T I N J A U A N P U S T A K A

5

BAB II T I N J A U A N P U S T A K A

Pancasila, sebagai dasar filosofi kehidupan bermasyarakat telah mengisyaratkan bahwa azas penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat lebih diutamakan, seperti tersirat juga dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, sumber hukum tertulis yang mengatur alternatif penyelesaian sengketa selama ini, khususnya arbitrase dapat ditemui di dalam Reglement op de Burgelijke Rechtvordering RV, Undang- Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sayangnya undang-undang tersebut tidak mengatur secara rinci dan tegas tentang bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa kecuali arbitrase. 5 Sengketa di bidang pertanahan dapat dikatakan tidak pernah surut, yang sangat disayangkan khususnya di Bali yang menjadi obyek sengketa adalah tanah kuburan. Tampaknya penyelesaian yang lebih efektif adalah melalui jalur non- peradilan yang umumnya ditempuh melalui cara-cara perundingan dengan dipimpin atau diprakarsai oleh pihak ketiga yang netral atau tidak memihak. 6 Istilah konflik berasal dari bahasa inggris, conflict dan dispute, yang berarti perselisihan atau percekcokan, atau pertentangan. Perselisihan atau percekcokan tentang sesuatu terjadi antara dua orang atau lebih 7 . 5 Joni Emirzon, Op.Cit , hal.8-13. 6 Maria S.W.Sumardjono, Nurhasan Ismail, Isharyanto, 2008, Mediasi Sengketa Pertanahan, Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa ADR di Bidang Pertanahan , PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal.4. 7 Joni Emirzon, Op.Cit , hal.19. 6 Istilah konflik lebih banyak dibicarakan dalam sosiologi sebagai salah satu bentuk dari suatu proses sosial. Konflik merupakan salah satu dari proses sosial yang bersifat menjauhkan. Konflik sebagai suatu proses sosial dapat berakhir dengan akomodasi penyatuan kembali tapi ada kalanya konflik berakhir dengan situasi disintegrasi perpecahan. Oleh karenanya, konflik juga dapat berakhir dengan terjadinya perubahan sosial. Sedangkan istilah sengketa lebih banyak digunakan dalam disiplin Antropologi Hukum dikaitkan dengan istilah sengketa berkepanjangan dan penyelesaian sengketa. Dalam Hukum Adat, kedua istilah konflik maupun sengketa adat sama-sama digunakan, secara inkonsisten. Penggunaaan istilah sengketa adat antara lain digunakan oleh M.Koesnoe dalam ajarannya yang terkenal dengan ajaran tentang penyelesaian sengketa adat. 8 Pertentangan conflict masyarakat mungkin pula menjadi sebab terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan. Pertentangan-pertentangan mungkin terjadi antara individu dengan kelompok atau perantara kelompok dengan kelompok. Umumnya masyarakat tradisional di indonesia bersifat kolektif, segala kegiatan didasarkan pada kepentingan masyarakat. Kepentingan individu walaupun diakui, tetapi mempunyai fungsi sosial. Tidak jarang timbul pertentangan antara kepentingan individu dengan kepentingan kelompok, yang dalam hal-hal tertentu menimbulkan perubahan sosial. 9 Nader dan Todd mengatakan dalam bukunya Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, bahwa konflik sebagai bagian dari proses sengketa. Menurutnya, proses bersengketa itu ada 3 tiga yaitu : 1 Pra Konflik pre conflict stage yakni 8 TIP. Astiti,et.al., 2012, Sengketa Tanah Adat Yang Disertai Kekerasan Dalam Konteks Perkembangan Pariwisata , laporan Penelitian Magister Kenotariatan Universitas Udayana Tahun 2012, selanjutnya disingkat Astiti.TIP,et.al I, hal.4. 9 Soerjono Soekanto, Op.Cit , hal.280. 7 kondisi yang mendasari rasa tidak puas seseorang, 2 Situasi Konflik conflict stage yakni sikap bermusuhan atau munculnya keluhan sehingga konfontasi berlangsung secara diadik diadic, 3 Sengketa dispute stage yakni perselisihan sudah meningkat menjadi sengketa dan konfrontasi di antara pihak-pihak yang berselisih menjadi triadik triadicpihak yang berkonflik sudah ditunjukkan dan dibawa ke arena publik masyarakat. 10 Menurut Astiti.TIP, konflik maupun sengketa keduanya terjadi karena adanya gangguan atas keseimbangan dalam pergaulan hidup bermasyarakat. 11 Salah satu penyebabnya adalah sengketa tanah kuburan yang terjadi di Banjar Adat Ambengan dengan Banjar Adat Semana Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar Propinsi Bali. Konflik adat yang terjadi di Bali, selama masa reformasi tampak meluas di seluruh wilayah. Penelitian Windia tahun 2006 menunjukkan dalam kurun waktu enam tahun 1999-2005 telah terjadi 101 konflik yang menyebar di seluruh kabupaten kota di Bali. 12 Tabel konflik adat yang terjadi di Bali dari Tahun 1999 - 2005 : 13 No Kabupaten Konflik Adat di Bali 1 Karangasem 17 2 Gianyar 39 3 Tabanan 14 4 Jembrana 2 10 Salim.H, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum , PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet.Kedua, hal.83-84. 11 TIP. Astiti,et.al I, Op.Cit , hal.5. 12 TIP.Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat , Udayana University Pres, Cet. Pertama, selanjutnya disingkat TIP.Astiti II, hal.54. 13 I Gede Suartika, 2010, Anatomi Konflik Adat di Desa Pakraman dan Cara Penyelesaiannya , Udayana University Press, hal.50. 8 5 Bangli 10 6 Klungkung 9 7 Badung 8 8 Denpasar 2 Jumlah 101 Selain istilah konfliksengketa, penyelesaian sengketa adat juga menggunakan pendekatan hukum adat berdasarkan asas-asas yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Asas kerukunan adalah pedoman dalam menyelesaikan konflik adat. Asas kerukunan berhubungan erat dengan pandangan hidup dan sikap seseorang menghadapi hidup bersama di dalam suatu lingkungan dengan sesamanya, untuk mencapai masyarakat yang aman, tenteram, dan sejahtera. Penerapan asas rukun dalam penyelesaian konflik adat dimaksudkan untuk mengembalikan keadaan kehidupan seperti keadaan semula, status dan kehormatan, serta terwujudkannya hubungan yang harmonis sesama krama desa. Dalam menyelesaikan konflik adat yang demikian, setiap krama desa dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan krama desa selaku warga masyarakat hukum adat. Asas rukun tidak menekankan menang kalah pada salah satu pihak, melainkan terwujudnya kembali keseimbangan yang terganggu, sehingga para pihak yang bertikai bersatu kembali dalam ikatan desa adat. 2. Asas kepatutan adalah menunjuk kepada alam kesusilaan dan akal sehat, yang ditujukan kepada penilaian atas suatu kejadian sebagai perbuatan 9 manusia maupun keadaan. Patut pada satu sisi berada dalam lingkungan alam normatif, sedangkan pada sisi lain berada dalam kenyataan. Patut berisi unsur-unsur yang berasal dari alam susila, yaitu nilai-nilai buruk atau baik dan unsur akal sehat, yaitu perhitungan-perhitungan yang menurut hukum dapat diterima. Pendekatan asas patut dimaksudkan agar penyelesaian konflik adat untuk menjaga nama baik pihak masing-masing, sehingga tidak ada yang merasa diturunkan atau direndahkan status dan kehormatannya selaku krama desa. Dengan demikian, pedekatan asas patut dapat berlaku efektif untuk mencegah terjadinya konflik adat. 3. Asas keselarasan adalah penggunaan pendekatan asas keselarasan dilakukan dengan memperhatikan tempat, waktu dan keadaan desa, kala, patra sehingga putusan terhadap konflik adat diterima oleh para pihak dan masyarakat. Asas laras dalam hukum adat digunakan dalam menyelesaikan konflik adat yang konkret dengan bijaksana, sehingga para pihak yang bersangkutan dan masyarakat adat merasa puas. 14 4. Asas musyawarah adalah suatu asas yang menegaskan bahwa dalam hidup bermasyarakat segala persoalan yang hajat hidup dan kesejahteraan bersama harus dipecahkan bersama oleh anggota-anggotanya atas dasar kebulatan kehendak bersama. 5. Asas mufakat adalah asas yang digunakan dalam menyelesaikan perbedaan-perbedaan kepentingan pribadi seseorang dengan orang lain atas dasar perundingan antara yang bersangkutan. Perundingan difokuskan 14 I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali , Udayana University Press, Cet. Pertama, hal.78-81. 10 pada pendapat atau pendirian yang masih berbeda untuk diusahakan mendapat titik temu melalui proses tawar menawar. Proses tawar menawar melalui sikap saling menerima dan saling memberi sesuai dengan apa yang di Bali sebagai saling asah, saling asih, saling asuh. 6. Asas gotong-royong adalah suatu asas dalam penyelesaian pekerjaan secara bersama-sama antara semua warga untuk kepentingan bersama seluruh masyarakat. 7. Asas tolong-menolong lebih menekankan pada perbuatan yang bersifat timbal-balik antara seseorang dengan orang lainnya dalam upaya memenuhi kesejahteraan pribadi masing-masing. Obyek tolong-menolong tidak hanya berupa pekerjaan, akan tetapi bisa berbentuk materi maupun jasa lainnya. 15 15 TIP.Astiti II, Op.Cit , hal.77-79. 11

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN