Respon guru sejarah Sekolah Menengah Atas Yogyakarta terhadap wacana alternatif tragedi kemanusiaan 1965.

(1)

viii ABSTRAK

Sebelum Reformasi 1998, wacana tentang Tragedi Kemanusiaan 1965 yang diterima oleh masyarakat mengikuti versi yang dibuat oleh rezim Orde Baru. Dimana pada waktu itu, guru sejarah di Indonesia harus memakai sudut pandang yang ada di dalam buku sejarah yang di-kontrol oleh rezim tersebut. Sebagai tambahan, setiap tahun para murid diwajibkan untuk melihat pemutaran film Pengkhinatan G30S/PKI. Sebuah film tentang Tragedi Kemanusiaan 1965 yang disusun atau dibuat oleh rezim Orde Baru untuk menunjukkan betapa jahatnya paham komunisme. Jatuhnya rezim Orde Baru menyulut sebagian dari masyarakat untuk menyelidiki lebih lanjut tentang kebenaran cerita dari sisi lain peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965. Beberapa dari mereka membuat film dokumenter dan buku yang menyediakan sisi lain dari wacana sejarah yang telah ada. Media dan bahan diskusi baru yang bermunculan ini ‘menantang’ untuk sekolah dan guru sejarah agar lebih terbuka akan penerjemahan sejarah dari sisi lain. Namun, wacana tentang sejarah alternatif tidak selamanya mempunyai dampak, beberapa dari guru sejarah masih memakai buku sejarah yang sama ketika di jaman rezim Orde Baru, karena tampaknya mereka masih ‘dihantui’ oleh rasa ketakutan pada rezim sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa tanggapan dari guru sejarah terhadap wacana sejarah alternatif dengan topik Tragedi Kemanusiaan 1965, dengan memakai metode pemutaran film dokumenter sejarah yang mempunyai sudut pandang yang berbeda dengan versi dari rezim Orde Baru. Studi ini juga untuk melihat sampai sejauh mana guru sejarah mau untuk mempertimbangkan memakai narasi sejarah alternatif dalam metode pengajaran mereka. Penelitian ini juga membantu perkembangan dari kurikulum sejarah menuju pendidikan yang manusiawi dan demokratis. Membantu untuk mengembangkan bentuk metode pendidikan yang baru dengan menggunakan audio visual sebagai media dalam pembelajaran sejarah. Harapan dari penelitian ini juga membantu membuka perspektif baru untuk guru dan sekolah dalam memahami wacana Tragedi Kemanusiaan 1965, dan selanjutnya akan memberi harapan bagi para murid untuk lebih kritis dalam memahami sejarah dari Indonesia.


(2)

ix ABSTRACT

Before the 1998 reformation, people accepted the 1965 Tragedy discourse according to the New Order regime’s version. Accordingly, history teachers in Indonesia had to use the conventional perspective in history books that were controlled by the regime. In addition, students had to watch Pengkhianatan G30S/PKI (The Betrayal of The 30th September Movement/Indonesian Communist Party), a historical movie of the 1965 Tragedy constructed by the regime which simply emphasizes the representation that communism is evil every year.The fall of the regime in 1998 triggered people’s motivation to explore further for the truth beyond the 1965 Tragedy, aside from the conventional version. Many critical groups create documentary movies and books in order to provide an alternative discourse in history. Those new resources challenge schools and history teachers to become more open to any interpretations. However, the public discourse on alternative history has not always had an impact. Many teachers still use the same books as they used in New Order regime instead of giving the alternative version to their students, because they seems to be haunted by the trauma. By screening the documentary movie to history teachers, this research aims to analyze their responses about the documentary movie of 1965 Tragedy, the movie that is seen from the opposite perspective of the New Order regime version. Moreover, this study looks at to what extent high school history teachers are willing to consider of using alternative historical narratives in their way of teaching. This research also benefits in assisting the development of history curriculum into a more humane and democratic one. It contributes to develop a new form of teaching by using audio visual media in learning history. It in turn opens new perspectives to teachers and schools in understanding the discourse of 1965 Tragedy and later encourages students to be more critical to comprehend Indonesian history.


(3)

SEKOLAH MENENGAH ATAS YOGYAKARTA

TERHADAP WACANA ALTERNATIF TRAGEDI KEMANUSIAAN 1965

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Oleh Kartika Pratiwi NIM : 086322005

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2013


(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

  vi

Melakukan penelitian dengan topik yang sangat sensitif di Indonesia memang tidak mudah. Data yang terbatas, sulitnya birokrasi, pengalaman traumatis dari pihak-pihak yang akan diwawancarai menjadi satu dari sekian alasan kenapa penulis menempuh waktu yang tidak sebentar saat menyelesaikan tesis yang berjudul Respon Guru Sejarah Sekolah Menengah Atas Yogyakarta Terhadap Wacana Alternatif Tragedi Kemanusiaan 1965. Oleh karena itu, puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatnya sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis ini dalam waktu setengah dekade.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis dibimbing oleh Prof. Dr. Supratiknya dan Romo Budi Subanar, SJ. yang tidak pernah bosan merelakan waktunya dan menjadi pengingat supaya tesis ini harus selesai bagaimanapun keadaannya. Kepada Romo Baskara T. Wardaya, yang telah luar biasa membantu dalam hal pengetahuan dan bentuk non-materiil lainnya, juga demi penulis bisa yakin bahwa tesis ini memang harus sampai pada titik kesimpulan. Kepada seluruh dosen Ilmu Religi dan Budaya yang sudah membagikan ilmu kepada penulis dari tahun 2008. Tidak ada rasa penyesalan sedikitpun saat penulis akhirnya memutuskan untuk menempuh pendidikan di sini meskipun pada awalnya hampir memilih jurusan tetangga sebelah.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tuanya, kepada Goya Tamara Kolondam dan keluarga besar atas dukungan dalam hal materiil dan non-materiil saat menempuh program magister ini. Terima kasih bahwa mereka sangat mengerti bahwa proses panjang ini bukan semata-mata karena kuantitas, tetapi harus diselesaikan dengan pertimbangan kualitas. Sangat disadari bahwa perjalanan ini belum selesai, oleh karena itu penulis berharap bisa selalu menjadi kebanggaan mereka sampai kapanpun.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan observasi dan wawancara dengan guru-guru sejarah di Yogyakarta. Maka, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak guru dan sekolah yang bersedia diwawancarai dan meluangkan waktunya meskipun terkadang menyita jadwal mengajarnya. Juga kepada Diyah Larasati, terima kasih atas pencerahan di


(9)

sela-  vii setelah bertahun-tahun dibiarkan.

Sangat beruntung sekali penulis mempunyai banyak teman yang sangat membantu dalam proses penyelesaian tesis ini. Terima kasih kepada Airani Sasanti, Diah Ari Tapaningtyas, Doni Maulistya, Vella Siahaya, Resa Pattiwael, Ari Nugroho, Heidy Patricia, Gery Pandeiroot, Bang Ucok, Octo Cornelius, Eli Firziana. Mereka dengan ikhlas membantu mengetik, membuat transkrip, mengedit data, diskusi, memberi saran dan kritik, semangat dan hiburan di sela-sela keputus-asaan juga beberapa hal lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu karena terlalu banyak. Penulis beruntung mempunyai teman-teman yang sangat baik seperti mereka meskipun hanya bisa “dibayar” dengan makanan seadanya.

Tesis ini penulis persembahkan untuk kotakhitam forum, sebuah lembaga independen sejarah politik. Dari merekalah, penulis belajar jangan pernah takut untuk mengungkapkan kebenaran meskipun tidak ada dukungan materiil sedikitpun, Terima kasih A. Dananjaya, Viodeogo, Kiky Salata, Aquido dan Dimas. “Perjalanan kita tidak boleh berhenti.”

Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih sekali lagi kepada pihak-pihak yang membantu secara langsung dan tidak langsung selama melakukan penelitian ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari tesis ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Yogyakarta, September 2013


(10)

viii

ABSTRAK

Sebelum Reformasi 1998, wacana tentang Tragedi Kemanusiaan 1965 yang diterima oleh masyarakat mengikuti versi yang dibuat oleh rezim Orde Baru. Dimana pada waktu itu, guru sejarah di Indonesia harus memakai sudut pandang yang ada di dalam buku sejarah yang di-kontrol oleh rezim tersebut. Sebagai tambahan, setiap tahun para murid diwajibkan untuk melihat pemutaran film Pengkhinatan G30S/PKI. Sebuah film tentang Tragedi Kemanusiaan 1965 yang disusun atau dibuat oleh rezim Orde Baru untuk menunjukkan betapa jahatnya paham komunisme. Jatuhnya rezim Orde Baru menyulut sebagian dari masyarakat untuk menyelidiki lebih lanjut tentang kebenaran cerita dari sisi lain peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965. Beberapa dari mereka membuat film dokumenter dan buku yang menyediakan sisi lain dari wacana sejarah yang telah ada. Media dan bahan diskusi baru yang bermunculan ini ‘menantang’ untuk sekolah dan guru sejarah agar lebih terbuka akan penerjemahan sejarah dari sisi lain. Namun, wacana tentang sejarah alternatif tidak selamanya mempunyai dampak, beberapa dari guru sejarah masih memakai buku sejarah yang sama ketika di jaman rezim Orde Baru, karena tampaknya mereka masih ‘dihantui’ oleh rasa ketakutan pada rezim sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa tanggapan dari guru sejarah terhadap wacana sejarah alternatif dengan topik Tragedi Kemanusiaan 1965, dengan memakai metode pemutaran film dokumenter sejarah yang mempunyai sudut pandang yang berbeda dengan versi dari rezim Orde Baru. Studi ini juga untuk melihat sampai sejauh mana guru sejarah mau untuk mempertimbangkan memakai narasi sejarah alternatif dalam metode pengajaran mereka. Penelitian ini juga membantu perkembangan dari kurikulum sejarah menuju pendidikan yang manusiawi dan demokratis. Membantu untuk mengembangkan bentuk metode pendidikan yang baru dengan menggunakan audio visual sebagai media dalam pembelajaran sejarah. Harapan dari penelitian ini juga membantu membuka perspektif baru untuk guru dan sekolah dalam memahami wacana Tragedi Kemanusiaan 1965, dan selanjutnya akan memberi harapan bagi para murid untuk lebih kritis dalam memahami sejarah dari Indonesia.


(11)

ix

ABSTRACT

Before the 1998 reformation, people accepted the 1965 Tragedy discourse according to the New Order regime’s version. Accordingly, history teachers in Indonesia had to use the conventional perspective in history books that were controlled by the regime. In addition, students had to watch Pengkhianatan G30S/PKI (The Betrayal of The 30th September Movement/Indonesian Communist Party), a historical movie of the 1965 Tragedy constructed by the regime which simply emphasizes the representation that communism is evil every year.The fall of the regime in 1998 triggered people’s motivation to explore further for the truth beyond the 1965 Tragedy, aside from the conventional version. Many critical groups create documentary movies and books in order to provide an alternative discourse in history. Those new resources challenge schools and history teachers to become more open to any interpretations. However, the public discourse on alternative history has not always had an impact. Many teachers still use the same books as they used in New Order regime instead of giving the alternative version to their students, because they seems to be haunted by the trauma. By screening the documentary movie to history teachers, this research aims to analyze their responses about the documentary movie of 1965 Tragedy, the movie that is seen from the opposite perspective of the New Order regime version. Moreover, this study looks at to what extent high school history teachers are willing to consider of using alternative historical narratives in their way of teaching. This research also benefits in assisting the development of history curriculum into a more humane and democratic one. It contributes to develop a new form of teaching by using audio visual media in learning history. It in turn opens new perspectives to teachers and schools in understanding the discourse of 1965 Tragedy and later encourages students to be more critical to comprehend Indonesian history.


(12)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI... iii

PERNYATAAN KEASLIAN... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... v

KATA PENGANTAR... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

DAFTAR ISI... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

1. Latar Belakang... 1

2. Rumusan Masalah... 17

3. Tujuan Penelitian... 18

4. Manfaat Penelitian... 18

5. Tinjauan Pustaka... 19

6. Landasan Teori ... 21

6.1Pendidikan Kritis ... 22

6.2Kekuasaan dalam Pendidikan... 25

6.3Pengajaran Sejarah Kritis di Sekolah Menengah Atas ... 32

7. Metode Penelitian ... 37

8. Sumber Data ... 38

9. Teknik Pengumpulan Data ... 39

10.Sistematika Penulisan ... 40

BAB II(RE)PRODUKSI PENENTUAN POSISI SUBJEK SEBAGAI PAHLAWAN ATAU KORBAN ... 42

2.1Pendidikan Sejarah dari Masa ke Masa... 42

2.1.1 Paradigmatik Pelajaran Sejarah... 46

2.1.2 Sejarah Versi (Orde) Baru ... 48

2.2 Pendidikan Sejarah sebagai Alat Kekuasaan... 53

2.2.1 Hegemoni dan Alienasi dalam Pendidikan Sejarah ... 55

2.2.2 Pengetahuan dan Kekuasaan ... 59

BAB III PENDIDIKAN KRITIS (A)HISTORIS... 67

3.1Tragedi Kemanusiaan 1965 dalam Buku Pelajaran Sejarah Orde Baru ... 70


(13)

xi

3.4.1 Ambivalensi dan Sikap “Hanya Sekedar Tahu”... 98

BAB IV REAKSI TERHADAP MULTI-NARASI PELAJARAN SEJARAH... 103

4.1Tumbangnya Orde Baru ... 103

4.2Sejarah Lisan dan Subjektifitas Masa Lalu ... 107

4.3Menjadi Guru yang (Mem)Bebas(kan)... 112

4.3.1 Mengajar yang Alternatif... 113

4.3.2 Film Dokumenter sebagai Media Populer Pengajaran Sejarah ... 117

4.4 Usaha Penyadaran Kritis Publik melalui Sejarah Alternatif ... 120

BAB V NEGOSIASI DAN RESISTENSI GURU SEJARAH... 122

5.1 Resistensi untuk Keluar “Batas” ... 122

5.2 Negosiasi dengan Institusi... 129

BAB VI KESIMPULAN... 132

DAFTAR PUSTAKA... 135


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pendidikan sejarah pada hakekatnya memberikan pemahaman secara

mendalam mengenai peristiwa masa lalu dan relevansinya dengan masa kini.

Namun, wacana mengenai sejarah bangsa Indonesia di sekolah tampaknya tak

banyak diminati oleh para murid masa kini karena mereka dituntut oleh guru dan

nilai untuk hanya menghafalkan nama peristiwa, tanggal, dan nama-nama

pahlawan tanpa dibimbing untuk bersikap kritis terhadap peristiwa-peristiwa

bersejarah itu. Murid juga hanya diberi sumber tertulis yang berpatokan dari satu

sumber dan tidak diarahkan untuk membaca sumber alternatif lainnya. Salah satu

kritik mengenai cara pengajaran sejarah diungkapkan oleh Niels Mulder yang

mengatakan bahwa materi kelas sejarah hanya menjelaskan kronologi persitiwa

dan diceritakan tanpa teori atau koherensi yang berasal dari proses perhubungan

masing-masing periode sejarah.1 Hal ini bisa dikatakan sebagai pengkerdilan

1 Mulder, Niels. 2000. Individu, Masyarakat, dan Sejarah:Kajian Kritis Buku-Buku Sekolah di


(15)

materi sejarah, yang kemudian diperkeruh oleh pemeliharaan dominasi Orde Baru

yang memegang kendali cerita sejarah dan membungkam versi kebenaran

lainnya.2 Dengan menggunakan penjelasan di atas, penulis mengacu pada istilah

yang ditawarkan Antonio Gramsci, yaitu“hegemoni” yang disejajarkan dengan

istilah “kekuatan” suatu rezim tertentu.3

Posisi hegemoni di negara ini tidak saja ditunjukkan lewat kemampuan

Orde Baru dalam mengontrol setiap ruang publik, tetapi juga lewat perekayasaan

praktik politik dan budaya, termasuk dalam pendidikan. Perekayasaan dalam

pendidikan tidak hanya melalui buku teks, tetapi dominasi juga berlangsung

melalui mediumlain seperti audio visual. Sebagai contoh, di sekolah para siswa

diharuskan menonton film Pengkhianatan G30S/PKI setiap tahun. Narasi film ini

secara sederhana menekankan representasi bahwa PKI dan hal-hal yang

berhubungan dengan komunisme adalah hal yang jahat. Dengan pemutaran film

yang berlangsung terus-menerus dalam pendidikan formal ini tentunya generasi

2

Widja, I. G. 2002. Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama, hal. vi.

3

Secara etimologis, kata hegemoni berasal dari bahasa Yunani :egemonia/egemon, yang berarti pemimpin atau penguasa dalam konotasi yang lazimnya berhubungan dengan konteks kenegaraan. Antonio Gramsci menjadi pelopor penggunaan istilah hegemoni hingga melahirkan kajian yang beragam. Di tangan Gramsci, kata hegemoni tidak hanya berarti satu dominasi politik dalam relasi antar negara, tetapi juga merupakan dominasi politik dari suatu kelas yang berkuasa terhadap kelas yang lemah dalam relasi sosial. Terlebih, hegemoni juga bisa berarti dominasi yang lebih umum sdi bidang-bidang lainnya, seperti kebudayaan, ideologi, pendidikan, gender dan sebagainya (Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim. 1996.


(16)

yang terlahir pada masa itu mendapatkan sosok komunis secara jelas hanya

melalui film garapan Arifin. C. Noer. Film Pengkhianatan G30S/PKI

menceritakan penyiksaan tujuh Jenderal yang ditayangkan setiap tanggal 30

September pada masa Orde Baru. Para pengamat film mengkategorikan film

tersebut sebagai “doku-drama”4. Narasi film menekankan bahwa komunis,

Gerwani, dan komunitas-komunitas di bawah naungan PKI itu jahat, termasuk di

naskah maupun gambar visualnya. Gambaran penyiksaan di film tersebut juga

diulang dalam buku pelajaran. Misalnya dalam buku Pelajaran Sejarah Perjuangan

Bangsa (PSPB) untuk Sekolah Dasar yang memasukan teks peristiwa di Lubang

Buaya untuk drama di kelas.

Ada pengkondisian yang membuat orisinalitas dari fakta sejarah menjadi

disamarkan dalam pendidikan. Dari persinggungan diatas membuktikan bahwa

pendidikan di satu sisi memiliki kekuasaan atas pembentukan identitas

masyarakat dan negara. Namun, disisi lain pendidikan menjadi instrumen

kekuasaan dari masyarakat dan negara. Seperti yang diungkapkan oleh Budi

4

Film doku-drama adalah perpaduan film dokumenter dengan film drama. Film doku-drama merupakan film yang menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan, yaitu untuk propaganda, untuk pendidikan, atau komersil.


(17)

Irawanto dalam artikelnya yang berjudul Rezim Visual Nan Militeristik5, kekuatan

pada yang visual rupanya dipercaya oleh kalangan militer sebagai sumber untuk

menyampaikan sejarah. Sejarawan-cum-militer Nugroho Notosusanto dalam buku

hasil Seminar ABRI 1997, dengan jelas menyatakan:“Di dalam masyarakat yang

sedang berkembang seperti Indonesia, di mana kebiasaan membaca pun masih

sedang berkembang, kiranya historio-visualisasi masih agak efektif bagi

pengungkapan identitas ABRI.” Kendati terasa ada nada yang meremehkan

kecerdasan rakyat kebanyakan, agaknya Nugroho mempercayai kemampuan yang

visual sebagai sumber untuk menyusun sejarah. Artinya, peserta didik menjadi

subjek eksploitasi suatu kekuasaan di luar pendidikan dan menjadikan mereka

sebagai objek-objek dan alat dari suatu rejim yang mempunyai kekuasaan saat itu.

Tidak mengherankan bila pemerintah dan khususnya wacana sejarah 65

mempunyai kepentingan untuk menguasai pendidikan dan melalui pendidikan

inilah terjadi indoktrinasi.

Pierre Bourdieu mengatakan dalam masyarakat terdapat apa yang disebut

5

Budi Irawanto mengulas buku Katharine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam:

Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia.


(18)

doxa yang mengatur tingkah laku anggotanya6. Dalam hal ini pendidikan

berfungsi sebagai doxa yang mengatur para anggotanya (baik guru maupun

murid) terhadap patuhnya wacana 65 yang satu versi, yaitu versi Orde Baru.

Albert Satria Purnama, mahasiswa Institut Teknologi Bandung dalam esainya

berjudul “Mengapa Saya Benci Kata PKI” mengatakan dirinya adalah korban

kekejaman Orde Baru melalui pendidikan. Albert membenci PKI karena sewaktu

pelajaran sejarah dulu diceritakan bahwa PKI adalah musuh yang berusaha

menjatuhkan ideologi Pancasila, ditambah dengan terbunuhnya jenderal-jenderal

militer yang semua itu diprakarsai oleh PKI. Namun, seiring dengan

pertumbuhannya, Albert menemukan sendiri secara subjektif bagaimana

pandangannya terhadap PKI mulai berubah dengan hadirnya wacana-wacana

alternatif diluar sekolah7.

Sekalipun peserta didik adalah sekelompok individu yang seharusnya

mempunyai ruang gerak bebas di dalam sejarah dan mereka harusnya mampu

menentukan posisi dimana harus berada, disini sosok mereka menjadi bias karena

penguasaan sejarah yang sepihak. Tidak semua sekolah bisa bersikap demokratis

6

Pierre Bourdieu. 1990. Habitus and Pratices. California: Standford University Press, hal. 54. 7

Albert Satria Purnama. “Mengapa Saya benci Kata PKI?” (dalam buku Demi Masa Depan, Kumpulan Esai Anak Muda Indonesia tentang Tragedi Kemanusiaan 1965-1969. 2011).


(19)

untuk membahas kembali wacana 65 karena mereka hanya mengacu pada satu

buku tertentu yang tidak berbeda dengan buku terbitan masa Orde Baru. Disini

guru sejarah memegang peranan penting dalam konteks melawan pemalsuan

sejarah dengan topik wacana 65. Guru menjadi pemantik bagi siswa agar siswa

bersikap kritis terhadap topik-topik yang sensitif, bukannya malah membatasi.

Guru juga semestinya mendampingi siswa untuk lebih melihat sejarah melalui

kacamata humanis dan memberi ruang seluas mungkin terhadap wacana alternatif,

sehingga tampak hal tersebut merupakan perbedaan antara pendidikan yang

membebaskan dengan pendidikan konvensional.8 Guru sejarah pun mengalami

hambatan, yaitu tuntutan pendidikan yang mengarah pada ujian akhir sehingga

semua daya diarahkan ke topik yang dicakup dalam ujian akhir. Pola ini tidak

memungkinkan pengajaran sejarah menjadikan anak menemukan jati dirinya

sebagai siswa yang aktif mencari informasi, bukannya menerima informasi saja.9

Guru sebagai subjek kepercayaan masyarakat (dan negara), mempunyai peran

yang sulit saat mereka mengajar hal-hal yang bukan diyakininya karena mereka

tunduk pada mekanisme pengawasan dari institusi. Dalam situasi ini batas-batas

8

Paulo Freire dalam dialog dengan Ira Shor, Menjadi Guru yang Merdeka. 2001. Yogyakarta: LKIS, hal. 50).

9

Basuki Sulistyo. “Bibliografi Pengajaran Sejarah”. Tulisan ini dimuat di buku Kumpulan Makalah Simposium Pengajaran Sejarah. 1995. Jakarta: CV Dwi Karya.


(20)

antara “kepastian-sejarah” dengan “kewajaran sejarah” atau “apa-yang-terjadi”

dengan “apa-yang-semestinya-terjadi” menjadi kabur.

Wacana publik tentang penulisan ulang sejarah dimulai pada tahun 1998,

sudah lebih dari tiga belas tahun yang lalu. Bagaimana dampaknya sekarang?

Apakah sejarah resmi Indonesia di sekolah bebas dari penyimpangan Orde Baru?

Sejak tahun 1998 pula Departemen Penerangan memutuskan tidak lagi memutar

film Pengkhianatan G30S/PKI di semua saluran televisi. Namun, kebijakan

tersebut tidak menyelesaikan persoalan terutama dari segi penulisan dan

pengajaran sejarah di Indonesia.10 Oleh karena itu, penelitian ini didasari oleh

pertanyaan besar mengenai dinamika kurikulum sejarah mengenai Tragedi

Kemanusiaan 1965 dari masa Orde Baru sampai pasca Orde Baru. Penulis

menemukan ada versi yang berbeda dari beberapa buku sejarah yang digunakan

oleh guru sejarah dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Contohnya dalam

penulisan kata ‘PKI’ di belakang G30S. Perdebatan ini mencuat saat beberapa

kelompok masyarakat mencoba menghapus kata PKI. Namun, pada tahun 2009

Kejaksaan Agung mengembalikan peraturan tersebut ke UU No. 16 Tahun 2004

melarang buku-buku sejarah yang tidak mencantumkan kata PKI. Pada tahun

10

Asvi Warman Adam. 1999. Pengendalian Sejarah Sejak Orde Baru dalam Buku Panggung Sejarah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 573.


(21)

2010 ELSAM, organisasi advokasi perlindungan hak asasi manusia,

memenangkan persidangan mengenai perdebatan pelarangan buku tersebut. Tetapi

tampaknya kemenangan itu tidak benar-benar diterapkan oleh sekolah. Masih

banyak sekolah menengah atas yang menggunakan buku sejarah yang

menggunakan kata PKI di belakang G30S.

Buku sejarah yang digunakan cenderung memberi sensor dan mengangkat

kisah-kisah besar secara sekilas saja, khususnya kisah yang berhubungan dengan

pelanggengan kekuasaan. Contohnya dalam buku diktat sejarah dari SMA Stella

Duce 2, pembahasan mengenai wacana 65 hanya satu lembar dan tidak ada

deskripsi mendalam mengenai konteks peristiwa tersebut. Menurut Michael van

Langenberg (1996)11 dalam buku Bahasa dan Kekuasaan, Orde Baru bertujuan

menyikut Orde Lama sebagai periode penuh chaos, kekacauan dan kekerasan

massal, seperti dalam kutipan berikut ini.

Jelaslah, ini berarti, Orde Baru telah mengangkangi kenangan sejarah penuh pembunuhan itu sebagai alat untuk memapankan legitimasinya. Pembunuhan itu sendiri tak dipertimbangkan dalam sejarah resmi versi Orde Baru. Pembenaran atas hal ini memang tak semata-mata sebagai tindakan balasan Orde Baru terhadap Orde Lama. Ketika “tindakan balasan” ini didengungkan, maknanya diarahkan sebagai aksi spontan rakyat terhadap gerakan komunis.

11

Tulisan ini dimuat dalam kumpulan esai berjudul Bahasa dan Kekuasaan (Politik Wacana di Panggung Orde Baru). 1996. Bandung: Mizan Pustaka.


(22)

Pasca reformasi 98 kebebasan berbicara mengenai ideologi kritis menjadi

agak longgar dan mendorong kelompok-kelompok masyarakat untuk bergerak

menelusuri serta memeriksa kembali beragam ingatan yang menyusun sejarah

nasional secara kolektif. Sebaliknya, tumbangnya Orde Baru dan munculnya

zaman reformasi membuat banyak pihak diluar institusi formal semakin penasaran

untuk meneliti lebih lanjut ada apa dibalik peristiwa 65 dengan dalih ingin

memberikan alternatif wacana sejarah yang berbeda dengan versi mainstream. Hal

ini ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang mulai ragu

dengan wacana politik produksi Orde Baru.

Banyak versi sejarah alternatif muncul di kalangan masyarakat.

Harapannya adalah penyajian kurikulum sejarah akan dijadikan bebas, dalam arti

sejarah tidak menjadi kepentingan sepihak lagi. Namun, wacana publik tentang

sejarah alternatif tidak selamanya berdampak positif. Sekolah Menengah Atas

tampaknya masih trauma dan dibayang-bayangi ideologi Orde Baru terhadap

wacana 65 yang tidak sesuai dengan versi Orde Baru. Penghapusan wacana 65

masih terjadi di beberapa sekolah di Yogyakarta yang nyatanya tidak

memasukkan topik tersebut kedalam kurikulum pembelajaran sejarah. Salah


(23)

menghapus wacana tersebut karena dirasa terlalu sensitif. Seperti yang dikatakan

oleh Angus Gratoon dalam penelitiannya mengenai pendidikan sejarah awal

reformasi (2004):

Sebelum gerakan Reformasi genap berumur 10 tahun, tepatnya pada awal tahun 2007, tindakan model Orde Baru dalam hal pelarangan buku itu telah menyeruak kembali ke tengah masyarakat. Pada tanggal 5 Maret tahun itu salah satu instansi pemerintah pusat mengeluarkan Surat Keputusan dengan nomor 19/A/JA/03/2007 berisi larangan terhadap 13 judul buku pelajaran sejarah, termasuk buku pelajaran untuk Kelas 1 dan Kelas 3 tingkat SLTP.

Di tengah hiruk pikuk perdebatan inilah klaim sejarah alternatif perlu

mengambil posisi. Klaim sejarah tidak akan berjalan secara regenerasi saat tidak

ada yang memediasi. Disinilah peran guru menjadi penting saat mengambil sikap

dalam kegiatan mengajar. Dalam acara sarasehan Musyawarah Guru Mata

Pelajaran Sejarah (MGMP) yang diadakan di Sanata Dharma pada November

2011, banyak guru sekolah menengah yang mengaku mengalami hambatan dalam

mendapatkan versi-versi sejarah alternatif karena keterbatasan dana, kemampuan

untuk mengakses dari luar sekolah, dan hal tersebut mengakibatkan tidak adanya

variasi versi sejarah dan medium mengajar. Siswa tidak mempunyai minat dalam

belajar sejarah karena cenderung bosan untuk menghafal. Di sini guru sejarah

seakan sudah ‘nrimo’ dengan kebijakan kurikulum tanpa beranggapan bahwa


(24)

Penulis mencoba melakukan pendekatan partisipatif terhadap guru-guru sejarah di

Yogyakarta dengan menawarkan medium yang berbeda dalam memberikan

pendapat tentang banyaknya versi alternatif dari wacana Tragedi Kemanusiaan

1965, yaitu medium audio visual non-fiksi.

Film dokumenter12merupakan narasi yang berasal dari masyarakat,

korban, maupun pelaku, dan belakangan ini semakin banyak digunakan untuk

advokasi sejarah. Film dokumenter dengan tema Tragedi Kemanusiaan 1965

mulai banyak diproduksi seiring dengan runtuhnya Orde Baru. Narasi sejarah

melalui film dokumenter bersifat multi dimensional dan multi naratif. Penulisan

sejarah bukan hanya membutuhkan sumber-sumber tertulis, melainkan juga

sumber-sumber lisan. Film dokumenter selalu berisi kesaksian langsung para

korban dan sering disebut narasi sejarah lisan. Oleh karena itu, apa yang disebut

sebagai sejarah lisan adalah narasi pengalaman mereka yang dulu menjadi korban,

pelaku, saksi mata atau orang yang dekat dengan suatu peristiwa agar mau

menuturkan kisah mereka dalam bentuk dokumentasi. Dalam penelitian inipenulis

12

Film dokumenter biasa disebut film non-fiksi karena tidak direkayasa, perekayasaan dalam hal ini adalah film tersebut dibuat sesuai dengan kejadian nyata dan ceritanya terjadi dalam kehidupan sebenarnya. (Kolker, 2002. Hal. 162) Narasi besar film dokumenter adalah kebenaran, dan dibuat melalui observasi. Dalam kasus Tragedi Kemanusiaan ’65 film dokumenter banyak dibuat melalui metode talking heads, atau wawancara dengan korban hidup atau saksi hidup karena kejadiannya bukan berlangsung sekarang. Film dokumenter tentang Tragedi Kemanusiaan ’65 kebanyakan diproduksi oleh organisasi-organisasi non-pemerintahan dengan tujuan memberi alternatif lain terhadap film Pengkhianatan G30S/PKI.


(25)

menggunakan film dokumenter berjudul 40 Years of Silence yang disutradarai

oleh Robert Lemelson dan bercerita mengenai Tragedi Kemanusiaan 1965 di Jawa

dan Bali. Film ini berisi kesaksian para keluarga korban, baik yang menyaksikan

langsung ataupun yang mengalami trauma dan dampak sosial dari peristiwa itu.

Tujuan dasar dari pembuatan film dokumenter ini adalah keadilan yang berasal

dari pengakuan para korban mono-kekuasaan tragedi kemanusiaan 65. Untuk

itulah filsuf Hannah Arendt mensyaratkan pengakuan bebas dari semua yang

terlibat di dalam tatanan tempat kekuasaan itu berlaku.13

Dalam film 40 Years of Silence narasi yang dipaparkan para saksi sejarah

terdiri dari serangkaian kata berdasarkan pengalaman mereka. Penulis memilih

film 40 Years of Silence sebagai instrumen penelitian dalam pengambilan data

karena film ini mampu menghadirkan testimonial dari berbagai korban peristiwa

tahun 1965, atau dengan kata lain memberi sudut pandang yang berbeda dengan

film yang diproduksi oleh Arifin C. Noer, Pengkhiatan G30S/PKI. Film

dokumenter alternatif seperti 40 Years of Silence menggunakan elemen terkecil

dalam sebuah retorika (baca: kata) yang mampu mengubah sejarah, bahkan

mampu mengubah kehidupan seseorang. Versi-versi sejarah yang dipaparkan

13


(26)

akan mampu membangkitkan ingatan. Ingatan yang bersifat individu dalam

bagian hidup kita menjadi penting saat orang lain berusaha merekonstruksikan

ingatan tersebut dengan peristiwa yang sama tapi berbeda versi. Bisa saja ada

versi teks atau media rekam serupa. Namun, versi sejarah yang dilihat dari sisi

berlawanan sangat jarang dilakukan oleh sejarawan. Padahal jika kita berbicara

sejarah secara tak langsung kita juga berbicara tentang ingatan. Ingatan yang

sengaja digeser dari sejarah karena kepentingan kekuasaan merupakan conspiracy

of silence14 yang menyebabkan tidak berimbangnya sejarah sebuah negara.

Sebaliknya, ingatan individu menjadi ingatan sosial saat dituturkan ke wilayah

publik. Dalam konteks tragedi kemanusiaan 65, rezim Orde Baru berusaha

menekan peristiwa tersebut dengan menghadirkan cerita satu versi, yaitu semua

yang dituturkan di masyarakat, media, sekolah adalah versi pemerintah.

Pengalaman personal dari saksi hidup dan korban seakan dibungkam. Disinilah

titik penting dari esensi dokumentasi supaya cerita itu akan terus ada dan tidak

terulang.

Film dokumenter juga merupakan metode baru dalam penyajian sejarah

yang bercerita tentang wawancara dengan sumber informasi. Film dokumenter

14

Conspirasy of Silence berarti budaya diam, dimana kebenaran hanya milik penguasa dan masyarakat harus mengakui kebenaran dalam satu versi tersebut.


(27)

menggunakan metode sejarah lisan yang umumnya lebih berpihak kepada para

korban atau pihak-pihak yang selama ini dibungkam suaranya. Metode sejarah

lisan dalam film dokumenter digunakan untuk mentransfer informasi dan

membangun ingatan yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk audio visual.

Di dalam bentuk komunikasi itu para saksi sejarah membagi informasi seputar

kejadian nyata, menunjukkan emosi mereka dan saling bertanya. Manusia

mempunyai kecenderungan untuk membagi pengalaman masa lalu mereka dalam

bentuk dokumentasi visual maupun narasi retorik dengan tujuan untuk

meregenerasi kejadian yang tidak dialami generasi berikutnya.

Pertanyaannya adalah mengapa metode sejarah lisan dalam dokumentasi

itu perlu untuk dilakukan? Menurut Baskara T. Wardaya ada tiga tujuan penting

dari sejarah lisan15. Pertama, narasi sejarah Indonesia cenderung didominasi oleh

narasi kekuasaan, sejarah lebih banyak ditulis atau dituturkan dengan maksud

dasar untuk melayani mereka yang berkuasa. Dari situ terjadilah mono-naratif

yang kental dengan kepentingan kekuasaan. Maka tidak (boleh) ada narasi

tandingan, sehingga kekuasaan itu bisa berlangsung lama. Kedua, mengingat

15

Baskara. T Wardaya. 2010. Tentang Perlunya Penulisan Sejarah Alternatif. Yogyakarta. Disampaikan dalam acara Kursus Sejarah Kritis, diselenggarakan oleh Citralekha bekerjasama dengan Multiculture Campus Realino, Yogyakarta, 29 Oktober 2010.


(28)

setiap penulisan sejarah adalah bersifat multi-dimensional, penulisan kembali atas

peristiwa-peristiwa sejarah haruslah bersifat tidak mono-naratif. Untuk

menanggapi situasi ini narasi yang berasal dari masyarakat perlu diberi tempat,

didengarkan, bahkan didukung. Ketiga, dalam rangka mendukung narasi

masyarakat yang multi-naratif itu kita perlu mendengarkan tuturan para warga

masyarakat yang merupakan pelaku dan saksi sejarah. Kini diakui penulisan

sejarah mengenai Tragedi Kemanusiaan 65 bukan hanya membutuhkan sumber

tertulis, melainkan juga sumber-sumber lisan. Oleh karena itu, kita perlu

membuka ruang bagi mereka yang dulu menjadi pelaku, saksi mata, atau orang

yang dekat dengan suatu peristiwa sejarah agar menuturkan pengalaman mereka.

Sejarah lisan bukan hanya sebagai pelengkap dokumentasi-dokumentasi

sejarah tertulis yang sudah ada, namun dengan menampilkan bukti-bukti baru

secara personal beserta sejumlah asumsi dan pengalaman yang sebelumnya tidak

diketahui publik, sejarah lisan menjadi titik tolak supaya penulisan dan penelitian

sejarah menjadi lebih demokratis. Sejarah selalu difokuskan pada peristiwa masa

lampau dimana sulit bagi generasi muda untuk membuktikan sendiri

kebenarannya. Kehadiran film dokumenter dimaksudkan untuk menghubungkan


(29)

jauh dibawahnya. Film dokumenter akan lebih mudah dicerna dan dipahami

dibandingkan wacana teks karena media film dokumenter membuat indera

pendengar dan penglihat bekerja untuk memahami apa yang sesungguhnya

dialami di masa lalu. Film dokumenter menjadi wacana tandingan terhadap

sejarah versi resmi yang ada pada masa Orde Baru. Menempatkan film

dokumenter sejarah alternatif 65 dalam melihat pergeseran kekuasaan antara

institusi pendidikan dengan guru sejarah digunakan penulis sebagai stimulan

untuk memulai wawancara dengan para guru sejarah. Film dokumenter digunakan

sebagai jalan masuk untuk pendekatan dan mengetahui pengalaman mengajar

wacana 65 oleh guru sejarah, sehingga mereka bisa membandingkan versi resmi

Orde Baru dengan versi alternatif. Salah satu titik persinggungan antara film

dokumenter dengan guru sejarah adalah mengenai bagaimana para guru

menempatkan dirinya setelah menonton film dimana mereka berdiri di bawah

naungan institusi. Namun, disisi lain harus bersikap demokratis terhadap bentuk

pengajaran. Bentuk-bentuk ambivalensi dan resistensi sikap guru sejarah terhadap

wacana resmi akan menjadi hipotesa dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini

penulis memberi perhatian kepada wacana alternatif dalam pelajaran sejarah di


(30)

Kemanusiaan 1965 itu sendiri. Dari pergesekan dinamika kekuasaan inilah

penulis berusaha mencari jawaban atas peran guru terhadap berbagai versi sejarah

mengenai Tragedi Kemanusiaan 1965.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini berusaha untuk

menjawab bagaimana guru merespon sejarah wacana sejarah alternatif 65 yang

disajikan dalam film dokumenter. Pertanyaan-pertanyaaan yang dianalisa adalah:

1. Bagaimana perkembangan materi wacana Tragedi Kemanusiaan 1965 sebelum

dan sesudah Reformasi 1998 di sekolah menengah atas di Yogyakarta dalam

buku teks yang digunakan untuk bahan mengajar?

2. Bagaimana respon guru sejarah terhadap perkembangan materi wacana Tragedi

Kemanusiaan 65?

3. Bagaimana respon para guru sejarah SMA di Yogyakarta terhadap reproduksi

sejarah alternatif mengenai Tragedi Kemanusiaan 1965 dalam bentuk film

dokumenter?

4. Bagaimana para guru sejarah SMA di Yogyakarta dalam menegosiasikan versi


(31)

3. Tujuan Penelitian

1. Memahami perkembangan pelajaran sejarah terkait wacana Tragedi

Kemanusiaan 65 dari masa Orde Baru sampai paska Orde Baru di

sekolah-sekolah menengah atas di Yogyakarta?

2. Menganalisa dampak dan akibat dari wacana Tragedi Kemanusiaan 1965

terhadap pelajaran sejarah Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta

3. Mengetahui respon para guru sejarah dan opininya terhadap bentuk reproduksi

wacana alternatif dalam pendidikan.

4. Manfaat Penelitian

1. Membantu perkembangan pengajaran sejarah ke bentuk yang lebih humanis

dan demokratis.

2. Memberi sumbangan metode pengajaran yaitu menggunakan media audio

visual dalam belajar sejarah.

3. Membuka cara pandang baru bagi para guru sejarah untuk membuka wacana


(32)

5. Tinjauan Pustaka

Hingga saat penelitian ini ditulis, penulis belum secara pasti menemukan

gambaran praktis mengenai penelitian sejarah alternatif 65 yang diaplikasikan

dalam pendidikan formal. Namun, penulis telah menemukan sebuah kajian

menarik untuk dijadikan model utama penulisan, yaitu hasil laporan studi

lapangan berjudul “Pelurusan Wacana: Perkembangan dalam Pendidikan Sejarah

di Malang sejak awal Zaman Reformasi” karangan Angus Gratton.

Laporan studi lapangan yang dilakukan Angus Gratton bertujuan untuk

mengetahui dampak diskusi pelurusan sejarah dalam wacana umum terhadap

sejarah yang ada dalam wacana resmi. Studi ini membahas perubahan yang terjadi

dalam pendidikan sejarah sejak awal reformasi. Hasil temuannya adalah banyak

sekali perbedaan di antara buku pelajaran pada masa Orde Baru dan pasca Orde

Baru. Gratton tidak banyak membahas wacana 65 secara mendalam, tetapi

memaparkan bahwa Departemen Pendidikan nasional sudah membuat beberapa

perubahan untuk melaksanakan pelurusan sejarah G30S di kurikulum. Contohnya,

istilah G30S/PKI sudah berubah menjadi G30S saja dan “Penumpasan G30S”


(33)

Dalam pembacaan penulis, Gratton tidak mendeskripsikan secara praktis

bagaimana peran guru sebagai agency dan bagaimana sikap sekolah sebagai

institusi menanggapi demokrasi pendidikan dalam hal pelurusan sejarah wacana

65. Penulis juga menemukan penelitian ini hanya sebatas memaparkan laporan

data empiris yang ditemukan di lapangan tanpa menganalisa secara dalam dengan

menggunakan teori yang memadai.

Tinjauan Pustaka yang kedua adalah buku karya Budi Irawanto yang

berjudul Film, Ideologi, dan Militer. Dalam penelitian yang akhirnya diterbitkan

dalam bentuk buku ini, Budi Irawanto menggarisbawahi tema besar kekuasaan

yaitu bagaimana militer di Indonesia menggunakan banyak medium untuk

menanamkan ideologi militerismenya, termasuk melalui film. Era Orde Baru

kekuasaan militer begitu besar dan peran mereka dibentuk oleh audio visual

sebagai sosok yang heroik dan membela Negara. Melalui pengamatan tiga film

yaitu Enam Jam di Jogja, Janur Kuning, dan Serangan Fajar, Budi Irawanto

mencoba melihat relasi antara sipil dan militer selama perang berlangsung. Ketiga

film itu mempunyai kesamaan, yaitu berlatar belakang Serangan Umum Satu


(34)

Melalui penelitiannya, Budi Irawanto mencoba menelusuri beragam teks

yang terimplikasi dibalik bahasa visual yang ada di dalam film dan di dalam

bahasa visual itu terkandung kekuasaan yang mencoba untuk mengheroikkan

sosok militer. Hal ini membuktikan bahwa film sebagai bahasa komunikasi tidak

begitu saja bebas dari kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Film-film yang

dianalisa Budi Irawanto menurutnya merupakan alat propaganda yang mencoba

mengukuhkan ideologi militer, mengingatkan dan menanam ide kepada

masyarakat bahwa militer mempunyai peran yang cukup besar bagi negara dan

masyarakat. Namun, dalam penelitiannya Budi Irawanto tidak menjelaskan

dampak yang nyata dari menonton film itu terhadap masyarakat, khususnya di

sekolah seperti penelitian ini. Perbedaannya adalah, Budi Irawanto hanya

menganalisa sebatas teks yang ada di balik narasi audio visual dengan tidak

menggunakan data empiris hasil wawancara dengan penonton.

6. Landasan Teori

Dalam menganalisa data penulis menggunakan satu teori utama yaitu

teori pendidikan kritis. Teori pendidikan kritis dipakai untuk melihat


(35)

perubahan rejim dan diikuti munculnya wacana alternatif sebagai bentuk

hegemoni tandingan dari dominasi rejim. Teori utama ini dilengkapi dengan dua

teori lain, yaitu hegemoni oleh Gramsci untuk melihat bagaimana kekuasaan

negara dan institusi dilanggengkan dalam pendidikan melalui buku teks sejarah.

Teori kekuasaan oleh Michel Foucault juga melengkapi teori utama untuk melihat

bagaimana mekanisme hubungan subjek (guru) dengan pengetahuan melahirkan

kekuasaan.

6.1. Pendidikan Kritis

Dalam perspektif kritis tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis

terhadap ideologi dominan ke arah transformasi sosial. Namun, acuan pengajaran

sejarah berdasarkan kurikulum yang berlaku sepertinya tidak mendukung untuk

melakukan transformasi sosial yang kritis terhadap peserta didik. Permasalahan

ini dimulai dari tidak efektifnya waktu belajar dan metode pengajaran yang

cenderung non-partisipatif. Hal ini menyebabkan ketumpulan nalar kritis anak di

dalam mengelaborasikan peristiwa demi persitiwa dalam belajar sejarah semenjak


(36)

Peranan sekolah sebagai agent of knowledge memiliki andil yang cukup

besar di dalam perkembangan pengajaran sejarah pada anak. Proses ajar yang

terjadi antara guru dan murid akan memberikan pengaruh yang besar terhadap

pengetahuan murid mengenai peristiwa panjang bangsa. Tidak hanya itu, proses

ajar tersebut mestinya juga menjadi medium dialog untuk mengembangkan

kesadaran anak sebagai bagian dari entitas bangsa ini. Namun, kenyataannya yang

terjadi adalah masih banyak persoalan yang muncul dikarenakan figur sekolah

saat ini lebih bersifat metode pengajaran satu arah, baik terhadap guru yang

kemudian menerapkan metode pengajaran satu arah tersebut kepada murid.

Seperti yang diungkapkan dalam Discipline and Punish, model Foucault tentang

pengetahuan dan kekuasaan memaparkan dengan jelas bahwa pengetahuan

dimanfaatkkan oleh agen-agen yang memiliki struktur kuat. “Kebenaran”

ditentukan oleh sekelompok minoritas yang berkuasa ini dan mengatur

struktur-struktur dibawahnya agar menyesuaikan diri dengan tujuannya. Kekuasaan

mengkronstruksi kebenaran yang akhirnya melahirkan wacana yang menciptakan

keyakinan, sehingga kebenaran satu arah tersebut menjadi normatif.16 Guru

sejarah memang dituntut menyelesaikan tugasnya sebagai seorang pengajar agar

16

Michel Foucault. 1977. Discipline and Punish: The Birth of The Prison. London: Penguin Books.


(37)

secara normatif tepat waktu untuk mentransfer ilmu sesuai dengan kurikulum

yang berlaku. Padahal tanpa dia sadari banyak sekali materi yang diikuti hanya

menjadi kepentingan dan komoditi satu pihak tertentu, maka secara tak langsung

ia menjadi agen dalam melanggengkan kekuasaan tersebut.

Cara guru mengajar, pilihan pengetahuan yang akan diajarkan, cara

pengajaran dalam kelas, semuanya mempunyai tujuan awal memberi kebebasan

bagi peserta didik untuk belajar dan menentukan pilihan. Dalam hal ini guru atau

pengajar harus konsisten bahwa jika dia mengajarkan tentang demokrasi dan

keadilan maka pada saat yang sama pun dia tidak boleh melakukan hubungan

yang otoriter di kelas. Namun, hubungan otoriter ternyata tidak berhenti hanya

dalam relasi antara guru dan murid dalam ruang kelas, guru pun merasa

terotorisasi oleh institusi tempat mereka bekerja, dan institusi terotorisasi oleh

kebijakan negara. Dari ketiga subjek tersebut terdapat hubungan kekuasaan antara

agency (guru) dan struktur (institusi/sekolah), hubungan kekuasaan inilah yang

jarang dibahas dalam penelitian pendidikan –hubungan antara yang

menghegemoni dan terhegemoni. Maka, pendidikan kritis menjadi teori utama


(38)

mengenai sumber timbulnya dominasi dan hegemoni dalam institusi pendidikan,

terutama antara guru sejarah dan sekolah.

6.2. Kekuasaan dalam Pendidikan

Berbicara mengenai kekuasaan dalam pendidikan, tidak pernah terlepas

dari konsep hegemoni ala Gramsci. Gramsci menganggap bahwa ketidaksadaran

atas dominasi yang dilakukan oleh suprastruktur disebut hegemoni. Hubungan

antara guru sejarah dengan negara dan institusi yang berkaitan dengan wacana 65

menunjukkan bagaimana negara mengatur sedemikian rupa nilai-nilai sejarah

pada generasi berikutnya. Wacana sejarah dibuat dalam satu versi, yaitu versi

Orde Baru yang mengakar melalui pendidikan, dan guru sebagai penghubung

antara institusi dan murid menjadi figur penting dalam menentukan sikap.

Sesungguhnya ada rantai besar yang membelit dalam wacana 65, yaitu

kepentingan kekuasaan telah mendominasi pendidikan dan mengendalikan publik

lewat media massa dan teks. Institusi yang berdiri dibawah negara kemudian

menetapkan kurikulum yang telah diatur oleh negara. Akhirnya, rantai yang tidak

dialogis juga membuat guru tertekan dan mau tidak mau harus melaksanakan


(39)

guru sejarah yang bersifat terbuka terhadap wacana-wacana sejarah 65 dan

membimbing para siswa untuk bersikap kritis terhadap bentuk-bentuk wacana

yang bersumber dari buku teks. Jika menengok dari gagasan Gramsci yang

berpendapat bahwa memperjuangkan kelas tertindas adalah tugas dari

pemikir-pemikir yang bisa mempengaruhi perjuangan mereka dengan tidak menghasilkan

kepentingan sepihak karena memperjuangkan kelas diperlukan war of position,

yaitu memperebutkan kekuasaan atas suprastruktur negara dengan menciptakan

hegemoni tandingan.17

Meninjau kembali teori hegemoni Gramsci bahwa hegemoni selalu

melibatkan pendidikan. Bagi Gramsci kajian budaya mengadopsi makna-makna

yang menyokong kelompok sosial tertentu makna konsep-konsep hegemoni pun

menjadi relevan bagi gerakan sosial kebudayaan dalam pendidikan.18 Pemikiran

Gramsci menempatkan analisa kebudayaan dan perjuangan ideologis yang

akhirnya menjadikan kajian budaya yang relevan bagi mereka yang ingin

membuat perubahan sosial. Pemikirannya memberikan tempat khusus bagi kaum

intelektual yang menghubungkan mereka dengan peserta perjuangan idelogis

17

Hegemoni tandingan (counter hegemony) adalah suatu bentuk perlawanan terhadap kekuasaan kelompok elit atau negara. Hegemoni tandingan ada karena kesadaran individu untuk menciptakan kebebasan dalam berideologi, berpikir dan bertindak.

18


(40)

lainnya. Disini pembedaan Gramsci antara “intelektual tradisional” dan

“intelektual organik”.19 Begitu pula dalam hal pendidikan, kajian budaya

Gramscian memimpikan sang “intelektual organik” yang memegang peran kunci

dalam penyiapan kaum intelektual dan gerakan yang kontrahegemonik.

Bagaimana hegemoni berlangsung dalam dunia pendidikan yang bernama

sekolah? Hegemoni dalam pengertian Gramsci yang dikutip oleh Livingstone

(1976:235) adalah:

A social condition in which all ascpects of social reality are dominated by or supportive of a single class.

Konsep hegemoni dipakai sebagai alat analisis untuk memahami mengapa

kelompok-kelompok dibawah suprastruktur mau berasimilasi ke dalam pandangan

rejim yang dominan, yang membuat pelanggengan kekuasaan terus terjadi. Dalam

pendidikan sejarah di sekolah, hegemoni Gramscian mempersoalkan kaitan

kebenaran dan sistem kekuasaan yang menentukan sejarah itu sendiri. Hegemoni

menyebabkan kalangan dalam ranah basis menerima penindasan sebagai sesuatu

yang wajar dan tak dapat diubah.

19

Intelektual tradisional adalah mereka yang menempati berbagai posisi ilmiah dalam masyarakat. Sebaliknya, intelektual organik yang disebut oleh Gramsci adalah bagian dari perjuangan kelas yang terlibat dalam pemikiran pengorganisasian berbagai elemen kelas kontrahegemoni. Pozzoloni, 2006. Pijar-pijar Pemikiran Gramsci. Yogyakarta: Resist Book.


(41)

Sepintas mungkin terlihat tidak ada hubungannya antara pendidikan dan

kekuasaan. Bahkan sejak masa Perang Dunia II, ketika muncul negara-negara

baru akibat hilangnya kolonialisme, orang mulai melihat betapa besar kekuasaan

pendidikan untuk mengubah kebudayaan suatu bangsa. Pada saat rejim Orde Baru

hegemoni menyusupi kegiatan-kegiatan pendidikan dalam berbagai bentuk.

Hegemoni tersebut masuk melalui media populer dan sekolah yang secara tidak

disadari telah mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikan yang disebut dengan

hidden curriculum.

Menurut H.A.R. Tilaar, hubungan hegemoni dan kekuasaan dalam

pendidikan mempunyai empat poin, yakni: 1) Domestifikasi dan stupidifikasi

pendidikan; 2) Indoktrinasi; 3) Demokrasi dalam pendidikan; 4) Integrasi sosial.

Proses domestifikasi adalah proses penjinakan dengan membunuh kreativitas dan

menjadikan manusia sebagai robot-robot yang sekedar menerima transmisi

nilai-nilai kebudayaan yang ada. Proses domestifikasi menhasilkan stupidifikasi yaitu

pembodohan karena tidak mengajak manusia berpikir analitis dan mempelajari

wacana alternatif karena harus mengikuti satu kebenaran yang mutlak.20

20

Tilaar, H. A. R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dan Perspektif Studi Kultural. Magelang: Indonesia Tera, hal. 92.


(42)

Proses indoktrinasi dalam pendidikan masuk melalui kurikulum. Semua

aspek-aspek kurikulum yang sudah diatur sedemikian rupa sesuai dengan proses

domestifikasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Maka apa yang terjadi dalam

proses pendidikan sebenarnya adalah suatu proses mentransmisikan ilmu

pengetahuan secara paksa.21 Tidak mengherankan apabila banyak menyimpulkan

bahwa pemerintah Orde Baru mempunyai kepentingan untuk menguasai

pendidikan dan kurikulum sejarah, karena rejim tersebut mempunyai

kepentingan-kepentingan politik yang melatarbelakangi. Melalui kurikulum inilah terjadi

proses indoktrinasi, yaitu proses untuk mengekalkan struktur kekuasaan yang ada.

Bertolak dari permasalahan hegemoni dalam pendidikan, poin ketiga

adalah solusi untuk mengatasi indoktrinasi dalam kekuasaan metode pengajaran

tersebut, yakni proses pendidikan demokrasi, yaitu suatu prinsip yang

membebaskan manusia dari berbagai ikatan. Masuknya demokrasi ke dalam dunia

pendidikan memberi banyak pengakuan kepada sumber-sumber kekuasaan yang

baru, yaitu kekuasaan yang memihak kepada kepentingan rakyat banyak.22 Dalam

konteks Tragedi Kemanusiaan 1965, wacana demokrasi muncul melalui

versi-versi alternatif di luar versi-versi resmi Orde Baru. Tidak hanya berhenti disitu saja,

21

Ibid. hlm: 93 22 Ibid. hlm: 96.


(43)

versi sejarah alternatif juga bisa diakses oleh semua pihak terutama pelaku dan

subjek pendidikan.

Solusi kedua untuk menghapus indoktrinasi pendidikan adalah integrasi

sosial. Solusi ini sangat dibutuhkan dalam pendidikan demokrasi. Integrasi sosial

hanya dapat ditumbuhkan dari bawah dan mengesampingkan kekuasaan dari

atas.23 Integrasi sosial juga mengacu pada masalah-masalah setempat dimana para

peserta didik merasa dekat dengan peristiwa yang dipelajarinya. Wacana Tragedi

Kemanusiaan 1965 menjadi sangat disintegrasi jika yang dipelajari hanya sekadar

membaca dari buku teks pelajaran sekolah. Sebaliknya, wacana sejarah yang

cukup sensitif tersebut harus dipelajari dengan menggunakan media yang cukup

dekat dengan generasi muda, atau bisa juga dengan bertemu langsung dengan

pelaku dan korban sejarah sehingga apa yang mereka pelajari merupakan kapital

lokal yang mudah dipahami.

Hubungan kekuasaan kedua adalah hubungan kekuasaan subjek antara

guru dengan pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud disini adalah bentuk

wacana sejarah yang telah dilanggengkan oleh rejim Orde Baru. Dalam buku

Surveiller et Punir, Foucault mengatakan bahwa kekuasaan bekerja melalui sifat

23Ibid. hlm: 99


(44)

normalisasi, tidak hanya terjadi di penjara namun juga bekerja melalui

mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesehatan,

pengetahuan dan kesejahteraan.24 Kekuasaan yang dimaksud Foucault bukan

hubungan kausalitas melainkan lebih ke kerangka tujuan dan sasaran. Wacana

sejarah menjadi pengetahuan yang melahirkan kekuasaan terhadap mekanisme

pengajaran yang dilakukan oleh guru dengan tujuan-tujuan tertentu, yaitu

melahirkan kekuasaan oleh rejim Orde Baru. Hubungan kekuasaan disini bukan

hanya satu arah atau pendominasian satu pihak, melainkan menunjukkan posisi

subjek guru sebagai mereka yang didominasi.

Bentuk kekuasaan sejarah di kurikulum sekolah juga merupakan bentuk

disiplin dan panoptisme. Artinya, ada bentuk pengawasan terhadap guru untuk

memperoleh ketaatan dan keteraturan. Guru sejarah pada masa Orde Baru sangat

taat kepada institusi dan pengetahuan sejarah, mereka tidak mengajar versi sejarah

di luar versi resmi karena ada pengawasan dari institusi dan negara untuk yang

sifatnya “mendukung” jalannya rejim. Kekuasaan antara guru dan sejarah pada

masa itu terlihat langgeng karena subjek memperlihatkan kepatuhan terhadap

dominasi negara.

24

Haryatmoko. Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan. Majalah Basis Nomor 01-02, Tahun ke 51, Januari-Februari 2002.


(45)

6.3. Pengajaran Sejarah Kritis di Sekolah Menengah Atas

Acuan pengajaran sejarah berdasarkan kurikulum yang berlaku, sepertinya

masih menyimpan persoalan terhadap pengajaran sejarah yang berbasis pada

anak. Mulai dari singkatnya waktu ajar sampai metode pengajaran yang

cenderung non partisipatif. Hal ini menyebabkan ketumpulan nalar kritis anak di

dalam mengelaborasikan peristiwa sejarah di masa lalu dengan kejadian di masa

kini. Peranan sekolah sebagai agent of knowledge memiliki andil yang cukup

besar di dalam perkembangan pengajaran sejarah pada anak. Proses ajar yang

terjadi diantara guru dan murid akan memberikan pengaruh yang besar terhadap

pengetahuan murid mengenai peristiwa panjang bangsanya. Tidak hanya itu,

proses ajar tersebut mestinya juga menjadi medium dialog untuk mengembangkan

kesadaran anak sebagai bagian dari entitas bangsa ini. Namun, kenyataan yang

terjadi adalah masih banyaknya persoalan yang muncul dikarenakan figur sekolah

saat ini lebih bersifat industri yang notabene menyerap sebanyak-banyaknya

jumlah murid secara kuantitas, bukan membantu serta mengarahkan murid

menjadi pribadi yang kritis terhadap sejarah bangsanya.

Guru sejarah memang dituntut menyelesaikan tugasnya sebagai seorang


(46)

berlaku. Ia dipacu dengan segala tekanan agar tidak keluar dari koridor yang telah

disepakati, baik dari Dinas Pendidikan serta pihak penyelenggara sekolah. Maka

tak jarang, beberapa kasus di lapangan menunjukkan bahwa guru menjadi “tak

berdaya” ketika durasi yang diberikan sangat singkat untuk mengajarkan bab

mengenai Sejarah Pergerakan Nasional di Indonesia serta terbatasnya media

pengajaran yang efektif.

Metode belajar sejarah yang pasif, menyebabkan seorang anak hanya

menghafal nama, tempat dan tahun dari sebuah peristiwa tanpa tahu semangat

serta nilai apa yang sebenarnya terkandung dalam peristiwa tersebut. Anak masih

diposisikan sebagai murid (objek) dari pengajaran sejarah yang baku. Memang

diperlukan usaha yang kreatif untuk meretas problematika pengajaran sejarah ini.

Hal ini memerlukan pembelajaran yang serius untuk memberikan solusi

bagaimana menciptakan proses belajar mengajar yang tidak lagi memposisikan

anak sebagai objek, melainkan subjek.

“Di negeri yang tanpa sejarah, masa depan dikuasai oleh mereka yang

menguasai isi ingatan, yang merusmuskan konsep, dan menafsirkan masa lalu”25 .

Hal yang dikatakan Sturmer ini terjadi dalam proses pengajaran sejarah. Dalam


(47)

berbagai kasus dijumpai kenyataan bagaimana “ingatan kolektif” anak-anak

bangsa diseragamkan dan sarat akan legitimasi kekuasaan. Untuk menghindari

hal-hal yang hanya digunakan untuk kepentingan penguasa, maka dibutuhkan

metode-metode pengemasan bahan ajar sejarah kritis. Keberadaan pelajaran

sejarah di sekolah bukan hanya sekadar bahan cerita yang didialogkan antara guru

dan murid, tetapi bertujuan untuk membimbing murid agar memahami dan

mengerti situasi masa lampau yang digunakan sebagai pembelajaran masa depan.

Proses belajar mengajar sejarah pada dasarnya dipengaruhi oleh tujuan,

materi pelajaran, metode, media, dan instrumen yang mendukung. Namun, pada

kenyataannya, pelajaran sejarah hanya berorientasi pada banyaknya hafalan yang

harus dilakukan oleh murid dan target guru adalah agar materi cepat selesai tepat

waktu. Pelajaran sejarah tidak lagi menekankan aspek afektif dan konatif,

sehingga peserta didik menjadi bosan tak menjadi kritis terhadap materi yang

dipelajari. Pengajaran sejarah tidak bisa berada dalam posisi stagnan. Pengajaran

tersebut harus mengikuti perkembangan dinamika dan teknologi supaya bisa

menerangkan sebuah peristiwa secara komprehensif. Pengajaran sejarah yang

diarahkan kepada komunikasi antara pelaku sejarah dan peserta didik diharapkan


(48)

sekadar membaca. Komunikasi yang dimaksud adalah menggunakan metode

sejarah lisan dan dipertontonkan kepada siswa. Sejarah lisan bisa menjadi

alternatif dalam sebuah dekonstruksi dan rekonstruksi wacana untuk membuat

sejarah yang lebih berimbang dan menghindari ketimpangan cerita sejarah di

tengah masyarakat.

Dalam penelitian ini bisa dilihat bagaimana alur wacana sejarah berjalan

melalui hegemoni negara secara mono-naratif, dan di satu sisi ada perlawanan

dengan munculnya versi multi-naratif. Seperti yang terlihat di bawah ini:

Gambar 1: Bagan yang menjelaskan alur praktek kekuasaan dalam pendidikan untuk wacana


(49)

Bagan diatas mengkaji praktek kekuasaan yang berhubungan dengan

praktik-praktik budaya dan sejarah dalam institusi sekolah. Meminjam bahasa

Paulo Freire, mengindikasikan keyakinan akan kekuatan potensi pendidikan untuk

melakukan perubahan sosial lewat agen manusia, dan pendidikan menghubungkan

kekuasaan dan politik, ketiganya terkait satu sama lain. Pada dasarnya, semua

aktifitas pendidikan memang bersifat politis dan mempunyai konsekuensi dan

kualitas politis.

Wacana Tragedi Kemanusiaan 1965 mempunyai dua versi, yaitu versi

resmi dari pemerintahan (Orde Baru) dan versi alternatif dari berkembangnya

hasil penelitian pasca Orde Baru. Versi resmi dari pemerintah mempunyai sifat

yang mono-naratif karena apa yang mereka katakan mengenai peristiwa tersebut

tidak bisa dibantah kebenarannya dan semua lapisan masyarakat didoktrin oleh

wacana tersebut. Sedangkan versi alternatif sifatnya sangat multi-naratif yang

merupakan penelitian bertahun-tahun beberapa institusi dan individu, juga tidak

menutup kemungkinan untuk mendiskusikan lebih lanjut secara terbuka mengenai

fakta dan kebenarannya. Hegemoni tandingan yang diciptakan oleh wacana

alternatif ini merupakan reaksi atas ketidakpercayaan mereka terhadap kekuasaan


(50)

pendidikan (baca:sekolah) hanya boleh mengajar sejarah topik Tragedi 65 dengan

satu versi saja. Tetapi pasca Orde Baru, guru (seharusnya) mempunyai kebebasan

untuk memberi banyak versi-versi narasi kepada muridnya.

7. Metode Penelitian

Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat

interpretatif dan action research dengan menggunakan dua pendekatan. Pertama,

analisa tekstual terhadap materi pendidikan sejarah sekolah menengah atas yang

membahas wacana Tragedi Kemanusiaan 1965. Materi ini dianalisa untuk

menentukan perkembangan materi ajar yang digunakan untuk proses belajar

mengajar di kelas sejak masa Orde Baru sampai dengan pasca Orde Baru. Kedua,

metode wawancara guru mengenai perubahan dan dinamika materi wacana

Tragedi Kemanusiaan 1965. Penelitian ini menempatkan film dokumenter sebagai

wacana budaya yang tertekstualisasikan sehingga harus dipahami sebagai teks

budaya. Subjek penelitian ini terdiri guru-guru sejarah dari beberapa sekolah

menengah atas, yaitu SMA Negeri, SMA swasta berbasis agama dan SMA

nasional tidak berbasis agama. Alasan penulis untuk mengambil data dari


(51)

bahwa yang diteliti tidak hanya sekolah swasta atau negeri saja, tetapi keduanya.

Ada empat cara pengumpulan data yang ditempuh dalam penelitian ini. Pertama,

penulis meneliti buku-buku yang digunakan oleh sekolah-sekolah tersebut dan

menganalisa apakah ada perubahan mengenai pembahasan teks terkait dengan

tema Tragedi Kemanusiaan 1965. Kedua, mewawancarai guru sejarah untuk

mengetahui bagaimana respon mereka dinamika perubahan buku teks sejarah

selama Orde Baru dan pasca Orde Baru. Ketiga, penyajian film dokumenter 40

Years of Silence yang kemudian ditonton oleh guru sejarah dari sekolah-sekolah

yang telah ditunjuk sebagai data dan mewawancarai guru sejarah setelah

menonton film tersebut untuk mengetahui repon mereka terhadap penyajian

wacana sejarah alternatif. Keempat, masih sejajar dengan metode ketiga yaitu

mewawancarai guru mengenai bagaimana mereka menegosiasikan versi sejarah

alternatif tersebut dengan institusi sebagai bentuk pengajaran baru.

8. Sumber Data

Ada dua macam sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini,

sumber data primer adalah analisa buku teks untuk mengetahui perkembangan


(52)

Reformasi 98. kemudian data sekundernya adalah hasil wawancara dengan

guru-guru sejarah tersebut untuk mengetahui respon mereka terhadap perubahan

teks-teks sejarah sejak Orde Baru sampai Paska Orde Baru di buku pelajaran sejarah.

Sumber data sekundernya adalah hasil wawancara dengan para guru sejarah untuk

mengetahui respon mereka terkait dengan sumber data primer berikut respon

mereka terhadap munculnya bentuk-bentuk alternatif pengajaran sejarah setelah

Reformasi 98. Data sekunder digunakan untuk mengetahui bagaimana guru-guru

sejarah menegosiasikan bentuk pengajaran baru yang alternatif terhadap institusi.

9. Teknik Pengumpulan Data

Untuk teknik pengumpulan data dari para guru sejarah, dipakai dua jenis

metode: analisa buku teks sejarah dari sebelum Reformasi 98 dan sesudahnya.

Buku-buku yang didapat antara lain adalah buku yang telah disusun oleh

Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah Yogyakarta pada tahun 1996, buku

Sejarah untuk SMA Kelas XII penerbit Erlangga tahun 2006, buku Sejarah untuk

SMA Kelas XII penerbit Yudhistira, dan Diktat Jurnal Pelajaran Sejarah Kelas

XII yang disusun oleh salah satu guru dari sekolah Katolik. Beberapa wawancara


(53)

segi pandang mereka tentang perbedaan wacana Tragedi Kemanusiaan versi

umum dan versi alternatif dan bagaimana respon mereka terhadap polemik

perubahan wacana setelah Reformasi 98. Wawancara sebelum nonton film

dilakukan untuk mengetahui respon mereka terhadap dinamika perubahan materi

pengajaran sejarah. Wawancara kedua dilakukan setelah mereka menonton film

40 Years of Silence yang kemudian akan mengetahui bagaimana apakah versi

alternatif yang beredar akan mempengaruhi cara mengajar mereka pada peserta

didik dan bagaimana mereka menegosisasikan bentuk pengajaran sejarah

alternatif kepada institusi.

10. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan hasil penelitian ini terdiri atas enam bab. Bab pertama

berupa deskripsi tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian

dan sistematika penulisan. Pada bab kedua dibahas mengenai wacana kekuasaan

dalam historiografis Indonesia tentang Tragedi Kemanusiaan 65 dan perubahan

penulisan atau penyajian sejarah dari masa Orde Baru sampai pasca Orde Baru.


(54)

para guru Sekolah Menengah Atas sebagai medium pengajaran dan mengetahui

ada atau tidaknya perubahan setelah Reformasi 98. Bab empat menganalisa hasil

wawancara dengan beberapa guru sejarah untuk mengetahui respon mereka

terhadap polemik perubahan kurikulum yang mengacu pada pembahasan Tragedi

Kemanusiaan 1965 dan posisi sejarah alternatif di tengah pengajaran sejarah

resmi. Bab lima membahas bagaimana negosiasi guru sejarah dengan institusi

pendidikan terhadap bentuk-bentuk pengajaran Tragedi Kemanusiaan 1965

dengan berbagai versi. Bab enam merupakan kesimpulan tentang bagaimana


(55)

BAB II

(RE)PRODUKSI PENENTUAN POSISI SUBJEK SEBAGAI PAHLAWAN

ATAU KORBAN

2.1 Pendidikan Sejarah dari Masa ke Masa

Proses ajar sejarah merupakan bagian pokok penting untuk mendapat

perhatian dari semua elemen bangsa dewasa ini. Catatan sejarah menunjukkan

peristiwa yang menjelaskan bagaimana perjalanan bangsa ini dalam mencapai

kedaulatannya di masa kini. Sayangnya, permasalahan yang kerapkali muncul

adalah ketidakseriusan stakeholder pemerintahan serta masyarakat sipil yang

dibatasi aksesnya untuk mengeksplor lebih dalam lagi mengenai cerita dibalik

peristiwa sejarah di Tanah Air. Persoalan sejarah adalah bagian yang tidak

terpisahkan antar masa, yakni masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.

Namun, dengan tidak adanya usaha yang serius untuk belajar dari peristiwa

sejarah di masa lalu, mengakibatkan berulangnya sejarah kelam yang terjadi

sebelumnya. Menurut Dr. Aman, M.Pd. sejarah mempunyai fungsi untuk

membangkitkan kesadaran historis.26 Tetapi jika pendidikan sejarah hanya

26


(56)

didominasi satu pihak tertentu dan tidak membiarkan peserta didik untuk berpikir

kritis, maka tidak akan ada proses kesadaran historis. Ada banyak faktor yang

menyebabkan hal ini terjadi, diantaranya adalah pihak pemerintah yang masih saja

tidak adil di dalam membuka wacana sejarah kelam masa lalu terkait kepentingan

kekuasaan serta dibatasinya akses-akses sumber sejarah dalam kerangka

kurikulum bahan ajar pendidikan publik.

Penulisan sejarah yang tidak berimbang menyebabkan terjadinya

ketimpangan cerita sejarah di tengah masyakart. Masyarakat dibutakan mengenai

peristiwa yang terjadi di masa lalu. Lagi-lagi, inilah usaha pemerintah untuk

menumpulkan daya kritis publik, agar menjadi tidak serius menangani apa yang

terjadi di masa silam. Lebih dalam lagi, persoalan anak sebagai pewaris sekaligus

pencipta sejarah menjadi penting untuk dipelajari. Memandang anak sebagai

pelaku sejarah pada masanya, menjadi bagian yang mestinya tidak terpisahkan

dari usaha untuk menciptakan figur yang dapat melepaskan diri dari pewarisan

sejarah yang tidak berimbang.

Pendidikan yang diberikan pada anak, baik melalui institusi pendidikan

formal, serta informal seperti keluarga, merupakan pokok bahasan yang penting


(57)

perkembangan cakrawala anak terhadap peristiwa sejarah. Persoalan yang

kemudian muncul adalah bagaimana kedua agen ini memberikan akses yang

berimbang pada anak untuk belajar mengenai sejarah serta bagaimana nilai yang

diwariskan pada si anak sebagai upaya memposisikan anak sebagai subjek dan

bukan lagi penonton dari putaran roda sejarah yang berulang.

Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan kepada peran guru

terhadap aktifitasnya sebagai bagian integral sistem mengajar. Mengajar

merupakan suatu aktifitas profesional yang memerlukan ketrampilan tingkat

tinggi dan mencakup hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan

keputusan-keputusan.27 Keberhasilan dalam belajar sejarah sangat ditentukan oleh peran

pengajar/guru. Keputusan yang dimaksud adalah pengajar perlu merancang

metode yang dipakai, alat dan media, buku yang harus dibaca, dalam kegiatan di

sekolah. Saat kegiatan belajar mengajar akan dilakukan dalam ruang kelas, guru

sejarah harus mempunyai rancangan apakah dia akan menggunakan buku atau

medium lain, lalu buku dan medium seperti apa yang akan digunakan. Guru

sejarah harus membuat bentuk pengajaran yang menarik supaya kegiatan belajar

itu berhasil. Berhasil dalam konteks ini tidak diartikan murid akan mendapat nilai

27


(58)

yang bagus, tetapi lebih ke pengukuran kualitas yaitu dengan melihat bagaimana

pemahaman mereka terhadap suatu peristiwa sejarah dan mereka mampu berpikir

kritis untuk menganalisa konteks internal dan eksternal yang ada hubungannya

dengan peristiwa tersebut.

Salah satu guru sekolah swasta di Yogyakarta dalam wawancara

mengungkapkan pelajaran sejarah kurang diminati oleh murid-murid dan

dianggap sebagai pelajaran yang hanya menghafal. Bahkan tidak sedikit murid

yang menganggap tidak penting karena adanya anggapan pelajaran sejarah hanya

bercerita tentang masa lalu. Apalagi dari kebijakan institusi memutuskan untuk

memberi jam pelajaran ini hanya dua kali mata pelajaran (2 x 45 menit) karena

pelajaran ini tidak masuk dalam Ujian Negara (UN). Tidak mengherankan jika

prestasi belajar sejarah murid kurang memuaskan.

Maka disinilah peran guru sebagai pengembang pelajaran sejarah menuju

yang lebih bermakna sangat penting. Sebelum mengevaluasi bagaimana para guru

SMA di Yogyakarta menjawab tantangan membuat program pembelajaran sejarah

yang efektif. Dalam bab ini akan diuraikan terlebih dahulu mengenai refleksi dari


(59)

2.1.1. Paradigmatik Pelajaran Sejarah

Sejarah di sekolah mengandung tugas menanamkan semangat character

building bagi peserta didiknya. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, dijelaskan

bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam konsep akademik, tujuan-tujuan itu lebih terwujud secara spesifik

seperti kesadaran empati, nasionalisme, patriotisme, kesadaran humaniora, yang

sampai sekarang belum secara intensif mencapai sasarannya. Pendidikan sejarah

berisi cerita sejarah pengetahuan sejarah, gambaran sejarah yang kesemuanya itu

adalah bersifat koheren antara fakta-fakta yang ada dan bukti-bukti yang tersedia.

Penulisan pelajaran sejarah diharapkan dapat menempatkan diri ke dalam

pelaku-pelaku sejarah yang bersangkutan. Hal ini merupakan unsur pokok dalam cara


(60)

disebut historical thinking towards historical explanation.Selain itu, sejarah

dianggap sebagai suatu lingkaran waktu yang bergerak yaitu masa lampau, masa

kini dan masa mendatang. Generasi yang hidup sekarang mempunyai kedudukan

strategis karena membangun kelangsungan masa lampau sampai masa kini.

Sehingga murid-murid yang belajar sejarah pada masa kini mempunyai banyak

kesempatan untuk melihat bagaimana peristiwa sejarah di masa lalu beserta

perubahannya sampai pada masa kini.

Berkaitan dengan penglihatan tiga dimensi waktu dalam sejarah tersebut,

fakta sebagai produksi masa lampau pada dasarnya juga tergantung pada masa

kini, artinya sejarah tidak menghadapi realitas itu sendiri, tetapi hanya bekas

dalam fakta berupa pernyataan simbol dari realitas. Sejarawan harus menjelaskan

peristiwa, di mana eksplanasinya dipengaruhi kebudayaan zamannya, sehingga

waktu lampau tidak dapat ditangkap secara keseluruhan karena dipengaruhi masa

kini. Dalam konsep ini Reiner menerangkan pengalaman masa lalu manusia

merupakan bagian penting dalam proses berpikir karena tanpa pengalaman masa


(61)

2.1.2. Sejarah Versi (Orde) Baru

Sebelum Orde Baru, pendidikan sejarah menjadi kurikulum berbasis ilmu

pengetahuan namun tidak bertahan lama sampai pada tahun 1964, dimana

kurikulum sejarah sangat bernuansa politis yaitu harus berlandaskan Pancasila dan

Manipol (Manifestasi Politik UUD 1945 yang terdiri dari Sosialisme ala

Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian

Indonesia). Sebenarnya ide ini dapat diterima dengan akal sehat jika pada

kenyataannya terdapat kecocokan antara teori dan praktik.

Sampai setelah Soekarno runtuh, masuklah kurikulum Orde Baru yang

secara resmi diterapkan pada tahun 1968 yang juga bernuansa politis dengan

diajarkannya PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). Tujuan diadakan

PSPB adalah agar murid meyakini: 1) Penjajahan Belanda menyebabkan

kemiskinan dan penderitaan di kalangan rakyat Indonesia; 2) Kebenaran rakyat

Indonesia dalam mengusir penjajah; 3) Partai Komunis Indonesia secara sepihak

menghancurkan NKRI; 4) Aksi melawan Partai Komunis Indonesia adalah

didorong dengan prinsip membela kebenaran dan keadilan; 5) Orde Baru

mengutamakan kepentingan negara dan Masyarakat.28 Dari kelima poin tersebut

28


(62)

sudah sangat jelas terbaca akan nuansa politis yang ditanamkan pada peserta didik

yang ada di zaman bangkitnya Orde Baru.

Pada masa Orde Baru berjaya sejarah dibelokkan demi kepentingan politik

dan sangat elitis terutama mengenai Tragedi Kemanusiaan 65. Jatuhnya Orde

Baru, persis seperti ketika berdirinya rezim tiga puluh dua tahun sebelumnya,

diselimuti oleh kerahasiaan dan penuh kekerasan. Pada tahun 1965 dilancarkan

aksi militer terhadap pihak yang dituduh akan melakukan kudeta, yang berujung

pada penghancuran terhadap mereka yang tidak mendukung Soeharto.

Pusat Sejarah ABRI sudah beroperasi ketika usaha kudeta terjadi. Di bawah

arahan Nugroho Notosusanto, Pusat Sejarah ABRI langsung bekerja dengan

tujuan untuk segera menerbitkan narasi kudeta versi Angkatan Darat. Hasilnya

ialah 40 Hari Kegagalan “G-30-S” 1 Oktober-10 November, yang sebagian besar

merupakan versi propaganda Angkatan Darat yang bertujuan membuktikan bahwa

kudeta adalah hasil persengkokolan komunis. Buku itu adalah buku yang pertama

kali ditulis mengenai kudeta Tragedi 1965 yang dikeluarkan Indonesia dan

merupakan narasi berulang kali yang dikonsolidasi sepanjang periode rejim Orde

Baru. Pusat Sejarah ABRI menegaskan bahwa buku tersebut berhasil meyakinkan


(63)

Pada masa Orde Baru, ABRI dan militer mendirikan Museum

Pengkhianatan PKI pada tahun 1983 yang berlokasi di Lubang Buaya29. Koleksi

yang dimiliki museum itu adalah replika benda-benda bersejarah dan beberapa

diorama dan Nugroho Notosusanto memegang peranan penting dalam menyetujui

pembuatan diorama untuk museum itu. Diorama memang memberi kesan lebih

meyakinkan daripada benda bersejarah lain karena tampak secara audio-visual.

Michael Van Langenberg berpendapat bahwa ditemukannya jenazah

perwira angkatan darat merupakan bagian penting dari propaganda awal mengenai

kudeta.30 Awalnya, Mayjen Soeharto juga menginginkan pengangkatan jenazah

diliput oleh media, seperti yang diberitakan Pangkostrad di RRI dan TVRI, Senin

5 Oktober 1965 pukul 15.00 31:

“Jelas betapa kejam dan biadabnya aniaya yang dilakukan petualang-petualang G30S. Ketujuh jenazah Pahlawan Revolusi, 6 Jenderal dan seorang perwira pertama, ditemukan dalam keadaan tubuh yang jelas penuh luka karena siksaan. Bekas luka di sekujur tubuh pahlawan kita.”

Hasil otopsi yang dilakukan tim forensik bentukan Soeharto yang terdiri

dari dua orang dokter tentara, masing-masing Brigjen dr. Roebiono Kertopati dan

29

Lubang Buaya adalah tempat dimana para jenazah Angkatan Darat dan perwira tinggi dibunuh dan ditemukan ke dalam sebuah sumur. Tempat itu kemudian oleh pemerintah Orde Baru dibangun menjadi sebuah museum, lengkap dengan diorama penyiksaan oleh anggota Partai Komunis Indonesia.

30

Langeberg. Michael Van. Gestapu and State Power in Indonesia, dalam Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965-66: Studies from Java and Bali.Clayton: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1990), hal. 48.

31


(64)

Kolonel dr. Frans Patiasina, dan tiga ahli forensik sipil dan Fakultas Kedokteran

UI, Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro, dr Liauw Yan Siang, dan dr. Liem Joey Thay

dengan Surat Perintah nomor PRIN-03/10-1965 ternyata berbeda jauh dari yang

diberitakan di media. Dokter Lim Joey Thay, tidak menemukan satupun

tanda-tanda penyiksaan seperti yang diberitakan. Surat forensik ini mulai pelan-pelan

muncul ke publik pasca Reformasi 98 dan jatuhnya Soeharto, apalagi setelah film

Pengkhianatan G30S/PKI dihentikan penayangannya. Hal ini membuat banyak

orang kembali bertanya mengenai kesahihan kronologis peristiwa Tragedi

Kemanusiaan 1965.

Dalam buku pelajaran sejarah banyak menyebutkan bahwa

jenderal-jenderal itu dinarasikan sebagai simbol pembela Pancasila. Dari situ, Orde Baru

berhasil membuat konstruksi dan rekonstruksi sejarah yang hegemonik dan

manipulatif untuk membuat fakta-fakta sejarah yang menjadi momok

masyarakat32.

Jika benar tidak ada penyiksaan, dengan demikian muncul persepsi bahwa

ada peran besar media massa terhadap keberhasilan Soeharto menumpas PKI dan

32

Dedy Kristanto, dalam tesis berjudul (Politik) Ingatan Pekerja Kemanusiaan: Trauma dan Identitas Pekerja Kemanusiaan Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia dalam Program Rekonsiliasi-Repatriasi Pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor Leste, dalam pemenuhan untuk Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.


(1)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(4)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(6)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI