Menentukan Tinggi Badan Dari Tinggi Sternum

(1)

PROPOSAL PENELITIAN

MENENTUKAN TINGGI BADAN

DARI TINGGI STERNUM

dr. Abdul Gafar Parinduri 097113002/ IKF

PROGAM PENDIDIKAN PASCA SARJANA MAGISTER

KEDOKTERAN KLINIK DAN

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HALAMAN PERSETUJUAN

Judul Proposal Penelitian

PENENTUAN TINGGI BADAN

DARI TINGGI STERNUM

Disusun oleh

dr. Abdul Gafar Parinduri 097113002/ IKF

Proposal Penelitian ini telah diperiksa dan disetujui untuk dilanjutkan

ke Pelaksanaan Penelitian

Medan, September – 2013

Disetujui,

Dosen Pembimbing

NIP : 195103021989031001 dr. Surjit Singh MBBS, Sp.F, DFM


(3)

PROPOSAL PENELITIAN

MENENTUKAN TINGGI BADAN

DARI TINGGI STERNUM

Dengan ini saya menyatakan, bahwa dalam proposal penelitian yang saya ajukan

ini, tidak terdapat karya yang pernah diajukan sebelumnya untuk memperoleh

gelar kesarjanaan, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya

atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang

secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. SURAT PERNYATAAN

Hormat saya,

Penulis

Abdul Gafar Parinduri NIM : 097113001/ IKF


(4)

KATA PENGANTAR

Assalammualaikum, ww.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan Berkat dan RahmatNYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal Penelitian yang berjudul “MENENTUKAN TINGGI BADAN DARI TINGGI STERNUM” sebagaimana telah direncanakan sebelumnya dan dalam keadaan sehat wal afiat.

Adapun proses pembuatan proposal penelitian ini, diawali dari munculnya sebuah ide serta pemikiran atas suatu permasalahan yang timbul di dalam kegiatan pendidikan di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK – USU, dengan harapan dapat ditindaklanjutkan ke dalam kegiatan penelitian ilmiah yang nyata.

Dengan rasa hormat saya sampaikan terima kasih yang sedalam – dalamnya, kepada dr. Surjit Singh MBBS, Sp.F, DFM, selaku pembimbing, yang telah meluangkan waktu, pemikiran serta doa selama proses pelaksanaan proposal penelitian ini. Dan kepada para staf pengajar di Departemen Forensik FK – USU, yang telah turut serta memberikan sumbangsih ilmunya kepada penulis.

Harapan saya semoga bimbingan, pengajaran, serta doa dan restu, akan tetap terus saya peroleh dalam upaya menjalankan proposal penelitian ini, untuk menjadi suatu penelitian karya ilmiah yang dapat bermanfaat bagi dunia pengetahuan kedokteran dan masyarakat.

Medan, September – 2013 Peneliti

097113001/ IKF Abdul Gafar Parinduri


(5)

DAFTAR ISI

Halaman Judul 1

Halaman Persetujuan 2

Surat Pernyataan 3

Kata Pengantar 4

Daftar Isi 5

BAB 1 Pendahuluan 6

1.1. Latar Belakang 6

1.2. Rumusan Masalah 8

1.3. Tujuan Penelitian 8

1.4. Manfaat Penelitian 8

BAB 2 Tinjauan Pustaka 9

2.1. Identifikasi 9

2.2. Antropologi Forensik 10

2.3. Perkiraan Tinggi Badan 15

2.4. Beberapa Formula Yang Sering Digunakan 18

2.5. Anatomi Tulang Sternum atau Tulang Dada 21

2.6. Titik Anatomis Panjang Tulang Sternum 24 BAB 3 Kerangka Konsep Penelitian dan Definisi Operasional 25 3.1. Kerangka Konsep Penelitian 25 3.2. Definisi Operasional 25

BAB 4 Metode Penelitian 27

4.1. Rancangan Penelitian 27

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian 27

4.3. Populasi dan Sampel 27

4.4. Variabel Penelitian 29

4.5. Bahan dan Alat Penelitian 29

4.6. Prosedur Pengumpulan Data dan Analisa Data 29

Rujukan 31


(6)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Identifikasi dari tubuh seseorang yang tidak dikenal, baik yang masih hidup ataupun sudah mati dapat dilakukan bagi kepentingan penyidikan perkara – perkara pidana dan bagi tugas – tugas kepolisian yang lain seperti misalnya pada peristiwa bencana alam, kecelakaan yang mengakibatkan korban massal (mass disaster) atau pada peristiwa ditemukannya seseorang dengan demensia atau kelainan jiwa yang sulit diajak komunikasi.

Banyaknya bagian – bagian yang berbeda dari tubuh dapat digunakan untuk memperkirakan tinggi seseorang. Dalam antropologi forensic, metode umum mengestimasi tinggi para korban adalah mengukur panjang tulang dan mengolah data. Ukuran bagian – bagian tubuh lainnya seperti panjang telapak kaki, panjang lengan atas, panjang lengan bawah dan telapak tangan juga dapat digunakan. Meskipun ukuran – ukuran yang telah disebutkan, umumnya tidak tersedia dan didasarkan pada bukti yang tertinggal di tempat kejadian perkara.

1

Banyak peneliti telah melakukan penelitian untuk melihat hubungan antara tinggi badan dari beberapa panjang bagian tubuh korban atau tulang – tulang seperti, menentukan tinggi badan berdasarkan tulang – tulang panjang yang masih segar atau yang sudah tidak segar yang dilakukan oleh Karl Pearson’s di Eropa (1899).

2

Trotter dan Glesser’s (1952 dan 1958) membuat formula penentuan tinggi badan pada ras mongoloid berdasarkan panjang tulang.

Di Indonesia penentuan tinggi badan pernah dilakukan penelitian dengan menghasilkan formula – formula seperti formula Atmadja S Djaja (20 – 11 – 2012) yang melakukan penelitian dalam penentuan tinggi badan berdasarkan panjang – panjang tulang panjang pada kelompok populasi dewasa muda di Indonesia,

3

Amir. A (1989) melakukan penelitian dalam penentuan tinggi badan berdasarkan tulang – tulang panjang manusia di Medan,Singh. A (1993), meneliti


(7)

perkiraan tinggi badan berdasarkan panjang telapak kaki manusia di Medan,serta Ritonga. M (1992), melakukan penelitian tentang penentuan tinggi badan berdasaarkan tinggi hidung manusia di kota Medan. Hutahean. R (2010), melakukan penelitian tentang penentuan tinggi badan berdasarkan panjang lengan bawah pada orang hidup di kota Medan.

Sedangkan penelitian mengenai penentuan tinggi badan berdasarkan panjang tulang sternum pada orang mati, pernah juga dilakukan di Indonesia (Surabaya) oleh Yudianto. A, UNAIR (2006), yang bertujuan untuk menentukan apakah terdapat hubungan kolerasi antara tinggi badan dengan panjang os. sternum pada orang indonesia usia dewasa (>30 tahun).

4

Dengan cara pengukuran, tinggi badan (Y) diukur secara tegak lurus dari puncak kepala (vertek) sampai telapak kaki (tumit) dalam satuan sentimeter (cm), yang merupakan variable terikat (tergantung). Panjang tulang dada (os sternum)(x) diukur setelah terpotong dari tulang iga kanan dan tulang iga kiri, dibersihkan dari otot – otot, jaringan ikat yang melekat dan diukur secara tegak lurus dari jugular notch (manubrium) sampai distal corpus os sternum dalam satuan sentimeter (cm), yang merupakan variable bebas.

Adanya hubungan regresi yang agak rendah antara tinggi badan dengan panjang tulang dada (os. sternum). Didapatkan hubungan regresi antara tinggi badan dengan panjang tulang dada (os. sternum) : TB = 136,488 + 1,542 X

(SE = 8,04913; r = 0,525).

Berdasarkan uraian di atas, maka pada kesempatan ini penulis akan mencoba untuk melakukan penelitian mengenai penentuan tinggi badan dari tinggi sternum pada orang Indonesia. Dengan harapan dapat diciptakan suatu formula (rumusan yang baku) dalam penentuan tinggi badan dari tinggi sternum. Besar harapan penulis, kiranya hasil penelitian ini kelak juga dapat membantu dalam penilaian identifikasi korban mati, khususnya dalam penentuan tinggi badan seseorang berdasarkan pengukuran tinggi sternum, terutama pada jenazah


(8)

yang tidak lengkap, pada jenazah yang sudah membusuk serta terbakar, dengan memperhitungkan kondisi jaringan dan otot yang masih ada pada tulang tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah tinggi badan manusia dapat ditentukan dengan mengukur tinggi sternum ?

1.3 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum

Untuk menentukan tinggi badan manusia dari tinggi sternum. b. Tujuan Khusus

1. Untuk menentukan tinggi badan dari tinggi sternum berdasarkan jenis kelamin.

2. Untuk menentukan tinggi badan dari tinggi sternum berdasarkan kelompok umur.

3. Untuk menentukan tinggi badan dari tinggi sternum berdasarkan suku.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai alat bantu (formula) di dalam menentukan tinggi badan manusia pada korban yang tinggi badannya sulit untuk dinilai.

2. Membantu identifikasi

3. Sebagai pegangan untuk menentukan tinggi badan pada kasus-kasus mutilasi


(9)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Identifikasi

Untuk kepentingan visum et repertum (VeR) ketika dokter memeriksa jenazah, identifikasi tetap dilakukan sekalipun korban tersebut sudah dikenal. Dokter haruslah mencatat jenis kelamin, umur, suku bangsa, panjang badan, berat badan, kebangsaan, warna kulit, perawakan, keadaan otot, keadaan gizi, rambut, mata, gigi, bekas – bekas luka, tahi lalat, tato (rajah), pakaian, perhiasan, barang – barang yang ada pada korban (jenazah), ada tidaknya kumis/ jenggot (pada laki – laki), cacat tubuh (bawaan atau didapat) dan tanda – tanda khas lainnya yang bila perlu menggunakan pemeriksaan DNA, gigi atau sidik jari.

Identifikasi adalah upaya pengenalan kembali diri seseorang manusia baik yang mati maupun yang hidup, hewan, benda, melalui metode identifikasi dan ilmu – ilmu forensik.

6

Identifikasi adalah hal yang utama dari setiap penyelidikan forensik, apakah itu yang dicurigai sebagai barang bukti di TKP ataukah korban yang dipotong –potong dan hangus. Pengidentifikasian sisa jasad manusia yang dipotong – potong telah menjadi suatu tantangan bagi ahli forensik. Masalah ini ditemukan pada kasus bencana massal, ledakan dan kasus pembunuhan dimana tubuh dipotong –potong untuk menyembunyikan identitas korban.

1

7

Relatif lebih mudah menentukan identitas atau jati diri seorang korban kejahatan (korban tindak pidana), bila dibandingkan dengan mencari jati diri tersangka pelaku kejahatan. Hal tersebut oleh karena pada penentuan jati diri tersangka pelaku kejahatan semata – mata didasarkan pada penentuan secara visual, yang sudah tentu banyak faktor – faktor yang mempengaruhinya sehingga hasil yang dicapai tidak memenuhi yang diharapkan.8


(10)

Interpol menentukan metode identifikasi terdiri dari Identifikasi Primer (Primary Identifiers) yaitu, sidik jari (Fingerprints), rekam gigi (Dental Records) dan DNA serta Identifikasi Sekunder (Secondary Identifiers) yaitu, data medis (Medical), kepemilikan (Property) dan dokumentasi (photography), dll.

Prinsip dari identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante mortem dengan post mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan secondary identifiers. Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Identification Board DVI Indonesia mempunyai aturan – aturan, yaitu minimal apabila salah satu dari primary identifiers dan atau didukung dengan minimal 2 dari secondary identifiers.9

Sedangkan, identifikasi terhadap orang tidak dikenal pada korban yang masih hidup meliputi :

1. Penampilan umum (general appearance) yaitu, tinggi badan, berat badan, jenis kelamin, umur, warna kulit, rambut dan mata.

1

2. Pakaian. 3. Sidik jari. 4. Jaringan parut. 5. Tato.

6. Kondisi mental. 7. Antropometri.

2.2. Antropologi Forensik

Antropologi forensik adalah aplikasi dan cabang spesifik antropologi biologi. Antropologi biologi mempelajari variasi biologi dan budaya manusia dalam rentang waktu dan ruang, berikut sebab – sebab, mekanisme dan akibat variasi tersebut. Dengan demikian, antropologi biologi berbasis pada studi populasi untuk mendapat data biologi variasi normal. Antropologi forensik yang berbasis pada osteologi dan anatomi manusia merupakan terapan menuju identifikasi individu dari data populasi yang dipelajari dalam antropologi biologi.


(11)

Bidang – bidang interdisipliner yang berhubungan dengan antropologi forensik meliputi bioarkeologi, arkeologi, antropologi anatomi, paleopatologi, tafonomi, geologi, kedokteran, kedokteran gigi dan berbagai disiplin ilmu lain yang berkaitan dengan biologi manusia. Antropologi forensik dapat didefenisikan sebagai identifikasi sisa hayat manusia yang jaringan lunaknya telah hilang sebahagian atau seluruhnya sehingga tinggal kerangka, dalam kontek hukum. Lingkup dalam konteks hukum memposisikan antropolog forensik untuk bekerja sebegai konsultan akademis yang bekerja sama dengan penyidik dikepolisian, dokter forensik di kedokteran kehakiman, maupun organisasi internasional yang mengidentifikasi korban perang atau pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam kasus kriminal, kematian massal karena kecelakaan lalu lintas darat/ udara/ laut maupun bencana alam, polisi penyidik biasanya meminta pemeriksaan rangka kepada antropolog forensik. Berbagai studi kasus antropologi forensik telah dipublikasi dan diterbitkan dalam buku teks ilmiah (Rathburn and Buikstra, 1984 ; Reich, 1986 ; dan Steadman, 2003). Buku pegangan umum bagi polisi untuk kasus pembunuhan ditulis seorang polisi di Florida dan suatu waktu penulis pernah bekerja bersama (Eliopulos, 1993). Dalam kasus pembunuhan yang diduga melibatkan pelanggaran hak asasi manusia, pemeriksaan melibatkan perintah jaksa agung yang menunjuk jaksa wilayah kepada polisi dengan bekerja sama dengan dokter forensik dan antropolog forensik untuk eksumasi rangka korban yang biasanya dilakukan atas permintaan yayasan yang menangani kasus orang hilang, penculikan, dan pembunuhan.

Di Amerika Serikat, pendidikan antropologi mencakup pedekatan empat bidang yang dikenal sebagai four field approach, meliputi bidang bioantropologi, antropologi, etnologi, dan arkeologi. Dengan demikian, mahasiswa program master dan doktoral wajib mengambil semua mata kuliah di keempat bidang itu sebelum menjalani ujian kualifikasi. Secara umum, antropologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari variasi biologi manusia dan produk budayanya dalam suatu rentang ruang dan waktu. Rentang ruang menyebabkan antropologi mempelajari manusia dari berbagai asal tempat,


(12)

sedangkan rentang waktu mencakup masa lampau (fosil – paleoantropologi, manusia prasejaraharkeologi) dan masa kini (manusia hidup). Variasi biologi manusia mengandung pengertian populasi dan kisaran normal maupun tidak normal. Produk budaya mengandung pengertian studi artifak, perilaku dan bahkan ideologinya. Studi variasi menyiratkan penekanan bioantropologi pada populasi, meskipun data tentu saja bermula dari individu – individu. Antopologi mempunyai banyak cabang antara lain: paleoantropologi, antropologi forensik, antropologi gizi, antropologi teknik, antropologi olahraga, antropologi gigi, antropologi genetika molekuler, antropologi penyakit, paleopatologi, bioarkeologi, bioantropologi dalam keperawatan, dan antropologi pertumbuhan.

Antropologi forensic bermanfaat untuk membantu penyidik dan penegak hukum untuk mengidentifikasi temuan rangka tak dikenal. Temuan rangka biasanya terdapat pada daerah terpencil, di atas permukaan tanah, dikubur pada lubang yang dangkal karena pelaku kejahatan terburu – buru menguburkannya, di sungai, di rawa atau di hutan. Korban yang tidak dikubur secara layak ini biasanya menjadi salah satu indikasi adanya tindak pidana terhadap korban kejahatan. Pada kasus forensik seperti ini, antropologi forensik berguna dalam menentukan identifikasi temuaan. Dalam identifikasi pada antropologi forensik meliputi sejumlah pertanyaaan seperti :

1. Apakah temuan berupa rangka manusia atau hewan? 2. Berapa jumlah individu?

3. Apa rasnya?

4. Apa jenis kelaminnya?

5. Berapa umur dan tinggi badannya?

6. Apakah ada bekas trauma perimortemnya?

Di Indonesia, jumlah ahli antropolog biologi masih terbatas dan hal ini terdapat pada antropologi forensik. Pemanfaatan keahliaan mereka pun dipandang belum begitu meluas. Padahal kasus – kasus pembunuhan dan penggalian rangka yang cukup banyak terjadi di Aceh, misalnya, menunjukkan pentingnya pemanfaatan antropologi forensik di Indonesia. Pentingnya antropologi forensik


(13)

di Indonesia sebenarnya telah diutarakan oleh Jacob (2000) dengan mengatakan “Bidang ini sangat menarik, mengundang banyak kemungkinan dan perlu dikembangkan di Indonesia serta pasti akan banyak diperlukan di masa yang akan datang”.

Antropometri berasal dari kata anthropos yang berarti orang dan metron yang berarti ukuran. Jadi ilmu yang mempelajari tentang ukuran – ukuran tubuh manusia dikenal dalam bidang ilmu Anthropometri.

10

Johan Sigismund Elsholtz (1654) adalah orang yang pertama memperkenalkan ilmu antropometri. Beliau menciptakan alat ukur dan kini dikenal sebagai cikal bakal alat ukur antropometer. Perhitungan di bidang antropometri ini berkembang dengan menggunakan perhitungan yang lebih rumit, untuk mengurangi angka ketidakakuratan. Tidak adanya standarisasi membuat para ahli tidak bisa membandingkan hasil penelitiannya karena standard pengukuran, titik pengukuran serta indeks yang berbeda – beda. Standarisasi mulai dilakukan berdasarkan studi Paul Broca (1870) yang disempurnakan melalui kongres antrropologi Jerman pada tahun 1882 yang dikenal sebagai ”Kesepakatan Frankfurt”. Hasil kesepakatan kongres adalah garis dasar posisi kepala atau kranium yang dikenal sebagai garis ”Frankfurt Horizontal Plane” atau dataran frankfurt.

11

Pada tahun berikutnya perkembangan antropometri berpusat di Jerman dan Prancis. Usaha – usaha untk menggabungkan cara yang dikembangkan oleh kedua negara telah dilakukan yang kemudian direalisasikan dalam kongres di Moscow tahun 1982.

12

Kemudian dikembangkan oleh Rudolf Martin pada tahun 1914 yang menerbitkan buku yang berjudul ”Lehrbuch der Anthropologie”, yang kemudian buku tersebut diperbaharui oleh Martin dan Knussmann pada tahun 1981.


(14)

Gambar 1. Dataran / garis Frankfurt

(Dikutip dari buku Metode Pengukuran Manusia. Glinka J. Artaria MD. Koesbardiati T) Pada awal tahun 1930 – an, penggunaan antropometri sebagai alat untuk mencari tipe ideal mulai ditinggalkan dan diganti dengan penelitian pada masalah – masalah nutrisi, olah raga, pertumbuhan dan perkembangan, serta beberapa studi di bidang kedokteran. 12

Kaliper geser (sliding caliper), terdiri dari sebatang mistar yang berskala milimeter, serta dua batang jarum, dimana yang satu tetap pada titik skala 0 dan yang lain dapat digeser. Kedua jarum ini pada satu ujung agak tajam (dipakai untuk pengukuran pada tulang), dan pada ujung yang lain lagi agak tumpul (untuk mengukur manusia hidup). Panjangnya mistar umumnya 25 cm. Alat ini dipakai pada ukuran jarak lurus yang tidak terlalu besar.

Alat – alat antropometri

12

Gambar 2. Kaliper geser (sliding caliper)

(Dikutip dari buku Metode Pengukuran Manusia. Glinka J. Artaria MD. Koesbardiati T).


(15)

Gambar 2. Papan Osteometri

(Dikutip dari buku Glinka J,Artaria M.D,Koesbardiati T. (A). Papan Osteometri. (B). Antropometer menurut Martin). 2.3. Perkiraan Tinggi Badan

Tinggi badan merupakan ukuran bagi seseorang pada saat masih hidup, sedangkan panjang badan merupakan ukuran seseorang pada saat setelah meninggal dunia. Panjang badan atau tinggi badan sangatlah penting untuk penentuan identifikasi seseorang. Sehingga dalam proses identifikasi tersebut, memperkirakan tinggi badan atau panjang badan seseorang merupakan suatu keharusan sebagai syarat mutlak dalam suatu identifikasi. Mengukur tinggi badan pada korban hidup adalah lebih mudah dilakukan jika dibandingkan mengukur panjang badan pada korban (jenazah), dan semakin sulit bila korban (jenazah) dalam keadaan sudah tidak utuh lagi atau mengalami kerusakan yang sangat hebat.3

Tinggi badan diukur pada saat berdiri secara tegak lurus dalam sikap anatomi. Kepala berada dalam posisi sejajar dengan dataran Frankfurt. Tinggi badan adalah hasil pengukuran maksimum panjang tulang-tulang secara paralel yang membentuk poros tubuh (The Body Axix), yaitu diukur dari titik tertinggi di kepala (cranium) yang disebut Vertex, ke titik terendah dari tulang kalkaneus (the calcanear tuberosity) yang disebut heel. (Gambar 1.1).14


(16)

Gambar 3: dikutip dari buku Glinka J,Artaria M.D,Koesbardiati T. Gambar pengukuran tinggi badan dan pengukuran tinggi titik anatomis lainnya.

Tinggi badan seseorang secara anatomi seutuhnya meliputi kaki, pelvis, tulang vertebra dan tengkorak dan kontribusi dari masing – masing ini terhadap keanekaragaman pada individu – individu yang berbeda dan juga pada populasi yang berbeda. Oleh karena itu pada penelitian terhadap sisa jasad manusia, para ahli antropologi forensik harus memiliki pengetahuan tentang variasi manusia khususnya pada daerah dan populasi tertentu agar dapat mengidentikasi individu yang belum dikenal. Populasi didasarkan pada perbedaan yang tampak pada pengukuran dan bentuk morfologi dari tulang, dan ini telah mengalami perubahan sepanjang waktu. Oleh karena itu sangat penting bagi ahli antropologi biologi untuk melakukan penelitian terbaru mengenai kelompok – kelompok populasi yang beragam pada daerah geografik yang berbeda.

Estimasi tinggi badan melalui ukuran dari berbagai tulang panjang telah diupayakan oleh beberapa peneliti dengan tingkat keberhasilan yang berbeda – beda. Setiap peneliti telah memperoleh formulanya sendiri untuk memperkirakan tinggi badan seseorang dari tulang – tulang panjang.

15

Perkiraan tinggi badan akan mudah dikerjakan bila yang diperiksa adalah tulang – tulang panjang, yaitu dengan mengukur panjang tulang – tulang kering (dry bone).

16


(17)

Penentukan tinggi badan, tidak perlu melalui pengukuran badan secara utuh. Pengukuran dari bagian tubuh masih dapat menentukan tinggi seseorang secara kasar dengan pengukuran :

a. Jarak kedua ujung jari tengah kiri dan kanan sama dengan tinggi badan.

1

b. Panjang lengan dikali 2, ditambah 34 cm (2 kali panjang clavicula) ditambah lagi 4 cm (lebar sterum).

c. Panjang dari puncak kepala (vertex) sampai symphisis pubis dikali 2. d. Panjang dari lekuk di atas sternum sampai symphisis pubis dikali 3,3. e. Panjang ujung jari tengah sampai ujung olecranon dikali 3,7.

f. Panjang femur dikali 4. g. Panjang humerus dikali 6.

Dan bila pegukuran dilakukan pada tulang – tulang saja, pada angka di atas harus ditambah 2 – 4 cm, yaitu sebagai tambahan dari adanya jarak sambungan sendi.

Trotter dan Glesser’s (1952, 1958) berhasil menemukan formula yang lebih dapat dipercaya untuk penentuan perkiraan tinggi badan seseorang, bagi pria dan wanita kulit putih dan Negro.

12

Berdasarkan penelitian Trotter dan Glesser’s (1952, 1958) yang ditemukan pada 855 mayat ada pengurangan panjang/ tinggi badan sekitar 1,2 cm untuk setiap 2 dekade pada usia di atas 30 tahun, pengurangan tinggi badan yang setara dengan 0,6 mm pertahun setelah dekade ke – 4.

Dan pada tahun 1882, menurut M. Alphonse Bertillon, seorang dokter berkebangsaan Prancis yang memperkenalkan Bertillon system yaitu cara pengukuran bagian tubuh dalam usaha mengidentifikasi para penjahat. Mengatakan bahwa penilaian pengukuran tulang dalam penentuan tinggi badan manusia ini hanya dapat digunakan pada orang dewasa, karena didasarkan pada prinsip bahwa usia setelah dua puluh satu tahun ukuran – ukuran tubuh manusia tidak berbeda (proses pertumbuhan tulang sudah maksimal).

3


(18)

Gambar 4. Pengukuran tinggi badan.

(Dikutip dari Stature Estimation Based on Hand Lenght and Foot Lenght. Journal clinical anatomy 18: 589- 596 (2005)

2.4. Beberapa Formula Yang Sering Digunakan : 1. Formula Karl Pearson´s (1899)

Tabel 1a. Untuk Tulang yang segar pada Laki – laki

3

Femur = (Panjang (cm) – 7 cm) x 1.880 + 81,231 cm Tibia = (Panjang (cm) – 5 cm) x 2.376 + 78,807 cm Humerus = (Panjang (cm) – 5 cm) x 2,894 + 70,714 cm Radius = (Panjang (cm) – 3 cm) x 3,271 + 86,465 cm

Tabel 1b. Untuk Tulang yang segar pada Wanita Femur = Panjang (cm) x 1,945 + 73,163 cm Tibia = Panjang (cm) x 2,352 + 75,369 cm Humerus = Panjang (cm) x 2,754 + 72,046 cm Radius = Panjang (cm) x 3,343 + 82,169 cm


(19)

Tabel 1c. Untuk Tulang yang lama pada Pria Femur = Panjang (cm) x 1,880 + 81,306 cm Tibia = Panjang (cm) x 2,376 + 78,664 cm Humerus = Panjang (cm) x 2,894 + 70,641 cm Radius = Panjang (cm) x 2,271 + 89,925 cm

Tabel 1d. Untuk Tulang yang lama pada Wanita Femur = Panjang (cm) x 1,945 + 72,884 cm Tibia = Panjang (cm) x 2,352 + 74,774 cm Humerus = Panjang (cm) x 2,754 + 71,475 cm Radius = Panjang (cm) x 3,343 + 81,224 cm

2. Formula Stevenson8

Tabel 2. Formula Stevenson

TB = 61,7207 + 2,4378 x F ± 2,1756 TB = 81,5115 + 2,8131 x H ± 2,8903 TB = 59,2256 + 3,0263 x T ± 1,8916 TB = 80,0276 + 3,7384 x R ± 2,6791

3. Fomula Trotter dan Glesser’s (1952, 1958)

Tabel 3. Formula Trotter dan Glesser’s

3

TB = 70,73 + 1,22 (F + T ) ± 3,24

Keterangan :

TB = tinggi badan dalam sentimeter T = Tibia (tulang kering) F = Femur (tulang paha) R = Radius (tulang hasta). H = Humerus (tulang lengan atas)


(20)

4. Formula Antropologi Ragawi UGM

Tinggi badan seseorang dapat diperkirakan dari panjang tulang tertentu, menggunakan rumus yang dibuat oleh beberapa ahli.

Tabel 6. Rumus Antropologi Ragawi UGM untuk pria dewasa (Jawa) Tinggi badan = 897 + 1,74 y (femur kanan)

Tinggi badan = 822 + 1,90 y ( femur kiri) Tinggi badan = 879 + 2,12 y (tibia kanan) Tinggi badan = 847 + 2,22 y (tibia kiri) Tinggi badan = 867 + 2,19 y (fibula kanan)

Tinggi badan = 883 + 2,14 y (fibula kiri) Tinggi badan = 847 + 2,60 y (humerus kanan)

Tinggi badan = 805 + 2,74 y (humerus kiri) Tinggi badan = 842 + 3,45 y (radius kanan) Tinggi badan = 862 + 3,40 y (radus kiri) Tinggi badan = 819 + 3,15 y (ulna kanan)

Tinggi badan = 847 + 3,06 y (ulna kiri)

Catatan : Semua ukuran dalam satuan mm.

5. Formula Djaja Surya Atmadja

Melalui suatu penelitian, Djaja Surya Atmadja menemukan rumus untuk populasi dewasa muda di Indonesia :

4

Tabel 7a. Rumus untuk populasi dewasa muda di Indonesia Pria TB = 72,9912 + 1,7227 (tib) + 0,7545 (fib) (± 4,2961 cm) TB = 75,9800 + 2,3922 (tib) (± 4,3572 cm)

TB = 80,8078 + 2,2788 (fib) (± 4,6186 cm)

Tabel 7b. Rumus untuk populasi dewasa muda di Indonesia Wanita TB = 71,2617 + 1,3346 (tib) + 1,0459 (fib) (± 4,8684 cm) TB = 77,4717 + 2,1869 (tib) (± 4,9526 cm)


(21)

Tulang yang diukur dalam keadaan kering biasanya lebih pendek 2 mm dari tulang yang segar, sehingga dalam menghitung tinggi badan perlu diperhatikan.

6. Menurut hasil penelitian Ahmad Yudianto tahun 2006,

Berdasarkan uji statisitik dengan Analisys of tabel (ANOVA) satu jalur/

5

anova tunggal/ anova satu arah/one way anova pada SPSS 11.05 hubungan regresi antara tinggi badan dan panjang sternum adalah :

TB =136,488 + 1,542 X

(SE = 8,04913 ; r = 0,525 ).

2.5. Anatomi Tulang Sternum Atau Tulang Dada

Os sternum merupakan tulang pipih yang terdapat pada bagian tengah dinding depan tórax. Sternum terdiri dari tiga bagian, berturut turut dan atas ke bawah yaitu manubrium sterni, corpus sterni dan processus xiphoideus. Corpus sterni mempunyai substantia compacta yang relatif tipis sehingga sering dipilih untuk tempat pengambilan susum tulang.

Manubrium sterni merupakan bagian yang paling tebal dan lebar dengan permukaan atas cekung yang disebut incisura jugularis. Incisura ini mudah diraba dari luar dan letaknya setinggi vertebra thoracicae kedua dan ketiga. Pada tiap bagian lateral dari incisura jugularis terdapat incisura clavicularis yang bersendian dengan bagian medial clavicula, membentuk articulatio sternoclavicularis. Costa pertama melekat pada bagian lateral manubrium sterni, sedangkan costa II melekat pada sisi lateral pada daerah peralihan antara manubrium sterni dengan corpus sterni yang membentuk articulatio manubriocostalis. Persendian bagian bawah manubrium sterni dan bagian atas corpus sterni menyebabkan terbentuknya angulus sterni yang merupakan tanda yang penting dalam menentukan atau menghitung costa. Letaknya setinggi vertebra thoracicae keempat dan kelima atau costa kedua.


(22)

Corpus sterni lebih panjang dan lebih tipis dibandingkan dengan manibrium sterni dan merupakan persatuan dari empat buah sternebrae dengan garis persatuan yang kadang – kadang dapat dilihat pada permukaan depan. Permukaan posterior agak cekung dan lebih licin. Pada kedua sisi corpus sterni melekat costae ketiga sampai ketujuh kiri dan kanan. Kadang – kadang ditemukan foramen sternalis, suatu lubang pada bagian tengah corpus sterni yang merupakan kelainan karena gangguan osifikasi. Corpus sterni pada perempuan lebih pendek dari pada laki-laki dan pada umumnya panjang corpus sterni kurang dari dua kali panjang manibrium sterni. Corpus sterni sensitif terhadap rangsangan sehingga tekanan yang cukup kuat dengan buku jari dapat membangunkan penderita yang kesadarannya menurun.

Processus xiphoideus merupakan bagian yang kecil, tipis dan bentuk bervariasi pada bagian bawah sternum. Ujungnya berbentuk tajam, tumpul, atau terbelah, dan kadang-kadang berlubang. Articulatio Xiphisternalis terdapat pada puncak angulus infrasternalis dan terletak setinggi vertebra thoracicae kesembilan dan sepuluh. Pada sebahagian orang, corpus sterni menonjol ke belakang dan bawah sehingga dapat menekan jantung. Keadaan ini disebut pectus excavatum. Thorax yang lebih datar dengan sternum menonjol kedepan dikenal sebagai pectus carinatum..18


(23)

Gambar 5. Persendian tulang dada dengan tulang calavikula dan costae kiri dan kanan Dikutip dari: Wibowo. SD, Paryana. W. Thorax, Bag. IV, dalam : Anatomi Tubuh Manusia, Ed. Ist, Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta; 2009, Hal. 182-206.

Gambar 6. Tulang dada (sternum)

Dikutip dari: Wibowo. SD, Paryana. W. Thorax, Bag. IV, dalam : Anatomi Tubuh Manusia, Ed. Ist, Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta; 2009, Hal. 182-206.


(24)

Tulang dada (os sternum) merupakan tulang berbentuk datar (flat bone) yang terletak dibagian ventral tórax. Dalam perkembangan embriologi, sternum timbul berasal dari sepasang tulang rawan yang menjadi satu secara convergen ke ventral midline (ventral body) arah craniocaudal. Tulang dada secara anatomi terdiri dari 3 bagian: manubrium, body (corpus) dan xiphoid processus. Pada usia muda, sternum menjadi 6 segmen:

- Segmen ke 1 : merupakan bagian yang akan membentuk manubrium.

- Segmen ke 2 – 5 : bergabung membentuk corpus (body). - Segmen ke 6 : merupakan ujung sternum.

Proses penyatuan epiphyseal (epiphyseal unión) secara komplet pada tulang dada usia 23 – 28 tahun.

2.6. Titik Anatomis Panjang Tulang Sternum

5

Pusat kalsifikasi pada ujung-ujung tulang atau dikenal dengan “Epifise Line” akan berakhir seiring dengan pertambahan usia, dan pada setiap tulang, penutupan dari garis epifise line tersebut rata-rata sampai dengan umur 21 tahun. Sedangkan proses penyatuan epifiseal (epifiseal union) secara komplek pada tulang dada usia 23 – 28 tahun.

Hal inilah yang menjadi dasar peneliti menetapkan titik anatomis tulang sternum yaitu dari tulang hulu/ manubrium (Incisura jugularis (jugular notch), tepat di garis tengah tubuh (mid sternalis) sampai tulang taju pedang/ processus xiphoideus.


(25)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Definisi Operasional Penelitian

No Defenisi Cara penilaian Alat ukur Skala

penilaian

Satuan/ Hasil Ukur

1. Tinggi sternum

adalah tinggi yang diukur mulai dari lekukan bagian atas dada (incisura jugularis (jugularis notch), tepat di garis tengah tubuh (mid sternalis), hingga processus xiphoideus).

Pengukuran dilakukan pada posisi berdiri tegak lurus, diukur dengan alat ukur kaliper geser Diukur dengan alat kaliper geser Numerik ratio Cm/ centimeter

2. Tinggi badan adalah

diukur dari puncak kepala (vertex) sampai ke tumit (heel)

Posisi tubuh tegak lurus sempurna dan kepala berada tepat di daerah dataran Frankfurt Diukur dengan alat ukur stature 2 M. Numerik ratio Cm/ centimeter

3. Menentukan tinggi

badan berdasarkan tinggi sternum. Semua Masiswa/i Fakultas Kedokteran Yang Sedang Menjalani Kepaniteraan Klinik Diukur dengan alat ukur stature 2M. Dan Diukur Numerik ratio Cm/ centimeter Tinggi sternum Tinggi badan


(26)

Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, RSUP. H. Adam Malik dan RSUD Pirngadi Medan, Provinsi Sumatera Utara, Republik Indonesia.

dengan alat kaliper geser


(27)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskritif dengan menggunakan desien penelitian cross sectional.

4.2. Waktu Dan Tempat Penelitian 1. Waktu penelitian

Dilaksanakan dalam periode waktu 6 bulan (01 Oktober 2013 sampai dengan 01 April 2014).

2. Tempat penelitian

Dilakukan di Departeman Kedokteran Forensik dan Medikolegal di RSUP. H. Adam Malik dan RSUD Pirngadi Medan, Provinsi Sumatera Utara Republik Indonesia.

4.3. Populasi Dan Sampel 1. Populasi

a) Populasi target

Semua mahasiswa/i kedokteran yang sedang menjalani Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) dan di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, RSUP. H. Adam Malik dan RSUD Pirngadi Medan, Provinsi Sumatera Utara Republik Indonesia.

b) Populasi terjangkau

Semua mahasiswa/i kedokteran yang sedang menjalani Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, RSUP. H. Adam Malik dan RSUD Pirngadi Medan, yang bersedia dilakukan sebagai subjek penelitian dan mengikuti ketentuan yang berlaku.

2. Sampel

Semua mahasiswa/i kedokteran yang sedang menjalani Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal,


(28)

RSUP. H. Adam Malik dan RSUD Pirngadi Medan, yang bersedia dilakukan sebagai subjek penelitian, serta diketahui berumur (di atas 23 tahun), sehat serta tidak cacat atau pernah mengalami patah tulang.

a. Kriteria sampel inklusi

1) Setiap mahasiswa/i kedokteran yang sedang menjalani Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, RSUP. H. Adam Malik dan RSUD Pirngadi Medan.

2) Berusia di atas 23 tahun. 3) Sehat dan tidak cacat fisik. b. Kriteria eksklusi

1) Subjek yang memiliki cacat fisik seperti : kerdil (cebol), Lordosis, Xhiposis, tungkai berbentuk O atau X, dll.

2) Subjek yang menggunakan jilbab tetapi tidak bersedia dibuka jilbabnya. 3) Subjek yang hamil atau berperut besar.

4) Subjek yang pernah mengalami patah tulang atau operasi tulang. 3. Estimasi besar sampel

Besar sampel adalah total sampling yang ditentukan melalui rumus, setelah terlebih dahulu disingkirkan sampel yang memiliki faktor ekslusi sampel. 4. Tehnik pengambilan sampel

Pengambilan sampel dengan cara: random sampling. n = (Zα + Zβ)2

0,5 ln {(1+r) (1-r)} + 3

Dimana :

n adalah : besar sampel minimum.

Zα adalah : nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α 5 % = 1,96 Zβ

r adalah : perkiraan koefisien korelasi (0,2).

adalah : nilai distribusi baku (tabel Z) pada β 10 % = 1,282

ln adalah : natural logaritma. n = (1,96 + 1,282) 2 0,5. ln {(1+ 0,2) (1- 0,2)}


(29)

n = (1,96 + 1,282) 2 0,5. ln {(1,2) (0,8)}

+ 3

n = (1,96 + 1,282) 2 0,5. ln 0,96

+ 3

n = 10,445824 0,5. ln 0,96

+ 3

n = 10,445824 0,0204109972

+ 3

N = 505, 7743 + 3 N = 508, 7743

Validitas ( jumlah sampel minimal) di atas 50 % = 254 sampel. 4.4. Variabel penelitian

a. Variabel independen/ bebas/ risiko Tinggi sternum dan jenis kelamin.

b. Variabel dependen/ tergantung/ hasil Tinggi badan.

4.5. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat

a) Lembar data untuk pengukuran tinggi sternum dan tinggi badan.

b) Caliper (caliper geser), alat ukur tinggi sternum yang terbuat dari logam stainless stell hardener.

c) Alat ukur tinggi badan dengan alat Stature yang memiliki panjang 2 meter.

2. Bahan

Tinggi sternum pada orang hidup (subjek / sampel ). 4.6. Pengolahan dan Analisa data

1. Editing

Memeriksa ketepatan dan kelengkapan semua data yang diperoleh. Data yang belum lengkap atau ada kesalahan dilengkapi dengan mewawancarai ulang terhadap subjek hidup penelitian.


(30)

2. Coding

Data yang telah terkumpul dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya kemudian diberi kode secara manual sebelum diolah dengan computer.

3. Entri

Memasukkan data yang telah dibersihkan kedalam program computer. 4. Cleaning Data

Memeriksa semua data yang telah dimasukkan kedalam program computer agar tidak terjadi kesalahan dalam pemasukan data.

5. Saving

Menyimpan data untuk siap dianalisis. 6. Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan tehnik komputerisasi, menggunakan program SPSS 17.0 (Statistic Product and Service Solution), dan akan disajikan dalam tabel distribusi frekwensi.


(31)

RUJUKAN

1. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2005. P. 149-57.

2. Rohren AM, Brenda. Estimation of Stature from foot and Shoe Lenght : Applications in Forensic Science. Jurnal : Forensic Science. USA ;

2007. P. 1 – 15.

3. Nandy A. Identification of An Individual. In: Principles of Forensic Medicine. 1st. New Central Book Agency (P) Ltd. Calcutta ; 1996. P. 47 – 109 4. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. dkk. Identifikasi Forensik. Dalam

Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta ; 1997.

Hal.197 – 202.

5. Yudianto. A, Algozi. AM. Instalasi Ilmu Kedokteran Forensik &

Medikolegal Fakultas Kedokteran UNAIR – RSU Dr. Soetomo 2004; Penelitian.unair. ac.id/artikel_dosen_Penentuan Tinggi Badan Berdasarkan Panjang Tulang Dada (Os. Sternum) Pada Orang Dewasa _4196_3861 (diunggah 10 Mei 2013).

6. William DJ, Ansford AJ, Friday DS, et all. Identification, In: Colour Guide Forensic Pathology. Churchill Livingstone; 2002. Hal – 1320.

7. Moudgil Rohan, Kaur Ramneet, Menezes RG, et all. Foot index : Is it a tool for sex determination ? Jurnal: Forensic and Legal Medicine 15. India; 2008. P. 223 – 226.

8. Idries AM. Tjiptomartono AL. Pemeriksaan Tulang. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensk dalam Proses Penyidikan. Edisi Revisi. CV Sagung Seto. Jakarta ; 2008, Hal. 177 – 190.

9. Saparwoko E. DVI in Indonesia : An Overview, DVI Workshop, Hotel Grand Preanger, Bandung, November; 2006. Hal. 25 27

10.Etty Indriati. Antropologi forensic gajah mada university press; 2004. Hal 1 8


(32)

11.Parikh CK. Personal Identity, Identification in Mass Disaster. Medical Jurisprudence and Toxicology. Bombay ; 1989. P : 29 – 82, 118 –

123.

12.Glinka J, Artaria MD, Koesbardiati T. Latar Belakang. Dalam Metode Pengukuran Manusia. Airlaangga University Press. Surabaya ; 2008. Hal. 1 – 10.

13.Dahlan S. Identifikasi. Ilmu Kedokteran Forensik. Badan Penerbit Uiversitas Diponegoro. Semarang ; 2004. Hal. 149 – 158.

14.Maat GJR, Panhuysen RGAM, Mastwijk RW. Manual for The Physical Anthropological Report. Third Edition. Barge’s Anthopologica Leiden University Medical Centre. Leiden;2002.Hal. 1 – 29.

15.Paliwal PK. Jakhar Jitender Kumar. Pal Vijay. Estimation of Height from Measurements of foot Lenght in Haryana Region. Jurnal : India Acad Forensic Med. India ; 2008. P. 32 (3) ; 231 – 23.

16.Patel VS, Patel MS, Shah VG. Estimation of Height from Measurements of Foot Lenght in Gujarat Region. Jurnal Anatomi. India ; 2007. P. 1,

25 – 27.

17.Franklin CA. Personal Identity. In Modi´s TextBook of Medical Jurisprudence and Toxicology. Chapter III: Twenty first edition. NM.Tripathi Private Limited. Bombay ; 1988. P. 28 – 68F..

18.Wibowo. SD, Paryana. W. Thorax, Bag. IV, dalam : Anatomi Tubuh Manusia, Ed. Ist, Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta; 2009, Hal. 182-206.


(33)

LAMPIRAN

Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN UNTUK PENELITIAN PENENTUAN TINGGI BADAN DARI TINGGI STERNUM.

Bpk/ Ibu/ Sdra/ i yang saya hormati, saat ini saya sedang melakukan penelitian tentang penentuan tinggi badan dari tinggi sternum (tulang dada) pada manusia di indonesia. Dengan maksud dan tujuan untuk dapat menciptakan suatu rumusan baku (formula) dalam hal penentuan tinggi badan seseorang, hanya berdasarkan pengukuran tinggi sternum orang tersebut.

Penelitian ini sangat berperan didalam upaya penentuan identitas, terutama dalam memperkirakan dan menentukan tinggi badan seseorang yang tidak dapat diukur tinggi badannya dengan tepat, seperti pada kasus luka bakar yang luas dan pembusukan.

Maka untuk itu demi Ilmu pengetahuan saya berharap agar kiranya mendapatkan ijin dan restu dari Bpk/ Ibu/ Sdra/ I, untuk ikut serta sebagai subjek

penelitian saya, yang akan dilakukan RSUP. H. Adam Malik dan RSUD dr. Pirngadi Kota Medan.

Dalam hal kerahasiaan dari hasil penelitian yang akan saya dapat dan kelak saya publikasikan, akan tetap saya jaga kerahasiaannya sesuai/ berpedoman pada prinsip – prinsip kode etik penelitian yang berlaku. Serta tentunya dengan menjunjung tinggi rasa kemanusiaan (memperlakukan subjek penelitian/ sampel dengan cara yang terhormat).

Demikian penjelasan dari surat persetujuan untuk melakukan pemeriksaan kepada Bpk/ Ibu/ Sdra/ i yang akan saya jadikan subjek penelitian.


(34)

Hal mengenai pemberian ijin dan persetujuan dalam surat pernyataan yang Bpk/ Ibu/ Sdra/ i tanda tangai ini bersifat sukarela, dan tanpa paksaan maupun tekanan dari pihak manapun.

Dan atas perhatian serta persetujuan yang diberikan saya ucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2013 Hormat Saya


(35)

Lampiran 2

SURAT PERSETUJUAN DALAM PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Jenis Kelamin :

Umur :

Alamat :

Setelah mendapat keterangan secara terperinci dan jelas mengenai segala hal terkait tentang penelitian yang berjudul ”Penentuan Tinggi Badan Dari Tinggi Sternum” dan setelah mendapat kesempatan tanya jawab tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian tersebut di atas.

Maka dengan ini saya secara sukarela dan tanpa paksaan menyatakan dengan tegas bahwa, saya menyetujui untuk ikut menjadi bagian dalam proses pengumpulan data yang dilakukan (tentunya tanpa pamrih), dan diperlakukan sesuai aturan kode etika penelitian yang berlaku dan rasa kemanusiaan. Dengan harapan kiranya dapat bermanfaat demi Ilmu Pengetahuan khususnya dalam hal Identifikasi sebagaimana yang telah dijelaskan pada penjelasan yang telah diberikan kepada saya.

Medan...2013


(36)

Lampiran 3

DATA SUBJEK PENELITIAN

NO :

Nama :

Jenis Kelamin :

Umur :

Status Perkawinan :

Alamat :

Tanggal Pengambilan Sampel :

Tinggi Badan :


(37)

Lampiran 4

Perkiraan biaya penelitian

Biaya penelitian menggunakan biaya pribadi peneliti dengan perkiraan dan rincian biaya sebagai berikut :

1. Biaya proses pembuatan dan penyusunan

proposal penelitian : Rp 1.500.000,-

2. Biaya seminar proposal penelitian : Rp 500.000,-

3. Biaya pelaksanaan penelitian : Rp 5.000.000,-

4. Biaya proses penyusunan hasil penelitian : Rp 1.000.000,- 5.

Sub total : Rp 9.000.000,-

Biaya seminar hasil penelitian : Rp 1.000.000,-

Perkiraan total biaya penelitian : Rp 9.900.000,- Biaya tak terduga (10% sub total) : Rp 900.000,-


(1)

11.Parikh CK. Personal Identity, Identification in Mass Disaster. Medical Jurisprudence and Toxicology. Bombay ; 1989. P : 29 – 82, 118 –

123.

12.Glinka J, Artaria MD, Koesbardiati T. Latar Belakang. Dalam Metode Pengukuran Manusia. Airlaangga University Press. Surabaya ; 2008. Hal. 1 – 10.

13.Dahlan S. Identifikasi. Ilmu Kedokteran Forensik. Badan Penerbit Uiversitas Diponegoro. Semarang ; 2004. Hal. 149 – 158.

14.Maat GJR, Panhuysen RGAM, Mastwijk RW. Manual for The Physical Anthropological Report. Third Edition. Barge’s Anthopologica Leiden University Medical Centre. Leiden;2002.Hal. 1 – 29.

15.Paliwal PK. Jakhar Jitender Kumar. Pal Vijay. Estimation of Height from Measurements of foot Lenght in Haryana Region. Jurnal : India Acad Forensic Med. India ; 2008. P. 32 (3) ; 231 – 23.

16.Patel VS, Patel MS, Shah VG. Estimation of Height from Measurements of Foot Lenght in Gujarat Region. Jurnal Anatomi. India ; 2007. P. 1,

25 – 27.

17.Franklin CA. Personal Identity. In Modi´s TextBook of Medical Jurisprudence and Toxicology. Chapter III: Twenty first edition. NM.Tripathi Private Limited. Bombay ; 1988. P. 28 – 68F..

18.Wibowo. SD, Paryana. W. Thorax, Bag. IV, dalam : Anatomi Tubuh Manusia, Ed. Ist, Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta; 2009, Hal. 182-206.


(2)

LAMPIRAN

Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN UNTUK PENELITIAN PENENTUAN TINGGI BADAN DARI TINGGI STERNUM.

Bpk/ Ibu/ Sdra/ i yang saya hormati, saat ini saya sedang melakukan penelitian tentang penentuan tinggi badan dari tinggi sternum (tulang dada) pada manusia di indonesia. Dengan maksud dan tujuan untuk dapat menciptakan suatu rumusan baku (formula) dalam hal penentuan tinggi badan seseorang, hanya berdasarkan pengukuran tinggi sternum orang tersebut.

Penelitian ini sangat berperan didalam upaya penentuan identitas, terutama dalam memperkirakan dan menentukan tinggi badan seseorang yang tidak dapat diukur tinggi badannya dengan tepat, seperti pada kasus luka bakar yang luas dan pembusukan.

Maka untuk itu demi Ilmu pengetahuan saya berharap agar kiranya mendapatkan ijin dan restu dari Bpk/ Ibu/ Sdra/ I, untuk ikut serta sebagai subjek

penelitian saya, yang akan dilakukan RSUP. H. Adam Malik dan RSUD dr. Pirngadi Kota Medan.

Dalam hal kerahasiaan dari hasil penelitian yang akan saya dapat dan kelak saya publikasikan, akan tetap saya jaga kerahasiaannya sesuai/ berpedoman pada prinsip – prinsip kode etik penelitian yang berlaku. Serta tentunya dengan menjunjung tinggi rasa kemanusiaan (memperlakukan subjek penelitian/ sampel dengan cara yang terhormat).

Demikian penjelasan dari surat persetujuan untuk melakukan pemeriksaan kepada Bpk/ Ibu/ Sdra/ i yang akan saya jadikan subjek penelitian.


(3)

Hal mengenai pemberian ijin dan persetujuan dalam surat pernyataan yang Bpk/ Ibu/ Sdra/ i tanda tangai ini bersifat sukarela, dan tanpa paksaan maupun tekanan dari pihak manapun.

Dan atas perhatian serta persetujuan yang diberikan saya ucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2013 Hormat Saya


(4)

Lampiran 2

SURAT PERSETUJUAN DALAM PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Jenis Kelamin :

Umur :

Alamat :

Setelah mendapat keterangan secara terperinci dan jelas mengenai segala hal terkait tentang penelitian yang berjudul ”Penentuan Tinggi Badan Dari Tinggi Sternum” dan setelah mendapat kesempatan tanya jawab tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian tersebut di atas.

Maka dengan ini saya secara sukarela dan tanpa paksaan menyatakan dengan tegas bahwa, saya menyetujui untuk ikut menjadi bagian dalam proses pengumpulan data yang dilakukan (tentunya tanpa pamrih), dan diperlakukan sesuai aturan kode etika penelitian yang berlaku dan rasa kemanusiaan. Dengan harapan kiranya dapat bermanfaat demi Ilmu Pengetahuan khususnya dalam hal Identifikasi sebagaimana yang telah dijelaskan pada penjelasan yang telah diberikan kepada saya.

Medan...2013


(5)

Lampiran 3

DATA SUBJEK PENELITIAN

NO :

Nama :

Jenis Kelamin :

Umur :

Status Perkawinan :

Alamat :

Tanggal Pengambilan Sampel :

Tinggi Badan :


(6)

Lampiran 4

Perkiraan biaya penelitian

Biaya penelitian menggunakan biaya pribadi peneliti dengan perkiraan dan rincian biaya sebagai berikut :

1. Biaya proses pembuatan dan penyusunan

proposal penelitian : Rp 1.500.000,-

2. Biaya seminar proposal penelitian : Rp 500.000,- 3. Biaya pelaksanaan penelitian : Rp 5.000.000,- 4. Biaya proses penyusunan hasil penelitian : Rp 1.000.000,- 5.

Sub total : Rp 9.000.000,-

Biaya seminar hasil penelitian : Rp 1.000.000,-

Perkiraan total biaya penelitian : Rp 9.900.000,- Biaya tak terduga (10% sub total) : Rp 900.000,-