UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT

40 memperdalam pengetahuan kita tentang dinamika sosiokultural dari masyarakat Indonesia yang majemuk ini secara lebih intim. Dengan begini kita makin menyadari pula bhwa ada berbagai corak penghadapan manusia dengan lingkungannya dan dengan sejarahnya. Selanjutnya pengenalan yang memperdalam pula kesadaran sejarah Kita. Yaitu kita diberi kemungkinan untuk mendapatkan makna dari berbagai peristiwa sejarah yang dilalui. Mendiskusikan mengenai pengertian dan ruang lingkup sejarah lokal, Widja 1991:1-14 memberikan beberapa uraian. Merujuk pada pendapat Onghokham 1981 yang menyatakan bahwa sejarah lokal sudah lama berkembang di Indonesia. Hal ini dimaksudkan bila sejarah lokal diartikan sebagai sejarah daerah tertentu. Bahkan sejarah yang kita miliki sekarang bermula dari sejarah lokal. Berbagai sejarah daerah dapat dihubungkan dengan nama-nama tradisional seperti babad, tambo, riwayat, hikayat, dan sebagainya, yang dengan cara-cara yang khas magis-mistis menguraikan asal-usul suatu daerah tertentu. Abdurrachman Surjomihardjo 1983:116 berpendapat bahwa suatu karya sejarah sebagai sejarah lokal apabila di dalamnya diuraikan peristiwa-peristiwa dalam suatu desa atau beberapa desa, kota kecamatan, kota kawedanan atau kota lain tidak termasuk di dalamnya kota pelabuhan besar atau ibukota negara. Termasuk di dalamnya adat istiadat lokal, kebiasaan kebudayaan cara mengolah tanah, jenis kualitas tanaman, bentuk alat-alat produksi, masa pengolahan sawah dan hutan dan kebiasaan sosial ekonomi, aturan keagamaan dan kepercayaan di dalam batas-batas wilayah hukum dan administrasi yang sama. Taufik Abdullah 1990:13-15 menguraikan tentang pengertian sejarah lokal dengan terlebih dulu menyatakan ketidaksetujuannya terhadap istilah sejarah daerah. Sebuah istilah yang di Indonesia mendapat tempat yang sejajar dengan istilah sejarah lokal. Terkadang juga kedua istilah tersebut dipakai secara bergantian tanpa penjelasan yang tegas. Sebagai bukti bahwa istilah sejarah daerah mendapat tempat adalah digunakannnya istilah ini oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Proyek Penulisan Sejarah Daerah Tahun Anggaran 19771978. Berkait dengan hal tersebut, sejarawan Taufik Abdullah mengajukan keberatannya. Menurutnya kata “sejarah daerah” harus ditinjau lebih sungguh-sungguh. Daerah dalam pengertian adiministratif merupakan kesatuan 41 teritorial yang ditentukan jenjang hirarkinya. Daerah yang berada di bawah merupakan bagian dari daerah di atasnya. Sebagai contoh, kabupaten merupakan daerah di bawah yang menjadi bagian dari daerah di atasnya yang diseb ut dengan propinsi. Sedangkan kata “daerah” dalam pengertian politik biasanya dipertentangkan dengan kata “pusat” yang dianggap nasional. Keberatan terhadap penggunaan istilah sejarah daerah adalah karena daerah sebagai unit administatif kerap berbeda dengan daerah dalam pengertian etnis- kultural. Sebagai contoh, “Sejarah Minangkabau” tidak identik dengan “Sejarah Sumatera Barat”. Yang disebut pertama adalah konsep etnis-kultural, sedangkan yang kedua menunjuk pada pengertian administratif. Istilah lain, yaitu sejarah regional, juga tidak disetujuinya. Pengertian “regional” yang kini lebih populer adalah melampaui batas politik nasional, misalnya konsep ASEAN. Atau dapat pula berarti suatu wilayah yang dibatasi untuk kebutuhan tertentu, misa lnya “wilayah pembangunan” yang dikembangkan oleh BAPPENAS. Oleh karena itu, peggunaan istilah “sejarah tradisional” kurang tepat. Menurut Taufik Abdullah 1990:13-15 yang paling tepat adalah istilah “sejarah lokal”. Kata “lokal” tidak mengandung pengertian yang berbelit-belit, yaitu hanyalah “tempat” atau “ruang”. Jadi, sejarah lokal adalah sejarah dari suatu tempat, suatu locality, yang batasannya ditentukan oleh kesepakatan yang diajukan penulis sejarah. Batasan geografisnya dapat berupa tempat tinggal suatu suku bangsa yang meliputi dua atau tiga daerah administratif tingkat dua atau tingkat satu, dapat pula suatu kota, bahkan suatu desa. Secara sederhana, sejarah lokal dapat dirumuskan sebagai kisah masa lampau dari suatu kelompok atau masyarakat yang berada pada daerah geografis yang terbatas. Adapun ruang lingkup sejarah lokal ialah keseluruhan lingkungan sekitar yang bisa berupa kesatuan wilayah seperti desa, kecamatan, kabupaten, kota, atau kesatuan wilayah lain seukuran itu beserta unsur-unsur institusi sosial dan budaya yang berada lingkungan tersebut, seperti: keluarga, pola pemukiman, mobilitas penduduk, kegotong-royongan, pasar, teknologi pertanian, lembaga pemerintahan setempat, monumen, perkumpulan kesenian, dan lain-lain Widja, 1991:14-15.