absorbsi karbohidrat akan sangat lambat, menyebabkan peningkatan glukosa darah dan insulin secara lambat dan bertahap. Kandungan serat
dietary fiber
dapat dimanfaatkan untuk menurunkan kadar kolesterol. Penelitian
sebelumnya menunjukkan
bahwa kimpul
dapat memperbaiki pulau-pulau Langerhans pada mencit yang mengalami
degenerasi sel endokrin akibat induksi aloksan. Melalui pewarnaan HE
Hematoxylin Eosin
sel endokrin pada pulau langerhans mulai melakukan regenerasi menuju bentuk normal, walaupun masih ditemukan beberapa sel
endokrin yang mengalami degenerasi. Hal ini menunjukkan bahwa umbi kimpul mempunyai aktivitas anti hiperglikemia terhadap mencit yang
diinduksi aloksan Imaduddin, 2014. Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin mengetahui pengaruh umbi
kimpul terhadap jumlah sel beta pankreas tikus yang dibuat diabetes dengan pewarnaan imunohistokimia karena dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin
belum dapat ditunjukkan adanya sekresi granula dalam insulae langerhansnya. Pewarnaan imunohistokimia dapat mendeteksi sel beta
pankreas. Dengan pewarnaan imunohistokimia dapat dideteksi sel beta pankreas yang menghasilkan hormon insulin dalam insula langerhans
pankreas tersebut. Selain itu dengan pewarnaan Chromium Hematoxylin Gomori dapat dideteksi sel alfa, sel beta dan sel deltanya.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana jumlah sel beta pankreas tikus hiperglikemik setelah
pemberian umbi kimpul?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui jumlah sel beta pankreas tikus hiperglikemik setelah
pemberian umbi kimpul.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan didapat dari penelitian ini yaitu, sebagai berikut: 1.
Memberikan informasi tentang jumlah sel beta dengan melihat histologi pankreas tikus yang diberi umbi kimpul kukus, sehingga dapat menjadi
salah satu sumber informasi untuk penelitian yang terkait ataupun penelitian selanjutnya.
2. Memberikan informasi bahwa umbi kimpul memiliki aktivitas
hipoglikemik dan dapat dikonsumsi untuk penderita diabetes.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kimpul
Xanthosoma sagittifolium
L. Schott Kimpul termasuk jenis umbi talas-talasan. Kimpul juga disebut
sebagai talas Belitung atau
Blue Taro
dalam bahasa Inggris. Kimpul termasuk famili
Areacea
dan merupakan tumbuhan menahun yang mempunyai umbi batang maupun batang palsu yang sebenarnya adalah
tangkai daun. Umbinya digunakan sebagai bahan makanan dengan cara direbus ataupun digoreng. Kimpul di Indonesia memiliki nama yang
berbeda-beda, dibeberapa daerah antara lain taleus hideung, kimpul bodas, kimpul bejo Sunda, bentul, kimpul linjik Jawa, tales campa Madura.
Kimpul umumnya ditanam di pedesaan sebagai tanaman diantara tanaman palawija lain. Umbi kimpul biasanya diolah secara sederhana dengan
direbus, atau dengan sedikit variasi dibuat berbagai produk olahan antara lain getuk, keripik, perkedel dan sebagainya Lingga, 1989. Harijono
et al
., 1994 melaporkan bahwa umbi kimpul dapat pula dimanfaatkan untuk pembuatan
chip
dan tepung. Di Jepang umbi kimpul telah menjadi bahan makanan sehari-hari yang sangat dibutuhkan, tetapi Jepang sendiri baru
dapat memenuhi kebutuhan tersebut kurang dari satu persen. Salah satu permasalahannya adalah iklim yang tidak mendukung yaitu adanya musim
gugur yang menyebabkan kimpul mudah membusuk.
5
a. Taksonomi
Kimpul dapat tumbuh baik di daerah tropika basah dengan curah hujan yang merata sepanjang tahun dan memberi hasil optimum pada
lahan darat yang gembur. Dapat dimanfaatkan sebagai tanaman pengisi lahan kosong di daerah pedesaan, tanaman tumpang sari pada kebun
kopi karena mampu beradaptasi dengan lingkungan. Memiliki ciri-ciri yaitu tanaman tahunan, tidak berkayu, terdiri dari akar, pelepah daun,
daun, bunga dan umbi serta tinggi mencapai dua meter dengan tangkai daun tegak, tumbuh dari tunas yang berasal dari umbi Bermenjo dan
Leon, 2002. Menurut
Animal Feed Resources Information System
2005 taksonomi kimpul adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae Divisio
: Spermathophyta tumbuhan berbunga Sub Divisio
: Angiospermae tumbuhan berbiji tertutup Kelas
: Monocotyledonae tumbuhan berbiji tunggal Ordo
: Arales Familia
: Araceae Genus
: Xanthosoma Spesies
:
Xanthosoma sagittifolium
L. Schott.
Gambar 1. Tanaman Kimpul
Xanthosoma sagittifolium
Immadudin, 2014.
b. Morfologi
Kimpul atau Xanthosoma lebih besar daripada talas
C. esculenta
yang salah satunya dikenal sebagai talas bogor. Perbedaan talas dengan
kimpul adalah dari segi umbi, bentuk daun dan letak tangkai daun. Kimpul yang dimakan adalah umbi anaknya sedangkan talas yang
dimakan adalah umbi batangnya. Kimpul memiliki daun tunggal berbentuk jantung, pangkal daunnya berlekuk dalam hingga mencapai
tangkai daun. Sedangkan talas mempunyai daun benberntuk perisai yang
pangkalnya berlekuk
sedemikian sehingga
berbentuk segitiga,panjang 25-27 cm, lebar 30-60 cm, dan berwarna hijau. Ciri
lain yang dimiliki oleh kimpul adalah batang tegak, tidak berkayu, dan bulat Kusumo
et al
., 2002. c.
