Efektifitas Putusan Lembaga Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa (Studi Di Lembaga Adat Aceh Tinggkat Gampong Di Kabupaten Aceh Besar)

(1)

EFEKTIFITAS PUTUSAN LEMBAGA ADAT ACEH

DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

(STUDI DI LEMBAGA ADAT ACEH TINGGKAT GAMPONG

DI KABUPATEN ACEH BESAR)

TESIS

Oleh

GELORA DEE SARAH

087011047/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

EFEKTIFITAS PUTUSAN LEMBAGA ADAT ACEH

DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

(STUDI DI LEMBAGA ADAT ACEH TINGGKAT GAMPONG

DI KABUPATEN ACEH BESAR)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

GELORA DEE SARAH

087011047/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : EFEKTIFITAS PUTUSAN LEMBAGA ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

(STUDI DI LEMBAGA ADAT ACEH

TINGGKAT GAMPONG DI KABUPATEN ACEH BESAR)

Nama Mahasiswa : Gelora Dee Sarah

Nomor Pokok : 087011047

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) Ketua

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) (Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 12 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD 2. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum


(5)

ABSTRAK

Setiap sengketa yang timbul pada masyarakat di Kabupaten Aceh Besar masih diselesaikan melalui lembaga adat Aceh, padahal di indonesia telah terdapat forum resmi untuk menyelesaikan sengketa yaitu badan peradilan. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk mengetahui sejauh mana efektifitas putusan lembaga adat Aceh dalam penyelesaian sengketa.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan sosiologis empiris. Penelitian ini mengambil lokasi di Aceh Besar khususnya di Gampong Bakoy, Gampong Manyang, Gampong Tutong. Dimana Pengumpulan data diperoleh dari penelitian lapangan yang didukung penelitian kepustakaan. Kemudian dianalisa dengan metode analisis kualitatif. Dalam hal ini digunakan metode induktif-deduktif, dimana akan ditarik satu kesimpulan secara khusus untuk dapat digeneralisasikan.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka diketahui bahwa pelaksanaan putusan Lembaga Adat Aceh dalam menyelesaikan sengketa pada masyarakat Aceh khususnya di tingkat Gampong sudah efektif dan masih relevan, serta dilaksanakan oleh para pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa merasa bahwa putusan yang diambil benar-benar sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan adat dan tanpa meninggalkan ketentuan syariat Islam yang tetap diutamakan di Aceh. Berdasarkan hal tersebut, maka disarankan kepada masyarakat agar tetap menjunjung tinggi adat dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam penyelesaian sengketa secara damai, agar kerukunan warga Aceh tetap terpelihara dengan segala kekhususannya.

Kata Kunci : - Efektifitas

- Putusan lembaga adat Aceh - Sengketa


(6)

ABSTRACT

Every dispute occuring in the society of Aceh Besar regency is solved through Aceh tradition institution, even though the court is as a formal forum to solve the dispute in Indonesia. Hence, it is necessary to know the effectiveness of the decision of Aceh tradition institution in solving the dispute.

This research is descriptive and empirical sociological. This research was conducted at Aceh Besar, especially in Gampong Bakoy, Gampong Manyang, Gampong Tutong. Data collection was obtained through field research and library research. Then, it was analyzed with qualitative analysis method. Inductive- deductive was done to get the conclusion in order to be generalized.

Based on the research conducted, it is known that the implementation of the decision of Aceh Tradition Institution in solving the dispute, especially in the community of Gampong level has been effective and it is still relevant and be used by those parties. Those parties. Those parties who are involved in the dispute consider that the decision taken is appropriate with the tradition consideration and without neglecting the principles and teaching of Islamics which are constantly as the priority in Aceh. Based on the descripton, it is suggested for those people of Aceh to respect the tradition in all aspects of life, including in solving the dispute for maintaining peaceful and harmonious life in Aceh.

Key words : - Effectiveness

- The desion of Aceh Tradition Institution

- The Dispute.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini, yang berjudul Efektifitas Putusan Lembaga Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa (Studi di Lembaga Adat Aceh Tingkat Gampong di Kabupaten Aceh Besar) .

Pada kesempatan ini dengan tulus ikhlas penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada yang amat terpelajar :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku Ketua Komisi Pembimbing.

2. Bapak Prof. H.M Hasballah Thaib, MA, PhD selaku anggota komisi pembimbing.

3. Bapak Dr. H. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA selaku anggota komisi pembimbing.

yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dalam memperluas wawasan penulis dari awal penyusunan proposal sampai penyelesaian penulisan tesis ini.

Demikian juga penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada yang amat terpelajar, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, selaku dosen penguji yang telah berkenan memberikan bimbingan, arahan serta masukan maupun saran terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini.

Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. DR. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., MSc (CTM)., SpA(K)., selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara.

2. Para Guru Besar, Staf Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

3. Bapak Prof H. Dahlan, SH, MH, Mantan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh yang telah banyak memberi bantuan moril dan materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.


(8)

4. Staf pengajar di Fakultas Hukum Unsyiah; Bapak Abdurrahman SH, MHum, Bapak Ishak SH, serta Bapak Zulkifli Arief SH, yang telah banyak memberikan informasi dna masukan positif kepada penulis hingga tesis ini selesai.

5. Perangkat Desa sekaligus lembaga adat di Kecamtan ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar yang telah memberikan bantuan dan informasi data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini.

6. Para Pegawai/Karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bantuan dengan sepenuh hati terutama di bidang administrasi.

7. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 2008 khususnya group A, yang telah memberikan dukungan dalam penulisan tesis ini.

Teristimewa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis ayahanda tercinta Alm. Folmer SE.AK dan ibunda tercinta Raduan Loyarti S.Pd, serta adinda Galumbang Saratoga atas doa, kasih sayang dan dukungan baik moril maupun materil untuk keberhasilan studi penulis. Serta kepada seseorang dikejauhan; Samsul Hidayat yang dengan penuh cinta dan kesabaran telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam tesis ini, baik dalam tata bahasa maupun ruang lingkup pembahasannya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif dari semua pihak demi penyempurnaan tesis ini dan kiranya hasil penelitian tesis ini dapat bermanfaat bagi para akademisi dan praktisi hukum

Akhirnya seraya menyerahkan diri kepada Allah SWT, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Amin.

Medan, 12 Agustus 2010 Penulis,


(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Gelora Dee Sarah

Tempat /Tgl. Lahir : Medan, 13 November 1985 Alamat : Jl. Panglima Denai No. 124 D

II. ORANG TUA

Ayah : Alm. Folmer SE.Ak

Ibu : Raduan Loyarti S.Pd

III. PENDIDIKAN

SD RK Budi Luhur : Lulus Tahun 1997 SLTP N 13 Medan : Lulus Tahun 2000 SMU N 8 Medan : Lulus Tahun 2003 S1 Ilmu Hukum Unsyiah : Lulus Tahun 2008 S2 MKn USU : Lulus Tahun 2010


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 21

C. Tujuan Penelitian ... 22

D. Manfaat Penelitian ... 22

E. Keaslian Penelitian ... 22

F. Kerangka Teori ... 23

1. Kerangka Teori ... 23

2. Konsepsi ... 26

G. Metode Penelitian ... 27

BAB II MEKANISME / CARA LEMBAGA ADAT ACEH (LAA) MENYELESAIKAN SNEGKETA ... 30

A. Sistem Kekerabatan pada Umumnya ... 30

B. Deskripsi Masyarakat Aceh ... 31


(11)

D. Mekanisme / Cara LAA Menyelesaikan Sengketa ... 47

BAB III KAIDAH HUKUM YANG DIGUNAKAN LAA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA ... 50

A. Tinjauan Historis tentang LAA ... 50

B. Fungsi, Peran dan Struktur LAA ... 65

C. Sengketa Yang Pernah Deselesaikan oleh LAA ... 76

D. Kaidah Hukum yang digunakan LAA Dalam Menyelesaikan Sengketa ... 85

BAB IV EFEKTIFITAS PUTUSAN LEMBAGA ADAT ACEH DALAM MENYELESAIKAN SNEGKETA ... 90

A. Sistematisasi Pengambilan Dan Pelaksanaan Putusan oleh LAA ... 90

B. Efektivitas Putusan LAA dalam Menyelesaikan Sengketa ... 104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 107


(12)

ABSTRAK

Setiap sengketa yang timbul pada masyarakat di Kabupaten Aceh Besar masih diselesaikan melalui lembaga adat Aceh, padahal di indonesia telah terdapat forum resmi untuk menyelesaikan sengketa yaitu badan peradilan. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk mengetahui sejauh mana efektifitas putusan lembaga adat Aceh dalam penyelesaian sengketa.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan sosiologis empiris. Penelitian ini mengambil lokasi di Aceh Besar khususnya di Gampong Bakoy, Gampong Manyang, Gampong Tutong. Dimana Pengumpulan data diperoleh dari penelitian lapangan yang didukung penelitian kepustakaan. Kemudian dianalisa dengan metode analisis kualitatif. Dalam hal ini digunakan metode induktif-deduktif, dimana akan ditarik satu kesimpulan secara khusus untuk dapat digeneralisasikan.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka diketahui bahwa pelaksanaan putusan Lembaga Adat Aceh dalam menyelesaikan sengketa pada masyarakat Aceh khususnya di tingkat Gampong sudah efektif dan masih relevan, serta dilaksanakan oleh para pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa merasa bahwa putusan yang diambil benar-benar sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan adat dan tanpa meninggalkan ketentuan syariat Islam yang tetap diutamakan di Aceh. Berdasarkan hal tersebut, maka disarankan kepada masyarakat agar tetap menjunjung tinggi adat dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam penyelesaian sengketa secara damai, agar kerukunan warga Aceh tetap terpelihara dengan segala kekhususannya.

