telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. Qs. An- Nahl: 44
Sedang Imam SyafiI, Ahli Dhahir dan Ahmad dalam riwayat yang lain menolak menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah:
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan manusia lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?. Qs. Al-Baqarah: 106
Sedang hadits tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al-Quran.
3 Naskh sunnah dengan Al-Quran Jumhur ulama membolehkannya. Seperti, masalah menghadap ke Baitul
Makdis yang ditetapkan dengan sunnah dan didalam Al-Quran tidak terdapat dalil yang menunjukkkannya. Kemudian dinaskh oleh Al-Quran dengan firman
Allah:
Sungguh Kami sering melihat mukamu menengadah ke langit[96], maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang
Yahudi dan Nasrani yang diberi Al Kitab Taurat dan Injil memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. Qs. Al-Baqarah: 144
Naskh yang pertama kali dalam Al-quran adalah naskh tentang qiblat.
4 Naskh sunnah dengan sunnah Dalam katagori seperti ini terdapat empat bentuk. Naskh mutawatir dengan
mutawatir, naskh ahad dengan ahad, naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama diperbolehkan, sedangkan pada bentuk keempat terjadi silang pendapat
seperti halnya naskh Al-Quran dengan hadits ahad, yang tidak diperbolehkan oleh jumhur.
Hikmah Adanya Naskh Dalam Al-Quran 1. Memelihara kepentingan hamba.
2. Perkembangan tasyri menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan
dakwah dan kondisi umat manusia. 3. Cobaaan dan ujian bagi mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala
dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
MUTLAQ DAN MUQAYYAD
1. DEFINISI
Mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan sesuatu hakekat tanpa sesuatu qayyid pembatas. Jadi ia hanya menunjukkan kepada satu indifidu tidak tertentu dari
hakekat tersebut. Muqayy
ad adalah lafazh yang telah di hilangkan cakupan jenisnya, baik secara kulli maupun juzI, atau Muqayyad adalah lafazh yang menunjukan suatu hakekat
dengan qayyid batasan, seperti kata raqabah budak yang dibatasi dengan iman dalam ayat:
hendaklah ia memerdekakan budak beriman. {Qs. An-Nisa: 92}
2. MACAM-MACAM MUTLAQ DAN MUQAYYAD DAN STATUS HUKUMNYA MASING- MASING
Mutlaq dan muqayyad mempunyai bentuk-bentuk aqliyyah dan sebagian realitas bentuknya kami kemukakan sebagai berikut:
a Sebab dan hukumnya sama. Misalnya puasa untuk kafarah sumpah. Lafazh itu dalam qiraah mutawatir
yang terdapat dalam mushaf di ungkapkan secara mutlaq: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud untuk bersumpah, tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah- sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat melanggar sumpah itu, ialah memberi
makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang
budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila
kamu bersumpah dan kamu langgar. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur kepada-Nya.
{Qs. Al-Maidah: 89} Dan ia muqayyad atau dibatasi dengan tatabu berturut-turut dalam qiraah Ibnu
Masud :
مايصف ةاثلاث
ملايأ تاعباتتم
Maka kafarahnya puasa selama tiga hari berturut-turut. Dalam hal seperti ini, pengertian lafazh yang mutlaq dibawa kepada yang muqayyad dengan arti, bahwa
yang dimakdus oleh lafazh mutlaq adalah sam yang dimaksud oleh muqayyad, karena sebab yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan. Oleh
karena itu segolongan berpendapat bahwa puasa tiga hari tersebut harus dilakukan secara berturut-turut. Dalam pada itu golongan yang memandang qiraah tidak
mutawatir, sekalipun masyhur, tidak dapat dijadikan hujjah, tidak sependapat golongan yang pertama. Maka dalam kasus ini di pandang tidak ada muqayyad
yang karenanya lafazh mutlaq dibawa kepadanya.
b Sebabnya sama namun hukum berbeda. Seperti lafazh tangan dalam wudhu dan tayamum. Membasuh tangan dalam
berwudhu dibatasi sampai dengan siku-siku. Allah berfirtman: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. {Qs. Al-Maidah: 6 }
Sedang menyapu tangan dalam bertayamum tidak dibatasi, mutlaq, sebagaimana di jelaskan dalam firman-Nya:
Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik bersih; sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. {Qs. Al-Maidah: 6 }
Dalam hal ini ada yang berpendapat, lafazh yang mutlaq tidak dibawa kepada yang muqayyad karena berlainan hukumnya. Namun al-Ghayali menukil dari
ulama SyafiI bahwa mutlaq di sini dibawa kepada muqayyad mengingat sebabnya sama sekalipun berbeda hukumnya.
c Sebab berbeda tetapi hukumnya sama
Dalam hal ini ada dua bentuk: Pertama, taqyid atau batasannya hanya satu. Misalnya, pembebasan budak dalam
hal kafarah. Budak yang dibebaskan disyaratkan harus budak beriman dalam kafarah pembunuhan tak senganja. Allah berfirman:
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin yang lain, kecuali karena tersalah tidak sengaja, dan barangsiapa membunuh seorang
mukmin karena tersalah hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya si
terbunuh itu, kecuali jika mereka keluarga terbunuh bersedekah dengan memberi maaf. Jika ia si terbunuh dari kaum kafir yang ada perjanjian
damai antara mereka dengan kamu, maka hendaklah si pembunuh membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya si terbunuh serta memerdekakan
hamba sahaya yang beriman. {Qs. An-Nisa: 92} Sedangkan dalam kafarah dhihar ia diungkapkan secara mutlaq:
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang
budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. {Qs. Al-
Mujadalah: 3} Kedua, taqyidnya berbeda-beda. Misalnya, puasa kafarah ia ditaqyidkan dengan
berturut-turut dalam kafarah pembunuhan. Firman Allah:
Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia si pembunuh berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. {Qs. An-Nisa: 92} Demikian juga dalam kafarah dhihar, sebagaiman dalam firman-Nya:
Barangsiapa yang tidak mendapatkan budak, maka wajib atasnya berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. {Qs. Al-Mujadalah: 4}
d Sebab berbeda dan hukumpun berlainan Seperti, tangan dalam berwudhu dan dalam kasus pencurian. Dalam berwudhu, ia
dibatasi sampai dengan siku, sedang dalam pencurian di mutlaqkan, tidak dibatasi. Firman Allah:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. {Qs. Al- Maidah: 38}
Dalam keadaan seperti ini, mutlaq tidak boleh dibawa kepada muqayyad karena sebab dan hukumnya belainan. Dalam hali ini tidak ada kontradiksi taarud
sedikitpun.
MANTUQ DAN MAFHUM Definisi Mantuq.
1. Secara bahasa. Secara bahasa manthuq diambil dari kata An Nathq
قطنلا, yaitu berbicara. Maka manthuq adalah sesuatu yang dibicarakan.
2. Secara istilah.
Secara istilah mantuq adalah sesuatu makna yang ditunjukkan oleh lafadz menurut ucapannya, yakni penunjukan makna berdasarkan materi huruf-huruf
yang diucapkan.
Macam-Macamnya. a Dzahir.
Secara bahasa: Al-Wadih jelas. Adapun secara istilah dzahir adalah yang jelas maksudnya dengan sendirinya, tanpa memperhatikan unsur dari luar, dan
apa yang dimaksud bukan maksud asli dari siyaq kalamya. Sebagaimana firman Allah swt:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, maka kawinilah
wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.QS. An-Nisa: 3
Ayat ini dari Dzohir lafadznya bermakna jelas yang langsung bisa dipahami yaitu memperbolehkan kawin dengan wanita yang dihalalalkan.
Dengan konteks kalimat; Fankihu maa thaaba lakum minannisamaka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi . tetapi makna ini bukan
menjadi maksud asal dari susunan kata-katanyasiyakul kalam, karena maksud asalnya adalah membatasi jumlah istri maksimal empat atau hanya satu .
Hukum dzahir. 1. Dzahir memungkinkan untuk ditakwikan, atau merubah dari makna dzahir
kepada makan yang lain. Seperti mengkhususkan yang umum, atau membatasi yang mutlak. Begitu juga memungkinkan bermakna majazi atau selainnya.
2. Wajib di amalkan sesuai dengan makna Dzahirnya selama tidak ada dalil yang
menyelisihinya, atau mentakwikan dari makna dzahirnya. Karena tidak ada perubahan lafadz dari dzahirnya kecuali dengan dalil.menuntut untuk
mengamalkan dengan selain yang dzahir.
3. Nash.