Kandungan nutrisi
Bahan pangan lokal yang berpotensi memiliki indeks glikemik rendah adalah umbi-umbian salah satunya adalah kimpul. Kimpul
digunakan oleh sebagian orang sebagai salah satu sumber karbohidrat alternatif pengganti nasi bagi penderita diabetes.Menurut Sundari
et al.
2012 nilai indeks glikemik kimpul yang dikupas dan direbus selama 30 menit yaitu sebesar 50.
Umbi kimpul mengandung saponin dan flavonoid. Saponin menyebabkan rasa pahit, pemecahan butir darah hemolisis, dan dapat
dihilangkan dengan perendaman atau perebusan Rita
et al
., 2010. Kandungan kalori umbi kimpul per 100 g berat bahan basah sebesar
145 kalori, lebih tinggi dari ubi jalar merah. Setiap 100 g umbi kimpul mengandug 2 mg vitamin C yang merupakan salah satu senyawa
antioksidan. Tabel 1. Kandungan Gizi Umbi Kimpul per 100 g Berat Bahan
Sumber : Lingga 1995 Kandungan nutrisi
Jumlah Energi kal
145,00 Protein g
12,50 Lemak g
0,40 Karbohidrat g
34,20 Serat g
1,50 Abu
1,00 Kalsium mg
26,00 Fosfor mg
54,00 Besi mg
1,40 Asam askorbat mg
0,10 Vitamin B1 mg
0,10 Vitamin C mg
2,00 Air
69,20 Bagian yang dapat dimakan
85,00
Bobot dari kimpul yang dapat digunakan adalah 80 per 100 gram serta menghasilkan energi sebesar 145 Kal. Kandungan gula dan
lemaknya yang cukup rendah membuat kimpul cocok dikonsumsi oleh pasien dengan diabetes, jantung osteoporosis dan hipertensi. Kimpul
juga baik untuk kesehatan gigi karena memiliki sifat basa sehingga tidak merusak gigi Minanto
et al
, 2014. Pada tanaman kimpul terdapat senyawa antigizi berupa kalsium
oksalat yang dapat menimbulkan rasa gatal, sensasi terbakar dan iritasi pada kulit, mulut, tenggorokan dan saluran cerna pada saat dikonsumsi
Ayu
et al
, 2014. Konsentrasi asam oksalat dalam dosis tinggi bersifat merusak karena dapat menyebabkan gastroenteritis, shok, kejang,
rendahnya kalsium plasma, tingginya oksalat plasma dan kerusakan jantung. Efek kronis yang dapat disebabkan jika mengkonsumsinya
yaitu terjadi endapan kristal kalsium oksalat dalam ginjal dan mebentuk batu ginjal Bradbury
and
Halloway, 1988. Adapun dosis yang dapat menyebabkan efek kronis adalah antara 10-15 gram Noor, 1992,
sedangkan pada umbi kimpul kalsium oksalat yang terkandung masih dibawah titik aman yaitu 1.83 mg dalam 100 gram bahan Ayu
et al
, 2014.
Seluruh bagian dari tanaman kimpul mengandung senyawa kristal kalsium oksalat mulai dari daun, tangkai daun, umbi sampai akar
umbi, sehingga bila terjadi kontak antara daun, tangkai, dan umbi segar dengan kulit akan menyebabkan rasa gatal. Rasa gatal itu muncul
karena kristal oksalat terbebaskan dari tanaman dan masuk kedalam kulit saat kontak langsung.
Pada saat ini pemanfaatan umbi kimpul belum banyak diketahui oleh masyarakat, namun sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui kandungan dari kimpul dan cara pemanfaatannya. Kimpul dapat dikembangkan sebagai penghasil karbohidrat non beras yang
cukup potensialRevritiani
et al
, 2013. 2.
Diabetes Melitus DM a.
Definisi Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai
dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh
penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin, atau keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular
Sukandar
et al
, 2008. Dibetes melitus merupakan suatu sindroma klinik yang ditandai
oleh poliuria, polidipsia, dan polifagia. Dalam keadaaan hiperglikemia yang berlangsug lama akan terjadi glukosuria, dimana batas maksimal
reabsorbsi glukosa pada tubulus ginjal terlampaui dan glukosa akan diekskresikan ke dalam urin. Volume urin meningkat poluria akibat
terjadinya diuresi osmotik yang menyebabkan dehidrasi pada penderita DM, maka tubuh berusaha mengatasinya dengan banyak minum
polodipsia. Polifagia yang merupakan peningkatan rasa lapar dan
makan yang berlebihan terjadi karena katabolisme protein dan lemak. Keadaan ini selain menyebabkan polifagia, juga menyebabkan
kelemahan otot dan rasa lelah Carwin, 2008. Pada penderita diabetes mellitus DM tubuh kekurangan insulin
atau tubuh sedikit menghasilkan insulin DM tipe 1 atau insulin tetap dihasilkan dalam jumlah yang normal DM tipe 2, namun insulin yang
ada tidak bekerja dengan baik atau terjadi resistensi insulin karena reseptor insulin pada membran sel berkurang atau strukturnya berubah
sehingga tidak tanggap terhadap insulin. Kondisi ini menyebabkan glukosa yang masuk ke dalam sel berkurang. Akibatnya, sel kekurangan
glukosa sehingga kemungkinan tidak terjadi penimbunan glikogen. Sebaliknya, akan terjadi mobilisasi cadangan glikogen di hati maupun
di otot untuk dikatabolisme menghasilkan glukosa dan dilepas ke pembuluh darah sehingga menyebabkan kondisi hiperglikemia
Ratimanjari, 2011. 3.
Terapi Farmakologis Mekanisme kerja insulin dalam menurunkan kadar glukosa
darah dengan menstimulasi pengambilan glukosa perifer dan menghambat produksi glukosa hepatik Sukandar
et al
, 2008. Terapi insulin mutlak bagi penderita DM tipe 1 karena sel β Langerhans
pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe 1 harus
mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme
karbohidrat dalam tubuhnya dapat berjalan normal Departemen Kesehatan RI, 2005.
Insulin tersedia dalam bentuk injeksi melalui rute intravena, intramuskular, dan subkutan. Rute subkutan paling banyak digunakan
untuk jangka panjang. Pemberian insulin tidak dapat diberikan melalui oral karena dapat dipecah oleh enzim pencernaan. Kebutuhan insulin
pada pasien DM umumnya berkisar antara 5-150 U sehari bergantung pada keadaan pasien Suherman
et al
, 2007. Respon individual terhadap terapi insulin cukup beragam, oleh karena itu penentuan jenis
dan frekuensi penyuntikan dilakukan secara individual Departemen Kesehata RI, 2005.
Jung
et al
., 2006 melaporkan resistensi insulin berkontribusi terhadap peningkatan pelepasan glukosa di hati dan menurunkan
pengambilan
uptake
glukosa ke dalam jaringan adipose. Kondisi ini justru akan menyebabkan terjadinya hiperglikemia dan kegagalan
pembentukan glikogen. Menurut Ramesh dan Pugalendi 2006, pada tikus diabetes terjadi penurunan kadar insulin plasma, kadar glikogen
hati dan penurunan aktivitas enzim glukokinase. 4.
Glibenklamid Salah satu obat antidiabetik yang sering digunakan yaitu
glibenklamid. Mekanisme kerja glibenkamid yaitu dengan merangsang sekresi hormon insulin dari granul sel-
sel β Langerhans pankreas. Interaksinya dengan
ATP-sensitive K channel
pada membran sel- sel β
menimbulkan depolarisasi membran dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. Dengan terbukanya kanal Ca, maka ion
akan masuk ke dalam sel
β kemudian merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin. Pada penggunaan jangka panjang atau dosis yang
besar dapat menyebabkan hipoglikemia Suherman, 2007. Untuk mencapai kadar optimal di plasma, glibenklamid pada
manusia akan lebih efektif bila diminum 30 menit sebelum makan. Obat ini cepat diserap dalam saluran pencernaan, memiliki waktu paruh
pendek, namun efek hipoglikemiknya berlangsung selama 12-24 jam, sehingga cukup diberikan satu kali sehari. Sekitar 50 dari dosis
diekskresikan dalam urin dan 50 melalui empedu ke tinja. Dosis awal untuk DM tipe 2 adalah 2,5-5 mg setiap hari, disesuaikan setiap 7 hari
dengan penambahan sebesar 2,5 atau 5 mg sehari sampai 15 mg per hari Suherman
et al
, 2007. 5.
Streptozotocin Diabetogenik seperti streptozotocin STZ dapat membangkitkan
oksigen reaktif yang apabila diinduksi ke dalam tubuh tikus model dapat menyebabkan peningkatan ROS
Reactive Oxygen Species
. Peningkatan ROS pada sel beta pankreas dapat mengakibatkan
kerusakan sel beta pankreas yang menyebabkan penghambatan sintesis insulin serta sekresi insulin sehingga mengakibatkan Diabetes Mellitus
Tipe 1 Nugroho, 2006.
Streptozotocin memiliki rumus kimia 2-deoxy-23-methyl-3- nitrosoureido-D-glucopyranose
disintesis oleh
Streptomycetes acrhomogenes
Szkudelski, 2001 dan sering digunakan sebagai induksi insulin-dependent dan non-insulin-dependent diabetes mellitus IDDM
dan NIDDM pada hewan uji karena selektif merusak sel β pankreas Pathak
et al
., 2008. Streptozotocin bekerja langsung pada sel β pankreas, dengan aksi sitotoksiknya dimediatori oleh reactive oxygen
species ROS sehingga dapat digunakan sebagai induksi DM. Streptozotocin masuk ke sel β pankreas melalui glucose transporter
GLUT2 dan akan menyebabkan alkilasi DNA. Alkilasi atau masuknya gugus metil dari STZ ke dalam molekul DNA ini akan menyebabkan
kerusakan fragmentasi DNA Elsner
et al
., 2000. Protein
glycosylation
diduga sebagai faktor kerusakan yang utama.