Kata Kunci : - Efektifitas

- Putusan lembaga adat Aceh - Sengketa


(13)

ABSTRACT

Every dispute occuring in the society of Aceh Besar regency is solved through Aceh tradition institution, even though the court is as a formal forum to solve the dispute in Indonesia. Hence, it is necessary to know the effectiveness of the decision of Aceh tradition institution in solving the dispute.

This research is descriptive and empirical sociological. This research was conducted at Aceh Besar, especially in Gampong Bakoy, Gampong Manyang, Gampong Tutong. Data collection was obtained through field research and library research. Then, it was analyzed with qualitative analysis method. Inductive- deductive was done to get the conclusion in order to be generalized.

Based on the research conducted, it is known that the implementation of the decision of Aceh Tradition Institution in solving the dispute, especially in the community of Gampong level has been effective and it is still relevant and be used by those parties. Those parties. Those parties who are involved in the dispute consider that the decision taken is appropriate with the tradition consideration and without neglecting the principles and teaching of Islamics which are constantly as the priority in Aceh. Based on the descripton, it is suggested for those people of Aceh to respect the tradition in all aspects of life, including in solving the dispute for maintaining peaceful and harmonious life in Aceh.

Key words : - Effectiveness

- The desion of Aceh Tradition Institution

- The Dispute.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap sengketa yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap sengketa dapat diselesaikan agar keseimbangan tatanan masyarakat dapat dipulihkan. Pada dasarnya, keberadaan cara penyelesaian sengketa sama tuanya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Dalam setiap masyarakat telah berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana sengketa ditangani. Sengketa dapat diselesaikan melalui berbagai cara, baik melalui forum formal yang disediakan oleh Negara, maupun melalui forum-forum lain yang tidak resmi disediakan oleh negara.1

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sebagaimana yang diatur oleh pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat dilakukan dalam empat lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara. Setiap lingkungan peradilan menyelesaikan sengketa sesuai yurisdiksinya masing-masing. Keberadaan pengadilan sebagai forum formal penyelesaian sengketa merupakan aplikasi dari ajaran Trias Politica, dimana badan-badan peradilan diberi wewenang dan otoritas untuk mengadili suatu perkara. Melalui lembaga peradilan, setiap sengketa harus diselesaikan menurut tata cara

1

Eman Suparman, 2004, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk


(15)

formal yang diatur dalam hukum acara serta memberi hak kepada para pihak untuk mempergunakan upaya hukum.

Dalam beberapa masyarakat ada kecenderungan untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, namun adapula masyarakat yang lebih suka menyelesaikan sengketa melalui forum-forum lain diluar pengadilan. Alasan-alasan kebudayaan menyebabkan beberapa masyarakat cenderung mengenyampingkan pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang timbul diantara mereka. Pada awalnya pengadilan dijadikan sebagai pilihan pertama dan terakhir dalam penyelesaian sengketa. Selama beberapa dekade masyarakat di berbagai negara memberikan kepercayaan kepada lembaga peradilan untuk mengelola sengketa yang mereka hadapi, dengan harapan akan memperoleh keadilan sebagaimana secara normatif dan eksplisit disebutkan dalam ketentuan perundang-undangan. Akan tetapi faktanya lembaga peradilan telah terbukti tidak mampu memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyak keluhan yang timbul terhadap kinerja pengadilan yang dinilai formalistic, teknis dan biaya mahal.

Dengan munculnya penyelesaian sengketa alternatif ini, pengadilan hanya dijadikan sebagai pilihan terakhir oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa. Para pihak yang bersengketa baru akan mengajukan sengketanya ke pengadilan apabila mekanisme penyelesaian sengketa alternatif tidak mampu menyelesaikannya. Di Indonesia sendiri, disamping pengadilan sebagai forum penyelesaian sengketa yang keberadaannya diakomodir oleh Negara melalui UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, terdapat juga forum penyelesaian sengketa lain yang


(16)

mengacu pada pranata adat dan agama. Hal tersebut dilatarbelakangi karena adanya pluralisme hukum yang berlaku di Indonesia, dimana hukum yang berlaku bukan hanya hukum yang berasal dari pemerintah atau negara (hukum negara), tapi juga hukum yang berasal dari adat kebiasaan masyarakat (hukum adat) serta hukum yang berasal dari ajaran-ajaran agama (hukum agama).

Di samping peradilan sebagai lembaga formal penyelesaian sengketa, terdapat juga lembaga alternatif penyelesaian sengketa nonformal yang keberadaannya mengacu kepada hukum adat. Hukum adat yang umumnya berlaku dalam masyarakat yang diliputi semangat komunal memandang manusia atau individu sebagai bagian integral dari masyarakat. Setiap individu harus berupaya mencegah timbulnya disharmoni, dalam arti membina hubungan yang seimbang antara pasangan-pasangan dalam kehidupan, baik antar individu dalam masyarakat atau sebaliknya, atau antara dunia nyata dengan dunia gaib. Tetapi dalam kenyataannya selalu terbuka kemungkinan munculnya sengketa yang terjadi diantara para individu (warga masyarakat). Keadaan ini dapat mengakibatkan terganggunya system keseimbangan hubungan dalam masyarakat.

Dalam masyarakat hukum adat sudah sejak lama sengketa-sengketa yang terjadi diselesaikan secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga adat seperti peradilan desa atau yang disebut dengan peradilan adat. Biasanya yang bertindak sebagai hakim dalam lembaga tersebut adalah tokoh-tokoh adat (kepala adat) dan ulama. Kewenangan dari hakim peradilan adat ini tidak semata-mata terbatas pada perdamaian saja, tetapi juga kekuasaan memutus sengketa dalam semua


(17)

bidang hukum yang tidak terbagi ke dalam pengertian pidana, perdata, publik,2 dan lain-lain. Dalam hal ini proses penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan tiga asas kerja untuk menghadapi perkara-perkara adat, yaitu asas rukun, patut dan keselarasan.3

Keberadaan peradilan adat atau peradilan desa ini dapat menjadi alternatif penyelesaian sengketa bagi masyarakat yang sistem kerjanya kurang lebih mirip dengan penyelesaian sengketa alternatif modern yang sekarang berkembang, dimana musyawarah menjadi model umum dan utama dalam proses penyelesaian sengketa. Ini berarti, lembaga peradilan adat tidak berperan sebagai sarana pemaksa, tetapi memainkan peran sebagai mediator dalam rangka rekonsiliasi dan konsolidasi para pihak melalui proses penemuan putusan yang melegakan semua pihak, karena pada dasarnya keputusan diambil secara sukarela oleh para pihak.

Hampir diseluruh Indonesia terdapat lembaga peradilan ini, walaupun dengan nama yang berbeda-beda, seperti di Tapanuli, Minangkabau, Sulawesi Selatan, Bali, dan lain-lain. Di Tapanuli, pada masyarakat Batak Karo terdapat lembaga musyawarah desa yang disebut runggun adat yang berfungsi memeriksa dan menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat. Lembaga ini beranggotakan anak beru, senina, dan kalimbubu. Di daerah Toraja, masyarakat biasanya mengajukan sengketa mereka kepada suatu dewan yang berfungsi menyelesaikan

2

Hilman Hadikusuma, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar Maju, h. 40.

3

Moh. Koesnoe, 1974, Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Surabaya, Erlangga University Press, h. 44-45.


(18)

sengketa, yang disebut hadat. Dewan tersebut beranggotakan orang-orang yang menjadi pimpinan dalam suatu desa. Berkaitan dengan sengketa yang diajukan, dewan tersebut sidang untuk menentukan siapa yang harus dipersalahkan dan hukuman apa yang dijatuhkan. Di Bali, terdapat Desa Adat yang kekuasaannya diwujudkan dalam Sangkepan (rapat) desa adat, yaitu suatu forum yang membahas masalah-masalah tertentu yang sedang dihadapi desa secara musyawarah. Di Minangkabau dikenal lembaga peradilan desa yang disebut Kerapatan Adat Nagari (KAN). Sementara di Aceh juga dikenal Lembaga Adat Aceh.

Lembaga sebagai suatu sistem norma untuk mencapai tujuan tertentu yang oleh masyarakat tertentu dianggap penting. Sistem norma mencakup gagasan, aturan tata cara kegiatan, dan ketentuan sanksi (reward system). Sistem norma merupakan hasil proses berangsur-angsur menjadi suatu sistem yang terorganisasi. Artinya sistem itu telah teruji kredibilitasnya, dipercaya sebagai sarana mencapai tujuan tertentu.

Bila ditelusuri jejak sejarah Aceh, akan ditemukan bahwa lembaga agama dan lembaga adat istiadat sangat dalam berakar dalam masyarakatnya. Semboyan ”Hukom ngon adat han jeuet cre, lagee zat ngon sifeut”4

syariat (hukum) dan adat tidak dapat dipisahkan seperti zat tuhan dengan sifatnya. Pandangan dunia etnis Aceh tentang hal tersebut tercermin dari tulisan seorang ulama besar pada abad XIX, Sheikh Abbas Ibnu Muhammad alias Teungku Chik Kutakarang yang menulis dalam kitabnya Tadhkirad a rakidin (1889), antara lain sebagai berikut ”adat ban adat

4


(19)

hukom ban hukom, adat ngon hukom sama keumba. Tatkala mufakat adat ngon

hukom, nanggroe seunang hana goga”. Maknanya ”Adat menurut adat, hukum

syariat menurut hukum syariat. Adat dengan hukum syariat tidak dapat dipisahkan. Tatkala mufakat adat dengan hukum, negeri senang tanpa huru hara”

Dalam masyarakat Aceh sebutan adat sangat populer untuk keseluruhan tatanan kehidupan, baik yang menyangkut dengan fungsi hukum adat maupun berkenaan dengan fungsi adat istiadat. Dalam pengertian adat istiadat atau reusam yang berlaku pada suatu tempat, biasanya berbeda antara satu dengan lainnya ataupun dapat sama.

Menurut Ter Haar5 dalam buku Badruzzaman, lembaga hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan – perbuatan hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum.

Dalam peraturan daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 2 Tahun 1990, pasal 1 angka d, menjelaskan: ”Gampong/desa” adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri”.

5

Badruzzaman Ismail, 2007, Mesjid dan Adat Meunasha Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, Banda Aceh, MAA, h. 150.


(20)

Dalam tatanan kehidupan perilaku masyarakat Aceh Besar, terdapat dua gambaran sebagai komponen penentu tentang masih berfungsi atau tidak hak-hak adat yang menjadi pendukung kekuatan dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dalam masyarakat Gampong.

Gambaran kedua komponen penentu itu merupakan bagian kesinambungan perilaku kehidupan masyarakat Gampong dalam era kejayaan masa lalu, dimana landasan pembinaan adat berada di bawah kendali lembaga yang menempatkan fungsinya dibawah rujukan ”Adat bak Poteumereuhom, Hukom Bak Syiah Kuala,

Qanun Bak Putrou Phang, Reusam Bak Lakseumana”.

Pada masa itu berbagai persoalan, terutama menyangkut dengan sengketa-sengketa yang dihadapi oleh masyarakat dapat diselesaikan, melalui rapat musyawarah orang-orang patut sebagai fungsionaris, dengan menggunakan norma-norma hukum adat sebagai pedoman hukum yang diperoleh dari hasil pembahasan Keputusan Musyawarah perangkat Gampong yang dipilih oleh masyarakat itu sendiri (dumpee but ta mupakat, beek meularat oh wayee dudoe). Keputusan musyawarah semacam itu menjadi norma hukum dan mengikat masyarakat, sehingga secara langsung dapat diterapkan untuk penyelesaian masalah hukum adat, berarti memberikan bentuk kepada apa yang dibutuhkan sebagai keputusan hukum yang berlaku.

Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, telah memberikan bentuk-bentuk baru bagi pengembangan hak-hak otonomi daerah, termasuk keleluasaan untuk mengembangkan dasar-dasar


(21)

hukum adat dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat desa, sebagaimana penjelasan pasal 122 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, yang antara lain menegaskan bahwa pengakuan keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh didasarkan pada sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, sedangkan isi keistimewaannya, berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat dan pendidikan serta memperhatikan peranan ulama dalam penetapan kebijakan daerah.

Ketentuan itu berarti membuka peluang untuk membangun kembali regulasi/aturan formal kedalam berbagai hak-hak adat masyarakat. Salah satunya yang harus direkonstruksikan adalah fungsi lembaga adat. Bila hukum adat diterapkan, dengan itu pula dilakukan penerapan hukum / syariat Islam. Kondisi sosiologis dan perubahan nilai-nilai yuridis bagi masyarakat merupakan kondisi dinamis yang sangat dikehendaki agar ketentuan-ketentuan hukum adat semacam itu dapat segera dilaksanakan. Karena ketentuan semacam itu dapat dipandang dalam panutan budaya Aceh, berupa serapan nilai dari narit maja ”adat dengan hukum (agama) seperti ”zat dengan sifeut”. Narit maja ini, mengandung makna bahwa pelakanaan hukum adat tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam, bahkan sebaliknya penerapan hukum adat yang paling cocok adalah yang mengandung nilai-nilai hukum Islam. Jadi peranan hukum adat disini memperkuat penegakan nilai-nilai syariat dalam membangun ketertiban, ketentraman, kedamaian, kerukunan bagi kesejahteraan masyarakat.

Khusus berkenaan dengan pengaturan terhadap syariat Islam itu sendiri telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat


(22)

Islam, sebagai implementasi Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Perlu menjadi catatan bahwa tuntutan pelaksanaan Syariat Islam dan pelaksanaan hukum adat, sebagai bagian dari tatanan budaya ke Aceh, sangat dikehendaki oleh masyarakat Aceh. Tuntutan itu dapat disimak dari berbagai reaksi elemen masyarakat, baik melalui media cetak/elektronik, melalui seminar, diskusi, ceramah, sepanduk maupun melalui lembaga-lembaga formal yang terus berkembang dalam rangka mengangkat kembali harkat dan martabat masyarakatnya.

Lahirnya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tersebut, telah memberikan landasan yuridis yang lebih konkrit kepada pemerintah daerah Aceh, terhadap wewenang pengaturan keistimewaan Aceh. Wewenang pengaturan dan berbagai kebijakan itu, terutama berkenaan dalam hal untuk penyelesaian (hukum) adat bagi masyarakat. Antara lain konsepsi rumusan kerangkanya dapat diimplimentasikan berasaskan kepada dasar-dasar pertimbangan sebagai berikut:

1. Otonomi daerah Aceh, merupakan kewenangan khusus dan istimewa, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat yang berdasarkan prakarsa dan aspirasi masyarakatnya sendiri, dapat mengatur dan menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan keikutsertaan ulama dalam berbagai kebijakan daerah.

2. Daerah dapat menetapkan kebijakan dalam pelestarian dan pengembangan adat serta lembaga adat yang dijiwai oleh Syariat Islam dan dapat membentuk


(23)

lembaga-lembaga yang sudah ada itu, baik di propinsi, kabupaten / kota, kecamatan, kelurahan dan di desa-desa / Gampong (UU No. 44 Tahun 1999). Tindak lanjut dari amaran Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999, antara lain merujuk pada penafsiran rumusan-rumusan tersebut, pemerintah Daerah Istimewa Aceh telah melahirkan peraturan daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, yang sekaligus dapat berfungsi dan berkedudukan sebagai peraturan pelaksanaan yang sederajat dengan peraturan pemerintah (PP) dalam konteks dengan Undang-undang lain.

Sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang itu, pemerintah Daerah Istimewa Aceh melalui Perda Nomor 7 Tahun 2000 telah menetapkan beberapa rumusan untuk pedoman, antara lain sebagai berikut:

1. Masyarakat hukum adat dapat membentuk lembaga adat Aceh, sebagai organisasi kemasyarakatan adat dalam wilayahnya serta memiliki kekayaan sendiri, untuk berhak dan berwenang mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh.

2. Tuha Peut, Tuha Lapan dan Mukim, merupakan badan kelengkapan Gampong, dan unsur pemerintah, agama pimpinan adat, cerdik pandai, unsur pemuda/wanita dan unsur kelompok masyarakat.


(24)

3. Gampong adalah suatu wilayah yang menyelenggarakan rumah tangga sendiri dibawah pimpinan Geuchik (Keuchik ) dan Imeum Meunasah serta berwenang menyelesaikan segala sengketa di Gampong, berdasarkan hukum adat6

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Perda dimaksud, telah mengisyaratkan bahwa perangkat Gampong dan fungsi-fungsinya, berkewajiban menyelenggarakan pemerintahan di Gampong serta berhak dan berwenang pula untuk menggunakan lembaga dan hukum adat dalam menyelesaikan segala sengketa dalam masyarakatnya. Dengan demikian atas landasan Perda, lembaga adat dapat melaksanakan fungsinya sebagai pusat pengendali kehidupan masyarakat, dengan menggunakan hukum adat menjadi pegangan yang berfungsi sebagai hukum positif dalam masyarakat. Penataan perangkat Gampong, seperti Keuchik / wali Keuchik (Geuchik istilah Perda), Teungku Sago / Wali Teungku (Imum Meunasah istilah Perda), Tuha Peut danTuha Lapan, termasuk fungsi Meunasah sebagai realisasi hak-hak adat masyarakat dapat terus naik, sebagai upaya penegakan harkat dan martabat masyarakat Aceh yang berlandaskan norma-norma (hukum) adat yang hidup dan berkembang.

Berkenaan dengan hak-hak adat dan kewenangan serta tanggung jawab Gampong dalam menata kehidupan masyarakat, lebih lanjut dijelaskan oleh sumber hadih maja, ”Lampoh mupageu, Umong meu ateung, Nanggroe meu syara’, maseng

6


(25)

maseng na Raja7. Maksudnya setiap negeri ada peraturan dan mempunyai kekuasaan / raja masing-masing.

Beberapa produk adat itu merupakan sumber hukum yang bernilai yuridis normatif dan Islamis reseptif (receptio in complexu) serta sumber-sumber normatif kebiasaan lainnya yang hidup dan berlaku dalam masyarakat8.

Dengan demikian pemerintah provinsi kabupaten / kota, kecamatan, kelurahan dan desa-desa / Gampong diberi amaran oleh undang-undang itu untuk melaksanakan kaedah-kaedah hukum adat dalam rangka reaktualisasi hak-hak adat masyarakat.

Hak-hak masyarakat itu adalah sesuatu tatanan yuridis normatif yang dapat digunakan sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan masyarakat, sebagai tatanan dalam mengembangkan hubungan (antar hak). Adapun pengertian ”masyarakat” menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah merupakan sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.

Berkenaan dengan pemahaman masyarakat hukum itu, Lili Rasjidi memberi penjelasan, bahwa masyarakat hukum adalah himpunan kesatuan hukum yang satu sama lain terikat dalam suatu hubungan yang teratur. Kesatuan hukum yang membentuk masyarakat itu dapat berupa individu, kelompok, organisasi atau badan hukum negara dan kesatuan-kesatuan lainnya. Sedangkan alat yang dipergunakan mengatur hubungan antar kesatuan hukum disebut ”hukum”, yaitu suatu kesatuan

7

Majalah Jeumpa, 1999, penerbit LAKA h.8

8


(26)

sistem hukum yang tersusun atas berbagai komponen9 . Dengan demikian masyarakat Gampong sebagai suatu persekutuan yang terikat berdasarkan hukum adat merupakan suatu sistem hukum yang dapat membentuk dan membina kesatuan Gampongnya dengan hukumnya secara tertib dan teratur.

Perkembangan tatanan hukum yang hidup dalam masyarakat tidak lepas dari pengaruh sosiologis kehidupan masyarakat, sebab itu apabila masyarakat dilihat dari pranata-sosial, maka pengertiannya menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur perikelakuan para anggota masyarakat sebagai sesuatu bentuk dan sekaligus juga mengandung pengertian-pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu, yang menjadi ciri pada lembaga itu10.

Berdasarkan pandangan ini, dapat dipahami bahwa pranata sosial dapat di fungsikan sebagai:

1. Pedoman bagi anggota masyarakat tentang bagaimana mereka harus bertingkah laku dan bersikap dalam menghadapi masalah dalam masyarakatnya, terutama yang menyangkut dengan masalah-masalah pokok.

2. Pemeliharan keutuhan daripada masyarakat bersangkutan

3. Pegangan bagi masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial dan sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah lakunya11

Lembaga adat berfungsi sebagai pranata sosial, sehingga prinisip-prinsip keadilan hukum yang dikandungnya (hukum adat), dapat ditegakkan kembali sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat itu sendiri, sebagai bagian dari tuntutan sosial.

9

Lili Rasyidi, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, h.105

10

Soerjono Soekanto, 1969, Subjek Hukum, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Yayasan Universitas Indonesia, h.73.

11


(27)

Sehubungan dengan itu, maka “hak-hak masyarakat” dapat di rumuskan dari aspek hukum, sebagai norma-norma prilaku yang hidup dalam masyarakat serta berhak, dan berwenang mengatur, menguasai berbagai kepentingan untuk kebersamaan dalam wilayahnya, melalui fungsi lembaga adat sebagai paradigma adat yang memiliki otoritas tanggung jawab pengendalian dan pengawasan terhadap hak-hak masyarakat itu sendiri.

Sebagaimana diketahui bahwa hukum adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh Besar adalah hukum non-statutair yang sebagian besar meliputi hukum kebiasaan dan sebagian lagi hukum Islam. Hukum adat dengan hukum Islam dalam prilaku orang Aceh sudah berkembang menyatu secara integral mendarah daging “lagee zat ngon sifeu / zat dengan sifat” sebagaimana disebutkan diatas. Perkembangan menurut Savigny yang dikutip oleh R. Soepomo, menyatakan bahwa sesuai dengan fitrahnya, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang di tengah-tengah pergaulan masyarakat12. Dari proses perkembangan itu menunjukkan bahwa hukum adat di Gampong – Gampong erat kaitannya dengan fungsi Meunasah, yang dengan fungsinya itu dapat menerapkan hukum adat dalam kehidupan masyarakat.

Perkara-perkara yang diselesaikan di Meunasah dalam hal sengketa keperdataan misalnya; menyangkut dengan tanah, ternak, gangguan pertanian, hutang piutang, masalah kekeluargaan, harta pustaka, dan lain-lain yang timbul dalam masyarakat Gampongnya. Sedangkan penyelesaian menyangkut dengan perbuatan

12


(28)

kejahatan / kepidanaan di lingkungan warga maupun antar warga, misalnya perbuatan pertengkaran, penganiayaan, pembunuhan, pencurian dan sebagainya yang bersifat delik-delik hukum yang menganggu kehidupan kerukunan dan ketentraman serta keseimbangan (equilibrium) Gampong, juga diselesaikan di Meunasah. Apabila sengketa keperdataan atau delik-delik pidana adat terjadi dalam masyarakat, maka norma-norma hukum adat yang hidup dan berlaku akan muncul dengan sendirinya melalui fungsionaris perangkat Gampong, sehingga lembaga musyawarah yang dipimpin oleh Keuchik akan dengan cepat dapat mengatasinya.

Khazanah hukum adat keberadannya mengendap dalam masyarakat dan hanya melalui fungsionaris-fungsionaris hukum, seperti Keuchik , Tengku Sago, Tuha Peut, Tuha Lapan dan orang-orang tua patut lainnya (karena pengalaman hidup) yang mampu mengangkatnya, bila suatu saat diperlukan, misalnya bila terjadi sengketa / pertengkaran dalam masyarakatnya, maka saat itu pula hukum adat itu akan muncul dengan sendirinya. Dengan demikian melalui keputusan-keputusan musyawarah Gampong itu akan mampu menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dalam masyarakat, secara cepat, tegas dan sederhana dengan penuh wibawa serta dipatuhi oleh masyarakatnya secara serta merta demi harkat dan martabat para pihak yang berkepentingan.

Sudah menjadi suatu kelaziman / adat dalam masyarakat, bahwa bila pada warga Gampong terjadi sengketa, misalnya masalah tanah (perdata /pidana), maka masalah itu diserahkan pada Keuchik untuk diselesaikan. Keuchik membawa masalah tersebut kedalam musyawrah Gampong / desa di Meunasah, dimana


(29)

komponen perangkat Gampong (Teungku, Tuha Peut) diikutsertakan untuk membahas dan menyidangkan sengketa-sengketa tersebut yang pada umumnya berhasil diselesaikan dengan baik, menggunakan sumber hukum adat yaitu hasil keputusan musyawarah yang sangat berwibawa, murah, cepat dan sederhana.

Peranan Keuchik untuk menyelesaikan sengketa-sengketa semacam itu, tidak hanya berlaku untuk internal antar anggota masyarakat suatu Gampong, melainkan berlaku pula secara eksternal untuk sengketa anggota dan atau masyarakat antar Gampong dengan Gampong lainnya. Keuchik sebagai pimpinan Gampong memegang peran kunci di bidang hukum adat untuk kesejahteraan komunitasnya.

Dengan demikian, bila terjadi pertengkaran / sengketa antar Gampong, peranan Keuchik amat penting, karena sesuai dengan kebutuhan sifat masyarakat hukum adat yang berada dalam kesatuan yang homogen, tidak sama dengan masyarakat kota. Perasaan masyarakatnya yang berada dalam wawasan kosmo komunal dan relegio magis, menjadi penting diperhatikan, karena hal itu menjadi latar belakang kemasyarakatan dimana tempat hukum pidana itu bergerak, begitu pula tempat penyelesaiannya13.

Dalam hubungan musyawarah, fungsionaris hukumlah yang dapat berperan di Gampong-Gampong seperti peran Keuchik , Teungku, Tuha Peut, Tuha Lapan dan cerdik pandai lainnya. Musyawarah / persidangan yang dilakukan di Meunasah, pada saat demikian memegang peranan untuk dapat berfungsi sebagai lembaga pengadilan.

13


(30)

Fungsi demikian merupakan fakta tentang sikap perilaku masyarakat, dimana setiap persoalan selalu berurusan dengan ureung-ureng tuha / khususnya melalui Keuchik.

Hukum adat tidak mengenal sistem pelanggaran atau perbuatan kejahatan yang telah di tetapkan lebih dulu, untuk dapat dikenakan hukuman atau tindakan balasan. Lebih lanjut dalam hal itu, Soepomo mengutip alasan yang dikemukakan oleh Ter Haar, yang mengatakan bahwa gangguan keseimbangan serta pemulihan banyak hal, dalam masyarakat, ditentukan oleh unsur-unsur yang sangat pribadi, yaitu merasa malu atau tersinggung perasaannya, sehingga malu, rasa tidak enak, rasa amarah, rasa balas dendam dari orang yang terkena terhadap orang yang menyinggung, amat dirasakan, baik hal itu sengaja atau kelalaian dari pihak lain14.

Dari pandangan diatas menunjukkan, dalam masyarakat hukum adat, sesuatu perbuatan pelanggaran atau kejahatan dalam Gampong, dapat dipandang sebagai pengganggu keseimbangan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Karena itu bila kondisi masyarakat terjadi sengketa, maka langkah yang perlu ditempuh adalah pemulihan untuk mengembalikan keseimbangan itu. Disinilah otoritas, kewenangan dan tanggung jawab Keuchik sebagai pimpinan Gampong.

Dalam hubungan ini peranan Keuchik amat penting, apalagi karena fungsinya yang menurut M.Isa Sulaiman berkaitan sebagai lembaga pengikat pertumbuhan sosial ekenomi pedesaan, dimana konsentrasi basisnya adalah komunikasi Gampong yang dikepalai oleh Keuchik , serta berfungsi mempunyai pengadilan sendiri sebagai

14


(31)

lembaga meusapat dan landschapgerachter, disamping Mukim (gabungan beberapa Gampong) yang diikat oleh mesjid dan dikepalai oleh seorang Imuem15.

Undang-undang No. 44 Tahun 1999 tentang penyelesaian keistimewaan Aceh, menegaskan bahwa keistimewaan adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah (pasal 1 ayat 8).

Berdasarkan UU tersebut, baik de facto maupun de jure pemerintah bersama DPRnya, telah memberikan landasan yuridis yang kuat, bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh untuk dapat memperlakukan syariat Islam, adat dan pendidikan. Khusus menyangkut keistimewaan bidang adat, UU itu juga memberikan beberapa penafsiran sebagai berikut:

a. Daerah istimewa Aceh mendapatkan hak dan kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, menurut prakarsa sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat dan perundang-undangan.

b. Daerah istimewa Aceh dapat segera membentuk dan mengakui lembaga-lembaga adat yang telah ada, secara formal sesuai dengan kedudukannya masing-masing, sebagai kebijakan pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat / lembaga adat yang dijiwai dengan syariat Islam, mulai pada tingkat provinsi, kabupaten / kota, kecamatan, mukim sampai kedesa Gampong. Dasar pokok-pokok penafsian dimaksud, akan dapat memberi

15

Isa Sulaiman, 1997, Sejarah Aceh, Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Pustaka Sinar Harapan, h.16


(32)

makna bahwa penyelenggaraan adat boleh bersamaan dengan penyelenggaraan bidang agama dan pelaksanaan pendidikan sekaligus dengan menjadikan substansi-substansi integral dalam penyelenggaraan keistimewaan Aceh dan dengan menempatkan fungsi ulama pada peran dalam penetapan kebijakan daerah.

c. Kelahiran UU ini merupakan momentum yang bernuansa prospektif bagi Daerah Istimewa Aceh dalam upaya untuk dapat mereaktualisasikan fungsi lembaga adat yang hidup dan berwibawa dalam masyarakat. Dengan demikian, dapat diharapkan baik dilihat dari segi fungsi maupun peranan yang mungkin dapat dimainkan.

Konstruksi ini, telah digambarkan oleh Hardi, SH sebagai berikut: a. Menciptakan keadilan

b. Memadukan bakat dan sifat kepahlawanan c. Menciptakan kemakmuran yang merata

d. Memupuk suasana kerukunan dalam pergaulan hidup e. Mewujudkan kesejahteraan rohaniah dan jas maniah16

Pedoman pembangunan semacam itu penting untuk dapat menumbuhkan motivasi dan inovasi-inovasi baru dalam masyarakat tentang implementasi hak-hak adat, terutama berkenaan dengan reaktualisasi fungsi lembaga adat bagi memperkuat

16

Hardi, 1993, Daerah Istimewa Aceh, Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, Jakarta, Citra Panca, h.198.


(33)

landasan yuridis normatif untuk kesejahteraan rakyat Aceh untuk menemukan nilai-nilai yuridis normatif itu perlu melakukan temuan-temuan dalam masyarakat.

Karena itu pelaksanaan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999, sebagaimana telah dijelaskan, merupakan peluang yang amat prospektif dan strategis bagi menghidupkan kembali fungsi lembaga adat. Ketiga fungsi (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang telah disebutkan diatas dalam hubungan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Hardi dimaksud, dilihat dari sisi hukum tata negara, menunjukkan bahwa lembaga adat dapat mengembangkan fungsinya sebagai pelaksana teori Trias Politica, sebagaimana dianut oleh negara-negara maju dalam era globalisasi dewasa ini, walaupun ada perbedaan dalam fungsi operasional di lapangan.

Sejalan dengan perkembangan itu, maka secara realitas fungsi-fungsi tersebut dapat diekspresikan melalui tiga bidang kekuasaan yaitu:

a. Kekuasan yang bersifat mengatur atau menemukan peraturan b.Kekuasaan yang bersifat melaksanakan peraturan

c. Kekuasaan yang bersifat mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut17

Hal tersebut dalam prakteknya tercermin pada sikap dan perilaku Keuchik dan Teungku (simbol bapak-ibu) saat mengayomi penyelesaian masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan masyarakat. Unsur-unsur itu selalu dapat ditemukan dalam dinamika perilaku masyarakat Gampong, sebagai berikut:

a. Sebagai eksekutif, didapati pada fungsi Keuchik dalam menjalankan tugas-tugas keputusan musyawarah dan tatanan masyarakat,

17


(34)

b. Fungsi legeslatif, didapati dalam musyawarah / duk pakat, yang dihadiri oleh perangkat fungsionaris Gampong, yaitu Keuchik , Teungku Sago, Tuha Peut, Tuha Lapan / Cerdik pandai.

c. Fungsi yudikatif, didapati pada rapat paripurna / rapat Gampong dan atau melalui musyawarah perangkat Gampong, yang bersifat evaluasi dan mengontrol terhadap berfungsi tidaknya segala tatatan dan keputusan-keputusan / kebijakan yang telah ditetapkan.

Untuk berjalannya pelaksanaan adat dengan baik dan berwibawa, sangat ditentukan oleh pimpinan Gampong yaitu Keuchik . Ia harus berpucuk keatas dan berakar ke bawah dan mampu mengayomi, sehingga memiliki ikatan lahir bathin dengan rakyat. Hal ini terlihat dari cara lembaga adat menyelesaikan sengketa, kaidah hukum yang menjadi pegangan dalam penyelesaian itu, serta pelaksaanaan keputusan adat itu.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian dan kenyataan tersebut diatas, timbul beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana mekanisme / cara lembaga adat Aceh menyelesaikan sengketa masyarakat Aceh?

2. Apa saja kaedah hukum (pertimbangan) yang digunakan lembaga adat Aceh dalam menyelesaikan sengketa?

3. Bagaimana efektifitas pelaksanaan putusan lembaga adat Aceh dalam menyelesaikan sengketa pada masyarakat Aceh?


(35)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui mekanisme / cara lembaga adat Aceh menyelesaikan sengketa.

2. Untuk mengetahui kaidah (pertimbangan )yang digunakan lembaga adat Aceh dalam menyelesaikan sengketa.

3. Untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan putusan lembaga adat Aceh dalam menyelesaikan sengketa.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis yaitu:

1. Secara teoritis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum khususnya di bidang hukum adat dan pelaksanaannya dalam kaitannya terhadap suku Aceh.

2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam mempelajari tentang lembaga adat pada masyarakat Aceh dan efektifitasnya, bagi para akademis, mahasiswa dan masyarakat umum.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul ”Efektifitas Putusan Penyelesaian Sengketa Oleh Lembaga Adat Aceh”


(36)

belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,18 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.19 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.20

Teori yang dipakai sebagai pisau analisis penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum Islam yaitu dengan cara sulhu (perdamaian). Perintah melakukan sulhu terdapat dalam Al-Quran di Surat An Nisa ayat 126. Cara ini sudah dikenal di kalangan bangsa Arab mulai masa pra Islam.

Pada waktu itu meskipun belum terdapat sistem peradilan yang teroganisir, setiap ada persengketaan mengenai hak seseorang sering kali diselesaikan melalui wassith (juru damai) yang ditunjuk oleh orang yang bersangkutan. Lembaga ini terus dikembangkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan memodifikasi yang

18

J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, 1996, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas,

Jakarta, FE UI, h. 203. M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 27. menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

19

Ibid, h. 16

20


(37)

pernah berlaku pada masa pra Islam. Tujuan dari penyelesaian sengketa ini adalah agar tidak terjadi putusnya silaturrahmi diantara mereka yang bersengketa;21

Syarat sulhu menurut ulama fikih adalah sebagai berikut:

1. Syarat yang terkait dengan kedua belah pihak yang melakukan perdamaian: a. Kedua belah pihak adalah orang yang cakap bertindak hukum

b. Jika salah satu pihak yang akan melakukan sulhu adalah anak kecil, baik sebagai tergugat maupun penggugat, maka disyaratkan perdamaian yang dilakukan itu tidak membawa mudharat baginya.

c. Orang yang bertindak atas nama anak kecil dalam perdamaian adalah orang yang memiliki hak untuk mengelola hartanya, seperti ayah atau kakek.

2. Syarat yang terkait dengan objek sulhu:

a. Objek itu adalah sesuatu yang bernilai harta, baik berupa materi dan utang, maupun manfaaat.

b. Harta itu bernilai bagi umat Islam. c. Objeknya jelas.

d. Harta itu milik orang yang digugat dan berada di bawah penguasaannya. 3. Syarat yang terkait dengan persengketaan yang didamaikan:

a. Objek persengketaan merupakan hak pribadi semata-mata. b. Yang dipersengketakan itu merupakan hak penggugat.

21

Hasballah dalam Iman Jauhari, 2009, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan Menurut


(38)

4. Syarat yang terkait dengan ijab dan kabul adalah bahwa kabul harus sejalan dengan ijab22.

Teori lain yang juga dipakai sebagai pisau analisis dalam penyelesaian sengketa dalam hukum Islam yaitu Islah. Islah artinya memperbaiki, mendamaikan, dan menghilangkan sengketa atau kerusakan. Berusaha menciptakan perdamaian, membawa keharmonisan, menganjurkan orang untuk berdamai, melakukan perbuatan baik, berperilaku sebagai orang suci.23 Islah yang ada kaitannya dengan pewarisan, khususnya mengenai wasiat. Dalam Surat al-Baqarah (2) ayat 182, Allah SWT memerintahkan umat Islam agar jika melihat pelaksanaan wasiat yang menyimpang dan mengakibatkan pembuatnya terjatuh ke dalam dosa, untuk segera mengadakan Islah.

Sementara eksistensi kebiasaan / adat yang berkembang sebagai hukum di masyarakat menurut perspektif Islam dapat dilihat dari pendapat Prof. Dr. H.M. Hasballah Thaib M.A. dalam bukunya Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam menyatakan : “Urf atau adat kebiasaan adalah suatu yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik berupa perkataan ataupun perbuatan.

Para ulama mazhab Maliki membagi adat / urf kepada tiga macam, yaitu : a. Urf / adat yang timbul oleh semua ulama, yaitu adat yang ditunjuki oleh nash

22

Iman Jauhari, 2009, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan Menurut Hukum

Islam,Medan, Pustaka Bangsa Press, h.64-65

23

Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Hasballah, 2008, Tafsir Tematik Al-Qur an,, Medan, Pustaka Bangsa, h. 147.


(39)

b. Adat yang jika diambil berarti mengambil sesuatu yang dilarang oleh syara‟ atau meninggalkan sesuatu yang tugas syara‟ (adat ini tidak ada nilainya)

c. Adat yang tidak dilarang syara‟ dan tidak ditunjuki untuk mengamalkannya24. Fikih Muamalah mengatur hubungan kepentingan antar sesama manusia yang dalam Al-Qur‟an disebut habl min an-naas. Hanafi berpendapat bahwa pokok-pokok urusan agama salah satunya adalah muamalah. Muamalah meliputi transaksi kehartabendaan seperti jual-beli, perkawinan dan hal-hal yang berhubungan dengannya, urusan persengketaan (gugatan, peradilan dan sebagainya) dan pembagian warisan.25

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sebagai berikut :

a. Efektifitas adalah pengaruh atau akibat, keterkaitan antara tujuan yang dinyatakan dengan hasil yang dicapai. Jadi efektifitas adalah pengaruh yang ditimbulkan /

24

Hazballah Thaib, 2002, Tajdid, Reaktualisasi Dan Elastisitas Hukum Islam, Medan, h. 33

25


(40)

disebabkan oleh adanya suatu kegiatan tertentu untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan yang dicapai dalam setiap tindakan yang dilakukan.

b. Putusan adalah hasil atau kesimpulan terakhir dari sesuatu pemeriksaan perkara. c. Adat adalah aturan (perbuatan) yang lazim dilakukan sejak dulu kala, kebiasaan. d. Sengketa adalah permasalahan, perkara yang belum ada penyelesaiannya.

e. Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti yang sangat luas dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka nilai sama.

f. Aceh adalah suku bangsa yang mendiami ujung utara Sumatera.

g. Lembaga Adat Aceh adalah lembaga adat yang dibentuk secara khusus oleh Pemerintah Aceh berdasarkan Perda dan Qanun.

h. Gampong adalah kampung. G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan sosiologis empiris. Melalui penelitian deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan secara sistematis, faktual tentang keakuratan fungsi lembaga-lembaga adat bersamaan dengan pelaksanaan hukum adat dalam prilaku masyarakat serta konteksnya dengan teori-teori sumber hukum berkenaan dengan permasalahan yang diajukan. Melalui sosiologis empiris, penelitian itu dilakukan dari aspek perkembangan dan efektifitasnya dengan terlebih dahulu meneliti, berbagai peraturan serta bahan-bahan kepustakaan yang ada, kemudian menghubungkannya dengan yuridis empiris dari fenomena-fenomena data


(41)

lapangan dengan kaedah-kaedah adat yang hidup dalam masyarakat, terutama berkaitan dengan keputusan yang dibuat oleh lembaga adat Aceh (LAA).

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Aceh Besar khususnya di Gampong Bakoy, Gampong Manyang, Gampong Tutong. Lokasi ini dipilih karena sangat strategis sebagai standar tentang kemungkinan pelaksanaan adat bagi masyarakat adat.

3.Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data diperoleh dari penelitian lapangan yang didukung penelitian kepustakaan, sebagai berikut :

a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan.26

b. Penelitian Lapangan (field research) untuk mendapatkan data primer yang terkait dengan masalah putusan adat tentang pewarisan pada masyarakat Aceh, dan dengan melakukan wawancara kepada:

a. Tokoh-tokoh adat tingkat kabupaten, kecamatan, yaitu LAA dan tokoh adat intelektual lainnya.

b. Cendikiawan / cerdik pandai / tokoh-tokoh Gampong, yaitu Geuchik, tuha peut dan tokoh adat.

c. Tokoh-tokoh dan instansi terkait lainnya.

26

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,


(42)

4. Analisis Data

Sesuai dengan spesifikasi penelitian yaitu sosiologis empiris, maka data yang ada akan dianalisis secara kualitatif yakni mengelompokkan data dan menceritakan kembali dalam uraian.

5. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan merupakan logika berfikir untuk memperoleh hasil akhir. Dalam hal ini akan digunakan metode induktif-deduktif, dimana akan ditarik satu kesimpulan secara khusus untuk dapat digeneralisasikan.


(43)

BAB II

MEKANISME / CARA LEMBAGA ADAT ACEH (LAA) MENYELESAIKAN SENGKETA

A. Masyarakat Hukum Adat Pada Umumnya

Masyarakat hukum adat secara umum dapat diartikan sebagai kelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu, mempunyai pemimpin, dan mempunyai norma-norma hukum sendiri yang mereka taaati bersama. Gambaran yang lebih lengkap tentang masyarakat hukum adat dikemukakan oleh Hazairin yang mengatakan:

Masyarakat-masyarakat Hukum Adat seperti di desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, Nagari di Minangkabau, kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatua-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya… Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya dan sistem umum kemasyarakatannya. Sistem perekonomiannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri komunal, dimana gotong royong, tolong menolong, serasa dan semalu, mempunyai peranan yang besar.27

Sementara Ter Haar, yang menggunakan istilsh persekutuan, memberikan rumusan sebagai berikut: “gerombolan yangt teratur bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan sendiri, pula kekayaan sendiri berupa benda yang kelihatan dan tidak kelihatan mata”.

27


(44)

Secara garis besar, masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan dalam tiga bentuk yaitu genelogis, territorial dan campuran (genekologis dan territorial). Masyarakat hukum adat yang genelogis (tribal constitution) adalah kesatuan masyarakat yang anggotanya berasal dari satu garis keturunan yang sama. Masyarakat hukum genelogis ini dibedakan menjadi :

1. Masyarakat hukum patrilineal adalah masyarakat yang garis keturunannya mengikuti garis bapak (laki-laki), seperti masyarakat Batak, Lampung, Nias, Sumba dan Bali.

2. Masyarakat hukum matrilineal adalah masyarakat yang garis keturunannya mengikuti garis ibu (perempuan), seperti masyarakat Minangkabau.

3. Masyarakat hukum parental adalah masyarakat yamg garis keturunannya mengikuti garis kedua orangtua secara bersama-sama (bapak dan ibu), seperti masyarakat Jawa, Aceh.

B. Deskripsi Masyarakat Aceh

Propinsi Naggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu propinsi yang letaknya di kawasan bagian barat wilayah Republik Indonesia atau pada penghujung bagian utara pulau Sumatera. Propinsi ini terletak pada garis 2°LU - 6°LU dan 98°BT, yang terhampar di atas areal seluas 55.390 km2. Bila diperhatikan dengan seksama terlihat area daratan propinsi daerah Istimewa Aceh terbaring membujur dari arah barat laut ke tenggara. Titik paling utara dan barat terletak di pulau Weh. Titik paling selatan tcrletak di pulau Banyak, titik paling timur terletak tidak berapa jauh di sebelah sungai Tamiang dan Singkil. Dengan demikian dapat ditetapkan batas propinsi Daerah istimewa Aceh, yaitu


(45)

sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan lautan Hindia, sebelah timur dengan propinsi Sumatera Utara dan Selat Malaka, dan sebelah barat dengan lautan Hindia.28

Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terhampar di atas area seluas 55.390 km2, sebagian besar terdiri dari daratan persambungan pulau Sumatera dan ditambah dengan beberapa pulau kecil lainnya yang terletak di bagian barat laut dan selatan daratan tersebut (daratan Aceh). Yang terbesar di antara pulau pulau itu adalah P. Siemeulu, P. Weh, P. Nasi, P. Tuangku dan P. Batu di P. Banyak.29

Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdiri atas sembilan suku, yaitu Aceh (mayoritas), Tamiang (Kabupaten Aceh Timur Bagian Timur), Alas (Kabupaten Aceh Tenggara), Aneuk Jamee (Aceh Selatan), Naeuk Laot, Semeulu dan Sinabang (Kabupaten Semeulue). Masing-masing suku mempunyai budaya, bahasa dan pola pikir masing-masing. Bahasa yang umum digunakan adalah Bahasa Aceh. Di dalamnya terdapat beberapa dialek lokal, seperti Aceh Rayeuk, dialek Pidie dan dialek Aceh Utara. Sedangkan untuk Bahasa Gayo dikenal dialek Gayo Lut, Gayo Deret dan Gayo Lues.30

Tiap perkampungan ditandai oleh adanya meunasah, andaikata tak diketemukan mesjid. Meunasah berfungsi sebagai tempat anak-anak belajar mengaji (Al-Quran), melakukan shalat berjemaah (kecuali shalat Jumat), tempat tidur

28

Ibid, hal. 11

29

Ibid

30

http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=6082&temid =1808, Sosial Budaya Provinsi Nanggoe Aceh Darussalam, diakses tanggal 12 Juni 2010


(46)

pemuda, dan pusat aktifitas perkampungan, di samping itu kadang kala dipergunakan sebagai sarana untuk menyampaikan instruksi-instruksi oleh pimpinan kampung. Dengan kata lain meunasah ini mengandung fungsi sosial dan keamanan. Di daerah adat Aneuk Jamee diketemukan pula suatu bangunan yang hampir mirip dengan meunasah disebut surau atau dayah. Beda antara surau dengan meunasah terletak pada si pemakainya, di mana pada lembaga yang terakhir ini dipergunakan juga untuk kaum wanita untuk menyelenggarakan shalat berjemaah.31

Masyarakat adat Aceh, Aneuk Jamee, Tamiang, Gayo dan Alas mengenal keluarga batih atau rumah tangga, sebagai kelompok keluarga yang terkecil. Di antara masyarakat adat di atas, masyarakat adat Gayo mempunyai istilah tersendiri untuk keluarga batih, yaitu "sara barine" : Keluarga batih atau rumah tangga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum dewasa. Di daerah adat Aceh, Aneuk Jamee dan Tamiang termasuk juga ke dalamnya anak perempuan beserta suaminya, yang belum dipisahkan "dapur" (di daerah adat Aceh disebut "peumeukleh ", di daerah adat Aneuk Jamee disebut "paasieng paasieng pariuk", di daerah adat Tamiang disebut "peumeukleh" juga. Kadang kala terdapat juga keluarga batih poligami. Bentuk keluarga batih yang terakhir hanya terdapat pada seseorang yang mempunyai isteri lebih dari satu.32

31

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa

Aceh, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978/1979, h. 14-15

32


(47)

Keluarga batih merupakan kesatuan ekonomi dan kesatuan adat, dalam hal ini laki-laki lebih dititikberatkan tanggung jawabnya dalam usaha perekonomian, hubungan pemerintahan dan kemasyarakatan. Sedangkan kaum wanita di samping bertugas membantu kaum laki-laki dalam berbagai usaha, juga peranannya lebih dituntut untuk mengurus rumah tangga dan pengasuhan anak. Semua masyarakat adat di daerah Aceh, anak lelaki peranannya sangat penting, dalam sistem kekerabatannya. Penempatan anak lelaki pada tempat yang penting bisa dipahami, karena anak lelaki sebagai penerus keturunan dan gelar kebangsawan (termasuk "belah" di daerah adat Gayo dan "marge" di daerah adat Alas), di samping erat hubungannya dengan agama Islam.33 Seperti diketahui agama Islam menempatkan anak lelaki pada tempat yang penting seperti tercermin dalam hukum perkawinan dan perwalian. Penempatan anak lelaki pada tempat yang penting, toh tidak berarti anak perempuan dikurangi harkatnya. Semua masyarakat adat mengakui eksistensi anak pcrempuan sebagai makhluk yang diperlukan perlindungan. Bahkan di daerah Aneuk Jamee, anak perempuan mempunyai tempat tersendiri dalam kerangka adat perkawinan. Di daerah tersebut terdapat kecenderungan mewarisi rumah kepada anak perempuan. Maksud yang tersimpul dalam pewarisan yang semacam itu, disebabkan adanya tertanam suatu anggapan bahwa, rumah yang didiami oleh anak perempuan itu merupakan tempat saudara lelakinya berteduh, apabila terjadi percekcokan dengan isterinya.

33


(48)

Keluarga luas sebagai kelompok kekerabatan hanya terdapat pada masyarakat adat Gayo di Aceh Tengah dan adat Alas di Aceh Tenggara. Ukuran masyarakat luas dalam masyarakat adat Gayo ditentukan oleh tinggal mereka dalam satu rumah besar yang berbentuk panggung. Rumah besar yang berbentuk panggung itu disebut dengan Umah limeu ruang. Umah limeu ruang pada mulanya merupakan milik sebuah sara barine. Apabila salah seorang anggota sara barine melangsungkan perkawinan, maka ia beserta keluarga sara barinenya yang baru menempati sebuah bilik yang merupakan bagian dari umah limeu ruang tadi. Begitulah seterusnya tiap anggota keluarga yang sudah kawin, akibatnya terbentuk rumah panjang yang tiap bilik dihuni oleh satu keluarga sara barine. Perlu diketahui bahwa masing-masing sara barine di dalam umah limeu ruang itu mempunyai dapur tempat memasak sendiri-sendiri.

Kesatuan dari beberapa sara barine di daerah adat Gayo disebut dengan sedere, di daerah adat Alas disebut Umah mbelen. Perkembangan sedere di dalam umah limeu ruang tidak sama dengan perkembangan warga adat dalam rumah Gadang di Minangkabau. Umah limeu ruang di daerah adat Gayo didasarkan atas tali perhubungan darah yang murni, bukan berdasarkan pada kegiatan adat sebagai tempat upacara perkawinan dan pertemuan kepala-kepala keluarga. Karena kegiatan adat bagi masyarakat adat Gayo, di samping kegiatan sedere, terdapat pula kegiatan kuru (klen kecil). Sedangkan kuru tidak bertempat tinggal bersama-sama dalam umah limeu ruang.


(49)

Bersama dengan arus modernisasi yang semakin meluas ke daerah pedesaan di daerah adat Gayo menyebabkan timbul gejala berkurangnya umah limeu ruang. Akibat dari pengaruh tersebut terdapat kecenderungan pada sebagian keluarga sara barine untuk membangun rumah mereka, dengan meniru rumah modern dewasa ini.

Kelompok kekerabatan dalam bentuk klen kecil di daerah adat Gayo dan Alas adalah hasil perkembangan dari sedere. Apabila umah limeu ruang tak bisa lagi menampung keluarga sara barine yang baru kawin, maka dia terpaksa membangun rumah untuk tempat tinggal yang lain. Rumah yang dibangun untuk tempat tinggal yang baru ini, lama kelamaan menjadi umah limeu ruang lagi. Walaupun dalam kenyataan timbul pemisahan tempat tinggal antara satu rumah dengan rumah yang lain, namun antara mereka masih terikat oleh pertalian sedere. Dari ikatan itu terbentuklah klen kecil yang disebut "kuru ".

Dalam masyarakat adat Gayo dan Alas, suatu kuru mungkin saja bertempat tinggal di dalam beberapa desa. Hal ini disebabkan oleh pemisahan tempat tinggal tadi, atau disebabkan oleh suatu perkawinan eksogami antara satu kuru dengan kuru yang lain. Karena pada masyarakat Gayo dan Alas perkawinan indogami dalam keluarga kuru dilarang oleh adat.

Perkembangan klen kecil atau kuru dalam masyarakat adat Gayo hampir mirip dengan perkembangan timbulnya "kewom" di daerah adat Aceh, kaum di daerah adat Aneuk Jamee, dan "kaum biak" di daerah masyarakat adat Tamiang. Bedanya hanya klen kecil yang terbentuk pada masyarakat-masyarakat adat yang


(50)

akhir-akhir ini tidak melalui rumah besar seperti umah limeu ruang yang terdapat di daerah masyarakat adat Gayo dan juga tidak melalui perkawinan eksog ami.

Klen besar sebagai kelompok kekerabatan, hanya dikenal pada masyarakat adat Gayo dan dalam masyarakat adat Alas. Klen besar sebagai kelompok kekerabatan yang terdapat pada masyarakat adat Gayo dan masyarakat adat Alas ini, muncul sebagai akibat perkembangan lebih lanjut dari kuru. Perkembangan itu bisa saja terjadi lewat perpindahan anggota atau perkawinan. Tetapi mereka masih merasa dirinya mempunyai suatu keturunan yang sama, atau masa lampau yang sama dan satu teritorial yang sama. Dari rasa kesatuan ini mereka terikat dalam suatu klen besar, dan di daerah adat Gayo disebut "merge". Dengan demikian timbullah belah-belah dan merge-merge di kedua daerah itu, di antaranya adalah belah Cik, belah bukit, belah hakim, belah jalil di daerah adat Gayo, merge selean, dan merge deski di daerah adat Alas. Seperti halnya dengan kuru, perkawinan sesama anggota belah (indogami belah) dilarang oleh adat.

Masyarakat adat Aceh, Aneuk Jamee, dan Tamiang menganut prinsip kekeluargaan bilateral dan parental. Mengingat demikian maka jarak jauh dekat seseorang anak dengan saudara-saudara lelaki ayahnya dan saudara lelaki ibunya berlangsung berdasarkan sistem parental atau bilateral. Dalam hubungan hukum seperti terlihat dalam segi hukum perkawinan dan per"walian" si anak lebih dekat kepada saudara laki laki pihak ayahnya atau disebut wali. Sebaliknya dalam segi adat dan kanun demikian juga pergaulan si anak lebih dekat dengan saudara laki-laki pihak ibunya yang sering disebut "karong":


(51)

Masyarakat adat Aceh demikian juga masyarakat adat Aneuk Jamee, Tamiang, Gayo dan Alas mengenal suatu kerangka istilah kekerabatan dalam hubungan antar diri (inter personal relationship). Kerangka istilah kekerabatan itu mencakup perbedaan jenis kelamin, umur, dan status dalam kekeluargaan yang mencerminkan sopan santun dalam interaksi antara anggota kekeluargaan, prinsip-prinsip tersebut dipelihara baik dalam suatu sistem tutur keluarga.

Pola kehidupan masyarakat Aceh diatur oleh hukum adat yang berdasarkan kaidah-kaidah hukum agama Islam. Adapun susunan masyarakat adalah sebagai berikut :

1. Golongan Rakyat Biasa; yang dalam istilah Aceh disebut Ureung Le (orang banyak). Disebut demikian karena golongan ini merupakan golongan yang paling banyak (mayoritas) dalam masyarakat adat Aceh. 2. Golongan Hartawan; yaitu golongan yang bekerja keras dalam

mengembangkan ekonomi pribadi. Dari pribadi-pribadi yang sudah berada itulah terbentuknya suatu golongan masyarakat. Karena keberadaannya sehingga mereka menjelma menjadi golongan hartawan. Golongan ini cukup berperan dalam soal-soal kemasyarakatan khususnya sebagai penyumbang-penyumbang dana.

3. Golongan ulama/cendikiawan; umumnya mereka berasal dari kalangan rakyat biasa yang memiliki ilmu pengetahuan yang menonjol. Sehingga mereka disebut orang alim dengan gelar Teungku. Mereka cukup berperan dalam masalah-masalah agama dan kemasyarakatan.

4. Golongan kaum bangsawan; termasuk didalamnya keturunan Sultan Aceh yang bergelar "Tuanku" keturunan "Uleebalang" yang bergelar "Teuku" (bagi laki-laki) dan "Cut" (bagi perempuan).34

Selain pembagian susunan masyarakat tersebut di atas, sistem kesatuan masyarakat Aceh, merupakan perwujudan dari beberapa buah keluarga inti, yang

34

http://students.ukdw.ac.id/~22012697/adat.html, Adat dan Budaya Aceh, diakses tanggal 2 Juni 2010


(52)

menjadi suatu kelompok masyarakat; yang disebut "Gampong" (Kampung). Sistem sosial pada masyarakat Aceh berpedoman pada keluarga inti. Setiap perbuatan yang dilakukan sebuah keluarga inti akan memberi pengaruh kepada keluarga lainnya. Dengan demikian hubungan antara satu keluarga inti dengan keluarga inti lainnya cukup erat.

C. Hukum Adat Masyarakat Aceh

Kata adat berarti aturan baik berupa perbuatan ataupun ucapan yang lazim diturut dan dilakukan sejak dahulu kala. Kata adat ini sering disebut beriringan dengan kata istiadat, sehingga menjadi adat istiadat. Adat istiadat berarti tata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan, sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat.35 Dalam praktiknya, istilah adat istiadat mengandung arti yang cukup luas, mencakup semua hal di mana suatu masyarakat atau seseorang menjadi terbiasa untuk melakukannya.36

Menurut A.G. Pringgodigdo, adat ialah aturan-aturan tentang beberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu daerah tertentu di Indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah laku anggota masyarakat. Di Indonesia, aturan mengenai kehidupan manusia tersebut dipertahankan oleh masyarakat karena dianggap patut. Oleh karena itu, aturan dan tindakan yang dianggap patut itu mengikat para penduduk, dan konsekuensinya aturan itu dipertahankan oleh Kepala Adat dan petugas hukum lainnya. Di sinilah letaknya aturan adat bersifat hukum.Konsep hukum adat Van Vollenhoven menggambarkan hukum adat Indonesia sebagai hukum asli penduduk yang pada umumnya masih tidak tertulis (jus non-scriptum) dan ketentuan hukum agama yang sebagian besar sudah tertulis (jus scriptum). Pandangan inilah yang dijadikan dasar dalam merumuskan definisi hukum adat pada Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta

35

Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hal. 5-6.

36

Syahrial, 2004, Hukum Adat dan Hukum Islam Indonesia : Refleksi terhadap Beberapa


(53)

pada tanggal 15-17 Januari 1975. Seminar tersebut menyimpulkan bahwa hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana sini mengandung unsur agama. 37

Pengertian hukum adat menurut Soepomo adalah sebagai hukum nonstatutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam.38 Maksud hukum non-statutair adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law). Meskipun demikian, hukum adat adalah hukum yang hidup, karena ia menjelma sebagai perasaan hukum yang nyata dari rakyat 39 Hukum yang terdapat di setiap masyarakat, betapapun sederhana dan kecilnya masyarakat itu, maka hukum itulah yang menjadi cerminnya, karena tiap masyarakat, tiap rakyat, mempunyai kebudayaan sendiri, dengan corak dan sifatnya sendiri.40

Adat berasal dari bahasa Arab “a‟dadun” artinya berbilang, mengulang, berulang-mengulang dilakukan sehingga menjadi suatu kebiasaan. Sesuatu kebiasaan yang terus menerus dilkukan dalam tatanan perilaku masyarakat Aceh dan berlaku tetap sepanjang waktu, disebut dengan adat. Misalnya adat khanduri maulid Nabi Muhammad SAW, sepanjang bulan Rabi‟ul Awal dan Jumadil Akhir. Adat khanduri menyambut Nuzulul Qur‟an pada bulan Ramadhan. Adat juga pada umumnya bersifat upacara/seremonial, bahkan bernilai ritualitas yang yang disebut dengan adat istiadat. Misalnya pada upacara perkawinan, peusunteing darabaro dan linto, khanduri blang,

37

Ibid, h. 63-64

38

R. Soepomo, 1996, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 3

39

Ibid, h. 3-4

40

Bushar Muhammad, 2006, Asas-asas Hukum Adat : Suatu Pengantar, Cetakan ke-13, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 42


(54)

khanduri laot, mee-bu/ meulineum. Adat istiadat yang bernilai agama, misalnya upacara khitan sunnah rasul, hakikah, qurbeun, khatam Qur‟an dan lain-lain.

Adat istiadat sebagai reusam yang melahirkan aneka apresiasi / kreasi, upacara/ seremonial ritualitas, aneka seni tarian, etika, estetika, modifikasi pakaian dan makanan serta produk keindahan fisik yang monumental, cagar budaya dan ornamen-ornamen spesifik lainnya yang umumnya mengandung nilai-nilai komersial untuk dipasarkan.

Adat bermakna dengan dengan adat istiadat, juga merupakan norma, kaidah yang mengandung nilai-nilai hukum. Bagi masyarakat adat, sulit memisahkan pengertian adat yang bersifat hukum (hukum adat) dengan pengertian yang bersifat perbuatan perilaku yang tetap / tradisional. Namun kejelasan itu akan terlihat dalam penyelesaian permasalahan bila ada kasus-kasus adat yang terjadi dalam masyarakat. Adat / hukum adat suatu norma yang mengandung sifat dan nilai-nilai hukum dalam tatanan perilaku kehidupan masyarakat, dipanuti, dipatuhi untuk ketertiban, kerukunan dan kesejahteraan masyarakat, dimana bagi siapa yang melanggar adat (hukum adat) akan diberikan sanksi hukum. Hukuman yang dijatuhkan oleh pimpinan adat / ketua adat, berdasarkan hasil keputusan musyawarah, berdasarkan nilai-nilai kepatutan, kelayakan-kelayakan dan keseimbangan dengan mendahulukan prinsip-prinsip damai suatu sebagai suatu landasan mekanisme untuk mewujudkan keadilan. Misalnya dalam hal persengketaan harta milik (perbuatan perdata), ataupun pembunuhan, penganiayaan dan pertengkaran (perbuatan pidana) dapat diselesaikan dengan cara-cara damai melalui peradilan adat, yang terdapat di gampong-gampong dan Mukim. Prinsip utama yang digunakan adalah “damai” untuk membangun keseimbangan (equilibrium) dalam


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Cara Lembaga Adat Aceh menyelesaikan sengketa masyarakat Aceh adalah dengan musyawarah., dimana upaya yang dilakukan adalah menasihati dan menegur, sebelum dilakukan peradilan.

2. Kaidah / pertimbangan yang digunakan Lembaga Adat Aceh dalam penyelesaian sengketa tidak terlepas dari Hukum Islam dan hukum adat Aceh itu sendiri. 3. Pelaksanaan putusan Lembaga Adat Aceh dalam menyelesaikan sengketa pada

masyarakat Aceh khususnya di tingkat Gampong sudah efektif dan masih relevan, serta dilaksanakan oleh para pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa merasa bahwa putusan yang diambil benar-benar sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan adat dan tanpa meninggalkan ketentuan syariat Islam yang tetap diutamakan di Aceh.

B. Saran-saran

1. Kepada Pemerintah melalui Lembaga Adat Aceh agar dapat mereaktualisasi fungsi lembaga adat untuk menyelenggarakan fungsi peradilan Gampong sebagai pertimbangan penyelenggaraan peradilan formal.

2. Kepada Lembaga adat Aceh disarankan agar mendokumentasikan segala putusan-putusan adat terdahulu sehingga mempermudah penyelesaian sengketa yang sama yang mungkin terjadi lagi, atau bila ingin dilanjutkan ke pengadilan formal.


(2)

3. Kepada masyarakat agar tetap menjunjung tinggi adat dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam penyelesaian sengketa secara damai, agar kerukunan warga Aceh tetap terpelihara dengan segala kekhususannya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU

Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil, Airlangga University Press, Surabaya, 2003

Alfian, T. Ibrahim, Wajah Aceh Dalam Lintaasn Sejarah,, Banda Aceh, PDIA, 1999 Dipoero, Surojo Wigno. Pengantar dan Asas Hukum Adat, , Gunung Agung, Jakarta,

1989.

Ensiklopedi hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2003.

Hadikusuma Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung. 1992

__________, Antropologi Hukum Indonesia.

__________, Hukum Waris Adat, , Alumni, Bandung. 2003.

Harahap M. Yahya, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta, Pustaka Kartini, 1990.

Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Al-Hadits, Tintamas, Jakarta. 1981

Hisyam M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, FE UI, Jakarta, 1996 Ismail Badruzzaman, Mesjid dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, Banda Aceh, MAA, 2007

Koesnoe. Moh, Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, Surabaya, 1974.

__________, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, Surabaya, 1979

Lubis, M.Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Madju, Bandung ,1994 Mahadi, Laporan Hasil Pengajian Bidang Hukum Adat, BPHN, 1980


(4)

Muhammad, Bushar, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramitha,1985

__________, Pokok-Pokok Hukum Adat, , Pradnya Paramitha, Jakarta. 2004.

Mardani. Hukum Acara Perdata dan Mahkamah Syariah, Sinar Grafika, Jakarta. 2008.

Muhubbin, Muhammad. Wahid, Abdul. Hukum Kewarisan Islam, Sinar Grafika, Jakarta. 2009.

Mohd. Juned, T. Asas-Asas Hukum Adat., Fak. Hukum Unsyiah, Banda Aceh. 1985. Poerwadarminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,

2006.

Ramulyo, Mohd. Idris. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dan Hukum Kewarisan Menurut KUHPerdata, , Sinar Grafika, Jakarta. 1994 Salman, Otje. Haffas, Mustafa. Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung. 2006 Soemadiningrat, Otje Salman. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, ,

Alumni, Bandung. 2002

Soekanto, Soerjono. Masalah Kedudukan danan Peranan Hukum Adat, Academica, Jakarta. 1979.

________, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986. ________, Hukum Adat Indonesia, , Rajawali Pers, Jakarta. 2002.

________, Efektivitasi Hukum Dan Peranan Sanksi, Remadja Karya, Bandung, 1988 .

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995.

Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta. 1977. Sabono, Max Boll, Ilmu Negara, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama ,1994 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007.


(5)

Sulaiman, Isa, Sejarah Aceh, Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Pustaka Sinar Harapan, 1997

Sulistiyono, Adi, Mengembangkan Paradigma Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi dalam Rangka Pendayagunaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis/Hak Kekayaan Intelektual, Disertasi, Semarang, 2002

Suparman Eman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, Tata Nusa, Jakarta, . 2004.

Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam, , Kencana, Jakarta. 2008.

Thalib Sayuti, Hukum Keluarga Indonesia, Yayasan Universitas Indonesia, Jakarta,. 1985.

Thaib Hazballah, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, Medan, 2002. ________dan Zamakhsyari, Tafsir Tematik Al Qur`an V, Pustaka Bangsa Press,

Medan, 2008.

Tamakiran, S. Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, Pionir Jaya, Bandung. 1992.

Tyler R.Tom, Why People Obey The Law, Book Crafters, Library Of Congress Cataloging-in-Publication Data, 1990

Usman, Roehmadi. Hukum Kewarisan Islam Dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam, Mandar Maju, Bandung. , 2009.

Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, Profil Propinsi Republik Indonesia, Daerah Istimewa Aceh, 1992.

Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, Profil Propinsi Republik Indonesia, Sumatera Utara, 1992

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juli 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Dirjen Pembinaan dan Pengembangan Agama Islam Departemen Agama, 1992/1993.


(6)

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No.2 Tahun 1990 Peraturan Daerah No.5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam

Peraturan Daerah No.7 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat Qanun Aceh No.9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat Dan Adat

Istiadat

Qanun Aceh No.10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat

Undang-Undang No.7 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Aceh

Undang-Undang No.44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh