S PSI 0806951 Chapter2

(1)

BAB II

SENSATION SEEKING, SELF ESTEEM, DAN COSPLAYER A. Sensation Seeking

1. Pengertian Sensation Seeking

Zuckerman (1979) dalam buku "Sensation Seeking: Beyond the Optimal Level of Arousal", menyebutkan bahwa pencarian sensasi merupakan sebuah sifat (trait) yang mengenai kebutuhan akan perubahan (variety), kebutuhan untuk melakukan hal yang baru (novel), pengalaman dan sensasi yang bersifat kompleks serta keinginan untuk mengambil resiko yang bersifat fisik dan sosial untuk kepentingan tertentu.

Sifat (trait) didefinisikan sebagai suatu kecenderungan dalam bertindak dalam berbagai situasi. sedangkan the trait of sensation seeking mengarah pada kecenderungan seseorang untuk selalu mencari hal yang bersifat baru dan mengeksplor secara mendalam hal-hal baru tersebut (Zuckerman, 1979).

Istilah perubahan (variety) merujuk pada kebutuhan akan perubahan. frase "melakukan hal yang baru" (novel) merefleksikan adanya ketidaksukaan individu terhadap kejadian-kejadian atau pengalaman yang telah dialami sebelumnya. selain itu, frase novel juga menunjukan adanya ketertarikan pada diri individu tersebut terhadap hal-hal yang tidak dapat diprediksi (unpredictable). istilah "kompleksitas" merujuk pada jumlah atau banyaknya elemen pada suatu kegiatan dan rangkaian-rangkaian dari masing-masing elemen tersebut. sedangkan frase "risiko" merujuk pada suatu kegiatan yang cenderung akan menghasilkan sesuatu yang negatif. "risiko secara fisik" dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang dapat melukai fisik atau bahkan dapat membunuh. sedangkan "risiko secara sosial" merujuk pada suatu keadaan dimana adanya perasaan malu, bersalah, atau keadaan dimana individu tersebut tidak dipedulikan lagi oleh lingkungan sekitarnya (Zuckerman, 1979).


(2)

Menurut Chaplin (2006), pencarian sensasi adalah mencari pengalaman yang timbul apabila suatu stimulus merangsang atau membangkitkan suatu reseptor. pencarian sensasi dianggap sebagai suatu sifat (trait) yang ditandai dengan kebutuhan akan berbagai macam sensasi dan pengalaman baru, luar biasa dan kompleks, serta kesediaan mengambil risiko fisik dan sosial untuk memperoleh pengalaman tersebut. kecenderungan untuk mencari sensasi yang tinggi dapat mengarahkan pada perilaku yang positif bila ia menemukan tantangan dari perilaku atau aktivitas yang dilakukannya, misalnya: menjadi seniman, melakukan olah raga beresiko tinggi seperti mendaki gunung, mendayung, menyelam. namun kecenderungan ini dapat mengarah ke perilaku negatif apabila individu pencari sensasi tinggi merasa hanya menemukan tantangan melalui cara yang tidak bisa diterima masyarakat, misalnya mengendarai motor dengan kecepatan tinggi di jalan raya tanpa menggunakan helm atau melakukan seks bebas. individu yang mencari sensasi tinggi memiliki keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya kurang terpuji.

2. Dimensi Sensation Seeking

Adapun dimensi-dimensi dari sensation seeking menurut Zuckerman (1979) adalah:

a. Pencarian getaran jiwa dan petualangan (thrill and adventure seeking)

Dimensi ini berhubungan dengan kebutuhan individu untuk melakukan kegiatan beresiko pada tiap individu. Tindakan beresiko meliputi keinginan yang kuat untuk terlibat dalam aktivitas fisik berbahaya dan merupakan aktivitas yang “tidak biasa” dari yang orang lain lakukan pada umumnya.

b. Pencarian pengalaman (experience seeking)

Dimensi pencarian pengalaman berhubungan dengan ekspresi individu terhadap pengalaman baru melalui penginderaan, gaya hidup yang tidak konvensional, termasuk dalam hal musik, seni, gaya berpakaian, dan gaya hidup antikonformitas lainnya.


(3)

Dimensi ini berhubungan dengan perilaku impulsif pada individu, meliputi keinginan yang kuat untuk melakukan perilaku yang mengandung resiko sosial dan resiko kesehatan. Perilaku yang mengandung resiko sosial dan kesehatan adalah perilaku yang secara potensial dapat menimbulkan dampak negatif terhadap posisi seseorang dalam masyarakat dan terhadap kondisi peristiwa di masa yang akan datang. Perilaku disinhibition antara lain adalah mengkonsumsi minuman beralkohol, menyukai pesta, sengaja melanggar peraturan lalu lintas, bermesraan di depan umum dan hal-hal lain yang tidak sesuai dengan norma sosial masyarakat yang berlaku.

d. Kerentanan terhadap Rasa Bosan (Boredom Susceptibility)

Dimensi ini berhubungan dengan perilaku individu yang antipati terhadap pengalaman yang repetitif, pekerjaan yang rutin, kehadiran orang-orang yang dapat diprediksi, dan reaksi ketidakpuasan terhadap kondisi yang membosankan tersebut. Boredom Susceptibility juga menyebabkan munculnya kegelisahan pada individu saat tidak ada perubahan pada kehidupannya, dan ketidaksukaan pada orang yang membosankan.

3. Faktor yang Mempengaruhi Pencarian Sensasi (Sensation Seeking)

Terdapat dua faktor utama yang dijadikan sebagai faktor yang menjadi sumber penyebab munculnya pencarian sensasi dalam diri individu, yaitu faktor herediter dan faktor lingkungan (Zuckerman, 1991: Grasha & Krischenbaum, 1980). Berikut merupakan penjelasan faktor-faktor yang mempengaruhi sensation seeking.

a. Faktor Herediter

Zuckerman (1979) mengindikasikan adanya faktor genetik yang mempengaruhi gen dan kondisi biologis individu sehingga memiliki kecenderungan untuk mencari sensasi dalam hidupnya.


(4)

Keberadaan MAO (monoamine oxidase), kode kelas genetik dopamine 4 (DRD4), kadar hormon seksual dan kadar tingginya neurotransmitter norepinephrine maupun dopamine dipercaya menjadi kondisi biologis yang menyebabkan individu memiliki kebutuhan arousal dan sensasi yang tinggi. Kondisi biologis ini tentu disebabkan oleh susunan genetika yang diturunkan oleh generasi sebelumnya. Oleh sebab itu faktor herediter diprediksi memberi pengaruh setidaknya 60% pada seseorang untuk memiliki kebutuhan arousal dan sensasi yang tinggi dalam dirinya.

b. Faktor Lingkungan

Hasil pembelajaran sosial (social learning) merupakan faktor yang mempengaruhi dan ‘mengajarkan’ individu untuk menyukai sensasi dan perilaku mencari sensasi tertentu. Faktor lingkungan dan pembelajaran sosial ini kemudian diprediksi sebagai 40% kemungkinan seseorang untuk terstimulus dalam memiliki trait sensation seeking dan kebutuhan pencarian sensasi lainnya. Observasi dan imitasi pada orangtua, teman, dan significant others memungkinkan seseorang untuk mempelajari perilaku yang cenderung mencari sensasi, baik secara tinggi maupun rendah.

4. Karakteristik Individu dengan Pencarian Sensasi

Berikut merupakan table perbedaan indivdu pencari sensasi tinggi dan individu pencari sensasi yang rendah (London & Exner, 1978).

Tabel 2.1 Perbedaan Diri Individu Pencari Sensasi

Pencari Sensasi Tinggi Pencari Sensasi Rendah

Antusias Penakut (frightening) Senang bermain (playful) Panik

Petualang Tegang (tense)

Imaginatif Gugup (nervous)

Pemberani Gemetar (shaky)

Riang (elated) Gelisah (fearful)

Lucu (zany) Mudah cemas


(5)

Menurut London & Exner (1978). Karakteristik individu yang memiliki tingkat sensation seeking sedang adalah gabungan dari karakteristik tingkat sensation seeking tinggi dan rendah. Ini menunjukan bahwa individu tersebut memiliki sebagian aspek dari sensation seeking tinggi dan sebagian aspek dari sensation seeking rendah.

B. Self-Esteem

1. Pengertian Self-Esteem

Self-esteem secara bahasa berarti penghargaan diri. Dalam ilmu psikologi self esteem adalah sebuah penilaian terhadap diri sendiri, baik itu penilaian diri yang positif ataupun negatif yang mempengaruhi penerimaan terhadap dirinya sendiri.

Menurut Centi (1995) konsep diri merupakan gambaran mental yang terdiri dari bagaimana individu melihat diri sendiri sebagai pribadi, bagaimana individu merasa mengenai diri sendirinya sendiri, dan bagaimana individu menginginkan diri seperti yang individu harapkan. persepsi individu atas diri sendiri disebut gambaran diri (self-image), perasaan dan penilaian individu atas diri sendiri merupakan harga diri (self-esteem), dan harapan individu atas diri sendiri disebut cita-cita diri (self-idea) (Calhoun & Acocella dalam Wulansari, 2010). Hal senada juga dikemukakan oleh Coopersmith (1967) yang mendefinisikan:

"Self esteem adalah evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan terutama yang berkaitan dengan harga dirinya sendiri, yang diekspresikan menjadi sikap menerima atau menolak, dan mengidikasikan tingkat dimana individu tersebut meyakini dirinya sebagai seorang yang memiliki kemampuan (capable), keberartian (significance), kesuksesan (successful), dan keberhargaan (worthy)."

Sementara menurut Rosenberg (dalam Burns, 1993), self-esteem ini adalah suatu sikap positif atau negatif terhadap objek tertentu, objek tersebut tiada lain adalah dirinya sendiri.


(6)

Menurut Coopersmith (1967), terdapat beberapa karakteristik individu yang berhubungan dengan self esteem yaitu,

a. Physical attribute

Karakteristik ini berhubungan dengan kondisi fisik yang dimiliki oleh seseorang. Bagaimana seorang individu memandang dan mengahrgai kondisi fisik yang ada pada dirinya. Kondisi fisik yang dibahas di sini diantaranya seperti, tinggi badan, berat badan, warna kulit, dan lain-lain.

b. General capacities, ability, and performance

Karakteristik ini berhubungan dengan kemampuan dan prestasi individu secara umum. Apakah seorang individu menghargai prestasi dan kemampuan dirinya atau tidak.

c. Affective state

Karakteristik ini berhubungan dengan kebahagiaan, kemampuan afeksi, dan kepuasan terhadap diri sendiri. Individu dengan penilaian diri yang rendah biasanya memiliki ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan diri, sedangkan individu dengan penilaian diri yang tinggi memiliki kepercayaan diri yang positif dan lebih ekspresif.

d. Self values

Karakteristik ini berhubungan dengan bagaimana seorang individu menilai keberhargaan dirinya seseuai dengan nilai yang berlaku dan ideal self yang dimilikinya.

3. Aspek Self Esteem

Menurut Rosenberg (1969), terdapat 3 aspek dalam self esteem individu yaitu,

a. Physical Self Esteem

Aspek ini berhubungan dengan kondisi fisik yang dimiliki oleh seorang individu. Apakah seorang individu menerima keadaan fisiknya atau ada beberapa bagian fisik yang ingin diubah.

b. Social Self Esteem

Aspek ini berhubungan dengan kemampuan individu dalam bersosialiasi. Pakah seorang individu membatasi orang lain untuk menjadi teman atau menerima berbagai macam orang sebagai


(7)

teman. Selain itu, aspek ini mengukur kemampuan individu dalam berkomunikasi dengan orang lain dalam lingkungannya.

c. Performance Self Esteem

Aspek ini berhubungan dengan kemampuan dan prestasi individu. Apakah seorang individu puas dan merasa percaya diri dengan kemampuan dirinya atau tidak.

4. Tingkat Self Esteem

Menurut Coopersmith (1967), individu dengan self esteem yang berbeda hidup dalam dunia yang berbeda. Menurutnya, individu yang memiliki penilaian yang rentan terhadap dirinya terhambat oleh tingkat kecemasannya yang tinggi, rendang dalam pengungkapan perasaan, serta lebih sering terhambat oleh gejala psikosomatis dan perasaan depresi.

Coopersmith (1967) mengulas karakteristik umum yang tampak pada individu dengan berbagai tingkat self-esteem, yaitu sebagai berikut:

a. Tingkat self esteem tinggi

Individu yang memiliki self-esteem tinggi akan puas dengan karakter dan kemampuan dirinya yang ditandai dengan self-evaluation yang positif sehingga memiliki self-image yang positif, mampu menerima masukan dari lingkungannya, dapat melakukan evaluasi secara positif serta memiliki self worth yang positif dan mampu mengoptimalkan dan mengendalikan self worth yang dimilikinya (Coopersmith, 1967). Individu dengan self esteem tinggi lebih independen dalam mempengaruhi situasi, memiliki karakter yang konsisten dalam merespon sesuatu. Gambaran dirinya akan menjelaskan bahwa dia adalah seorang yang bernilai dan penting, mempunyai kemampuan yang sebaik individu lain seusianya. Individu tersebut merasa bahwa dirinya dinilai sebagai seseorang yang berharga dan dipertimbangkan oleh orang-orang terdekatnya (Coopersmith, 1967).

Mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dikarenakan adanya pengakuan orang-orang terhadap cara pandang


(8)

dan pendapat yang ia miliki (Coopersmith, 1967). Selain itu, mereka juga percaya diri dengan padangan dan keputusan yang mereka buat, sikap-sikap positif yang dimiliki oleh individu dengan harga diri tinggi akan membimbing mereka pada penerimaan pribadi dan kepercayaan terhadap reaksi dan konklusi yang mereka buat,serta membuat mereka menimbulkan ide-ide baru (Coopersmith, 1967). Ketika terlibat dalam sebuah diskusi mereka akan lebih senang untuk berpartisipasi daripada hanya sekedar menjadi penyimak (Coopersmith, 1967). Mereka memiliki kejujuran dalam berpendapat dan memiliki kemampuan dalam mempertimbangkan isu-isu eksternal (Coopersmith 1967). Mereka juga bisa mengelola tindakan sesuai dengan tuntutan lingkungan, memiliki pemahaman yang baik tentang dirinya, dan sangat menyukai tantangan dan tugas-tugas baru dan biasanya tidak merasa kecewa meskipun belum berhasil (Coopersmith, 1967). Selain itu sikap-sikap positif mengenai diri mereka sendiri juga akan membuat mereka memiliki kemandirian sosial yang lebih baik (Coopersmith, 1967).

b. Tingkat self esteem sedang

Pada dasarnya individu memiliki kesamaan dengan individu yang memiliki self-esteem yang tinggi dalam hal penerimaan diri. Mereka memiliki penerimaan yang relatif baik, pertahanan yang baik, serta pemahaman dan penghargaan yang sangat baik (Coopersmith, 1967). Namun, mereka kurang mampu mengendalikan self-worth yang mereka miliki dari pandangan sosial sehingga kurang konsisten dalam mempertahankan pandangannya. Selain itu mereka ragu-ragu dengan penghargaan yang mereka miliki dan cenderung tidak yakin terhadap kemampuan mereka dibanding yang lain (Coopersmith, 1967). Mereka memiliki sejumlah pernyataan positif tentang diri mereka, tetapi penilaian mereka mengenai kemampuan, keberartian, dan harapan lebih moderat dibanding yang lain. Mereka tidak menilai diri mereka sebagai yang paling baik, melainkan lebih baik.


(9)

Individu dengan self-esteem rendah adalah individu yang hilang kepercayaan dirinya dan tidak mampu menilai kemampuan dan atribut-atribut dalam dirinya (Coopersmith, 1967:71).

Individu yang memiliki self-esteem yang rendah menilai atribut-atribut dalam dirinya secara negatif. Mereka mempunyai sikap yang negatif terhadap diri mereka sendiri. Gambaran yang mereka buat cenderung memberi kesan depresi dan pesimis. Mereka merasa bahwa mereka bukan orang penting dan pantas disukai. Menurut mereka, mereka tidak bisa melakukan apapun yang mereka ingin lakukan. Mereka tidak yakin dengan ide, kemampuan, dan pandangan mereka sendiri. Mereka juga merasa lingkungan tidak memberikan perhatian kepada apapun yang mereka lakukan (Coopersmith, 1967:47). Berkebalikan dengan individu yang memiliki tingkat harga diri tinggi, individu ini memiliki self-consciousness yang tinggi dan terlalu sibuk dengan masalah internal mereka. Kesadaran mengenai diri mereka sendiri yang tinggi, mengganggu mereka untuk bisa terlibat dengan orang lain dan isu-isu yang ada dan menyebabkan mereka menjadi keasyikan secara tidak wajar dengan kesulitan mereka sendiri (Coopersmith, 1967).

Menurut Coopersmith (1967), mereka merasa terisolasi, tidak pantas dicintai, tidak mampu mengekspresikan diri, dan tidak mampu mempertahankan diri sendiri. Mereka merasa terlalu lemah untuk melakukan konfrontasi dan melawan kelemahan mereka sendiri (Coopersmith, 1967). Individu dengan harga diri yang rendah memiliki perasaan ditolak, ragu-ragu, dan tidak berharga. Mereka merasa tidak memiliki kekuatan (Coopersmith, 1967). Hal ini menyebabkan ekspetasi mereka akan masa depan sangat rendah (Coopersmith, 1967:47).

C. Cosplayer


(10)

Cosplay dapat dibilang sebagai produk subkultur. Dick Hebdige (2002) menjelaskan “Subculture represent of “noise‟ (as opposed to sound); interface in orderly sequence which leads from real events and phenomena to their representation in the media.” Subkultur adalah bagian dari kultur/budaya yang dianggap “tidak normal” dikalangan masyarakat. Awal mulanya cosplay dan harajuku style muncul sebagai bentuk pemberontakan remaja di Jepang untuk keluar dari batasan-batasan normal yang berlaku di masyarakat. Gagasan tentang cosplay muncul sekitar tahun 1960-an di Stasiun Harajuku, Distrik Shibuya, Tokyo, dan telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Selain sebagai produk budaya, cosplay juga merupakan pembentukan seni dengan misi kebudayaan dan iklan. Cosplay ini akrab dalam hal ideologi dengan Harajuku style, memberikan nuansa perdebatan wacana mengenai transformasi ide-ide berbusana yang bersumber pada tokoh-tokoh film animasi dan manga Jepang. Ide tersebut divisualisasikan dalam wujud busana yang bertema tokoh atau kondisi tertentu, dengan melakukan akulturasi berbagai jenis budaya, dan menghasilkan kostum-kostum yang ekspresif.

Menurut Aji (2011) pada sebuah buku yang berjudul Cosplay Naze Nihonjin wa Seifuku ga suki Na No Ka, Karya Fukiko Mitamura, menyebutkan pengertian cosplay sebagai berikut :

簡簡簡 簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡簡 簡簡簡簡

Artinya: Dapat dengan mudah menjadi suatu peran/ tokoh. Dapat dengan cepat menjadi apa yang diinginkan oleh dirinya, atau menjadi peran yang dibutuhkan. Inilah yang disebut cosplay.

Menurut Mitamura (2011), cosplay adalah merubah diri menjadi peran yang dibutuhkan atau status yang diinginkan, terlepas dari apakah orang tersebut memang berprofesi sebagai peran yang sedang diembannya tersebut atau memiliki kemempuan yang dituntut harus dimiliki oleh peran yang diembannya tersebut. Dengan kata lain, seseorang dapat menjadi bagian dari suatu profesi atau peran hanya dengan mengenakan kostum yang menandai peran tersebut sehingga dia akan merasa berkewajiban


(11)

untuk memiliki kemampuan sesuai dengan yang dituntut oleh profesi atau peran yang diemban dengan kostum yang dikenakan.

Menurut Hlister (2007) Cosplay adalah sebuah Konstruksi dan mempunyai beberapa sifat yang mendasar dan juga komponen–komponen yang menciptakan keseluruhannya. Setiap cosplayer mempunyai pilihan yang mereka sadari untuk diekspresikan dengan cara memilih karakter dan “penampilan” untuk bercosplay. Kebanyakan akan memilih genre atau media kategori untuk inspirasi mereka. Perlu diperhatikan bahwa banyak genre menginspirasikan cosplay berada disekitar mereka dan jelas tidak dalam bagian dari komunitas cosplay.

