Aklimatisasi Komposisi zat pengatur tumbuh untuk organogenesis dan induksi Kalus Pometia coriaceae secara In Vitro

29 Gambar 14 Jumlah daun tanaman pada saat aklimatisasi 7MST. A : Tanaman yang berasal dari perlakuan MS0; B : Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 0.5 ppm + Kinetin 1 ppm; C : Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 1 ppm + Kinetin 1.5 ppm; D : Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 1.5 ppm + Kinetin 2 ppm; E : Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 2 ppm + Kinetin 2.5 ppm Jumlah daun yang dihasilkan dari setiap tanaman semuanya mengalami penambahan dari jumlah daun awal. Hasil analisis menunjukkan tanaman yang berasal dari perlakuan D media MS ditambah NAA 1.5 ppm dan Kinetin 2 ppm dan perlakuan C media MS ditambah NAA 1 ppm dan Kinetin 1.5 ppm yang berbeda nyata dari tanaman yang berasal dari perlakuan lainnya dengan memiliki jumlah daun terbanyak 12 dan 10 helai Gambar 14. Gambar 15 Tinggi tanaman 7MST. A :Tanaman yang berasal dari perlakuan MS0; B : Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 0.5 ppm + Kinetin 1 ppm; C : Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 1 ppm + Kinetin 1.5 ppm; D : Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 1.5 ppm + Kinetin 2 ppm; E : Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 2 ppm + Kinetin 2.5 ppm 6,5c 6c 10b 12a 7c 2 4 6 8 10 12 14 A B C D E Ju m lah d au n Perlakuan media 3.5b 3.6b 3.5b 4.1a 4.4a 1 2 3 4 5 A B C D E T in g g i tan am an cm Perlakuan media 30 Tinggi tanaman yang dihasilkan tanaman yang berasal dari perlakuan A MS0, B media MS ditambah NAA 0.5 ppm dan Kinetin 1 ppm, C media MS ditambah NAA 1 ppm dan Kinetin 1.5 ppm dan tidak berbeda nyata satu sama lain namun berbeda nyata terhadap perlakuan D media MS ditambah NAA 1.5 ppm dan Kinetin 2 ppm dan E media MS ditambah NAA 2 ppm dan Kinetin 2.5 ppm dimana pada perlakuan D dan E yang memiliki tinggi tanaman tertinggi masing-masing yaitu 4.1cm dam 4.4 cm Gambar 15 dan penampakan dari masing-masing planlet tersebut terlihat pada Gambar 16. Gambar 16 Penampakan tanaman pada saat aklimatisasi berumur 4 MST: A Tanaman yang berasal dari perlakuan MS0; B Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 0.5 ppm + Kinetin 1 ppm; C Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 1 ppm + Kinetin 1.5 ppm; D Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 1.5 ppm + Kinetin 2 ppm; E Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 2 ppm + Kinetin 2.5 ppm A B C D E 31 Planlet yang diaklimatisasi pada minggu ke delapan memperlihatkan gejala terserang cendawan dimana planlet tersebut menjadi layu dan pada bagian batangnya menjadi kering hingga akhirnya mati. Cendawan yang menyerang planlet tersebut berwarna putih seperti terlihat pada Gambar 17. Gambar 17 Penampakan tanaman yang terserang cendawan 7 MST. A Tanaman yang berasal dari perlakuan MS0; B Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 0.5 ppm + Kinetin 1 ppm; C Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 1 ppm + Kinetin 1.5 ppm; D Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 1.5 ppm + Kinetin 2 ppm; E Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 2 ppm + Kinetin 2.5 ppm A B E D C 32 5 PEMBAHASAN Keberhasilan kultur jaringan dipengaruhi banyak faktor, salah satunya ialah kontaminasi oleh cendawan dan bakteri yang dapat terjadi setiap saat dalam waktu kultur. Sumber kontaminasi dalam kultur jaringan dapat berasal dari lingkungan kerja, alat dan media yang digunakan, dan bahan tanaman. Oleh karena itu ketiga hal tersebut perlu diperhatikan keaseptikannya Gunawan 1992. Sterilisasi merupakan suatu teknik untuk mengkondisikan lingkungan eksplan dalam keadaan bebas mikroba sehingga menghasilkan kultur yang bebas dari kontaminan. Inisiasi kultur yang bebas dari kontaminan adalah langkah yang sangat penting. Kontaminasi pada bahan tanaman yang dikulturkan dapat terjadi akibat adanya infeksi secara eksternal maupun internal. Usaha pencegahan kontaminasi eksternal dapat dilakukan dengan sterilisasi permukaan bahan tanaman sedangkan infeksi internal tidak dapat dihilangkan dengan sterilisasi permukaan Widiastoety 2001. Setiap bahan tanaman mempunyai tingkat kontaminasi eksternal yang bervariasi bergantung pada jenis tanaman, bagian tanaman yang digunakan, morfologi permukaan, lingkungan tumbuhnya, musim waktu pengambilan dan kondisi tanaman itu sendiri. Hal tersebut menyebabkan sulitnya menentukan prosedur sterilisasi standar yang berlaku untuk semua tanaman. Dalam teknik sterilisasi bahan tanaman hal yang harus diperhatikan adalah bahwa sel tanaman dan kontaminan merupakan benda hidup. Teknik yang digunakan harus hanya menghilangkan kontaminasi tanpa mematikan sel tanaman. Bahan sterilisasi yang sering digunakan untuk sterilisasi permukaan adalah dengan memberikan perlakuan antibiotik atau fungisida sistemik. Jenis bahan sterilisasi dan konsentrasinya sangat mempengaruhi keberhasilan pertumbuhan eksplan steril. Menurut Sathyanarayana 2007 sterilisasi eksplan merupakan suatu tindakan untuk menentukan konsentrasi dan lama perlakuan yang berpengaruh dalam memperkecil tingkat kematian jaringan. Sterilisasi eksplan biasanya dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia berupa sabun, bakterisida dan fungisida seperti deterjen, benlate, dithane M-45, agrimicyn, HgCl 2 dan NaOCl. Teknik sterilisasi yang diujicobakan dalam penelitian ini ialah penerapan fungisida dan bakterisida dalam beberapa konsentrasi dan lama pengocokan. Semua perlakuan sterilisasi menghasilkan 100 eksplan daun matoa steril Gambar 5. Eksplan daun yang ditanam pada media MS mengeluarkan zat tertentu yang membuat sekitar eksplan daun berubah warna dari bening menjadi keunguan. Hal ini diduga disebabkan pada daun matoa mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol Praptiwi dan Harapini 2004. Perlakuan fungisida 0.4 g100 mL dan bakterisida 0.4 g100 mL yang dikocok selama 5 menit Gambar 4, 6 dan 7 secara konsisten menghasilkan eksplan pucuk, embrio, endosperma matoa steril tertinggi. Persentase eksplan embrio steril yang dihasilkan ialah 90 Gambar 6. Penggunaan bakterisida dan fungisida sebagai bahan sterilisasi juga digunakan pada kultur embrio P. pinnata yang menghasilkan persen eksplan steril 100 pada konsentrasi 0.2 g100 mL dengan pengocokan selama 15 menit Tanur 2008. Perendaman eksplan sengon dalam 0.10 HgCl 2 selama 3 menit, menghasilkan eksplan steril sebesar 42.5 Yuliani 2001 sedangkan untuk 33 eskplan tunas aksilar bambu tali, perendaman dalam bayclin 20, 10, 5 dan HgCl 2 0.01 selama 10 menit menghasilkan tingkat persen hidup eksplan hingga 70 Widaningrum 2000. Dari hasil kedua penelitian terlihat bahwa penggunaan bahan yang sama tetapi pengaturan komposisi dan waktu perlakuan yang berbeda, berpengaruh pada keberhasilan eksplan steril yang diperoleh. Purnawati 2012 mencari sterilisasi yang cocok bagi tunas jabon dengan menggunakan beberapa perlakuan bahan sterilisasi dan hasilnya kurang memuaskan, salah satunya akibat proses karantina tanaman yang diterapkan belum tepat, menyebabkan tingkat kontaminasi sangat tinggi. Perendaman dengan antibiotik juga tidak mampu mengurangi tingkat kontaminasi eksplan karena dosis dan waktu perendaman yang dilakukan masih kurang tepat. Menurut Setiyoko 1995 87.5 eksplan kontaminan disebabkan oleh cendawan dan bakteri. Cendawan yang mengkontaminasi media dan eksplan biasanya menyelimuti media atau eksplan dengan miselium berbentuk kapas berwarna putih. Cendawan yang biasa ada di laboratorium adalah Aspergillus sp. Monilla sp. dan Penicillium sp. Bakteri yang mengkontaminasi biasanya berupa lendir di sekitar eksplan yang berwarna kuning dan sebagian melekat pada media membentuk gumpalan. Hal tersebut ditemukan juga pada eskplan yang terkontaminasi dalam penelitian ini, seperti terlihat pada Gambar 8. Media dasar yang sering digunakan dalam kegiatan kultur jaringan adalah media Murashige dan Skoog MS. Media MS ini merupakan media yang paling sering disebut sebagai media dengan garam anorganik tinggi karena kandungan K dan N yang relatif tinggi dibandingkan dengan media lain. Pengaturan zat pengatur tumbuh di dalam media sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan kultur. Respon tumbuhan terhadap zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman yang dikulturkan. Efisiensi dan efektivitas dari zat pengatur tumbuh juga berbeda terhadap jenis tanaman yang berbeda. Auksin dengan konsentrasi rendah akan menghasilkan pertumbuhan akar dan pada konsentrasi tinggi akan menghasilkan pertumbuhan kalus, sedangkan sitokinin dengan konsentrasi rendah dapat memacu tunas dan pada konsentrasi tinggi akan mampu menggandakan tunas Magoon Singh 1995. Hasil penelitian Pardede 1992 melihat pengaruh media serbuk gergaji sengon dan zat pengatur tumbuh paclobutrazol dan benzyl adenin terhadap produksi umbi mini kentang memberikan hasil berpengaruh nyata antara tiap perlakuan terhadap pertumbuhan umbi. Alitalia 2008 melakukan perlakuan beberapa zat pengatur tumbuh yaitu BAP dan NAA pada tunas kantong semar memberikan hasil yang baik pada seluruh perlakuan. Hasilnya eksplan memberikan pertumbuhan dan perkembangan tunas, daun dan kantong yang cukup signifikan. Organogenesis eksplan pucuk matoa yang diuji pada semua perlakuan komposisi media dengan beberapa konsentrasi zat pengatur tumbuh hanya menghasilkan terbentuknya kalus pada perlakuan media MS yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh NAA 1 ppm dan Kinetin 1.5 ppm Gambar 10 sedangkan pada perlakuan lainnya eskplan pucuk tidak menunjukkan perubahan apa-apa. Hal serupa juga terlihat terjadi pada tanaman merbau yang diberi auksin dan sitokinin pada media tidak nampak pertumbuhan tunas namun pada penggunaan IBA dan NAA cenderung mendorong pembentukan kalus Nugroho 2010. 34 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan penambahan NAA dan kinetin pada media kultur memberikan hasil yang bervariasi, untuk waktu terbentuknya akar dan daun. Media MS tanpa zat pengatur tumbuh MS0 memberikan waktu yang paling cepat pada pembentukan akar yaitu 5 HST Tabel 2 serta merupakan media yang paling cepat memunculkan daun yaitu pada 14 HST Tabel 3. Hal ini diduga karena pada eksplan embrio matoa sendiri mengandung zat pengatur tumbuh endogen yang cukup untuk pembentukan kedua organ tersebut tanpa perlu penambahan dari luar. Namun pada media MS0 jumlah daun yang dihasilkan tidak banyak sebaliknya pada perlakuan media MS yang diperkaya dengan NAA 1.5 ppm dan kinetin 2 ppm memiliki waktu terbentuknya daun yang paling lambat Tabel 2 dan 3 namun memiliki rata-rata jumlah daun paling banyak Gambar 10. Penambahan kinetin dalam media membuat perimbangan zat pengatur tumbuh pada eksplan embrio yang dikulturkan jauh lebih tinggi konsentrasi sitokininnya sehingga pembelahan sel-sel embrio diarahkan untuk pembentukan daun. Peranan fisiologis dari sitokinin jenis kinetin salah satunya menginduksi pembentukan tunas dan daun Wattimena 1987. Tanur 2008, melaporkan kultur embrio Pometia pinnata pada media MS yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh NAA 1 ppm dan Kinetin 1 ppm tidak menghasilkan daun. Hal tersebut diduga karena eksplan diberi perlakuan konsentrasi zat pengatur tumbuh dalam jumlah yang sama. Hasil penelitian Nisa Rodinah 2005 pemberian NAA dan kinetin pada kultur buah pisang tidak berpengaruh nyata pada semua peubah yang diujikan. Penelitian pada tanaman Catharantus roseus L G. Dan dengan menambahkan NAA 0.001 M dan 0.000001 M dengan atau tanpa BAP, menurunkan kemampuan kultur untuk membentuk akar, bahkan pada awal sub kultur cenderung membentuk kalus Mukarlina 2005. Penggunaan BAP menghasilkan jumlah tunas lebih tinggi dibandingkan dengan kinetin dan hasil pertumbuhan tunas melon lebih bagus pada pertumbuhan yang berasal dari organogenesis tidak langsung Rohayati 2002. Kalus merupakan sekumpulan sel-sel yang tumbuh tanpa mengalami diferensiasi. Kalus yang terbentuk dari suatu organ tanaman dapat membentuk kalus yang embriogenik dan non-embriogenik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan zat pengatur tumbuh NAA dan kinetin pada media MS mampu memicu terbentuknya kalus Tabel 5. Media MS diperkaya dengan NAA 1.5 ppm dan kinetin 2 ppm memberikan waktu terbentuknya klaus paling cepat, yaitu 27 HST Tabel 4. Kalus yang dihasilkan ialah kalus tanpa akar, kalus yang menghasilkan organ akar; dari segi warna dari kalus yang terbentuk ada yang diduga memiliki potensi kalus embriogenik dan ada yang non-embriogenik Tabel 6. Kalus yang dihasilkan pada beberapa perlakuan memperlihatkan munculnya akar yang cukup banyak Gambar 12 hal tersebut diduga bahwa kandungan auksin endogen yang terdapat pada eksplan endosperma matoa cukup tinggi sehingga menghasilkan pertumbuhan ke arah pembentukan akar. Hal tersebut juga terlihat pada hasil penelitian Tanur 2008 bahwa eksplan embrio P. pinnata yang diberikan perlakuan penambahan NAA dan kinetin dengan masing-masing konsentrasi sama yaitu 1 ppm menghasilkan eksplan tersebut hanya menghasilkan akar tanpa membentuk organ lain seperti daun. Secara visual kalus yang dihasilkan pada perlakuan kelima diduga berpotensi membentuk kalus embriogenik. Penampakan morfologi dari kalus yang berpotensi embriogenik yaitu berwarna putih atau bening dan remah Slater et al. 2008. Hal serupa juga 35 terlihat pada penelitian kultur kemenyan sumatrana dengan menggunakan zat pengatur tumbuh NAA dan Kinetin, dengan hasil adanya kalus dan kalus yang berakar Nurwahyuni 2002. Kalus dari beberapa tanaman sering gagal beregenerasi membentuk tunas atau hanya membentuk akar. Media MS yang diperkaya dengan auksin 2,4-D dan sitokinin BAP menginduksi terbentuknya kalus yang banyak pada tanaman Kaempferia galanga L Amin 2004. Yunaini 2003 melakukan induksi embriogenesis somatik pada kultur kalus Tectona grandis L.F pada media MS cair dengan penambahan MSB, MS2 dan MSG; hasilnya diperoleh kalus sampai tahap terbentuknya globular dan jantung. Aklimatisasi merupakan kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptik ke lingkungan luar. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif. Hasil penelitian menunjukkan tanaman setelah diaklimatisasi mengalami penambahan jumlah akar dan daun. Jumlah akar dan daun matoa yang terbentuk pada setiap tanaman yang berasal dari perlakuan yang berbeda selama dikultur Gambar 13 dan 14. Namun, memasuki minggu ke delapan tanaman yang diaklimatisasi terserang jamur dan menjadi layu dan mati Gambar 17. Belum diketahui secara pasti apakah yang menyebabkan tanaman tersebut mati. Pada penelitian Hutami 2003, tanaman yang telah memiliki akar pada saat in vitro sangat baik untuk diaklimatisasi tanaman temu mangga yang diaklimatisasi pada media tanah dan pupuk kandang 1:1 lebih bagus daripada pada media tanah dan sekam 1:1. Pada media tanah dan sekam memberikan tinggi tanaman yang baik namun rendah pada jumlah tunas. 36 6 SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Teknik sterilisasi eksplan P. coriaceae yang terbaik adalah menggunakan komposisi bakterisida 0.4 g100 mL dan fungisida 0.4 gr100 ml dengan durasi perendaman 5 menit. Komposisi media MS yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh NAA 1.5 ppm dan Kinetin 2 ppm merupakan media terbaik untuk organogenesis eksplan embrio P. coriaceae. Empat media perlakuan yaitu MS0, MS ditambah NAA 0.5 ppm dan Kinetin 1 ppm, MS ditambah NAA 1 ppm dan Kinetin 1.5 ppm dan MS ditambah NAA 1.5 ppm dan Kinetin 2 ppm menginduksi kalus dari eksplan endosperm dan mengarah pada pembentukan akar, sedangkan perlakuan media MS ditambah NAA 2 ppm dan Kinetin 2.5 ppm menginduksi kalus dari eksplan endosperm yang berpotensi sebagai kalus embriogenik.

6.2 Saran

Untuk memperoleh pertumbuhan eksplan embrio P. coriaceae yang cepat dalam pembentukan akar dan daun dapat menggunakan media dasar MS tanpa zat pengatur tumbuh. Setelah terbentuknya akar dan daun eksplan tersebut kemudian di pindahkan pada media MS yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh. Dari hasil tersebut dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk stek mikro dari hasil pertumbuhan embrio. 37 DAFTAR PUSTAKA Alitalia Y. 2008. Pengaruh pemberian BAP dan NAA terhadap pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro kantong semar Nepenthes mirabillis secara in vitro [skripsi]. Bogor ID: Instititut Pertanian Bogor. Ambarwati AD. 1987. Induksi Kalus dan Diferensiasi pada Kultur Jaringan Gnetum gnemon L. Yogyakarta ID: Universitas Gajah Mada. Amin MN. 2004. Efficient plant regenration through somatic embryogenesis from leaf base-derived callus of Kaempferia galanga L. Asian Journal of Plants Sciences 3:6:675-678. Bhojwani SS, Razdan MK. 1989. Plant Tissue Culture. Theory and Practise. New York US: Elsevier. Carimi F, DePasquale F, Crescimanno FG. 1995. Somatic embryogenesis in Citrus from syle culture. Plant Science 105:81-86. Debergh PC, Zimmerman RH. 1991. Micropropagation technology and application. Di dalam: Thorpe TA, Harry IS, Kumar PP. Application Of Micropropagation To Forestry. London GB: Kluwer Academic. Darmono DW. 2003. Menghasilkan Anggrek Silangan. Jakarta ID: Penebar Swadaya. Dinas Kehutanan. 1976. Mengenal beberapa jenis kayu Irian Jaya Jilid I. Jayapura ID: Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I Irian Jaya. Dixon RA, Gonzales A. 1994. Plant Cell Culture. A Practical Approach. New York US: IRL Pr. Evans DA, Sharp WA, Flick CE. 1981. Growth and Behavior Of Cell Cultures. In Embryogenesis and Organogenesis in Plant Tissue Culture: Method and Applications in Agriculture. New York US: Academic Pr. Evans DE, JOD Coleman, Kearns A. 2003. Plant Cell Culture. London GB: Bios Scientific. hlm 194. Gamborg OL. 1991. Kalus dan kultur sel. Widianto MB, penerjemah. Wetter LR, Constabel F, editor. Di dalam: Plant Tissue Culture Methods. Bandung ID: Penerbit ITB; hlm 1-13. Gunawan LW. 1988. Teknik Kultur Jaringan. Bogor ID: Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Pusat Antar Universitas IPB. Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor ID: Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Pusat Antar Universitas IPB. Hartmann HT, Kester DE, Davis-Jr FT. 1990. Plant propagationl: Principles and Practices. New Jersey: Prentice-Hall International. Hartmann HT, Kester DE. 1997. Plant Propagation Principles and Practice. Ed ke-6. New Jersey: Prentice Hall. Hendaryanto DPS, Wijayani A. 1994. Teknik Kultur Jaringan, Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif-Moderen. Yogyakarta ID: Kanisius. Imelda M, Sastrapradja S, Sumiasri N, Deswina P, Kuswara T, Setyowati T, Isnindaryati, Mulyana, Sanusi, Burhana N. 1997. Teknik perbanyakan in vitro skala laboratorium A [laporan penelitian]. Bogor ID: Proyek Penelitian Bioteknologi PUSLITBANG BIOTEKNOLOGI-LIPI.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Teknik Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh dan Umur Pindah Tanam Bibit TSS (True Shallot Seeds) terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah (Allium ascaloicum L.)

6 85 199

Pengaruh Berbagai Level Zat Pengatur Tumbuh Dekamon 22,43 L Dan Pupuk Kandang Domba Terhadap Produksi Dan Pertumbuhan Legum Stylo (Stylosanthes Gractlis)

0 34 66

Pengaruh Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Hydrasil Dan Pupuk Nitrophoska Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Semangka (Citrullus Vulgaris Schard)

0 41 71

Pengaruh Pemberian Pupuk Stadya Daun Dan Zat Pengatur Tumbuh Atonik 6,5 L Terhadap Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma Cacao L.)

0 41 96

Pengaruh Berbagai Level Zat Pengatur Tumbuh Dekamon 22,43 L dan Pupuk Kandang Domba Terhadap Kualitas Legum Stylo (Stylosanthes gracilis)

1 56 64

Pengarah campuran media tanam dan zat pengatur tumbuh Giberellin terhadap pertumbuhan bibit mengkudu (Morinda citrifolia L.)

0 27 84

Pengaruh Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh Atonik dan Dosis Pupuk Urea terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jahe Muda (Zingiber officinale Rosc.)

4 51 92

Komposisi Media Pembibitan tl-m Zat Pengatur Tumbuh Dekamon 22,43 L Mempengaruhi Pertumbuhan Bibit Enten Tanaman Durian (Durio zibhethinus M u n*) Dibawah Naungan Tanaman Pepaya.

0 61 50

Komposisi zat pengatur tumbuh untuk organogenesis dan induksi Kalus Pometia coriaceae secara In Vitro

1 5 101

INDUKSI KALUS MANGGIS (GARCINIA MANGOSTANA L.) DARI SUMBER EKSPLAN DAUN DENGAN PEMBERIAN ZAT PENGATUR TUMBUH SECARA IN VITRO.

13 46 22