PENYELESAIAN KERUSUHAN MASSA MENGGUNAKAN MEDIASI PENAL (STUDI KASUS WILAYAH LAMPUNG TENGAH)

(1)

SM. Munawar Harun Alrasyid

ABSTRAK

PENYELESAIAN KERUSUHAN MASSA MENGGUNAKAN MEDIASI PENAL

(STUDI KASUS WILAYAH LAMPUNG TENGAH) Oleh

SM. MUNAWAR HARUN ALRASYID

Penyelesaian kasus melalui mediasi merupakan salah satu bentuk alternatif dari penyelesaian masalah ditengah masyarakat melalui jalur diluar pengadilan (non litigasi) yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau Alternative Dispute Resolution. Penyelesaian sengketa melalui mediasi biasanya hanya terdapat pada sengketa perdata, namun dalam prakteknya sering juga kasus pidana diselesaikan diluar pengadilan (mediasi) melalui diskresi aparat penegak hukum. Musyawarah/ perdamain, musyawarah keluarga, musyawarah desa, dan musyawarah adat yang dimediatori oleh Pemerintah Daerah. Dalam kasus kerusuhan massa (konflik sosial) yang terjadi di Lampung Tengah, ada beberapa diantaranya diselesaiakan menggunakan jalan mediasi meskipun didalam kerusuhan tersebut terdapat tindak pidana berat. Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, adalah bagaimana proses penyelesaian kerusuhan massa menggunakan mediasi serta dasar pertimbangan dalam penyelesaian kerusuhan massa menggunakan mediasi penal.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Selain itu, untuk menunjang data yang diperlukan, maka dilakukan wawancara dengan responden kemudian dalam pengambilan kesimpulannya dengan menggunakan teknis analisis substantif yang berpedoman pada cara berfikir deduktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penyelesaian kerusuhan massa menggunakan mediasi penal melalui tiga tahapan yakni tahapan persiapan yang terdiri dari pembentukan tim penyelesaian konflik, tahap pendekatan terhadap pihak-pihak yang berkonflik, membangun hubungan kepada beberapa pihak untuk menyelesaikan konflik, tahap kedua yaitu pertemuan terhadap masing-masing pihak yang berkonflik yang dimana dalam tahap ini merupakan tahap untuk menjaring aspirasi serta perumusan dan arah perdamaian yang diinginkan dan selanjutnya tahap pacamediasi yang terdiri dari penandatanganan surat perjanjian damai, prosesi angkat saudara serta. Penyelesaian kerusuhan massa menggunakan mediasi penal tidak memiliki dasar hukum, meskipun tidak memiliki dasar


(2)

SM. Munawar Harun Alrasyid

hukum, jalan mediasi dapat diambil dengan beberapa pertimbangan. Adapun pertimbangan tersebut antara lain : kedua belah pihak yang sama-sama menyelesaikan konflik dengan jalan kekeluargaan/ non litigasi dan sepakat untuk berdamai, efek yang timbul akibat tetap diteruskannya konflik kerusuhan massa diselesaiaknnya menggunakan jalur litigasi sebab konflik ini akan berdampak luas yang mengakibatkan terhambatnya pembangunan nasional, diskresi kepolisian yang tercantum dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, berdasarkan Surat Kapolri No. Pol: B/ 3022/ XII/ 2009/ SDEOPS, mengacu pada RUU Penanganan Konflik sosial, serta penggunaan kearifan lokal yang dalam hal ini adalah hukum adat yang mampu mengakomodasi atau menjembatani penyelesaian konflik hingga pascakonflik, serta keuntungan yang dimiliki oleh mediasi itu sendiri. Penyelesain menggunakan mediasi ini dimediatori oleh Tim Penyelesaian Konflik yang terdiri dari USPIDA (Unsur Pimpinan Daerah Kabupaten Lampung tengah). Pemerintah daerah dapat ikut menjadi mediator dan berperan aktif dalam penyelesaian atas dasar Feies Emerssen dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik mengingat konflik ini berdampak pada terhambatnya pembangunan nasional yang dilatarbelakangi tidak terciptanya ketertiban dan keadaan aman didalam masyarakat. Mediasi penal dapat digunakan untuk mencegah permasalahan berdampak luas.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka dapat disimpulkan bahwa proses penyelesaian kerusuhan massa menggunakan mediasi penal melalui tiga tahapan, dan tahap-tahapan tersebut menggunakan mpendekatan yang sifatnya kekeluargaan serta untuk dasar pertimbangan dilakukannya mediasi terhadap tindak pidana berat dengan pertimbangan yang mendasar demi terciptanya keadaan yang kembali aman, kondusif didalam masyarakat. Penyelesaian konflik menggunakan pendekatan terhadap masyarakat dan mempertimbangkan hal-hal apa saja yang melandasi dilakukannya mediasi merupakan suatu terobosan baru dalam penyelesaian konflik, namun penulis menyarankan bahwa apabila dalam setiap kasus pidana berat diselesaikan menggunakan jalan mediasi dan tidak adanya penjatuhan hukuman yang tegas bagi para pelaku tindak pidana maka hal ini akan memicu setiap konflik akan mengenyampingkan hukum pidana dan efek jera bagi pelaku tidak didapat.


(3)

PENYELESAIAN KERUSUHAN MASSA MENGGUNAKAN MEDIASI PENAL

(STUDI KASUS WILAYAH LAMPUNG TENGAH)

Oleh

SM. MUNAWAR HARUN ALRASYID

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG

2013


(4)

PENYELESAIAN KERUSUHAN MASSA MENGGUNAKAN MEDIASI PENAL

(STUDI KASUS WILAYAH LAMPUNG TENGAH)

(Skripsi)

Oleh

SM. MUNAWAR HARUN ALRASYID

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2013


(5)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 10

E. Sistematika Penulisan 18

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerusuhan Massa 20

B. Karakteristik Mediasi Penal 23

C. Prosedur Pelaksanaan Kebijakan Kriminal Dalam Mediasi Penal 27

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah 31

B. Sumber dan Jenis Data 32

C. Penentuan Populasi dan Sampel 33

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 34

E. Analisis Data 35

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden 36

B. Proses Penyelesaian Kerusuhan Massa Menggunakan

Mediasi Penal 38

C. Dasar Pertimbangan Penyelesaian Kerusuhan Massa


(6)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan 66

B. Saran 68


(7)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Prof. Dr. Sunarto DM. S.H., M.H. ...

Sekretaris : Deni Achmad, S,H., M.H. ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Maya Syafira, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S.

NIP 19621109 198703 1 003


(8)

Judul Skripsi : PENYELESAIAN KERUSUHAN MASSA MENGGUNAKAN MEDIASI PENAL

(STUDI KASUS WILAYAH LAMPUNG TENGAH) 2012/2013

Nama Mahasiswa : SM. Munawar Harun Alrasyid No. Pokok Mahasiswa : 0912011250

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Sunarto DM, S.H.,M.H Deni Achmad, S.H.,M.H

NIP 19541112 198603 1 003 NIP 19810315 200801 1 014

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati M., S.H.,M.H


(9)

MOTTO

Dan anjurkanlah kepada mereka tutur kata yang komunikatif (Q. S. Annisa: 63).

Sesungguhnya, tiada berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir (Q.S. Yusuf: 87).

“wahai saudaraku, kalian tidak dapat menguasai ilmu kecuali dengan 6 syarat yang akan saya sampaikan: dengan kecerdasan, menuntutnya dengan bersemangat, dengan kesungguhan, dengan memiliki bekal (investasi), bersama

pembimbing, serta waktu yang lama” (Nasihat Imam Syafi’i)


(10)

(11)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Ayahanda M. Suhadi MZ, dan Ibunda tercinta Chikmatul Masruroh sebagai pendidik utama yang berjuang tak kenal lelah, penuh pengorbanan, cinta dan sayang serta senantiasa mendoakan

keberhasilan anak-anaknya;

Kakak ku tercinta SM. Wardatul Fauziah dan Ridho Bramulya Ikhsan;

Adikku tersayang SM. Kholifatul Khoiriyah dan Mifta Amalia Sopha.;

serta


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada Hari Jum’at, 13 September 1991 Lingkungan III Celikah Nomor 18, Kelurahan Seputih Jaya, Kabupaten Lampung Tengah di rumah yang sederhana dan jauh dari kemewahan. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan yang berbahagia Bp. Muhammad Suhadi MZ dan Ibu Chikmatul Masruroh.

Pada tahun 1997 penulis memulai berinteraksi dengan dunia pendidikan formal, dan non formal yang dimulai dari Sekolah Dasar Negeri 1 Seputih Jaya (pendidikan formal) dan pada saat itu juga penulis memuali pendidikan non formalnya pada Pondok Pesanteren Darussaadah yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal penulis. Pendidikan formal diselesaikan pada tahun 2003. Selanjutnya penulis melanjutkan Pendidikan Menengah Pertama di SMPN 3 Terbanggu Besar, yang pada saat itu aktif di ektra kulikuler Pramuka yang selanjutnya penulis menyelesaikan pendidikan di SMP pada tahun 2006.

Melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Seputih agung, ketika menempuh pendidikan di SMA, penulis aktif di OSIS selama 2 periode dan dalam bidang ekstra kulikuler penulis aktif di Pramuka sebagai sekretaris, Basket sebagai ketua, serta Paskibra sebagai ketua dan ketika duduk di bangku kelas 2, melalui seleksi penulis terpilih menjadi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka Pada


(13)

Tingkat Kabupaten yang kala itu menjadi pengibar di pagi hari, dan disore harinya menjadi Komandan Kelompok. Dengan suka cita menjalani kehidupan di massa itu, penulis menyelesaiakn pendidikan SMA pada Tahun 2009.

Juli Tahun 2009 penulis mengikuti SNMPTN di Kota Bandar Lampung, dengan mengambil pilihan pertama pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dan pilihan ke dua pada Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosian dan Ilmu Politik Universitas Lampung. Setelah menunggu satu bulan akhirnya penulis memperoleh kepastian bahwa telah diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Selama menjalankan pendidikan di Fakultas Hukum Unila, penulis pernah aktif di Lembaga Kemahasiswaan seperti FOSSI, dan ditahun terakhir ini penulis aktif di Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Lampung.


(14)

SANWACANA

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Puji syukur tiada terhingga ke hadirat Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar. Penulisan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum di Universitas Lampung, Bandarlampung.

Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Heryandi, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung 2. Diah Gustiniati, S.H.,M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana, Fakultas

Hukum, Universitas Lampung;

3. Prof. Dr. Sunarto DM. S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing I; 4. Deni Achmad, S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing II;

5. Maya Syafira, S.H.,M.H. selaku dosen pembahas I; 6. A. Irzal F, S.H.,M.H. selaku dosen pembahas II;

7. Gunawan Jadmiko, S.H.,M.H. selaku dosen Fakultas Hukum yang turut mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;


(15)

ix

8. Ahmad Zazili, S.H.,M.H. selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahannya sejak penulis menginjakkan kaki di Fakultas Hukum hingga saat ini;

9. Seluruh pendidik di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas semua ilmu yang dicurahkan;

10. Ayah dan Ibu angkat ku serta kakak angkatku Alm. Muhammad Asmudi 11. Saudaraku para penghuni MABES (markas besar): Sofyan Jailani, Saputro

Prayitno, Roni Septian Maulana, Muhammad Amin Putra, Pimal Ibrahim, Gigih Suci Prayudi, Riki Indra, Muhammad Yudho Safe’i, Hidayat Fadillah, Muhammad Gribaldi, Syukri Rammadhan, Andika Prayoga, Raden Permata, Ridho Abdilah Husin, Faisal SF., serta Ari Otoy;

12. Teman-teman pemukim Mawar Sari: Zainal Abidin (abi oh abi), Reza, Saipul Siregar (mang ipul), Baginda Tuah Wahap (bang Lay), Hagim (juru tegik), Bayu Aditama (cemblek), Dedi, dan para alumni dari Mawar Sari : mas Joko, mas Maris, mas Mail, bang Ginting, Galil, serta Johan Untung serta Tetangga Kost: Kornelius(koko), Ajiz,;

13. Saudaraku Para pejuang da’wah yang tak kenal lelah dalam Lembaga Kemahasiswaan FOSSI FH Unila;

14. Rekan-rekan seperjuangan di Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Periode 2012/2013: Andika Prayoga, Gigi Suci P, Nurul Hidayati, Nofra, Nanik Pravita Sari, Dwi Guntoro, Dian Arisetya, Neneng, Roni Septian Maulana, Nurul Latifah, Ely Ulfa Sari, Martini, Riko, Muhammad Yudho Syafe’i, Rulio, Chusna Nasution, Analia, Wirna, Kartika, Ensya, Gamal Rizki, Gamal Rizki, Nur Halimah;


(16)

x

15. Rekan-rekan seperjuangan di Gedung A : Hernadi Susanto, Hendra Dwi Gunanda, Hermawan Pranayudha, Andri Rahman Arif;

16. Rekan-rekan Kuliah Kerja Nyata periode I. Januari 2012;

17. Semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi perbaikan skripsi ini di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amin.

Billahi Taufiq Walhidayah.

Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Bandarlampung, Mei 2013

Penulis

SM. Munawar Harun Alrasyid


(17)

1

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana sebagai salah satu bentuk dan prilaku menyimpang bukanlah sifat bawaan sejak lahir, maupun karena warisan biologis dari orang tua maupun leluhur, akan tetapi perbuatan kejahatan dapat timbul dan terjadi disebabkan dari banyak sebab.1 Salah satu tindak pidana yang sering terjadi adalah kerusuhan massa. Kerusuhan massa merupakan situasi rusuh dan kacau yang dilakukan oleh kelompok massa yang di dalamnya terdapat aksi-aksi yang mengandung unsur-unsur tindak pidana seperti kekerasan, brutalitas, dan sadism yang kesemuanya dapat dimengerti sebagai peristiwa psikologis, sosial, dan cultural mengingat terjadinya perubahan kesadaran individu, cultural, moral, dan spiritual yang saat ini terkikis.2

Kerusuhan massa yang didalamnya terdapat unsur – unsur kejahatan, dimana kerusuhan massa itu dapat dipicu dari kurangnya komunikasi diantara keduabelah pihak yang bertikai sehingga hal – hal sepelepun dapat memicu terjadinya kerusuhan massa (konflik) dengan adanya provokasi, seperti beberapa tahun terakhir ini kerusuhan massa sudah banyak terjadi, dari konflik antar suku, antar desa, bahkan antar agama yang terdapat perbuatan disengaja berupa pembakaran

1

Munir Fuady, Teori-teori Dalam Sosiologi Hukum. (Jakarta Kencana, 2011). Hlm.125

2

http://www.awaludinhendra .blogspot.com, diakses pada tanggal 5 september 2012, pukul 20.20 WIB.


(18)

2

serta pengerusakan sarana-sarana umum, sosial, ekonomi, milik pribadi, fasilitas keagamaan, bahkan tidak jarang pada kerusuhan itu terdapat perbuatan penganiayaan hingga menyebabkan hilangnya nyawa seseorang/kematian.3 Sehingga pada tindakan kerusuhan massa tersebut perlu adanya upaya-upaya untuk menegakkan hukum. adapaun upaya dari penegakan hukum secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu melalui jalur “litigasi” (pengadilan) maupun melalui jalur “non litigasi” ( diluar jalur pengadilan). Secara garis besar dapatlah dibedakan bahwa upaya penegakan hukum terhadap kejahatan dapat melalui jalur “litigasi” lebih menitik beratkan pada sifat repressive (penindasan / pemberantasan / penumpasan) sesudah kejahatan terjadi. Proses hukum secara litigasi merupakan upaya penegakan dengan hukum yang ada (hukum positif dalam hal ini yaitu penegakan menggunakan hukum pidana sebagaimana telah diatur dalam Perundang-undangan).

Hukum pidana sebagai ultimum remidium yaitu upaya terakhir guna memperbaiki tingkahlaku manusia, terutama penjahat serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan. oleh karena sanksi pidana bersifat penderitaan (nestapa) maka penerapannya hukum pidana sedapat mungkin dibatasi, yaitu jika mekanisme penegakkan pada hukum lain tidak bekerja efektif.4 Hukum pidana memiliki keterbatasan yang disebabkan faktor-faktor kejahatan yang sangat kompleks yang berada di luar jangkauan hukum pidana. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub-sistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan

3 Ibid. 4


(19)

3

kemasyarakatan yang sangat kompleks.5 Sanksi pidana merupakan remidium yang mengandung sifat kontradiktif, paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek samping yang negatif. 6 Selain itu efektifitas hukum pidana tidak dapat diukur secra akurat, dan hukum hanya merupakan salah satu kontrol sosial. Bahkan dalam sejarah pemidanaan, kedamaian dan keseimbangan dalam masyarakat tidak pernah tercapai melalui penjatuhan pidana, bahkan pidana sering menimbulkan keonaran, kebencian, dan balas dendam yang berkepanjangan dari mereka yang memperoleh pidana atau ketidak puasan korban dan masyarakat. 7

Peradilan pidana sebagai kontrol sosial formal yang melembaga tidak peduli dengan penderitaan korban kejahatan, baik penderitaan fisik dan mental maupun berupa berupa sosial dan ekonomis. Mengingat kelemahan dan keterbatasan hukum pidana sebagai penanggulangan kejahatan, maka ada dorongan untuk mencari upaya penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan. Konsep penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan dengan istilah mediasi penal atau mediation in criminal cases, atau mediation in penal matters. Meskipun secara positif penerapan penyelesaian perkara diluar pengadilan hanya berlaku bagi tindak pidana pelanggaran dengan sanksi denda sebagaimana ketentuan Pasal 82 KUHP, namun daam kenyataannya terdapat praktek penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan melalui diskresi yang dimiliki penegak hukum atau melalui mekanisme perdamaian (musyawarah) baik oleh masyarakat sendiri, atau melalui

5

Novianto M. Hantoro, Sulasi Rongiyati, dkk, Fungsi Hukum dalam Penyelesaian Sengketa, ( Jakarta : Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jendral DPR Republik Indonesia, 2011), hlm. 100.

6

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pembangunan Hukum Pidana

(Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 46.

7

Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung : Mandar Maju, 1995), hlm. 93.


(20)

4

lembaga lain seperti lembaga adat, desa/dusun, atau RT/RW.8 Penyelesaian kasus melalui mediasi merupakan salah satu bentuk alternatif dari penyelesaian masalah di tengah masyarakat melalui jalur di luar pengadilan (non litigasi) yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau Alternative Dispute Resolution, ada pula yang menyebutnya Apropriate Dispute Resulution. Mediasi penal untuk pertama kali dikenal dalam peristilahan hukum positif di Indonesia sejak Surat Kapolri No Pol : B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang penanganan kasus melalui Alternatif Dispute resolution (ADR) meskipun sifatnya parsial. Pada intinya prinsip-prinsip mediasi penal yang dimaksud dalam Surat Kapolri ini menekankan bahwa penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR, harus disepakati oleh pihak – pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan barulah diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara professional dan proporsional.9

ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk kasus – kasus pidana. Berdasarkan perundang – undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, meskipun dalam hal – hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana diluar pengadilan. Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek terdapat kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam masyarakat

8

Eva achjani Zulfa, Mediasi Penal : Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana,

http://litbangdiklatkumdil.net/materi-nara-sumber/file/. 9

Johan Komala Siswoyo . Jurnal ,Mediasi Penal Sebagai Salah Satu Alternatif Upaya Untuk Menegakkan Hukum Pidana Progresif. ( Fh Undip 2011). Hlm.2


(21)

5

(musyawarah keluarga; musyawarah desa;musyawarah adat dan sebagainya).10 Praktek penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (meskipun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Kejadian kerusuhan massa merupakan perbuatan yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pidana yang berdampak pada terciptanya ketidak tertiban di dalam masyarakat, yang dapat menghambat pembangunan nasional disebabkan tidak kondusifnya situasi serta kondisi di tengah masyarakat sehingga perlu adanya institusi Negara yang berfungsi untuk melindungi masyarakat dari situasi yang dapat menimbulkan ketidak tertiban.

Teori Fungsi functie theorie yang dikemukakan Herman Heller berpendapat bahwa fungsi institusi Negara adalah untuk melindungi masyarakat dan segala macam kepentingan yang bertentangan dengan hukum yang dapat menimbulkan ketidak tertiban.11 Sehingga perlu adanya instansi yang mengatur sekaligus mempunyai fungsi atau wewenang agar tidak terjadi kekacauan. Dalam pengertian fungsi terkandung arti tugas yang meliputi lingkungan pekerjaan dan suatu institusi dalam hal mana ditetapkan tugas dan wewenang yang menjadi kopetensinya, serta di dalam pengertian fungsi terkandung hubungan timbal balik diantara instansi atau aparatur yang ada kaitannya dengan tugas ketertiban tersebut.

10

Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal : Penyelesaian Perkara diluar Pengadilan. ( Pustaka Megister Semarang, 2008 ), hlm. 3-4.

11


(22)

6

Institusi Negara atau lembaga pemerintahan ( Pemerintah Daerah beserta Kepolisian Negara Republik Indonesia ), adalah sebagai instrument masyarakat. Sehingga teori ini mencoba menjawab bahwa setiap organisasi Negara atau lembaga pemerintah memiliki tugas dan wewenang yang telah ditetapkan berdasarkan undang – undang dan sekaligus dalam melaksanakan tugas / wewenang tersebut mempunyai timbalbalik dengan instansi lainnya dalam mewujudkan ketertiban masyarakat. Hal ini diperkuat dengan adanya asas Feies Emerssen dimana penyelenggara Negara (Pemerintah Daerah, Kepolisian, Kejaksaan ) berupaya mengeluarkan kebijakan – kebijakannya sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas legalitas mengingat penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan dengan mediasi yang belum memiliki dasar hukum yang jelas sehingga asas Feies Emerssen digunakan untuk melengkapi / mendorong penyelesian perkara pidana di luar pengadilan menggunakan mediasi dapat dilaksanakan.

Kaitannya dengan penjelasan yang telah dipaparkan di atas, maka kerusuhan massa yang di dalam aksi-aksinya mengandung unsur tindak pidana telah berulang kali terjadi di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di wilayah Lampung Tengah, dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir sejak tahun 2006 hingga 2011, kerusuhan massa yang terjadi mencapai 3 (tiga) kasus yang melibatkan kelompok masyarakat antar desa yang satu dengan laiannya, yang selanjutnya diuraikan melalui table sebagai berikut.


(23)

7

Tabel 1. Kasus kerusuhan massa yang terjadi di Lampung Tengah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir dari 2006 sampai 2011.12

No Desa yang berkonflik Tahun terjadinya 1 Desa Gayausakti dengan

desa tanjungratu

2006 2 Desa Purnamatunggal

dengan desa Tanjungratu

2009 3 Desa Nambahdadi dengan

Tanjungratu

2010

Berdasarkan data diatas, tiga kasus yang terjadi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir , kerusuhan massa yang diselesaikan melalui mediasi penal adalah kerusuhan yang melibatkan Desa Nambahdadi dengan Desa Tanjungratu. Kerusuhan massa tersebut melibatkan dua kampung yang berbeda kecamatan, antara Kampung Tanjungratu Kecamatan Way Pengubuhan dengan Kampung Nambahdadi Kecamatan Terbanggi Besar yang terjadi pada Tanggal 30 Desember 2010 pukul 11.30 WIB.13

Akibat kejadian ini, sekitar 36 rumah rusak dan dua di antaranya rusak parah kemudian 1 sepeda motor yang melintaspun rusak parah . Dari insiden tersebut, kerugiannya diperkirakan Rp300 juta. Selain kerugian yang tersebut di atas, terdapat pula kerugian non materi bagi masyarakat, seperti trauma, 1 korban luka, serta 1 korban jiwa yang mana 1 korban tersebut adalah seorang pelajar yang sedang melintas ketika pulang dari Baturaja dalam rangka liburan sekolah.14

12

Data yang diperoleh dari Reskrim Polres Lampung Tengah 13

Radar Lampung Terbanggibesar Mencekam, diakses pada alamat web

http://www.radarlampung.co.id/read/berita-utama/28081-terbanggibesar-mencekam diakses pada hari senin 7 Agustus 2012, Pukul 20.34 WIB.

14

. Radar Lampung Terbanggibesar Mencekam, diakses pada alamat web

http://www.radarlampung.co.id/read/berita-utama/28081-terbanggibesar-mencekam di akses pada hari senin 7 Agustus 2012, pukul 20.34 WIB.


(24)

8

Kerugian yang diderita serta telah jatuhnya korban jiwa tidak lantas membuat kacau keadaan, perdamaian diantara keduabelah pihakpun tetap tercapai, Perdamaian diantara kedua belah pihak yang bertikaipun tidak lepas dari peran aktif instansi Lembaga pemerintaah dan/atau Pemerintah Daerah, dan masyarakat.15 Mereka berupaya mencarikan solusi yang terbaik untuk keduabelah pihak yang bertikai. Apabila pada kasus kerusuhan tersebut aparat penegak hukum (polisi) tetap berupaya menegakkan hukum yang ada (hukum positif) dengan tetap memproses para pelaku yang telah menyebabkan kematian warga Tanjungratu (pangkal permasalahan) serta memproses para pelaku dari warga Tanjungratu yang melakukan aksi kerusuhan yang menyebabkan terbakarnya rumah warga Nambahdadi, melakukan penganiayaan serta menyebabkan hilangnya nyawa seseorang (sebagai aksi balas dendam), maka ditakutkan tindakan ini tidak akan menyelesaikan perselisihan dikedua belah pihak sehingga akan terjadinya dendam yang berkelanjutan diantara mereka dan dampaknya kerusuhan serupa akan terjadi dengan melibatkan dua desa yang sama dikemudian hari.16

Kerusuhan massa/ konflik sosial ini diselesaikan melalui jalur “non litigasi” dengan menggunakan mediasi pidana/ mediasi penal serta kasus ini diberhentikan proses hukumnya di kepolisian polres Lampung Tengah dengan dasar diskresi yang dimiliki kepolisian berdasarkan hasil musyawarah yang dilakukan oleh Badan Pimpinan Daerah Lampung Tengah.

15

lihat UU No. 7 Tahun 2012 Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Tentang Penanganan Konflik Sosial. 16


(25)

9

Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin mengkaji lebih lanjut dan menuangkannya dalam skripsi dengan judul “Penyelesaian Kerusuhan Massa Menggunakan Mediasi Penal (Studi Kasus di Wilayah Lampung Tengah)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah diuraikan maka permasalahan yang timbul dalam penelitian ini antara lain :

a. Bagaimanakah proses penyelesaian kerusuhan massa menggunakan mediasi penal?

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan dalam penyelesaian kerusuhan massa menggunakan mediasi penal?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah dalam kaitan ilmu hukum pidana. Ruang lingkup substansi hanya pada lingkup penyelesaian kerusuhan massa dengan mediasi penal, sedangkan ruang lingkup wilayah penelitian adalah wilayah Hukum Kabupaten Lampung Tengah.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui proses penyelesaian kerusuhan massa menggunakan mediasi penal.


(26)

10

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan penyelesaian tindak kerusuhan massa menggunakan mediasi penal.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penulisan ini diharapkan dapat dipergunakan untuk memperkaya serta dapat lebih mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya dibidang ilmu hukum pidana pada umumnya dan lebih jelasnya mengenai mediasi penal.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis berguna sebagai upaya yang dapat dipetik langsung manfaatnya, sumbangan pemikiran dalam memecahkan suatu masalah hukum, dan bacaan bagi peneliti ilmu hukum khususnya tentang penyelesaian kerusuhan massa menggunakan mediasi penal.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.17 untuk itu, maka di dalam skripsi ini penulis akan menggunaka teori Mediasi Penal.

Kata mediasi berasal dari bahasa Inggris mediation, yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian

17

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986). Hlm. 124


(27)

11

sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan mediator atau orang yang menjadi penengah.18 mediasi yang dikenal dalam hukum pidana adalah mediasi pidana/mediasi penal yang merupakan salah satu alternatif penyeesaian sengketa di luar pengadilan atau yang sering di sebut Alternative Dispute Resolution (ADR). Mediasi penal merupakan model penyelesaian sengketa pidana yang memberi perhatian pada pihak-ihak yang secara langsung terlibat dalam suatu perkara pidana seperti korban, pelaku dan komunitas masyarakat dimana peristiwa terjadi.19

Menurut Muladi model sistem peradilan ini sesuai dengan model yang mengacu pada : “daad dader strafrech” yang disebut : model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model realistik yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum yaitu kepentingan Negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban.20 Model ini memberikan peluang yang sama kepada pihak-pihak individu (human right) dan hak-hak masyarakat (communal right).21

Mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima oleh pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral.Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak – pihak yang

18

Usman Rahmadi.Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003). Hlm. 79

19

Op.Cit. Novianto M. Hantoro. Hlm. 103.

20

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana,( Bandung : Binacipta, 1996), hlm. 22.

21


(28)

12

bertikai agar dengan sukarela dapat mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing – masing pihak dalam sebuah persengketaan.22

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersifat (sifatnya ) netral (non-intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak – pihak yang bersengketa serta diterima kehadirannya oleh pihak – pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui media tersebut diperlukan seorang penengah yang dinamakan mediator. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mediator adalah perantara (penghubung, penengah) bagi pihak – pihak yang bersengketa.23Selanjutnya didalam menjalankan fungsinya, mediator tidak memiliki wewenang untuk mengeluarkan keputusan terhadap pihak – pihak yang bersengketa, melainkan berfungsi untuk membantu dalam menemukan solusi terhadap para pihak yang bersengketa.24 Seorang mediator harus mampu mencari pangkal konflik yang menjadi persengketaan diantara para pihak, untuk kemudian menyusun, merumuskan serta menyarankan pilihan pemecahan masalah yang pada akhirnya akan menjadi kesepakatan final antara para pihak dan bukan merupakan keputusan yang bersumber dari pihak mediator.

Boulle 25 membagi proses mediasi ke dalam tiga tahapan utama, yaitu (1) tahapan persiapan (preparation), (2) tahap pertemuan-pertemuan mediasi (the stages of

22

Rahmadi Usman Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, ,2003).

23

Ibid. Hlm. 81

24Takdir Rahmadi.2011.”

Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat”. Rajawali pers.jakarta.Hlm. 14

25


(29)

13

mediation meeting), dan (3) tahapan pascamediasi (post-mediation activities). Kemudian dia membagi tahap persiapan ke dalam beberapa tahapan, yaitu prakarsa mediasi dan keterlibatan mediator (intiatingmediation and the mediator’s entry), penapisan (intake and screening), pengumpulan dan pertukaran informasi (information gathering and exchange), ketentuan informasi kepada para pihak (provision of information to the parties), hubungan dengan para pihak (contact with the parties), pertemuan-pertemuan awal (preliminary conferences), kesepakatan untuk menempuh mediasi (settling the agreement to mediate). Tahapan pertemuan mediasi terdiri atas pernyataan pembukaan awal, penyampaikan masalah oleh para pihak, identifikasi hal-hal yang disepakati, perumusan dan penyusunan agenda perundingan, pembahasan masalah-masalah, tawar-menawar dan penyelesaian masalah, pertemuan terpisah, pengambilan keputusan akhir, dan pernyataan penutupan. Sedangkan tahap pascamediasi terdiri atas telaahan dan pengesahan hasil kesepakatan, sanksi, kewajiban-kewajiban melaporkan, arah mediator, kegiatan lain-lain.

Menurut Moore26 mengidentifikasi proses mediasi kedalam dua belas tahapan, yaitu :

1. Memulai hubungan dengan para pihak yang bersengketa 2. Memilih strategi untuk membimbing proses mediasi 3. Mengumpulkan dan menganalisi latarbelakang sengketa 4. Menyusun rencana mediasi

5. Membangun kepercayaan dan kerjasama kepada para pihak 6. Memulai sidang mediasi

7. Merumuskan masalah-masalah dan menyusun agenda 8. Mengungkapkan kepentingan tersembunyi dari para pihak 9. Mengembangkan pilihan-pilihan penyelesaian sengketa 10. Menganalisis pilihan-pilihan sengketa

11. Proses tawar – menawar 12. Mencapai penyelesaian formal.

26

Christopher W. Moore, 2003, The Mediation Process, Practical Strategies For Resolving Conflict. Hlm. 211


(30)

14

Mediator dari penyelesaian kasus pidana dapat terdiri dari aparat penegak hukum antara lain kepolisian dan kejaksaan serta diluar itu dapat juga pemerintah yang dalam tingkatan Kabupaten atau kota adalah Pemerintah Daerah setempat.Polri sebagai salah satu komponen penyelenggara pemerintahan dibidang hukum, yang langsung di bawahi oleh Presiden diperkenankan melakukan diskresi dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etik profesi Kepolisian Negara Repoblik Indonesia. Dasar hukum dari dilakukannya diskresi yang dilakukan oleh kepolisian tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang – Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.27

Menurut Chryshmanda, tindakan diskresi yang dilakukan aparat kepolisian dapat dibedakan dalam 2 (dua) kategori yaitu 28:

1. Tindakan diskresi yang dilakukan oleh petugas kepolisian secara individu dalam mengambil keputusan, yaitu tindakan diskresi yang diputuskan oleh petugas operasional di lapangan secara langsung pada saat itu juga tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya.

2. Tindakan diskresi berdasarkan petunjuk atau keputusan atasan atau pimpinannya. Tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka/pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah tindakan diskresi

27

Pasal 18 ayat (1) : Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri Pasal 18 ayat (2) : Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

28

http://elisatris.wordpress.com/penerapan-diskresi-kepolisian-dalam-penegakan-hukum-pidana/ diakses pada Hari Senin, Tanggal 17 Desember 2012. Pukul 11.05 WIB.


(31)

15

individual karena pengambilan keputusan diskresi didasarkan atau berpedoman pada kebijakan–kebijakan pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah menjadi kesepakatan diantara mereka.

James Q Wilson mengemukakan ada 4 (empat) tipe situasi tindakan diskresi yang mungkin dilaksanakan, yaitu 29:

1. Police-invoked law enforcement, dimana petugas cukup luas alasannya untuk melakukan tindakan diskresi, tetapi kemungkinannya dimodifikasi oleh kebijaksanaan pimpinannya;

2. Citizen-invoked law enforcement, diskresi sangat kecil kemungkinan dilaksanakan, karena inisiatornya adalah masyarakat;

3. Police-invoked order maintenance, diskresi dan pengendalian pimpinan seimbang (intermidiate), apakah pimpinannya akan memerintahkan take it easy atau more vigorous; dan

4. Citizen-invoked order maintenance, pelaksanaan diskresi perlu dilakukan walau umumnya kurang disetujui oleh atasannya.

Kejaksaan selaku aparat penegak hukum yang memiliki asas yang menunjang dari deskresi kepolisian. Asas yang dimiliki Kejaksaan yaitu “Opportunitas” yang dapat mengesampingkan perkara. Asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan Jaksa Agung setelah memerhatikan saran dan pendapat dari badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah itu. Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/ atau kepentingan masyarakat.30

Keberadaan peraturan kebijakan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas (vrijebevoegdheid) dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah (feies

29

http://elisatris.wordpress.com/penerapan-diskresi-kepolisian-dalam-penegakan-hukum-pidana/ diakses pada Hari Senin, Tanggal 17 Desember 2012. Pukul 11.05 WIB.

30

http://catatansumargi.blogspot.com/2010/12/undang-undang-no-16-tahun-2004-tentang.html. diakses pada tanggal 17 Desember 2012. Pukul 11.30.


(32)

16

Emerssen).31 Dimana pemerintah daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan pemerintahan. Feies Emerssen diartikan orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu.32 Feies Emerssen ini muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas legalitas (wetmatigheid van bestuur).33 Dalam Negara hukum, penggunaan Feies Emerssen ini harus dalam batasan – batasan yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku. Dengan adanya asas ini pemerintah daerah dapat masuk dan ikut andil serta berperan aktif dalam terciptanya perdamain dan dapat pula berfungsi untuk bertindak sebagai mediator yang pada prinsip awalnya sebenarnya pemerintah daerah tidak dapat intervensi dalam kasus di ranah hukum pidana.

Menurut Muchsan, pembatasan penggunaannya adalah sebagai berikut :34

a. Penggunaan Feies Emerssen tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaidah hukum positif).

b. Penggunaan Feies Emerssen hanya ditujukan demi kepentingan umum.

Kerusuhan yang terjadi pada Wilayah Lampung Tengah, penyelesaian yang dapat ditempuh melalui jalur non penal artinya dilakukannya penyelesaian dengan tidak menempuh prosedur hukum pidana yang ada, maka langkah yang diambil adalah melalui mediasi.

31

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2010). Hlm. 177

32

Ibid. Hlm. 177. 33

Ibid. Hlm. 179. 34


(33)

17

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai satu kebulatan utuh sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan, acuan, dan pedoman dalam penelitian atau penulisan. Sumber konsep adalah undang–undang, buku/karya tulis, laporan penelitian, ensiklopedia, kamus dan fakta / peristiwa.35

Adapun kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Penyelesaian

Perbuatan (hal, cara, usaha dsb) menyelesaikan.36 2) Kerusuhan massa

suatu situasi kacau-balau, rusuh dan kekacauan, yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok massa berupa pembakaran serta pengrusakkan sarana-sarana umum, sosial, ekonomi, milik pribadi, fasilitas keagamaan bahkan tidak jarang pada kerusuhan massa itu terdapat tindakan penganiayaan, pengerusakan sarana umum hingga menyebabkan hilangnya nyawa seseorang / kematian.37

3) Mediasi Penal

Mediasi penal adalah suatu upaya atau tindakan dari mereka yang terlibat dalam perkara pidana (penegak hukum, pelaku, dan korban) untuk menyelesaikan perkara pidana tersebut di luar prosedur yang formal/proses paradilan, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.38

35

Abdulkadir Muhamad, Hukum dan Penelitian Hukum. (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2004). Hlm.78

36

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Hlm.897

37

Awaludin, op.cit.,

38Barda Nawawi Arif. 2008, “ Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan”.

Pustaka Megister. Semarang. Hlm.2


(34)

18

E. Sistematika Penulisan

Sebagai upaya memudahkan dalam memahami isi penelitian, maka sistematika penulisan skripsi ini dibagi ke dalam V (lima) Bab secara berurutan dan saling berkaitan agar dapat memberikan gambaran secara utuh hasil penelitian dengan rincian sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Berisikan latar belakang dari penulisan ini, yang berisi latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan tinjauan pustaka mengenai kerusuhan massa dan pengertian kebijakan mediasi non penal dalam penyelesaian perkara pidana, jenis-jenis tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui mediasi penal dan peranan mediasi penal dalam menyelesaikan kerusuhan massa.

III. METODE PENELITIAN

Berisisikan tata cara atau langkah – langkah atau yang digunakan dalam rangka melakukan penelitian yang melalui pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sampling penelitian, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisa data.


(35)

19

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan yang dibahas mengenai peran mediasi penal dalam menyelesaikan tindak kerusuhan massa dan faktor – faktor yang mempengaruhi diselesaikannya tindak kerusuhan massa menggunakan mediasi penal.

V. PENUTUP

Bab ini berisikan tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan beserta saran – saran penulisan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas demi perbaikan di masa yang akan dating.

DAFTAR PUSTAKA


(36)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerusuhan Massa

Massa diartikan sebagai orang yang berjumlah banyak, anggotanya heterogen, berkumpul di suatu tempat dan tidak individualistis. Massa memiliki kesadaran diri yang rendah.1 Kerusuhan adalah tindakan suatu kelompok orang minimal sebanyak 10 (sepuluh) orang yang dalam melaksanakan suatu tujuan bersama menimbulkan suasana gangguan ketertiban umum dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta pengrusakan harta benda orang lain.2 Jadi yang dimaksud dengan Kerusuhan massa adalah sekolompok orang yang berkumpul untuk melakukan tindakan yang berdampak mengganggu ketertiban.3

Kerusuhan massa merupakan suatu situasi kacau, rusuh dan kekacauan, yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok massa berupa pembakaran serta pengrusakkan sarana-sarana umum, sosial, ekonomi, milik pribadi, fasilitas keagamaan. Kerusuhan massa ini juga dapat digolongkan sebagai konflik sosial, yaitu konflik yang ada di dalam masyarakat. Konlik berasal dari bahas latin, Conligere yang artinya saling memukul. Dalam pengertian sosiologis, konflik dapat dipahami sebagai proses sosial dimana dua orang atau dua kelompok orang

1

http://mualimrezki.blogspot.com/2010/12/kerusuhan-massa.html diakses pada Hari Rabu, Tanggal 24 Oktober 2012. Pikul 20.20WIB.

2

Ibid.

3

Ibid.


(37)

berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.4 Konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baikpengaruh positif maupun pengaruh negatif.5

Menurut UU No.7 Tahun 2012 Pasal 1, Pengertian Konflik Sosial yaitu:

“Perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok

masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga

mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional”.

Untuk penanganan kerusuhan massa yang terjadi dimasyarakat menggunakan mediasi penal saat ini payung hukumnya sudah jelas dengan berlakunya Undang-undang Penanganan Konflik Sosial yang telah diUndang-undangkan pada Tahun 2012. Kajian terhadap diundangkannya peraturan tersebut menggunakan mekanisme mediasi melalui pendekatan musyawarah untuk mufakat tidak terlepas dari karakteristik masyarakat Indonesia yang sangan menghormati dan menganut musyawarah mufakat yang terdapat dalam masyarakat adat.

Sebelum terjadi kerusuhan, biasanya terjadi kesalahpahaman atau beda pendapat antar dua orang atau lebih. Kemudian akibat dari adanya rasa dilecahkan maka masing-masing mencari dukungan kepada kelompok atau orang-orang di sekitar

4

http://blog.komputerbutut.com/campuran/menyelesaikan-permasalahan-konflik-sosial.php Pdf. diakses pada tanggal 1 Desember 2012. Pukul 08.00 WIB.

5

http://blog.komputerbutut.com/campuran/menyelesaikan-permasalahan-konflik-sosial.php diakses pada tanggal 1 Desember 2012. Pukul 08.14 WIB.


(38)

mereka. Dengan emosi yang tak terkendali sehingga terjadilah perkelahian di antara dua kelompok tersebut, lalu menimbulkan penrusakan-penrusakan pada bangunan atau fasilitas-fasilitas yang berada di sekitar tempat tersebut. Hal tersebut terjadi didasari oleh :6

1. Kemarahan atau luapan emosi yang tak tertahankan 2. Adanya rasa tersinggung atau di lecehkan

3. Tidak di temukannya kesepakatan 4. Perlakuan yang tidak adil

Berdasarkan UU No.7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial Pasal 5, dirumuskan bahwa Konflik dapat bersumber dari :

a. Permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan social budaya; b. Perseteruan antar umat beragama dan / atau interumat beragama, antar suku,

dan antaretnis;

c. Sengketa batas wilayah desa, kabupaten / kota, dan/atau provinsi;

d. Sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha; atau

e. Distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat.

Kerusuhan massa/ konflik sosial secara langsung akan menimbulkan dampak yang negatif. Bentrokan, kekejaman, maupun kerusuhan yang terjadi antara individu dengan individu, suku dengan suku, bangsa dengan bangsa, serta agama dengan agama kesemuanya itu akan menimbulkan korban jiwa, materil, spiritual, serta berkobarnya rasa kebencian dan dendam yang akan berdampak pada terhentinya kerjasama diantara keduabelah pihak yang berkonflik, terjadi rasa permusuhan, terjadi hambatan, dan terhentinya kemajuan masyarakat. Kesemuanya itu akan memunculkan kondisi dan situasi disintegrasi sosial yang menghambat pembangunan.7

6

http://mualimrezki.blogspot.com/2010/12/kerusuhan-massa.html diakses pada tanggal 24 Oktober 2012. Pukul. 20.30 WIB.

7


(39)

Contoh dari kerusuhan massa ini dapat berupa konflik yang terjadi antar individu dengan individu lainnya, individu dengan kelompok, individu dengan penguasa, kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya serta kelompok masyarakat dengan penguasa yang dalam hal ini adalah pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintahan yang ada di daerah.

Penyelesaian dari kerusuhan yang terjadi selama ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan penyelesaian menggunakan adat dan dengan menggunakan proses hukum. Untuk proses hukum ini berdasarkan Undang-undang dan Norma hukum yang selanjutnya di dalam norma hukum penyelesaiannya dapat menggunakan mekanisme mediasi penal.

B. Karakteristik Mediasi Penal

Mediasi penal (Penal mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain : Mediation in criminal cases atau mediation in penal matters yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut Der Aubergerichtliche Tatausgleich (disingkat ATA) dan dalam bahasa Perancis disebut de mediation penale. Karena mediasi penal terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal sering juga dikenal dengan istilah Victim Offender Mediation (VOM) atau Offender Victim Arrangement (OVA).8

Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan (yang biasa dikenal dengan istilah Alternative Dispute

8


(40)

Resolution dan ada pula yang menyebutnya Apropriate Dispute Resolution9. ADR pada umumnya digunakan dilingkunagn kasus-kasus perdata10, tidak untuk kasusu-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (Hukum positif) pada prinsipnya kasus-kasus pidana tidak dapat diselesaikan diluar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana diluar pengadilan. Setelah adanya deskresi dari aparat penegak hukum selaku bagian dari unsur-unsur pemerintah, atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permanfaatan yang ada di dalam masyarakat (musyawarah keluarga; musyawarah desa; musyawarah adat dsb).11 Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya.

Perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai Negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana/penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah dibidang hukum pidana.12

Restorative Justice Model yang merupakan penerjemahan konsep mediasi pidana mempunyai beberapa karakteristik yaitu:13

1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;

2. Titik perhatian pada pemecahan masalah bertanggungjawab dan kewajiban pada masa depan;

3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;

9

Ibid. Hlm.2

10

UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

11

Op.cit. Arif. Hlm. 3

12

Op.Cit. Arif. Hlm. 4

13

Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 127-129.


(41)

4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;

5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;

6. Sarana perhatian pada perbaikan kerugian sosial;

7. Masyarakat sebagai fasilitator di dalam proses normative;

8. Peran pelaku dan korban tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab;

9. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik.

10. Tindak pidana dipahami sebagai konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis ; dan

11. Stigma dapat dihapus melalui tindak restorati.

Langkah mediasi pidana/ mediasi penal seperti dalam konsep restoratif justice model diatas memerlukan beberapa persyaratan, antara lain :14

1. Adanya persetujuan dari kedua belah pihak baikdari korban maupun pelanggar (pelaku tindak pidana) mengenai upaya mediasi yang dilakukan. 2. Adanya kesedian dari pelaku untuk :

a. Menghentikan segala perbuatan yang mengakibatkan kerugian pada korban;

b. Bersedia melakukan program therapeutic counseling dalam sebuah lembaga yang telah ditunjuk;

c. Memulihkan semua kerusakan atau kekerasan yang dilakukan oleh pelaku (termasuk pemberian konpensasi)

d. Jika mediasi dalam tahap pertama telah dilakukan maka kasus tidak boleh dilanjutkan dalam peradilanpidana

e. Jika terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan dalam mediasi dalam periode tiga tahun maka kasus dapat dilimpahkan kembali ke proses penegakan hukum seperti sebelum terjadi proses mediasi; f. Tidak ada upaya mediasi lainnya diizinkan untuk tindak pidana

yang sama.

Sedangkan mediasi pidana yang dikembangkan itu bertolak dari ide-ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut :15

14

Vasso Artinopaulo, Victim Offender in Family Violance Cases: The Greek Experience, dalam Ahmad Irzal Fardiansyah, Mediasi Pidana (penal): Sebuah Bentuk Perkembangan Hukum Pidana Sekaligus Pengakuan Terhadap Nilai Hudup di Masyarakat, Jurnal hukum Progresif, Vol.3 Oktober 2007, hlm.73-74

15

Stefanie Trankle, The Tension Between Judicial Control and Autonomy in Victim-Offender Media-tion a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France,


(42)

a. Penanganan konflik (conflict handling/confliktbearbeitung) :

Tugas mediator adalam membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pad aide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.

b. Berorientasi pada proses (process orientation / prozessorientierung) :

Mediasi penel lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu : menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan – kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dan sebagainya.

c. Proses informal ( informal proceeding/informalitat) :

Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.

d. Partisipasi aktif dan otonom para pihak (active and autonomous participation

– parteiautonomie/subjective –rung)

Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.

Dalam Explanatory memorandum dari Rekomendasi Dewan Eropa No. R (99) 19 tentang Mediation in Penal Matters, dikemukakan beberapa model ,mediasi penal sebagai berikut 16:

a. Model Informal mediation

Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal dengan tujuan, tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan; dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas, oleh pejabat polisi, atau oleh Hakim

http:/ www.iuscrim.mpg.de/forsch/krim/traenkle_e.html.

16


(43)

b. Model Traditional Village or tribal moots

Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik kejahatan diantara warganya. Model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat luas, serta hukum ini mendahului hukum barat dan telah member inspirasi bagi banyak program-program mediasi modern. Model ini mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku dalam bentuk yang disesuaikan dengan stuktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakui oleh hukum.

c. Model Victimoffender Mediation

Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi yang dimiliki oleh model ini yang mana mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi. Mediasi ini juga dapat dilakukan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksanaan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan.

d. Model Reparation Negotiation Programmes

Model ini hanya semata-mata unuk menaksir/menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban. Program ini tidak berkaitan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiel.

e. Model Community panels or courts

Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.


(44)

Model ini hanya dikembangkan di New Zealand dan Australia, yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP).17 Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku saja, tetapi juga melibatkan keluarga pelaku, dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu dan para pendukung korban. Pelaku dan keluarganya dapat menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu menjaga si pelaku keluar dari kesusahan / persoalan berikutnya.

C. Prosedur Pelaksanaan Kebijakan Kriminal dalam Mediasi Penal

Selama ini kriminal dipahami sebagai ranah sistem peradilan pidana (SPP) yang merupakan representasi dari Negara. Selain itu, kebijakan kriminal juga lebih dipahami sebagai upaya penegakan hukum saja. Dengan semakin meningkat, rumit dan variatifnya masalah kejahatan, SPP tidak lagi dapat dijadikan satu – satunya stakeholder dalam kebijakan kriminal. Khasusnya dalam upaya pencegahan kejahatan, lembaga – lembaga Negara yang difungsikan untuk melakukan pencegahan kejahatan harus melakukan kolaborasi yang terlembagakan dengan masyarakat sipil.

Menurut Laely Wulandari (dalam Barda Nawawi), apabila dalam kebijakan penanggulangan kejahatan digunakan upaya atau sarana hukum pidana (penal), maka kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan untuk melindungi masyarakat ( social

17


(45)

defence policy ).18 Jadi dapat disimpulkan bahwa semua kebijakan kriminal harus selalu mengutamakan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Pasal 82 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan salah satu alasan penghapusan penuntutan, dengan pembayaran denda damai sehingga dapat menyelesaikan permasalahan pidana diluar pengadilan belum menggambarkan secara tegas adanya kemungkinan penyelesaian menggunakan mediasi. Namun dalam konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)19 di gabung dalam satu pasal dan diperluas maka dimungkinkannya penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan.

Dijelaskan bahwa kebijakan hukum pidana operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi ( kebijakan legislatif ), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif) dan tahap eksekusi (kebijakan eksekutif atau administratif). Dari ketiga tahap tersebut yang terpenting adalah tahap formulasi, tahap ini sangat strategis untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Dalam tahap ini legislatif dapat melakukan kebijakan – kebijakan yang dapat dilaksanakan dengan baik pada tahap aplikasi dan eksekusi.20

Dari uraian diatas, bahwa mediasi mengandung unsur – unsur sebagai berikut: 1. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan

perundingan.

2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.

3. Mediator bertugas untuk membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.

18

Barda Nawawi Arif,”Kebijakan Legislative Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana

Penjara”.Undip. Semarang. Hal. 96.

19

Lihat Pasal 142 RKUHP 2004) 20

Laely Wulandari. Kebijakan Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Melalui Mediasi Penal. Jurnal Law Reform Pembaharuan Hukum. Undip, 2008. Semarang. Hlm. 105


(46)

4. Mediator tidak mempunyai wewenang membantu keputusan selama perundingan berlangsung.

5. Tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak – pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.


(47)

III. METODE PENELITIAN

Metode merupakan suatu bentuk atau cara yang dipergunakan dalam pelaksanaan suatu penelitian guna mendapatkan, mengolah, dan menyimpulkan data yang memecahkan suatu permasalahan.1

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan melalui penelaahan – penelaahan terhadap teori – teori, konsep-konsep, pandangan-pandangan serta peraturan-peraturan yang berkatan dengan masalah yang akan dibahas. Secara operasional dilakukan dengan studi kepustakaan.

Pendekatan yuridis empiris adalah suatu pendekatan melalui penelitian lapangan yang dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa penelitian, prilaku, pendapat, sikap yang berkaitan dengan penyelesaian kerusuhan massa menggunakan mediasi penal.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau lapangan, dan data yang diperoleh dari bahan pustaka jenis

1Soerjono Soekamto. 1986, “

Pengantar Penelitian Hukum”. Universitas Indonesia Pers. Jakarta.


(48)

data tersebut yaitu data primer dan data sekunder.2 Data primer dan data sekunder meliputi data yang diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Bahan Hukum Primer, adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat.3 Dalam penulisan skripsi ini, bahan hukum primer adalah udang No.7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, , Kitab Undang-undang Hukum Pidana, serta Rancangan Kitab Undang-Undang-undang Hukum Pidana.

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang bersifat memberikan penjelasan terhadap bahan – bahan hukum primer,seperti Peraturan Kapolri (Perkap), rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.4

3. Bahan Hukum Tersier, adalah bahan – bahan yang digunakan untuk memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia, indeks komulatif, dan seterusnya.5

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejala / kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti.6

Penelitian ini, yang akan penulis jadikan populasi adalah aparat penegak hukum di Kabupaten Lampung Tengah yaitu Polres Lampung Tengah, Bagian Hukum Kesekertariatan Pemerintah Daerah Lampung Tengah, serta tokoh adat/tokoh

2Soerjono Soekamto.,“

Pengantar Penelitian Hukum”. ( Jakarta : Universitas Indonesia Pers. 1986 ). Hlm. 11

3

Dikutip dari Soerjono Soekanto dalam buku “Penelitian Hukum Normatif”.1994. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hlm. 13

4

Ibid, Hlm. 13.

5

Ibid, Hlm. 13

6Burhan Asshofa. 1996, “


(49)

masyarakat/tokoh agama. Adapun prosedur sampling dalam penelitian ini adalah purposive sampling , yaitu suatu metode pengambilan sampel yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan dan tujuan penulis yang telah ditetapkan.7

Berdasarkan metode sampling diatas, maka yang akan menjadi sampel atau responden dalam penelitian ini adalah :

a. Kepala Satuan Reskrim Polres Lampung Tengah : 1 orang b. Kepala Bagian Hukum Pemda Lampung Tengah : 1 orang c. Tokoh Masyarakat/Tokoh adat/tokoh agama di Desa Nambah dadi : 1 orang d. Tokoh Masyarakat/Tokoh adat/tokoh agama di Desa Tanjungratu :1 orang e. Dosen Fakultas Hukum Bagian Pidana Unila : 2 orang

Jumlah :6 Orang

D. Prosedur Pengumpulan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan 2 cara pengumpulan data yaitu :

a. Studi Pustaka

Studi ini digunakan dengan cara mencari dan mengumpulkan buku – buku literatur sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan cara membaca, mencatat, merangkum untuk dianalisis lebih lanjut dengan tujuan untuk memperoleh gambaran asal tentang permasalah yang akan dibahas, sebelum penelitian langsung kelapangan.

7


(50)

b. Studi Lapangan

Dilakukan dengan mengumpulkan data dengan wawancara langsung kepada responden yang terdiri dari satu orang Polisi Reskrim pada Polres Lampung Tengah, satu orang dari Bagian Hukum Kesekertariatan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Tengah, dua orang tokoh Masyarakat/ tokoh Adat Lampung/ tokoh agama serta dua orang Dosen Huku Pidana Universitas Lampung.

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan, baik data primer maupun data sekunder diolah melalui tahapan – tahapan berikut :

a. Pemeriksaan data yaitu Pembenaran apakah data yang terkumpul melalui studi pustaka, dokumen, wawancara, dan kuisioner sudah dianggap lengkap, relevan, jelas, tidak berlebihan, dan tanpa kesalahan. 8

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasikan, pengolahan pengelompokan masing – masing data agar mudah dipahami.

c. Penyusunan data yaitu penempatan pada tiap – tiap pokok bahasan sehingga mudah untuk menginterprestasikan data untuk dianalisis.

E.Analisis Data

Proses analisis merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan perihal pembinaan dan dan hal – hal yang diperoleh darisuatu penelitian pendahuluan. Dalam proses analisis rangkaian data yang telah disusun secara sistematis dan menurut klasifikasinya, diuraikan, dianalisis secara kualitatif yaitu dengan cara merumuskan dalam bentuk uraian data hasil penelitian secara

8


(51)

terperinci dalam bentuk kalimat – kalimat sehingga memperoleh gambaran umum. Yang jelas untuk menjawab permasalahan yang dibahas dan dapat diambil suatu kesimpulan dari analisis tersebut dengan menggunakan cara berfikir deduktif yaitu cara berfikir menarik kesimpulan lalu ditarik pada yang bersifat khusus yang merupakan jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian.


(52)

V. PENUTUP

A. Simpulan

1. Proses penyelesaian kerusuhan massa menggunakan mediasi penal yaitu berangkat dari model yang dimiliki mediasi penal yaitu pada model traditional Village or Tribal moots yang memperkenalkan beberapa keuntungan dari pertemuan suku yang telah disesuaikan dengan struktur masyarakat dan hak-hak individu oleh hukum, serta masyarakat masih mentaati keputusan maupun mekanisme adat dalam hal ini mekanisme adat lampung mengatur bahwa penyelesain konflik lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat maka penyelesaiannya sebagai berikut :

a) dalam tahapan persiapan yaitu keterlibatan mediator dalam suatu permasalahan, pengumpulan dan pertukaran informasi dari masing-masing pihak yang berkonflik, mengadakan hubungan dengn para pihak dan selanjutnya melakukan pertemuan awal yang mengarah pada kesepakatan untuk menempuh jalan mediasi.

b) tahapan pertemuan-pertemuan dalam mediasi, yaitu dimulainya penyampaian masalah oleh para pihak, mengidentifikasi hal-hal yang telah disepakati, dan merumuskan apa yang menjadi kesepakatan, serta mengadakan pertemuan terpisah dari masing-masing pihak yang berkonflik dan mengambil keputusan akhir.


(53)

c) tahap pascamediasi yang termuat didalamnya telaahan dan pengesahan hasil kesepakatan yaitu penandatanganan perjanjian damai, dan selanjutnya kegiatan laian-lain ang dalam permasalahan ini kegiatan laian-laian adlah dengan upacara angkat saudara “mewaghei” oleh para pihak yang berkonflik yang disaksikan oleh mediator dan para undangan dari perwakilan masing-masing yang terlibat konflik.

2. Dasar pertimbangan penyelesaian kerusuhan massa menggunakan mediasi penal yaitu :

a. Kedua belah pihak yang berkonflik sama-sama menginginkan adanya suatu perdamaian dan diselesaikan melalui jalur kekeluargaan.

b. Diskresi yang dimiliki aparat penegak hukum (Polisi) yang tercantum dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Melihat Jika proses hukum tetap dilakukan dalam kasus kerusuhan massa, maka ketertiban di dalam masyarakat tidak tercapai dan akan berdampak luas.

c. Berdasarkan Surat Kapolri No. Pol : B/ 3022/ XII/ 2009/ SDEOPS yang dikeluarkan pada tanggal 14 Desember 2009 Tentang Penanganan Kasus melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), maka dalam hal ini pihak yang bertikai dipersilahkan mencari solusi bersama (kesepakatan) dalam penyelesaian permasalahan yang melibatkan kedua belah pihak.

d. Mengacu pada Rancangan UU tentang Penanganan konflik sosial yang telah disahkan pada tahun 2012. Memang saat kasus ini terjadi dan diselesaikan, UU tentang penanganan konflik sosial masih berupa


(54)

rancangan, namun polisi dapat menggunakannya sebagai salah satu dasar pertimbangan. Dalam RUU tentang penanganan konflik sosial, dalam Pasal 41 ayat (1) sampai dengan Pasal 41 ayat (5). Dalam ketentuan tersebut, memaparkan bahwa adanya ruang gerak pranata adat dan / atau pranata sosial yang ada dan itu diakui keberadaannya di dalam masyarakat untuk menyelesaikan konflik tersebut.

e. Pertimbangan yang selanjutnya adalah beberapa keuntungan yang ada dalam mediasi.

f. Hukum adat yang mampu menjadi media/ alat untuk penyelesaian konflik yang bermanfaat mencegah terjadinya hal serupa dikemudian hari. dengan adanya ritual angkat saudara “mewaghei” yang terdapat dalam kearifan lokal masyarakat lampung (hukum adat).

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, saran yang dapat diberikan adalah : 1. Diharapkan kepada aparat penegak hukum serta pemerintah Daerah agar

dapat mencegah terjadinya kerusuhan massa dibandingkan harus menyelesaikan setelah terjadinya konflik.

2. Diharapkan kepada masyarakat untuk dapat ikut dan berperan aktif dalam menciptakan kondisi yang aman dan tentram di masyarakat serta berperan aktif dalam perkembangan hukum terutama dalam hal mediasi penal. 3. Diharapkan masyarakat dapat terus melestarikan kearifan lokal, yang

dalam hal ini adalah hukum adat, karena dengan adanya hukum adat dapat memberikan solusi yang tidak dapat diberikan dari hukum positif.


(55)

4. Diharapkan ketika terjadi konflik sosial, penyelesaiannya mengedepankan mekanisme lokal, hal ini dimaksudkan untuk menyelesaikan konflik sebelum eksalasinya meluas atau mencegah munculnya kembali kekerasan/ atau ketegangan setelah suasana damai.

5. Harapannya dikemudian hari terjadi hal serupa dan penyelesaiannya menggunakan mediasi, maka apa yang menjadi kesepakatan perdamaian dapat diajukan ke pengadilan dan dapat menjadi suatu keputusan pengadilan sehingga perdamaian yang telah tercipta memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat.

6. Harapannya ketika tindak pidana berat akan diselesaikan menggunakan mediasi, maka penegak hukum terlebih dahulu mempertimbangkannya kembali, dikarenakan jika setiap tindak pidana berat diselesaikan mediasi maka setiap terjadi hal serupa maka masyarakat akan menganggap remeh hukum yang ada.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2010. Penyelesaian Sengketa Alternatif. Universitas Lampung, Bandar Lampung.

____________. 2007. Hukum Pidana. Universitas Lampung, Bandar Lampung. Arif, Barda Nawawi. 2008. Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Pidana diluar

Pengadilan. Pustaka Magister. Semarang.

_________________. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana. PT.Citra Bakti.Bandung.

_________________. 1996. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Undip Semarang.

Asshofa, Burhan. 1996, Metodologi Penelitian Hukum. Bhinika Cipta. Jakarta. Fuady, Munir. 2011.Teori-teori dalam Sosiologi Hukum. Jakarta Kencana. Jakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung. Muhamad, Abdulkadir. 2004, Hukumdan Penelitian Hukum. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

Rahmadi, Takdir.2011.Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. Rajawali pers.jakarta.

Raharjo, Sutjipto. 1985. Beberapa Pemikiran Tentang Ancaman Antar Disiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional. Sinar Baru.Bandung.

Ridwan HR. 2010. Hukum Administrasi Negara. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdulah. 1980,Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat. Rajawali Pers, Jajarta.

Soekanto, Soerjono. 1986, Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Pers. Jakarta.


(57)

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Artikel dan Makalah :

Christopher W. Moore. 2003. The Mediation Process, Practical Strategies For Resolving Conflict.

Lourence, Boulle, 2005, Mediation, Principles, Process, Lexis-Nexis Butterworths, Australia.

Poter Lovenheim, 1989, Mediate Don’t Litigate, How To Resolve Diputes Quickly, Privately, and Inexpensively Without Going to Court, McGraw- Hill, Inc, New York, St Louis San Francisco.

Raiffa, Howard. 1987, The Artand Science Of Negotiation. Massachusets. Havard University.

Rozah, Umi, Jurnal. Membangun Konstruksi Politik Hukum Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana. Diponegoro. Semarang.

Siswoyo, Johan Komala .2011 Jurnal Mediasi Penal Sebagai Salah Satu Alternatif Upaya untuk Menegakkan Hukum Pidana Progresif. Fh Undip.

Sugeng, Bambang. Penanganan Konflik Sosial. Pusat Kajian Bencana dan Pengungsi. Bandung.

Wulandari, Laely. 2008, Kebijakan Penanganan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga Melalui Mediasi Penal. Jurnal Law Reform Pembaharuan Hukum. Undip. Semarang.

Undang-Undang yang digunakan :

UU RI No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana UU RI No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial.

UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sumber internet :

http://www.awaludinhendra.blogspot.com. http://elisatri.wordpress,com


(58)

http://www.radarlampung.co.id/read/berita-utama/28081-terbanggibesar-mencekam

http://elisatris.wordpress.com/penerapan-diskresi-kepolisian-dalam-penegakan-hukum-pidana/

http://catatansumargi.blogspot.com/2010/12/undang-undang-no-16-tahun-2004-tentang.html


(1)

c) tahap pascamediasi yang termuat didalamnya telaahan dan pengesahan hasil kesepakatan yaitu penandatanganan perjanjian damai, dan selanjutnya kegiatan laian-lain ang dalam permasalahan ini kegiatan laian-laian adlah dengan upacara angkat saudara “mewaghei” oleh para pihak yang berkonflik yang disaksikan oleh mediator dan para undangan dari perwakilan masing-masing yang terlibat konflik.

2. Dasar pertimbangan penyelesaian kerusuhan massa menggunakan mediasi penal yaitu :

a. Kedua belah pihak yang berkonflik sama-sama menginginkan adanya suatu perdamaian dan diselesaikan melalui jalur kekeluargaan.

b. Diskresi yang dimiliki aparat penegak hukum (Polisi) yang tercantum dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Melihat Jika proses hukum tetap dilakukan dalam kasus kerusuhan massa, maka ketertiban di dalam masyarakat tidak tercapai dan akan berdampak luas.

c. Berdasarkan Surat Kapolri No. Pol : B/ 3022/ XII/ 2009/ SDEOPS yang dikeluarkan pada tanggal 14 Desember 2009 Tentang Penanganan Kasus melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), maka dalam hal ini pihak yang bertikai dipersilahkan mencari solusi bersama (kesepakatan) dalam penyelesaian permasalahan yang melibatkan kedua belah pihak.

d. Mengacu pada Rancangan UU tentang Penanganan konflik sosial yang telah disahkan pada tahun 2012. Memang saat kasus ini terjadi dan diselesaikan, UU tentang penanganan konflik sosial masih berupa


(2)

rancangan, namun polisi dapat menggunakannya sebagai salah satu dasar pertimbangan. Dalam RUU tentang penanganan konflik sosial, dalam Pasal 41 ayat (1) sampai dengan Pasal 41 ayat (5). Dalam ketentuan tersebut, memaparkan bahwa adanya ruang gerak pranata adat dan / atau pranata sosial yang ada dan itu diakui keberadaannya di dalam masyarakat untuk menyelesaikan konflik tersebut.

e. Pertimbangan yang selanjutnya adalah beberapa keuntungan yang ada dalam mediasi.

f. Hukum adat yang mampu menjadi media/ alat untuk penyelesaian konflik yang bermanfaat mencegah terjadinya hal serupa dikemudian hari. dengan adanya ritual angkat saudara “mewaghei” yang terdapat dalam kearifan lokal masyarakat lampung (hukum adat).

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, saran yang dapat diberikan adalah : 1. Diharapkan kepada aparat penegak hukum serta pemerintah Daerah agar

dapat mencegah terjadinya kerusuhan massa dibandingkan harus menyelesaikan setelah terjadinya konflik.

2. Diharapkan kepada masyarakat untuk dapat ikut dan berperan aktif dalam menciptakan kondisi yang aman dan tentram di masyarakat serta berperan aktif dalam perkembangan hukum terutama dalam hal mediasi penal. 3. Diharapkan masyarakat dapat terus melestarikan kearifan lokal, yang

dalam hal ini adalah hukum adat, karena dengan adanya hukum adat dapat memberikan solusi yang tidak dapat diberikan dari hukum positif.


(3)

4. Diharapkan ketika terjadi konflik sosial, penyelesaiannya mengedepankan mekanisme lokal, hal ini dimaksudkan untuk menyelesaikan konflik sebelum eksalasinya meluas atau mencegah munculnya kembali kekerasan/ atau ketegangan setelah suasana damai.

5. Harapannya dikemudian hari terjadi hal serupa dan penyelesaiannya menggunakan mediasi, maka apa yang menjadi kesepakatan perdamaian dapat diajukan ke pengadilan dan dapat menjadi suatu keputusan pengadilan sehingga perdamaian yang telah tercipta memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat.

6. Harapannya ketika tindak pidana berat akan diselesaikan menggunakan mediasi, maka penegak hukum terlebih dahulu mempertimbangkannya kembali, dikarenakan jika setiap tindak pidana berat diselesaikan mediasi maka setiap terjadi hal serupa maka masyarakat akan menganggap remeh hukum yang ada.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2010. Penyelesaian Sengketa Alternatif. Universitas Lampung, Bandar Lampung.

____________. 2007. Hukum Pidana. Universitas Lampung, Bandar Lampung. Arif, Barda Nawawi. 2008. Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Pidana diluar

Pengadilan. Pustaka Magister. Semarang.

_________________. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana. PT.Citra Bakti.Bandung.

_________________. 1996. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Undip Semarang.

Asshofa, Burhan. 1996, Metodologi Penelitian Hukum. Bhinika Cipta. Jakarta. Fuady, Munir. 2011.Teori-teori dalam Sosiologi Hukum. Jakarta Kencana. Jakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung. Muhamad, Abdulkadir. 2004, Hukumdan Penelitian Hukum. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

Rahmadi, Takdir.2011.Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. Rajawali pers.jakarta.

Raharjo, Sutjipto. 1985. Beberapa Pemikiran Tentang Ancaman Antar Disiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional. Sinar Baru.Bandung.

Ridwan HR. 2010. Hukum Administrasi Negara. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdulah. 1980,Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat. Rajawali Pers, Jajarta.

Soekanto, Soerjono. 1986, Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Pers. Jakarta.


(5)

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Artikel dan Makalah :

Christopher W. Moore. 2003. The Mediation Process, Practical Strategies For Resolving Conflict.

Lourence, Boulle, 2005, Mediation, Principles, Process, Lexis-Nexis Butterworths, Australia.

Poter Lovenheim, 1989, Mediate Don’t Litigate, How To Resolve Diputes Quickly, Privately, and Inexpensively Without Going to Court, McGraw- Hill, Inc, New York, St Louis San Francisco.

Raiffa, Howard. 1987, The Artand Science Of Negotiation. Massachusets. Havard University.

Rozah, Umi, Jurnal. Membangun Konstruksi Politik Hukum Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana. Diponegoro. Semarang.

Siswoyo, Johan Komala .2011 Jurnal Mediasi Penal Sebagai Salah Satu Alternatif Upaya untuk Menegakkan Hukum Pidana Progresif. Fh Undip.

Sugeng, Bambang. Penanganan Konflik Sosial. Pusat Kajian Bencana dan Pengungsi. Bandung.

Wulandari, Laely. 2008, Kebijakan Penanganan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga Melalui Mediasi Penal. Jurnal Law Reform Pembaharuan Hukum. Undip. Semarang.

Undang-Undang yang digunakan :

UU RI No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana UU RI No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial.

UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sumber internet :

http://www.awaludinhendra.blogspot.com. http://elisatri.wordpress,com


(6)

http://www.radarlampung.co.id/read/berita-utama/28081-terbanggibesar-mencekam

http://elisatris.wordpress.com/penerapan-diskresi-kepolisian-dalam-penegakan-hukum-pidana/

http://catatansumargi.blogspot.com/2010/12/undang-undang-no-16-tahun-2004-tentang.html