Banyak dari para cosplayer yang terlihat sedang berada dalam suatu event dengan cosplayer lainnya yang sedang berakting “in character”. Salah satu contoh menjadi “in character” adalah dengan bercosplay dan menjadi seperti aktor di panggung. Aksi mereka yaitu seperti ekspresi wajah yang khas, atau mengingat kata-kata untuk diucapkan dan dibawa keluar kepada orang-orang yang berinteraksi dengan mereka. Intinya yaitu untuk menjadi satu dengan kepribadian dari karakter yang digambarkan. Dalam ranah dunia cosplay terdapat kesepakatan semakin mirip dengan karakter yang diperankan, berarti orang tersebut dapat dikategorikan dengan cosplayer yang baik. “Semakin mirip dengan karakter yang diperankan” disini tidak hanya kemiripan dengan kostum tetapi juga dengan karaktenya. Cosplayer dituntut untuk dapat berakting sesuai dengan karakter tokoh yang dicosplaykannya baik itu gesture yang diperlihatkan melalui foto dan video atau tampil di atas panggung pada suatu acara cosplay.

2. Jenis-jenis Cosplay

Sampai saat ini belum ada penelitian yang mengkategorikan cosplay, namun bila dikategorisasikan berdasarkan jenis pakaian dan atribut yang dikenakan, maka cosplay terdiri dari,

a. Fabric atau Cloth

Pada jenis ini seorang cosplayer mengenakan pakaian yang berbahan dasar kain dan menyerupai pakaian pada umumnya. Biasanya pada jenis ini tidak terlalu banyak atribut yang dikenakan dan membutuhkan biaya yang relatif murah (Rp.150.000 – Rp. 400.000) serta tingkat kesulitan


(12)

pengerjaannya yang tidak terlalu sulit dan dapat dibuat sendiri. Karakter yang diperankan pada jenis ini biasanya mengacu pada karakter-karakter dari anime atau video game, serta dalam pendalaman karakter lebih mudah dikarenakan kita data mendalami karakter tokoh yang diperankan jika menonton anime atau memainkan game yang diperankan tokoh tersebut.


(13)

b. Armored

Pada jenis ini biasanya cosplayer meniru tokoh-tokoh dari tokusatsu atau sentai dan anime seperti Kamen Rider atau Saint Seiya, namun ada juga yang meniru desain dari mecha (robot) seperti Gundam. Pada dasarnya cosplay jenis ini meniru desain atau kostum yang digunakan namun kostum tersebut memiliki bahan dari busa tebal atau resin dan biasanya menutupi seluruh tubuh. Pada umumnya sedikit cosplayer yang memilih cosplay pada jenis ini dikarenakan biaya yang mahal dalam pembuatan kostum (> Rp.400.000), kostum yang berat sehingga sulit untuk bergerak, pembuatan yang rumit dan membutuhkan waktu yang cukup lama, panas ketika dikenakan, dan dalam event tidak dapat melakukan stunt act sehingga hanya menjadi objek foto bagi para kameraman dalam sebuah event, meskipun ada juga beberapa armored cosplayer seperti cosplayer yang memerankan seri Saint Seiya yang melakukan stunt act ketika tampil di panggung.

3. Perkembangan Cosplay di Indonesia

Cosplay di Indonesia baru dikenal pada tahun 2000 ketika gaya berpakaian harajuku dari Jepang mulai dikenal oleh remaja-remaja di Indonesia. Saat itu selain gaya berpakaian, anime dan manga serta video game dari Jepang pun semakin gencar muncul di Indonesia yang membuat banyak remaja-remaja di Indonesia menyukai hal-hal tersebut dan mulai melakukan cosplay secara individu. Pada tahun 2002 di Universitas Indonesia (UI) mencoba membuat sebuah event budaya Jepang yang didalamnya memperbolehkan orang-orang untuk melakukan cosplay, ini menjadi awal dari event Jepang dan cosplay di Indonesia. Setelah membuka beberapa event di Jakarta beberapa kota lainnya di Pulau Jawa seperti Bandung dan Yogyakarta mulai membuat event serupa yang mempertemukan orang-orang dengan hobi serupa seperti cosplay, menonton anime, dan membaca manga.

Di Bandung sendiri event budaya Jepang yang pertama adalah di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan bekerja sama dengan majalah Animonster serupa majalah yang berfokus pada kebudayaan Jepang. Mulai saat itu terbentuk beberapa komunitas cosplay di Bandung seperti Shinsen-Gumi, AEON Cosplay Team, ALBATROSS FORCE, dan komunitas lainnya.


(14)

Dalam komunitas tersebut seorang cosplayer tidak hanya dapat bertemu dengan orang lain yang memiliki hobi yang sama, namun mereka dapat bertukar informasi mengenai cosplay mulai dari cara pembuatan dan bahan yang digunakan dalam sebuah kostum, menjahit, membuat property dari barang yang sudah tidak terpakai lagi, dan pendalaman karakter dengan belajar acting, maka banyak dari cosplayer-cosplayer ini memiliki kreativitas dan kemampuan lain yang orang lain tidak miliki.

Dalam perkembangan gaya cosplay di Indonesia pun terus berkembang mulai dari hanya sekedar mengenakan kostum, kemudian mulai bertingkah laku seperti karakter yang diperankan, melakukan stunt act di panggung dan fenomena-fenomena yang mulai muncul sekarang ini seperti crossdress yaitu seorang perempuan yang berpakaian dan berperilaku seperti laki-laki dan sebaliknya, light ecchi adalah perilaku-perilaku ketika cosplay yang agak senonoh seperti mencium dan berpelukan, serta cosplay photography yaitu cosplay yang berfokus pada suatu adegan atau situasi yang diabadikan oleh foto.

D. Kerangka Berpikir

Menurut Zuckerman (1979) pencarian sensasi merupakan sebuah sifat (trait) yang menerangkan tentang suatu kebutuhan akan perubahan (variety), kebutuhan untuk melakukan hal yang baru (novel), pengalaman dan sensasi yang bersifat kompleks serta keinginan untuk mengambil resiko yang bersifat fisik dan sosial untuk kepentingan tertentu. Menurut Coopersmith (1967) self esteem adalah evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan terutama yang berkaitan dengan harga dirinya sendiri, yang diekspresikan menjadi sikap menerima atau menolak, dan mengidikasikan tingkat dimana individu tersebut meyakini dirinya sebagai seorang yang memiliki kemampuan (capable), keberartian (significance), kesuksesan (successful), dan keberhargaan (worthy).

Dalam dunia cosplay pun banyak terjadi cemoohan terutama bila seorang cosplayer tidak cocok memerankan suatu tokoh secara karakter atau fisik. Cemoohan ini tidak hanya dari dunia nyata saja sebagian besar berasal dari dunia maya yang menyebar foto-foto cosplay seseorang. Hal inilah yang sering dialami oleh cosplayer Indonesia yang secara fisik berbeda dari karakter yang diperankan. Hal- hal tersebut menjadi salah satu alasan cosplayer di Indonesia memiliki sikap yang introvert dan memiliki self-esteem yang rendah. Dan hal ini juga dijelaskan dalam teori self esteem


(15)

yang dikemukakan oleh Heatherton bahwa terdapat 3 sub-komponen dalam self esteem yaitu, performance self esteem, social self esteem, dan appearance self esteem.

Bertolak belakang dengan gambaran kehidupan sosial seorang cosplayer yang cenderung introvert dan memiliki self esteem yang rendah saat seorang cosplayer bercosplay dalam sebuah event mereka seperti menjadi pribadi yang berbeda, mereka menjadi seseorang yang ekspresif, ekstrovert dan aktif. Terlebih seorang cosplayer biasanya dapat merubah perilaku mulai dari gaya bicara, tingkah laku, gesture, dan kebiasaan dari tokoh yang diperankannya yang seringkali terbawa dalam kehidupan nyata. Selain itu perilaku-perilaku ini juga seringkali terbawa dalam kehidupan sosial seperti memakai pakaian yang penuh dengan atribut tokoh favorit, musik yang didengarkan berbeda dengan orang kebanyakan, meniru kebiasaan tokoh yang diperankan seperti tidak menyukai paprika atau tomat dan berjalan atau berlari dengan meniru dengan gaya ninja.

Berdasarkan hal tersebut peneliti merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana gambaran self esteem dan sensation seeking pada cosplayer? Serta apakah terdapat hubungan antara self esteem dan sensation seeking? Gambaran kerangka berpikir pada penelitian ini dapat dilihat pada bagan di bawah ini,

Grafik 2.1 Kerangka Penelitian

E. Hipotesis

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Monty dan Putu (2006) pada penelitiannya yang berjudul “Hubungan antara Sensation Seeking dan Self-esteem pada Pendaki Gunung” yang meliputi 117 pendaki gunung di Indonesia mendapatkan

COSPLAYER Lingkungan Sosial

Introvert

Self esteem rendah?

Sensation seeking rendah?

 kurang konformis dengan lingkungan sekitar

Cosplay

EkstrovertEkspresif

Sensation seeking tinggi?

Sensation seeking rendah?

Self Esteem

Appearance self esteemPerformance self esteemSocial self esteem

Sensation Seeking

Thrill and adventury seeking

Experience seekingDisinhibition

Boredom susceptibility


(16)

hasil berupa korelasi positif dimana semakin tinggi sensation seeking pendaki gunung semakin tinggi juga self-esteemnya. Berdasar pada hasil penelitian diatas maka dalam penelitian ini didapat hipotesis sebagai berikut,

H0 = Tidak terdapat korelasi positif antara sensation seeking dan self-esteem pada

cosplayer di Kota Bandung.

H1 = Terdapat korelasi positif antara sensation seeking dan self-esteem pada cosplayer

di Kota Bandung.

Berdasarkan hipotesis diatas H0 menjelaskan bahwa tidak terdapat korelasi

positif antara sensation seeking dan self esteem ini berarti apabila seorang individu memiliki sensation seeking yang tinggi maka self esteem individu tersebut rendah. Sebaliknya dalam hipotesis H1 menjelaskan bahwa terdapat korelasi positif antara

sensation seeking dan self esteem, ini berarti apabila seorang indivdu memiliki sensation seeking yang tinggi maka self esteem individu tersebut juga tinggi.


(1)

untuk memiliki kemampuan sesuai dengan yang dituntut oleh profesi atau peran yang diemban dengan kostum yang dikenakan.

Menurut Hlister (2007) Cosplay adalah sebuah Konstruksi dan mempunyai beberapa sifat yang mendasar dan juga komponen–komponen yang menciptakan keseluruhannya. Setiap cosplayer mempunyai pilihan yang mereka sadari untuk diekspresikan dengan cara memilih karakter dan “penampilan” untuk bercosplay. Kebanyakan akan memilih genre atau media kategori untuk inspirasi mereka. Perlu diperhatikan bahwa banyak genre menginspirasikan cosplay berada disekitar mereka dan jelas tidak dalam bagian dari komunitas cosplay.

Banyak dari para cosplayer yang terlihat sedang berada dalam suatu event dengan cosplayer lainnya yang sedang berakting “in character”. Salah satu contoh menjadi “in character” adalah dengan bercosplay dan menjadi seperti aktor di panggung. Aksi mereka yaitu seperti ekspresi wajah yang khas, atau mengingat kata-kata untuk diucapkan dan dibawa keluar kepada orang-orang yang berinteraksi dengan mereka. Intinya yaitu untuk menjadi satu dengan kepribadian dari karakter yang digambarkan. Dalam ranah dunia cosplay terdapat kesepakatan semakin mirip dengan karakter yang diperankan, berarti orang tersebut dapat dikategorikan dengan cosplayer yang baik. “Semakin mirip dengan karakter yang diperankan” disini tidak hanya kemiripan dengan kostum tetapi juga dengan karaktenya. Cosplayer dituntut untuk dapat berakting sesuai dengan karakter tokoh yang dicosplaykannya baik itu gesture yang diperlihatkan melalui foto dan video atau tampil di atas panggung pada suatu acara cosplay.

2. Jenis-jenis Cosplay

Sampai saat ini belum ada penelitian yang mengkategorikan cosplay, namun bila dikategorisasikan berdasarkan jenis pakaian dan atribut yang dikenakan, maka cosplay terdiri dari,

a. Fabric atau Cloth

Pada jenis ini seorang cosplayer mengenakan pakaian yang berbahan dasar kain dan menyerupai pakaian pada umumnya. Biasanya pada jenis ini tidak terlalu banyak atribut yang dikenakan dan membutuhkan biaya yang relatif murah (Rp.150.000 – Rp. 400.000) serta tingkat kesulitan

18

Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014

HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung)


(2)

pengerjaannya yang tidak terlalu sulit dan dapat dibuat sendiri. Karakter yang diperankan pada jenis ini biasanya mengacu pada karakter-karakter dari anime atau video game, serta dalam pendalaman karakter lebih mudah dikarenakan kita data mendalami karakter tokoh yang diperankan jika menonton anime atau memainkan game yang diperankan tokoh tersebut.


(3)

b. Armored

Pada jenis ini biasanya cosplayer meniru tokoh-tokoh dari tokusatsu atau sentai dan anime seperti Kamen Rider atau Saint Seiya, namun ada juga yang meniru desain dari mecha (robot) seperti Gundam. Pada dasarnya cosplay jenis ini meniru desain atau kostum yang digunakan namun kostum tersebut memiliki bahan dari busa tebal atau resin dan biasanya menutupi seluruh tubuh. Pada umumnya sedikit cosplayer yang memilih cosplay pada jenis ini dikarenakan biaya yang mahal dalam pembuatan kostum (> Rp.400.000), kostum yang berat sehingga sulit untuk bergerak, pembuatan yang rumit dan membutuhkan waktu yang cukup lama, panas ketika dikenakan, dan dalam event tidak dapat melakukan stunt act sehingga hanya menjadi objek foto bagi para kameraman dalam sebuah event, meskipun ada juga beberapa armored cosplayer seperti cosplayer yang memerankan seri Saint Seiya yang melakukan stunt act ketika tampil di panggung.

3. Perkembangan Cosplay di Indonesia

Cosplay di Indonesia baru dikenal pada tahun 2000 ketika gaya berpakaian harajuku dari Jepang mulai dikenal oleh remaja-remaja di Indonesia. Saat itu selain gaya berpakaian, anime dan manga serta video game dari Jepang pun semakin gencar muncul di Indonesia yang membuat banyak remaja-remaja di Indonesia menyukai hal-hal tersebut dan mulai melakukan cosplay secara individu. Pada tahun 2002 di Universitas Indonesia (UI) mencoba membuat sebuah event budaya Jepang yang didalamnya memperbolehkan orang-orang untuk melakukan cosplay, ini menjadi awal dari event Jepang dan cosplay di Indonesia. Setelah membuka beberapa event di Jakarta beberapa kota lainnya di Pulau Jawa seperti Bandung dan Yogyakarta mulai membuat event serupa yang mempertemukan orang-orang dengan hobi serupa seperti cosplay, menonton anime, dan membaca manga.

Di Bandung sendiri event budaya Jepang yang pertama adalah di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan bekerja sama dengan majalah Animonster serupa majalah yang berfokus pada kebudayaan Jepang. Mulai saat itu terbentuk beberapa komunitas cosplay di Bandung seperti Shinsen-Gumi, AEON Cosplay Team, ALBATROSS FORCE, dan komunitas lainnya.

20

Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014

HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung)


(4)

Dalam komunitas tersebut seorang cosplayer tidak hanya dapat bertemu dengan orang lain yang memiliki hobi yang sama, namun mereka dapat bertukar informasi mengenai cosplay mulai dari cara pembuatan dan bahan yang digunakan dalam sebuah kostum, menjahit, membuat property dari barang yang sudah tidak terpakai lagi, dan pendalaman karakter dengan belajar acting, maka banyak dari cosplayer-cosplayer ini memiliki kreativitas dan kemampuan lain yang orang lain tidak miliki.

Dalam perkembangan gaya cosplay di Indonesia pun terus berkembang mulai dari hanya sekedar mengenakan kostum, kemudian mulai bertingkah laku seperti karakter yang diperankan, melakukan stunt act di panggung dan fenomena-fenomena yang mulai muncul sekarang ini seperti crossdress yaitu seorang perempuan yang berpakaian dan berperilaku seperti laki-laki dan sebaliknya, light ecchi adalah perilaku-perilaku ketika cosplay yang agak senonoh seperti mencium dan berpelukan, serta cosplay photography yaitu cosplay yang berfokus pada suatu adegan atau situasi yang diabadikan oleh foto.

D. Kerangka Berpikir

Menurut Zuckerman (1979) pencarian sensasi merupakan sebuah sifat (trait) yang menerangkan tentang suatu kebutuhan akan perubahan (variety), kebutuhan untuk melakukan hal yang baru (novel), pengalaman dan sensasi yang bersifat kompleks serta keinginan untuk mengambil resiko yang bersifat fisik dan sosial untuk kepentingan tertentu. Menurut Coopersmith (1967) self esteem adalah evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan terutama yang berkaitan dengan harga dirinya sendiri, yang diekspresikan menjadi sikap menerima atau menolak, dan mengidikasikan tingkat dimana individu tersebut meyakini dirinya sebagai seorang yang memiliki kemampuan (capable), keberartian (significance), kesuksesan (successful), dan keberhargaan (worthy).

Dalam dunia cosplay pun banyak terjadi cemoohan terutama bila seorang cosplayer tidak cocok memerankan suatu tokoh secara karakter atau fisik. Cemoohan ini tidak hanya dari dunia nyata saja sebagian besar berasal dari dunia maya yang menyebar foto-foto cosplay seseorang. Hal inilah yang sering dialami oleh cosplayer Indonesia yang secara fisik berbeda dari karakter yang diperankan. Hal- hal tersebut menjadi salah satu alasan cosplayer di Indonesia memiliki sikap yang introvert dan memiliki self-esteem yang rendah. Dan hal ini juga dijelaskan dalam teori self esteem


(5)

yang dikemukakan oleh Heatherton bahwa terdapat 3 sub-komponen dalam self esteem yaitu, performance self esteem, social self esteem, dan appearance self esteem.

Bertolak belakang dengan gambaran kehidupan sosial seorang cosplayer yang cenderung introvert dan memiliki self esteem yang rendah saat seorang cosplayer bercosplay dalam sebuah event mereka seperti menjadi pribadi yang berbeda, mereka menjadi seseorang yang ekspresif, ekstrovert dan aktif. Terlebih seorang cosplayer biasanya dapat merubah perilaku mulai dari gaya bicara, tingkah laku, gesture, dan kebiasaan dari tokoh yang diperankannya yang seringkali terbawa dalam kehidupan nyata. Selain itu perilaku-perilaku ini juga seringkali terbawa dalam kehidupan sosial seperti memakai pakaian yang penuh dengan atribut tokoh favorit, musik yang didengarkan berbeda dengan orang kebanyakan, meniru kebiasaan tokoh yang diperankan seperti tidak menyukai paprika atau tomat dan berjalan atau berlari dengan meniru dengan gaya ninja.

Berdasarkan hal tersebut peneliti merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana gambaran self esteem dan sensation seeking pada cosplayer? Serta apakah terdapat hubungan antara self esteem dan sensation seeking? Gambaran kerangka berpikir pada penelitian ini dapat dilihat pada bagan di bawah ini,

Grafik 2.1 Kerangka Penelitian

E. Hipotesis

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Monty dan Putu (2006) pada penelitiannya yang berjudul “Hubungan antara Sensation Seeking dan Self-esteem pada Pendaki Gunung” yang meliputi 117 pendaki gunung di Indonesia mendapatkan

22

Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014

HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu COSPLAYER

Lingkungan Sosial

Introvert

Self esteem rendah?

Sensation seeking rendah?

 kurang konformis dengan lingkungan sekitar

Cosplay

Ekstrovert

Ekspresif

Sensation seeking tinggi?

Sensation seeking rendah?

Self Esteem

Appearance self esteem

Performance self esteemSocial self esteem

Sensation Seeking

Thrill and adventury seeking

Experience seekingDisinhibition

Boredom susceptibility


(6)

hasil berupa korelasi positif dimana semakin tinggi sensation seeking pendaki gunung semakin tinggi juga self-esteemnya. Berdasar pada hasil penelitian diatas maka dalam penelitian ini didapat hipotesis sebagai berikut,

H0 = Tidak terdapat korelasi positif antara sensation seeking dan self-esteem pada

cosplayer di Kota Bandung.

H1 = Terdapat korelasi positif antara sensation seeking dan self-esteem pada cosplayer

di Kota Bandung.

Berdasarkan hipotesis diatas H0 menjelaskan bahwa tidak terdapat korelasi

positif antara sensation seeking dan self esteem ini berarti apabila seorang individu memiliki sensation seeking yang tinggi maka self esteem individu tersebut rendah. Sebaliknya dalam hipotesis H1 menjelaskan bahwa terdapat korelasi positif antara

sensation seeking dan self esteem, ini berarti apabila seorang indivdu memiliki sensation seeking yang tinggi maka self esteem individu tersebut juga tinggi.