Respon guru sejarah Sekolah Menengah Atas Yogyakarta terhadap wacana alternatif tragedi kemanusiaan 1965 - USD Repository

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  

RESPON GURU SEJARAH

SEKOLAH MENENGAH ATAS YOGYAKARTA

TERHADAP WACANA ALTERNATIF TRAGEDI KEMANUSIAAN 1965

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum) di

  

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Oleh

Kartika Pratiwi

  

NIM : 086322005

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2013

 

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  Melakukan penelitian dengan topik yang sangat sensitif di Indonesia memang tidak mudah. Data yang terbatas, sulitnya birokrasi, pengalaman traumatis dari pihak-pihak yang akan diwawancarai menjadi satu dari sekian alasan kenapa penulis menempuh waktu yang tidak sebentar saat menyelesaikan tesis yang berjudul Respon Guru Sejarah Sekolah Menengah Atas Yogyakarta Terhadap Wacana Alternatif Tragedi Kemanusiaan 1965. Oleh karena itu, puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatnya sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis ini dalam waktu setengah dekade.

  Dalam penyusunan tesis ini, penulis dibimbing oleh Prof. Dr. Supratiknya dan Romo Budi Subanar, SJ. yang tidak pernah bosan merelakan waktunya dan menjadi pengingat supaya tesis ini harus selesai bagaimanapun keadaannya. Kepada Romo Baskara T. Wardaya, yang telah luar biasa membantu dalam hal pengetahuan dan bentuk non-materiil lainnya, juga demi penulis bisa yakin bahwa tesis ini memang harus sampai pada titik kesimpulan. Kepada seluruh dosen Ilmu Religi dan Budaya yang sudah membagikan ilmu kepada penulis dari tahun 2008. Tidak ada rasa penyesalan sedikitpun saat penulis akhirnya memutuskan untuk menempuh pendidikan di sini meskipun pada awalnya hampir memilih jurusan tetangga sebelah.

  Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tuanya, kepada Goya Tamara Kolondam dan keluarga besar atas dukungan dalam hal materiil dan non-materiil saat menempuh program magister ini. Terima kasih bahwa mereka sangat mengerti bahwa proses panjang ini bukan semata-mata karena kuantitas, tetapi harus diselesaikan dengan pertimbangan kualitas. Sangat disadari bahwa perjalanan ini belum selesai, oleh karena itu penulis berharap bisa selalu menjadi kebanggaan mereka sampai kapanpun.

  Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan observasi dan wawancara dengan guru-guru sejarah di Yogyakarta. Maka, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak guru dan sekolah yang bersedia diwawancarai dan meluangkan waktunya meskipun terkadang menyita jadwal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  sela waktu minum teh sore hari dan kepada Roxana Waterson dan Kay Mohlman di National University of Singapore yang telah membantu mengolah data tersebut setelah bertahun-tahun dibiarkan.

  Sangat beruntung sekali penulis mempunyai banyak teman yang sangat membantu dalam proses penyelesaian tesis ini. Terima kasih kepada Airani Sasanti, Diah Ari Tapaningtyas, Doni Maulistya, Vella Siahaya, Resa Pattiwael, Ari Nugroho, Heidy Patricia, Gery Pandeiroot, Bang Ucok, Octo Cornelius, Eli Firziana. Mereka dengan ikhlas membantu mengetik, membuat transkrip, mengedit data, diskusi, memberi saran dan kritik, semangat dan hiburan di sela- sela keputus-asaan juga beberapa hal lainnya yang tidak dapat disebutkan satu- persatu karena terlalu banyak. Penulis beruntung mempunyai teman-teman yang sangat baik seperti mereka meskipun hanya bisa “dibayar” dengan makanan seadanya.

  Tesis ini penulis persembahkan untuk kotakhitam forum, sebuah lembaga independen sejarah politik. Dari merekalah, penulis belajar jangan pernah takut untuk mengungkapkan kebenaran meskipun tidak ada dukungan materiil sedikitpun, Terima kasih A. Dananjaya, Viodeogo, Kiky Salata, Aquido dan Dimas. “Perjalanan kita tidak boleh berhenti.”

  Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih sekali lagi kepada pihak-pihak yang membantu secara langsung dan tidak langsung selama melakukan penelitian ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari tesis ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

  Yogyakarta, September 2013 Penulis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  

ABSTRAK

  Sebelum Reformasi 1998, wacana tentang Tragedi Kemanusiaan 1965 yang diterima oleh masyarakat mengikuti versi yang dibuat oleh rezim Orde Baru. Dimana pada waktu itu, guru sejarah di Indonesia harus memakai sudut pandang yang ada di dalam buku sejarah yang di-kontrol oleh rezim tersebut. Sebagai tambahan, setiap tahun para murid diwajibkan untuk melihat pemutaran film Pengkhinatan G30S/PKI. Sebuah film tentang Tragedi Kemanusiaan 1965 yang disusun atau dibuat oleh rezim Orde Baru untuk menunjukkan betapa jahatnya paham komunisme. Jatuhnya rezim Orde Baru menyulut sebagian dari masyarakat untuk menyelidiki lebih lanjut tentang kebenaran cerita dari sisi lain peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965. Beberapa dari mereka membuat film dokumenter dan buku yang menyediakan sisi lain dari wacana sejarah yang telah ada. Media dan bahan diskusi baru yang bermunculan ini ‘menantang’ untuk sekolah dan guru sejarah agar lebih terbuka akan penerjemahan sejarah dari sisi lain. Namun, wacana tentang sejarah alternatif tidak selamanya mempunyai dampak, beberapa dari guru sejarah masih memakai buku sejarah yang sama ketika di jaman rezim Orde Baru, karena tampaknya mereka masih ‘dihantui’ oleh rasa ketakutan pada rezim sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa tanggapan dari guru sejarah terhadap wacana sejarah alternatif dengan topik Tragedi Kemanusiaan 1965, dengan memakai metode pemutaran film dokumenter sejarah yang mempunyai sudut pandang yang berbeda dengan versi dari rezim Orde Baru. Studi ini juga untuk melihat sampai sejauh mana guru sejarah mau untuk mempertimbangkan memakai narasi sejarah alternatif dalam metode pengajaran mereka. Penelitian ini juga membantu perkembangan dari kurikulum sejarah menuju pendidikan yang manusiawi dan demokratis. Membantu untuk mengembangkan bentuk metode pendidikan yang baru dengan menggunakan audio visual sebagai media dalam pembelajaran sejarah. Harapan dari penelitian ini juga membantu membuka perspektif baru untuk guru dan sekolah dalam memahami wacana Tragedi Kemanusiaan 1965, dan selanjutnya akan memberi harapan bagi para murid untuk lebih kritis dalam memahami sejarah dari Indonesia. Kata kunci: komunis, pendidikan, Orde Baru, sejarah alternatif viii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  

ABSTRACT

  Before the 1998 reformation, people accepted the 1965 Tragedy discourse according to the New Order regime’s version. Accordingly, history teachers in Indonesia had to use the conventional perspective in history books that were controlled by the regime. In addition,

  th

  students had to watch Pengkhianatan G30S/PKI (The Betrayal of The 30 September Movement/Indonesian Communist Party), a historical movie of the 1965 Tragedy constructed by the regime which simply emphasizes the representation that communism is evil every year.The fall of the regime in 1998 triggered people’s motivation to explore further for the truth beyond the 1965 Tragedy, aside from the conventional version. Many critical groups create documentary movies and books in order to provide an alternative discourse in history. Those new resources challenge schools and history teachers to become more open to any interpretations. However, the public discourse on alternative history has not always had an impact. Many teachers still use the same books as they used in New Order regime instead of giving the alternative version to their students, because they seems to be haunted by the trauma. By screening the documentary movie to history teachers, this research aims to analyze their responses about the documentary movie of 1965 Tragedy, the movie that is seen from the opposite perspective of the New Order regime version.

  Moreover, this study looks at to what extent high school history teachers are willing to consider of using alternative historical narratives in their way of teaching. This research also benefits in assisting the development of history curriculum into a more humane and democratic one. It contributes to develop a new form of teaching by using audio visual media in learning history. It in turn opens new perspectives to teachers and schools in understanding the discourse of 1965 Tragedy and later encourages students to be more critical to comprehend Indonesian history. Keywords: communism, education, New Order, alternative history ix

  x

  8. Sumber Data ......................................................................................................... 38

  3.2 Perubahan Teks Tragedi Kemanusiaan 1965 setelah Orde Baru ......................... 81

  3.1 Tragedi Kemanusiaan 1965 dalam Buku Pelajaran Sejarah Orde Baru............... 70

  59 BAB III PENDIDIKAN KRITIS (A)HISTORIS ......................................................... 67

  55 2.2.2 Pengetahuan dan Kekuasaan .....................................................................

  53 2.2.1 Hegemoni dan Alienasi dalam Pendidikan Sejarah ..................................

  2.1.2 Sejarah Versi (Orde) Baru...................................................................... 48 2.2 Pendidikan Sejarah sebagai Alat Kekuasaan.......................................................

  2.1.1 Paradigmatik Pelajaran Sejarah.............................................................. 46

  2.1 Pendidikan Sejarah dari Masa ke Masa............................................................... 42

  42

  II(RE)PRODUKSI PENENTUAN POSISI SUBJEK SEBAGAI PAHLAWAN ATAU KORBAN ...................................................................................

  BAB

  10. Sistematika Penulisan ........................................................................................... 40

  9. Teknik Pengumpulan Data ................................................................................... 39

  7. Metode Penelitian ................................................................................................. 37

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................................. ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ................................................................................... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................................ iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ......................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................................... vi

ABSTRAK ....................................................................................................................... vii

ABSTRACT

  6.3 Pengajaran Sejarah Kritis di Sekolah Menengah Atas ................................... 32

  6.2 Kekuasaan dalam Pendidikan......................................................................... 25

  6.1 Pendidikan Kritis ............................................................................................ 22

  6. Landasan Teori ..................................................................................................... 21

  5. Tinjauan Pustaka................................................................................................... 19

  4. Manfaat Penelitian................................................................................................ 18

  3. Tujuan Penelitian.................................................................................................. 18

  2. Rumusan Masalah................................................................................................. 17

  1. Latar Belakang...................................................................................................... 1

  1

  ................................................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................

  DAFTAR ISI

  ...................................................................................................................... viii

  

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  3.3 Ketika Guru Membuat Versi Sejarahnya Sendiri ................................................. 92

  3.4 Respon Guru terhadap Inkonsistensi Kurikulum.................................................. 95 3.4.1 Ambivalensi dan Sikap “Hanya Sekedar Tahu”........................................

  98 BAB IV REAKSI TERHADAP MULTI-NARASI PELAJARAN SEJARAH ......... 103

  4.1 Tumbangnya Orde Baru ....................................................................................... 103

  4.2 Sejarah Lisan dan Subjektifitas Masa Lalu .......................................................... 107

  4.3 Menjadi Guru yang (Mem)Bebas(kan)................................................................. 112

  4.3.1 Mengajar yang Alternatif.......................................................................... 113

  4.3.2 Film Dokumenter sebagai Media Populer Pengajaran Sejarah ................ 117

  4.4 Usaha Penyadaran Kritis Publik melalui Sejarah Alternatif ............................... 120

  

BAB V NEGOSIASI DAN RESISTENSI GURU SEJARAH .................................... 122

  5.1 Resistensi untuk Keluar “Batas” ......................................................................... 122

  5.2 Negosiasi dengan Institusi................................................................................... 129

  

BAB VI KESIMPULAN ................................................................................................ 132

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 135 LAMPIRAN

  xi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

  Pendidikan sejarah pada hakekatnya memberikan pemahaman secara mendalam mengenai peristiwa masa lalu dan relevansinya dengan masa kini.

  Namun, wacana mengenai sejarah bangsa Indonesia di sekolah tampaknya tak banyak diminati oleh para murid masa kini karena mereka dituntut oleh guru dan nilai untuk hanya menghafalkan nama peristiwa, tanggal, dan nama-nama pahlawan tanpa dibimbing untuk bersikap kritis terhadap peristiwa-peristiwa bersejarah itu. Murid juga hanya diberi sumber tertulis yang berpatokan dari satu sumber dan tidak diarahkan untuk membaca sumber alternatif lainnya. Salah satu kritik mengenai cara pengajaran sejarah diungkapkan oleh Niels Mulder yang mengatakan bahwa materi kelas sejarah hanya menjelaskan kronologi persitiwa dan diceritakan tanpa teori atau koherensi yang berasal dari proses perhubungan

  1 1 masing-masing periode sejarah. Hal ini bisa dikatakan sebagai pengkerdilan

Mulder, Niels. 2000. Individu, Masyarakat, dan Sejarah:Kajian Kritis Buku-Buku Sekolah di

Indonesia (Bagian 2). Yogyakarta: Kanisius, hal. 59.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  materi sejarah, yang kemudian diperkeruh oleh pemeliharaan dominasi Orde Baru yang memegang kendali cerita sejarah dan membungkam versi kebenaran

  2

  lainnya. Dengan menggunakan penjelasan di atas, penulis mengacu pada istilah yang ditawarkan Antonio Gramsci, yaitu“hegemoni” yang disejajarkan dengan

  3 istilah “kekuatan” suatu rezim tertentu.

  Posisi hegemoni di negara ini tidak saja ditunjukkan lewat kemampuan Orde Baru dalam mengontrol setiap ruang publik, tetapi juga lewat perekayasaan praktik politik dan budaya, termasuk dalam pendidikan. Perekayasaan dalam pendidikan tidak hanya melalui buku teks, tetapi dominasi juga berlangsung melalui mediumlain seperti audio visual. Sebagai contoh, di sekolah para siswa diharuskan menonton film Pengkhianatan G30S/PKI setiap tahun. Narasi film ini secara sederhana menekankan representasi bahwa PKI dan hal-hal yang berhubungan dengan komunisme adalah hal yang jahat. Dengan pemutaran film 2 yang berlangsung terus-menerus dalam pendidikan formal ini tentunya generasi

  

Widja, I. G. 2002. Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Lappera Pustaka

3 Utama, hal. vi.

  

Secara etimologis, kata hegemoni berasal dari bahasa Yunani :egemonia/egemon, yang berarti

pemimpin atau penguasa dalam konotasi yang lazimnya berhubungan dengan konteks kenegaraan. Antonio Gramsci menjadi pelopor penggunaan istilah hegemoni hingga melahirkan kajian yang beragam. Di tangan Gramsci, kata hegemoni tidak hanya berarti satu dominasi politik dalam relasi antar negara, tetapi juga merupakan dominasi politik dari suatu kelas yang berkuasa terhadap kelas yang lemah dalam relasi sosial. Terlebih, hegemoni juga bisa berarti dominasi yang lebih umum sdi bidang-bidang lainnya, seperti kebudayaan, ideologi, pendidikan, gender dan sebagainya (Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim. 1996.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  yang terlahir pada masa itu mendapatkan sosok komunis secara jelas hanya melalui film garapan Arifin. C. Noer. Film Pengkhianatan G30S/PKI menceritakan penyiksaan tujuh Jenderal yang ditayangkan setiap tanggal 30 September pada masa Orde Baru. Para pengamat film mengkategorikan film

  4

  tersebut sebagai “doku-drama” . Narasi film menekankan bahwa komunis, Gerwani, dan komunitas-komunitas di bawah naungan PKI itu jahat, termasuk di naskah maupun gambar visualnya. Gambaran penyiksaan di film tersebut juga diulang dalam buku pelajaran. Misalnya dalam buku Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) untuk Sekolah Dasar yang memasukan teks peristiwa di Lubang Buaya untuk drama di kelas.

  Ada pengkondisian yang membuat orisinalitas dari fakta sejarah menjadi disamarkan dalam pendidikan. Dari persinggungan diatas membuktikan bahwa pendidikan di satu sisi memiliki kekuasaan atas pembentukan identitas masyarakat dan negara. Namun, disisi lain pendidikan menjadi instrumen kekuasaan dari masyarakat dan negara. Seperti yang diungkapkan oleh Budi

4 Film doku-drama adalah perpaduan film dokumenter dengan film drama. Film doku-drama

  merupakan film yang menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan, yaitu untuk propaganda, untuk pendidikan, atau komersil.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  5 Irawanto dalam artikelnya yang berjudul Rezim Visual Nan Militeristik , kekuatan

  pada yang visual rupanya dipercaya oleh kalangan militer sebagai sumber untuk menyampaikan sejarah. Sejarawan-cum-militer Nugroho Notosusanto dalam buku hasil Seminar ABRI 1997, dengan jelas menyatakan:“Di dalam masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia, di mana kebiasaan membaca pun masih sedang berkembang, kiranya historio-visualisasi masih agak efektif bagi pengungkapan identitas ABRI.” Kendati terasa ada nada yang meremehkan kecerdasan rakyat kebanyakan, agaknya Nugroho mempercayai kemampuan yang visual sebagai sumber untuk menyusun sejarah. Artinya, peserta didik menjadi subjek eksploitasi suatu kekuasaan di luar pendidikan dan menjadikan mereka sebagai objek-objek dan alat dari suatu rejim yang mempunyai kekuasaan saat itu.

  Tidak mengherankan bila pemerintah dan khususnya wacana sejarah 65 mempunyai kepentingan untuk menguasai pendidikan dan melalui pendidikan inilah terjadi indoktrinasi.

  Pierre Bourdieu mengatakan dalam masyarakat terdapat apa yang disebut

5 Budi Irawanto mengulas buku Katharine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia.

  (www.budiirawanto.multiply.com), 5 Oktober 2008.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  6

doxa yang mengatur tingkah laku anggotanya . Dalam hal ini pendidikan

  berfungsi sebagai doxa yang mengatur para anggotanya (baik guru maupun murid) terhadap patuhnya wacana 65 yang satu versi, yaitu versi Orde Baru.

  Albert Satria Purnama, mahasiswa Institut Teknologi Bandung dalam esainya berjudul “Mengapa Saya Benci Kata PKI” mengatakan dirinya adalah korban kekejaman Orde Baru melalui pendidikan. Albert membenci PKI karena sewaktu pelajaran sejarah dulu diceritakan bahwa PKI adalah musuh yang berusaha menjatuhkan ideologi Pancasila, ditambah dengan terbunuhnya jenderal-jenderal militer yang semua itu diprakarsai oleh PKI. Namun, seiring dengan pertumbuhannya, Albert menemukan sendiri secara subjektif bagaimana pandangannya terhadap PKI mulai berubah dengan hadirnya wacana-wacana

  7 alternatif diluar sekolah .

  Sekalipun peserta didik adalah sekelompok individu yang seharusnya mempunyai ruang gerak bebas di dalam sejarah dan mereka harusnya mampu menentukan posisi dimana harus berada, disini sosok mereka menjadi bias karena 6 penguasaan sejarah yang sepihak. Tidak semua sekolah bisa bersikap demokratis 7 Pierre Bourdieu. 1990. Habitus and Pratices. California: Standford University Press, hal. 54.

  

Albert Satria Purnama. “Mengapa Saya benci Kata PKI?” (dalam buku Demi Masa Depan,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  untuk membahas kembali wacana 65 karena mereka hanya mengacu pada satu buku tertentu yang tidak berbeda dengan buku terbitan masa Orde Baru. Disini guru sejarah memegang peranan penting dalam konteks melawan pemalsuan sejarah dengan topik wacana 65. Guru menjadi pemantik bagi siswa agar siswa bersikap kritis terhadap topik-topik yang sensitif, bukannya malah membatasi. Guru juga semestinya mendampingi siswa untuk lebih melihat sejarah melalui kacamata humanis dan memberi ruang seluas mungkin terhadap wacana alternatif, sehingga tampak hal tersebut merupakan perbedaan antara pendidikan yang

  8

  membebaskan dengan pendidikan konvensional. Guru sejarah pun mengalami hambatan, yaitu tuntutan pendidikan yang mengarah pada ujian akhir sehingga semua daya diarahkan ke topik yang dicakup dalam ujian akhir. Pola ini tidak memungkinkan pengajaran sejarah menjadikan anak menemukan jati dirinya

  9 sebagai siswa yang aktif mencari informasi, bukannya menerima informasi saja.

  Guru sebagai subjek kepercayaan masyarakat (dan negara), mempunyai peran yang sulit saat mereka mengajar hal-hal yang bukan diyakininya karena mereka 8 tunduk pada mekanisme pengawasan dari institusi. Dalam situasi ini batas-batas

  

Paulo Freire dalam dialog dengan Ira Shor, Menjadi Guru yang Merdeka. 2001. Yogyakarta:

9 LKIS, hal. 50).

  

Basuki Sulistyo. “Bibliografi Pengajaran Sejarah”. Tulisan ini dimuat di buku Kumpulan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  antara “kepastian-sejarah” dengan “kewajaran sejarah” atau “apa-yang-terjadi” dengan “apa-yang-semestinya-terjadi” menjadi kabur.

  Wacana publik tentang penulisan ulang sejarah dimulai pada tahun 1998, sudah lebih dari tiga belas tahun yang lalu. Bagaimana dampaknya sekarang? Apakah sejarah resmi Indonesia di sekolah bebas dari penyimpangan Orde Baru? Sejak tahun 1998 pula Departemen Penerangan memutuskan tidak lagi memutar film Pengkhianatan G30S/PKI di semua saluran televisi. Namun, kebijakan tersebut tidak menyelesaikan persoalan terutama dari segi penulisan dan

  10

  pengajaran sejarah di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini didasari oleh pertanyaan besar mengenai dinamika kurikulum sejarah mengenai Tragedi Kemanusiaan 1965 dari masa Orde Baru sampai pasca Orde Baru. Penulis menemukan ada versi yang berbeda dari beberapa buku sejarah yang digunakan oleh guru sejarah dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Contohnya dalam penulisan kata ‘PKI’ di belakang G30S. Perdebatan ini mencuat saat beberapa kelompok masyarakat mencoba menghapus kata PKI. Namun, pada tahun 2009 Kejaksaan Agung mengembalikan peraturan tersebut ke UU No. 16 Tahun 2004 10 melarang buku-buku sejarah yang tidak mencantumkan kata PKI. Pada tahun

  

Asvi Warman Adam. 1999. Pengendalian Sejarah Sejak Orde Baru dalam Buku Panggung

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  2010 ELSAM, organisasi advokasi perlindungan hak asasi manusia, memenangkan persidangan mengenai perdebatan pelarangan buku tersebut. Tetapi tampaknya kemenangan itu tidak benar-benar diterapkan oleh sekolah. Masih banyak sekolah menengah atas yang menggunakan buku sejarah yang menggunakan kata PKI di belakang G30S.

  Buku sejarah yang digunakan cenderung memberi sensor dan mengangkat kisah-kisah besar secara sekilas saja, khususnya kisah yang berhubungan dengan pelanggengan kekuasaan. Contohnya dalam buku diktat sejarah dari SMA Stella Duce 2, pembahasan mengenai wacana 65 hanya satu lembar dan tidak ada deskripsi mendalam mengenai konteks peristiwa tersebut. Menurut Michael van

11 Langenberg (1996) dalam buku Bahasa dan Kekuasaan, Orde Baru bertujuan

  menyikut Orde Lama sebagai periode penuh chaos, kekacauan dan kekerasan massal, seperti dalam kutipan berikut ini.

  Jelaslah, ini berarti, Orde Baru telah mengangkangi kenangan sejarah penuh pembunuhan itu sebagai alat untuk memapankan legitimasinya. Pembunuhan itu sendiri tak dipertimbangkan dalam sejarah resmi versi Orde Baru. Pembenaran atas hal ini memang tak semata-mata sebagai tindakan balasan Orde Baru terhadap Orde Lama. Ketika “tindakan balasan” ini didengungkan, maknanya diarahkan sebagai aksi spontan rakyat terhadap gerakan komunis.

11 Tulisan ini dimuat dalam kumpulan esai berjudul Bahasa dan Kekuasaan (Politik Wacana di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  Pasca reformasi 98 kebebasan berbicara mengenai ideologi kritis menjadi agak longgar dan mendorong kelompok-kelompok masyarakat untuk bergerak menelusuri serta memeriksa kembali beragam ingatan yang menyusun sejarah nasional secara kolektif. Sebaliknya, tumbangnya Orde Baru dan munculnya zaman reformasi membuat banyak pihak diluar institusi formal semakin penasaran untuk meneliti lebih lanjut ada apa dibalik peristiwa 65 dengan dalih ingin memberikan alternatif wacana sejarah yang berbeda dengan versi mainstream. Hal ini ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang mulai ragu dengan wacana politik produksi Orde Baru.

  Banyak versi sejarah alternatif muncul di kalangan masyarakat. Harapannya adalah penyajian kurikulum sejarah akan dijadikan bebas, dalam arti sejarah tidak menjadi kepentingan sepihak lagi. Namun, wacana publik tentang sejarah alternatif tidak selamanya berdampak positif. Sekolah Menengah Atas tampaknya masih trauma dan dibayang-bayangi ideologi Orde Baru terhadap wacana 65 yang tidak sesuai dengan versi Orde Baru. Penghapusan wacana 65 masih terjadi di beberapa sekolah di Yogyakarta yang nyatanya tidak memasukkan topik tersebut kedalam kurikulum pembelajaran sejarah. Salah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  menghapus wacana tersebut karena dirasa terlalu sensitif. Seperti yang dikatakan oleh Angus Gratoon dalam penelitiannya mengenai pendidikan sejarah awal reformasi (2004):

  Sebelum gerakan Reformasi genap berumur 10 tahun, tepatnya pada awal tahun 2007, tindakan model Orde Baru dalam hal pelarangan buku itu telah menyeruak kembali ke tengah masyarakat. Pada tanggal 5 Maret tahun itu salah satu instansi pemerintah pusat mengeluarkan Surat Keputusan dengan nomor

19/A/JA/03/2007 berisi larangan terhadap 13 judul buku pelajaran sejarah, termasuk buku pelajaran untuk Kelas 1 dan Kelas 3 tingkat SLTP.

  Di tengah hiruk pikuk perdebatan inilah klaim sejarah alternatif perlu mengambil posisi. Klaim sejarah tidak akan berjalan secara regenerasi saat tidak ada yang memediasi. Disinilah peran guru menjadi penting saat mengambil sikap dalam kegiatan mengajar. Dalam acara sarasehan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah (MGMP) yang diadakan di Sanata Dharma pada November 2011, banyak guru sekolah menengah yang mengaku mengalami hambatan dalam mendapatkan versi-versi sejarah alternatif karena keterbatasan dana, kemampuan untuk mengakses dari luar sekolah, dan hal tersebut mengakibatkan tidak adanya variasi versi sejarah dan medium mengajar. Siswa tidak mempunyai minat dalam belajar sejarah karena cenderung bosan untuk menghafal. Di sini guru sejarah seakan sudah ‘nrimo’ dengan kebijakan kurikulum tanpa beranggapan bahwa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  Penulis mencoba melakukan pendekatan partisipatif terhadap guru-guru sejarah di Yogyakarta dengan menawarkan medium yang berbeda dalam memberikan pendapat tentang banyaknya versi alternatif dari wacana Tragedi Kemanusiaan 1965, yaitu medium audio visual non-fiksi.

12 Film dokumenter merupakan narasi yang berasal dari masyarakat,

  korban, maupun pelaku, dan belakangan ini semakin banyak digunakan untuk advokasi sejarah. Film dokumenter dengan tema Tragedi Kemanusiaan 1965 mulai banyak diproduksi seiring dengan runtuhnya Orde Baru. Narasi sejarah melalui film dokumenter bersifat multi dimensional dan multi naratif. Penulisan sejarah bukan hanya membutuhkan sumber-sumber tertulis, melainkan juga sumber-sumber lisan. Film dokumenter selalu berisi kesaksian langsung para korban dan sering disebut narasi sejarah lisan. Oleh karena itu, apa yang disebut sebagai sejarah lisan adalah narasi pengalaman mereka yang dulu menjadi korban, pelaku, saksi mata atau orang yang dekat dengan suatu peristiwa agar mau 12 menuturkan kisah mereka dalam bentuk dokumentasi. Dalam penelitian inipenulis

  

Film dokumenter biasa disebut film non-fiksi karena tidak direkayasa, perekayasaan dalam hal

ini adalah film tersebut dibuat sesuai dengan kejadian nyata dan ceritanya terjadi dalam kehidupan sebenarnya. (Kolker, 2002. Hal. 162) Narasi besar film dokumenter adalah kebenaran, dan dibuat melalui observasi. Dalam kasus Tragedi Kemanusiaan ’65 film dokumenter banyak dibuat melalui metode talking heads, atau wawancara dengan korban hidup atau saksi hidup karena kejadiannya bukan berlangsung sekarang. Film dokumenter tentang Tragedi Kemanusiaan ’65 kebanyakan diproduksi oleh organisasi-organisasi non-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  menggunakan film dokumenter berjudul 40 Years of Silence yang disutradarai oleh Robert Lemelson dan bercerita mengenai Tragedi Kemanusiaan 1965 di Jawa dan Bali. Film ini berisi kesaksian para keluarga korban, baik yang menyaksikan langsung ataupun yang mengalami trauma dan dampak sosial dari peristiwa itu.

  Tujuan dasar dari pembuatan film dokumenter ini adalah keadilan yang berasal dari pengakuan para korban mono-kekuasaan tragedi kemanusiaan 65. Untuk itulah filsuf Hannah Arendt mensyaratkan pengakuan bebas dari semua yang

  13 terlibat di dalam tatanan tempat kekuasaan itu berlaku.

  Dalam film 40 Years of Silence narasi yang dipaparkan para saksi sejarah terdiri dari serangkaian kata berdasarkan pengalaman mereka. Penulis memilih film 40 Years of Silence sebagai instrumen penelitian dalam pengambilan data karena film ini mampu menghadirkan testimonial dari berbagai korban peristiwa tahun 1965, atau dengan kata lain memberi sudut pandang yang berbeda dengan film yang diproduksi oleh Arifin C. Noer, Pengkhiatan G30S/PKI. Film dokumenter alternatif seperti 40 Years of Silence menggunakan elemen terkecil dalam sebuah retorika (baca: kata) yang mampu mengubah sejarah, bahkan mampu mengubah kehidupan seseorang. Versi-versi sejarah yang dipaparkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  akan mampu membangkitkan ingatan. Ingatan yang bersifat individu dalam bagian hidup kita menjadi penting saat orang lain berusaha merekonstruksikan ingatan tersebut dengan peristiwa yang sama tapi berbeda versi. Bisa saja ada versi teks atau media rekam serupa. Namun, versi sejarah yang dilihat dari sisi berlawanan sangat jarang dilakukan oleh sejarawan. Padahal jika kita berbicara sejarah secara tak langsung kita juga berbicara tentang ingatan. Ingatan yang sengaja digeser dari sejarah karena kepentingan kekuasaan merupakan conspiracy

  14

of silence yang menyebabkan tidak berimbangnya sejarah sebuah negara.

  Sebaliknya, ingatan individu menjadi ingatan sosial saat dituturkan ke wilayah publik. Dalam konteks tragedi kemanusiaan 65, rezim Orde Baru berusaha menekan peristiwa tersebut dengan menghadirkan cerita satu versi, yaitu semua yang dituturkan di masyarakat, media, sekolah adalah versi pemerintah.

  Pengalaman personal dari saksi hidup dan korban seakan dibungkam. Disinilah titik penting dari esensi dokumentasi supaya cerita itu akan terus ada dan tidak terulang.

  Film dokumenter juga merupakan metode baru dalam penyajian sejarah 14 yang bercerita tentang wawancara dengan sumber informasi. Film dokumenter

  

Conspirasy of Silence berarti budaya diam, dimana kebenaran hanya milik penguasa dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  menggunakan metode sejarah lisan yang umumnya lebih berpihak kepada para korban atau pihak-pihak yang selama ini dibungkam suaranya. Metode sejarah lisan dalam film dokumenter digunakan untuk mentransfer informasi dan membangun ingatan yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk audio visual.

  Di dalam bentuk komunikasi itu para saksi sejarah membagi informasi seputar kejadian nyata, menunjukkan emosi mereka dan saling bertanya. Manusia mempunyai kecenderungan untuk membagi pengalaman masa lalu mereka dalam bentuk dokumentasi visual maupun narasi retorik dengan tujuan untuk meregenerasi kejadian yang tidak dialami generasi berikutnya.

  Pertanyaannya adalah mengapa metode sejarah lisan dalam dokumentasi itu perlu untuk dilakukan? Menurut Baskara T. Wardaya ada tiga tujuan penting

  15

  dari sejarah lisan . Pertama, narasi sejarah Indonesia cenderung didominasi oleh narasi kekuasaan, sejarah lebih banyak ditulis atau dituturkan dengan maksud dasar untuk melayani mereka yang berkuasa. Dari situ terjadilah mono-naratif yang kental dengan kepentingan kekuasaan. Maka tidak (boleh) ada narasi 15 tandingan, sehingga kekuasaan itu bisa berlangsung lama. Kedua, mengingat Baskara. T Wardaya. 2010. Tentang Perlunya Penulisan Sejarah Alternatif. Yogyakarta.

  Disampaikan dalam acara Kursus Sejarah Kritis, diselenggarakan oleh Citralekha bekerjasama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  setiap penulisan sejarah adalah bersifat multi-dimensional, penulisan kembali atas peristiwa-peristiwa sejarah haruslah bersifat tidak mono-naratif. Untuk menanggapi situasi ini narasi yang berasal dari masyarakat perlu diberi tempat, didengarkan, bahkan didukung. Ketiga, dalam rangka mendukung narasi masyarakat yang multi-naratif itu kita perlu mendengarkan tuturan para warga masyarakat yang merupakan pelaku dan saksi sejarah. Kini diakui penulisan sejarah mengenai Tragedi Kemanusiaan 65 bukan hanya membutuhkan sumber tertulis, melainkan juga sumber-sumber lisan. Oleh karena itu, kita perlu membuka ruang bagi mereka yang dulu menjadi pelaku, saksi mata, atau orang yang dekat dengan suatu peristiwa sejarah agar menuturkan pengalaman mereka.

  Sejarah lisan bukan hanya sebagai pelengkap dokumentasi-dokumentasi sejarah tertulis yang sudah ada, namun dengan menampilkan bukti-bukti baru secara personal beserta sejumlah asumsi dan pengalaman yang sebelumnya tidak diketahui publik, sejarah lisan menjadi titik tolak supaya penulisan dan penelitian sejarah menjadi lebih demokratis. Sejarah selalu difokuskan pada peristiwa masa lampau dimana sulit bagi generasi muda untuk membuktikan sendiri kebenarannya. Kehadiran film dokumenter dimaksudkan untuk menghubungkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  jauh dibawahnya. Film dokumenter akan lebih mudah dicerna dan dipahami dibandingkan wacana teks karena media film dokumenter membuat indera pendengar dan penglihat bekerja untuk memahami apa yang sesungguhnya dialami di masa lalu. Film dokumenter menjadi wacana tandingan terhadap sejarah versi resmi yang ada pada masa Orde Baru. Menempatkan film dokumenter sejarah alternatif 65 dalam melihat pergeseran kekuasaan antara institusi pendidikan dengan guru sejarah digunakan penulis sebagai stimulan untuk memulai wawancara dengan para guru sejarah. Film dokumenter digunakan sebagai jalan masuk untuk pendekatan dan mengetahui pengalaman mengajar wacana 65 oleh guru sejarah, sehingga mereka bisa membandingkan versi resmi Orde Baru dengan versi alternatif. Salah satu titik persinggungan antara film dokumenter dengan guru sejarah adalah mengenai bagaimana para guru menempatkan dirinya setelah menonton film dimana mereka berdiri di bawah naungan institusi. Namun, disisi lain harus bersikap demokratis terhadap bentuk pengajaran. Bentuk-bentuk ambivalensi dan resistensi sikap guru sejarah terhadap wacana resmi akan menjadi hipotesa dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini penulis memberi perhatian kepada wacana alternatif dalam pelajaran sejarah di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  Kemanusiaan 1965 itu sendiri. Dari pergesekan dinamika kekuasaan inilah penulis berusaha mencari jawaban atas peran guru terhadap berbagai versi sejarah mengenai Tragedi Kemanusiaan 1965.

2. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini berusaha untuk menjawab bagaimana guru merespon sejarah wacana sejarah alternatif 65 yang disajikan dalam film dokumenter. Pertanyaan-pertanyaaan yang dianalisa adalah:

  1. Bagaimana perkembangan materi wacana Tragedi Kemanusiaan 1965 sebelum dan sesudah Reformasi 1998 di sekolah menengah atas di Yogyakarta dalam buku teks yang digunakan untuk bahan mengajar?

  2. Bagaimana respon guru sejarah terhadap perkembangan materi wacana Tragedi Kemanusiaan 65?

  3. Bagaimana respon para guru sejarah SMA di Yogyakarta terhadap reproduksi sejarah alternatif mengenai Tragedi Kemanusiaan 1965 dalam bentuk film dokumenter?

  4. Bagaimana para guru sejarah SMA di Yogyakarta dalam menegosiasikan versi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  3. Tujuan Penelitian

  1. Memahami perkembangan pelajaran sejarah terkait wacana Tragedi Kemanusiaan 65 dari masa Orde Baru sampai paska Orde Baru di sekolah- sekolah menengah atas di Yogyakarta?

  2. Menganalisa dampak dan akibat dari wacana Tragedi Kemanusiaan 1965 terhadap pelajaran sejarah Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta

  3. Mengetahui respon para guru sejarah dan opininya terhadap bentuk reproduksi wacana alternatif dalam pendidikan.

  4. Manfaat Penelitian

  1. Membantu perkembangan pengajaran sejarah ke bentuk yang lebih humanis dan demokratis.

  2. Memberi sumbangan metode pengajaran yaitu menggunakan media audio visual dalam belajar sejarah.

  3. Membuka cara pandang baru bagi para guru sejarah untuk membuka wacana Tragedi Kemanusiaan 1965 kepada siswa secara lebih kritis.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

5. Tinjauan Pustaka

  Hingga saat penelitian ini ditulis, penulis belum secara pasti menemukan gambaran praktis mengenai penelitian sejarah alternatif 65 yang diaplikasikan dalam pendidikan formal. Namun, penulis telah menemukan sebuah kajian menarik untuk dijadikan model utama penulisan, yaitu hasil laporan studi lapangan berjudul “Pelurusan Wacana: Perkembangan dalam Pendidikan Sejarah di Malang sejak awal Zaman Reformasi” karangan Angus Gratton.

  Laporan studi lapangan yang dilakukan Angus Gratton bertujuan untuk mengetahui dampak diskusi pelurusan sejarah dalam wacana umum terhadap sejarah yang ada dalam wacana resmi. Studi ini membahas perubahan yang terjadi dalam pendidikan sejarah sejak awal reformasi. Hasil temuannya adalah banyak sekali perbedaan di antara buku pelajaran pada masa Orde Baru dan pasca Orde Baru. Gratton tidak banyak membahas wacana 65 secara mendalam, tetapi memaparkan bahwa Departemen Pendidikan nasional sudah membuat beberapa perubahan untuk melaksanakan pelurusan sejarah G30S di kurikulum. Contohnya, istilah G30S/PKI sudah berubah menjadi G30S saja dan “Penumpasan G30S” sudah diganti dengan “Dampak Sosial-Politik-Ekonomi dari Peristiwa 65”.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

   

  Dalam pembacaan penulis, Gratton tidak mendeskripsikan secara praktis bagaimana peran guru sebagai agency dan bagaimana sikap sekolah sebagai institusi menanggapi demokrasi pendidikan dalam hal pelurusan sejarah wacana

  65. Penulis juga menemukan penelitian ini hanya sebatas memaparkan laporan data empiris yang ditemukan di lapangan tanpa menganalisa secara dalam dengan menggunakan teori yang memadai.

  Tinjauan Pustaka yang kedua adalah buku karya Budi Irawanto yang berjudul Film, Ideologi, dan Militer. Dalam penelitian yang akhirnya diterbitkan dalam bentuk buku ini, Budi Irawanto menggarisbawahi tema besar kekuasaan yaitu bagaimana militer di Indonesia menggunakan banyak medium untuk menanamkan ideologi militerismenya, termasuk melalui film. Era Orde Baru kekuasaan militer begitu besar dan peran mereka dibentuk oleh audio visual sebagai sosok yang heroik dan membela Negara. Melalui pengamatan tiga film yaitu Enam Jam di Jogja, Janur Kuning, dan Serangan Fajar, Budi Irawanto mencoba melihat relasi antara sipil dan militer selama perang berlangsung. Ketiga film itu mempunyai kesamaan, yaitu berlatar belakang Serangan Umum Satu Maret 1949.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI