Analisis Pengaruh Tingkat Harga Umum, Pendapatan Riil, Suku Bunga, dan Giro Wajib Minimum (GWM) Terhadap Ekses Likuiditas Perbankan di Indonesia (Periode 2006:Q1 – 2012:Q1)

(1)

Analisis Pengaruh Tingkat Harga Umum, Pendapatan Riil, Suku Bunga, dan Giro Wajib Minimum (GWM) Terhadap Ekses Likuiditas Perbankan

di Indonesia (Periode 2006:Q12012:Q1) Oleh

RATIH AMANDARUM SARWENDAH

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh tingkat harga umum, pendapatan riil, suku bunga, dan giro wajib minimum terhadap ekses likuiditas perbankan di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah runtun waktu data bulanan selama periode 2006:Q1-2012:Q1. Pengujian yang dilakukan menggunakan metode Ordinary Least Square(OLS). Untuk pengujian hipotesis digunakan uji t dan uji F dan untuk pengujian asumsi dasar menggunakan uji Asumsi Klasik, yaitu uji multikolineritas, hetrosekedastisitas, normalitas, dan autokorelasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan nilai yang signifikan dari keseluruhan variabel bebas. Artinya dari keseluruhan variabel bebas yang digunakan berpengaruh nyata terhadap ekses likuiditas perbankan. Tingkat harga umum berpengaruh positif terhadap ekses likuiditas perbankan di Indonesia sebesar 1391.176. Pendapatan riil berpengaruh negatif terhadap ekses likuiditas perbankan sebesar -0.400455. Suku bunga berpengaruh negatif terhadap ekses likuiditas perbankan sebesar -24927.75. Giro Wajib Minimum (GWM) berpengaruh negatif terhadap ekses likuiditas perbankan sebesar -0.673995. Berdasarkan uji F secara bersama-sama keseluruhan variabel bebas berpengaruh nyata terhadap ekses likuiditas perbankan di Indonesia.

Kata Kunci: Ekses Likuiditas, tingkat harga umum, pendapatan riil, suku bunga, Giro Wajib Minimum (GWM)


(2)

by

RATIH AMANDARUM SARWENDAH

This study aims to determine how much influence the general price level, real income, interest rates and reserve requirement against excess liquidity in Indonesia. The data used in this study is the time series of monthly data for the period 2006: Q1-2012: Q1. Tests were performed using the method of Ordinary Least Square (OLS). To test the hypothesis used t test and F test and to test the basic assumptions used classical assumption test, the test multikolineritas,

hetrosekedastisitas, normality, and autocorrelation.

The results of this study demonstrate significant value of the overall independent variables. This means that of all the independent variables used real impact on excess liquidity. General price level positive effect on excess liquidity in Indonesia amounted to 1391,176. Real income negatively affect the excess liquidity of -0.400455. Interest rates negatively affect the excess liquidity of -24927.75. Statutory (GWM) negatively affect the excess liquidity of -0.673995. Based on the F test together the entire independent variables significantly affect the excess liquidity in Indonesia.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ekses likuiditas merupakan jumlah cadangan bank yang didepositokan di bank sentral ditambah dengan uang kas yang disimpan untuk keperluan operasional harian bank (cash in vaults), dikurangi kewajiban Giro Wajib Minimum (Reserve Requirment), (Saxegaard, 2006). Pengertian ekses likuiditas tersebut merupakan dalam konteks likuiditas yang digunakan untuk berjaga-jaga (precautionary) atau dapat dianggap sebagai perilaku optimisasi oleh bank. Dalam porsi tertentu ekses likuiditas diperlukan sebagai cadangan bagi perbankan terhadap ketidakpastian penarikan dana oleh nasabah maupun volatilitas nilai tukar yang dapat

mempengaruhi modal perbankan.

Namun tidak semua ekses likuiditas bersumber dari perilaku bank dengan maksud untuk berjaga-jaga. Dalam konsisi tertentu, ekses likuiditas yang dimiliki oleh bank bukanlah bersifat sebagai cadangan untuk berjaga-jaga. Kondisi tersebut dapat berupa likuiditas yang tidak diperlukan dan bahkan dapat berpotensi

memberikan efek negatif bagi efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter. Ekses likuiditas yang seperti ini juga dapat disebut likuiditas yang tidak terkendali (involuntary).


(4)

Sejarahnya ekses likuiditas muncul pertama kali di perbankan Indonesia dimulai ketika terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997. Pada saat itu, memburuknya konsisi perbankan Indonesia akibat besarnya kredit bermasalah dan turunnya kepercayaan masyarakat pada perbankan. Hal ini mendorong pemerintah untuk memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank yang tengah mangalami kesulitan hebat. Bantuan ini dilakukan demi menyelamatkan sistem perbankan secara kesluruhan.

Namun demikian, keterbatasan kemampuan keuangan pemerintah untuk membantu setabilitas sistem perbankan pada saat itu menyebabkan Bank Indonesia ikut terlibat dalam memberikan dana talangan kepada pemerintah. Bantuan Bank Indonesia tersebut dikenal dengan sebutan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Selain itu program lain yang diambil untuk

menyelamatkan sistem perbankan pada saat itu, yaitu program restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan. Program ini dilakukan dengan cara menerbitkan

obligasi rekap sebagai penyertaan modal pemerintah kepada bank-bank, sebagai upaya memenuhi ketentuan permodalan sesuai dengan peraturan BI. Dua hal tersebut, dana talangan BLBI dan program rekapitalisasi perbankan tersebut yang menjadi latar belakang melonjaknya ekses likuiditas di sistem perbankan

Indonesia dan berlangsung secara persisten hingga sampai saat ini.

Namun, kondisi sekarang dengan dulu sudah jauh berbeda. Dulu meski krisis melanda, ekses likuiditasnya tidak terlalu besar, tidak seperti sekarang ini, dimana likuiditas di pasar global semakin meningkat. Ditengah terus membaiknya


(5)

sentimen di pasar keuangan global, berbagai kebijakan tersebut berkontribusi pada positifnya perkembangan berbagai indikator ekonomi domestik. Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan yield Surat Utang Negara (SUN) terus mencatatkan perbaikan, nilai tukar rupiah bergerak dengan cenderung menguat, dan sejalan dengan perkembangan tersebut ekspektasi inflasi terus menurun.

Namun demikian, membaiknya kondisi pasar keuangan serta penurunan BI Rate belum direspons secara optimal oleh perbankan domestik. Hal ini tercermin pada masih relative tingginya suku bunga kredit yang turut berkontribusi pada

lemahnya permintaan kredit. Tertahannya pengucuran kredit tersebut salah satu penyebab semakin meningkatnya stok ekses likuiditas industri perbankan seperti yang terjadi saat ini.

Ekses likuiditas yang berangsur-angsur ini pada perkembangan selanjutnya seringkali menimbulkan permasalahan bagi perekonomian secara umum maupun permasalahan bagi bank sentral selaku otoritas moneter. Dalam konteks bank sentral, ekses likuiditas akan mengakibatkan berkurangnya efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter. Kebijakan moneter dalam hal ini terjadi terutama dalam mempengaruhi sisi permintaan dan mencapai sasaran inflasi.

Selain itu, ekses likuiditas di sistem perbankan akan mendorong bank sentral untuk menyerap kelebihan likuiditas tersebut dengan melalui operasi moneter. Operasi moneter yang dilakukan bank sentral ini dilakukan dalam bentuk lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) maupun Fasilitas Bank Indonesia (Fasbi).


(6)

Operasi moneter ini dilakukan agar tidak memberikan tekanan, baik dipasar keuangan maupun di perekonomian. Namun jika jumlah ekses likuiditas terlampau besar dan berkelanjutan, hal ini akan dapat memberikan tekanan bagi neraca bank sentral. Hal ini dikarenakan bank sentral harus membayar biaya bunga bagi penempatan perbankan di SBI maupun Fasbi. Tercatat hingga Januari 2012, ekses likuiditas yang diserap oleh Operasi Pasar Terbuka (OPT) mencapai Rp 481 triliun.

Sumber: Bank Indonesia

Gambar 1. 1 Perkembangan Operasi Moneter Periode Januari 2006 hingga Januari 2012

Sementara bagi perekonomian, dampak ekses likuiditas dapat berupa keengganan perbankan untuk menyalurkan dananya dalam bentuk kredit yang produktif. Keengganan tersebut karena memandang risiko yang masih tinggi di sektor riil, sehingga pelaku bank lebih memilih untuk menempatkan kelebihan likuiditas tersebut dalam bentuk instruman moneter, seperti SBI atau Fasbi. Akibat dari penempatan kelebihan likuiditas yang semestinya disalurkan di sektor riil, sumber dana di sektor riil menjadi terbatas. Sehingga pada akhirnya akan berakibat pada perubahan harga didalam sektor riil.


(7)

Ekses likuiditas dalam penyaluran dana yang kurang lancar akan berdampak pada perubahan tingkat harga umum di dalam sektor riil. Perubahan tingkat harga umum tersebut dapat berperan sebagai tujuan transaksi, menurut teori permintaan uang klasik. Apabila terjadi penurunan harga barang yang menyebabkan nilai uang riil meningkat, maka permintaan uang juga akan menurun. Sedangkan sebaliknya, apabila terjadi kenaikan harga barang yang disebabkan tingkat harga umum yang meningkat akan menyebabkan nilai uang riil turun, sehingga

permintaan uang meningkat.

Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1.2 di bawah, pada awal tahun 2012 tingkat harga umum mencapai 132%. Peningkatan permintaan uang tersebut akan menyebabkan terjadinya ekses likuiditas, yang kemudian akan berpengaruh pada kebijakan moneter. Permasalahan yang diakibatkan oleh ekses likuiditas yang tak terkendali ini harus diantisipasi dengan baik, agar tidak persisten dan semakin menimbulkan efek yang negatif di perekonomian.

Sumber: Bank Indonesia

Gambar 1. 2 Perkembangan Tingkat Harga Umum Periode 2006:Q1 hingga 2012:Q1


(8)

Porsi ekses likuiditas yang memberikan dampak yang negatif bagi efektivitas kebijakan moneter diatas, tidak seluruhnya berdampak negatif. Dalam porsi lain, ekses likuiditas diperlukan sebagai penyangga bagi perbankan. Hal ini terjadi karena ekses likuiditas di sini dimaksudkan untuk menjaga ketidakpastian terhadap penarikan dana oleh nasabah maupun volatilitas nilai tukar yang dapat mempengaruhi modal perbankan. Dalam porsi yang diperlukan ini, ekses likuiditas disebut sebagai ekses likuiditas untuk berjaga-jaga (precautionary).

Menurut Keynes, dalam teori permintaan uang, ada tiga motif dalam memegang uang, yaitu motif transaksi (transaction motive), motif berjaga-jaga (precautionary motive), dan motif spekulasi (speculation motive). Permintaan uang yang muncul sebagai akibat dari motif transaksi ini didasarkan pada anggapan bahwa seseorang berminat untuk memegang uang dimaksudkan untuk memenuhi dan

memperlancar transaksi yang mereka lakukan. Di sini dianggap bahwa permintaan uang untuk tujuan transaksi tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendapatan nasional.

Pendapatan yang dilakukan sebagai maksud untuk memenuhi dan memperlancar jalannya transaksi, merupakan salah satu motif untuk sebagian orang untuk memegang uangnya. Tingkat pendapatan nasional riil sering dilakukan untuk melakukan penelitian tentang pengaruhnya terhadap stabilitas permintaan uang. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Banatul Hayati (2006), yang memasukkan variabel tingkat pendapatan riil dalam menentukan stabilitas uang dalam


(9)

memenuhi dan memperlancar jalannya transaksi yang akan dilakukan. Tercatat hingga 2012 triwulan pertama, pendapatan nasional riil mencapai Rp 546 triliun seperti yang dilihat pada Gambar 1.3 di bawah ini.

Sumber: Bank Indonesia

Gambar 1. 3 Pendapatan Riil Periode 2006:Q1 hingga 2012:Q1

Disamping untuk membiayai transaksi, uang diminta pula untuk menghadapi keadaan mendesak atau masalah penting lain di masa depan. Ada kalanya keadaan masa depan semakin bertambah baik, tetapi ada kalanya masalah-masalah buruk akan dihadapi. Untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti, terutama untuk menghadapi keperluan yang mendesak, sebagian uang disisihkan untuk menghadapi masalah di masa depan. Uang yang disisihkan untuk tujuan ini dinamakan permintaan uang untuk tujuan berjaga-jaga.

Menurut teori permintaan uang Keynes, pendapatan riil juga berpengaruh terhadap permintaan uang sebagai motif berjaga-jaga (precautionary). Di mana apabila semakin besar tingkat pendapatan, maka permintaan uang untuk


(10)

berjaga-jaga juga akan semakin besar. Begitu juga sebaliknya, apabila semakin kecil tingkat pendapatan, maka permintaan uang untuk berjaga-jaga pun semakin rendah. Ketidakpastian mengenai penerimaan dan pengeluaranlah yang menjadi pertimbangan untuk meningkatkan permintaan uang.

Dalam ekonomi, di mana instisusi keuangan sudah berkembang, masyarakat menggunakan pula uangnya untuk tujuan spekulasi, yaitu disimpan atau

digunakan untuk membeli surat-surat berharga seperti obligasi pemerintah, saham perusahaan, dan lain-lain. Penyimpanan uang untuk tujuan spekulasi ini juga merupakan salah satu motif penyimpanan uang yang dikemukakan oleh Kynes. Dalam menggunakan uang untuk tujuan spekulasi ini, suku bunga atau deviden yang diperoleh dari memiliki surat-surat berharga tersebut sangat penting dalam menentukan besarnya jumlah permintaan uang. (Sukirno, 2004)

Tidak sama halnya seperti tujuan transaksi dan berjaga-jaga yang ditentukan oleh pendapatan, tujuan spekulasi ditentukan oleh suku bunga. Apabila suku bunga atau deviden surat-surat berharga itu tinggi, masyarakat akan menggunakan uang untuk membeli surat-surat berharga tersebut. Akan tetapi apabila suku bunga dan tingkat pengembalian modal rendah, mereka akan lebih suka menyimpan uangnya daripada membeli surat-surat berharga. Perkembangan suku bunga pada periode 2006:Q1 sampai 2012:Q1 dapat dilihat pada Gambar 1.4 di bawah ini.


(11)

Sumber : Bank Indonesia

Gambar 1.4 Perkembangan suku bunga BI rate periode 2006:Q1 sampai 2012:Q1

Dalam mengatasi ekses likuiditas perbankan pada bank umum, pemerintah memerlukan beberapa regulasi untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi dan tingkat investasi yang terkendali. Hal tersebut dapat terwujud dengan salah satunya yaitu dengan cara memainkan besarnya cadangan minimum yang harus disetorkan oleh masing-masing bank kepada Bank Indonesia, yang dikenal

sebagai Giro Wajib Minimum (GWM). Kenaikan ini dimaksud untuk memelihara kestabilan moneter dan menjadikan perbankan lebih memiliki daya saing.

Dapat dilihat pada Gambar 1.5 dibawah ini, perkembangan GWM pada tahun 2010 hingga 2011 meningkat karena terjadi perubahan kebijakan moneter pada tahun 2010 yang menetapkan GWM sebesar 8% pada tahun tersebut. Kenaikan GWM ini akan berdampak langsung terhadap perbankan Indonesia, karena GWM ini dapat memicu untuk bank menyediakan pencadangan lebih tinggi di Bank


(12)

Indonesia. Dangan adanya penetapan kebijakan GWM dari otoritas moneter, bank harus menyediakan likuiditas yang lebih untuk di berikan kepada Bank Indonesia. Hal ini yang akan mengakibatkan semakin berkurangnya likuiditas bank umum, sehingga ekspansi kredit bank akan semakin kecil.

Sumber : Bank Indonesia

Gambar 1.5 Perkembangan GWM periode 2006:Q1 sampai 2012:Q1

Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini akan menganalisis sejauh mana variabel-variabel yang berupa tingkat harga umum, pendapatan riil, suku bunga dan Giro Wajib Minimum berpengaruh terhadap Ekses Likuiditas perbankan, khususnya bank umum pada periode 2006:Q1 sampai dengan 2012:Q1 di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :


(13)

1. Seberapa besar pengaruh tingkat harga umum terhadap Ekses Likuiditas perbankan di Indonesia.

2. Seberapa besar pengaruh pendapatan riil terhadap Ekses Likuiditas perbankan di Indonesia.

3. Seberapa besar pengaruh suku bunga terhadap Ekses Likuiditas perbankan di Indonesia.

4. Seberapa besar pengaruh Giro Wajib Minimum (GWM) terhadap Ekses Likuiditas perbankan di Indonesia.

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis seberapa besar pengaruh tingkat harga umum terhadap Ekses Likuiditas perbankan di Indonesia.

2. Menganalisis seberapa besar pengaruh pendapatan riil terhadap Ekses Likuiditas perbankan di Indonesia.

3. Menganalisis seberapa besar pengaruh suku bunga terhadap Ekses Likuiditas perbankan di Indonesia.

4. Menganalisis seberapa besar pengaruh Giro Wajib Minimum (GWM) terhadap Ekses Likuiditas perbankan di Indonesia.


(14)

D. Kerangka Pikir

Masalah ekses likuiditas dapat ditimbulkan dari faktor-faktor yang berupa tingkat harga umum, pendapatan riil, suku bunga, yang juga merupakan faktor dari permintaan uang dan Giro Wajib Minimum yang merupakan kebijakan moneter. Terjadinya ekses likuiditas di perbankan Indonesia yang ditimbulkan dari faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan dampak yang positif dan negatif di

perekonomian. Ekses likuiditas yang sering terjadi adalah ekses likuiditas yang menimbulkan efek negatif di perekonomian. Oleh karena itu, agar tidak

menimbulkan efek yang negatif bagi perekonomian, ekses likuiditas tersebut perlu dicegah.


(15)

Ekses likuiditas terdiri dari ekses likuiditas yang memberikan dampak positif atau sebagai bentuk penjagaan (precautionary), dan ekses likuiditas yang memberi dampak negatif atau ekses likuiditas tak terkendali (involuntary). Ekses likuiditas dalam bentuk penjagaan ini berguna sebagai cadangan bank. Cadangan tersebut diperlukan untuk mencegah terjadinya ketidakpastian terhadap penarikan dana yang dilakukan oleh nasabah. Sehingga jika hal tersebut terjadi tidak akan mempengaruhi permodalan perbankan.

Sedangkan, ekses likuiditas yang memberikan dampak negatif dapat

menimbulkan permasalahan bagi bank sentral selaku otoritas moneter, maupun bagi perekonomian secara umum. Dalam konteks bank sentral, ekses likuiditas dapat menyebabkan berkurangnya efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter. Hal ini terutama dapat mempengaruhi dari segi permintaan dan sasaran inflasi.

Selain itu, ekses likuiditas di sistem perbankan akan mendorong bank sentral untuk menyerap kelebihan likuiditas tersebut melalui operasi moneter. Operasi moneter tersebut dalam bentuk lelang SBI atau Fasbi agar tidak memberikan tekanan baik di pasar keuangan maupun di perekonomian. Namun jika jumlah ekses likuiditas semakin besar dan persisten, hal ini akan dapat memberikan tekanan bagi kesinambungan neraca bank sentral. Karena bank sentral harus membayar biaya bunga bagi penempatan dana perbankan di SBI maupun di Fasbi.


(16)

Bagi perekonomian, ekses likuiditas juga berdampak negatif bagi perekonomian. Dampak ekses likuiditas tersebut berupa keengganan perbankan untuk

menyalurkan dana yang didapat dalam bentuk kredit kredit yang produktif. keengganan tersebut terjadi dikarenakan memandang risiko yang masih tinggi di sektor riil. Sehingga bank lebih memilih untuk menempatkan dananya dalam bentuk instrumen moneter. Bila hal ini terjadi, akan berakibat sumber dana di sektor riil menjadi terbatas dan bila tersediapun harganya menjadi lebih mahal. (Bathaluddin, 2012)

E. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah :

1. Diduga tingkat harga umum berpengaruh negatif terhadap Ekses Likuiditas pada perbankan di Indonesia.

2. Diduga pendapatan riil berpengaruh positif terhadap Ekses Likuiditas pada perbankan di Indonesia.

3. Diduga suku bunga berpengaruh negatif terhadap Ekses Likuiditas pada perbankan di Indonesia.

4. Diduga Giro Wajib Minimum (GWM) berpengaruh negatif terhadap Ekses Likuiditas pada perbankan di Indonesia.


(17)

F. Sistematika Penulisan

Untuk mengetahui secara singkat isi dari penulisan skripsi ini, penelitian ini dibagi menjadi 5 bab. Bab-bab tersebut terdiri dari bab pendahuluan, landasan teori, metode penelitian, hasil perhitungan dan pembahasan, dan simpulan dan saran.

Bab pertama yaitu Pendahuluan, bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pikir, hipotesis, dan sistematika penulisan. Bab kedua yaitu Landasan Teori, bab ini terdiri dari tinjauan teoritis dan tinjauan empirik, yang berisi tentang pengertian likuiditas, teori permintaan uang Keynes, dan perngertian-penertian mengenai tingkat harga umum,

pendapatan riil, suku bunga, dan giro wajib minimum. Bab ketiga yaitu Metode Penelitian, bab ini berisi tentang penulisan jenis dan sumber data, batasan ukuran variabel, model dan metode analisis dan pengujian hipotesis. Bab keempat yaitu Hasil dan Pembahasan, berisi tentang gambaran umum hasil penelitian yang telah dilakukan dan membahasnya sesuai dengan tujuan penelitian. Bab kelima yaitu Simpulan dan Saran, bab ini berisi tentang kesimpulan dari penelitian dan saran-saran mengenai keterbatasan penelitian ini.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Likuiditas

1. Pengertian Likuiditas

Dalam terminologi keuangan dan perbankan terdapat banyak pengertian mengenai likuiditas, beberapa diantaranya dapat disebutkan sebagai berikut. Likuiditas adalah kemampuan bank untuk memenuhi kemungkinan ditariknya

deposito/simpanan oleh deposan/nasabah. Dengan kata lain, menurut definisi ini suatu bank dikatakan likuid apabila dapat memenuhi kewajiban penarikan uang dari nasabah maupun dari para peminjam. Likuiditas merupakan kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban hutang-hutangnya, dapat membayar kembali semua deposannya, serta dapat memenuhi permintaan kredit yang diajukan para debitur tanpa terjadi penangguhan. Dari pengertian tersebut, bank dikatakan likuid apabila (Chairuddin, 2002):

1. Bank tersebut memiliki cash assets sebesar kebutuhan yang akan digunakan untuk memenuhi likuiditasnya.

2. Bank tersebut memiliki cash assets yang lebih kecil dari kebutuhannya, tetapi bank memiliki surat-surat berharga yang segera dapat dialihkan menjadi kas. 3. Bank tersebut memiliki likuiditas dengan cara menciptakan uang, misalnya

penggunnaan fasilitas diskonto, call money, atau penjualan dengan repo (repurchase agreement).


(19)

Likuiditas mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek yang harus segera dipenuhi. Selanjutnya berkaitan dengan masalah likuiditas ini, perusahaan dikatakan mampu memenuhi kewajiban keuangannya dengan tepat waktu berarti perusahaan dalam keadaan liquid. Sebaliknya apabila perusahaan tidak segera memenuhi kewajiban keuangannya pada saat jatuh tempo berarti perusahaan tersebut dalam keadaan inliquid. (Kuntadi, 2011)

Pengelolaan likuiditas juga merupakan masalah yang sangat kompleks dalam kegiatan operasional bank. Hal ini dikatakan kompleks karena likuiditas

menyangkut dana pihak ketiga (DPK) yang sebagian besar dari sifat dana tersebut berupa jangka pendek dan tidak terduga. Oleh karenanya bank harus

memperhatikan pengelolaan seakurat mungkin kebutuhan likuiditas untuk jangka waktu tertentu agar kebutuhan kewajiban perbankan dapat terpenuhi dengan baik.

Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh aset menjadi bentuk tunai (cash). Sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio reabilitas. Apabila bank tidak mampu memenuhi kebutuhan dana dengan segera untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan dana yang mendesak maka bank tersebut dapat memicu munculnya risiko likuiditas. Risiko likuiditas adalah risiko terjadinya kerugian yang merupakan akibat dari adanya kesenjangan antara sumber pendanaan yang pada umumnya berjangka


(20)

pendek dan aktiva yang pada umumnya berjangka panjang. Besar kecilnya risiko likuiditas ditentukan antara lain (Putra, 2010):

a. Kecermatan dalam perencanaan arus kas atau arus dana berdasarkan prediksi pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana, termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana,

b. Ketepatan dalam mengatur struktur dana,

c. Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas, dan

d. Kemampuan menciptakan aset ke pasar bank atau sumber dana lainnya. Apabila kesenjangan yang cukup besar terjadi, maka akan menurunkan

kemampuan bank untuk memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Untuk mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas, bank wajib menyediakan likuiditas tersebut dengan cukup dan mengelolanya dengan baik, karena apabila likuiditas tersebut terlalu kecil maka akan menggangu kegiatan operasional bank. Namun demikian, likuiditas bank juga tidak boleh terlalu besar, karena apabila jumlah likuiditas terlalu besar maka akan menurunkan efisiensi bank sehingga berdampak pada rendahnya tingkat profitabilitas bank tersebut.

2. Manajemen Likuiditas

Manajemen likuiditas melibatkan perkiraan permintaan dana oleh masyarakat dan penyediaan cadangan untuk memenuhi semua kebutuhan. Manajemen likuiditas juga melibatkan pekiraan sumber dana dan penyediaan kas secara terus menerus baik jangka pendek maupun jangka panjang. Tujuan dari manajemen likuiditas adalah (Siamat, 2005):


(21)

1. Untuk menjaga posisi likuiditas bank agar selalu berada pada posisi yang ditentukan bank sentral.

2. Untuk mengelola alat-alat likuid agar selalu dapat memenuhi semua

kebutuahan arus kas (cash flow), termasuk kebutuhan yang tidak diperkirakan, misalnya penarikan yang tiba-tiba terhadap sejumlah giro atau deposito

berjangka yang belum jatuh tempo.

3. Untuk sedapat mungkin memperkecil adanya dana kosong (idle funds).

Teori manajemen likuiditas pada dasarnya adalah teori yang berkaitan dengan bagaimana cara mengelola dana dan sumber-sumber dana bank agar dapat memelihara posisi likuiditas dan memenuhi segala kebutuhan likuiditas dalam kegiatan operasional bank sehari-hari. Beberapa teori yang berkaitan mengenai manajemen likuiditas, antara lain:

a. Teori Pinjaman Komersial (Commercial Loan Theory)

Teori pinjaman komersial ini menitikberatkan pada sisi aktiva dari hal neraca bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditas bank. Menurut teori ini likuiditas bank dapat terjamin apabila aktiva produktif bank yang terdiri dari kredit jangka pendek dicairkan dalam kegiatan usaha yang berjalan secara normal. Apabila bank akan memberikan kredit dengan jangka yang lebih panjang, hendaknya sumber dana diambil dari modal bank dan sumber dana jangka panjang. Bank hanya harus memberi kredit-kredit berjangka pendek, seperti kredit yang digunakan untuk modal usaha kerja untuk memproses suatu produksi yang bersifat sementara, misalnya pertanian. Sebelumnya, bank-bank menitikberatkan portofolio kreditnya sebagai sumber tambahan likuiditas hingga, karena saat itu


(22)

tidak banyak alternatif lain sebagai sumber likuiditas. Beberapa kelemahan dari teori ini, antara lain (Siamat, 2009):

1. Banyak kredit bukan jangka pendek

2. Dalam situasi ekonomi yang sedang lesu, kredit modal kerja yang peluasannya berasal dari arus kas nasabah debitur akan menjadi tidak lancar.

3. Kredit jangka pendek dapat menjadi jangka panjang melalui perpanjangan waktu secara terus menerus.

4. Dalam perekonomian yang sedang maju, kredit jangka menengah atau panjang akan menjadi semakin penting dan dibutuhkan.

5. Teori ini mengabaikan pernyataan bahwa dalam keadaan normal atau stabil, sumber-sumber dana bank seperti dana pihak ketiga, kemungkinan untuk disalurkan sebagai kredit jangka panjang.

6. Secara implisit teori ini menganggap bahwa likuiditas dapat terpenuhi dengan hanya mengendalikan sumber dari peluasan dan atau pembayaran kredit oleh nasabah. Padahal penarikan dan pencairan kredit dapat melebihi likuiditas yang hanya bersumber dari peluasan kredit.

b. Dokterin Mengalihkan Aset (Doctrine of Asset Shiftability)

Akibat dari banyaknya kelemahan dari teori sebelumnya, muncullah teori Doctrine of Asset Shiftability. Di mana teori ini mengatakan bahwa bank dapat segera memenuhi kebutuhan likuiditasnya dengan memberikan shiftable loan atau call loan, yaitu pinjaman yang harus dibayar dengan pemberitauan satu atau beberapa hari sebelumnya dengan jaminan surat-surat berharga. Pinjaman dapat melunasi pinjaman tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dengan


(23)

cara mengalihkan (shifting) pinjaman ke bank lain. Apabila alasan pinjaman tidak dapat dibayar, maka bank dapat menjual barang jaminan berupa surat berharga untuk pelunasan. Doktrin ini berfungsi apabila pasar keuangan sudah

berkembang dan cukup aktif, dengan pengertian bahwa berapapun jumlah permintaan dan penawaran dapat diserap oleh pasar.

Tetapi teori ini juga memiliki kelemahan, yaitu apabila dalam waktu yang bersamaan bank-bank membutuhkan likuiditas dan menjual jaminan surat berharga tersebut untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya, dalam situasi ini bukan saja akan menyebabkan kredit tidak dapat dialihkan, tetapi juga akan menyebabkan turunnya harga surat berharga karena bank-bank menjual jaminannya dengan waktu yang bersamaan.

c. Teori Pengalihan Pasar (Theory of Shiftability to The Market)

Teori Pengalihan pasar ini mulai diperkenalkan akibat pesatnya penerbitan surat-surat berharga, terutama pada pemerintahan AS, misalnya treasury bills pada periode depresiasi dan beberapa lainnya yang selanjutnya menciptakan suatu pasar sekuritas yang terorganisasi dan berkembang secara baik. Teori ini juga

berasumsi bahwa likuiditas suatu bank akan dapat terjamin apabila bank memiliki portofolio surat-surat berharga yang dapat segera dialihkan untuk memperoleh uang kas atau likuiditas.

Teori ini juga memiliki beberapa kekurangan, yang antara lain pada saat sistem perbankan membutuhkan likuiditas dalam waktu yang bersamaan, dilakukan


(24)

dengan menjual sikuritas untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya sehingga dalam saat yang bersamaan bank-bank menjadi penjual sikuritas. Bagi negara yang memiliki bank sentral yang sudah berjalan dengan baik, situasi tersebut tidak menjadi masalah, karena bank sentral akan melakukan tindakan dengan membeli surat-surat berharga semua bank. Namun pada saat sistem bank sentral yang belum maju dan berjalan baik, maka hal ini akan menjadi masalah pada sistem perbankan di negara tersebut.

d. Teori Antisipasi Pendapatan (The Anticipated Income Theory)

Teori Antisipasi Pendapatan muncul dilatarbelakangi oleh rendahnya permohonan kredit kepada bank yang mengakibatkan terjadinya kelebihan likuiditas dan rendahnya keuntungan yang diperoleh bank, khususnya pada saat terjadi depresiasi ekonomi. Teori ini mendorong agar bank-bank agar lebih agresif dalam memberikan kredit yang berjangka panjang. Teori menyatakan bahwa bank-bank seharusnya dapat memberikan kredit jangka panjang, yang mana peluasannya, yaitu cicilan pokok pinjaman dan bunga dapat diharapkan dan dijadwalkan pembayarannya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Jadwal pembayaran kembali nasabah akan memberikan cash flow secara teratur yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank tersebut.

Kelemahan dari The Anticipated Income Theory adalah menganggap semua kredit dapat ditagih sesuai waktu yang dijadwalkan, tanpa memberikan kemungkinan terjadinya kegagalan pengembalian kredit oleh debitur akibat faktor eksternal ataupun internal. Faktor eksternal dapat berupa resesi ekonomi yang


(25)

berkepanjangan, regulasi yang kurang mendukung, maupun bencana alam. Faktor internal dapat berupa mismanagemen atau kurangnya sumber daya manusia yang berpengalaman dan trampil. Teori ini dirasa sulit diharapkan sebagai sumber likuiditas musiman dan memenuhi kebutuhan permintaan kredit yang segera harus dipenuhi.

3. Ekses Likuiditas Perbankan

Ekses likuiditas merupakan jumlah cadangan bank yang didepositokan di bank sentral ditambah dengan uang kas yang disimpan untuk keperluan operasional harian bank (cash in vaults), dikurangi kebijakan Giro Wajib Minimum, (Saxegaard, 2006). Ekses likuiditas juga merupakan likuiditas yang digunakan bank untuk berjaga-jaga (precautionary), dan dapat dianggap sebagai prilaku optimisasi oleh bank. Munculnya ekses likuiditas di perbankan Indonesia dimulai ketika terjadinya krisis ekonomi pada 1997-1998 yang lalu. Ketika itu

memburuknya kondisi perbankan nasional akibat besarnya kredit bermasalah dan turunnya kepercayaan masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya, persistensi ekses likuiditas tersebut sering kali menimbulkan permasalahan bagi bank sentral selaku otoritas moneter.

Namun, tidak seluruh porsi ekses likuiditas memberikan dampak yang negatif bagi evektivitas mekanisme kebijakan moneter. Dalam porsi tertentu ekses likuiditas diperlukan sebagai penyangga bagi perbankan terhadap ketidakpastian panarikan dana oleh nasabah. Porsi ekses likuiditas ini dapat disebut juga sebagai ekses likuiditas untuk berjaga-jaga. Sedangkan, pada porsi lain ekses likuiditas


(26)

adalah likuiditas yang tidak diperlukan dan berpotensi memberikan efek negatif bagi efektivitas kebijakan moneter. Porsi ekses likuiditas ini disebut juga ekses likuiditas yang tidak terkendali (involuntary). (Bathaluddin, 2012)

Dalam konteks bank sentral, ekses likuiditas akan mengakibatkan berkurangnya efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter, terutama dalam

mempengaruhi sisi permintaan dan mencapai sasaran inflasi. Karena itu selanjutnya akan mendorong bank sentral untuk menyerap melalui operasi moneter dalam bentuk lelang SBI maupun Fasbi agar tidak memberikan tekanan baik di pasar keuangan maupun perekonomian. Dampak ekses likuiditas bagi perekonomian dapat berupa keengganan perbankan untuk menyalurkan dananya dalam bentuk kredit yang produktif karena memandang risiko yang masih tinggi di sektor riil, dan lebih memilih menempatkan dalam instrumen moneter. Akibatnya sumber dana di sektor riil menjadi terbatas yang akhirnya akan mengakibatkan harga menjadi mahal. (Bathaluddin, 2012)

Ada beberapa bahaya dari kelebihan dana pada suatu bank, yaitu :

1. Hilangnya kepercayaan memperoleh laba, karena tertahannya kas atau uang tunai.

2. Kurangnya kepercayaan pemilik dana atau nasabah karena turunnya penghasilan bank tersebut.

3. Rendahnya rentabilitas (kemampuan untuk memperoleh laba) pemilik dana menghambat perkembangan suatu bank.

Untuk menghilangkan pengaruh pengelolaan likuiditas agar tidak mengorbankan kepentingan rentabilitas, maka bank harus memiliki proyeksi atau rencana


(27)

kebutuhan likuiditasnya masing-masing. Proyeksi tersebut berdasarkan informasi dari unit-unit terkait, dan tidak berlaku untuk semua keadaan. Kerena ekses likuiditas selalu berubah- ubah dan tidak pernah konstan pada setiap keadaan, baik dalam keadaan yang stabil, maupun dalam keadaan yang sedang krisis.

B. Teori Permintaan Uang Keynes

Permintaan uang adalah sejumlah uang yang diminta oleh masyarakat untuk ketiga tujuan meminta uang, yaitu tujuan transaksi, tujuan berjaga-jaga dan tujuan spekulasi. (Sukirno, 2004)

1. Permintaan Uang untuk Transaksi

Memegang uang untuk membayar transaksi merupakan tujuan memegang uang yang paling penting. Di dalam perekonomian modern di mana tingkat

spesialisasinya tinggi, uang sangat penting peranannya untuk melancarkan kegiatan ekonomi dan transaksi atau jual beli. Tingkat spesialisasi yang tinggi hanya mungkin terwujud apabila pertukaran dilakukan dengan menggunakan uang. Karena dengan ini orang dapat dengan mudah menggunakan uang untuk membeli apa yang mereka perlukan.

Tujuan meminta uang dengan motif transaksi ini juga timbul karena uang digunakan untuk melakukan pembayaran secara regular terhadap transaksi yang dilakukan. Besarnya permintaan uang dengan tujuan transaksi ini dilakukan oleh besarnya tingkat pendapatan, yang artinya semakin besar tingkat pendapatan yang dihasilkan, maka jumlah uang yang diminta untuk transaksi juga mengalami peningkatan. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah pendapatan yang


(28)

dihasilkan, maka jumlah uang yang diminta untuk trasaksi juga mengalami penurunan.

2. Permintaan Uang untuk Berjaga-jaga

Disamping untuk membiayai transaksi, uang diminta pula untuk menghadapi keadaan kesusahan atau masalah penting lain di masa depan. Ada kalanya keadaan masa depan semakin bertambah baik, tetapi ada kalanya masalah-masalah buruk akan dihadapi. Untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti, terutama untuk menghadapi masalah kesusahan, sebagian uang disisihkan digunakan untuk menghadapi masalah di masa depan. Uang yang disisihkan untuk tujuan ini dinamakan permintaan uang untuk tujuan berjaga-jaga.

Besarnya permintaan uang untuk berjaga-jaga ditentukan oleh besarnya tingkat pendapatan pula. Apabila semakin besar tingkat pendapatan, maka permintaan uang untuk berjaga-jaga juga akan semakin besar. Begitu juga sebaliknya, apabila semakin kecil tingkat pendapatan, maka permintaan uang untuk berjaga-jaga pun semakin rendah. Ketidakpastian mengenai penerimaan dan pengeluaranlah yang menjadi pertimbangan untuk meningkatkan permintaan uang.

3. Penerimaan Uang untuk Spekulasi

Dalam ekonomi, di mana instisusi keuangan sudah berkembang, masyarakat menggunakan pula uangnya untuk tujuan spekulasi, yaitu disimpan atau

digunakan untuk membeli surat-surat berharga seperti obligasi pemerintah, saham perusahaan, dan lain-lain. Dalam menggunakan uang untuk tujuan spekulasi ini,


(29)

suku bunga atau deviden yang diperoleh dari memiliki surat-surat berharga tersebut sangat penting dalam menentukan besarnya jumlah permintaan uang. Apabila suku bunga atau deviden surat-surat berharga itu tinggi, masyarakat akan menggunakan uang untuk membeli surat-surat berharga tersebut. Akan tetapi apabila suku bunga dan tingkat pengembalian modal rendah, mereka akan lebih suka menyimpan uangnya daripada membeli surat-surat berharga.

Permintaan uang untuk tujuan transaksi dan berjaga-jaga mempunyai sifat yang berbeda dengan permintaan uang untuk tujuan spekulasi. Permintaan uang untuk tujuan transaksi dan berjaga-jaga ditentukan oleh pendapatan nasional. Semakin tinggi pendapatan, semakin banyak uang ditentukan untuk tujuan transaksi dan berjaga-jaga. Sedangkan permintaan uang untuk tujuan spekulasi ditentukan oleh suku bunga. Apabila suku bunga tinggi, permintaan uang untuk spekulasai adalah rendah oleh karena uang telah digunakan untuk membeli surat-surat berharga. Sebaliknya, apabila tingkat bunga rendah, maka permintaan uang untuk spekulasi tinggi oleh karena masyarakat tidak bersedia melakukan pembelian surat-surat berharga dan akan memegang uang.

Dari uraian diatas, dapat dikemukakan bahwa terdapat tiga motif permintaan uang. Namun, permintaan uang itu sendiri memiliki fungsi yang didapat dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi besarnya jumlah permintaan uang. Faktor-faktor tersebut berupa tingkat harga umum, pendapatan riil, dan suku bunga. Fungsi permintaan uang tersebut adalah sebagai berikut, (Abel, 2008):


(30)

Md = P x L(Y, i) yang mana,

Md : Permintaan terhadap Uang P : Tingkat Harga Umum Y : Pendapatan Riil i : Suku Bunga

L : fungsi terkait permintaan uang terhadap pendapatan riil dan suku bunga nominal

Persamaan diatas menyatakan bahwa permintaan uang nominal, Md sebanding dengan tingkat harga, P. Oleh karena itu, jika tingkat harga, P, ganda (dan pendapatan riil dan tingkat suku bunga tidak berubah), permintaan uang nominal, Md, juga akan berlipat ganda. Hal ini mencerminkan fakta bahwa uang dua kali lebih banyak yang diperlukan untuk melakukan transaksi yang sama.

Persamaan ini juga menunjukkan bahwa, untuk setiap tingkat harga, P, permintaan uang tergantung (melalui fungsi L) pada pendapatan riil, Y, dan tingkat bunga nominal atas aset nonmoneter, i. Apabila terjadi peningkatan pada pendapatan riil, Y, maka akan meningkatkan permintaan untuk likuiditas dan dengan demikian meningkatkan permintaan uang. Berbeda halnya dengan yang terjadi pada tingkat bunga. Kenaikan tingkat bunga nominal, i, akan membuat aset nonmoneter lebih menarik, dan ini akan berakibat berkurangnya permintaan uang. (Abel, 2008)


(31)

C. Tingkat Harga Umum

Indeks harga adalah rasio antara rata-rata harga sekelompok barang atau jasa pada suatu tanggal tertentu dengan rata-rata harga sekelompok barang atau jasa sejenis pada tanggal tertentu lainnya, yang disebut sebagai tahun dasar dengan indeks harga sebesar 100, indeks tersebut digunakan untuk menyatakan kembali jumlah yang berbasis harga perolehan pada laporan keuangan mengenai unit-unit daya beli pada tahun dasar atau pada akhir periode berjalan. Indeks harga ini dapat berupa indeks tingkat harga umum dan indeks tingkat harga khusus. Tingkat harga umum juga dapat dikatakan inflasi umum. Inflasi umum tersebut adalah komposit dari inflasi inti, inflasi administered prices, dan inflasi volatile goods. Di mana inflasi seluruh barang/jasa yang dimonitor harganya secara periodik. (Abel, 2008)

Tingkat harga umum merupakan tingkat harga yang mengalami kenaikan bukan hanya pada satu atau beberapa komoditi saja, akan tetapi untuk harga barang secara umum. Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang sama bahkan mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidak bersamaan yang penting kenaikan harga umum barang secara terus menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan harga barang yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang cukup besar, bukanlah merupakan inflasi. Atau dapat dikatakan, kenaikan harga barang yang hanya sementara dan sporadis tidak dapat dikatakan akan menyebabkan inflasi. Secara umum, hitungan perubahan harga tersebut tercakup dalam suatu indeks harga yang dikenal dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Persentase kenaikan IHK dikenal dengan inflasi, sedangkan penurunannya


(32)

disebut deflasi. Dalam lingkup yang lebih luas (makro) angka inflasi menggambarkan kondisi/stabilitas moneter dan perekonomian.

D. Pendapatan Riil

Dalam analisis makroekonomi istilah pendapatan nasional biasanya dimaksudkan untuk menyatakan nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu negara. Pendapatan nasional ini mewakili dari Produk Domestik Bruto (PDB) ataupun Produk Nasional Bruto (PNB). Di samping itu ada pengertian lain dari

pendapatan nasional, yaitu jumlah pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa dalam suatu tahun tertentu. (Sukirno, 2004)

Terdapat dua konsep pendapatan nasional, pendapatan nasional pada harga berlaku dan pendapatan nsional pada harga tetap atau konstan. Pendapatan nasional pada harga berlaku adalah nilai barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun tertentu dan dinilai menurut harga-harga yang berlaku pada tahun tersebut. Konsep pendapatan nasional pada harga-harga berlaku ini merupakan konsep yang selalu dilakukan dalam menghitung

pendapatan nasional dari suatu periode ke periode lainnya.

Dapat diramalkan apabila dibandingkan data pendapatan nasional dari berbagai tahun, nilainya akan berbeda-beda dan menunjukkan kecendrungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pertambahan nilai tersebut disebabkan oleh dua faktor, yaitu pertambahan fisikal barang dan jasa yang dihasilkan dalam


(33)

perekonomian dan kenaikan harga-harga yang berlaku dari suatu periode ke periode lainnya. Untuk dapat menghitung kenaikan tersebut dari tahun ke tahun, barang dan jasa yang dihasilakan haruslah dihitung pada tingkat harga yang tetap. Pendapatan nasional pada harga tetap tersebut yang di maksud, yaitu harga yang berlaku pada suatu tahun tertentu yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun yang lain. Nilai pendapatan nasional yang didapat dalam perhitungan secara ini dinamakan pendapatan nasional pada harga tetap atau dapat dikatakan juga pendapatan nasional riil. (Sukirno, 2004)

Pendapatan nasional menunjukkan tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai pada suatu tahun tertentu. Sedangkan pertumbuhan ekonomi menunjukkan perubahan tingkat kegiatan ekonomi yang terjadi dari tahun ke tahun. Dalam

memperbandingkan haruslah disadari bahwa perubahan nilai pendapatan nasional yang terjadi dari tahun ke tahun disebabkan oleh dua faktor, yaitu perubahan tingkat kegiatan ekonomi dan perubahan harga-harga. Adanya pengaruh dari faktor perubahan harga disebabkan oleh penilaian pendapatan nasional tersebut menurut harga yang berlaku pada tahun yang bersangkutan.

Oleh karena perubahan nilai pendapatan nasional dari tahun ke tahun bukan saja disebabkan oleh perubahan tingkat kegiatan ekonomi tetapi juga oleh kenaikan harga-harga perlu ditentukan perubahan yang sebenarnya terjadi dalam kegiatan-kegiatan ekonomi dari tahun ke tahun. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengaruh perubahan harga-harga terhadap nilai pendapatan nasional pada berbagai tahun


(34)

harus dihilangkan. Hal ini dilakukan dengan cara menghitung pendapatan nasional menurut harga konstan.

Pendapatan nasional riil bisa ditentukan dengan cara mendeflasikan pendapatan nasional menurut harga yang berlaku yaitu dengan menilainya kembali

berdasarkan atas harga-harga pada tahun dasar tertentu (base year). Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mendeflasikan pendapatan nasional, salah

satunya dengan cara yang paling sederhana yaitu dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen. Dengan menggunakan angka IHK ini pendapatan nasional riil dapat ditentukan dengan menggunakan rumus di bawah ini:

Di mana, Yr(t) adalah pendapatan nasional riil pada tahun t; Yb(t), adalah pendapatan nasional menurut harga yang berlaku pada tahun t; IHK(t), adalah indeks harga konsumen pada tahun t.

E. Suku Bunga

Suku bunga adalah biaya peminjaman atau harga yang harus dibayar untuk meminjam suatu pendanaan, biasanya dinyatakan sebagai persentase per tahun, (Miskhin, 2009). Tingkat bunga memegang peran penting dalam setiap

perekonomian yang menggunakan uang sebagai alat penyimpan nilai. Suku bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Harga atas penggunaan uang tersebut biasanya dinyatakan dalam persentase dalam jangka waktu tertentu.


(35)

Secara umum, naik turunnya tingkat bunga dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan uang. Tingkat bunga naik apabila permintaan pinjaman atau debitur lebih besar daripada jumlah uang atau dana yang ditawarkan kreditur.

Sebaliknya, tingkat bunga cenderung turun bila permintaan debitur lebih kecil daripada jumlah uang yang ditawarkan oleh kreditur.

Tingkat bunga menentukan jenis-jenis investasi yang akan memberi keuntungan kepada para pengusaha. Para pengusaha akan melaksanakan investasi yang mereka rencanakan hanya apabila tingkat pengembalian modal yang mereka peroleh melebihi tingkat bunga. Dengan demikian besarnya investasi dalam suatu jangka waktu tertentu adalah sama dengan nilai dari seluruh investasi yang tingkat pengembalian modalnya adalah lebih besar atau sama dengan tingkat bunga. Apabila tingkat bunga menjadi lebih rendah, lebih banyak usaha yang mempunyai tingkat pengembalian modal yang lebih tinggi daripada tingkat suku bunga. Semakin rendah tingkat bunga yang harus dibayar para pengusaha, semakin banyak usaha yang dapat dilakukan para pengusaha. Semakin rendah tingkat bunga semakin banyak investasi yang dilakukan para pengusaha. (Sukirno, 2004)

Ada beberapa teori-teori mengenai suku bunga, antara lain: a. Teori Suku Bunga Klasik

Menurut kaum klasik, suku bunga menentukan besarnya tabungan maupun investasi yang akan dilakukan dalam perekonomian yang menyebabkan tabungan yang tercipta pada penggunaan tenaga kerja penuh akan selalu sama yang


(36)

mengatakan bahwa tingkat bunga merupakan nilai balas jasa dari modal. Dalam teori klasik, stok barang modal dicampuradukkan dengan uang dan keduanya dianggap mempunyai hubungan subtitusi. Semakin langka modal, semakin tinggi suku bunga. Sebaliknya, semakin banyak modal semakin rendah tingkat suku bunga.

Investasi juga merupakan fungsi dari suku bunga. Makin tinggi suku bunga, keinginan masyarakat untuk melakukan investasi juga semakin kecil. Alasannya, seorang pengusaha akan menambah pengeluaran investasinya apabila keuntungan yang diharapkan dari investasi lebih besar dari suku bunga yang harus dibayar untuk dana investasi tersebut merupakan ongkos untuk penggunaan dana (Cost of Capital). Makin rendah suku bunga, maka pengusaha akan lebih terdorong untuk melakukan investasi, sebab biaya penggunaan dana juga makin kecil. Suku bunga dalam keadaan keseimbangan (artinya ada dorongan untuk naik atau turun), keinginan masyarakat untuk menabung akan sama dengan keinginan masyarakat untuk melakukan investasi. Misalnya terjadi kenaikan efisiensi produksi, maka akan mengakibatkan keuntungan yang diharapkan meningkat sehingga pada tingkat bunga yang sama para pengusaha bersedia membayar dana yang lebih besar untuk membiayai investasi, atau untuk dana investasi yang sama jumlahnya, para pengusaha bersedia membayar tingkat bunga yang lebih tinggi.

b. Teori Suku Bunga Keynes

Keynes mempunyai pandangan yang berbeda dengan klasik. Tingkat bunga itu merupakan suatu fenomena moneter. Artinya, tingkat bunga ditentukan oleh


(37)

penawaran dan permintaan uang (ditentukan dalam pasar uang). Uang akan mempengaruhi kegiatan ekonomi, sepanjang uang ini mempengaruhi tingkat bunga. Perubahan tingkat bunga selanjutnya akan mempengaruhi keinginan untuk mengadakan investasi dengan demikian akan mempengaruhi pendapatan. Keynes mengasumsikan bahwa perekonomian belum mencapai full employment. Oleh karena itu, produksi masih dapat ditingkatkan tanpa mengubah tingkat upah maupun tingkat harga. Dengan menurunkan tingkat bunga, investasi dapat dirangsang untuk meningkatkan produk nasional. Dengan demikian setidaknya untuk jangka pendek, kebijaksanaan moneter dalam teori keynes berperan untuk meningkatkan produk nasional.

Pertama, Keynes menyatakan bahwa masyarakat mempunyai keyakinan bahwa ada suatu tingkat bunga yang normal. Jika memegang surat berharga pada waktu tingkat bunga naik (harga turun) mereka akan menderita kerugian. Mereka akan menghindari kerugian ini dengan cara mengurangi surat berharga yang

dipegangnya dan dengan sendirinya menambah uang yang dipegang.

Kedua, sehubungan dengan biaya memegang uang kas. Makin tinggi tingkat bunga, makin besar pula biaya memegang uang kas, sehingga keinginan memegang uang kas juga semakin rendah sehingga permintaan akan uang kas naik. Dari kedua penjelasan di atas, dijelaskan adanya hubungan negatif antara tingkat bunga dengan permintaan akan uang tunai. Permintaan uang ini akan menetukan tingkat bunga. Tingkat bunga berada dalam keseimbangan apabila jumlah uang kas yang diminta sama dengan penawarannya.


(38)

c. Teori Suku Bunga Hicks

Hicks mengemukakan teorinya bahwa tingkat bunga berada dalam keseimbangan pada suatu perekonomian bila tingkat bunga ini memenuhi keseimbangan sektor moneter dan sektor rill. Pandangan ini merupakan gabungan dari pendapat klasik dan keynesian, di mana mashab klasik mengatakan bahwa bunga timbul karena uang adalah produktif artinya bahwa bila seseorang memiliki dana maka mereka dapat menambah alat produksinya agar keuntungan yang diperoleh meningkat. Jadi uang dapat meningkatkan produktivitas sehingga orang ingin membayar bunga. Sedangkan menurut keneysian bahwa uang bisa produktif dengan metode spekulasi di pasar uang dengan kemungkinan memperoleh keuntungan, dan keuntungan inilah sehingga orang ingin membayar bunga.

Dari beberapa konsep tentang tingkat bunga, maka dapat kita hubungkan antara tingkat suku bunga tabungan dengan tingkat bunga kredit, di mana sektor

perbankan menghimpun dana melalui giro, deposito dan tabungan lalu disalurkan melalui berbagai fasilitas kredit. Jelaslah bahwa penawaran kredit perbankan ditentukan oleh adanya akumulasi modal dalam bentuk deposito dan tabungan sebagai salah satu sumber dana perbankan dalam menyalurkan kredit.

Adanya tabungan masyarakat tidaklah berarti dana hilang dari peredaran, tetapi dipinjam/dipakai oleh pengusaha untuk membiayai investasi. Penabung

mendapatkan bunga atas tabungannya, sedangkan pengusaha bersedia membayar bunga tersebut selama harapan keuntungan yang diperoleh dari investasi lebih besar dari bunga tersebut. Adanya kesamaan antara tabungan dengan investasi


(39)

adalah sebagai akibat bekerjanya mekanisme tingkat bunga. Besarnya tingkat suku bunga yang ditetapkan oleh bank juga dipengaruhi oleh besarnya Cost of Money. Tingkat bunga kredit yang ditetapkan untuk seluruh nasabah harus labih besar dari jumlah Cost of Money dan biaya operasionalnya.

F. Giro Wajib Minimum (GWM)

Menurut Pasal 1 PBI No. 10/19/PBI/2008 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing, Giro Wajib Minimum (GWM) adalah simpanan minimum yang harus dipelihara oleh bank dalam bentuk Rekening Giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. Kebijakan pemberian jasa giro atau persentasi jasa giro dapat disesuaikan dari waktu ke waktu dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia. Penentuan besarnya persentase jasa giro tersebut dilakukan dengan Surat Edar Bank Indonesia. Besarnya GWM sangat tergantung kapada persentase (Rasio GWM) yang ditetapkan oleh bank sentral. Semakin besar rasio GWM yang ditetapkan oleh bank sentral, maka semakin kecil daya ekspansi kredit bank umum.

Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing, mengatakan bahwa bank wajib memenuhi GWM dalam bentuk rupiah dan valuta asing. GWM dalam rupiah bank umum harus memenuhi:


(40)

2. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5 % dari DPK dalam rupiah, dan 3. GWM Loan Deposit Ratio (LDR) sebesar perhitungan antara parameter

disensentif bawah atau parameter disinsentif atas dengan selisih antara LDR Bank dan LDR Target dengan memperhatikan selisih antara Kewajiban Penediaan Modal Minimum (KPMM) Bank dan KPMM Insentif.

Ketentuan mengenai GWM Primer dalam rupiah, GWM LDR dan GWM dalam valuta asing dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Bank pada Bank

Indonesia, sedangkan GWM Sekunder dalam rupiah dipenuhi dalam bentuk SBI, Surat Utang Negara (SUN), Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), dan atau Excess Reserve. Perhitungan GWM LDR dilakukan sebagai berikut:

1. Batas bawah LDR Target sebesar 78% dan batas atas LDR Target sebesar 100%

2. Bank yang memiliki LDR di dalam kisaran LDR target memiliki GWM LDR sebesar 0%

3. Bank yang memiliki LDR kurang dari batas bawah LDR target diberikan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian Parameter Disinsentif Bawah (sebesar 0,1) dengan selisih LDR bank dari batas bawah LDR target.

4. Bank yang LDR-nya lebih dari batas atas LDR Target dan memiliki KPMM lebih kecil dari KPMM Insentif (saat ini 14%) akan diberikan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian parameter disinsentif atas (saat ini sebesar 0,2) dengan selisih LDR bank dari batas atas LDR target.


(41)

5. Bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas LDR Target dan memiliki KPMM sama atau lebih besar dari KPMM insentif (saat ini sebesar 14%), maka kewajiban pemenuhan GWM LDR sebesar 0%

6. Besaran dan parameter LDR Target, KPMM Insentif, parameter disinsentif bawah, dan parameter disinsentif atas akan dievaluasi sewaktu waktu apabila diperlukan.

Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja dengan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) per tahun terhadap bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam rupiah. Bagian tertentu sebagaimana dimaksud ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam rupiah. Jasa giro diberikan apabila Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah. Bank yang mendapatkan insentif dalam rangka konsolidasi perbankan

memperoleh kelonggaran pemenuhan GWM dalam rupiah sebesar 1% bagi pemenuhan GWM Primer dalam rupiah.

Terhadap Bank yang sedang dikenakan CDO (Cease and Desist Order) terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan dana, dalam rangka tindakan pengawasan Bank Indonesia berwenang melakukan perhitungan yang berbeda dari ketentuan GWM LDR sebagaimana diatur dalam peraturan Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 ini mencabut PBI No.

10/19/PBI/2008 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah terakhir dengan PBI


(42)

No. 10/25/PBI/2008, namun peraturan pelaksanaan dari PBI dimaksud tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PBI ini.

Ketentuan Giro Wajib Minimum diperlukan untuk mempengaruhi likuiditas dalam perbankan. Bank dalam menghimpun dana diwajibkan memelihara sejumlah likuiditas tertentu dari total DPK yang dihimpun bank pada periode tertentu. Jumlah likuiditas wajib minimum tersebut harus ditetapkan dalam rekening giro bank yang bersangkutan pada bank sentral. Ketentuan dari Bank Indonesia, GWM dalam rupiah adalah 8% dari total DPK rupiah yang dihitung rata-rata harian dalam satu minggu dan harus dilaporkan ke BI.

Perhitungan GWM bagi analis luar menggunakan data keuangan bank yang dipublikasikan di media, sedangkan ketentuan dari BI bank wajib

mempublikasikan laporan keuangan setiap triwulan (per 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember). Perhitungan GWM ini adalah:

Jumlah Saldo Giro pada BI / Jumlah DPK x 100% = ≥8%

E. Tinjauan Empiris

Berbagai hasil-hasil penelitian yang relevan telah dilakukan oleh para peneliti-peneliti sebelumnya. Hasil peneliti-penelitian tersebut telah dipelajari dan telah terangkum pada Tabel 2.1. Penelitian ini diambil dari beberapa sumber menggunakan sarana website, dan akan digunakan sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini. Referensi tersebut dapat dilihat di bawah ini:


(43)

(44)

(45)

Beberapa penelitian yang terdahulu ini menjadi referensi bagi penelitian ini karena hasil dari penelitian-penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan atau sebagai bahan tambahan untuk memperkuat terciptanya penelitian ini. Referensi dari penelitian terdahulu yang lain juga di pakai sebagai bahan acuan, tetapi dari referensi yang lain kelima penelitian inilah yang menjadi rujukan utama dari penelitian ini. Penelitian terdahulu juga memberikan beberapa referensi berupa teori-teori dan model-model pada penelitian ini. Salah satunya pada penelitian yang dilakukan oleh Pierre-Richard Agenor, Joshua Aizenman, Alexander W. Hoffmaister (2004) menggambarkan model teoritis permintaan excess liquid reserves oleh bank komersial di mana terdapat risiko likuiditas dan volatilitas sektor riil, dan untuk mengelolanya bank komersial dapat memperoleh dana dari pasar uang antar bank atau dari bank sentral.

Diasumsikan bahwa bank menghimpun dana pihak ketiga (Deposit, D) yang bersifat endogen. Bank harus menentukan jumlah aset likuid yang tidak

menghasilkan bunga, yang berupa cadangan (reserve, R) dan aset non-liquid yang menghasilkan bunga, yang berupa kredit (loan, L). Neraca dari bank komersial tersebut:

R + L = D (2.1)

Cadangan atau reserve dibutuhkan oleh bank karena adanya risiko likuiditas. Ketika aliran keluar (net outflow) dari DPK melebihi cadangan yang dimiliki bank, u ≥ R, maka bank harus menanggung biaya likuiditas (liquidity cost) yang besarnya proposional terhadap jumlah kekurangan cadangan, max (0, u-R). Pada kondisi terjadi liquidity, bank harus meminjam kekurangan cadangan dengan menanggung


(46)

penalty rate (q), yang lebih besar dari bunga kredit, q > rL. Keuntungan bank dapat dirumuskan sebagai berikut, dengan mendefinisikan rD sebagai suku bunga

tabungan (deposit rate):

Π = rLL rDD q (2.2)

Dapat diasumsikan bahwa permintaan kredit dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga kredit dan proposional terhadap expected output (Ye). Begitu juga dengan DPK, dipengaruhi secara positif oleh suku bunga deposito dan proposional terhadap expected output, dapat di lihat melalui persamaan 2.3 dan 2.4.

L = f (rL) Ye, f ‘< 0 (2.3)

D = g (rD) Ye, g‘> 0 (2.4)

Diasumsikan pula bahwa L dan D ditentukan di permulaan periode, sebelum terjadinya shock terhadap output. Selain itu terdapat permintaan akan uang kas yang ditentukan di akhir periode, setelah terjadinya shock terhadap output dan likuiditas. Bank harus mempertahankan aset likuid (liquid reserve) yang proposional terhadap dana pihak ketiga yang dimiliki dengan bunga sebesar r. Dengan mendefinisikan θ (reserve requirement) dan R (total reserve), maka Z (excess reserve) adalah:

Z = R θD (2.5)

Dengan mensubstitusi persamaan (2.5) dengan persamaan (2.1) maka diperoleh:

Z= (1 θ) D – L (2.6)

Untuk memenuhi kebutuhan penarikan dana oleh konsumen yang tidak diantisipasi oleh bank, bank dapat meminjam dengan dikenakan biaya bunga sebesar q, dan selain itu dapat mengambil dari cadangan excess reserve (Z) miliknya. Dengan menggunakan persamaan (2.6), maka expected reserve deficiency adalah:


(47)

E max [0, C ((1–θ) D – L)] (2.7) Berdasarkan persamaan (2.2), (2.3), (2.4), dan (2.7), maka dapat diambil

persamaan profit yang diharapkan dari bank sebagai berikut:

Π = rLL rDD q

Π = [rL f (rL) rD g (rD)] Ye + rR q E max [0, C ((1–θ) D – L)] (2.11)

Dengan mengasumsikan bahwa fungsi f(,) dan g(,) adalah fungsi quasi-concave, maka dapat dibuktikan preposisi berikut, (Agenor, 2004):

1. Peningkatan dari q (penalty rate), akan meningkatkan suku bunga deposito, suku bunga kredit dan kelebihan cadangan yang dimiliki oleh bank.

2. Peningkatan pada volatilitas dari output dan shock likuiditas memiliki efek yang ambigu terhadap suku bunga deposit, suku bunga kredit dan kelebihan cadangan. Apabila initial level dari penalty rate cukup tinggi, maka

peningkatan volatilitas ini akan meningkatkan pula suku bunga deposito, suku bunga kredit dan kelebihan cadangan.

3. Peningkatan dari reserve requirement rate akan meningkatkan suku bunga kredit dan menurunkan excess reserve. Apabila tingkat volatilitas tidak terlalu tinggi, maka peningkatan reserve requirement rate ini juga akan menaikkan suku bunga deposito.

Bedasarkan 3 proporsi diatas, maka pada tingkat penalty rate yang cukup tinggi terdapat hubungan antara Z (excess reserve), q (penalty rate), θ (reserve

requirement) dan volatilitas output dan shock likuiditas (σ) sebagai berikut: + - +

Z = Z (q, θ, σ) (2.12)

Dengan melakukan pemilihan ekses likuiditas menjadi ekses likuiditas yang bersifat berjaga-jaga atau tak terkendali akan memberikan pemahaman yang lebih


(48)

mendalam mengenai bagaimana dampaknya terhadap transmisi kebijakan moneter. Dalam ekses likuiditas yang bersifat tak terkendali cenderung akan keluar dengan cepat jika sisi permintaan agregat tumbuh lebih kuat, sehingga jumlah likuiditas dalam perekonomian akan meningkat dengan cepat tanpa melalui mekanisme penurunan suku bunga kebijakan ketika likuiditas justru seharusnya ditahan. Hal ini kemudian akan mengakibatkan terdorongnya meningkatnya risiko tekanan inflasi.

Lebih lanjut lagi, ketika bank memegang ekses likuiditas yang bersifat tak terkendali (involuntary) akibat perbankan tidak dapat menyalurkan kredit, maka upaya peningkatan permintaan kredit dengan cara menurunkan biaya pinjaman menjadi tidak efektif. Kebijakan moneter ekspansif justru akan meningkatkan excess reserve di bank dan tidak akan mendorong ekspansi kredit dan begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itu, pencegahan untuk ekses likuiditas dapat dilakukan untuk menjaga agar transmisi kebijakan moneter dapat dilakukan dengan baik. Untuk pencegahan tersebut, terlebih dahulu perlu mengetahui pengaruh dari

terjadinya ekses likuiditas tersebut. Untuk itu penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan variabel tingkat harga umum, pendapatan riil, suku bunga dan giro wajib minimum.


(49)

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang terdiri dari satu variabel terikat yaitu Ekses Likuiditas dan empat variabel bebas yaitu, tingkat harga umum, pendapatan riil, suku bunga, dan giro wajib minimum. Data yang digunakan berupa data triwulanan dan runtut waktu (time series) dari tahun 2006:Q1 – 2012:Q1 yang diperoleh dari Statistik Perbankan Indonesia dan data Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) Bank Indonesia yang terdapat di Bank Indonesia. Seluruh data yang bersumber dari Bank Indonesia ini dapat dilihat pada situs Bank Indonesia yaitu www.bi.go.id. Buku-buku bacaan juga digunakan sebagai bahan referensi dalam menunjang penulisan skripsi ini. Kemudian data yang diperoleh akan diproses dengan menggunakan program Eviews 4.1 untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.

B. Batasan Ukuran Variabel

Bank yang di ambil sebagai cerminan dalam perbankan adalah bank umum. Karena sebagian besar bank yang ada di Indonesia tergolong dalam katagori bank umum, oleh karena itu bank umum dijadikan bahan dalam penelitian ini.


(50)

Deskripsi tentang satuan pengukuran dan sumber data telah dirangkum dalam Tabel 3.1 dan data input disajikan dalam lampiran.

Tabel 3.1 Sumber dan Ukuran Data Peubah

Nama Data Satuan

Pengukuran

Selang Periode Runtun Waktu

Sumber Data Ekses Likuiditas (EL) Milyar Rupiah Triwulan Bank Indonesia Tingkat harga umum (P) Persentase Triwulan Bank Indonesia Pendapatan riil (Yr) Milyar Rupiah Triwulan Bank Indonesia Suku bunga (i) Persentase Triwulan Bank Indonesia Giro Wajib Minimum

(GWM)

Milyar Rupiah Triwulan Bank Indonesia

Batasan atau definisi variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ekses Likuiditas

Ekses Likuiditas merupakan jumlah cadangan bank yang didepositokan di Bank Indonesia ditambah dengan uang kas yang disimpan untuk keperluan operasional harian bank (cash in vaults), dikurangi kewajiban Giro Wajib Minimum,

(Saxegaard,2006). Data ekses likuiditas yang digunakan adalah data volume Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang dimiliki oleh Bank. Data variabel Ekses Likuiditas ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh M. Barik Bathaluddin (2012) yang menggunakan data volume Sertifikat Bank Indonesia yang dimiliki oleh Bank sebagai cerminan dari ekses likuiditas.

2. Tingkat Harga Umum

Tingkat harga umum merupakan tingkat harga yang mengalami kenaikan bukan hanya pada satu atau beberapa komoditi saja, akan tetapi untuk harga barang secara umum, (Abel, 2008). Tingkat harga umum yang dimaksud disini adalah


(51)

data IHK secara umum. Tingkat harga umum ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Rasmus R. L Stracca (2006) yang menggunakan tingkat harga umum sebagai variabel bebas.

3. Pendapatan Riil

Pendapatan riil merupakan nilai pendapatan nasional yang didapat dari nilai pendapatan nasional pada harga berlaku pada suatu tahun tertentu yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun yang lain, (Sukirno, 2004). Pendapatan riil yang digunakan adalah pendapatan nasional berdasarkan harga konstan. Penggunaan variabel pendapatan riil ini sesuai

dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Rasmus R. L Stracca (2006) yang menggunakan pendapatan riil sebagai variabel bebas.

4. Suku Bunga

Suku bunga adalah biaya peminjaman atau harga yang harus dibayar untuk meminjam suatu pendanaan, biasanya dinyatakan sebagai persentase per tahun, (Miskhin, 2009). Data suku bunga dalam penelitian ini menggunakan suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang berupa BI rate. Data ini sesuai dengan rujukan penelitian yang telah dilakukan oleh Rasmus R. L Stracca (2006) yang menggunakan suku bunga nominal di dalam penelitiannya.

5. Giro Wajib Minimum (GWM)

Giro Wajib Minimum adalah sejumlah dana yang harus disetorkan bank kepada bank sentral atas setiap unit deposito yang diterimanya. Besarnya GWM sangat


(52)

tergantung kapada persentase (Rasio GWM) yang ditetapkan oleh bank sentral. Semakin besar rasio GWM yang ditetapkan oleh bank sentral, maka semakin kecil daya ekspansi kredit bank umum. Data Giro Wajib Minimum yang digunakan adalah jumlah GWM yang diberikan oleh bank umum kepada Bank Indonesia. Giro Wajib Minimum ini sesuai dengan rujukan penelitian yang dilakukan oleh M. Barik Bathaluddin (2012).

C. Model Analisis

Model analisis merupakan alat untuk menguji kebenaran dari hipotesis. Dalam menganalisis pengaruh tingkat harga umum, pendapatan riil, suku bunga, dan giro wajib minimum terhadap ekses likuiditas perbankan di Indonesia digunakan model analisis regresi linier berganda. Penelitian ini akan melakukan estimasi dengan model empiris yang digunakan sebagai berikut:

EL = a0 + a1 P + a2 Yr + a3 i + a4 GWM + ε (3.1)

yang mana:

EL = ekses likuiditas perbankan P = tingkat harga umum Yr = pendapatan riil i = suku bunga

GWM = giro wajib minimum ε = puak galat

a0 = tetapan


(53)

Data ekses likuiditas yang digunakan adalah data volume SBI yang dimiliki oleh Bank. Hal ini sesuai dengan temuan yang menyatakan bahwa perbankan lebih cenderung menempatkan ekses likuditasnya di SBI dibanding dalam bentuk giro bank di Bank Indonesia. (Bathaluddin, 2012)

D. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif kuantitatif dengan menggunakan teori-teori dan data-data yang berhubungan dengan penelitian ini. Metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui keterkaitan antara variabel yang digunakan dan untuk mengetahui seberapa besar variabel bebas yaitu tingkat harga umum, pendapatan riil, suku bunga dan GWM mempengaruhi variabel terikat yaitu ekses likuiditas perbankan.

Tahapan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah yang pertama melakukan uji untuk menghitung persamaan regresi sederhana melalui metode kuadrat terkecil Ordinary Least Square (OLS). Setelah melakukan estimasi pada persamaan, untuk menguji hipotesis dari penelitian ini selanjutnya akan dilakukan uji hipotesis yaitu uji t (keberartian parsial) dan uji F (keberartian keseluruhan). Untuk memenuhi asumsi dasar yaitu mengunakan uji Asumsi Klasik, yang terdiri dari uji Normalitas, uji Multikolinieritas, uji Hetrosekedastisitas dan uji


(54)

E. Uji Hipotesis

1. Uji t (Uji Keberartian Parsial)

Pengujian hipotesis koefisien regresi dengan menggunakan uji t dengan uji satu arah pada tingkat kepercayaan 95 persen dengan derajat kebebasan (degree of freedom), df = (n-k-1). Langkah pengujian pada hipotesis dapat dirumuskan sebagai berikut:

Ho: β1 = 0 , variabel bebas tidak berpengaruh signifikan terhadap ekses likuiditas Ha: β1 ≠ 0 , variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap ekses likuiditas Kriteria pengujiannya adalah:

Ho ditolak dan Ha diterima, jika t-hitung > t-tabel Ho diterima dan Ha ditolak, jika t-hitung < t-tabel

Jika Ho ditolak, yang mana t-hitung > t-tabel berarti variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap ekses likuiditas. Namun jika Ho diterima, yang mana t-hitung < t-tabel berarti variabel bebas yang diuji tidak berpengaruh signifikan terhadap ekses likuiditas.

2. Uji F (Keberartian Keseluruhan)

Pengujian hipotesis secara keseluruhan dengan menggunakan uji statistik F-hitung dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95 persen dengan derajat kebebasan df 1 = (k-1) dan df 2 = (n-k). Untuk uji F, hipotesis yang dirumuskan: Ho: βi = 0 ; seluruh variabel bebas tidak berpengaruh terhadap ekses likuiditas Ha: βi≠ 0 ; seluruh variabel bebas berpengaruh tehadap ekses likuiditas Kriteria pengujiannya adalah sebagai berikut:


(55)

Jika F hitung < F-tabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak

Jika Ho ditolak, berarti variabel bebas yang diuji berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Jika Ho diterima berarti variabel bebas yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.

F. Uji Asumsi Klasik

Didalam ilmu ekonemetrika Uji Asumsi Klasik terdiri dari beberapa pengujian agar model tersebut dikatakan baik, uji tersebut antara lain:

1. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mendeteksi apakah residual tersebar secara normal atau tidak. Untuk uji asumsi normalitas dapat dilihat dengan

menggunakan metode Jarque-Berra (J-B). Jika terjadi penyimpangan terhadap asumsi ditribusi normalitas, maka masih tetap menghasilkan pendugaan koefisien regresi yang linier, tidak terbias dan terbaik. Penyimpangan asumsi normalitas ini akan semakin kecil pengaruhnya apabila jumlah sampel diperbesar. (Gujarati, 2003)

Jika residual terdistribusi secara normal maka diharapkan nilai statistik J-B akan sama dengan nol. Nilai statistik J-B ini didasarkan pada distribusi chi squares dengan derajat kebebasan (df) 2. Jika nilai probabilitas ρ dari statistik J-B besar atau dengan kata lain jika nilai statistik dari J-B ini tidak signifikan maka

menerima hipotesis bahwa residual mempunyai ditribusi normal karena nilai statistik J-B mendekati nol. Sebaliknya jika nilai probabilitas ρ dari statistik J-B kecil atau signifikan maka menolak hipotesis bahwa residual mempunyai


(56)

distribusi normal karena nilai statistik J-B tidak sama dengan nol. (Widarjono, 2009)

Kriteria pengujiannya adalah: Ho: data tersebar normal Ha: data tidak tersebar normal.

Ho ditolak dan Ha diterima, jika P Value < α 5% Ho diterima dan Ha ditolak, jika P Value > α 5%

Jika Ho ditolak, berarti residu tidak tersebar secara normal. Jika Ho diterima berarti residu data tersebar secara normal.

2. Uji Multikolinieritas

Uji asumsi multikolinieritas adalah untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Jika terjadi korelasi, maka dinamakan problem multikolinieritas. Di mana deteksi adanya multikolinieritas dalam penelitian ini adalah dengan melihat korelasi parsial antar variabel bebas. Sebagai aturan main kasar (role of thumb), jika koefisien korelasi cukup tinggi, katakanlah di atas 0,85 maka diduga ada masalah multikolinearitas dalam model dan apabila nilai koefisien korelasi di bawah 0,85 maka tidak ada masalah multikolinearitas. (Gujarati, 2003)

3. Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas merupakan salah satu penyimpangan terhadap asumsi kesamaan varian (homoskedastisitas), yaitu varians error bernilai sama untuk setiap kombinasi tetap dari X1, X2, …, Xp. Jika asumsi ini tidak dipenuhi maka


(57)

dugaan OLS tidak lagi bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator), karena akan menghasilkan dugaan dengan galat baku yang tidak akurat. Untuk uji asumsi heteroskedastisitas dapat dilihat melalui uji White. (Gujarati, 2003: 413) Untuk uji White menggunakan rumusan hipotesis sebagai berikut:

Ho: terdapat heteroskedastisitas Ha: tidak terdapat heteroskedastisitas Kriteria pengujiannya adalah:

Ho ditolak dan Ha diterima, jika nilai (n x R2) < nilai Chi-kuadrat Ho diterima dan Ha ditolak, jika nilai (n x R2) > nilai Chi-kuadrat

Jika Ho ditolak, berarti tidak terdapat heteroskedastisitas. Jika Ho diterima berarti terdapat heteroskedastisitas.

4. Uji Autokorelasi (Serial Correlation LM Test)

Autokorelasi berarti adanya korelasi antara anggota observasi satu dengan

observasi lain yang berlainan waktu. Apabila dihubungkan dengan metode OLS, autokorelasi merupakan korelasi antara satu variabel gangguan dengan variabel gangguan yang lain (Widarjono, 2007: 155).

Langkah yang dilakukan untuk mendeteksi adanya autokorelasi menurut Breusch Godfrey Test adalah sebagai berikut (Gujarati, 2003: 411):

1. Estimasi persamaan regresi dengan metode OLS dan dapatkan residualnya. 2. Melakukan regresi residual et dengan variabel bebas Xt (jika ada lebih dari satu variabel bebas maka harus memasukkan semua variabel bebas) dan lag dari residual et-1, et-2,...et-p. Kemudian dapatkan R2 dari regresi persamaan tersebut.


(58)

3. Jika sampel besar, maka model dalam persamaan akan mengikuti distribusi Chi-Squares dengan df sebanyak ρ.

Jika Chi-Squares (χ2) hitung lebih besar dari nilai kritis Chi-Squares (χ2) pada derajat kepercayaan tertentu (α) menerima hipotesis (H0), ini menunjukkan adanya masalah autokorelasi dalam model. Sebaliknya jika Chi-Squares hitung lebih kecil dari nilai kritisnya maka menolak hipotesis nol. Artinya model tidak mengandung unsur autokorelasi karena semua ρ sama dengan nol.


(59)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari hasil perhitungan dan pembahasan mengenai pengaruh tingkat harga umum, pendapatan riil, tingkat bunga, dan GWM terhadap ekses likuiditas perbankan di Indonesia pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Variabel tingkat harga umum menunjukkan pengaruh yang positif dan

signifikan terhadap ekses likuiditas perbankan di Indonesia. Dengan koefisien tingkat harga umum sebesar 1391.176, berarti apabila tingkat harga umum naik sebesar 1 persen akan menyebabkan peningkatan ekses likuiditas perbankan sebesar 1391.176 milyar rupiah.

2. Variabel pendapatan riil menunjukkan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap ekses likuiditas perbankan di Indonesia. Dengan koefisien

pendapatan riil sebesar -0.400455, berarti apabila pendapatan riil naik sebesar 1 milyar rupiah akan menyebabkan penurunan ekses likuiditas perbankan sebesar 0.400455 milyar rupiah.

3. Variabel suku bunga menunjukkan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap ekses likuiditas perbankan di Indonesia. Dengan koefisien suku bunga sebesar -24927.75, berarti apabila suku bunga naik sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan ekses likuiditas perbankan sebesar 24927.75 milyar rupiah.


(60)

4. Variabel Giro Wajib Minimum (GWM) menunjukkan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap ekses likuiditas perbankan di Indonesia. Dengan koefisien GWM sebesar -0.673995, berarti apabila GWM naik sebesar 1 milyar rupiah akan menyebabkan penurunan ekses likuiditas perbankan sebesar 0.673995 milyar rupiah.

5. Variabel bebas memiliki pengaruh nyata yaitu sebesar 0.88 terhadap ekses likuiditas perbankan, sementara sisanya 0.22 dipengaruhi oleh faktor diluar dari penelitian ini.

B. SARAN

Berdasarkan hasil kesimpulan, maka saran yang diberikan adalah:

1. Tingkat harga umum cukup besar mempengaruhi ekses likuiditas perbankan di Indonesia, yaitu sebesar 1391.176. Oleh karena itu, apabila otoritas moneter tidak menginginkan terjadinya ekses likuiditas perbankan di Indonesia, maka tingkat harga umum sebaiknya diturunkan.

2. Pendapatan riil dapat mempengaruhi ekses likuiditas perbankan di Indonesia, yaitu sebesar -0.400455. Oleh karena itu, apabila otoritas moneter tidak menginginkan terjadinya ekses likuiditas perbankan di Indonesia, maka pendapatan riil sebaiknya dinaikkan.

3. Suku bunga cukup besar mempengaruhi ekses likuiditas perbankan di

Indonesia, yaitu sebesar -24927.75. Oleh karena itu, apabila otoritas moneter tidak menginginkan terjadinya ekses likuiditas perbankan di Indonesia, maka sebaiknya menetapkan suku bunga agar dinaikkan.


(61)

4. Giro Wajib Minimum (GWM) dapat mempengaruhi ekses likuiditas perbankan di Indonesia, yaitu sebesar -0.673995. Oleh karena itu, apabila otoritas moneter tidak menginginkan terjadinya ekses likuiditas perbankan di Indonesia, maka sebaiknya dapat menetapkan Giro Wajib Minimum (GWM) agar dinaikkan.

5. Terdapat faktor lain diluar penelitian ini yang dapat mempengaruhi ekses likuiditas perbankan sebesar 0.22. Agar penelitian di masa yang akan datang menjadi lebih baik disarankan agar penelitian selanjutnya dapat memasukkan faktor-faktor ekonomi lain seperti suku bunga kredit, nilai tukar, pertumbuhan ekonomi, dan lain-lain untuk mengetahui pengaruh ekses likuiditas perbankan di Indonesia.


(62)

(PERIODE 2006:Q1-2012:Q1)

(Skripsi)

Oleh

RATIH AMANDARUM SARWENDAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(63)

(PERIODE 2006:Q1-2012:Q1) Oleh

RATIH AMANDARUM SARWENDAH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA EKONOMI

Pada

Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Lampung

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(64)

Gambar Halaman

1.1 Perkembangan Operasi Moneter Periode Januari 2006 hingga Januari 2012 ………. 4

1.2 Perkembangan Tingkat Harga Umum Periode 2006:Q1 hingga

2012:Q1………. 6

1.3 Pendapatan Riil Periode 2006:Q1 hingga 2012:Q1 ……… 7 1.4 Perkembangan suku bunga BI rate periode 2006:Q1 sampai

2012:Q1……… 9


(65)

Halaman DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL

I. PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 10 C. Tujuan Penelitian ... 10 D. Kerangka Pemikiran ... 11 E. Hipotesis ... 13 F. Sistematika Penulisan ... 15 II. TINJAUAN PUSTAKA ... 16 A. Likuiditas ... 16 1. Pengertian Likuiditas ... 16 2. Manajemen Likuiditas ... 18 3. Ekses Likuiditas perbankan ... 23 B. Teori Permintaan Uang Keynes ... 25 C. Tingkat Harga Umum ... 29 D. Pendapatan Riil ... 30 E. Suku Bunga ... 32 1. Teori Suku Bunga Klasik ... 33 2. Teori Suku Bunga Keynes ... 34 3. Teori Suku Bunga Hicks ... 36 F. Giro Wajib Minimum (GWM) ... 37 G. Tinjauan Emprik ... 40

III. METODE PENELITIAN ... 47 A. Jenis dan Sumber Data ... 47 B. Batasan Ukuran Variabel ... 47


(66)

1. Uji t ... 52 2. Uji F ... 52 F. Uji Asumsi Klasik ... 53 1. Uji Normalitas ... 53 2. Uji Multikolinieritas ... 54 3. Uji Hetrosekedastisitas ... 54 4. Uji Autokorelasi ... 55 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57 A. Hasil dan Pembahasan Estimasi OLS ... 57 B. Hasil dan Pembahasan Uji Hipotesis ... 58 1. Uji t ... 58 2. Uji F ... 60 C. Hasil dan Pembahasan Uji Asumsi Klasik ... 61 1. Hasil Uji Normalitas ... 61 2. Hasil Uji Multikolinieritas ... 61 3. Hasil Uji Heterosekedastisitas ... 62 4. Hasil Uji Autokorelasi ... 63 D. Hasil dan Pembahasan Perhitungan Elastisitas ... 63 E. Implikasi Hasil Penelitian ... 65 V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77 A. Kesimpulan ... 77 B. Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA


(1)

MOTTO

“Karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”

(Q.S Ar-Ra’d:11)

“Berdoa, Berusaha, Sabar, Ikhlas, dan SUKSES” (Ratih Amandarum)

“Kamu adalah apa yang kamu fikirkan” (Budi Prasetiyo)

“Mengeluh dapat mengurangi kekuatan” (Anonim)


(2)

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISM

“Saya yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa skripsi ini telah ditulis dengan sungguh-sungguh dan tidak merupakan penjiplakan hasil karya orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa pernyataan ini tidak benar maka saya sanggup menerima hukuman/sanksi sesuai peraturan yang berlaku”.

Bandar Lampung, Maret 2013 Penulis


(3)

Dengan segala ketulusan hati, doa, serta syukur kepada Allah SWT,

kupersembahkan karya ini kepada:

Kedua orang tuaku, Mama & Papa yang selalu memberikan doa, cinta, kasih sayang, dukungan moral, spiritual dan material yang tak pernah berhenti dan takkan mampu terbalas. Karena senyum kalian adalah semangatku.

Saudara-saudaraku tersayang, Mas Hendro & Mba Ros, Kak Ririn & Mas Nugi, serta keponakan-keponakanku Pandi, Vania, Uta, dan Arga yang selalu memberikan warna dalam hidupku.

Sahabat-sahabatku yang selalu memberikan dukungan dan semangat, terima kasih atas kebersamaan kita selama ini. Perjuangan yang kita jalani akan menjadi cerita indah diakhir nanti.

Almamater Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Lampung, sebagai langkah awal untukku belajar dan berkarya lebih baik


(4)

SANWACANA

Puji syukur kepada Allah SWT yang melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Pengaruh Tingkat Harga Umum, Pendapatan Riil, Suku Bunga, dan Giro Wajib Minimum (GWM) terhadap Ekses Likuiditas Perbankan di Indonesia periode (2006:Q1-2012:Q1)”.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Hi. Satria Bangsawan, S.E., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.

2. Bapak Muhammad Husaini, S.E., M.EP., selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.

3. Bapak Prof. S.S. Pandjaitan, S. E, M.Sc., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dan arahannya.

4. Bapak Dr. H. Toto Gunarto, S.E., M.Si., selaku dosen penguji.

5. Ibu Asrian Hendicaya S.E., M.Si. sebagai dosen Pembimbing Akademik.

6. Bapak dan Ibu dosen yang telah dengan tulus mengajarkan dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis.

7. Para staf dan pengawai di Jurusan Ekonomi Pembangunan (Bang Herman, Bu Mardiana, Bu Suyatni, Mas Kuswara, Pakde Samiran dan Pakde Heriyanto) yang telah membantu kelancaran proses penyusunan skripsi saya.


(5)

8. Keluargaku, Papa, Mama, Mas Hendro, Mba Ros, Kak Ririn, Mas Nugi, keponakan-keponakanku (Pandi, Vania, Uta, Arga), tulang, nantulang, bude, pakde atas semangat, doa, dan dukungan moril atau materil yang berlimpah. Kalian keluarga terbaik dari Allah. 9. Keluarga keduaku, AIR the gank, Adelia Riski Andari dan Indria Trie Astari.

10. Taklim Ceria, Umi Detti, Dwi, Dioda, Uni Eva, Citra, Afri terima kasih atas semangat dan doa-doa kalian.

11.Besties kece ku Dioda Gamawati, Eva Pardiana, Dwi Anasari, Khusnul Mutmainah, Yossy Yulita, dan Elza Nurmarshalita terima kasih atas kebersamaan dalam berbagi energi positif, dukungan untuk saling menguatkan, canda dan tawa yang melengkapi hari-hari kita serta segala hal yang kita jalani selama ini.

12. Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Angkatan 2008 teman-teman seperjuangan dalam senang maupun sedih, Annisa, Selly, Indri, Puput, Icha, Edo, Apri, Iduy, Tama, Adit, Dendi, Deny, Ajo, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. 13. Teman-teman seperjuangan konsentrasi EMON angkatan 2008 Indra, Saut, Amel, Gista,

Eka, Ivo, Priya, Ryan, Melisa, Dini, Erni, dan Tegar.

14. Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Angkatan 2007, Mba Reniza, Mba Desita, Mba Hellen, Mba, Tiyas, Mba Galuh, terima kasih untuk bimbingngannya sebagai contoh yang baik.

15. Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Angkatan 2009, Citra, Lintang, Bukit, Nurul, Tiya, dan yang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu- persatu,

16. Rekan-rekan KKN dan Desa Adiluhur, Mesuji tahun 2011, Shoffa, Lina, Edi, Trio, Irdi, Vidi, Sumantri, Akhi dan teman-teman yang lain, untuk pengalaman-pengalaman berharga selama KKN.


(6)

17. Seseorang yang akan selalu menjadimy special onemamas Budi Prasetiyo Wibowo, S.E. 18. Semua orang yang selalu memberikan doa dan dukungan yang tidak dapat disebutkan

satu-persatu.

Akhir kata penulis hanya dapat berharap Semoga Allah SWT menilai sebagai ibadah atas kebaikan kalian dan memberikan balasan yang indah untuk semua pihak yang telah membantu penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bandarlampung, Maret 2013

Penulis,