1
BAB I PENDAHULUAN
I.A.Latar Belakang Masalah
Perkawinan selalu dianggap sebagai hal yang memuaskan dan berharga, namun dalam sebuah hubungan baik itu perkawinan maupun hubungan
interpersonal lainnya, masalah tidak dapat dihindarkan karena pada dasarnya sebuah perkawinan terdiri dari dua orang yang mempunyai kepribadian, sifat dan
karakter yang berbeda Rini, 2001. Penelitian yang dilakukan oleh Parrot dan Parrot dalam Beroncal, 2003 menunjukkan bahwa sekitar 49 pasangan
mengalami masalah dalam perkawinannya. Pasangan yang merasa tidak dapat mengatasi masalah yang terjadi dalam perkawinannya akan memilih jalan keluar,
yang salah satunya adalah bercerai. Dari waktu ke waktu, kasus perceraian tampaknya terus meningkat.
Maraknya tayangan infotainment di televisi yang menyiarkan parade artis dan public figure yang mengakhiri perkawinan mereka melalui meja pengadilan,
seakan mengesahkan bahwa perceraian merupakan trend. Fenomena perceraian marak terjadi bukan hanya di kalangan artis atau public figure saja. Di dalam
keluarga sederhana, bahkan di dalam lingkungan pendidik, lingkungan yang tampak religius, perceraian juga banyak terjadi dalam “Derita Anak Korban
Perceraian”.
Meningkatnya angka perceraian dari pasangan orang-orang yang telah melakukan perkawinan, lebih-lebih terjadi karena pasangan-pasangan itu adalah
Universitas Sumatera Utara
2 pasangan muda dalam ”mengapa harus bercerai?”. Angka perceraian dari tahun
ke tahun semakin meningkat. Di kota Medan, pada tahun 2002 ditemukan sebanyak 933 kasus perceraian, tahun 2003 ditemukan sebanyak 967 kasus
perceraian dan tahun 2004 ada sebanyak 1035 kasus perceraian yang terjadi dalam ”selingkuh dominasi perceraian di Medan”. Kenyataan menunjukkan
kemungkinan besar perceraian terjadi pada tahun pertama perkawinan, dengan puncaknya antara dua dan empat tahun
awal perkawinan
Newman Newman, 2006. Perceraian banyak yang terjadi pada pasangan usia dewasa dini. Biasanya
usianya berkisar antara 20 hingga 30 tahun. Namun, kebanyakan yang usia perkawinannya masih baru, misalnya baru berjalan dua tahun dalam ”selingkuh
Dominasi Perceraian di Medan”. Bahkan ada yang usia perkawinannya belum genap satu tahun dalam ” Saat-saat kritis Perkawinan”.
Dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa dini diharapkan
memainkan peran baru seperti peran suamiistri, orang tua dan pencari nafkah dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai
dengan tugas-tugas baru ini Hurlock,1999.
Pada masa dewasa dini gaya hidup baru yang paling menonjol adalah di
bidang perkawinan dan peran orang tua Hurlock, 1999.
Menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
Universitas Sumatera Utara
3 sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Munandar, 2001.
Kehidupan sebagai seorang istri atau suami dikukuhkan oleh suatu pelantikan yang dinamakan “perkawinan”, maka begitu perkawinan mensyahkan
mereka sebagai suami dan istri, secepat itu pula mereka harus belajar menjadi teman hidup. Mereka harus belajar bagaimana hidup bersama, mengatur hidup
bersama dalam ikatan sebagai laki-laki dan seorang perempuan Rifai, 1993. Dalam kehidupan perkawinan itu harus memberdayakan diri untuk
menerima kelebihan sekaligus kekurangan pasangan Hassan, 2005. Masing-
masing individu perlu menyesuaikan diri pada pasangannya dan mengubah diri agar bisa menyesuaikan diri Munandar, 2001. Landis dalam Ricardo, 2005
menyatakan bahwa permulaan dari konflik dan masalah-masalah penyesuaian adalah empat bulan pertama perkawinan. Pada tahun pertama dan kedua,
pasangan suami istri biasanya harus melakukan penyesuaian perkawinan satu sama lain Hurlock, 1999.
Masa awal perkawinan merupakan yang paling kompleks, sulit dan merupakan masa penyesuaian atau masa adaptasi Munandar, 2001. Hal ini dapat
dilihat dari penuturan seorang ibu rumah tangga, sebagai berikut : ”Tahun-tahun pertama perkawinan kami, saya rasakan sangat sulit. Ada
kebahagiaan tetapi lebih banyak ributnya.....” dalam Budiman, 2000. Menurut Clinebell dan Clinebell 2005 mengatakan bahwa krisis muncul
saat pertama kali memasuki perkawinan. Biasanya tahap berlangsung selama dua sampai lima tahun. Kedua pasangan harus banyak belajar tentang pasangan
masing-masing dan diri sendiri. Hassan 2005 menyatakan bahwa lima tahun
Universitas Sumatera Utara
4 pertama perkawinan biasanya pengalaman bersama belum banyak sehingga
diperlukan proses penyesuaian diri tidak hanya dengan pasangan hidup tapi juga dengan kerabat-kerabat yang ada.
Sadli dalam wahyuningsih, 2002 juga menyatakan bahwa perkawinan
menuntut pasangan suami istri untuk menyesuaikan diri dengan pasangannya. Penyesuaian diri dengan pasangan diperlukan agar tercapai keharmonisan
perkawinan. Jika seseorang tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik maka kehidupan perkawinannya akan buruk dan berakhir dengan perceraian. Hal ini
juga sesuai dengan yang telah dikemukakan oleh Hurlock 1999 yang menyatakan bahwa perceraian bisa diakibatkan karena kegagalan penyesuaian
perkawinan sehingga terjadi ketidakpuasan dalam perkawinan itu sendiri. Penyesuaian diri dalam perkawinan itu memiliki beberapa bentuk. Dari
sekian banyak masalah penyesuaian, empat pokok yang paling umum dan paling penting bagi kebahagiaan perkawinan, yaitu penyesuaian dengan pasangan,
penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan keluarga dari pihak masing-masing pasangan. Penyesuaian diri yang sehat akan membawa
pada suatu kondisi perkawinan yang bahagia begitu juga sebaliknya, individu yang gagal dalam menyesuaikan diri akan mengalami kemelut dalam perkawinan
mereka Hurlock, 1999. Banyak literatur mengenai penyesuaian perkawinan dikaitkan dengan
kebahagiaan perkawinan atau kepuasan perkawinan. Orang yang bahagia atau puas dengan perkawinannya dikatakan memiliki penyesuaian perkawinan yang
baik, sedang orang yang tidak bahagia atau tidak puas dalam perkawinannya
Universitas Sumatera Utara
5 dikatakan memiliki penyesuaian perkawinan yang buruk Dyer dalam
Wahyuningsih, 2002. Penyesuaian perkawinan bukan merupakan sesuatu yang mudah. Sulitnya
penyesuaian dalam perkawinan dikarenakan kedua individu yang menikah memiliki latar belakang yang berbeda seperti nilai, sifat, karakter atau
kepribadian, agama, suku bangsa serta kelebihan dan kelemahan. Semua aspek tersebut akan mempengaruhi dalam berfikir, bersikap atau bertindak
Hurlock, 1999. Penyesuaian seperti ini biasanya terjadi sangat lama dan dipengaruhi oleh
berbagai faktor psikologis, tetapi dapat dipastikan bahwa wanita mengalami banyak kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri. Sementara laki-laki lebih
mampu menyesuaikan diri dibandingkan wanita dikarenakan kemampuan mereka yang cenderung lebih rasional dalam menyelesaikan masalah Ibrahim, 2002.
Sedangkan berdasarkan kelas sosial, Le Master dalam Dyer,1983 menyatakan bahwa penyesuaian perkawinan dan stabilitas perkawinan akan lebih
baik pada kelas sosial menengah atas. Perkawinan pada kelas sosial rendah rentan terhadap stres dan tekanan yang berkaitan dengan pekerjaan, pendapatan rendah,
pengangguran, perumahan yang buruk, masalah kesehatan dan lain-lain. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan. Salah
satu faktornya adalah karakteristik demografi yang dimiliki suamiistri yang meliputi agama.
Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem yang memuat norma tertentu dan norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam
Universitas Sumatera Utara
6 bersikap dan bertingkah laku, agar sejalan dengan keyakinan agama yang
dianutnya Jalaluddin, 2004. Seligman dan Csikszentmihalyi menjelaskan bahwa nilai-nilai yang
terkandung dalam ajaran agama penting untuk mengatasi berbagai masalah psikologis, yaitu dengan cara membangun emosi positif Jufri, 2004. Kehidupan
keagamaan memberikan kekuatan jiwa bagi seseorang untuk menghadapi tantangan dan cobaan hidup, memberikan bantuan moral dalam menghadapi krisis
serta menimbulkan sikap rela menerima kenyataan sebagaimana yang telah ditakdirkan Tuhan Meichati dalam Jufri, 2004. Selain itu hidup beragama yang
baik akan memberikan ketenangan jiwa yang sangat dalam dan akan memberikan kemmapuan diri menghadapi setiap permasalahan dengan baik Basri, 1999.
Shadily 1989 menyatakan ada tiga istilah yang merujuk pada agama, yaitu agama itu sendiri, religi dan din. Berdasarkan pada istilah agama dan religi
muncul istilah religiusitas. Dimana religiusitas mengacu pada aspek religi yang dihayati oleh individu di dalam hati Mangunwijaya, 1982.
Religiusitas memiliki peranan dalam penyesuaian diri. Penelitian oleh Bergins, Masters dan Richards dalam Astuti, 1999 yang hasilnya bahwa individu
yang religius dalam arti benar-benar menginternalisasikan kepercayaan- kepercayaan agama mereka dan hidup dengan aturan agama itu secara tulus dan
ikhlas, dapat menyesuaikan diri dengan baik dan jarang mengalami kecemasan. Locke dalam Dyer, 1983 melakukan penelitian dengan membandingkan
200 pasangan yang bercerai dan 200 pasangan yang berbahagia, ditemukan bahwa pada pasangan yang bahagia lebih religius daripada pasangan yang bercerai.
Universitas Sumatera Utara
7 Landis dan Landis dalam Wahyuningsih, 2002 mengemukakan bahwa
religiusitas memiliki peranan dalam perkawinan, termasuk dalam penyesuaian perkawinan. Hal ini dikarenakan religiusitas dapat mempengaruhi pola pikir dan
perilaku dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam menjalani kehidupan perkawinan.
Schneider 1964 juga mengemukakan bahwa kehancuran moral dan kehilangan keyakinan beragama dan praktiknya sering menjadi awal kekacauan
dalam rumah tangga. Kekacauan yang terjadi dalam rumah tangga mengindikasikan penyesuaian perkawinan yang buruk.
Agama berisikan aturan-aturan dan kewajiban yang harus dilaksanakan berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri seseorang atau sekelompok orang
dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia serta alam sekitarnya. Dan orang-orang yang religius akan menjalankan aturan-aturan agamanya dengan
patuh Astuti, 1999. Dalam setiap agama, terdapat hukum dan nilai-nilai yang mengatur tentang perkawinan. Nilai-nilai yang terdapat pada ajaran agama
tersebut yang akan menuntun bagaimana setiap individu menjalankan kehidupan perkawinannya
Dengan demikian orang yang religius akan menjalankan kehidupan perkawinannya berdasarkan nilai-nilai dan aturan agamanya, sehingga akan lebih
mudah dalam menjalani kehidupan perkawinan karena telah memiliki aturan pedoman yang mengatur kehidupan perkawinannya. Hal ini akan mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
8 kebahagiaan dalam rumah tangga yang merupakan kriteria keberhasilan
penyesuaian perkawinan. Islam merupakan salah satu bentuk agama yang diakui di Indonesia dan
mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Didalam ajaran agama Islam juga menjelaskan mengenai perkawinan dalam ”nasihat perkawinan”.
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali,
sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam : Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari
agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi. Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim.
Berdasarkan hadis di atas jelaslah bahwa perkawinan itu menjadi pokok pembahasan yang besar di dalam Islam. Islam sangat menganjurkan pemeluknya
untuk melakukan perkawinan. Oleh karena itu, di dalam Alquran dan hadis, perkawinan itu sangat ditekankan.
Perkawinan bagi seorang laki-laki menuntutnya untuk bersedia menyandang peran baru selaku seorang suami sekaligus kepala rumah tangga
dengan segala konsekuensi yang harus diembannya. Dan bagi seorang perempuan perkawinan yang dialaminya mengharuskan baginya untuk menerima peran
sebagai seorang istri yang juga harus mengemban segala konsekuensinya. Kesemua peran baru tersebut haruslah sesuai dengan aturan dan syariat yang telah
ditetapkan Allah SWT beserta RasulNya, Muhammad SAW Abdullah, 2004.
Universitas Sumatera Utara
9 Ketika suami dan istri telah menjalankan perannya masing-masing sesuai
dengan kewajibannya yang telah diatur dalam agama, maka akan menciptakan kebahagiaan antara suami dan istri dimana hal ini merupakan salah satu kriteria
keberhasilan penyesuaian perkawinan. Shalih 2005 juga menjelaskan bahwa unsur utama kebahagiaan rumah
tangga adalah cinta dan ketaatan suami istri kepada Allah, sebab hanya Allah yang dapat mengharmoniskan, memberkahi dan mengakrabkan hati suami istri. Jadi
kian teguh komitmen terhadap ajaran Allah, kian dalam juga kebahagiaan di dunia dan akhirat. Membangun rumah tangga muslim berdasarkan pemilihan
pasangan yang baik, dan dasar-dasar yang kuat pasti akan memberikan kebahagiaan rumah tangga.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melihat sejauhmana hubungan antara religiusitas dengan penyesuaian perkawinan pada dewasa dini
muslim.
I.B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauhmana hubungan antara religiusitas dengan penyesuaian perkawinan pada dewasa dini.
I.C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1.
Manfaat teoritis
Universitas Sumatera Utara
10 Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pada Psikologi
khususnya pada bidang Psikologi Perkembangan, untuk mengetahui sejauhmana hubungan antara religiusitas dan penyesuaian perkawinan
pada dewasa dini muslim. 2.
Manfaat praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dari pembacanya khususnya pasangan yang telah menikah tentang
bagaimana penyesuaian dalam kehidupan perkawinan bila dikaitkan dengan religiusitas dari pasangan hidup baik itu suami
atau istri.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pasangan-pasangan yang akan menikah dalam melakukan
penyesuaian perkawinan.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi praktisi psikologi khususnya bagi psikolog perkawinan.
I.D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan
Bab I berisi uraian latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.
Universitas Sumatera Utara
11 BAB II : Landasan Teori
Bab II menguraikan mengenai landasan teori yang mendasari masalah objek penelitian. Landasan teori yang digunakan adalah mengenai
religiusitas, penyesuaian perkawinan, dewasa dini, hubungan antara religiusitas dengan penyesuaian perkawinan, dan hipotesa penelitian.
BAB III : Metode Penelitian Bab III berisi uraian mengenai identifikasi variabel penelitian, defenisi
operasional variabel penelitian, populasi, sampel dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur,
prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.
BAB IV : Analisa dan Interpretasi Data Bab IV berisi uraian mengenai gambaran subjek penelitian, hasil
penelitian dan deskripsi data penelitian. BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan saran
Bab V berisi uraian mengenai kesimpulan hasil penelitian, hasil diskusi dan saran metodologis dan praktis.
Universitas Sumatera Utara
12
BAB II LANDASAN TEORI