Jawa Timur pada tahun akhir 2008 yang lalu terhadap Heri Santoso yang dimutilasi menjadi tujuh potongan, merupakan tindak kriminal mutilasi yang terencana, dengan proses yang rasional agar tidak tertangkap dan mendapatkan keuntungan harta benda (Warta: harian Sinar Indonesia baru).


(36)

Mutilasi didefenisikan sebagai keadaan tubuh jenazah/ mayat yang terpotong-potong (Gambar 1.11).(1)(18)(19) Pada prinsipnya bahwa jenazah yang termutilasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti: akibat ledakan bom, kecelakaan pesawat terbang, termutilasi karena gigitan binatang buas serta termutilasi akibat tindak pidana pelaku mutilasi. Dari sekian banyak kasus mutilasi, yang sering menjadi sorotan adalah mutilasi akibat tindakan kriminal (pembunuhan dengan cara mutilasi).(18) Mutilasi akibat tindakan kriminal sering dihubungkan oleh beberapa ahli dengan perilaku kejahatan seksual.(19)

Kasus mutilasi yang pernah tercatat dan paling terkenal di London adalah “Jack The Ripper” yang terjadi pada tahun 1888, dimana pembunuhan dengan cara mutilasi tersebut merupakan kejahatan seksual yang sangat sadis, yaitu isi bagian dalam si korban dikeluarkan dan dipotong-potong oleh si pelaku.(18)(19)(20)

Identifikasi merupakan tindakan yang mutlak dilakukan terhadap jenazah yang tidak dikenal, apalagi terhadap jenazah yang termutilasi. Untuk itu peran dokter forensik dalam melakukan pemeriksaan secara maksimal sangat diharapkan.(21)


(37)

2.6. PROSEDUR IDENTIFIKASI

Salah satu dasar dari sebuah pengetahuan identifikasi adalah pengetahuan tentang antropometri. Antropometri berasal dari kata anthropos yang berarti man (manusia) dan metron yang berarti mesure (pengukuran). Jadi antropometri berarti pengukuran pada manusia. Ada pula dikenal istilah Bertillon system atau Bertillonage yang diperkenalkan oleh Alfonsus Bertillon pada tahun 1882. Bertillon menyebutkan bahwa teori perhitungan tentang pengukuran tubuh manusia sebaiknya dilakukan pada usia 21 tahun.(19)

Alfonsus Bertillon yang seorang dokter berkebangsaan Prancis (1854-1914) pertama sekali memperkenalkan pengetahuan identifikasi secara ilmiah dengan cara memanfaatkan ciri umum seseorang, seperti ukuran antropometri, warna rambut, mata dan lain sebagainya.(22) Adanya perkembangan ilmu pengetahuan semakin meningkatkan kemampuan proses identifikasi seseorang, namun yang paling berperan adalah disiplin ilmu kedokteran yang dikenal sebagai identifikasi medik.(23)

DVI atau Disaster Victim Identification menerangkan metode identifikasi yang telah distandarkan secara internasional dan diadopsi di Indonesia. Terdapat 2 golongan identifikasi, yaitu pertama disebut dengan Primary Identifiers yang terdiri dari sidik jari (fingerprint); rekam medik gigi (dental record) dan DNA (Deoxyribo

Nucleid Acid), serta yang kedua disebut dengan Secondary Identifiers yang terdiri

dari pemeriksaan medik (medical); property dan photography.(23)

Pada pemeriksaan medik dilakukan pemeriksaan fisik jenazah secara keseluruhan yang meliputi bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, warna tirai mata,


(38)

cacat tubuh serta kelainan bawaan, jaringan parut bekas luka operasi, tato dan sebagainya.(21)

Dalam pemeriksaan forensik penentuan tinggi badan seseorang individu sangatlah penting, terutama bila hanya sepotong bagian tubuh jenazah saja yang ditemukan. Oleh sebab itu begitu banyak metode-metode/ formula pemeriksaan yang dirumuskan untuk mengukur atau memperkirakan tinggi badan seseorang.(22)

2.7. IDENTIFIKASI TULANG

Tulang/ kerangka merupakan bagian tubuh manusia yang cukup keras, tidak mudah mengalami pembusukan. Jaringan lunak pembungkus tulang akan mulai mengalami pembusukan dan menghilang pada sekitar 4 minggu setelah kematian. Pada masa ini tulang masih menunjukkan kesan ligamentum yang masih melekat disertai bau busuk. Setelah 3 bulan, tulang kelihatan berwarna kuning. Setelah 6 bulan, tulang tidak lagi mempunyai kesan ligamen dan berwarna kuning keputihan, serta tidak lagi mempunyai bau busuk.(22) Dengan demikian, tulang/ kerangka merupakan salah satu organ tubuh yang cukup baik untuk identifikasi manusia karena selain cukup lama mengalami pembusukan, tulang juga mempunyai karakteristik yang sangat menonjol untuk identifikasi.(22)(24)

Upaya identifikasi pada tulang/ kerangka bertujuan untuk membuktikan bahwa tulang tersebut adalah: 1. Apakah tulang manusia atau hewan; 2. Apakah tulang berasal dari satu individu; 3. Berapakah usianya; 4. Berapakah umur tulang itu


(39)

sendiri; 5. Jenis kelamin; 6. Tinggi badan; 7. Ras; 8. Berapa lama kematian; 9. Adakah ruda paksa/ deformitas tulang; 10. Sebab kematian.(5)(18)(19)(24)

Ada begitu banyak hal yang dapat diungkap dari pemeriksaan terhadap tulang/ kerangka, dan kenyataannya bahwa tinggi badan memiliki peranan penting dalam sebuah proses identifikasi. Pengetahuan identifikasi terhadap tulang sangat berperan tidak hanya pada saat organ tubuh hanya tinggal tulang-belulang saja, tetapi banyak hal yang dapat diungkap dari tulang/ kerangka tersebut pada saat masih dibaluti oleh jaringan otot, tendon dan kulit. Diantara hal yang dapat diungkapkan pada saat tulang terbalut jaringan lunak, adalah pengukuran panjang dari tulang-tulang panjang untuk mengukur tinggi badan, perkiraan usia korban juga dapat dilakukan dengan melihat gambaran garis epifise. Hal tersebut tentunya dapat dilakukan dengan mengukur tulang secara langsung pada organ tersebut ataupun dengan mengukur panjangnya organ dan melihat garis epifise melalui pemeriksaan radiologist(15)(21)(25)(26) (Gambar 1.12 dan Gambar 1.13).(26)

Gambar 1.12: (26) Gambaran Radiologis Processus Olecranii ulnae di daerah siku


(40)

Identifikasi tulang belulang atau bagian potongan tulang maupun bagian tulang belulang yang masih dibaluti sebagian atau seluruh jaringan kulit yang diakibatkan oleh kasus mutilasi, gigitan binatang buas, maupun akibat lainnya sebaiknya tidak menggunakan satu prosedur pemeriksaan identifikasi, sangat disarankan agar semaksimal mungkin menggunakan berbagai metode identifikasi yang ada sehingga kesimpulan yang diperoleh dapat maksimal. Dalam penentuan tinggi badan juga sebaiknya demikian agar hasil maksimal maka disarankan untuk menggunakan seluruh bagian sisa jaringan yang ada dan menggunakan berbagai metode/ formula pengukuran yang ada.(25)(27)

Gambar 1.13:

Gambaran posisi titik Processus Olecranii ulna lengan kanan bawah pada saat posisi di fleksikan.


(41)

2.8. PERKIRAAN TINGGI BADAN

Disebutkan bahwa tubuh manusia dibangun berdasarkan susunan struktur tulang/ kerangka tubuh manusia.(16)(28) Berdasarkan hal tersebut, maka diyakini bahwa tinggi badan tubuh manusia diyakini erat hubungannya dengan ukuran dari panjang tulang-tulang tersebut. Disebutkan bahwa ukuran panjang tulang-tulang panjang memiliki hubungan yang signifikan dalam memperkirakan tinggi badan manusia.

Sering sekali autopsi yang dilakukan oleh ahli forensik tidak dilakukan terhadap tubuh yang masih utuh, tetapi sudah dalahm keadaan rusak atau terpotong-potong.(29) Dalam autopsi yang dilakukan terhadap tubuh-tubuh yang tidak lagi sempurna/ utuh, teori ataupun rumus yang menyatakan tentang hubungan panjang tulang-tulang tertentu dengan tinggi badan merupakan acuan yang tidak lagi dapat dipungkiri.(28)(30)(31)(32)

Tulang-tulang panjang yang terdapat dalam tulang/ kerangka tubuh manusia meliputi humerus, radius, ulna, femur, tibia dan fibula.(12)(26)(32) Ruas lengan dibangun atas tulang-tulang panjang seperti humerus pada ruas lengan atas dan radius dan ulna pada ruas lengan bawah (Gambar 1.14).(31)(32)(33)

Dalam memperkirakan tinggi badan seseorang, maka harus diperhatikan bahwa pembentukan tinggi badan seseorang yang memang sudah dimulai sejak masih dalam kandungan (intra uterin), dan pertumbuhan tinggi badan tersebut akan terus bertambah ukurannya hingga usia sekitar 20-21 tahun. Setelah usia tersebut tidaklah terlalu signifikan pertumbuhan tinggi badan dan akan berkurang seiring dengan pertambahan usia.(5)(16)(34)


(42)

Selain yang disebutkan diatas, perlu diperhatikan pula tentang tinggi badan yang masih akan mengalami perpanjangan pada beberapa hal, seperti: bahwa pertumbuhan maksimum akan terjadi pada usia 21-25 tahun usia seseorang, dapat terjadi pertambahan tinggi badan pada tiap pagi hari, pada posisi berbaring dapat terjadi pertambahan tinggi badan 1-3 cm, dan pada jenazah akan terjadi pertambahan panjang badan selama fase relaksasi primer (sepanjang 1,5 cm pada pria dan 2 cm pada wanita).(5)(16)

Disisi lain pula ternyata tinggi badan dapat mengalami penurunan/ pengurangan dalam hal: pertambahan usia setelah 25 tahun akan mengakibatkan terjadinya pengurangan tinggi badan sebanyak sekitar 1 mm pertahun, pada saat sore dan malam hari terjadi pengurangan tinggi badan sekitar 1,5 cm dibandingkan dengan pada saat pagi hari, ini disebabkan terjadinya penurunan elastisitas dan peningkatan kekuatan otot tulang punggung belakang pada waktu sore/ malam hari, pada posisi berdiri tinggi badan mengalami pengurangan dibandingkan pada posisi telentang/ berbaring, pada tubuh mayat, dapat terjadi pengurangan panjang badan selama terjadinya kaku mayat (rigor mortis).(5)(16)

Pada keadaan tubuh yang tidak lagi utuh, dapat diperkirakan tinggi badan seseorang secara kasar, yaitu dengan:(2)(5)

a. Mengukur jarak kedua ujung jari tengah kiri dan kanan pada saat direntangkan secara maksimum, akan sama dengan ukuran tinggi badan,


(43)

b. Mengukur panjang dari puncak kepala (Vertex) sampai symphisis pubis dikali 2, ataupun ukuran panjang dari symphisis pubis sampai ke salah satu tumit, dengan posisi pinggang dan kaki diregang serta tumit dijinjitkan,

c. Mengukur panjang salah satu lengan (diukur dari salah satu ujung jari tengah sampai ke acromion di klavicula pada sisi yang sama) dikali dua (cm), lalu ditambah lagi 34 cm (terdiri dari 30 cm panjang 2 buah klavicula dan 4 cm lebar dari manubrium sterni/ sternum),

d. Mengukur panjang dari lekuk diatas sternum (sternal notch) sampai symphisis pubis lalu dikali 3,3,

e. Mengukur panjang ujung jari tengah sampai ujung olecranon pada satu sisi yang sama, lalu dikali 3,7,

f. Panjang femur dikali 4, g. Panjang humerus dikali 6.

Bila pengukuran dilakukan pada tulang-tulang saja, maka dilakukan penambahan 2,5 sampai 4 cm untuk mengganti jarak sambungan dari sendi-sendi. Ketika sendi-sendi tidak lagi didapat, maka perhitungan tinggi badan dapat dilakukan dengan mengukur tulang-tulang panjang dengan menggunakan beberapa formula yang ada.(2)(16)(33)(35) Ketebalan bagian tulang rawan yang hilang rata-rata (Martin-Saller, 1957)(8) adalah (Tabel 2.1)(8)


(44)

Tabel 2.1: Perkiraan rata-rata kehilangan tulang rawan(8)

Tulang Ujung atas Ujung bawah Total Maka harus

ditambah Femur

Humerus Tibia Radius

2,0 mm 1,5 mm 3,0 mm 1,5 mm

2,5 mm 1,3 mm 1,5 mm 1,0 mm

4,5 mm 2,8 mm 4,5 mm 2,5 mm

7,1 mm 4,1 mm 6,2 mm 3,2 mm

(33)

Gambar 1.14 :

Struktur ruas lengan kanan; dibangun atas lengan atas dan lengan bawah.


(45)

Bila yang diukur adalah tulang yang dalam keadaan kering, maka umumnya telah terjadi pemendekan sepanjang 2 millimeter (mm) dibanding dengan tulang yang segar, yang tentunya hal tersebut harus diperhatikan dalam melakukan penghitungan tinggi badan.(1) Secara spesifik Glinka menyebutkan bahwa bila ingin merekonstruksi tinggi badan manusia ketika hidup, namun rekonstruksi dilakukan dari tulang-tulang saja maka karena tulang menjadi kering harus diperhitungkan penyusutan yang terjadi untuk tiap-tiap tulang. Pada beberapa tulang disebutkan penyusutan untuk masing-masing tulang femur sebesar 2,3-2,6 mm, humerus sebesar 1,3 mm, tibia sebesar 1,7 dan radius sebesar 0,7 mm.(8) Dalam mencari tinggi badan sebenarnya, perlu diketahui pula bahwa rata-rata tinggi badan laki-laki lebih besar dari perempuan, maka perlu ada rumus yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Apabila tidak dibedakan, maka perhitungan ratio laki-laki:perempuan adalah 100:90.(1)(2)(18)

Secara sederhana pula, Topmaid dan Rollet membuat formula perkiraan tinggi badan yang kemudian dipopulerkan oleh Ewing pada tahun 1923. formula tersebut hanya memperkirakan apakah seseorang tersebut tinggi, sedang atau pendek, dan tidak memberi ukuran ketinggian yang begitu tepat. Dalam formula ini disebutkan bahwa panjang tulang humerus, femur, tibia dan tulang belakang masing-masing adalah 20%, 22%, 27% dan 35% daripada ketinggian individu si empunya tulang tersebut.(22)

Dibawah ini akan ditampilkan beberapa formula yang ada tentang perhitungan perkiraan tinggi badan oleh beberapa ahli.


(46)

A. Formula Karl Pearson(5)(8)(18)(22)

Formula ini telah dipakai luas diseluruh dunia sejak lama (tahun 1899). Formula ini membedakan formula untuk laki-laki dan perempuan untuk subjek penelitian kelompok orang-orang eropah (European) dengan melakukan pengukuran pada tulang-tulang panjang yang kering (Tabel 2.2).(8)

Tabel 2.2: Formula Karl Pearson Untuk laki-laki dan Perempuan Laki– laki :

1. Tinggi badan = 81.306 + 1.88 x F1 2. Tinggi badan = 70.641 + 2.894 x HI 3. Tinggi badan = 78.664 + 2.376 x TI 4. Tinggi badan = 85.925 + 3.271 x RI

5. Tinggi badan = 71.272 + 1.159 x (F1 + T1) 6. Tinggi badan = 71.443 + 1.22 x (F1 + 1.08 x TI) 7. Tinggi badan = 66.855 + 1.73 x (H1 + R1)

8. Tinggi badan = 69.788 + 2.769 x (H1 + 0.195 x R1) 9. Tinggi badan = 68.397 + 1.03 x F1 + 1.557 x HI

10.Tinggi badan = 67.049 + 0.913 x F1 + 0.6 x T1 + 1.225 x HI – 0.187 x RI Perempuan :

1. Tinggi badan = 72.844 + 1.945 x F1 2. Tinggi badan = 71.475 + 2.754 x H1 3. Tinggi badan = 74.774 + 2.352 x TI


(47)

4. Tinggi badan = 81.224 + 3.343 x R1 5. Tinggi badan = 69.154 + 1.126 x (F1+T1)

6. Tinggi badan = 69.154 + 1.126 x (F1 + 1.125 x T1) 7. Tinggi badan = 69.911 + 1.628 x (H1+R1)

8. Tinggi badan = 70.542 + 2.582 x (H1 + 0.281 x RI) 9. Tinggi badan = 67.435 + 1.339 x F1 + 1.027 x H1

10.Tinggi badan = 67.469 + 0.782 x F1 + 1.12 x T1 + 1.059 x H1 – 0.711 x R1 Nota : F1 - panjang maksimal tulang paha (femur)

H1 - panjang maksimal tulang lengan atas (humerus) R1 - panjang maksimal tulang pengumpil (radius) T1 - panjang maksimal tulang kering (tibia)

B. Formula Trotter-Glesser (1952)(2)(5)(9)(18)

Formula ini memakai subjek penelitian orang-orang Amerika kulit hitam (negro) dan kulit putih yang berusia antara 28-30 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Pertama sekali diteliti pada tahun 1952 oleh Trotter dan kemudian disempurnakan oleh Krogman dan Iscan pada tahun 1977 (Tabel 2.3)(18)

Tabel 2.3: Formula Trotter-Glesser (1952)

Male Whites Male Negroes

Stature = 63.05 + 1.31 ( femur + Fibula) ± 3.63 cm

Stature = 67.77 + 1.20 (femur + fibula) ± 3.63 cm

Stature = 67.09 + 1.26 ( femur + tibia) ± 3.74 cm

Stature = 71.75 + 1.15 ( femur + tibia) ± 3.68 cm


(48)

Stature = 75.50 + 2.60 fibula ± 3.86 cm

Stature = 72.22 + 2.10 femur ± 3.91 cm

Stature = 65.53 + 2.32 femur ± 3.94 cm

Stature = 85.36 + 2.19 tibia ± 3.96 cm

Stature = 81.93 + 2.42 tibia ± 4.00 cm

Stature = 80.07 + 2.34 fibula ± 4.02 cm

Stature = 67.97 + 1.82 (humerus + raditis) ± 4.31 cm

Stature = 73.08 + 1.66 (humerus + raditis) ± 4.18 cm

Stature = 66.98 + (humerus + ulna) ± 4.37 cm

Stature = 70.67 + 1.65 (humerus + ulna) ± 4.23 cm

Stature = 78.10 + 2.89 humerus ± 4.57

Stature = 75.48 + 2.88 humerus ± 4.23 cm

Stature = 79.42 + 3.79 radius ± 4.66 Stature = 85.43 + 3.32 radius ± 4.57 cm

Stature = 75.55 + 3.76 ulna ± 4.72 Stature = 82.77 + 3.20 ulna ± 4.74 cm

Male Whites Male Negroes

Stature = 50.12 + 0.68 humerus + 1.17 femur + 1.15 tibia ± 3.51 cm

Stature = 56.33 + 0.44 humerus – 0.20 radius + 1.46 femur + 0.86 tibia ± 3.22 cm

Stature = 53.20 + 1.39 ( femur + tibia) ± 3.55 cm

Stature = 58.54 + 1.53 femur + 0.96 tibia ± 3.23 cm

Stature = 53.07 + 1.48 femur + 1.28 tibia ± 3.55cm

Stature = 59.72 + 1.26 (femur + tibia ) ± 3.28 cm

Stature = 59.61 + 2.93 fibula ± 3.57 cm

Stature = 59.76 + 2.28 femur ± 3.41 cm

Stature = 61.53 + 2.90 tibia ± 3.66 cm

Stature = 62.80 + 1.08 humerus + 1.79 tibia ± 3.58 cm


(49)

Stature = 52.77 + 1.35 humereus + 1.95 tibia ± 3.67cm

Stature = 72.65 + 2.45 tibia ± 3.70 cm

Stature = 54.10 + 2.47 femur ± 3.72 cm

Stature = 70.90 + 2.49 fibula ± 3.80 cm

Stature = 54.93 + 4.74 radius ± 4.24 cm

Stature = 64.67 + 3.08 humerus ± 4.25 cm

Stature = 57.76 + 4.27 ulna ± 4.20 cm

Stature = 75.38 + 3.31 ulna ± 4.83 cm

Stature = 57.97 + 3.36 humerus ± 4.45 cm

Stature = 94.51 + 2.75 radius ± 5.05cm

C. Formula Trotter-Glesser (1958)(2)(8)

Formula yang dipopulerkan dalam buku Martin-Knussmann (1988) ini memakai subjek penelitian kelompok laki-laki ras mongoloid. (Tabel 2.4)(8)

Tabel 2.4: Formula Trotter-Glesser (1958). TB = 2.68 X (H1) + 83.2 ± 4.3

TB = 3.54 X (R1) + 82.0 ± 4.6 TB = 3.48 X (U1) + 77.5 ± 4.8 TB = 2.15 X (F1) + 72.6 ± 3.9 TB = 2.39 X (T1) + 81.5 ± 3.3 TB = 2.40 X (Fi1) + 80.6 ± 3.2 TB = 1.67 X (H1 + R1) + 74.8 ± 4.2 TB = 1.68 X (H1 + U1) + 71.2 ± 4.1 TB = 1.22 X (F1 + T1) + 70.4 ± 3.2 TB = 1.22 X (F1 + Fi1) + 70.2 ± 3.2


(50)

Nota : Angka dengan tanda ± adalah nilai Standard Error, yang dapat dikurangi atau ditambah pada nlai yang diterima dari kalkulasi. Makin kecil SE, makin tepat taksiran menurut rumus regresi.

D. Formula Modifikasi Trotter-Glesser.(18)

Merupakan formula Trotter-Glesser tahun 1952 yang dimodifikasi pada tahun 1977 oleh Krogman dan Iscan (Tabel 2.5).

