Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Migran dalam Bingkai Orang Papua T2 092011007 BAB V

Bab Lima
Relasi M asyarakat Lokal dan M igran
di Distrik Nabire
“Suku Papua pantai. Seruai, Biak, Merauke, Nabire Jayapura
dan Papua Gunung, Dani, Moni, dan Mee (Ekari)” Suku non
Papua Ambon, NNT, Bugis, Makassar, Ternate, Batak, Jawa,
Manado Toraja dan Kalimantan”.

Pengantar
Dalam kehidupan bermasyarakat relasi menjadi penting untuk
mengantarkan setiap individu, atau kelompok dalam suatu suasana
sosial yang cair dan hidup. Dalam suasana sosial yang cair dan hidup
diawali dari berbagai aktivitas yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Berbagai aktivitas yang dilakukan baik individu maupun
secara bersama selalu berkaitan dengan tuntutan kebutuhan dari setiap
individu dan keluarga. Dengan dorongan kebutuhan tersebut membuat
setiap individu harus membuka diri untuk saling berhubungan satu
sama lain dengan mengedepankan kerja sama yang saling memberi
manfaat bagi kedua belah pihak yang melakukan kerja sama tersebut.
Namun dalam setiap kehidupan sosial tentu relasi yang terjadi tidak
selalu berjalan dalam suasana seperti yang diharapkan banyak individu.
Harapan oleh banyak orang dalam kehidupan sosial adalah terjadinya

sebuah relasi yang menuntun dan menempatkan setiap individu dalam
aktivitas relasi yang lebih baik dan tetap terjaga. Tetapi impian relasi
yang normal itu pun terhalang dengan latarbelakang setiap individu
maupun kelompok yang berbeda, baik hubungannya dengan aktivitas,
tujuan, dan tradisi. Dari berbagai perbedaan ini melahirkan perilaku
81

setiap individu dan kelompok yang berbeda dalam membangun sebuah
relasi, sehingga pada bagian ini penulis mengetengahkan hasil relasi
antara orang Papua sebagai masyarakat lokal dan beberapa etnis migran
yang sama-sama hidup dan beraktivitas dalam kehidupan bermasyarakat, Relasi yang terjadi antara orang Papua dan migran dengan
berbagai aktivitasnya ditegaskan dan dijelaskan sebagai berikut:

I nteraksi antar Orang Papua dan Luar Papua
Interaksi yang dibangun antara orang Papua dan luar Papua di
Distrik Nabire Barat melalui kegiatan yang berbeda. M igran Jawa lebih
membangun relasi di kegiatan pertanian padi, peternakan, olah kayu,
jualan di pasar dan pertukangan serta beberapa kegiatan musiman
lainnya yang biasa dilakukan masyarakat secara serentak seperti kerja
bakti di lingkungan masing-masing RT, namun relasi yang intensif

pada pertanian, dan peternakan. M igran NTT membangun relasi pada
kegiatan olah kayu dan dalam lingkungan tetangga. Dari dua jaringan
relasi ini yang lebih intensif dan berdampak, yaitu relasi pendidikan.
Sedangkan migran Bugis M akassar membangun relasi pada kegiatan
olah kayu dan sebagian lingkungan, namun lebih pada bisnis. Ini
merupakan jaringan relasi yang sudah berjalan lama dan berdampak
luas bukan hanya pada orang Papua saja tapi pada migran luar Papua
juga. Dari masing-masing migran dengan jaringan relasinya mampu
membawa perubahan bagi orang Papua. Berikut ini akan dibahas relasi
masing-masing migran.
Relasi orang Papua dengan M igran Jawa

Relasi orang Papua dengan migran Jawa pada umumnya diawali
dengan pola pembauran. Pola pembauran atau pola pemukiman antar
Papua dan luar Papua dilakukan secara acak oleh sebagian orang Papua
dan migran luar Papua yang tinggal bersama dalam satu lingkungan
yang disebut jalur. Dalam lingkungan tersebut terjadi interkasi secara
umum dan sudah berjalan dengan baik. M ereka saling menghargai,
menghormati satu sama lain dalam kehidupan berma-syarakat mulai
82


dari lingkungan rukun tetangga (RT) sampai pada lingkungan sosial
secara umum, karena didukung dengan pola hidup yang saling
membaur di antara warga. Pola pemukiman ini sengaja dibuat
pemerintah agar terjadi sosialisasi di antara migran dalam kehidupan
bermasyarakat. Namun dalam proses pembauran antara orang Papua
dan luar Papua (Jawa) ternyata sebagian bisa bertahan tetapi sebagian
lain tidak bisa bertahan. M ereka terpaksa harus pindah ke jalur lain
atau ke kampung lain yang banyak migran Papuanya. Perpindahan ini
biasa terjadi dalam wilayah Distrik Nabire Barat, sedangkan sebagian
ada yang keluar dari lingkungan transmi-grasi, tinggal di kota ikut
keluarga atau kembali ke kampungnya.
M igran yang tidak bertahan terpaksa harus pindah atau kembali
ke kampung, maka lahan yang diperuntukkan bagi migran, yaitu lahan
tempat tinggal maupun lahan untuk pertanian dijual dengan murah
yang berkisar antara Rp. 500.000,- sampai Rp. 1.500.000,- per lahan.
Apabila dibandingkan dengan nilai jual lahan sekarang sangat tinggi
yang berkisar antara belasan sampai ratusan juta. Sikap ini dilakukan
karena mereka diperhadapkan pada hal-hal baru yang mereka (Papua)
tidak mampu untuk beradaptasi, sehingga muncul perasaan minder,

tidak terbuka dan menutup diri dengan dunia luar, yang pada akhirnya
merasa tersisih dari lingkungan. Kondisi ini meninggalkan perasaan
menyalahkan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Sebagaimana
penuturan Pak Hj. Sutrisno berikut ini:
Hubungan dalam masyarakat khususnya masyarakat local ada
yang membaur dengan transmigran dari Jawa ada juga yang
tidak, yang membaur mereka bisa tanam padi bahkan anakanaknya ngomong bahasa Jawa dengan kami (Jawa) yang ada
dilingkungan tempat tinggal, ada yang tidak membaur dengan
masyarakat transmigran merasa tersisi akhirnya menjual
tempatnya dan pindah ke tempat lain atau pulang kampung.

Dari informasi yang terkandung dalam penuturan ini peneliti
menyimpulkan bahwa terjadi dua kelompok pembauran dalam
komunitas M asyarakat lokal (orang Papua). Pertama bisa bertahan
karena mampu mensiasati lingkungan baru dengan baik, dan mau
bertahan menghadapi tantangan. Ini merupakan sebuah pilihan yang
83

harus dijalani dengan modal kerja keras untuk mencapai perubahan
kehi-dupan. Sementara sebagian masyarakat lokal (Papua) tidak bisa

bertahan karena tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan baru. Ini
merupakan gambaran dari ketidakseriusan pemerintah dalam
memperhatikan dan mensosialisasikan manfaat tinggal dan hidup
bersama transmigran di lingkungan transmigrasi atau ikut program
transmigran lokal.
Ada cerita lain yang berkaitan dengan pola pembauran yang
peneliti jumpai di saat penelitian, dimana awalnya terjadi pembauran,
namun belakangan masyarakat lokal membentuk kelompok tersendiri
atau biasa disebut lokalan tersendiri dan membentuk Rukun Tetangga
(RT) yang khusus masyarakat lokal saja. Perlu dilihat faktor-faktor apa
yang melatar belakangi langkah ini. Dari fenomena ini peneliti dapat
memberikan beberapa alasan:
Alasan pertama, dari segi jumlah M asyarakat lokal sudah mulai
banyak. Oleh sebab itu perlu untuk membentuk kelompok sendiri agar
dalam kehidupan sehari-harinya mereka (orang Papua ) dengan mudah
mensosialisasikan dan menghidupkan budaya dan tradisinya. Sekalipun pola ini tidak mendukung sebuah perubahan yang positif.
Alasan kedua, pemberlakukan yang berkaitan dengan kebijakan
dirasa tidak menguntungkan mereka (orang Papua) maka dibuatlah RT
sendiri agar sesuatu yang menyangkut dengan hak-hak dan kewajiban
mereka (orang Papua) diatur dan dikelola oleh mereka (orang Papua)

sendiri. Sekaligus ketua RT-nya dari mereka (orang Papua) sendiri.
Agar mereka bisa belajar memimpin dan menyelesaikan persoalan di
dalam komunitas trans lokal sendiri.
Alasan ketiga, adalah dari sisi budaya dan stradisi yang berbeda,
serta sebagian orang Papua merasa tidak nyaman dan kurang percaya
diri dalam bersosialisasi dan berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa Indonesia.
Alasan keempat, merupakan salah satu cara mempertahankan
jumlah masyarakat lokal (Papua) di daerah transmigrasi. Dengan pola
pem-bauran maka bagi masyarakat lokal yang tidak mampu

84

beradaptasi, dan menutup diri dari dunia luar pada akhirnya langkah
yang diambil adalah keluar, pindah atau kembali ke kampungnya. Pada
bagian ini menandakan lemahnya peranan pemerintah dalam
memberikan pelayanan secara optimal kepada masyarakat lokal, serta
kurangnya kerja sama antara pemerintah, masyarakat dan tokoh-tokoh
agama dan adat dalam mencari penyebab dan solusi terhadap kondisi
masyarakat lokal di daerah transmigrasi. Seperti penuturan informan

berikut ini:
Dulu pemerintah memberikan tempat-tempat semuanya satu
Rukun Tetangga (RT). Dalam satu RT dulu di isi 2 sampai 10
KK artinya campuran. Sekarang ada yang membuat lokalan
sendiri. Maksudnya warga lokal (Papua) bikin Rukun Tetangga
(RT) sendiri dan tidak sesuai lagi dengan peta.

Penuturan informan ini tentang terjadinya pembauran pada awal
transmigran antara orang Papua dan luar Papua. Namun pembauran itu
tidak bertahan lama karena antara kelompok orang Papua yang
minoritas dan migran luar khususnya Jawa yang mayoritas pada posisi
masing-masing memperkuat dan kembali hidup dalam kelompoknya.
M igran luar merasa memiliki sesuatu yang berbeda yang belum
dimiliki oleh orang Papua. Yang dimaksud di sini adalah Sumber Daya
M anusia dan tradisi yang berbeda dengan orang Papua. Selain itu
dalam kehidupan sosial banyak hal yang dirasa tidak memberi
keleluasaan dan tidak berpihak pada mereka (orang Papua), dengan
tuntutan kondisi dan perkembangan kehidupan masyarakat yang
semakin terbuka dan peluang keberpihakan otonomi pada kelompok
minoritas di daerah transmigrasi. Lewat peluang itulah orang Papua

mencoba membentuk komunitas sendiri di tengah kelompok
mayoritas.
Orang Papua merasa nyaman bila membangun relasi di luar
kelompoknya. Kenyamanan dan kemudahan relasi dirasakan sebagian
orang Papua dalam hidup bersama dengan migran luar Papua.
Berdasarkan informasi di lapangan, bahwa tinggal dan berrelasi antar
warga di lingkungan transmigrasi dirasakan lancar, aman, damai, dan
ada kerja sama antar tetangga. Aman dan damai yang peneliti pahami
adalah tidak ingin terganggu dan disibukkan dengan perilaku atau
85

kebiasaan yang tidak bersifat membangun atau malah menjadi
hambatan dalam mencapai perubahan dalam kehidupan individu
maupun keluarga. Bagian dari tradisi atau kebiasaan yang dianggap
menghambat dalam kehidupan kelompok atau suku adalah adanya
perasaan iri di antara sesama. Adanya banyak waktu santai dan juga
tidak terlalu dibebani dengan tanggungan adat. Perasaan iri merupakan
bagian dari suasana yang juga dirasakan sebagian masyarakat dalam
kehidupan berkelompok. Namun banyak waktu santai dan beban adat
merupakan bagian dari perilaku yang terlihat secara umum dalam

kehidupan kelompok orang Papua. Bagi sebagian orang Papua yang
terbuka dalam berrelasi di lingkungan antar sesama migran merasa
bahwa cara atau tradisi ini berbeda dan tidak mendukung suatu usaha
yang lebih mengarah pada kehidupan yang lebih baik terutama
kegiatan ekonomi. Sebagaimana penuturan informan berikut ini:
Rasakan beda, beda itu di daerah trans kerjanya serentak, aman.
Kalau di luar dari daerah trans itu tidak ada pembinaan serentak.
Jadi biar sedikit usaha ada gangguan habis yan habis. Diluar ada
gangguan banyak. Turus torong kerja orang bisa iri dan segala
macam halangan. Lebih bagus didaerah trans aman, damai, kerja
sama dengan tetangga dan komunikasi lancar.

Pernyataan informan tentang perbedaan tinggal di dalam
kelompok dan tinggal di luar kelompok atau berbaur dengan sesama
warga di lingkungan transmigrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa
dari kegiatan pertanian cukup dirasakan apabila berada di lingkungan
transmigasi, karena suasana kerja dilakukan secara serentak. Serentak
artinya sebagian besar masyarakat petani melakukan kegiatan pertanian secara bersama pada waktu pagi maupun sore hari, sehingga
suasana ini secara tidak langsung menggerakkan dan memotivasi orang
Papua untuk ikut tetap melakukan kegiatan pertanian.

Secara program, kelompok pertanian mendapatkan perhatian dan
kemudahan dalam pelatihan untuk menambah informasi tentang
pengetahuan dalam pertanian yang berkaitan dengan cara-cara pertanian yang baik. Selain itu dari sisi pengeluaran agak sedikit hemat
apabila berada di lingkungan transmigran. Hal-hal yang sering meng86

ganggu pemanfaatan pendapatan yaitu tradisi tanggungan yang
berhubungan dengan adat yang disebut denda, dan itu merupakan
sebuah keharusan bagi anak-anak adat orang Papua. Adanya ketergantungan pada sesama cukup kuat terutama keluarga, demikian pula
kebiasaan pinjam meminjam yang juga merupakan bagian dari
kehidupan sosial orang Papua. Suasana lingkungan masyarakat dirasakan aman dan damai dalam kehidupan bersama yang mendukung
jalannya kegiatan masing-masing migran. Ada keterbukaan dalam
berkomunikasi antara warga di lingkungan transmigrasi yang lancar
dan santun.
Orang Papua yang bertahan dan berbaur dengan migran Jawa
umumnya transmigran awal. Transmigran awal ini berasal dari
beberapa daerah di Papua. M ereka berasal dari pantai, yaitu Serui,
Biak, Nabire, dan dari pedalaman yang disebut Papua gunung, yaitu
Paniai, W amena. M ereka yang sebagian migran lokal awal ini berstatus pensiunan pegawai negeri (guru), polisi, ada juga pendeta, dan
masyarakat biasa, tetapi ada pula pegawai kesehatan (mantri) yang ditugaskan di daerah transmigrasi sekaligus menetap sebagai transmigran
lokal. Orang Papua awal ini cukup dikenal dalam kehidupan masyarakat migran di daerah transmigrasi. M ereka (Papua awal) ini juga

mampu menunjukkan pada migran luar bahwa orang Papua juga bisa
bersaing dalam kehidupan di lingkungan transmigrasi terutama yang
berkaitan dengan kegiatan ekonomi.
Relasi antar orang Papua dengan migran Jawa dimulai sejak
bertransmigrasi di Distrik Nabire Barat. Berdasarkan keterangan dari
beberapa informan, bahwa relasi tersebut dimulai dengan melakukan
kerja sama pembersihan lingkungan (RT) tempat tinggal dari sisa kayu,
duri rotan dan penimbunan jalan dari dan ke jalur. Dari relasi awal
inilah terbentuk sebuah kebersamaan yang terjalin dengan baik dan
merupakan sebuah tradisi yang terwujud dalam beberapa kegiatan
masyarakat sampai saat ini. Kegiatan masyarakat yang dimaksud adalah
mendirikan rumah, membuat pondasi rumah dan juga di sektor
pertanian khususnya padi. Kegiatan keagamaan serta sosial lainnya
masih dipertahankan dan dijalankan dalam kehidupan masyarakat.

87

Sebagaimana penuturan informan berikut ini:
Pekarangan rumah masih pecek (berlumpur) rawa. Tidak bisa
lewat kayu-kayu masih timbun (numpuk) di sini. W arga yang
masuk ke muka (pertama, duluan) itu tahun 1982. Lain tinggal di
SP 2 dan SP 3, karena rumah belum jadi. Pertama kami masuk
besoknya Rukun Tetangga (RT) perintahkan kerja sama tutup
(timbun) kolom di jalur ini dan juga duri rotan banyak sekali dan
sama warga buat jalan jalur ini.

Keterangan informan mengisahkan tentang kondisi awal dan
tempat tinggal bagi transmigran, yang mana saat itu untuk SP 1 sebagai
salah satu tempat penempatan pemukiman migran belum siap ditempati, karena rumah sebagian belum jadi dan jalannya masih rawa,
berair dan berlumpur. Terpaksa sebagian migran yang sudah terlanjur
datang, baik migran Papua maupun luar Papua harus numpang atau
tinggal sementara di keluarga yang tempatnya (rumahnya) sudah jadi,
terutama di 2 kampung, yaitu Satuan Pemukiman dua (SP 2) yang
sekarang disebut kampung Kalisemen, dan Satuan Pemukiman tiga (SP
3) yang sekarang disebut kampung W adio. Sambil menunggu rumah
yang dikerjakan rampung dan siap untuk ditempati baru mereka
pindah. Dua satuan pemukiman inilah pertama dikerjakan oleh
pemerintah lewat kerja sama dengan pihak perusahaan yakni Perseroan Terbatas (PT) Bumikarsa yang berpusat di luar Papua (Jawa).
Relasi orang Papua dengan migran Jawa pada kegiatan pertanian
padi
dimulai di Distrik Nabire Barat. Pertanian padi di awal
transmigrasi merupakan sebuah keharusan bagi semua warga, baik
lokal (Papua dan NTT) maupun luar Papua. Beberapa informan
mengatakan, migran dibagi dalam dua kelompok. Apabila yang mendapatkan pembagian tanah kering atau keras maka jenis tanamannya
disesuaikan seperti, keladi, petatas, singkong dan sayur-sayuran.
Sedangkan yang mendapatkan pembagian tanah berupa rawa atau
basah, maka harus menanam padi.
Pak Adii, anak dari generasi pertama migran lokal Papua,
mengatakan:
Bahwa kebetulan saat itu orang tua saya dapat tanah basah maka
kami menanam padi. Saat itu pemerintah lebih berperan dalam

88

proses pembinaan bagi petani dan penyediaan bibit padi
terutama pada migran Jawa. Kemudian orang tua saya juga ikut
menanam padi. Orang tua saya tau tanam padi dengan cara
melihat, dan bertanya kepada tetangga dari Jawa yang bertani
padi. Dan juga penanaman padi secara serentak oleh petani padi
yang diawasi Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) pertanian,
dan pegawai transmigrasi.

Dengan cara-cara itulah orang migran awal ini bisa menanam
padi. Sedangkan saat ini anaknya termasuk orang Papua yang sudah
bisa bertani padi. Semua itu dari orang tua dan anak (pak Adii) selalu
bertanya pada migran Jawa tentang hal-hal yang tidak diketahui seperti
jenis-jenis pupuk yang digunakan untuk penyuburan tanah, cara-cara
penggunaannya, maupun untuk hama-hama yang merusak padi.
Sebagaimana penuturan infroman berikut ini:
Awal di daerah trans ini dibagi masyarakatnya dalam dua
kelompok tergantung kondisi yang dapat tanah kering atau keras
dia tanam keladi,petatas,singkung, dan sayur-sayuran. Sedangkan dapat tanah yang rawa atau basah dia tanam padi. Kebetulan
bapak saya dapat tanah basah maka kami tanam padi.Sediakan
bibit oleh pemerintah. Penanaman serentak oleh kelompok tani
padi, diawasi oleh PPL pertanian dan pegawai transmigrasi.
Bapak saya tau tanam padi dengan cara melihat dan bertanya
pada tetangga yang tanam padi.

Keterangan informan tersebut menjelaskan tentang relasi warga
di daerah transmigrasi lewat kegiatan pertanian sudah dimulai sejak
migran lokal pertama. Namun relasi yang dibangun oleh migran pada
kelompok tani padi masih bersifat umum yang menggabungkan semua
petani dalam satu kegiatan. Dimulai dari saat penanaman maupun
kegiatan pembinaan lain yang dilakukan oleh lembaga pertanian,
sehingga yang terlihat memperkuat relasi antara petani padi yaitu
pihak lembaga formal pertanian khususnya PPL dan pegawai transmigrasi. Untuk orang Papua pada saat itu mempunyai semangat dan
kemauan menekuni pertaniaan padi cukup tinggi. Sekalipun jumlah
orang Papua masih sedikit dibanding dengan migran dari laur Papua.

Orang Papua saat itu dalam relasinya dengan migran Jawa untuk
89

mengenal pertanian padi masih memerlukan kerja keras, yaitu dimulai
dari relasi dengan tetangga migran Jawa yang bertani padi di lingkungan tempat tinggal. Di sanalah orang Papua berkreasi untuk
bertanya pada migran Jawa tentang ha-hal yang berhubungan dengan
pertanian padi, dan itulah yang dialami orang Papua awal yang berada
didaerah transmigrasi distrik Nabire Barat. Dengan cara-cara atau sikap
tersebut secara tidak sadar turut memperkuat hubungan antara warga
di lingkungan masing-masing. Cara atau sikap ini pada umumnya
dilakukan orang Papua yang sudah lama tinggal bersama migran Jawa
dan masih tetap menekuni pertanian padi.
Hambatan-hambatan yang dialami petani padi saat itu adalah
sarana penggilingan padi. Sarana penggilingan atau sidipan waktu itu
baru satu dan itu pun ada di Bumiwonorejo Distrik Nabire yang
jaraknya sekitar 3 sampai 7 km dari Distrik Nabire Barat. Untuk sampai
di sana petani terpaksa memikul hasil panennya dengan berjalan kaki
dengan melewati hutan dan rawa, karena jalan belum bisa dilewati
mobil. Setelah sampai di sana belum langsung digiling karena melalui
antrian, sehingga terkadang membutuhkan waktu sekitar 2 hari baru
menjadi beras. Kemudian dengan pekembangan pembangunan yang
semakin hari semakin diperhatikan, jalan yang dulunya hanya bisa
dilewati dengan berjalan kaki sekarang sudah bisa digunakan untuk
kendaraan baik roda dua maupun roda empat, dan untuk penggilingan
padi pun sudah ada di Distrik Nabire Barat. Sebagaimana penuturan
informan berikut ini:
W aktu itu untuk pengilingan (sidipan, eremu) itu cuma di
Bumiwonorejo kita itu pikul ke sana jauh tetapi kami tetap
berusaha 2 hari baru jadi beras. Kami bawa pulang ke rumah
begitu terus sampe pemerintah buat jalan baru di situ bisa kami
pakai sepeda dari situ sudah mulai sampe sekarang sudah maju.
Dan pemerintah kasih sidipan satu disini distrik Nabire Barat
jadi sudah mudah petani.

Saat itu di lokasi penelitian yang dulunya disebut Distrik
W anggar dan sekarang menjadi Distrik Nabire Barat belum ada alat
penggilingan padi (sidipan), hanya ada satu di Bumiwonorejo Distrik
Nabire kota. Kondisi jalan saat itu belum bisa dilewati kendaraan baik
90

roda dua maupun roda empat, karena jalan menuju ke Bumiwonorejo
masih dalam proses membangun, sehingga untuk sampai ke tempat
penggilingan hanya dengan berjalan kaki. Namun saat ini pertani
merasa sudah tidak sulit lagi dengan penggilingan, karena di Distrik
Nabire Barat sudah ada alat atau mesin penggilingan yang diperoleh
dari bantuan pemerintah masa kepemimpinan Anselmus Petrus Youw
dan swadaya anggota koperasi atau masyarakat sendiri. Kedua mesin
penggilingan ini ada di Kampung Bumiraya SP 1, karena SP 1 menjadi
lumbung padi di Distrik Nabire Barat.
Relasi orang Papua dengan migran Jawa dibangun lewat pertanian padi sejak migran awal. Suatu hal yang menarik peneliti amati
dari beberapa orang Papua awal yang menekuni pertanian padi, ada
yang masih tetap melanjutkan pertanian padi baik anaknya atau
bersama orang tuanya, ada juga yang tidak melanjutkan pertanian padi
ter-utama anaknya dari migran awal. Orang Papua yang masih
melanjut-kan pertanian padi pada umumnya mereka yang bertempat
tinggal atau bertetangga dekat dengan migran Jawa dan selalu menjaga
relasi yang baik dalam kehidupan lingkungan bertetangga, serta
disiplin dalam memperhatikan waktu kegiatan pertanian padi. Selain
itu ada semangat untuk bekerja keras dalam menekuni pertanian padi.
Sedangkan sebagian orang Papua yang tidak bertahan dan melanjutkan
pertanian padi umumnya dalam kehidupan bertetangga jauh dari
lingkungan migran Jawa dan kurang membangun relasi dengan migran
Jawa dalam hal pertanian padi, serta kurang semangat untuk bekerja
keras. M ereka lebih memilih menekuni kegiatan ekonomi yang lain
dengan ber-argumen, bahwa kerja pertanian padi membutuhkan
tenaga yang kuat. Kalau tenaga perempuan tidak mampu untuk
melakukan pertanian padi, mereka memilih berjualan di pasar.
Sebagaimana penuturan informan berikut ini:
Dulu orang tua saya tanam padi dan berkebun, tapi turun ke
kami (anak-anak) tidak lagi tanam padi. Sekarang anak tidak
mampu di padi lagi jadi jualan di pasar saja.

Pengakuan informan tentang pertanian padi yang dilakukan
91

orang tuanya, sedangkan anak-anak sudah memilih melakukan kegiatan lain selain pertanian padi. Dari keterangan ini peneliti menyimpulkan bahwa pada saat itu pertanian padi menjadi pilihan kegiatan
utama bagi semua warga yang ada di daerah transmigrasi. Baru
kemudian ada perhatian dari pemerintah yang cukup ketat dalam
proses kegiatan khususnya pertanian padi. Dalam hal ini lembaga
pertanian dan transmigrasi terlibat langsung di lapangan dengan
mengutus pegawainya.
Relasi itu telah berubah menjadi lebih kuat lagi saat migran
Papua diberikan kepercayaan untuk membentuk kelompok pertanian.
Tahun 2005 pemerintah lewat Dinas Pertanian memberikan dana
sebesar Rp. 100 juta pada salah satu sesepuh warga Papua yaitu Pak
Alex Tinal yang ditunjuk sebagai ketua. Dengan dana tersebut Pak
Alex Tinal langsung membentuk kelompok tani yang diberi nama
kelompok tani Persatuan Cenderawasih. Yang merupakan gabungan
dari migran Papua dan migran Jawa atau yang disebut oleh kepala suku
(pak Alex Tinal) gabungan antara Papua pantai, Papua gunung, dan
Papua Pendatang yang lahannya berdekatan dalam satu lokasi dengan
jumlah anggota kelompok sebanyak 24 orang. Awalnya kelompok tani
ini disebut Cenderawasih satu yang dikhususkan untuk migran Papua.
Namun dalam prosesnya sedikit mengalami kendala dengan keseriusan
dari anggota kelompok sehingga pada akhirnya bubar. Kemudian dari
dana tersebut dibelikan sarana penunjang kegiatan pertanian seperti
traktor, gerobak padi, dan alat kerja yang lain seperti parang, cangkul
dan sekop.
Kelompok pertanian persatuan Cenderawasih ini masih tetap
berjalan sampai sekarang, dan tidak semua orang Papua yang bertani
padi menjadi anggota kelompok. Namun yang tidak masuk menjadi
anggota kelompok pun tetap eksis karena sudah terbiasa dengan
bertani padi. Sebagian yang tidak masuk manjadi anggota kelompok
karena lahan tidak berdekatan dan terpencar-pencar. Kebanyakan yang
menjadi anggota kelompok tani yaitu petani generasi migran kedua,
yaitu kebanyakan dari anak-anak migran awal. Seperti penuturan
informan berikut ini:

92

Tahun 2005 pemerintah kasih uang Rp.100 juta saya (pak Alex
Tinal) langsung bentuk kelompok tani lokal dan uang itu saya
(pak Alek Tinal) beli traktor, gerobak padi, dan barang kerja lain
yaitu parang, cangkul, dan sekop disiapkan untuk anggota
sebanyak 24 orang.

Dengan dana itulah pak Alex Tinal sebagai orang Papua yang
dipercaya oleh pemerintah mengelola pertanian khususnya membentuk kelompok tani orang Papua yang ada di daerah transmigrasi.
Kepercayaan itu diberikan pada pak Alex Tinal karena beliau selain
sebagai kepala suku dan sesepuh, ia juga mempunyai sifat kebapakan,
berwibawa, dan pengayom bagi semua masyarakat migran yang ada di
Distrik Nabire Barat. Beliau juga cukup bijak dalam mengatasi persoalan yang terdakang dialami oleh warga didaerah trnsmigrasi, artinya
tidak memihak pada suku mana pun dalam menyelesaikan suatu kasus
yang dilakukan atau dialami oleh masyarakat migran, baik luar ataupun
Papua, khususnya di Kampung Bumiraya.
Relasi yang dibangun kepala suku dengan migran Jawa yang
bertatus perantau pada kegiatan pertanian, khususnya kebun sayur.
M igran perantau ini merupakan bagian dari migran Jawa yang tidak
memiliki lahan dan tidak diberikan lahan, karena bukan sebagai
migran yang berstatus transmigrasi yang mendapatkan pembagian
lahan. Sebagian dari mereka merupakan keluarga dari transmigran
yang ada di daerah transmigrasi, ada juga yang tidak mempunyai
keluarga sama sekali. M ereka ini datang dengan tujuan mencari
pekerjaan namun tidak sesuai dengan harapan dan yang diinginkan.
Dengan kenyataan itulah kepala suku (pak Alex Tinal) mengumpulkan
mereka dalam satu kelompok tani yang khusus menanam sayur dan
istri Pak Alex Tinal juga turut menanam sekaligus mengawasi kegiatan
kelompok tersebut. Kelompok tani merupakan satu-satunya yang ada
di Distrik Nabire Barat yang dibentuk oleh bapak kepala suku (pak
Alex Tinal) dengan memberikan lahan kepada migran Jawa yang
berstatus sebagai perantau yang berjumlah sekitar 70 KK. Di atas lahan
tersebut mereka diberi kesempatan untuk membangun rumah yang
sederhana atau pondokan-pondokan sebagai tempat tinggal. Namun
lahan yang digarap tersebut sewaktu–waktu akan digunakan oleh

93

pemiliknya atau diambil kembali. Sebagaimana penuturan informan
berikut ini :

Berbaur, jadi kalau kelompok tani Cenderawasih itu asli (benar
orang transmigrasi), tapi kelompok sayur itu orang-orang Jawa
yang merantau sebanyak 70 KK yang saya (pak Alex Tinal) taru
(tempatkan) di situ. Itu memang tanah orang bos bos punya, saya
disuruh (diberi kepercayaan) untuk jaga. Dari pada jadi hutan
saya kasih masuk mereka untuk garap. Dan tidak tanam tanaman
jangka panjang. Jadi kalau punya tanah mau ambil ya silahkan
itu yang saya lakukan.

Lahan yang dipergunakan adalah lahan yang dipercayakan oleh
pemiliknya pada pak Alex Tinal untuk dijaga agar jangan sampai
diganggu dan diambil orang lain. Hal ini dilakukan karena persoalan
ini sering dialami di masyarakat terutama bagi pemilik lahan atau
tanah. Tanah atau lahan yang digarap para petani, pemiliknya adalah
bos-bos, sebutan bagi pejabat-pejabat pemerintah yang membeli lahan
atau tanah di daerah transmigasi. Pemilik lahan itu pun tidak berasal
dari satu daerah kabupaten tetapi juga dari daerah (kabupaten) lain di
Papua. Bahkan bukan hanya orang Papua saja tetapi juga luar Papua.
Rasa peduli ini dilatarbelakangi oleh relasi yang begitu dekat dan kuat
antara Pak Alex Tinal dengan migran Jawa yang dibangun sejak sebagai
migran lokal pertama sampai saat ini. Selain itu istri kedua Pak Alex
Tinal adalah migran Jawa yang juga diberi tanggungjawab mengelola
kelompok tani sayur.
Relasi orang Papua dan migran Jawa dalam tataran kegiatan
pertanian padi cukup memberikan dampak positif bagi orang Papua.
Berdasarkan keterangan beberapa informan mengatakan:
Dulu pertanian padi diajarkan atau diberitahu oleh migran Jawa
tentang cara menanam padi dan perawatannya sampai panen
pada kami (migran Papua). Namun sekarang proses itu sudah
bisa kami (migran Papua) lakukan sendiri. Mulai dari penanaman, pesemayaman bibit, dan perhitungan waktu menanam
yang tepat, yaitu dilakukan pada tanam musim pertama antara
pertengahan Oktober sampai awal Nopember. Sedangkan tanam
musim kedua antara pertengahan Maret sampai awal April.
Biasanya penanaman dilakukan 2 kali dalam setahun, dan juga

94

sudah bisa mengoperasikan mesin perontok padi.

Untuk saat ini, orang Papua yang mau menanam padi tidak perlu
lagi melibatkan migran dari luar Papua, karena anak-anak Papua
sendiri sudah bisa melakukannya. Di samping itu ada juga keterlibatan
pemerintah dalam hal pembinaan pertanian bagi orang Papua, melalui
pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan tata cara pertanian padi
yang baik, mulai cara mengoperasikan traktor, tanam padi sampai
masalah hama. Pembinaan atau pelatihan ini pada umumnya diarahkan atau sasarannya pada migran generasi kedua, baik yang baru masuk
menjadi KK ataupun pecahan KK dari keluarga migran awal (pertama).
M igran awal pada umumnya sudah paham langkah-langkah yang
diperhatikan dalam proses pertanian padi, sebagaimana penuturan
informan berikut ini:
Jawa dulu ajarkan kita (orang Papua) cara tanam padi dan cara
merawatnya. Sekarang anak Papua juga ikut pelatihan pertanian. Jadi untuk tanam tinggal pangil anak Papua sendiri. Dan kita
(migran Papua) sendiri juga bisa buat pesemayam bibit padi.
Hitungan waktu tanam, dan tau bawah (operasikan) mesin
perontak Padi. Kita (orang Papua) juga bersyukur dengan
kedatangan transmigrasi di sini. Karena kita (orang Papua) sudah
tau tanam padi. Pada hal dulu kitorang (orang Papua) berkebun,
tokok sagu dan berburu. Dan sebagian dari mereka Jawa bekerja
keras itu yang behasil dan sukses. Begitu dengan kita orang
Papua.

Pengakuan informan ini tentang kegiatan pertanian atau mata
pencaharian yang ditekuni orang Papua sebelum dan setelah adanya
transmigrasi. Kedatangan migran Jawa dengan pola pertanian padi
telah memberikan perubahan pada tradisi pertanian dan mata pencaharian orang Papua. Pola pertanian orang Papua pada umumnya,
berkebun, tokok sagu dan berburu, kini sudah mengalami pergeseran
dari berkebun ke pertanian padi yang menetap, sedangkan pola mata
pencaharian meramu dan berburu sudah mulai ditinggalkan. Sebagian
orang Papua masih tetap menekuni pertanian cara lokal yang disebut
dengan berkebun. Bagi mereka pertanian padi merupakan suatu model
pertanian yang baru dan mempunyai tata cara yang berbeda dengan
pola pertanian yang selama ini ditekuni. Selain itu pertanian padi juga
95

memerlukan keseriusan dan kerja keras, sehingga bagi migran Papua
yang bekerja keras mereka merasakan manfaat dari pertanian padi.
Padi diolah menjadi beras bisa digunakan dalam beberapa bulan,
sedangkan ubi, petatas dan keladi yang diambil dari kebun harus
digunakan hari itu dan tidak bisa disimpan atau bertahan dalam waktu
lama, karena akan rusak dan membusuk. Selain itu hasil kebun seperti
petatas, ubi dan keladi kurang laris dan harga murah karena konsumennya sedikit. M eskipun demikian, mereka tidak meninggalkan
secara total pertanian lokal. Hal itu terlihat di sekitar pekarangan
tempat tinggal (rumah) orang Papua ditanami petatas, keladi atau ubi
kayu, dan juga di sekitar lahan padi atau di atas tumpukan bedeng di
tancap batang-batang ubi kayu. Dapat dipahami bahwa itu merupakan
bagian dari tradisi dan indentitas orang Papua yang indentik dengan
petatas dan ubi-ubian.
Relasi orang Papua dan migran Jawa bukan pada kegiatan
pertanian padi saja tetapi juga pada kegiatan perkebunan jeruk manis.
Berdasarkan keterangan beberapa informan, bahwa di samping bertani
padi mereka juga menanam jeruk manis. Awal menanam jeruk terlebih
dulu mereka menanyakan cara menanam jeruk yang baik pada migran
Jawa, yaitu tentang jarak antara pohon jeruk yang satu ke pohon jeruk
yang lain yang berkisar antara 1 sampai 3 meter, dan juga diperhatikan
pupuk serta perawatannya. Untuk perkebunan jeruk yang ditekuni
orang Papua hanya ada beberapa petani lokal saja. Dari beberapa orang
Papua yang dimaksud adalah orang Papua awal, seperti penuturan
informan (orang Papua) berikut ini:
Selain bertani padi saya juga punya kebun jeruk manis. Tapi
tidak terlalu banyak sekitar 40 pohon yang ada di samping
rumah ini. Saya beli bibit di orang Jawa 1 pohon bibit Rp.
20.000,-. Sebelum tanam saya tanya pada orang Jawa bagaimana
cara tanam jeruk yang baik. Orang Jawa bilang harus memperhatikan jaraknya sekitar 1 sampai 3 meter dan berikan pupuk.

Dengan berbekal informasi yang diperoleh dari migran Jawa,
migran Papua ini sekarang sudah bisa menanam jeruk sekalipun hanya
96

beberapa pohon yang ada di sekitar pekarangan rumah. Selain menanam jeruk ia juga berhasil dalam menanam padi. Keberhasilan dalam
menanam padi pun melalui proses yang sama dengan cara bertanya
pada migran Jawa.
Relasi yang dibangun lewat kegiatan peternakan antara orang
Papua dengan migran Jawa dulu berbeda dengan sekarang. Perternakan dulu yang berperan adalah pemerintah, namun tidak terlibat
langsung dalam kegiatan di lapangan misalnya pengawasan langsung
pada kegiatan perternakan. Dulu semua urusan peternakan masih di
provinsi. Untuk melaksanakan proses peternakan di lapangan yang
berhubungan dengan cara perkawinan sapi jantan dan betina, diutuslah perwakilan dari masing-masing kampung untuk mengikuti pelatihan peternakan di provinsi (Jayapura), yaitu (SP1) kampung Bumiraya
sekarang, diwakili oleh bapak Tawaru. Beliau adalah orang Papua awal
yang bermigrasi ke Distrik Nabire Barat, sedangkan dari (SP2)
Kampung Kalisemen sekarang, diwakili oleh bapak Aronggear. Beliau
juga orang Papua awal yang berstatus sebagai transmigran lokal, setelah
selesai mengikuti kegiatan pelatihan di Jayapura selama tiga minggu.
Pemerintah memberikan sepasang sapi betina dan jantan lewat
pemerintah daerah khususnya lembaga teknis (pertanian dan peternakan) Kabupaten Nabire, kemudian diserahkan kepada bapak Tawaru
dan bapak Aronggear. Dengan sepasang sapi itu Pak Tawaru dan bapak
Aronggear harus menerima dan bersedia melakukan perkawinan
antara sapi jantan dan betina, terutama transmigran yang mempunyai
sapi betina. Pak Tawaru dan Aronggear juga sudah menyediakan
tempat khusus untuk dilakukan perkawinan sapi tersebut. Caranya
dengan memasukkan sapi betina lebih dulu ke dalam tempat yang
sudah disiapkan semacam bilik. Baru dimasukkan jantan maka
terjadilah perkawinan. Untuk satu kali kawin, Pak Tawaru menarik
Rp.5000. Penarikan biaya ini atas inisiatif Pak Tawaru yang digunakan
untuk perawatan sapi betina pada waktu itu, dimana kandang berdekatan dengan tempat tinggal. Proses pertenakan awal ini terlihat
adanya relasi yang kuat antara orang Papua dan luar Papua, dan
sekaligus saling melengkapi kekurangan dalam kegiatan perternakan.

97

Sebagaimana penuturan infroman berikut ini:
Dulu tahun 1986 bapak diutus ikut kursus (pelatihan) peternakan. Saya (bapak Tawaru) mewakili SP 1 dan bapak Aronggear
SP 2 di Jayapura selama 3 minggu. Dulu kantor pertanian dan
transmigrasi. Kami kembali ke sini, dikasih sapi satu pasang.
Yang didrop ke tempat peternakan. Mereka (pemerintah) bilang
ini pak Tawaru punya. Lain hanya dapat satu ekor yang dilotre
dapat jantan atau betina. Kami dilatih di Jayapura tentang
bagaimana cara kasih kawin. Sapi betina masuk baru jantan bisa
kawin. Jadi satu kali kawin mereka bayar Rp.5000,-

Dari infromasi ini dapat disimpulkan bahwa peternakan yang
dulu dilakukan pemerintah adalah dengan cara pelatihan terlebih dulu
baru kemudian diberikan ternak (sapi). Perwakilan warga dari masingmasing Satuan Pemukiman (SP) diberi tanggungjawab untuk melatih
dan melakukan proses perkawinan antara sapi jantan dan betina. Kalau
dilihat dari sistem birokrasi, dulu lebih berorintasi pada perampingan
atau sering diistilahkan miskin lembaga tapi kaya fungsi. Sekarang
terbalik kaya lembaga, miskin fungsi. Artinya lembaga yang
mempunyai fungsi yang saling terkait dijadikan satu lembaga. Sekarang banyak lembaga namun tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
M isalnya untuk saat ini pertanian sendiri disebut Dinas Pertanian dan
Tanaman Pangan, sedangkan Transmigrasi dinamakan Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja.
Relasi kegiatan peternakan sekarang lebih mengarah pada pembentukan kelompok yang sesuai dengan kelompok migran di Distrik
Nabire Barat. Pemerintah pusat (Jakarta) mengucurkan dana pada
masing-masing daerah transmigrasi lewat pemerintah provinsi untuk
pengembangan peternakan bagi warga migran, baik orang Papua
maupun luar yang berstatus sebagai migran tetap. Tahun 2011 masingmasing kelompok migran di Distrik Nabire Barat menerima dana
sebesar Rp. 100 juta, khususnya masyarakat lokal Papua dan migran
Jawa. Kelompok peternakan orang Papua dipercayakan pada Pak Alex
Tinal sebagai ketua kelompoknya. Dengan tanggungjawab tersebut Pak
Alex Tinal menggunakan dana Rp.100 juta untuk membeli sapi 36
ekor, dan membuat kandang sapi. Dari 36 ekor tersebut, terdapat 3
ekor jantan dan 32 ekor betina. Jumlah betina lebih banyak dari pada
98

jantan dengan pertimbangan untuk pengembangan anakan sapi, yaitu 1
ekor sapi jantan dapat dilakukan perkawinan dengan beberapa sapi
betina secara bergilir.
Untuk pengembangan dan perawatan dibuat sebuah kandang
yang panjangnya sekitar 15 meter. Lebarnya sekitar 3 meter dengan
berpetak-petak terisi sekitar 2 sampai 3 ekor sapi betina. Kandang
beratap seng, berbahan kayu besi, dan berlantai semen. Posisinya agak
jauh dari pemukiman warga, sehingga dalam prosesnya sebagian
berkembang, ada juga yang hilang dan mati. M asing-masing anggota
kelompok diberikan satu pasang. Selain itu pemiliknya mempunyai
tanggungjawab untuk menyediakan rumput, air serta membersihkan
tempat atau kandangnya dari sisa-sisa kotoran. Pembersihan dilakukan
biasa 1 kali dalam 2 sampai 3 hari. Hasil pembersihan atau kotoran
digunakan sebagai pupuk pada tanaman sayur dan penyuburan tanah,
sedangkan menyediakan rumput biasa dilakukan pada sore hari untuk
penyediaan malam. Penuturan infroman berikut ini:
Baru-baru tahun 2011 diberikan dana dari pusat besar Rp.100
juta. Saya gunakan bikin (buat) kandang sapi. Dan beli sapi 35
ekor, jantan 3 ekor. Betina 32 ekor. Sampai sekarang berkembang dan masing-masing anggota yang punya mengurusnya
sendiri. Mulai ambil rumput sampai pembersihan kandangnya.
Tai sapi yang ada dikasih pupuk untuk sayur, dan dihambur di
tanah.

Pengakuan informan tentang gambaran proses kegiatan pada
pertenakan orang Papua yang dilakukan secara kelompok. Gambaran
peternakan kelompok ini dimulai dengan proses awal sampai pada
kegiatan masing-masing peternak di lapangan, yang dimulai dengan
pemberian dana kepada ketua kelompok, pembentukan kelompok,
penentuan lokasi dan sampai pembuatan kandang dan tanggungjawab
masing-masing anggota kelompok untuk mengurus ternaknya. Anggota
kelompok pada umumnya mereka yang baru atau belum terbiasa melakukan kegiatan perternakan sapi, sehingga dalam proses kegiatannya
sedikit mengalami kesulitan. Pada akhirnya timbul rasa bosan, capai,
dan berujung pada ketidakseriusan dalam menekuni kegiatan peternakan. Di samping itu sudah terbiasa dengan tradisi peternakan yang bebas
99

atau melepas ternaknya pada lingkungan untuk mencari makan.
Bentuk kelompoknya kurang memperhatiakan pembauran antara
orang Papua dan luar Papua.
Ternak sapi orang Papua yang dilakukan secara pribadi lewat
relasi dengan tetangga lebih berhasil dan sukses. Berdasarkan pengamatan peneliti pada satu keluarga migran Papua dan khususnya
keluarga bapak Kogoyo, dengan jumlah ternak sapi sekitar 7 ekor,
membuat kandang di sekitar lingkungan rumah. Kandang atau pagar
yang dibuat dari bambu dan kayu di lahan yang berukuran sekitar 0,5
hektar terlihat cukup untuk peternakan sapi dalam jangka waktu
sementara. Apabila terlalu lama dan bertahan dengan persedian
rumput yang terbatas tentu akan berpengaruh pada proses perkembangan dan pertumbuhan sapi selanjutnya. Sapi-sapi kadang dilepas
atau diikat di sekitar rumah di bawah pohon, kadang dibawa ke tempat
yang banyak rumput lalu diikat, sambil melakukan pekerjaan lain
seperti mengumpulkan kayu bakar untuk memasak atau mengambil
rumput untuk persipan malam. Setelah mendekati sore sapi mulai
dilepas dan dibawa pulang ke rumah.
Proses itu yang selalu dilakukan oleh Pak Kogoyo sehari-hari
dalam menekuni ternak sapi. Selain itu beliau juga memiliki beberapa
ekor babi yang terlihat berkeliaran di halaman rumah dan lingkungan.
Namun belum sampai pada tingkat mengganggu lingkungan yang
cukup dirasakan oleh tetangga. Karena di sekitar rumah sedikit berair
dan ditumbuhi pohon-pohon dan rumput yang memberikan keteduhan pada babi untuk tidak terlalu berkeliaran. Beliau bertetangga
dengan migran Jawa dan juga membangun relasi dengan tetangga yang
lain, sehingga dalam kehidupan bertetangga terlihat aman dan terjadi
komunikasi yang lancar.
Sebagian bibit sapi dan babi diberikan pada anaknya yang sudah
bekeluarga untuk dipelihara. Dari hasil pemberian tersebut, dan
melalui proses ternak yang sama seperti orang tuanya, anaknya dapat
membiayai pembangunan rumah yang cukup berkelas di sekitar jalur
itu. Dengan konstruksi semi permanen berlantai keramik biru muda
bermotif kuning, dan setengah dinding berkeramik putih, serta papan
100

bercat hijau daun yang memberikan warna yang indah. Rumah yang
terlihat elit itu hanya dimiliki oleh beberapa orang Papua yang ada di
daerah transmigrasi, khususnya kampung Bumiraya. Itu pun hampir
semuanya keluarga Kogoya. Sebagaimana penuturan informan berikut
ini:
Saya bertenak sapi dan babi. Bibit sapi dan babi dikasih dari
bapak mantu. Tapi setelah saya bagun rumah ini saya jual
sebagian untuk tambah-tambah modal. Saya piara sapi ini
kemaun sendiri. Karena sapi itu kan cuman makan rumput saja.
Jadi mudah atau gampang, babi juga begitu. Yang penting kita
rajin kasih makan. Jika kita rajin kasih makan berarti dia sehat.

Keterangan informan tentang beternak sapi dan babi sebernarnya bukan sesuatu yang sulit, karena sapi makanannya hanya rumput
yang mudah diperoleh di lingkungan baik di sekitar halaman rumah
maupun di tempat lain. Untuk berternak sapi atau babi yang utama
adalah serius, rajin dan mau bekerja keras agar memperoleh suatu hasil
yang maksimal. Babi bagi orang Papua merupakan hewan yang cukup
dikenal dalam kehidupan orang Papua. Babi bukan sekedar ternak
biasa tetapi juga mempunyai nilai budaya, sehingga dalam acara adat
atau acara tertentu lainnya tentu memerlukan babi. M ereka beranggapan bahwa acara tanpa babi dianggap belum bernilai budaya. Saat ini
babi sudah menjadi salah satu ternak yang diprogramkan oleh pemerintah, namun bagi sebagian orang Papua belum dikelola secara serius,
karena prosesnya masih menggunakan cara lama yaitu tidak
dikandangkan.
Relasi antara orang Papua dan migran Jawa juga terlihat pada
kegiatan olah kayu yang dilakukan di Distrik Nabire Barat. Beberapa
informan mengatakan, bahwa keterlibatan orang Papua dalam
pekerjaan oleh kayu ini dimulai sejak tahun 2004. Pekerjaan yang
diberikan pada orang Papua adalah sebagai pembantu sensor yang
dalam dunia olah kayu disebut helper. Keterlibatan orang Papua dalam
kegiatan olah kayu, yaitu atas kesadaran migran Jawa, karena adanya
hidup bersama dengan orang Papua di lingkungan transmi-grasi.
Dengan kesadaran itulah ada beberapa orang Papua yang mau bekerja
keras, tabah dan tekun sehingga mampu mengoperasikan mensin

101

sensor, bahkan sampai pada tingkat bongkar pasang mensin. Sekalipun
melalui proses yang agak sedikit lama, serta membutuhkan kesabaran
dalam melakukan pembinaan bagi tenaga kerja orang Papua yang
terlibat pada kegiatan tersebut, terkadang mereka harus diberi
dorongan dan diingatkan tentang manfaat pekerjaan yang sementara
dilakukan. Sebagaimana penuturan informan berikut ini:
Tenaga kerja orang Papua kita libatkan juga waktu kerja di
hutan. Karena kita hidup sama-sama orang Papua. Paling tidak
jadi Helper (pembantu sensor). Yang ikut kita sudah bisa
pengang sensor sendiri. Seperti yuli Kadepa. Enos. Dan Daud
Douw suku Ekari. Dan juga 4 orang lain lagi. Mereka itu sudah
bisa gesek kayu sendiri, ukuran kayu.dan bisa bongkar pasang
mesin.

Dari relasi itu beberapa tenaga kerja orang Papua yang sebelumnya hanya sebagai pembantu, kini mereka sudah bisa memegang sensor
dan juga melakukan kegiatan olah kayu sendiri. Semuanya adalah
orang Papua gunung, yaitu suku Ekari atau disebut M ee. Sebagian besar
dari suku ini mendiami wilayah Kabupaten Enarotali dan beberapa
daerah di sekitarnya yang sudah dimekarkan menjadi kabupaten baru,
yaitu Kabupaten Deyai dan Dogiyai.
M odal usaha untuk kegiatan olah kayu dimulai dari modal kerja
sama dan modal lainnya. M odal lain yang dimaksud adalah tempat
usaha atau lokasi yang digunakan sebagai tempat kegiatan olah kayu
ataupun simpanan dari hasil kerja keras sebelumnya, sedangkan kerja
sama yang dilakukan tentu dengan pihak-pihak yang mempunyai
modal, baik dalam bentuk uang atau benda. Berdasarkan penuturan
informan, pada tahun 2004 mereka memulai kegiatan olah kayu dalam
bentuk industri somwell bermodal kerja sama dengan pihak lain (rekan
atau keluarga). Kerja sama tentu ada pembicaraan antara kedua pihak
tentang hasil dan proses kegiatannya, antara lain tentang hasil yang
akan diperoleh setelah proses bekerjaan selesai. Untuk informasi ini
peneliti tidak memperoleh informasi secara detail, karena informan
masih ragu dan tidak berani menyampaikan kepada peneliti. Peneliti
pahami bahwa itu menyangkut rahasia perusahaan. Namun dalam
proses kegiatannya satu pihak yang menangani kegiatan secara
102

langsung di lapangan.
Karena kegiatan olah kayu dan industri somwell mempunyai dua
tempat kerja terpisah, maka terjadi pembagian tugas antara anak dan
bapak. Bapak mempunyai tugas mengawasi kegiatan atau pekerjaan
penebangan kayu di hutan. Hasil penebangan menjadi penyuplai kayu
utama ke somwell, juga membeli dari pekerja sensor lain di masyarakat. Sedangkan anak mengawasi pekerjaan di somwell yang berlokasi
di depan rumah. Dengan pembagian tugas tersebut situasi kerja tetap
berjalan lancar. Berdasarkan pengamatan peneliti di lokasi kerja
(somwell) terdapat 1 mesin somwell, dan 2 mobil truk. Satu truk atau
pick up yang digunakan untuk mengantar kayu kepada pemesan atau
pembeli, sedangkan 1 truk yang besar digunakan untuk mengangkut
kayu dari lokasi kerja (hutan) ke somwell. Di samping itu terdapat 2
tenaga kerja lain yang semuanya migran Jawa. Sebagaimana penuturan
informan berikut ini:
Kalau kayu, bapak sudah sendiri tahun 1986 kami sudah mulai
ola kayu. dulu kan kita belum punya somwell begini. Kita punya
somwell 2004 awal-awal gempa waktu itu. Modalnya join sama
rekan atau kerja sama begitu.

Kegiatan olah kayu sudah dimulai sejak tahun 1986. Kegiatan
olah kayu saat itu masih dilakukan secara pribadi dengan menggunakan satu mensin sensor, dengan 2 tenaga kerja, 1 operator dibantu oleh
1 orang helper. Hasil sensor dijual sesuai dengan ukuran kebutuhan
lokal. Lokal artinya untuk ukuran pembuatan rumah seperti 5.5 5.10
dan 10.10. Jaringan penjualannya melalui pesan orang atau ditampung
di rumah dan dijual. Namun umumnya melayani pesanan orang.
Konsumennya saat itu lebih banyak masih di sekitar daerah transmigrasi. Lokasi kerja masih dekat dengan jalan dan kampung, sehingga
mudah untuk memindahkan hasil kerja dari hutan ke rumah. Namun
saat ini, dengan perkembangan dan peluang usaha pada kegiatan olah
kayu, memberi peluang untuk mengembangkan usaha dari bersifat
pribadi dan kecil menjadi usaha kayu yang lebih besar, yaitu industri
somwell dengan modal kerja sama. Namun hasilnya tetap melayani
kebutuhan lokal, baik di daerah transmigrasi maupun di luar, khusus-

103

nya di Kabupaten Nabire.
Hambatan-hambatan yang dialami dalam proses kegiatan olah
kayu pada umumnya yang dialami semua pengusaha kayu di Distrik
Nabire Barat. Peneliti mendapatkan informasi dari salah satu pengusaha kayu yang mengungkapkan, bahwa hambatan yang sering dialami
dalam pekerjaan yaitu ada 2 bentuk. Pertama alam (medan) dan yang
kedua adalah dari pemilik hak ulayat. Hambatan alam (medan), dimana
dari hasil pengolahan kayu sudah dalam jumlah banyak. Namun dalam
proses untuk mengeluarkannya dari hutan ke jalan atau pantai untuk
siap diangkut ke tempat pemasaran (somwell) di kota terkendala jalan
yang terjal dan berliku-liku serta berlumpur. Selain itu kondisi sungai
yang cukup dalam dan berarus deras cukup susah untuk dilewati,
padahal jembatan juga belum ada. Kalau pun ada, masih darurat dan
hanya bisa dilalui dengan pejalan kaki, sehingga hasil olahan kayu
ditinggal di hutan. Itu berarti modal yang digunakan ikut tertanam di
sana dan tidak bisa diolah. Hal ini pada akhirnya akan berpengaruh
pada pendapatan usaha. Sebagaimana penuturan informan berikut ini:
Kita produksi di sana di daerah Yaro tidak bisa keluar sekian
kubik mogok disana. Modal juga tertanam di situ. Sudah sekian
ratus kubik, tidak bisa keluar. Seperti sekarang ini ada kalau
tidak salah 50 an kubik kayu besi didaerah Kali Kabbu Yaro I,
kendalanya satu Kali, jalan dan jembatan sampai sekarang belum
bisa keluar.

Hambatan dari medan alam merupakan bagian dari suatu faktor
yang dialami setiap pengusaha kayu. Hambatan alam inilah yang
terkadang membuat pengusaha kayu mengalami kerugian dan
bangkrut, karena hasil yang diperoleh dengan modal yang digunakan
tidak bisa diolah kembali alias mati. Bagi pengusaha kayu informasi ini
merupakan sebuah peluang dan prospek usaha kayu tetapi sekaligus
menjadi tantangan. Bagi siapa yang ingin melakukan usaha ini harus
sudah siap menghadapi tantangan-tantangan dari alam, dan siap untuk
rugi.
Hambatan kedua adalah dari pemilik hak ulayat, dimana
pengusaha kayu te