Gambar 2. Struktur kimia streptozotocin 6.
Pankreas Pankreas tikus terletak pada rongga abdomen, memiliki
permukaan yang membentuk lobulasi, berwarna putih keabuan hingga kemerahan Frandson, 1992. Pankreas adalah organ majemuk,
campuran kelenjar endokrin dan eksokrin Subowo, 1992; Junqueira,
1995; Arief, 2004 strukturnya mirip dengan kelenjar parotis. Namun berbeda dengan kelenjar parotis yang saluran keluarnya menempel pada
tepi asinus, pankreas merupakan asinus serous murni dengan sel-sel sentro acinus pada tengah asinus, karena duktus intralobularis mulainya
di tangah-tengah asinus Halim, 1990. Dalam keadaan segar berwarna merah pucat atau putih dengan simpai yang tidak jelas. Diliputi oleh
jaringan ikat yang jarang dan tipis dan membentuk septa ke dalam sehingga membagi kelenjar dalam lobulus yang nyata. Jaringan
pankreas terdiri dari lobula sel sekretori yang tersusun mengitari saluran halus Pearce, 2000. Pankreas merupakan campuran kelenjar eksokrin
berupa asinus serous dan endokrin berupa pulau langerhans Junqueira, 1995.
a. Eksokrin pankreas
Eksokrin pankreas mensekresi enzim dan proenzim sebagai berikut: tripsinogen, kemotripsinogen yang memecah protein,
lipase yang menghidrolisis lemak netral menjadi gliserol dan asam lemak, amilase yang menghidrolisis tepung dan karbohidrat
lainnya ribonuklease, dan deoksiribonuklease Tambajong, 1995. Pengaturan enzim pankreas diatur oleh hormon sekretin dan
kolesitokinin, yang dihasilkan oleh mukosa duodenum; serta nervus vagus. Sekretin menimbulkan sekresi cairan dalam jumlah
besar, sedikit protein, non enzimatik, dan kaya akan bikarbonat Junqueira, 1995.
b. Endokrin pankreas
Pulau langerhans adalah mikroorgan endokrin multihormon dari pankreas, menempati 20 volume pankreas. membentuk 1-2
berat pankreas Ganong, 1995. Pulau langerhans tampak sebagai kelompok sel berbentuk bulat, pucat, dikelilingi simpai halus, tidak
memiliki saluran, dengan banyak pembuluh darah untuk penyaluran hormon kelenjar pankreas. Pulau-pulau kecil sel
endokrin ditemukan berselang-seling diantara sel eksokrin pankreas Ganong ,1995. Simpai serat-serat retikulin halus
mengelilingi setiap pulau langerhans dan memisahkannya dari eksokrin pankreas yang berdekatan Junqueira, 1995. Semua sel
dalam pulau berbentuk poligonal tak teratur, dengan inti bundar di tengah, mitokondria kecil berbentuk batang dan aparat golgi kecil
Leeson, 1990.
Gambar 3.Penampang Melintang Pulau Langerhans Pankreas Tikus dengan Pewarnaan Chromium Hematoxylin Gomori
Prakoso
et al
., 2013. Ket: = sel beta, = sel alfa
Pengamatan struktur histologi pankreas mencit normal menunjukkan sel-sel endokrin ini ketika diwarnai menggunakan
Chromium Hematoxylin Gomori akan dapat dibedakan antara sel alfa dan sel betanya, sel beta terpulas biru, sel alfa terpulas merah, dan sel
gamma terpulas merah muda Mc.Mannus, 1960. Gambar histologi pankreas dengan pewarnaan Chromium Hematoxylin Gomori dapat
dilihat pada Gambar 3 halaman 16.
Gambar 4. Penampang Melintang Pulau Langerhans Pankreas Tikus dengan Pewarnaan Imunohistokimia Dewi
et al.,
2011 Ket: = sel beta.
Sel β yang terdeteksi dengan pewarnaan immunohistokimia ditunjukkan dengan gambar sel yang berwarna coklat tua pada pulau
Langerhans sedangkan sel lainnya berwarna biru. Warna biru didapat dari
counterstain
menggunakan pewarna hematoksilin yang mewarnai sel-
sel pankreas selain dari sel β yang berwarna coklat yang terwarnai dengan immunohistokimia, seperti yang terlihat pada gambar 3.
Setiap sel mensekresi hormon yang berbeda. Sel beta mensekresi insulin Guyton, 1997 yang bekerja terhadap membran sel
terutama hati dan otot, memudahkan transpor glukosa ke dalam sel sehingga kadar glukosa darah turun. Sel beta ini sesungguhnya
mensintesis proinsulin yang dalam aparatus golgi dipecah menjadi insulin dan peptida C. Pelepasan insulin dirangsang oleh kadar glukosa
darah Leeson
et al
, 1996. Sel alfa membentuk glukagon yang pelepasannya dirangsang oleh kadar glukosa darah yang rendah.
Glukagon menyebabkan pelepasan glukosa terutama dalam hati melalui proses glukoneogenesis dan glikogenolisis, jadi menaikkan
kadar glukosa darah. Sel delta menghasilkan somatostatin yang dapat menghambat sekresi insulin dan glukagon, serta
Vasoactive Intestinal Peptide
VIP, yang seperti glukagon menyebabkan lisis glukagon dan berpengaruh pula terhadap aktivitas sekretoris usus Guyton, 1997,
Lesson
et al
, 1996. Sel beta sering tetap ada pada orang yang menderita diabetes berat, tetapi sel-sel ini mengalami hialinisasi
organel-organel sel mengalami lisis sehingga sel tampak jernih dan tak mengandung granula sekresi, juga sel-sel ini tidak menunjukkan
reaksi pewarnaan untuk insulin, berbeda dengan sel beta normal yang
memberikan reaksi pewarnaan untuk insulin Guyton, 1997.Malfungsi sel β menyebabkan diabetes melitus. Kondisi ini termanifestasi dengan
hiperglikemia dan glikosuria Paulsen, 2000. Kondisi morfologi pulau Langerhans pada diabetes tipe 2 secara
detail diteliti oleh DENG
et al
. 2004. Hasilnya dilaporkan bahwa pada keadaan normal, jumlah sel beta diperkirakan 65 dan sel alpha 35.
Pada tikus diabetes derajat sedang, ditemukan hampir 67 pulau Langerhans berdiameter kurang dari 150 μm, sedangkan pada tikus
normal jumlah pulau Lengerhans yang berdiameter lebih da ri 150 μm
sekitar 50. Selain terjadi perubahan pada ukuran, dan bentuk juga terjadi fragmentasi pulau Langerhans. Pada kondisi diabetes derajat
sedang, jumlah sel beta secara nyata berkurang bahkan pada diabetes parah sel beta tidak ditemukan namun sel alpha masih ditemukan di
bagian perifer pulau Langerhans. 7.
Histopatologi a.
Degenerasi Degerasi sel atau kemunduran sel adalah kelainan sel yang terjadi
akibat cedera ringan yang mengenai struktur dalam sel seperti mitokondria dan sitoplasma akan mengganggu proses metabolisme
sel. Kerusakan ini sifatnya reversibel artinya bisa diperbaiki apabila penyebabnya segera dihilangkan. Apabila tidak dihilangkan, maka
kerusakan menjadi ireversibel, dan sel akan mati. Penyebab degenerasi diantaranya yaitu kekurangan oksigen, kekurangan nutrisi,
infeksi sel, respon imun yang abnormal, faktor fisik suhu, radiasi, trauma, dan bahan-bahan kimia beracun, cacatkegagalan, serta
penuaan. b.
Nekrosis Nekrosis merupakan salah satu pola dasar kematian sel. Nekrosis
terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah terpajan toksin dan ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan kerusakan
organel. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi berat jaringan Kumar; Cotran Robbins, 2007. Pada nekrosis, perubahan terutama terletak
pada inti. Memiliki tiga pola, yaitu Lestari, 2011 piknosis merupakan pengerutan inti, homogenisasi sitoplasma dan peningkatan
eosinofil, DNA berkondensasi menjadi massa yang melisut padat. Karioreksis Inti terfragmentasi terbagi atas fragmen-fragmen yang
piknotik serta kariolisis yaitu pemudaran kromatin basofil akibat aktivitas DNAse.
Macam-macam nekrosis: 1.
Nekrosis koagulatif Terjadi akibat hilangnya secara mendadak fungsi sel yang
disebabkan oleh hambatan kerja sebagian besar enzim. Enzim sitoplasmik hidrolitik juga dihambat sehingga tidak terjadi
penghancuran sel proses autolisis minimal. Akibatnya struktur jaringan yang mati masih dipertahankan, terutama pada tahap awal
Sarjadi, 2003.
Terjadi pada nekrosis iskemik akibat putusnya perbekalan darah. Daerah yang terkena menjadi padat, pucat dikelilingi oleh daerah
yang hemoragik. Mikroskopik tampak inti-inti yang piknotik. Sesudah beberapa hari sisa-sisa inti menghilang, sitoplasma
tampak berbutir, berwarna merah tua. Sampai beberapa minggu rangka sel masih dapat dilihat Pringgoutomo, 2002.
2. Nekrosis likuefaktif
colliquativa
Perlunakan jaringan nekrotik disertai pencairan. Pencairan jaringan terjadi akibat kerja enzim hidrolitik yang dilepas oleh sel
mati, seperti pada infark otak, atau akibat kerja lisosom dari sel radang seperti pada abses Sarjadi, 2003.
3. Nekrosis kaseosa sentral Bentuk campuran dari nekrosis
koagulatif dan likuefaktif, yang makroskopik teraba lunak kenyal seperti keju, maka dari itu disebut nekrosis perkejuan. Infeksi
bakteri tuberkulosis dapat menimbulkan nekrosis jenis ini Sarjadi, 2003. Gambaran makroskopis putih, seperti keju didaerah
nekrotik sentral. Gambaran mikroskopis, jaringan nekrotik tersusun atas debris granular amorf, tanpa struktur terlingkupi
dalam cincin inflamasi granulomatosa, arsitektur jaringan seluruhnya terobliterasi tertutup Kumar; Cotran Robbins,
2007. 4.
Nekrosis lemak
Nekrosis lemak traumatik terjadi akibat trauma hebat pada daerah atau jaringan yang banyak mengandung lemak Sarjadi, 2003.
Sedangkan nekrosis lemak enzimatik merupakan komplikasi dari pankreatitis akut hemorhagika, yang mengenai sel lemak di sekitar
pankreas, omentum, sekitar dinding rongga abdomen. Lipolisis disebabkan oleh kerja
lypolytic
dan
proteolytic pancreatic enzymes
yang dilepas oleh sel pankreas yang rusak Sarjadi, 2003. 5.
Nekrosis fibrinoid Nekrosis ini terbatas pada pembuluh darah yang kecil, arteriol,
dan glomeruli akibat penyakit autoimun atau hipertensi maligna. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan nekrosis dinding
pembuluh darah sehingga plasma masuk ke dalam lapisan media. Fibrin terdeposit disana. Pada pewarnaan hematoksilin eosin
terlihat masa homogen kemerahan Sarjadi, 2003.
c. Kerangka Berpikir
Jumlah penderita diabetes di Indonesia semakin meningkat setiap tahun, salah satunya disebabkan pola konsumsi masyarakat di Indonesia yang tidak
memperhatikan komposisi dan bahaya dari makanan yang mereka konsumsi. Hal ini mengakibatkan kenaikan glukosa dalam darah. Oleh karena itu
masyarakat Indonesia membutuhkan pangan yang memiliki indeks glikemik rendah untuk mengatasi penyakit diabetes tersebut salah satunya yaitu umbi
kimpul.
Menurut Imaduddin 2014 kimpul dapat memperbaiki kerusakan struktur sel-sel pulau Langerhans pankreas mencit hiperglikemik. Penelitian
ini melanjutkan penelitian sebelumnya dengan menggunakan tikus putih jantan yang diinduksi streptozotocin STZ untuk kemudian diamati
pankreasnya khususnya sel beta didalam pulau langerhansnya dengan pewarnaan Imunohistokimia dan Chromium Hematoxylin Gomori.
Gambar 5. Bagan Kerangka Berpikir Jumlah penderita diabetes semakin meningkat
Pengamatan pulau langerhans untuk mengetahui gambaran
sel beta yang menghasilkan hormon insulin dengan
pewarnaan imunohistokimia dan Chromium hematoxylin
Gomori Pengukuran kadar glukosa
darah tikus putih jantan dengan metode GOD-PAP.
Umbi kimpul diberikan pada tikus putih jantan yang diinduksi STZ.
Umbi kimpul dapat memperbaiki kerusakan struktur sel-sel pulau Langerhans pankreas mencit hiperglikemik Imaduddin, 2014
Peningkatan kebutuhan pangan yang dapat menurunkan glukosa darah bagi penderita diabetes
d. Hipotesis
1. Jumlah sel beta paling banyak pada pankreas tikus putih jantan yang
diberikan kimpul dilihat dengan pewarnaan imunohistokimia dan pewarnaan Chromium Hematoxylin Gomori .
2. Pada tikus dengan perlakuan pemberian kimpul dapat dibedakan antara
sel alfa, sel beta, dan sel delta. Sel alfa terdeteksi berwarna merah, sel beta biru, dan sel delta merah muda dengan pewarnaan Chromium
Hematoxylin Gomori.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret sampai April2016 di Laboratorium Biologi Fakultas MIPA Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam UNS, Laboratorium Histologi dan Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran UGM dan LPPT Laboratorium Penelitian dan
Pengujian Terpadu UGM.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu satu set alat bedah, gelas benda, gelas penutup, mikrotom,mikroskop cahaya, kamera,
staining jar
,
water bath
, sonde, kandang tikus, tempat minum tikus, timbangan elektrik, panci, kompor, pipet, kertas label,
hot plate
, jarum suntik,
disposible syringe
,
spektrofotometer UV-Vis
, tabung ependorf, sentrifuge, mikropipet, dan almari pendingin
.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih jantan
Rattus norvegicus
Strain.Wistar jantan bobot 150-250 gram kurang lebih berumur 3 bulan, umbi kimpul, pankreas, aquades, eter, NaCl 0,9 ,
kertas saring Whatman No.1, gibenklamid, dan beberapa bahan untuk pewarnaan preparat mikroanatomifiksatif Bouin, alkohol, xylol, parafin,
pewarna, pewarna Chromium Hematoxylin Gomori larutan
bisulfite
, phloxin B, larutan
potassium permanganate
, larutan PTA
Potassium Acid
, pewarna chromium hematoxylin, pewarna Imunohistokimia
buffer formalin
, antibodi 25
primer monoklonal anti insulin, antibodi sekunder,
diamino benzidine
DAB, hematoxylin,
entellan
, alkohol bertingkat, CMC-Na 1, pereaksi GOD PAP
Glucose Oxidase Phenol 4-Aminoantipyrine
. C.
Cara Kerja
1. Persiapan Hewan Uji
Tikus diaklimatisasi selama 7 hari di laboratorium, diberi pakan pelet dan air minum secara
ad libitum
. Aklimatisasi bertujuan agar tikus beradaptasi dengan lingkungan baru dan meminimalisasikan efek stres
pada tikus yang dapat berpengaruh pada metabolismenya dan dapat mengganggu penelitian.Selama aklimatisasi ini hewan uji tikus
ditimbang berat badannyauntuk menentukan dosis yang akan diberikan pada saat perlakuan. Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah tikus
yang sehat dengan tanda-tanda bulu tidak berdiri, warna putih bersih, mata jernih, tingkah laku normal, dan mengalami peningkatan berat badan
dalam batas waktu yang diukur secara rutin. Pemberian umbi kimpul sebagai perlakuan dilakukan secara
ad libitum
. 2.
Induksi Diabetes dengan Streptozotocin STZ Kadar
glukosa darah
ditingkatkan dengan
menggunakan streptozotocin STZ pada hewan uji dengan dosis 40mgkg BB secara
interaperitonial Susilawati
et al
, 2014. Induksi diabetes diambah dengan pemberian makan berupa nasi. Pada uji potensi hipoglikemik, hewan uji
dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan, setiap kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Kelompok perlakuan sebagai berikut:
a. Kelompok I: diberi pakan pelet dan pelarut glibenklamid Na CMC.
b. Kelompok II kontrol positif: diberi glibenklamid. Glibenklamid
diberikan dalam bentuk suspensi dengan CMC sesuai dosis efektif pada manusia, yaitu 5 mg, yang dikonversikan berdasarkan konversi Paget
dan Barnes 1964, yaitu dosis untuk setiap 200 g bb tikus setara dengan 0,018 kali dosis manusia dan dikalikan faktor farmakokinetika
10, sehingga dosis yang digunakan adalah 0,9 mg200g bb tikus.Pengukuran glukosa darah dilakukan sebanyak 5 kali, yaitu hari
ke-0 sebelum perlakuan, pasca pemberian aloksan selama 10 hari, hari ke-1, hari ke-3, hari ke-6, dan hari ke-9.
c. Kelompok III: diberi umbi kimpul
ad libitum
. Pengukuran glukosa darah dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu hari
ke-0 sebelum perlakuan, pasca pemberianstreptozotocin selama 10 hari, hari ke-1, hari ke-3, hari ke-6, dan hari ke-9. Pengambilan sampel
darah dilakukan dengan menggunakan pipet hematokrit melalui vena retrorbital.
3. Pengukuran Kadar Glukosa Darah dengan Metode GOD-PAP
Pengambilan darah dilakukan tiap akhir tahap melalui vena retroorbital dengan pipet hematokrit. Kadar glukosa darah serum
ditentukan dengan metode GOD-PAP. Prinsip kerjanya adalah glukosa dioksidasi oleh enzim glukosa oksidase menghasilkan asam glukonat dan
H2O2. Selanjutnya H2O2 direaksikan dengan amynophenasone dan phenol dengan bantuan enzim peroksidase menghasilkan quinoneimine.
Warna yang dihasilkan dihitung absorbansinya, kemudian dihitung konsentrasi glukosanya dengan rumus :
Kadar glukosa mgdL = × konsentrasi standar
Langkah kerjanya yaitu
. Volume darah yang diambil ±1 ml kemudian ditampung dalam tabung plastik dan dibiarkan membeku agar serum memisah
dengan sel-sel darah. Agar serum memisah dengan sempurna, darah yang ditampung dalam tabung plastik di sentrifuge selama 15 sampai 20 menit dengan
kecepatan 2500 rpm. Serum yang telah memisah disimpan dalam kulkas pada suhu 2
–8°C agar tidak rusak selama penyimpanan. Setelah itu ukur kadar glukosanya dengan cara 10 µl serum ditambah campuran pereaksi Diasys
sebanyak 1000 µl kemudian divortek 1 menit agar campur sempurna, setelah dibiarkan selama 20 menit pada suhu kamar 25-28°C absorbansi dibaca dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 500 nm dan dihitung kadar glukosa darah mgdL Baroroh
et al
, 2011.
4. Pembuatan Preparat Histologi
a. Pembuatan preparat Imunohistokimia
Proses pembuatan preparat imunohistokimia diawali dengan organ pankreas yang difiksasi dengan buffer formalin, fiksasi dilakukan selama
1-3 hari. Organ yang telah difiksasi di bersihkan
washing
dengan alkohol 70. Kemudian organdidehidrasi dengan merendamnya kedalam alkohol
70 , 80, 90, 95, alkohol absolut, selanjutnya sediaan di
clearing
dengan memasukkan sediaan ke dalam toluol
over night
. Selanjutkan sediaan di infiltrasi dengan xilol parafin 1:1 selama 60 menit, parafin I 60
menit, parafin II 60 menit. Proses selanjutnya adalah penyelubungan
embedding
dan pencetakan
blocking
parafin cair. Hasil cetakan yang sudah mengeras dikeluarkan dari cetakan dan blok yang diperoleh dapat
disimpan setelah
over night
. Proses pemotongan
sectioning
sediaan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 6 μm hingga terbentuk
coupes
. Selanjutnya
Coupes
diletakkan di atas gelas benda
affixing
yang sebelumnya dioles dengan
Mayers albumin
kemudian ditetesi air untuk mencegah terjadinya lipatan pada pita dan diletakkan di atas
hot plate
, deikeringkan
overnight
Suntoro, 1983. Pewarnaan
staining
dimulai dengan mensterilkan gelas objek dengan
ultrasoniccleaner
menggunakan larutan alkohol 70 selama 20 menit kemudian dipindahkan ke dalam larutan DW1, DW2, dan DW3
selama masing-masing 20 menit. Setiap pergantian, DW yang telah dipakai harus diganti baru. Setelah gelas objek steril, selanjutnya dilem
dengan
neofren
. Kemudian dilanjutkan dengan proses deparafinisasi dan rehidrasi seperti pada pewarnaan Hematoksilin Eosin, kemudian dilakukan
penghilangan aktivitas enzim peroksidase endogen dengan 0,3 ml H2O2 didalam methanol 30 ml dalam suhu ruang dan direndam selama minimal
15 menit. Sediaan jaringan kemudian dicuci dengan menggunakan DW sebanyak dua kali, masing-masing 5 menit lalu dicuci dengan
Phosphate Buffer Saline
PBS sebanyak dua kali, masing-masing 5 menit. Sediaan jaringan ditetes dengan normal serum sebanyak 60 μl,
diinkubasi pada suhu 37˚C selama 60 menit, kemudian dicuci kembali dengan PBS sebanyak tiga kali masing-masing selama 5 menit
selanjutnya diinkubasi dalam antibodi monoklonal insulin SigmaI2018 sebanyak 60 μl normal serum pada suhu 4˚C selama 24 jam. Sediaan
dicuci lagi dengan PBS sebanyak 3 kali masing-masing selama 10 menit, kemudian berikutnya diinkubasi dalam antibody sekunder menggunakan
DEPS
Dako Envision Peroksidase System
sebanyak 60 μl normal serum
pada suhu 37ºC selama 60 menit. Sediaan dicuci kembali dengan PBS sebanyak 3 kali masing-masing selama 5 menit. Tahap terakhir adalah
mounting
dengan
canada balsam
. b.
Pembuatan preparat Chromium Hematoxylin Gomori Pembuatan preparat Chromium Hematoxylin Gomori diawali
dengan proses fiksasi menggunakan bouin.Organ pankreas yang telah difiksasidi
washing
dengan alkohol 70. Proses selanjutnya organ didehidrasi dengan cara direndam ke dalam alkohol 70 , 80, 90, 95,
dan alkohol absolut, kemudian organ di
clearing
dengan memasukkan ke dalam toluol selama
over night
. Organ di infiltrasi dengan xilol parafin 1:1 selama 60 menit, parafin I 60 menit dan parafin II 60 menit.
Selanjutnya organ diinfiltrasi yaitu memasukkan organ ke dalam parafin cair. Sediaan yang telah diinfiltrasi ditanam dalam cetakan blok parafin
embedding
.Hasil cetakan yang sudah mengeras dikeluarkan dari cetakan dan blok yang diperoleh disimpan selama
over night
. Proses pemotongan
sectioning
dilakukan dengan memotong blok parafin menggunakan mikrotom dengan ketebalan 6 μm hingga terbentuk
coupes
.
Coupes
yang terbentuk diletakkan di atas gelas benda yang sebelumnya sudah
diolesi
Mayers albumin
kemudian ditetesi air untuk mencegah terjadinya lipatan pada pita dan diletakkan di atas
hot plate
dan dikeringkan selama
overnight
Suntoro, 1983. Sediaan
yang sudah
didiamkan selama
overnight
selanjutnyadirendamdalam larutan
potassium permanganate
selama 4 menit, kemudian sediaandi rendam lagi dalamlarutan
bisulfite
sampai irisan jaringan tidak berwarna. Sediaan dicuci dengan air mengalir selama 2
menit, jaringan yang sudah tidak berwarna direndam ke dalam larutan Chromium hematoxylin sampai granula terpulas selama 3-5 menit, pada
tahap ini sediaan harus selalu dilihat dibawah mikroskop. Sediaan dicuci dengan air mengalir sampai berwarna biru muda,
selanjutnya dimasukkan kedalam larutan phloxin B selama 5 menit dan dicelup kedalam aquades. Selanjutnya sediaan dimasukkan kedalam larutan
PTA selama 2 menit. Setelah sediaan masuk ke dalam larutan PTA, sediaan dicuci dengan air mengalir selama 5 menit. Kemudian masuk ke tahap
diferensiasi dalam alkohol 95 sampai warna kontras antara sel alfa, sel beta yang terdapat didalam insula Langerhans, dilanjutkanproses dehidrasi
dengan mencelupkan sediaan ke dalam alkohol absolut beberapa kali, kemudian sediaan dijernihkan
clearing
dalam xylol. Tahap terakhir adalah
mounting
dengan
canada balsam
. 5.
Perhitungan sel β pankreas
Perhitungan sel-sel beta pankreas dilakukan per-lapang pandang pada perbesaran 400x. Pengamatan terhadap pewarnaan imunohistokimia
adalah menghitung rata-rata jumlah sel beta pankreas, yang dihitung dari 10 pulau Langerhans per sediaan dengan memakai 3 sediaan per kelompok
Suarsana
et al
, 2010 serta mengamati gambaran histologi dan kerusakan pankreas dengan pewarnaan Chromium Hematoxylin Gomori.
D. Analisis data