Tabel 2.5: Formula Modifikasi Trotter-Glesser

WHITE MALES BLACK MALES

SE SE

3.08 Hum + 70.45 4.05 3.26 Hum + 62.10 4.43

3.78 Rad + 79.01 4.32 3.42 Rad + 81.56 4.30

3.70 Ulna + 74.05 4.32 3.26 Ulna + 79.29 4.42

2.38 Fem + 61.41 3.27 2.11 Fem + 70.35 3.94

2.52 Tib + 78.62 3.37 2.19 Tib + 86.02 3.78

2.68 Fib + 71.78 3.29 2.19 Fib + 85.65 4.08

1.30 (Fem + Tib ) + 63.29 2.99 1.15 (Fem + Tib ) + 71.04 3.53

1.42 Fem + 1.24 Tib + 59.88 2.00 0.66 Fem + 1.62 Tib + 76.13 3.49

0.93 Hum + 1.94 Tib + 69.30 3.26 0.90 Hum + 1.78 Tib + 71.29 3.49

0.27 Hum + 1.32 Fem + 1.16 Tib + 58.57

2.99 0.89 Hum + 1.01 Rad + 0.38 Fem

+ 1.92 Tib + 74.56 3.38


(51)

WHITE MALES BLACK MALES

SE SE

3.36 Hum + 57.97 4.45 3.08 Hum + 64.67 4.25

4.74 Rad + 54.93 4.24 3.67 Rad + 71.79 4.59

4.27 Ulna + 57.76 4.30 3.31 Ulna + 75.38 4.83

2.47 Fem + 54.10 3.72 2.28 Fem + 59.76 3.41

2.90 Tib + 61.53 3.66 2.45 Tib + 72.65 3.70

2.93 Fib + 59.61 3.57 2.49 Fib + 70.90 3.80

1.39 (Fem + Tib ) + 53.20 3.55 1.26 (Fem + Tib ) + 59.72 3.28

1.48 Fem + 1.28 Tib + 53.07 3.55 1.53 Fem + 0.96 Tib + 58.54 3.23

1.35 Hum + 1.95 Tib + 52.77 3.67 1.08 Hum + 1.79 Tib 3.58

0.68 Hum + 1.17 Fem + 1.15 Tib

+ 50.122

3.51 0.44 Hum + 0.20 Rad + 1.46

Fem + 0.86 Tib + 56.33

3.22

E. Formula Dupertuis dan Hadden(9)(18)

Merupakan formula yang didasarkan atas penelitian terhadap tulang-tulang panjang pada orang Amerika.(Tabel 2.6).(18)

Tabel 2.6: Formula Dupertuis dan Hadden.

Men Cm Women Cm

2.238 (Femur) + 69.089 2.317 (Femur) + 61.412

2.392 ( Tibia) + 81.688 2.533 ( Tibia) + 72.572

2.970 ( Humerus ) + 73.570 3.144 ( Humerus ) + 64.977


(52)

1.225 ( Femur + Tibia ) + 69.294 1.233 ( Femur + Tibia ) + 65.213 1.728 ( Humerus + Radius ) + 71.429 1.984 ( Humerus + Radius ) + 55.729 1.422 ( Femur ) + 1.062 (

Tibia )

+ 66.544 1.657 ( Femur ) + 0.879 ( Tibia )

+ 59.259

1.789 ( Humerus ) + 1.841 ( Radius )

+ 66.400 2.164 ( Humerus ) + 1.525 ( Radius )

+ 60.344

1.928 ( Femur ) 0.568 ( Humerus )

+ 64.505 2.009 ( Femur ) 0.566 ( Humerus )

+ 57.600

1.442 (Femur) + 0.931 ( Tibia ) +

1.544 (Femur) + 0.764 ( Tibia ) +

0.083 (Humerus ) + 0.480 (Radius)

+ 56.006 0.126 (Humerus ) + 0.295 (Radius)

+ 57.495

F. Formula Telkka(18)

Merupakan formula yang didasarkan dari pemeriksaan terhadap orang-orang Finisia (Finnish) (Tabel 2.7)

Tabel 2.7: Formula Telkka

MEN SE WOMEN SE 169.4 + 2.8 ( Humerus – 32.9 ) 5.0 156.8 + 2.7 ( Humerus – 30.7 ) 3.9

169.4 + 3.4 ( Radius – 22.7 ) 5.0 156.8 + 3.1 ( Radius – 20.8 ) 4.5 169.4 + 3.2 ( Ulna – 23.1 ) 5.2 156.8 + 3.3 ( Ulna – 21.3 ) 4.4 169.4 + 2.1 ( Femur – 45.5 ) 4.9 156.8 + 1.8 ( Femur – 41.8 ) 4.0 169.4 + 2.1 ( Tibia – 36.6) 4.6 156.8 + 1.9 ( Tibia – 33.1) 4.6 169.4 + 2.5 ( Fibula – 36.1) 4.4 156.8 + 2.3 ( Fibula – 32.7) 4.5


(53)

G. Formula Parikh(22)

Formula ini didasarkan atas pemeriksaan terhadap tulang-tulang kering. Tabel 2.8: Formula Parikh

Laki-laki Perempuan

TB (Cm) = Humerus x 5.31 TB (Cm) = Humerus x 5.31

TB (Cm) = Radius x 6.78 TB (Cm) = Radius x 6.70

TB (Cm) = Ulna x 6.00 TB (Cm) = Ulna x 6.00

TB (Cm) = Femur x 3.82 TB (Cm) = Femur x 3.80

TB (Cm) = Tibia x 4.49 TB (Cm) = Tibia x 4.46

TB (Cm) = Fibula x 4.46 TB (Cm) = Fibula x 4.43

H. Formula Mohd. Som dan Syed Abdul Rahman.(22)

Formula hasil kajian Mohd. Som (Tahun 1990) dan Syed Abdul Rahman (Tahun 1991) di Malaysia ini didasarkan atas penelitian terhadap jenis kelamin laki-laki dari 3 suku bangsa terbesar di Malaysia (Tabel 2.9).

Tabel 2.9: Formula Mohd. Som dan Syed Abdul Rahman.

Lelaki Melayu Lelaki Cina

y = 2.44 H + 101.6 y = 2.48 H + 101.9

y = 1.96 R + 117.9 y = 3.05 R + 91.8

y = 1.86 U + 119.1 y = 1.49 U + 130.0

y = 1.30 T + 122.5 y = 1.95 T + 97.7

y = 0.93 F + 133.0 y = 1.35 F + 117.5


(54)

Lelaki India Pengertian:

y = 3.71 H + 69.3 Y = Anggaran ketinggian (cm)

y = 5.32 R + 35.5 H = Panjang humerus (cm)

y = 6.86 U + (-7.4) R = Panjang radius (cm)

y = 2.72 T + 70.2 U = Panjang ulna (cm)

y = 2.59 F + 71.3 T = Panjang tibia (cm)

y = 2.15Fi + 92.4 F = Panjang femur (cm)

I. Formula Antropologi Ragawi UGM.(1)(2)

Merupakan formula perkiraan tinggi badan untuk jenis kelamin pria orang dewasa suku Jawa (Tabel 2.10).

Tabel 2.10: Formula Antropologi Ragawi UGM

Tinggi badan = 897 + 1.74 y (femur kanan ) Tinggi badan = 822 + 1.90 y (femur kiri ) Tinggi badan = 879 + 2.12 y (tibia kanan ) Tinggi badan = 847 + 2.22 y (tibia kiri ) Tinggi badan = 867 + 2.19 y (fibula kanan ) Tinggi badan = 883 + 2.14 y (fibula kiri ) Tinggi badan = 847 + 2.60 y (humerus kanan) Tinggi badan = 805 + 2.74 y (humerus kiri ) Tinggi badan = 842 + 3.45 y (radius kanan ) Tinggi badan = 862 + 3.40 y (radius kiri ) Tinggi badan = 819 + 3.15 y (ulna kanan) Tinggi badan = 847 + 3.06 y (ulna kiri )


(55)

J. Formula Djaja Surya Atmadja(1)

Merupakan formula yang dilakukan oleh Jaya terhadap orang dewasa yang

hidup, panjang tulang-tulang panjang diukur dari luar tubuh, berikut kulit di luarnya (Tabel 2.11).

Tabel 2.11: Formula Djaja Surya Atmadja

Pria : TB = 72,9912 + 1,7227 (tib) + 0,7545 (fib) (± 4,2961 cm ) TB = 75,9800 + 2,3922 (tib) (± 4,3572 cm )

TB = 80,8078 + 2,2788 (fib) (± 4,6186 cm )

Wanita : TB = 71,2817 + 1,3346 (tib) + 1,0459 (fib) (± 4,8684 cm ) TB = 77,4717 + 2,1889 (tib) (± 4,9526 cm )

TB = 76,2772 + 2,2522 (fib) (± 5,0226 cm )

K. Formula Amri Amir(36)

Formula yang dibuat oleh Prof.dr.Amri Amir pada tahun 1989 ini dibuat berdasarkan pemeriksaan terhadap orang hidup pada laki-laki dan perempuan dewasa muda (Tabel 2.12 – 2.15).

Tabel 2.12: Formula Amri Amir

Rumus regresi hubungan tinggi badan dengan tulang panjang pada laki-laki dengan nilai R2 untuk masing-masing tulang :


(56)

No T u l a n g Rumus Regresi r2

1 Humerus 1.34 x H + 123.43 0.22

2 Radius 3.13 x Ra + 87.91 0.45

3 Ulna 2.88 x U + 91.27 0.43

4 Femur 1.42 x Fe + 109.28 0.30

5 Tibia 1.12 x T + 124.88 0.23

6 Fibula 1.35 x Fi + 117.20 9.29

Tabel 2.13: Formula Amri Amir

Rumus regresi hubungan tinggi badan dengan ukuran beberapa bagian tubuh pada laki-laki dengan nilai R2 untuk masing-masing tulang :

No Bagian Tubuh Rumus Regresi r2

1 Rentang tangan 0.64 x RT + 56.98 0.62

2 Lengan 0.99 x L + 89.01 0.46

3 Lengan bawah 1.81 x LB + 83.65 0.52

4 Symphisis kaki 1.09 x SK + 71.59 0.62

5 Dagu vertex 2.47 x DV + 104.53 0.14

6 clavicula 2.27 x C + 130.30 0.14

Keterangan : Panjang lengan bawah diukur jarak antara olecranon sampai ke ujung jari tangan tengah.


(57)

Tabel 2.14: Formula Amri Amir

Rumus regresi hubungan tinggi badan dengan tulang panjang pada wanita dengan nilai R2 untuk masing-masing tulang:

No T u l a n g Rumus Regresi r2

1 Humerus 1.46 x H + 111.33 0.32

2 Radius 1.50 x Ra + 119.58 0.30

3 Ulna 2.85 x U + 86.75 0.46

4 Femur 0.79 x Fe + 124.67 0.17

5 Tibia 1.33 x T + 110.70 0.26

6 Fibula 1.71 x Fi + 99.20 0.36

Tabel 2.15: Formula Amri Amir

Rumus regresi hubungan tinggi badan dengan ukuran beberapa bagian tubuh pada wanita dengan nilai R2 untuk masing-masing tulang:

No Bagian Tubuh Rumus Regresi r2

1 Rentang tangan 0.64 x RT + 53.64 0.69

2 Lengan 0.87 x L + 92.65 0.39

3 Lengan bawah 1.83 x LB + 78.36 0.44

4 Symphisis kaki 0.98 x SK + 76.92 0.56

5 Dagu vertex 0.49 x DV + 143.30 0.02


(58)

L. Formula India(36)

Faktor perkalian untuk menentukan tinggi badan pada orang dibeberapa negara bagian India oleh beberapa peneliti India (Tabel 2.16).(5)(36)

Tabel 2.16. Formula Perkalian Penentuan Tinggi Badan di India Multiplication factors to get the stature For Bengal, bihar and

Orissa, Pan ( 1924)

For U.P Nat (1931

For Punjabi Siddiqui & Shah (1944) Bones

Male Female Male Male

Femur 3.82 3.8 3.7 3.6

Tibia 4.49 4.46 4.48 4.2

Fibula 4.46 4.43 4.48 4.4

Humerus 5.31 5.31 5.3 5.0

Radius 6.78 6.7 6.9 6.3

Ulna 6.0 6.0 6.3 6.0

2.9.KERANGKA KONSEPSIONAL

Panjang Lengan Bawah

Kiri Kanan

Formula Regresi

Tinggi Badan

Identifikasi

- Umur - Pekerjaan - Jenis Kelamin - Kidal


(59)

Pada gambar 2.1 tersebut diatas dapat kita lihat sebuah tabel kerangka konseptual yang menunjukkan lembaran permasalahan penentuan tinggi badan berdasarkan panjang lengan bawah kanan dan kiri berdasarkan formula regresi yang akan diperoleh sehingga dalam sebuah proses identifikasi dapat dicari ataupun diperkirakan tinggi badan seseorang. Bagaimana hubungan pengaruh antara umur, pekerjaan, jenis kelamin, suku dan penggunaan tangan kiri / kidal terhadap penentuan tinggi badan dan proses identifikasi akan coba dilihat dalam penelitian ini.


(60)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.13. RANCANGAN PENELITIAN

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional (sekat lintang)(36)(37)(38) yang bertujuan untuk memperoleh formula/ rumus yang menunjukkan hubungan antara panjang ruas lengan bawah dengan tinggi badan, yaitu dengan melakukan pengukuran panjang ruas lengan bawah kanan dan kiri dan tinggi badan terhadap 348 sampel yang diperiksa untuk kemudian data tersebut dimasukkan ke dalam metode penelitian dengan menggunakan uji statistik Pearson Correlation.

3.14. TEMPAT dan LAMA PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Bagian Kedokteran Forensik FK USU/ RSUP.H.Adam Malik/ RSU.dr.Pirngadi Medan dan Lembaga Pemasyarakatan Klas I dan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA, Tanjung Gusta Medan, yang dilakukan selama 9 minggu yang dimulai sejak Februari 2009 sampai April 2009 yang meliputi studi kepustakaan, pengumpulan data, pengumpulan sampel penelitian dan penulisan.

3.15. POPULASI PENELITIAN


(61)

RSU.dr.Pirngadi Medan serta para penghuni di LP Klas I dan LP Wanita Klas IIA Tg.Gusta Medan.

3.16. SAMPEL dan CARA PEMILIHAN SAMPEL

Sampel adalah orang–orang (laki-laki dan perempuan) yang berusia 21 tahun keatas) yang memenuhi kriteria untuk dilakukan penelitian, yang terdapat dalam populasi penelitian dan dipilih secara acak (random).

3.17. BESAR SAMPEL

Besar sample ditentukan melalui rumus: (37)(38)(39)(40) (Z1-α/2 + Z1-β )2

n = --- + 3 0,5 ln [(1+r)(1-r)]

n = besar sampel minimum

Z1-α/2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α 5%=1,96 Z1-β = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada β 10%=1,282 r = perkiraan koefisien korelasi (0,2)

Hasil perhitungan diperoleh n =261

Dalam Penelitian ini peneliti mencari sampel (n) sebanyak mungkin hingga sebesar 348 sampel.


(62)

3.18. KRITERIA PENELITIAN Kriteria Inklusi

Kriteria penerimaan (faktor inklusi) didasarkan pada seseorang (laki-laki dan perempuan), berusia sama dengan atau diatas 21 tahun, tidak pernah mengalami patah tulang-tulang (seperti kaki, tangan, maupun tulang punggung), tidak memiliki cacat fisik kelainan tulang bawaan sejak lahir, serta tidak memiliki penyakit yang berhubungan dengan tulang seperti polio.

Kriteria Eksklusi

Sedangkan kriteria penolakan (faktor eksklusi) didasarkan pada orang-orang yang memiliki ukuran tinggi badan yang tidak normal, seperti “manusia kerdil/ cebol”, orang-orang yang tidak bisa berdiri sempurna baik oleh karena faktor umur (para lansia), karena penyakit atau faktor lainnya, serta orang-orang yang menggunakan penutup kepala yang tidak mungkin dibuka di depan umum seperti jilbab dan sorban.

3.19. IJIN SUBJEK PENELITIAN

Semua pengukuran yang dilakukan telah mendapat ijin dari subjek penelitian setelah terlebih dahulu mendapat penjelasan tentang maksud, tujuan, cara, manfaat dan resiko dari penelitian yang dilakukan sesuai dengan Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian (Terlampir), selanjutnya persetujuan/ ijin dari subjek (Informed consent) dilakukan pada Lembar Persetujuan Subjek Penelitian (Terlampir).


(63)

3.20. ETIKA PENELITIAN

Penelitian yang dilaksanakan telah mendapat persetujuan komisi etik Health Research Ethical Committee of North Sumatera c/o Medical School, Universitas Sumatera Utara Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan, Nomor: 51/ KOMET/ FK USU/ 2009. (Terlampir)

3.21. INSTRUMEN PENELITIAN

Adalah alat-alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data yang terdiri dari:

1. Lembar Data Hasil Pengukuran Subjek Penelitian (Terlampir).

2. Tinggi badan diukur dengan alat: Digital Laser Rangefinder DLE Professional bermerk BOSCH dengan spesifikasi Dioda laser = 635 µm,<1 mW, tingkatan laser = 2, jarak pengukuran = 0,05 sampai 50 meter, waktu pengukuran < 0,5 detik, Baterai 4x 1,5V LR03 (AAA) dan berat (termasuk baterai) = 0,18 kg.

3. Panjang ruas lengan bawah kanan dan kiri diukur dengan: Caliper (Kaliper geser) yang merupakan garis ukur terbuat dari logam stainless stell hardener sepanjang 30 cm.

4. Berat badan diukur dengan: Timbangan skala manual merk MIYAKO seri 2207012543, tipe WS-890 VN, ukuran skala berat sampai dengan 130 kilogram.


(64)

3.22. CARA KERJA PENELITIAN

1. Pengumpulan data subjek penelitian dilakukan meliputi: nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, dan penggunaan tangan kidal/ kiri (left handed).

2. Pemeriksaan terhadap kondisi tubuh untuk kelayakan pengukuran yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3. Pengukuran terhadap tinggi badan, panjang lengan kanan, panjang lengan kiri dan berat badan dengan menggunakan alat penelitian.

4. Menentukan rumus regresi tentang hubungan antara tinggi badan dengan panjang lengan bawah.

3.23. BATASAN OPERASIONAL

1. Pengukuran dilakukan dengan mengukur hubungan antara titik-titik anatomis tubuh manusia.

2. Tinggi badan diukur mulai dari puncak kepala (vertex) sampai ke tumit (heel) pada saat tubuh dalam posisi badan berdiri tegak lurus sempurna dan kepala berada dalam posisi Dataran Frankfurt.

3. Masing-masing panjang lengan bawah kanan dan kiri diukur mulai dari siku (Processus Olecrani ulna) sampai ke pergelangan tangan sebelah dalam (Processus Styloideus ulna) pada saat lengan dalam posisi fleksi maksimum di daerah siku.


(65)

4. Umur adalah kelompok umur 21 sampai 30 tahun, 31 sampai 40 tahun, 41 sampai 50 tahun, 51 sampai 60 tahun dan diatas 60 tahun.

5. Pengguna tangan kidal (Left Handed) adalah orang dengan kebiasaan dominan menggunakan tangan kiri dibandingkan tangan kanan dalam kesehariannya.

6. Jenis kelamin adalah pembedaan keadaan antara perempuan dan laki-laki.

3.24. PENGOLAHAN dan ANALISA DATA

Hasil pengamatan akan disajikan dalam data deskriptif dengan menguraikan persentase data hasil pengukuran serta rumus regresi hubungan antara tinggi badan dengan panjang lengan bawah secara umum, berdasarkan panjang lengan kanan dan kiri serta berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang kemudian data ini ditampilkan dalam bentuk tabel. (36)(37)(38)


(66)

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL PENELITIAN

Penelitian penentuan tinggi badan berdasarkan panjang lengan bawah ini dilakukan terhadap 348 orang (163 orang laki-laki dan 185 orang perempuan) dalam periode bulan Februari 2009 sampai dengan bulan April 2009, dan di susun dalam tabel induk (lihat lampiran) dengan kolom isian: nomor urut, nama, umur (dalam tahun), suku, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan, penggunaan tangan kidal, berat badan (dalam kilogram), tinggi badan (dalam centimeter), panjang lengan bawah kanan (dalam centimeter), serta panjang lengan bawah kiri (dalam centimeter). Berikut ini dipaparkan perincian tabel dan data deskriptifnya.

Tabel 3.1 Sebaran Responden Secara Umum

Jenis Pengukuran Hasil

Mean usia 34,4 tahun

Median usia 32,0 tahun

Mode usia 24 tahun

Usia minimum 21 tahun

Usia maksimum 67 tahun


(67)

Dari tabel 3.1 didapatkan data bahwa jumlah responden sebanyak 348 orang, dengan usia minimum responden 21 tahun, dan usia maksimum responden 67 tahun, dengan rata-rata usia (mean) 34 tahun.

Tabel 3.2. Sebaran Responden Menurut Kelompok Umur

Umur (Tahun) n %

21-30 156 44,8

31-40 93 26,7

41-50 77 22,1

51-60 16 4,6

60 keatas 6 1,7

Jumlah 348 100

Dari tabel 3.2 didapatkan persentase kelompok umur responden yang terbanyak adalah kelompok umur 21 sampai 30 tahun sebesar 44,8%, kelompok umur 31 sampai 40 tahun sebesar 26,7%, kelompok umur 41 sampai 50 tahun sebesar 22,1%, kelompok umur 51 sampai 60 tahun sebesar 4,6% dan disusul kelompok umur diatas 60 tahun sebesar 1,7%.


(68)

Tabel 3.3 Sebaran Responden Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin n %

Laki-laki 163 46,8

Perempuan 185 53,2

Total 348 100

Dari tabel 3.3 didapatkan bahwa jumlah responden perempuan lebih banyak dari laki-laki dengan perbandingan responden perempuan sebanyak 53,2% dan laki-laki-laki-laki 46,8%.

Tabel 3.4 Sebaran Responden Menurut Suku Bangsa

Suku n %

Aceh 52 14,9

Bali 1 0,3

Batak 123 35,3

Jawa 96 27,6

Manado 1 0,3

Melayu 29 8,3

Nias 3 0,9

Padang 18 5,2

WNI 25 7,2


(69)

Dari tabel 3.4 didapatkan persentase suku bangsa responden dalam 9 kelompok, dimana 3 kelompok suku dengan responden paling banyak yaitu suku Batak dengan responden sebesar 35,3%, suku Jawa sebesar 27,6%, dan suku Aceh sebesar 14,9%. Sedangkan 3 kelompok suku dengan responden paling sedikit yaitu suku Nias sebesar 0,9%, suku Bali dan Manado masing-masing sebesar 0,3%.

Tabel 3.5. Sebaran Responden Menurut Status Perkawinan

Status Perkawinan n %

Belum menikah 110 31,6

Menikah 238 68,4

Total 348 100

Dari tabel 3.5 didapatkan persentase responden yang menikah sebesar 68,4% dengan jumlah 238 responden, lebih besar dari yang tidak menikah yang besarnya 31,6% dengan jumlah 110 responden.

Tabel 3.6 Sebaran Responden Menurut Penggunaan Tangan

Penggunaan Tangan Kidal n %

Tidak 343 98,6

Ya 5 1,4


(70)

Dari tabel 3.6 didapatkan persentase responden penggunaan tangan kanan sebesar 98,6%, lebih besar dari responden penggunaan tangan kiri yang hanya sebesar 1,4%.

Tabel 3.7 Sebaran Responden Menurut Ukuran Berat Badan, Tinggi Badan, Panjang Lengan Kanan dan Kiri

Pengukuran n Minimum Maksimum Mean

Berat badan (kg) 348 34 120 57,05

Tinggi badan (cm) 348 136,5 180 158,99

Lengan kanan (cm) 348 21,6 30,5 25,89

Lengan kiri (cm) 348 21,6 30,5 25,71

Dari tabel 3.7 didapatkan sebaran responden berdasarkan beberapa ukuran antara lain dengan perincian:

a. Berat badan minimum seberat 34 kg, dan maksimum seberat 120 kg. b. Tinggi badan minimum 136,5 cm, dan maksimum 180 cm.

c. Panjang lengan bawah kanan minimum 21,6 cm, dan maksimum 30,5 cm. d. Panjang lengan bawah kiri minimum 21,6 cm, dan maksimum 30,5 cm.

Tabel 3.8. Sebaran Perbandingan Panjang Lengan Bawah Kanan dan Kiri

Pengukuran n %

Panjang lengan kanan sama dengan kiri 176 50,6

Panjang lengan kiri lebih dari panjang lengan kanan 21 6,0 Panjang lengan kanan lebih dari panjang lengan kiri 151 43,4


(71)

Dari tabel 3.8 didapatkan sebaran perbandingan panjang lengan bawah kanan dan kiri yaitu bahwa panjang lengan bawah kanan dan kiri yang sama panjang sebanyak 176 responden, dan yang memiliki lengan bawah kiri lebih panjang sebanyak 21 responden, serta yang memiliki lengan bawah kanan lebih panjang sebanyak 151 responden.

Tabel 3.9 Perbandingan Tinggi Badan laki-laki dan Perempuan

Pengukuran n Mean sd

Tinggi badan laki-laki 163 164.0638 5.91166

Tinggi badan perempuan 185 154.5330 5.90506

Dari Tabel 3.9 didapatkan bahwa tinggi badan laki-laki ternyata rata-rata lebih tinggi dari perempuan, yaitu dari 163 responden laki-laki memiliki tinggi badan rata-rata 164 cm, dan dari 185 responden perempuan memiliki tinggi badan tinggi badan rata-rata 154,5 cm.

Tabel 3.10 Hubungan Panjang Lengan Bawah Kanan dengan Tinggi Badan

Pengukuran Pearson Correlation

(r) n P

Lengan bawah kanan dengan Tinggi Badan


(72)

Dari tabel 3.10 didapatkan adanya hubungan (korelasi) yang signifikan antara tinggi badan dengan panjang lengan bawah kanan pada 348 responden dengan nilai r = 0,852.

Tabel 3.11 Hubungan Panjang Lengan Bawah Kiri dengan Tinggi Badan

Pengukuran

Pearson Correlation (r)

n P

Lengan bawah Kiri dengan Tinggi Badan

0,857 348 0,0001

Dari tabel 3.11 didapatkan adanya hubungan (korelasi) yang signifikan antara tinggi badan dengan panjang lengan bawah kiri pada 348 responden dengan nilai r = 0,857.

Tabel 3.12 Perbandingan Panjang Lengan Bawah Kanan – Kiri Antara Laki-laki dengan Perempuan

Pengukuran n Mean sd

Lengan kanan laki-laki 163 26.8006 1.23004

Lengan kanan perempuan 185 25.0916 1.27812

Lengan kiri laki-laki 163 26.6454 1.23179


(73)

Dari table 3.12 diperoleh sebaran nilai rata-rata panjang lengan bawah kanan pada laki-laki adalah 26,8 cm, pada perempuan 25 cm, sedangkan rata-rata panjang lengan bawah kiri pada laki-lak adalah 26,6 cm dan pada perempuan adalah 24,9 cm.

Tabel 3.13 Hubungan Panjang Lengan Bawah Kanan dan Kiri dengan Tinggi Badan pada Laki-laki

Pengukuran Pearson Correlation

(r) P n

Lengan bawah kanan dengan tinggi badan

0,756 0,0001 163

Lengan bawah kiri dengan tinggi badan

0,770 0,0001 163

Dari tabel 3.13 didapatkan adanya hubungan (korelasi) yang signifikan antara tinggi badan dengan panjang lengan bawah kanan dan kiri pada 163 responden laki-laki dengan nilai r untuk panjang lengan bawah kanan dengan tinggi badan sebesar 0,756 dan nilai r untuk panjang lengan bawah kiri dengan tinggi badan sebesar 0,770.

Tabel 3.14 Hubungan Panjang Lengan Bawah Kanan dan Kiri dengan Tinggi Badan pada Perempuan

Pengukuran Pearson Correlation

(r) P n

Lengan bawah kanan dengan tinggi badan

0,790 0,0001 185

Lengan kiri bawah dengan tinggi badan


(74)

Dari tabel 3.14 didapatkan adanya hubungan (korelasi) yang signifikan antara tinggi badan dengan panjang lengan bawah kanan dan kiri pada 185 responden perempuan dengan nilai koreksi panjang lengan bawah kanan dengan tinggi badan sebesar 0,790 dan nilai koreksi panjang lengan bawah kiri dengan tinggi badan sebesar 0,788.

Tabel 3.15 Hubungan Panjang Lengan Bawah Kanan dengan Tinggi Badan

Pengukuran B SE Beta P

Konstanta 48,804 3,653 0,852 0,0001

Lengan kanan 4,256 0,141 0,852 0,0001

Dari tabel 3.15 didapatkan rumus regresi yang menunjukkan nilai hubungan yang cukup kuat antara tinggi badan dengan panjang lengan bawah kanan ,yaitu:

TB = 48,804 + 4,256 (PANJANG LENGAN BAWAH KANAN)

Tabel 3.16 Hubungan Panjang Lengan Bawah Kiri dengan Tinggi Badan

Pengukuran B SE Beta P

Konstanta 49,112 3,561 0,857 0,0001

Lengan kiri 4,273 0,138 0,857 0,0001

Dari tabel 2.16 didapatkan rumus regresi yang menunjukkan nilai hubungan yang cukup kuat antara tinggi badan dengan panjang lengan bawah kiri, yaitu:


(75)

Tabel 3.17 Hubungan Panjang Lengan Bawah Kanan dengan Tinggi Badan menurut Jenis Kelamin

Pengukuran B SE Beta P

Konstanta 69,729 4,614 - 0,0001

Lengan kanan 3,643 0,160 0,729 0,0001

Jenis kelamin -3,305 0,487 -0,218 0,0001

Dari tabel 3.17 didapatkan rumus regresi yang menunjukkan nilai hubungan yang cukup kuat antara tinggi badan dengan panjang lengan bawah kanan menurut jenis kelamin dengan nilai r = 0,852, yaitu:

TB = 69,729 + 3,643 (PJG. LENGAN BAWAH KA.) – 3,305 (J. KELAMIN) Nilai Konstanta untuk Jenis Kelamin Laki-laki = 1

Nilai Konstanta untuk Jenis Kelamin Perempuan = 2

Tabel 3.18 Hubungan Panjang Lengan Bawah Kiri dengan Tinggi Badan menurut Jenis Kelamin

Pengukuran B SE Beta P

Konstanta 68,868 4,580 - 0,0001

Lengan kiri 3,689 0,160 0,729 0,0001

Jenis kelamin -3,099 0,486 -0,218 0,0001

Dari tabel 3.18 didapatkan rumus regresi yang menunjukkan nilai hubungan yang cukup kuat antara tinggi badan dengan panjang lengan bawah kiri menurut jenis kelamin, yaitu:


(1)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.3. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa dapat ditentukan perkiraan tinggi badan seseorang berdasarkan panjang lengan bawah kanan maupun kiri berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yaitu dengan mempergunakan rumus regresi :

TB = 69,729 + 3,643 (panjang lengan bawah kanan) – 3,305 (jenis kelamin) TB = 68,868 + 3,689 (panjang lengan bawah kiri) – 3,099 (jenis kelamin) (Nilai konstanta jenis kelamin laki-laki = 1, perempuan = 2)

5.4. SARAN

1. Kiranya dapat dilakukan penelitian terhadap beberapa panjang ruas tubuh lainnya dengan sampel yang lebih besar pula.

2. Perlu dilakukan ulasan, kajian dan penelitian agar dapat diperkirakan hubungan tinggi badan pada kelompok umur dibawah 21 tahun.

3. Perlu kiranya penelitian lebih lanjut khusus berdasarkan suku-suku yang ada di Indonesia, seperti yang dilakukan di India.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto A., Widiatmaka W., Atmaja D.S., dkk. Identifikasi Forensik. Dalam: Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik FK-UI. Jakarta. 1999: 197-202.

2. Amir A. Identifikasi. Dalam: Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik FK-USU. Medan. 2005: 178-203.

3. Hamdani N. Identifikasi Mayat. Dalam: Ilmu Kedokteran Kehakiman. Edisi

Kedua. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1992: 83-88.

4. William D.J., Ansford A.J., Friday D.S. et all. Identification. In: Colour Guide Forensic Pathology. Churchill Livingstone. 2002: 13-20.

5. Nandy A. Identification of An Individual. In: Principles of Forensic Medicine. New Central Book Agency (P) Ltd. Calcutta. 1996: 47-109.

6. Franklin C.A. Postmortem Examination (Autopsy). In: Modi’s Textbook of

Medical Jurisprudence and Toxicology. Twenty First Edition. N.M. Tripathi Private Limited. Bombay. 1988: 69-95.

6. Franklin C.A. Postmortem Examination (Autopsy). In: Modi’s Textbook of

Medical Jurisprudence and Toxicology. Twenty First Edition. N.M. Tripathi Private Limited. Bombay. 1988: 69-95.

7. Glinka J. Antropometri dan Antroposkopi. Edisi 3. Fisip Universitas Airlangga. Surabaya. 1990: 1-77.


(3)

8. Glinka J., Artaria M.D., Koesbardiati T. Metode Pengukuran Manusia. Airlangga University Press. Surabaya. 2008: 1-66.

9. Krogman W.M., Iscan M.Y. Osteometry. In: The Human Skeleton In Forensic

Medicine. Charles C. Thomas Publisher. Illionis. 1986: 518-532.

10.Chadha P.V. Identifikasi. Dalam: Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksikologi. Edisi V. Alih Bahasa Johan Hutauruk. Widya Medika. Jakarta. 1995: 24-45. 11.McMinn R.M.H., Hutchings R.T., Pegington J., et all. A Colour Atlas of Human

Anatomy. Third Edition. Wolfe. 1993: 99-154.

12.Snell R.S. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Bagian 1. Edisi 3. Alih Bahasa Adji Dharma. EGC. Jakarta. 1997:1-55.

13.Maat G.J.R., Panhuysen R.G.A.M., Mastwijk R.W. Manual for The Physical

Anthropological Report. Third Edition. Barge’s Anthopologica Leiden University Medical Centre. Leiden. 2002: 1-29.

14.Parker S. Seri Eyewitness-Kerangka. Edisi Bahasa Indonesia. Terjemahan

Andreas Manalu. PT.Bentara Antar Asia. Jakarta. 1992: 1-63.

15.Palmer P.E.S., Cockshott W.P., Hegedus V., et all. Foto Tulang. Dalam: Petunjuk Membaca Foto Untuk Dokter Umum. Alih Bahasa L. Hartono. EGC. Jakarta. 1995: 85-124.

16.Byers S.N. Basics of Human Osteology and Odontology. In: Introduction to Forensic Anthropology. Third Edition. Boston. 2008: 28-59.


(4)

18.Knight B. The Establishment of Identity of Human Remains. In: Forensic Pathology. Second Edition. Oxford University Press. New York. 1996: 95-132. 19.Parikh C.K. Personal Identity, Identification in Mass Disasters. In: Textbook of

Medical Jurisprudence and Toxicology. Medicolegal Centre. Bombay. 1989: 29-82, 118-123.

20.Camps F.E. Identification By The Skeletal Structures. Postmortem inciced wound and mutilation. In: Gradwohl’s Legal Medicine. Third Edition. A John Wright & Sons Ltd. Publication. Chicago. 1976: 109-135,272.

21.Idries A.M. Identifikasi. Dalam: Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama. Binarupa Aksara. 1992: 31-52.

22.Wahid S.A. Identifikasi. Dalam: Patologi Forensik. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur. 1993: 13-48, 56-78.

23.Ishaq M. DVI Overview: Recent Development in Indonesia. Dalam: Disaster Victim Identification Workshop. Medan. 2007.

24.Curran W.J., McGarry A.L., Petty C.S. Identification Procedures in Death Investigation. In: Modern Legal Medicine, Psychiatry, and Forensic Science. F.A. Davis Company. Philadelphia. 1980: 1206-1220.

25.Parikh C.K. Medicolegal Autopsy. In: Medicolegal Postmortem In India. Medical Publications. Bombay. 1985: 1-17.

26.Snell R.S. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Bagian 2. Edisi 3. Alih Bahasa Adji Dharma, Mulyani. EGC. Jakarta. 1998:113-270.


(5)

27.Haglund W.D. Sorg M.H. Forensic Taphonomy – The Postmortem Fate of Human Remains. CRC Press. Florida. 1997: 367-381, 449-456.

28.Iscan M.Y., Kennedy K.A.R. Skeletal Markers of Occupational Stress. In:

Reconstruction of Life from The Skeleton. Alan R. Liss, Inc. New York. 1989: 129-160.

29.Amir A. Autopsi. Universitas Sumatera Utara Press. Medan. 2001.

30.El Najjar M.Y., McWilliams K.R. Forensic Anthropology. Charles C. Thomas Publisher. Illionis. 1978: 83-105.

31. Ludwig J. Skeletal System. In: Handbook of Autopsy Practice. Third Edition. Humana Press. New Jersey. 2002: 95-99.

32.Mestri S.C. Examination of Skeletal Remains. In: Manual of Forensic Medicine. Jaypee Brothers Medical Publishers PVT.Ltd. New Delhi. 1994: 45-48.

33.Mann G.T., Jordan T.D. Anatomy of The Extremities. In: Personal Injury

Problems. Charles C. Thomas Publisher. Illinois. 1963. 86-101.

34.DiMaio V.J.M., Dana S.E. Introduction to Medicolegal Case Work. In: Handbook of Forensic Pathology. Landes Bioscience. Texas. 1998: 1-11.

35.Ubelaker D.H. Estimating Sex, Stature and Age. In: Human Skeletal Remains. Aldine Publishing Co.Inc. Illionis. 1978: 41-67.

36.Amir A. Laporan Penelitian Penentuan Tinggi Badan Dari Tulang Panjang dan Ukuran Beberapa Bagian Tubuh. FK USU. Medan. 1989: 1-13.


(6)

38.Budiarto E. Metodologi Penelitian Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2004: 58-69.

39.Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 2005: 2-115.

40.Pratiknya A.W. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. P.T. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2008: 164-175.