Teori Hukum Tentang Kausalitas Sebab-Akibat

badan usaha. Pasal 5 Undang-Undang Yayasan menyebutkan bahwa kekayaan yayasan termasuk hasil kegiatan usaha yayasan, merupakan kekayaan yayasan sepenuhnya untuk dipergunakan guna mencapai maksud dan tujuan yayasan, sehingga seseorang yang menjadi anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas yayasan bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah atau honorarium. Dalam kaitannya dengan harta kekayaan yayasan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yayasan adalah subyek pajak. Pengakuan yayasan sebagai subyek pajak dapat kita temui dalam rumusan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 16 tahun 2000, dalam rumusan tersebut dikatakan bahwa, Badan adalah sekumpulan orang, dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.

5. Teori Hukum Tentang Kausalitas Sebab-Akibat

Ada dua teori dalam ajaran kausalitas, yaitu sebagai berikut: a. Condition Sine Qua Non Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. 95 Beliau mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan 95 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2: Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan Ajaran Kausalitas, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 213 weggedacht dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa” akibat. Tiap faktor tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta tidak ada hubungan kausal dengan akibat yang timbul. Tiap faktor diberi nilai, jika tidak dapat dihilangkan niet weggedacht dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta memiliki hubungan kausal dengan timbulnya akibat. Teori conditio sine qua non disebut juga teori equivalen equivalent theorie, karena tiap factor yang tidak dapat dihilangkan diberi nilai sama dan sederajat, dengan demikian teori Von Buri ini menerima beberapa sebab meervoudige causa. Sebutan lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs theorie” teori syarat, disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat bedingung dengan sebab causa tidak ada perbedaan. 96 Dalam perkembangan teori Von Buri banyak menimbulkan kontra dari para ahli hukum, sebab teorinya dianggap kurang memperhatikan hal- hal yang sifatnya kebetulan terjadi. Selain itu teori ini pun tidak digunakan dalam hukum pidana karena dianggap sangat memperluas dasar pertanggungjawaban strafrechtelijke aansprakelijheid. 97 Van Hamel 98 adalah satu penganut teori Von Buri. Menurut Von Hamel teori conditio sine qua non adalah satu-satunya teori yang secara logis dapat dipertahankan. Teori conditio sine qua non “baik” untuk digunakan dalam hukum pidana, asal saja didampingi atau dilengkapi dengan teori tentang kesalahan schuldleer yang dapat 96 Ibid., hlm 218 97 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum Legal Theory Teori Peradilan Judicialprudence : Termasuk Interpretasi Undang-undang Legisprudence, Volume 1 Pemahaman Awal, Kencana, Jakarta, hlm. 62 98 Arthur Leavens. “A Causation Approach to Criminal Omissions”, Journal, California Law Review, 1988, hlm. 1 mengkorigir dan meregulirnya . Teori Van Hamel disebut “teori sebab akibat yang mutla k” absolute causaliteitsleer. 99 Teori yang dikemukakan Van Hamel yaitu Tindak pidana merupakan kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Perbuatan itu merupakan perbuatan yang bersifat dapat dihukum dan dilakukan dengan kesalahan. Traeger 100 termasuk salah satu tidak menyetujui teori Von Buri. Traeger sebagaimana dikutip E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, mengadakan pembedaan diantara serangkaian perbuatan, di antara serangkaian perbuatan itu harus dicari yang manakah yang paling dekat menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang- undang. Ia tidak menganggap semua perbuatan yang mendahului itu sebagai syarat dari timbulnya akibat. Ia membedakan syarat dan alasan voorwaarde en aanleiding. Traeger hanya mencari satu perbuatan saja, yang harus dianggap sebagai sebab dari akibat yang terjadi. b. Adequate Veroorzaking Teori ini dikemukakan oleh Von Kries 101 yang mengajarkan bahwa perbuatan yang harus dianggap sebagai sebab dari akibat yang timbul adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat. Perbuatan yang seimbang tersebut didasarkan pada perhitungan yang layak yaitu “menurut pengalaman manusia” atau “masalah yang seharusnya diketahui oleh pelaku”. Teori 99 Peter N. Swisher . “Causation Requirements in Tort and Insurance Law Practice: Demystifying Some Legal Causation Riddles”, Journal University of Richmond-School of Law. Vol. 43, Maret 2007, No.223, hlm 4. 100 Trager, dalam Paul K. Ryu, “Causation in Criminal Law”, Journal University of Pennsylvania Law Review, Vol 106, April 1958, No. 6, hlm. 776 101 Rachmat Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A Bardin, Bandung,1999, hlm. 87 ini dimaksudkan untuk memberikan pembatasan pada pertanggungjawaban agar tidak diperluas secara tidak wajar. Si pembuat hanya bertanggung jawab untuk kerugian, yang selayaknya dapat diharapkan sebagai akibat daripada perbuatan melawan hukum.

6. Teori Perlindungan Hukum