Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wirausaha Migran Makassar di Papua T2 092010004 BAB IV

Bab 4

Merantau dan Bekerja
di Jayapura

Pengantar

Orang M akassar pertama kali datang dan berdomisili di Jayapura
sejak tahun 1964. Kedatangan mereka ke Jayapura, merupakan wujud
pelaksanaan perintah Trikora, yang dikumandangkan Presiden
Sukarno. Sehingga mereka yang datang ketika itu adalah sukarelawan
yang terdiri dari para dokter, perawat, guru, dan para teknisi.
Namun seiring perkembangan pembangunan di Jayapura, maka
pada tahun-tahun 1970-an hingga 1980-an. Orang M akassar yang
datang ke Jayapura bukan lagi sukarelawan, melainkan para nelayan
dan pedagang. Dengan demikian sejak saat itu mulai muncul
wirausaha-wirausaha orang M akassar di Jayapura.
Sedangkan pada tahun-tahun 1990-an hingga tahun 2000-an (saat
ini). Orang M akassar yang datang ke Jayapura, yaitu mereka yang tidak
mempunyai pekerjaan di M akassar. Sehingga tujuan kedatangan
mereka tidak lain adalah mencari kerja, dan bekerja di Jayapura1.

Diantara orang M akassar yang datang pada tahun 1990-an hingga
tahun 2000-an. Ada nama Rauf M uchsin, Muhajdril Ismail, Sulaiman
Baco, Jalnudin Ramli dan Nursama Asmi. M ereka merupakan contoh
orang M akassar yang hingga saat ini masih berdomisili di Jayapura, dan
telah mapan menjalani kehidupan di Jayapura.
1

Sejarah ini, diceritakan oleh Bapak Julham, pada wawancara tanggal 17 September
2012.Bapak Julham adalah salah satu sesepuh orang Makassar di Jayapura, yang sedang
mengarap buku sejarah orang Makassar di Jayapura, dengan Judul “Berawal dari
sukarelawan hingga pengangguran”.

35

Untuk itu, pada pembahasan ini akan membahas tentang
pengalaman mereka merantau dan bekerja di Jayapura. fokus
pembahasan pada bagian ini, terbagai atas tiga bagian, yaitu potret
kehidupan mereka di daerah asal (M akassar), kemudian proses mereka
merantau, dan kehidupan awal mereka di Jayapura.


Potret Informan di Daerah Asal
Rauf M uchsin, M uhajdril Ismail, Sulaiman Baco, Jalnudin Ramli
dan Nursama Asmi, merupakan migran M akassar, yang menjadi
informan dari penelitian ini. Karena itu, bagian ini akan memberikan
gambaran tentang latar belakang, dan konsisi keluarga mereka. Serta
sekilas mengenai profesi mereka di daerah asal.
M uchsin adalah salah satu wirausaha di Kota Jayapura yang
berasal dari kampung nelayan M ariso, M akassar Sulawasi Selatan.
M uchsin lahir pada tanggal 3 juni 1971, di rumahnya di kampung
M ariso. Dia terlahir sebagai anak tunggal dari pasangan Bapak Avaf dan
Ibu Hannah.
Ayah dari M uchsin berprofesi sebagai nelayan, dan ibunya
membantu menafkahi keluarga dengan membuka warung makan di
rumah mereka. Penghasilan kedua orang tuanya cukup terbatas, hal ini
sesuai dengan pengakuan M uchsin dalam penggalan wawancara
berikut;
“Soal penghasilan orang tua saya, saya tidak bisa prediksi. Cuma
saya tahu kalau penghasilan mereka rendah. Karena bayangkan
saja, untuk beli pakian seragam SMP saja, Bapa sampai harus jual
dia punya radio kesayangan. Jadi kalau mau bilang rendah,

ya..memang rendah”.

W alaupun penghasilan orang tuanya terbatas, tetapi dia sangat
bersyukur memiliki orang tua seperti Bapak Avaf dan Ibu Hannah.
Karena di tengah keterbatasan ekonomi keluarga yang mereka alami,
orang tuanya tetap mengusahakan pendidikan baginya, hingga tamat
dari sekolah menengah atas (SM A), pada tahun 1991. Hal inilah yang
36

dianggap M uchsin sebagai salah satu bekal berharga dari kedua orang
tuanya yang kini telah tiada.
Sebelum M uchsin merantau dan berdomisili di Kota Jayapura.
M uchsin sempat menganggur selama tiga bulan, setelah dia tamat dari
bangku sekolah. Ketika itu, Muchsin hanya mengisi waktunya dengan
mencari dan melamar pekerjaan, sambil membantu mengelola usaha
warung makan dan kios milik ibunya. Tetapi karena kondisi demikian
tak kunjung berubah, akhirnya dia memutuskan untuk merantau ke
Jayapura.
Sahabat M uchsin yang juga menjadi wirausaha di Kota Jayapura
adalah M uhajril Ismail. Ismail merupakan orang asli M akassar yang

berasal dari daerah M amajang. Ismail lahir pada tanggal 21 desember
1972, dan terlahir sebagai anak pertama dari dua orang bersaudara.
Ayah dari Ismail bernama bapak Zainal Junaid, dan ibunya bernama
Nurul M ukhlisah.
Kedua orang tua dari Ismail berprofesi sebagai pedagang, dan
memiliki pendapatan yang tidak menentu. Hal ini seperti yang
diceritakan oleh Ismail dalam kutipan wawancara berikut;
“Saya ingat betul kalau dulu bapa jualan ikan, dan mama jualan
baju-baju. penghasilan juga tidak menentu, kadang bagus, kadang
tidak. Jadi kondisi ekonomi keluarga juga waktu itu pas-pasan, tapi
jujur saja dulu itu untuk beli beras saja, biasa harus utang, kalau
sudah ada uang baru bayar”.

Sebagai seorang anak yang dilahirkan oleh keluarga yang memiliki
kondisi ekonomi yang tidak menentu, Ismail patut mengucap syukur.
Karena walaupun dia harus menjalani hidup yang penuh perjuangan
dan keterbatasan. Tetapi dia dapat merasakan dan menempuh
pendidikan hingga tamat dari sekolah menengah atas (SMA).
Setelah tamat dari bangku sekolah, Ismail kemudian bekerja
sebagai seorang juru saji pada salah satu restoran di M akassar. Dari

pekerjaannya ini, Ismail mendapat penghasilan perbulannya sebesar Rp
200.000/bulan. Itulah profesi awal yang ditekuni Ismail, sebelum
akhirnya merantau ke Kota Jayapura.
37

M igran M akassar lainnya yang menjadi informan dalam penelitian
ini, yaitu Sulaiman Baco. Baco merupakan pria kelahiran
Panambungan M akassar, 27 April 1970. Baco lahir sebagai anak
tunggal dari pasangan Bapak Hamdan dan Ibu Jumaeda, yang
berprofesi sebagai pedagang. Karena itu, pendapatan keluarga mereka
juga tidak menentu, hal itu seperti yang diakui oleh Baco, dalam
kutipan wawancara berikut;
“saya punya bapa dulu buka warung coto dan kondro, kalau mama
bikin kue atau roti baru jual. Kita punya penghailan tergantung
hasil jualan dari bapa dan mama. Jadi waktu itu saya biasa
terlambat bayar uang sekolah, dan juga saya tidak bisa kuliah”.
W alaupun Baco memiliki impian untuk bisa menempuh pendidikan di
perguruan tingggi. Tetapi karena keterbatasan ekonomi keluarga, akhirnya
dia harus puas sebagai tamatan sekolah menengah atas (SM A). Itulah


ijasah terakhir yang dimiliki Baco, dari pendidikan formal yang
ditempuhnya.
Dengan ijasah SMA yang dimilikinya, Baco ketika itu bercita-cita
ingin menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Tetapi karena tidak tembus
dalam seleksi PNS di M akassar. Akhirnya Baco memutuskan untuk
merantau ke Kota Jayapura.
Teman baik Baco yang juga menjadi informan dalam penelitian ini
adalah Jalnudin Ramli. Ramli lahir pada tanggal 18 April 1971, di desa
Lette, M akassar, Sulawesi Selatan. Dia terlahir sebagai anak pertama
dari pasangan Bapak Amin dan Ibu Nurjanah, yang berprofesi sebagai
pegawai honorer, di salah satu unit pelayanan kesehatan di M akassar
(sekarang disebut, UPTD PUSKESMAS).
Kendati kedua orang tuanya adalah pegawai honorer, namun hal
itu tidak menjamin tingkat pendapatan keluarganya. Karena menurut
Ramli;
“Biar mama dan bapa saya itu bekerja sebagai pegawai di
puskesmas. Tapi namanya juga pegawai di puskesmas, jadi ya
gajinya juga paling pas-pas untuk makan. Untuk kebutuhan lainnya
seperti bayar sekolah saya dan Ridwan itu biasanya mereka pinjam
dari puskesmas baru nanti dikembalikan pelan-pelan”.

38

Kehidupan pereokonomian keluarga yang pas-pasan, tidak
membuat Ramli gentar dalam belajar. Buktinya dia mendapat prestasi
terbaik dari sekolahnya, dan diberikan kesempatan untuk masuk secara
gratis pada salah satu perguruan tinggi negeri di M akassar. Tetapi
sayangnya karena keterbatasan orang tua untuk membiayai kuliahnya
lebih lanjut, akhirnya dia tidak dapat menyelesaikan kuliahnya, dan
harus puas dengan ijasah SM A yang dimilikinya.
Sesaat setelah dia putus kuliah, dia lalu memilih profesi sebagai
supir ambulance di salah satu puskesmas di M akassar. Penghasilan yang
diterimanya ketika itu sebesar Rp 150.000/bulan. Profesi inilah yang
dikerjakan oleh Ramli sebelum akhirnya merantau dari M akassar, Ke
Kota Jayapura.
Selain pria, ada juga wanita asal M akassar yang menjadi informan
dalam peneltian ini. W anita itu adalah Nursama Asmmi, yang
merupakan istri dari Ridwan (adik kandung dari Ramli). Nursana Asmi
lahir di desa M asale M akkasar, pada tanggal 12 M aret 1977. Dia terlahir
sebagai anak pertama dari tiga orang bersaudara dan merupakan anak
perempuan tunggal dari pasangan Bapak Yusuf dan Ibu Sulminah.

Sebagai seorang anak sulung, Asmi cukup memahami kondisi
perekonomian keluarganya, yang ketika itu hanya bergantung dari
penghasilan ayahnya sebagai pegawai di perkebunan swasta. Hal ini
seperti yang dia sampaikan berikut;
“keluarga saya waktu itu hanya mengharapkan penghasilan dari
bapa saya, karena ibu saya tidak kerja. Bapa waktu itu kerja sebagai
pegawai di perkebunan swasta. Gajinya tidak besar, jadi biasanya
kita cuma makan makanan hasil kebun. Biar uang yang ada bisa
pakai bayar sekolah saya dan adik-adik saya”.

Di antara mereka berlima, Nursama Asmi adalah yang kurang
beruntung dalam hal pendidikan. Karena dia terpaksa harus putus
sekolah setelah lulus dari sekolah menengah pertama (SM P), demi
membantu ayahnya untuk mengurus kedua adiknya, setelah ibunya
meninggal.

39

Sekalipun Asmi kurang beruntung dalam hal pendidikan, tetapi
dia lebih beruntung dalam hal pekerjaan. Karena setelah Asmi

memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, pada tahun 1995,
Asmi langsung mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan marmer di
kampungnya. Penghasilan yang diterima Asmi dari pekerjaannya
tersebut, yaitu sebesar Rp 250.000/bulan.

M erantau Ke Kota Jayapura
M engapa M uchsin, Ismail, Baco, Ramli, dan Asmi memilih untuk
merantau, dan bagaimana mereka dapat merantau ke Kota Jayapura.
Jawaban atas kedua pertanyaan itulah, yang akan menjadi fokus
pembahasan pada bagian ini. Artinya bagian ini akan membahas secara
empiris alasan para informan merantau, dan proses mereka merantau
ke Kota Jayapura.

M erantau Untuk Bekerja
Kisah merantau dari M uchsin, diawali pada suatu siang di
pertengahan bulan Oktober 1991, ketika M uchsin sedang menjaga kios
milik ibunya. Pada saat itu dia sedang asik membaca surat kabar, tibatiba datang seorang pembeli menyapanya. Muchsin lalu menoleh ke
arah pembeli itu, dan ternyata pembeli itu adalah Arijal Yusman,
kerabat dari M uchsin yang sudah dua tahun merantau dan bekerja di
Jayapura.

M ereka kemudian saling bercakap-cakap, seraya melepas rindu
dan membagi cerita. Dalam percakapan itulah, M uchsin menceritakan
bahwa dia belum mendapat pekerjaan, walaupun telah tiga bulan lulus
dari SM A. M endengar hal itu, Yusman tergugah untuk membantu
M uchsin. Yusman lalu menawarkan M uchsin untuk ikut dengannya ke
Jayapura, dan bekerja di sana.
Niat baik Yusman, disambut gembira oleh M uchsin yang ketika
itu memang sangat membutuhkan pekerjaan. Muchsin kemudian
mendiskusikan tawaran itu dengan ibunya, ketika hendak makan
malam. M engetahui hal itu, Ibunya dengan yakin mengijikan M uchsin
40

untuk pergi merantau, karena ibunya tahu betul bahwa M uchsin sudah
terbiasa bekerja keras sejak ayahnya meninggal pada tahun 1987
(ketika M uchsin berada di bangku kelas tiga SM P). Dengan adanya
persetujuan Ibunya, akhinya pada penghujung bulan Oktober 1991,
M uchsin bersama dengan Yusman bertolak menuju Kota Jayapura
dengan menggunakan kapal KM . UM SINI.
Dalam wawancara bersama M uchsin, dia lalu mengemukakan
alasanya merantau adalah sebagai berikut;

“saya merantau dari Makassar, karena memang di Makassar, saya
tidak punya pekerjaan, dan saya mau ke Jayapura karena Yusman
cerita kalau di Jayapura banyak orang Makassar yang sukses-sukses,
dan saya yakin bahwa saya juga pasti bisa sukses di sini.

Cerita yang senada juga disampaikan oleh Baco, yang ditemui di
rumahnya. M enurut Baco, sejak dia masih menempuh pendidikan di
SM A, dia memang sudah berkeinginan untuk bekerja sebagai pegawai
negeri sipil (PNS). Sehingga begitu lulus SMA, Baco kemudian
mencoba mengikuti tes PNS, untuk wilayah M akassar.
Tetapi sepertinya kenyataan berbicara lain, karena Baco akhirnya
dinyatakan tidak lulus dalam tes pegawai negeri itu. Kenyataan itu
membuat Baco begitu terpukul dan sering murung. M elihat kondisi
anaknya demikian, orang tua Baco tidak tinggal diam. M ereka
kemudian menghubungi bapak Aliudin. Bapak Aliudin adalah adik dari
ibunya Baco, yang telah bekerja sebagai guru di Jayapura, sejak tahun
1988.
Tujuan orang tua Baco menghubungi bapak Aliudin adalah agar
bapak Aliudin bersedia membawa Baco, guna mengikuti tes PNS di
Jayapura. M engetahui keinginan orang tua dari Baco, bapak Aliudin
lalu berangkat ke M akassar untuk menjemput Baco. Setelah tiba di
M akassar, bapak Aliudin kemudian berdiskusi Baco, sambil terus
meyakinkannya untuk ikut ke Jayapura. Pendekatan yang dilakukan
oleh pamanya, membuat Baco akhirnya bersedia ikut ke Jayapura.
Dengan demikian pada pertengahan bulan November 1990, berbekal

41

doa dari kedua orang tuanya, Baco lalu berangkat bersama pamannya,
dengan mengunakan pesawat udara, menuju Kota Jayapura.
Untuk itu, Baco kemudian mengungkapkan alasan dia merantau
dari M akassar ke Jayapura, adalah sebagai berikut;
“jadi kalau kau tanya; mengapa saya merantau dari Makassar ke
sini? ya,,jelas, karena saya tidak ada pekerjaan, dan saya ke sini,
waktu itu untuk cari pekerjaan. Tapi kalau kau tanya kenapa saya
mau ke Jayapura? itu karena ada om saya, dan juga karena om saya
bilang waktu itu, di sini, gampang jadi PNS, makanya saya mau ikut
om Ali ke sini”.

Itulah alasan yang membuat Baco akhirnya memutuskan untuk
merantau ke Jayapura. Seperti halnya Baco, Asmi juga memiliki alasan
yang tidak jauh berbeda. Hal ini seperti yang dia tuturkan pada
pengalan wawancara berikut;
“Alasan saya tinggalkan Makassar, karena di sana, saya dan suami
sudah tidak punya pekerjaan lagi, dan saya ambil keputusan untuk
ke sini karena ada abang Ramli yang mau kasi pekerjaan untuk saya
dan suami saya”.

Pernyataan ini disampikan oleh Asmi, setelah dia bercerita bahwa
pada awalnya, dia dan suaminya bekerja pada salah satu perusahaan
marmer di M akassar. Namun perusahaan itu kemudian harus ditutup,
karena terbentur masalah perizinan dan utang. Hal itu membuat Asmi
dan suaminya harus menerima kenyataan pahit, yaitu kehilangan
pekerjaan mereka, dan menanggung hidup sebagai pengangguran.
M enurut Asmi, pada kondisi demikian, dia dan suaminya merasa
begitu berat menjalani hari-hari kehidupan mereka, bahkan sempat
merasa kuatir akan hari depan mereka. Namun semua itu seolah sirna,
setelah Ramli (kakak ipar dari Asmi), menghubungi mereka via
telepon, lalu menawari mereka untuk bekerja di Jayapura. Atas
tawaran tersebut, Asmi dan suaminya kemudian berangkat ke
Jayapura, pada bulan april tahun 2001, dengan menggunakan kapal
laut.

42

Dari alasan yang telah dikemukakan baik oleh Asmi, Baco,
maupun M uchsin. Dapat dikatakan bahwa ketika mereka berada di
M akassar, mereka tidak memiliki pekerjaan. Sehingga mereka memilih
untuk merantau ke Jayapura, agar dapat memperoleh pekerjaan, dan
nafkah.

M erantau Demi Penghasilan Lebih Baik
Terkadang dalam kehidupan sehari-hari, banyak dijumpai
kenyataan bahwa ada orang yang bekerja dengan keras, tetapi justru
penghasilannya rendah. Kenyataan semacam inilah yang dialami oleh
Ramli, ketika dia masih bekerja sebagai supir ambulance, pada salah
satu PUSKESM AS, di M akassar. Karena walaupun tiap hari Ramli
harus mengantar dan menjemput pasien yang ada di PUSKESMAS,
tetapi dia hanya diberi gaji sebesar Rp 150.000 tiap bulan.
M eski demikian, pekerjaan sebagai supir ambulance, tetap dia
kerjakan secara bertanggung jawab. Hingga pada suatu sore, ketika dia
sedang asik mencuci mobil ambulance, di pelataran rumahnya, tibatiba dia dihampiri oleh seorang tukang pos, yang kemudian memberika
sepucuk telegram. Ketika dia M embaca telegram itu, dia begitu senang,
karena telegram itu berasal dari Baco, dan berisi tawaran pekerjaan.
Tanpa membuang-buang waktu, Ramli langsung pulang dan
membicarakan hal itu dengan orang tuanya. Akhirnya setelah
mempertimbangkan tentang masa depan dari anaknya, orang tua Ramli
kemudian mengijinkan Ramli untuk pergi merantau. Dengan restu
itulah, maka Ramli lalu berangkat ke Jayapura untuk menemui Baco,
pada bulan April 1994.
Terkait alasan mengapa Ramli memilih untuk merantau, adapun
penyampainnya berikut;
“sebelum saya ke sini, saya kerja jadi supir mobil ambulance di
puskesmas. cuma namanya juga supir ambulance di puskesmas, biar
kerjannya banting tulang juga tapi soal gaji yang dihitung cuma,

43

golongan berapa, punya tanggungan keluarga atau tidak, pegawai
tetap atau honorer, dan lain-lain. Jadi karena saya belum menikah
dan juga pegawai honor, makanya gaji yang saya terima hanya kecil
saja. Jangankan untuk makan satu bulan, beli rokok saja mungkin
tidak cukup. Untung waktu itu saya masi tinggal dengan orang tua,
jadi soal makan saya tidak pikir. Karena gaji saya di sana kecil jadi
saya mau ikut Baco ke sini, soalnya waktu itu Baco mau kasi gaji
besar untuk saya, hampir empat kali lipat dari gaji saya di Makassar.
jadi saya mau ke sini bukan saja karena ada Baco, tapi karena di sini
saya dapat gaji besar”.

Cerita yang kurang lebih sama, juga disampikan oleh Ismail, yang
merupakan sahabat dari M uchsin. M enurut Ismail, dia pertama kali
menginjakan kaki di Kota Jayapura pada bulan mei 1994. Dia berangkat
ke Kota Jayapura bersama dengan M uchsin, dengan menggunakan
kapal laut.
Keputusannya untuk merantau ke Jayapura berawal dari
pertemuanya dengan M uchsin, dua hari setelah upacara pemakaman
Ibunda dari M uchsin. Ketika itu, Ismail datang ke rumahnya M uchsin
sebagai kawan untuk menghibur rasa duka dari M uchsin. M ereka
kemudian bercerita, seraya menghabiskan waktu dipelataran rumah
dari M uchsin. Cerita mereka kemudian berujung pada tawaran
pekerjaan dari M uchsin. Dengan adanya tawaran itulah, sehingga
Ismail lalu memutuskan untuk berangkat ke Jayapura.
Berikut merupakan alasan Ismail merantau, yang dia ungkapkan
ketika penulis mewawancarainya;
“waktu itu saya memang sudah mau berheti kerja dari rumah
makan dan cari pekerjaan lain. Habis biar saya sudah kerja dua
tahun juga saya punya gaji cuma 150/bulan. Jadi waktu Muchsin
tawar saya kerja dengan dia di sini, saya terima. Karena dia mau
kasi saya gaji yang dua kali lebih besar, waktu itu kalau tidak salah
450/bulan. Itu yang bikin sampai mau pindah ke sini”.

Dari berbagai alasan yang telah disampikan oleh Ismail maupun
Ramli. Nampak bahwa permasalah utama mereka di daerah asal
(M akassar) adalah minimnya penghasilan yang mereka peroleh.

44

Permasalahaan inilah yang membuat sehingga mereka memilih untuk
merantau, guna memperoleh penghasilan yang lebih baik.

Kehidupan Awal Di Jayapura
Setelah mengetahui tentang bagaimana dan mengapa para
informan merantau. Tentu muncul pertanyaan di benak kita tentang
dimana awalnya mereka tinggal di Kota Jayapura, dan apa profesi awal
mereka di Kota Jayapura. Serta bagaimana cara mereka bergaul di Kota
Jayapura. Untuk menjawab pertanyan-pertanyaan itu, maka
pembahasan pada bagian ini akan memberikan penjelasan secara
empiris tentang tempat tinggal serta profesi awal mereka di Jayapura.
Serta cara mereka bergaul dengan sesama M akassar, dan warga lainnya
di Kota Jayapura.

M emulai Langkah Bersama Teman/Kerabat
Perjalanan menuju Kota Jayapura, ditempuh oleh M uchsin dan
temannya (Yusman), selama empat hari. M ereka tiba di Kota Jayapura,
pada malam hari, dan langsung menuju tempat kos dari Yusman, yang
terletak di daerah W aena. Di tempat itulah, M uchsin kemudian
bermalam untuk pertama kalinya di Kota Jayapura.
Keesokan harinya, Yusman lalu mendaftarkan M uchsin, untuk
dapat bekerja bersamannya, di salah satu perusahaan penambangan
golongan c, yang terletak di daerah padang bulan. Berkat bantuan dari
Yusman, akhirnya M uchsin dapat diterima bekerja sebagai staf
pemasara. Untuk itu, Muchsin resmi diterima sebagai karyawan pada
perusahaan tersebut, terhitung mulai tanggal 28 Oktober 1991.
Hari berikutnya, Yusman dan M uchsin bergegas untuk bertemu
dengan pemilik kos, guna meminta satu kamar kos bagi M uchsin.
M elalui pertemuan dan perundingan dengan pemiliki kos, akhirnya
M uchsin diijinkan untuk menghuni kamar kosong, yang berada persis
di sebelah kamar dari Yusman. Kamar ini kemudian menjadi tempat
tinggal M uchsin yang pertama di Kota Jayapura.
45

Pada bulan M ei 1993, Yusman mengalami suatu kecelakan lalu
lintas serius, dan akhirnya meninggal. Peristiwa itu sangat membuat
M uchsin terpukul, dan sangat sedih. Untuk menghilangkan rasa
kerinduannya terhadap Yusman, akhirnya pada bulan juni 1993,
M uchsin memutuskan untuk pindah dari tempat kosnya, dan
mengontrak sebuah rumah di daerah padang bulan.
Belum ada setahun M uchsin pindah ke rumah barunya, dia harus
segera pulang ke M akassar, karena ibundanya meninggal. Setelah
mengikuti upacara pemakaman ibunya, M uchsin akhirnya kembali ke
Jayapura, guna melanjutkan usaha rumah makan yang telah dia rintis
sejak M aret 1993. Pada saat dia kembali ke Jayapura, dia tidak sendiri,
tetapi dia ditemani oleh sahabatnya, Ismali.
M uchsin dan Ismail melakukan perjalanan dari M akassar, ke
Jayapura selama empat hari. Begitu mereka tiba di Jayapura, mereka
kemudian menuju rumah kontrakan dari M uchsin. Karena rumah
kontrakan tersebut, terdiri dari tiga kamar tidur, maka M uchsin lalu
mengijinkan Ismail untuk menempati satu kamar di rumah itu. Sejak
saat itulah, Ismail tinggal bersama dengan Muchsin di rumah
kontrakan itu.
Setelah puas beristrihat selama seharian, maka pada hari
berikutnya mereka lalu mengunjungi rumah makan milik M uchsin.
M ereka kemudian membagi tugas untuk membersihkan tempat itu,
dan mempersiapkan bahan-bahan untuk membuka kembali rumah
makan tersebut. Dengan persiapan yang mereka lakukan, maka pada
hari berikutnya, mereka dapat membuka kembali rumah makan itu.
Sejak saat itulah, Ismail resmi bekerja pada usaha milik sahabatnya itu.
Pada akhir tahun 1996, karena M uchsin telah menikah dengan
ulfah, dan mereka harus tinggal bersama. Sehingga Ismail akhirnya
memilih untuk pindah dari kontrakan itu, dan menyewa satu kamar
kos, di daerah M erpati-Abepura. Tetapi pada saat itu, Ismail tetap
bekerja di usaha rumah makan milik M uchsin.

46

Jika Ismail harus mengawali langkahnya dengan tinggal bersama
M uchsin di rumah kontrakan, maka tidak demikian dengan Baco.
Karena setelah Baco tiba di Jayapura, bersama dengan pamannya. Dia
langsung diboyong untuk tinggal bersama pamannya, di rumah yang
cukup megah, yang berada di daerah Furia Kota Raja. Baco kemudian
diminta untuk tetap tinggal bersama paman dan tantenya, karena
mereka tidak memiliki anak. Akhrinya selama di Jayapura Baco
memutuskan untuk tinggal di rumah pamannya.
W alaupun Baco tinggal di rumah megah, tapi dia tidak
seberuntung Ismail, yang langsung mendapat pekerjaan. Karena ketika
dia tiba di Jayapura, pendaftaran pegawai negeri di Jayapura, sudah
ditutup. Hal itu membuat Baco tentu harus menunggu waktu
pendaftaran pegawai negeri berikutnya. Untuk mengisi waktu, Baco
kemudian membuat kue dan menjualnya di depan rumah pamanya.
Kegiatan ini ternyata memberikan penghasilan yang memuaskan pada
Baco. Sehingga Baco akhirnya terus menekuni profesinya ini, dan tidak
lagi tertarik untuk menjadi pegawai negeri.
Pada tahun 1994, ketika usaha dari Baco telah berkembang
cukup besar. Dia lalu mendatangkan Ramli dari M akassar dengan
mengunakan kapal laut. Sesudah Ramli tiba di Jayapura, Baco segera
menjemput dan membawanya untuk tinggal di salah satu tempat kos di
daerah Abepura. Tempat kos itu memang sengaja dipersiapkan oleh
Baco sebagai tempat tinggal Ramli.
Setelah dua hari Ramli beristrahat, dia lalu menemui Baco, untuk
mendapat penjelasan tentang pekerjaan apa yang harus dia lakukan.
Baco kemudian memberikan penjelasan pada Ramli tentang tugasnya,
yaitu sebagai penjaga toko kue milik Baco. Pada hari itulah Ramli
memulai pekerjaannya sebagai penjaga toko kue. Itulah profesi awal
Ramli di Kota Jayapura.
Setelah kurang lebih lima bulan Ramli bekerja sebagai penjaga
toko kue, dia lalu mendapat tugas baru dari Baco. Tugas atau pekerjaan
baru yang diemban oleh Ramli adalah menjemput kue dari para

47

distributor, dan mengantar kue kepada pelanggan. Profesi ini ditekuni
oleh Ramli selama kurang lebih tiga tahun.
Tahun 1997, Setelah Ramli menikah, dia lalu memutukan untuk
mendirikan usaha sendiri. Berselang empat tahun kemudian, Ramli
mendengar kabar bahwa adiknya (Ridwan) dan istri adiknya (Asmi),
kehilangan pekerjaan mereka. Sebagai kakak, tentu Ramli
berkewajiban untuk membantu adiknya itu. Dengan demikian dia
berinisiatif mendatangkan Ridwan dan Asmi ke Jayapura.
Tetapi sebelum Ramli mendatangkan Ridwan dan Asmi ke
Jayapura. Terlebih dahulu Ramli menyiapkan tempat tinggal bagi
mereka. Tempat tinggal yang disediakan oleh Ramli adalah salah satu
rumah sewa yang terletak di daerah pasar lama Abepura. Sehingga
ketika Ridwan dan Asmi tiba di dermaga Jayapura, Ramli langsung
mengiring mereka menuju rumah sewa itu. Disanalah Ridwan dan
Asmi tinggal untuk pertama kalinya di Kota Jayapura.
Tiga hari kemudian, Ramli mengajak Ridwan dan Asmi untuk
pergi ke toko miliknya, yang merupakan tempat kerja Ridwan dan
Asmi nantinya. Sesampainya mereka di toko itu, Ramli lalu
menjelaskan tentang keberdaan toko itu, dan bagaimana nantinya
Ridwan dan Asmi bekerja. M elalui penjelasan Ramli, mereka berdua
lalu mengerti pekerjaan apa yang harus mereka lakukan. Sejak saat
itulah Ridwan dan Asmi, dipercaya oleh Ramli, untuk mengelola
tokonya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pekerjaan (profesi)
awal Asmi di Jayapura, adalah sebagai penjaga toko.

M enjadi Anggota I KBM
Setelah seminggu tinggal dan bekerja di Kota Jayapura, Asmi
meresakan kurang nyaman. Karena walaupun di lingkungan tempat
tinggal dan tempat kerja mereka, banyak dijumpai orang M akassar.
Tetapi orang M akassar yang mereka jumpai, selalu bersikap seolah
acuh dan tak pernah menyapa Asmi dan suaminya. Kondisi ini lalu
dikeluhkan oleh Asmi pada Ramli, ketika mereka mengunjungi Ramli
dan Istrinya.
48

M enanggapi hal itu, Ramli tersenyum lalu menceritakan bahwa
dulu ketika pertama kali dia datang ke Jayapura, dia juga mengalami
hal yang sama. Kemudian Baco mengajaknya untuk ikut bergabung
sebagai anggota Ikatan Keluarga Besar M akassar (IKBM ) di Kota
Jayapura. Sejak saat itulah, dia dikenal dan diperlakukan selayaknya
saudara oleh orang M akassar yang ada di Jayapura. Untuk itu, Ramli
menyarankan pada Asmi dan suaminya untuk ikut dengannya pada
silaturami IKBM yang akan diadakan pada tiga hari berikut. Saran dari
Ramli diterima dengan baik oleh Asmi dan suaminya. Sehingga
berselang tiga hari berikut, mereka kemudian mengikuti Ramli untuk
pergi ke silaturami IKBM .
Dalam silaturahmi itu, Asmi dan suaminya diminta untuk mengisi
formulir ke-anggotaan, dan memperkenalkan diri di hadapan para
anggota IKBM yang hadir. Akhirnya sejak saat itu, mereka resmi
menjadi anggota IKBM , dan dikenal oleh orang M akassar yang ada di
Jayapura. Dengan demikian mereka tidak lagi diacuhkan oleh orangoarng M akassar yang mereka temui, baik di tempat kerja, maupun
tempat tinggal mereka.
Cerita dari Asmi, dibenarkan oleh Ramli dan Baco, ketika mereka
ditemui di Café Prima Garden Abepura. Dalam pertemuan itu, Baco
bercerita bahwa pada awalnya dia mengetahui adanya organisasi
IKBM, karena diperkenalkan oleh Pamannya. Kemudian dia dapat
bergabung menjadi anggota IKBM, karena dia diajak oleh pamanya,
untuk mengikuti silaturahmi IKBM . Berikut kutipan pengakuan Baco;
“W aktu om Ali cerita-cerita tentang IKBM, saya itu tidak terlalu
pusing untuk dengar. Terus Om Ali bilang saya ikut Om ke
Silaturahmi IKBM, memang waktu itu saya bilang iya, tapi saya
sebenarnya mau cari alasan untuk tinggal. Tapi waktu Om
bilang kalau di sini orang Makassar semua itu anggota IKBM,
jadi kalau saya tidak mau jadi anggota IKBM, nanti pas saya
susah mereka tidak mau bantu. Saya dengar itu, langsung saya
mau ikut Om ke silaturahmi itu, dan saya akhirnya jadi
anggota”.

49

Setelah Baco menceritakan kisahnya, Baco lalu menambahkan
bahwa ketika Ramli baru datang dan bekerja di Jayapura. Ramli sempat
mengalami kondisi yang sama dengan Asmi, yaitu diacuhkan oleh
beberapa orang M akassar yang sering datang ke toko kue miliknya.
melihat kondisi itu Baco sadar bahwa para pelanggan dari sesama
M akassar, bersikap demikian pada Ramli, karena mereka mengira
Ramli bukan orang M akassar. Untuk itu, dia lalu mengajak Ramli ke
silaturahmi IKBM , dan memasukan Ramli sebagai anggota IKBM . Pada
saat itulah Ramli mulai dikenal dikalangan orang M akassar yang ada di
Jayapura. Cerita ini dibenarkan oleh Ramli, yang mengatakan;
“Apa yang Baco bilang itu betul, bulan pertama waktu saya baru
datang ke sini. Orang-orang Makassar macam tidak mau tegur
saya. Tapi setelah Baco ajak saya ke silaturahmi IKBM, terus
saya perkenalkan diri kalau saya juga orang Makassar. Baru
mulai dari situ, kalau mereka datang ke toko, mereka tegur dan
bicara-bicara dengan saya, padahal sebelumnya te’na (tidak).

Apa yang dialami oleh Ramli, juga dialami oleh Ismail, ketika dua
bulan pertama dia bekerja di rumah makan milik M uchsin. Pada waktu
itu, Ismail mengaku begitu merasa seperti diacuhkan oleh sesama orang
M akassar yang datang ke rumah makan itu. Karena walaupun mereka
(pelangan orang M akassar) telah mengenalnya sebagai sahabat
M uchsin yang datang dari M akassar. Tetapi setiap kali mereka datang
ke rumah makan itu, mereka selalu bersikap acuh padanya.
M elihat situasi yang terjadi, dia kemudian bertanya pada M uchsin,
mengapa orang-orang itu bersikap demikian. Dari penjelasan M uchsin,
barulah dia tahu bahwa hal itu terjadi karena dia belum menjadi
anggota IKBM . Dengan demikian dia lalu memutukan untuk menjadi
anggota IKBM Jayapura. Hal seperti yang dia sampaikan dalam kutipan
wawancara berikut;
“saya waktu itu rasa macam bagaimana begitu, karena setiap orang
Makassar kalau datang ke warung, selalu tanya mana Muchsin?,
kalau saya bilang Muchsin keluar, mereka langsung diam saja.
Padahal kalau ada Muchsin, mereka biasa cerita banyak. Saya
pertama kira, itu biasa, karena mereka belum kenal. Tapi saya pikir
50

lagi, masa setiap kali mereka datang itu Muchsin sudah bilang kalau
saya ini dia punya teman dari Makassar. Tapi mereka tetap saja
sikap seperti itu, terus dua bulan lebih saya kerja di situ, masa
belum cukup kenal? Apalagi ada beberapa orang makassar yang
hampir tiap hari makan di warung itu. saya lihat begitu, saya tahu
ada yang tidak beres, jadi saya tanya Muchsin. Terus Muchsin
bilang, kalau di sini itu, orang Makassar biasanya anggap orang
Makassar yang tidak gabung di IKBM, itu orang yang tidak tahu
diri, dll. Dari situ saya tahu, mereka buat begitu ke saya, karena
saya belum gabung dengan IKBM. Makanya saya langsung tanya
Muchin, bagaimana bisa jadi anggota IKBM. Muchin bilang cukup
datang satu kali di silaturahmi IKBM, terus perkenalkan diri dan isi
formulir. Saya dengar itu dan pas silaturahmi IKBM bulan Februari
1995, saya langsung ikut dan daftar jadi anggota. Dari situ baru
kelihatan orang-orang Makassar yang biasa datang ke warung itu,
terus bikin muka tembok, akhirnya mulai akrab dengan saya”.

Itulah cerita yang dituturkan oleh Ismail, dalam wawancara di
kediamannya. Cerita ini kembali dipertegas oleh M uchsin, sehari
kemudian, ketika penulis mewawancari M uchsin. M enurut M uchin,
dia memang menyampaikan pada Ismail, seperti apa yang Ismail
sampaikan. Karena, ketika dia baru datang ke Jayapura, Yusman juga
menjelaskan hal yang sama untuknya. Hal ini seperti yang dia
sampaikan dalam kutipan wawancara berikut;
“saya pertama tidak mau bergabung dengan IKBM, karena saya
pikir; saya datang untuk kerja, bukan untuk ikut segala macam.
Tapi akhirnya saya gabung dengan IKBM, karena Yusman bilang ke
saya; ‘Muchsin, kita ini kan dirantau, jadi kita harus cari teman,
makanya kau harus ikut IKBM, supaya orang makassar lain bisa
kenal kau, dan anggap kau juga orang Makassar, biar kalau kau
susah, mereka mau bantu’. Kata-kata itu juga yang saya pakai untuk
ajak ismail gabung dengan IKBM”.

Demikianlah pemaparan dari M uchsin, Ismail, Baco, Ramli, dan
Asmi tentang mengapa dan bagaimana mereka menjadi anggota IKBM .
Untuk membuktikan Apa yang telah mereka sampaikan, penulis
51

kemudian mewawancarai Bapak Haji JR, selaku ketua umum IKBM
Jayapura.
Dalam wawancara bersama Bapak Haji JR, di rumahnya. Bapak
Haji JR menjelaskan bahwa organisasi IKBM , merupakan salah satu
organisasi masyarakat (ormas) di Kota Jayapura. Tujuan organisasi
IKBM didirikan adalah untuk menghimpun dan memberdayakan
masyarakat M akassar, agar tercipta kekerabatan, keharmonisan dan
kesejahkteraaan hidup warga M akassar di Jayapura.
Untuk itu, sejak didirikan pada tahun 1980-an, IKBM selalu aktif
menghimpun warga M akassar yang ada di Kota Jayapura. Dia
menambahkan bahwa untuk menjadi anggota IKBM, tidak
memerlukan biaya ataupun syarat-syarat yang sulit. Syarat utama
untuk menjadi anggota IKBM adalah harus berasal dari daerah
M akassar. Kemudian, syarat kedua adalah sekali mengikuti kegiatan
silaturahmi IKBM, dan mengisi formulir keanggotaan IKBM .
Bapak Haji JR juga menjelaskan bahwa walaupun hingga saat ini,
anggota IKBM yang terdaftar dari segala usia, telah mencapai 28.652
jiwa. Tetapi IKBM selalu berusaha untuk mengakomodir semua
kepentingan anggotanya, baik dalam bidang usaha, maupun karir
politik. M enurutnya, IKBM dapat memainkan peran demikian bagi
anggotanya, karena IKBM memiliki anggota yang terdiri dari segala
profesi (wirausaha, PNS, birokrat, legeslatif, eksekutif, POLRI, TNI,
dll). Sehingga memungkinkan IKBM untuk mendapatkan sumber daya
organisasi, dan akses terhadap kebijakan pemerintah.

Terbuka Tetapi Tidak Berbaur
“Terbuka tetapi tidak berbaur”, itulah kata-kata yang digunakan
oleh Bapak Julham untuk melukiskan kehidupan orang M akassar yang
ada di Kota Jayapura. Bapak Julham mengatakan ini, ketika penulis
menanyakan padanya mengenai, bagaimana orang M akassar
membentuk relasi atau hubungan dengan warga masyarakat lainnya di
Kota Jayapura (selain orang M akassar).

52

M enurutnya, orang M akassar di Kota Jayapura pada umumnya
hidup secara terbuka dengan warga masyarakat lainnya. Artinya,
mereka tidak menutup diri terhadap warga masyarakat lainnya, yang
datang untuk bergaul dengan mereka. M ereka akan dengan ramah
menyambut kehadiran orang dari suku lain di rumah mereka, dan
menghargai orang itu.
Tetapi sebaliknya, mereka justru jarang sekali untuk berbaur
dengan warga masyarakat lainnya, di sekitar mereka. Artinya, mereka
enggan untuk datang ke rumah, atau bergaul dengan warga lainnya.
M ereka akan lebih memilih untuk diam di rumah, atau pergi bekerja,
dari pada bergaul dengan masyarakat sekitar.
Apa yang dijelaskan oleh Bapak Julham, tidak jauh berbeda
dengan penjelasan yang diberikan Bapak Teo (51), tetangga dari
M uchsin. M enurutnya, M uchsin dan keluarga selama tinggal
bertetangga dengannya, mereka hidup rukun dan saling menghargai.
Tetapi memang M uchsin jarang sekali untuk keluar rumah dan berbaur
dengan warga lainnya, seperti duduk bercanda gurau bersama, atau
main gaplek bersama.
Penjelasan yang senada juga disampikan oleh Bapak Viktor (57),
yang merupakan tetangga dari Baco. M enurut Bapak Viktor, selama dia
bertetangga dengan paman dari Baco, hingga saat ini Baco. Dia hanya
melihat mereka berbaur dengan warga, ketika ada kerja bakti, atau
pertemuan di lingkungan itu. Tetapi dia tidak pernah melihat Baco,
atau pamannya, datang bertamu di rumah lainnya, yang ada di
lingkungan mereka.
Kenyataan yang sama juga penulis temui selama melakukan
pengamatan terhadap rutinitas dari M uchsin dan Baco. Karena dari
hasil pengamatan selama lebih dari dua minggu. Penulis mendapati
bahwa sehari-hari Baco dan M uchsin lebih sering sibuk mengurusi
usaha dan keluarganya. Apabila ada waktu sengang bagi mereka,
mereka lebih memilih untuk pergi ke rumah teman atau kerebat
mereka sesama orang M akassar.

53

Rutinitas keseharian yang sama juga ditunjukan oleh Ramli, Ismail
dan Asmi. Tetapi dalam khasus mereka bertiga, penulis cukup
memaklumi keadaan itu. Karena bila ditinjau dari posisi tempat tinggal,
Ramli dan Ismail tidak dapat berinteraksi dengan warga lainnya karena
tempat tinggal mereka yang berada dibibir jalan raya Sentani-Jayapura,
dan tidak tergabung atau jauh dari pemukiman warga lainnya.
Sedangkan bila Asmi jarang berinteraksi dengan warga lainnya, hal itu
lebih karena lingkungan tempat tinggal Asmi, di pasar lama Abepura.
pada umumnya dihuni oleh orang M akasssar.

54