Keharmonisan pernikahan pemuda dewasa dini di Desa Kenongo Tulangan Sidoarjo.

(1)

KEHARMONISAN PERNIKAHAN PEMUDA DEWASA DINI

DI DESA KENONGO TULANGAN SIDOARJO

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Dirasah Islamiyah

Oleh: Mariyatin Iftiyah

F520915020

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Batas usia minimum yang berlaku pada Undang-Undang pernikahan di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan dengan Negara-negara lain. Karenanya tidak heran banyak pihak mendesak untuk mereformasi aturan batas minimum usia pernikahan. Melalui Pogram Pendewasaan Usia Pernikahan, pemerintah (BKKBN) berusaha untuk menaikkan batas minimum usia pernikahan. Dengan alasan Kesehatan reproduksi wanita serta meminimalisir banyaknya angka perceraian yang disebabkan oleh pernikahan di usia dini, yang dianggap para pemuda ini belum mencapai usia yang matang untuk mengarungi bahtera rumah tangga.

Dalam penelitian Tesis yang berjudul Keharmonisan Pernikahan Pemuda dewasa dini ini memiliki tujuan untuk menjawab permasalahan terkait keharmonisan pernikahan, diantaranya adalah memberi gambaran terkait keharmonisan pernikahan pemuda dewasa dini, menjelaskan faktor-faktor yang mendukung keharmonisan pernikahan pemuda dewasa dini, dan strategi yang dilakukan oleh para pemuda dewasa dini untuk mewujudkan keharmonisan pernikahan.

Untuk menjawab permasalahan di atas, maka penulis melakukan penelitian kualitatif, melalui pendekatan fenomenologi. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara. Observasi dilakukan dengan cara mengamati lingkungan dan kondisi temapt tinggal informan serta wawancara dengan informan. Dalam hal ini, informannya adalah 10 pasang pemuda (yang masih dalam usia dewasa dini).

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa keharmonisan pernikahan pemuda dewasa dini bervariasi sesuai dengan usia pemuda tersebut melangsungkan pernikahan. Bagi pemuda yang menikah di atas usia dewasa dini, keharmonisan yang paling utama adalah ketenangan hati bersama keluarga, sedangkan keharmonisan pernikahan pemuda dewasa dini yang dialami oleh pemuda yang menikah di bawah usia dewasa dini lebih cenderung ketenangan dalam rumah tangga itu berdasarkan keadaan ekonomi.begitu juga dengan faktor-faktor yang mendukung, para pemuda yang menikah di usia dewasa dini memposisikan faktor ekonomi menjadi faktor kesekian, sedangkan masih banyak faktor yang lebih utama seperti dukungan keluarga, kebersamaan bersama keluarga, dan lain sebagainya. Sedangkan, para pemuda yang menikah di bawah usia dewasa dini memposisikan faktor ekonomi menjadi faktor utama yang mendukung keharmonisan pernikahan pemuda dewasa dini. Sedangkan pada strategi antara pemuda yang menikah di usia dewasa dini dan pemuda yang menikah di bawah usia dewasa dini hampir sama. Hanya saja memang penanganan pada konflik pernikahan, pemuda yang meikah di usia dewasa din, bersikap lebih bijak.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

MOTTO ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 15

C. Rumusan Masalah ... 16

D. Tujuan Penelitian ... 16

E. Kegunaan Penelitian ... 16

F. Kerangka Teoritik ... 17

G. Penelitian Terdahulu ... 19

H. Metode Penelitian ... 21

I. Sistematika Pembahasan ... 25

BAB II KAJIAN TEORI... 27

A. Tinjauan tentang Pernikahan ... 27

1. Pengertian Pernikahan ………... 27

2. Asas dan Prinsip Pernikahan ... 31

3. Tujuan Pernikahan ... 32


(8)

1. Batas Usia Pernikahan Menurut Islam ... 35

2. Batas Usia Pernikahan Menurut Hukum Nasional ... 38

C. Pernikahan dini atau Pernikahan di bawah umur ... 45

D. Keharmonisan Pernikahan ... 47

1. Pengertian Keluarga Harmonis ... 47

2. Konsep Sakinah, Mawaddah, Wa Rahmah ... 50

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keharmonisan ... 52

4. Proses Keluarga yang Harmonis ... 55

5. Kriteria Keluarga Harmonis ... 59

E. Pendewasaan Usia Pernikahan (PUP) ... 62

1. Pengertian PUP ... 62

2. Latar Belakang PUP ... 63

3. Materi PUP ... 64

F. Masa Dewas dini Menurut Hurlock ... 67

1. Pembagian Masa Dewasa ... 67

2. Pengertian Masa Dewasa Dini ... 68

3. Ciri-Ciri Masa Dewasa Dini ... 68

4. Kondisi-Kondisi yang mempengaruhi Minat pada Masa Dewasa Dini ... 73

BAB III METODE PENELITIAN ... 74

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 74

B. Lokasi Penelitian ... 76

C. Jenis dan Sumber Data ... 77

D. Teknik Pengumpulan Data ... 81

E. Analisis Data ... 84

F. Validasi Data ... 85

BAB IV PAPARAN DATA ... 88

A. Deskripsi Subyek ... 88


(9)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 98

A. Keharmonisan Pernikahan Pemuda Dewasa Dini ... 98

B. Faktor-Faktor yang Mendukung Keharmonisan Pernikahan Pemuda Dewasa Dini ... 102

C. Strategi yang dilakukan oleh Pemuda Dewasa Dini untuk Mewujudkan Keharmonisan Pernikahan ... 106

D. Urgensi Usia Dewasa dalam Keharmonisan Pernikahan Pemuda ... 112

BAB VI PENUTUP ... 117

A. Kesimpulan ... 117

B. Saran ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 120 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan salah satu peristiwa sakral yang tidak dapat dilepaskan dari sisi kehidupan manusia. Satu sama lain manusia di dunia bisa membentuk suatu keluarga melalui sebuah pernikahan, dari sebuah pernikahan inilah manusia memulai lembar kehidupannya yang baru dengan orang yang pada awalnya bukan bagian dari anggota keluarganya dan akhirnya menjadi anggota terpenting dalam keluarganya. Tanpa adanya sebuah pernikahan, maka tidak ada pula sebuah keluarga. Pernikahan bisa mewujudkan sebuah tali kekeluargaan.

Melalui sebuah pernikahan, mampu membentuk kehidupan yang tenang, rukun dan bahagia, menimbulkan saling mencintai dan saling menyayangi, mendapatkan keturunan yang sah, meningkatkan ibadah (takwa) kepada Allah swt., menimbulkan keberkahan hidup, menenangkan hati orang tua dan famili.1

Sebuah hubungan suami istri dalam ikatan pernikahan tidak dapat disepelekan, karena Allah memberikan hukum sesuai dengan martabatnya berupa pernikahan demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia. Sehingga hubungan laki-laki dan wanita diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai, yang dengan dilaksanakannya akad nikah

1


(11)

2

sebagai lambang adanya rasa ridha meridhai, dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kedua pasangan laki-laki dan perempuan telah saling terikat.2

Keputusan menikah bukanlah keputusan yang mudah untuk dibuat. Pasangan suami istri harus memperhatikan kesatuan yang harmonis. Memang kesatuan dalam pikiran antar suami dan istri tidak mudah dicapai tanpa usaha-usaha khusus. Walaupun kedua pribadi dalam pernikahan memasuki lingkungan yang sama, mereka masih akan memasuki lingkungan-lingkungan lain yang tidak memberikan pengalaman-pengalaman yang sama. Dengan demikian, keduanya masih mengalami berbagai perubahan dan masih memerlukan pengenalan lebih mendalam. Misalnya, melalui penyesuaian dalam kehidupan psikis masing-masing melalui kontak-kontak psikis. Hal ini bisa tercapai melalui hubungan suami istri yang saling mengisi, yaitu hubungan yang terlihat dalam bentuk hubungan yang akrab.3

Mempersatukan dua manusia untuk tinggal satu atap selamanya bukanlah hal yang bisa dibilang mudah. Bahkan, saat ini banyak orang yang melanggar janji suci pernikahan hanya dikarenakan masalah sepele dan tidak membuat keputusan awal dengan tepat. Hal ini bisa dikarenakan usia menikah yang terlalu dini sehingga pasangan belum cukup dewasa dalam menyikapi masalah. Bisa juga disebabkan oleh faktor lingkungan,

2

Muhammad Thalib, Perkawinan Menurut Islam (Surabaya : Al-Ikhlas, 1993), 1.

3

Yulia Singgih dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Keluarga (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2012), 21.


(12)

3

pergaulan, ekonomi, atau faktor lainnya. Sehingga ada beberapa daerah di Indonesia memiliki catatan angka perceraian cukup tinggi, salah satunya adalah di Sidoarjo.

Sidoarjo merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Sidoarjo berbatasan langsung dengan Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya di bagian Utara, Kabupaten Pasuruan Selatan, Kabupaten Mojokerto di bagian Barat dan selat Madura di bagian timur. Wilayah Sidoarjo berada di dataran rendah dan sering di kenal dengan sebutan Kota Delta. Sebutan itu di karenakan Kabupaten Sidoarjo terletak diantara dua muara sungai besar yaitu kali porong dan kali mas. Sidoarjo termasuk dalam kawasan Gerbang kertosusila yang merupakan kawasan andalan di Provinsi Jawa Timur yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dan menjadi kawasan strategis nasional.

Namun di balik keunggulan Kabupaten Sidoarjo di bidang perekonomian, Sidoarjo belum bisa memberi solusi di bidang keperdataan, yakni meningkatnya angka perceraian. Diberitakan dalam koran Jawa Pos pada hari Sabtu, tanggal 21 Januari 2017, bahwasanya angka perceraian di kota Delta terus bertambah. Lebih dari 3000 pada tiap tahunnya perkara perceraian masuk ke Pengadilan Agama Sidoarjo. Baik itu Cerai gugat maupun cerai talak. Faktor penyebab perceraian tertinggi adalah faktor ketidakharmonisan. Berdasarkan data dari Pengadilan Agama sidoarjo, perkara perceraian pada tahun 2015 mencapai 3.959 kasus dengan rincian cerai gugat 2.677 kasus dan cerai talak 1.279 kasus. Sedangkan pada tahun


(13)

4

2016 jumlah perceraiannya jauh lebih tinggi atau mengalami peningkatan yakni mencapai 3.962 perkara dengan rincian 2.711 adalah cerai gugat dan 1.251 adalah cerai talak. Kalau dibuat rata-rata maka dapat diperhitungkan bahwa setiap bulan terdapat 330 orang yang mengajukan perkara perceraian ke pengadilan. Faktor penyebab yang tertinggi adalah ketidak harmonisan. Meskipun ada faktor lain seperti gangguan pihak ketiga, masalah ekonomi, kurangnya tanggung jawab, dan cemburu, namun penyebab yang tertinggi adalah tetap pada ketidak harmonisan keluarga.4 Sementara itu, Mansur SH, salah satu pengacara mengatakan, faktor ini dikarenakan ketidak dewasaan antara yang bersangkutan. Mereka tidak mengerti apa makna dari perkawinan dan lebih mementingkan diri sendiri sehingga mempertahankan ego masing-masing dan menimbulkan pertengkaran dan perselingkuhan.

Untuk menanggulangi ketidakdewasaan tersebut hadir dalam sebuah pernikahan, maka dalam Hal ini BKKBN sebagai lembaga pemerintah non departemen merupakan perwakilan pemerintah dalam mengatur kependudukan dan perencanaan keluarga indonesia. Yang merupakan representasi pemerintah dalam menjalankan tugasnya yang mengatur lajunya pertumbuhan penduduk yang setiap tahun semakin meningkat. Selain program 2 anak cukup, yang selama ini sudah terkenal. BKKBN juga mengupayakan pengaturan masalah kependudukan dan keluarga Indonesia, dengan strategi lain, yaitu : pendewasaan usia

4May, “Setiap Bulan Tambah Ratusan Janda Baru”,


(14)

5

perkawinan atau yang disingkat dengan istilah PUP. PUP merupakan bagian dari Program KB untuk generasi muda dengan sebutan Genre (Generasi Berencana). Dalam generasi berencana, generasi remaja pada masa transisi merencanakan kapan akan menikah dengan menunda usia perkawinan sampai minimal 21 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk pria.5 Salah satu tujuan dari program ini, diharapkan mampu mengurangi jumlah pemuda yang melakukan pernikahan dini.

Pernikahan dini atau pernikahan di bawah umur yang merupakan praktik pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang salah satu atau keduanya berusia masih muda dalam pandangan kekinian.6 Praktik pernikahan ini dipandang perlu memperoleh perhatian dan pengaturan yang jelas. Maka, selain usia minimum pernikahan ditetapkan, beberapa negara mengatur cara untuk mengantisipasi masih mungkinnya pernikahan seperti itu dilaksanakan, antara lain aturan yang memberikan keringanan (dispensasi).

Pernikahan anak dibawah umur, yang dalam bahasa inggris bisa disebut child marriage atau early marriage, sedang mendapatkan perhatian serius dari dunia internasional. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengatasi masalah pernikahan dini. Penelitian-penelitian tersebut menemukan bahwa pernikahan dini merugikan pihak perempuan. Beberapa kerugian yang dapat dialami oleh wanita yang melakukan pernikahan dini diantaranya adalah kematian ibu (maternal mortality) di

5

BKKBN, Pendewasaan Usia Perkawinan dan Hak-Hak Reproduksi Remaja (Jakarta: 2010), 19.

6

Asep Saepudin Jahar, dkk. Hukum Keluarga, Pidana, dan bisnis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 2013) 43.


(15)

6

usia muda akibat kehamilan prematur (prematur pregnancy) dan kebutaaksaraan perempuan (illiteracy) yang diakibatkan oleh hilangnya kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan dasar (primary education). Selain itu, kerugian lain yang terkait dengan kesehatan (health problems) yaitu banyak dari mereka yang melakukan nikah dini disinyalir tidak memperoleh layanan-layanan kesehatan reproduksi yang bersifat dasar (Basic Reproduktif Health Issues and Services). Banyak diantara mereka juga mengalami kekerasan rumah tangga (abuse and violence) dan hidup dalam lingkungan kemiskinan (the cycle of poverty).7

Karena alasan-alasan tersebut, Hak Asasi Manusia internasional berusaha mendorong banyak pihak untuk meningkatkan usia minimum pernikahan. Menurut Konvensi Hak-hak Anak (KHA) yang ditetapkan lewat forum majelis umum PBB tahun 1989, anak adalah seorang yang belum mencapai usia 18 tahun. Meratifikasi konvensi tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Perlindungan Anak pada tahun 2002, antara lain, UU Perlindungan Anak No. 23/2002 dan menjelaskan dalam pasal 1 ayat 1 bahwa anak adalah seseorang yang belum 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dengan kata lain, aturan tentang usia minimum pernikahan dibeberapa negara muslim termasuk Indonesia yang mencantumkan batasan usia menikah dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 adalah 16 Tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki dapat dikatakan

7


(16)

7

masih tidak sesuai dengan aturan hukum internasional, terutama terkait dengan aturan usia minimum bagi perempuan yang ditetapkan dibawah 18 tahun, yaitu 16 tahun.8

Islam tidak menjelaskan batasan menikah yang jelas bagi seseorang menurut usia, namun dalam hadis Rasulullah Saw yang berisi anjuran untuk melaksanakan perkawinan ditegaskan kepada umatnya tentang pelaksanaan pernikahan yakni bagi yang dianggap mampu untuk melaksanakannya, karena dengan perkawinan seseorang akan mampu menjaga pandangan dan kehormatannya sebagaimana yang dinyatakan dalam sabda Nabi Muhammad Saw yaitu:

م

ّشلا رشْعم ي م س و هي ع ه ى ص ه وسر نل ق ق ه د ع نع

ن

ْعطتْسي ْمل ْنم و .جْرفْ ل نصْحا و رص ْ ل ّضغا هّن ف ،ْجّوزتيْ ف ء لْا م ْنم ع طتْسا

ء جو هل هّن ف ْوّصل ب هْي عف

“Dari Abdullah berkata : Rasulullah Saw bersabda kepada kami: wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mempunyai kemampuan dalam hal ba’ah, kawinlah. Karena sesungguhnya, pernikahan itu lebih mampu menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan, barangsiapa belum mampu melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya puasa itu dapat menjadi tameng (gejolak hasrat seksual).”(HR. Muslim)9

Anjuran Islam untuk menikah ini ditujukan bagi siapapun yang sudah memiliki kemampuan (ba’ah). Kemampuan dapat diartikan dalam dua hal yaitu mampu secara material dan spiritual (jasmani dan rohani), sehingga mereka yang sudah merasa mampu dianjurkan untuk segera

8

Ibid., 48.

9 Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah al

-Bukhari,


(17)

8

melaksanakan pernikahan, dengan menikah bisa menjaga diri dari perbuatan yang bertentangan dengan syari'at agama.10

Dalam hadis di atas juga disebutkan bahwa bagi orang yang belum mampu melaksanakan pernikahan hendaknya berpuasa, karena dengan berpuasa maka diharapkan akan cukup bisa menjadi pelindung dan penahan dari perbuatan-perbuatan yang keji dan munkar. Puasa merupakan ibadah yang diharapkan dapat menjaga hawa nafsu sehingga bagi siapa saja yang sudah berhasrat untuk menikah tapi belum ba’ah (mampu) maka dianjurkan untuk menahan diri dengan berpuasa.

Al-ba'ah maknanya adalah bekal.11 Makna tersirat dari hadis tentang anjuran menikah di atas adalah bahwa hendaknya perkawinan atau pernikahan itu dipersiapkan secara matang baik dari segi materi ataupun non-materiil. Kata al-ba'ah dalam redaksi hadis tersebut mengacu pada dua makna yaitu, (1) Al-Muzairi mengatakan al-ba'ahpada asalnya bermakna keinginan untuk menikahi perempuan, (2) al-Nawawi12 mengatakan bahwa kata al-ba'ah tersebut menurut para ulama memiliki beberapa arti diantaranya: menurut ahli bahasa, al-ba’ahberarti jima'

(bersetubuh), maka maksud al-ba'ah dalam hadis ini adalah orang yang telah mampu ber-jima’ dan mampu memberi nafkah lahir batin. Sedangkan bagi orang yang belum mempunyai kemampuan dalam kedua hal tersebut hendaknya melakukan ibadah puasa untuk meredakan syahwat dan

10

M. Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Istri Sejak Malam Pertama (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2008), 7.

11

An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i bi Syarhi wa Hasyiyah al-Sanadi, Juz VI (Beirut: Dar al-Fikr, 1348 H/1930 M), hal 56.

12


(18)

9

membendung perasaan buruk serta untuk membentengi diri dari kejahatan zina.

Al-San'ani memaparkan bahwa pengertian istatha'a al-Ba'ahdalam redaksi hadis ini mengisyaratkan dua hal yaitu, pertama,

mampu melakukan hubungan seksual secara normal karena salah satu tujuan pernikahan adalah untuk melestarikan keturunan dan meneruskan sejarah hidup manusia. Kedua, mampu memberi nafkah, kebutuhan hidup serta kebutuhan keluarga. Kemampuan menafkahi ini tidak mensyaratkan adanya pekerjaan serta penghasilan tetap dan berlimpah, namun yang terpenting adalah kemampuan dan kesanggupan untuk mengupayakan nafkah yang halal.13

Melihat anjuran menikah tersebut yang mana anjuran itu ditekankan bagi pemuda yang telah mampu, sesuai dengan yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Maka, yang menjadi persoalan saat ini adalah ketika seseorang yang masih dianggap belum mampu mengarungi bahtera rumah tangga, misalnya dengan usia yang terlalu muda (dini) sedangkan orang tersebut harus menikah dan menjalani sebuah pernikahan. Sedikit banyak hal ini akan menimbulkan persoalan. Karena waktu yang seharusnya digunakan untuk bermain dan belajar, harus dihabiskan untuk sibuk dengan urusan rumah tangga. Pelaku pernikahan dini adalah calon-calon pemuda masa depan. Lalu bagaimana pemuda tersebut bisa menjalankan tugas dan perannya sebagai pemuda pada umumnya jika

13


(19)

10

mereka harus kehilangan kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri dengan kemajuan teknologi karena terlalu sibuk mengurusi keluarga barunya.

دغلا لاجر مويلا نابش

(Pemuda hari ini pemimpin esok hari) ”, suatu kalimat yang sederhana namun memiliki makna yang jauh dari sederhana. Sama halnya dengan perkataan Soekarno “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan ku guncang dunia”. Beberapa ungkapan ini tersirat makna yang luar biasa, yang pada intinya mengarah pada suatu kesepakatan betapa pemuda memegang peranan penting dalam hampir setiap gerakan pencapaian tujuan.

Definisi pemuda menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan pada pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang 16 (enam belas) tahun hingga 30 (tiga puluh) Tahun.14 Mengenai hal-hal yang terkait dengan kepemudaan, yaitu potensi, tanggung jawab, hak, karakter, kapasitas, aktualisasi diri, dan cita-cita pemuda. Salah satu bentuk pembangunan kepemudaan adalah dengan cara memfasilitasi segala hal yang berkaitan dengan hal-hal yang bertaian dengan kepemudaan. Adapun pelayanan kepemudaan adalah penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan kepemimpinan, kewurausahaan, serta kepeloporan pemuda. Yang dimaksud dengan penyadaran pemuda adalah kegiatan yang diarahkan untuk memahami dan menyikapi perubahan

14


(20)

11

lingkungan. Adapun yang dimaksud dengan pemberdayaan pemuda adalah kegiatan membangkitkan potensi dan peran aktif pemuda. Yang dimaksud dengan pengembangan kepemimpinan pemuda adalah kegiatan mengembangkan potensi keteladanan, keberpengaruahan, serta penggerakan pemuda. Pengembangan kewirausahaan pemuda adalah kegiatan mengembangkan potensi keterampilan dan kemandirian berusaha. Dan selanjutnya yang dimaksud dengan pengembangan kepeloporan pemuda adalah kegiatan mengembangkan potensi dalam merintis jalan, melakukan terobosan, menjawab tantangan, dan memberikan jalan keluar atas berbagai masalah.15 Melihat peran pemuda yang dijelaskan secara gamblang dalam Undang-Undang tersendiri tentang kepemudaan, membuktikan bahwa peran pemuda sangat di perhatikan dan menjadi hal penting yang tidak dapat dilepaskan perannya dalam membangun bangsa.

Melihat hal tersebut, alangkah baiknya sebuah pernikahan dilakukan oleh pemuda yang sudah matang secara psikis dan kemampuan berpikirnya atau dalam istilah lain sering disebut dengan dewasa. Agar pemuda bisa memiliki bekal untuk masa depannya sebelum ia melepaskan masa lajangnya dan melangkah pada jenjang selanjutnnya yakni pernikahan tanpa harus mengabaikan hak dan perannya sebagai pemuda. Secara psikologis, dikatakan sebagai orang dewasa adalah orang yang perkembangannya sudah sampai sampai pada tingkat kematangan jiwanya. Jika dilihat dari periodisasi perkembangan berdasarkan konsep tugas

15


(21)

12

perkembangan di antaranya dikemukakan oleh Robert J. Havighurst seperti dikutip Desmita, bahwa masa dewasa itu meliputi masa awal dewasa (usia 18-30), masa dewasa pertengahan (usia 30-50 tahun), dan masa tua (usia 50 tahun ke atas).16

Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa dalam (1) masa dewasa dini yang dimulai pada usia 18 tahun sampai kira-kira 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. (2) masa dewasa madya, yaitu dimulai dari usia 40 tahun sampai usia 60 tahun, yakni saat baik menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang jelas tampak pada setiap orang. (3) masa dewasa lanjut (usia lanjut) yang juga dikenal masa

senescence, dimulai pada usia 60 tahun sampai kematian. Pada waktu ini, baik kemampuan fisik, maupun psikologis cepat menurun. Tetapi, teknik pengobatan modern serta upaya dalam hal berpakaian dan dandanan, memungkinkan pria dan wanita berpenampilan, bertindak dan berperasaan seperti kala mereka lebih muda.17

Jika periodisasi yang dikemukakan oleh 2 pakar psikologi di atas dikaitkan dengan periodisasi berdasarkan konsep Islam, masa dewasa itu melampaui masa tamyiz, yaitu masa saat anak sudah bisa membedakan antara baik dan buruk, juga sudah mencukupi masa baligh atau taklif, yaitu masa ketika anak sudah mengalami perubahan pertumbuhan fisik dan perkembangan psikologisnya secara penuh. Anak pada masa ini sudah

16

Moh. Haitami Salim, Pendidikan Agama dalam Keluarga (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2013) 153.

17


(22)

13

dibebankan kewajiban-kewajiban agama yang disebut sebagai mukallaf.

Jika pada usia 40 tahun sudah memasuki usia kematangan, kearifan dan kebijakan, sebagaimana Muhammad Saw. Diangkat sebagai rasul.18

Pada umumnya semua pasangan suami istri menginginkan pernikahan yang harmonis, baik pasangan pernikahan dini maupun pasangan yang menikah usia dewasa. Keharmonisan merupakan cita-cita umum dari seluruh pasangan suami-istri bukan tanpa alasan. Pada pasal 3 KHI dijelaskan bahwasanya pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Sesuai dengan Firman Allah dalam surah Al-rum ayat 21 :















































































Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.19

Menurut ayat tersebut, keluarga Islam terbentuk dalam keterpaduan antara ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Ia terdiri dari istri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih sayang dan ramah, ibu yang lemah lembut dan berperasaan halus, putra-putri yang patuh dan taat serta kerabat yang saling membina silaturrahmi dan tolong-menolong. Hal ini dapat

18

Ibid.,154

19


(23)

14

tercapai bila masing-masing anggota keluarga tersebut mengetahui hak dan kewajibannya.20

Melihat ayat tersebut, sesuai dengan definisi keluarga harmonis yang di sampaikan oleh Gunarsa, keluarga harmonis adalah bilamana seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan, dan menerima seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, dan sosial.21

Menurut Hurlock, faktor-faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga adalah komunikasi interpersonal, tingkat ekonomi keluarga, sikap orang tua, ukuran keluarga (jumlah anggota keluarga).22

Berangkat dari Kampanye BKKBN terkait Pendewasaan usia perkawinan, yang bertujuan untuk membentuk pasangan yang sudah siap mental dan fisik dalam mengarungi bahtera pernikahan. Peneliti tertarik untuk meneliti keharmonisan pernikahan pemuda di usia dewasa dini, Oleh karenanya munculah beberapa pertanyaan yang akan dirumuskan pada penelitian ini, diantaranya bagaimana keharmonisan pemuda dewasa dini dalam suatu pernikahan, lalu apa saja faktor-faktor yang mendukung keharmonisan pernikahan pemuda dewasa dini dan strategi apa saja yang mereka lakukan untuk mencapai keharmonisan.

20

Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah; Kajian Hukum Islam Kontemporer (Bandung: Angkasa, 2005), 134.

21

Singgih D. Gunarsa. Psikologi untuk Keluarga (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), 50.

22Rif’an Fauzi,

Hubungan Keharmonisan Keluarga dengan Perkembangan Moral Siswa Kelas IV dan V di MI Darul Falah Ngrangkok Klampisan Kandangan Kediri, E-Journal Kopertais, 2, (2014), 80.


(24)

15

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari berbagai uraian latar belakang masalah di atas, ada beberapa masalah dalam penelitian ini yang dapat diidentifikasi dalam unsur-unsur sebagai berikut :

1. Batas minimal usia menikah menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

2. Pendewasaan usia perkawinan oleh BKKBN 3. Motif para pemuda menikah di usia dewasa dini 4. Keharmonisan pernikahan pemuda dewasa dini

5. Faktor-faktor yang mendukung keharmonisan pernikahan pemuda dewasa dini

6. Strategi yang dilakukan oleh para pemuda dewasa dini untuk mencapai keharmonisan dalam pernikahan.

Untuk mempermudah pembahasan, penulis membatasi masalah dalam pembahasan ini yaitu :

1. Keharmonisan pernikahan pemuda dewasa dini

2. Faktor-faktor yang mendukung keharmonisan pernikahan pemuda dewasa dini

3. Strategi yang dilakukan oleh pemuda dewasa dini untuk mencapai keharmonisan dalam pernikahan.


(25)

16

C. Rumusan Masalah

Demi tercapainya tujuan penulisan yang baik dan terarah, perlu untuk mengajukan rumusan masalah yang lebih sistematis lagi. Dalam penelitian ini, rumusan masalah yang diajukan adalah sebagai berikut; 1. Bagaimana keharmonisan pernikahan pemuda dewasa dini ?

2. Faktor-faktor apa yang mendukung keharmonisan pernikahan pemuda dewasa dini?

3. Strategi apa yang dilakukan oleh pasangan pemuda dewasa dini untuk mencapai keharmonisan dalam pernikahan ?

D. Tujuan Penelitian

Berangkat dari rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan pokok dalam penelitian ini ialah untuk :

1. Untuk memberi gambaran tentang keharmonisan pernikahan pemuda dewasa dini

2. Untuk menjelaskan tentang faktor-faktor apa saja yang mendukung keharmonisan pernikahan pemuda dewasa dini

3. Untuk menggambarkan tentang strategi yang dilakukan oleh pemuda dewasa dini guna mencapai keharmonisan pernikahan

E. Kegunaan Penelitian

Diharapkan dari hasil penelitian ini bisa bermanfaat, paling tidak dari dua hal di bawah ini :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan wawasan tentang keharmonisan pernikahan pemuda


(26)

17

dewasa dini, serta pengetahuan tentang analisis psikologis terhadap keharmonisan pernikahan pemuda dewasa dini.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan atau literatur bagi lembaga BKKBN, BAPEMAS dan KB, Dosen, Peneliti, mahasiswa, dan para pembaca pada umumnya.

F. Kerangka Teoritik

1. Pengertian Keharmonisan Pernikahan

a) Secara terminologi keharmonisan berasal dari kata harmonis yang berarti serasi, selaras. Titik berat dari Keharmonisan adalah

kedaan selaras atau serasi, keharmonisan bertujuan untuk mencapai keselarasan dan keserasian, dalam kehidupan rumah tangga perlu menjaga kedua hal tersebut untuk mencapai keharmonisan rumah tangga.23 Menurut Gunarsa, keluarga harmonis adalah bilamana seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan, dan menerima seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, dan sosial.24

Keharmonisan dalam Islam disebut dengan sakinah, mawaddah, warahmah.

b) Pengertian pernikahan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Pernikahan adalah sebuah ikatan lahir batin antara

23

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1989), 299.

24


(27)

18

seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Disebutkan juga dalam Kompilasi Hukum Islam No. 1 Tahun 1991 bahwa yang dimaksud pernikahan adalah akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

2. Pengertian Pemuda Dewasa Dini

a) Definisi pemuda menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan pada pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari usia 16 (enam belas) tahun hingga 30 (tiga puluh) Tahun.25

b) Pengertian Dewasa dini :

Istilah adult berasal dari kata kerja latin, seperti juga istilah

adolescene – adolescere yang berarti dari bentuk lampau partisipel dari kata kerja adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Oleh karena itu, orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.26

25

Undang-Undang No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan

26


(28)

19

Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi 3 bagian, yakni masa dewasa dini, masa dewasa madya, dan masa dewasa lanjut (usia lanjut). Masa dewasa dini dimulai pada umur 18 Tahun sampai kira-kira 40 tahun. Saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.27

Berdasarkan data di atas, Peneliti membatasi pengertian pemuda dewasa dini adalah pemuda yang berusia mulai dari 20 tahun sampai dengan 25 tahun.

G. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Sri Endah Cahyani yang ditulis dalam bentuk tesis yang berjudul “Keharmonisan keluarga dan kecenderungan kenakalan remaja di SMA Darul Arafah Bumi Ratu Nuban” pada Tahun 2016. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa menciptakan suasana religius di rumah mampu menciptakan keluarga yang harmonis dan anak-anak shaleh, jauh dari kenakalan remaja. Selanjutnya faktor dari dalam yang mempengaruhi kenakalan remaja adalah emosi yang belum terkondisikan, sedangkan faktor dari luar adalah lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tindakan pencegahannya adalah

27


(29)

20

memberi aturan, hukuman, dan motivasi berupa nasehat dan suri tauladan.28

Penelitian yang dilakukan oleh Hardsen Julsy Emanuel Najoan yang ditulis dalam Jurnalnya yang berjudul “Pola Komunikasi Suami Istri dalam Menjaga Keharmonisan Keluarga di Desa Tondegesan II Kecamatan Kawangkoan Kabupaten Minahasa” pada tahun 2015. Hasil Penelitian ini menjelaskan bahwa dalam menjaga keharmonisan keluarga, ketika suami dan istri mengahadapi permasalahan dalam segala hal, selalu mengedepankan berkomunikasi antara satu dengan yang lain. Cara berkomunikasi dengan nada yang lembut sering di lakukan dalam menjaga hubungan suami istri, namun yang sering kali menggunakan nada lembut dalam berkomunikasi adalah istri sementara suami masih cenderung agak kasar dalam berkomunikasi dengan istri ketika menyelesaikan permasalahan. Hal ini di pengaruhi oleh beban serta tekanan pekerjaan serta tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Pola Komunikasi antara suami istri dalam menjaga keharmonisan keluarga, selalu melakukan cara berkomunikasi secara langsung atau verbal komunikasi, dengan berkomunikasi secara langsung, hubungan semakin baik, karena didasari keterbukaan, kejujuran dan rasa saling percaya antara suami dan istri.29

28

Sri Endah Cahyani, “Keharmonisan keluarga dan kecenderungan kenakalan remaja di SMA Darul Arafah Bumi Ratu Nuban” (Tesis—Universitas Lampung, Lampung, 2016). Dalam

http://digilib.unila.ac.id diunduh pada tanggal 27 Januari 2017 Pukul 14:22 WIB.

29

Hardsen Julsy Imanuel Najoan, “Pola Komunikasi Suami Istri dalam menjaga keharmonisan


(30)

21

Penelitian yang dilakukan oleh Adin Suryadin dalam sebuah tesis yang berjudul “Hubungan Keharmonisan Keluarga dan Dukungan Sosial Teman dengan Konsep diri pada Siswa Madrasah Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta” pada Tahun 2014. Hasil dari penelitian ini adalah adanya hubungan yang signifikan antara keharmonisan keluarga dan dukungan social teman dengan konsep diri yang cukup besar.30

Persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian di atas adalah sama-sama membahas tentang keharmonisan bagaimana mereka menjalaninya dan bagaimana mereka bisa mewujudkan. Sedangkan perbedaannya, penelitian ini ada batasan keharmonisan pasangan suami istrinya dari segi usia mereka menikah. Yang mana hal ini belum pernah dibahas pada penelitian-penelitian sebelumnya.

H. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini Peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Penelitian kualitatif menurut John A Cress Well adalah penelitian yang dimulai dengan asumsi dan penggunaan kerangka penafsiran / teoritis yang membentuk atau mempengaruhi studi tentang permasalahan riset yang terkait dengan makna yang dikenakan oleh individu atau kelompok

30

Adin Suryadin, “Hubungan Keharmonisan Keluarga dan Dukungan Sosial Teman dengan

Konsep diri pada Siswa Madrasah Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta” (Tesis -- Universitas Muhammadiyah, Surakarta, 2014) dalam http://eprints.ums.ac.id, diunduh pada tanggal 27 Januari 2017 Pukul 14:29 WIB


(31)

22

pada suatu permasalahan sosial atau manusia.31 dalam penelitian kualitatif ini peneliti menggunakan pendekatan studi fenomenologis yakni mendeskripsikian pemaknaan umum dari sejumlah individu terhadap berbagai pengalaman hidup mereka terkait dengan konsep atau fenomena.32 Adapun alasan peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi adalah hal yang akan diteliti merupakan sebuah pengalaman individu yang banyak dialami oleh sebagian besar orang. 2. Lokasi penelitian

Adapun lokasi penelitian yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah Desa Kenongo Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo. Peneliti memilih Desa Kenongo sebagai lokasi penelitian dikarenakan desa kenongo merupakan salah satu desa di Kabupaten Sidoarjo yang kebanyakan penduduknya sudah menikah di atas usia 20 tahun.

3. Sumber Data

Sumber data adalah semua hal yang mencakup informasi dalam bentuk kata atau gambar.33 Peneliti membagi Data ke dalam dua jenis yaitu :

a) Data primer yaitu data yang didapatkan peneliti langsung dari sumber pertamanya.34 Adapun yang menjadi sumber data

31

Jhon W. Cresswell, Penelitian Kualitatif dan Desain Riset, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2015), 59

32

Ibid.,105.

33

Ibid., 70.

34


(32)

23

primer dalam penelitian ini adalah para informan, yaitu Pasangan Pemuda yang menikah di usia dewasa dini.

Informan dalam Wawancara ini adalah 10 pasangan pemuda yang menikah di usia dewasa dini dan usia perkawinan tidak lebih dari 5 tahun. Adapun alasan kenapa tidak lebih dari 5 tahun agar informan masih masuk dalam kategori pemuda yaitu maksimal berusia 30 tahun yang bisa memberi informasi lebih terkait perannya sebagai pemuda.

b) Sumber data sekunder yaitu data yang didapatkan peneliti tidak langsung dari sumber pertamanya melainkan melalui perantara. Data ini digunakan sebagai pendukung data primer. Dapat juga dikatakan data yang tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen.35 Dalam penelitian ini sumber data sekunder adalah dokumen-dokumen penting seperti akta nikah, data pasangan yang menikah dari Kantor Urusan Agama dan pasangan yang bercerai dari Pengadilan Agama Sidoarjo, serta data-data pendukung lainnya.

4. Teknik pengumpulan data

Untuk memperoleh data-data yang telah disebutkan di atas, maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

a) Observasi (Pengamatan)

35


(33)

24

Pengamatan dilakukan untuk membuat catatan tentang lingkungan atau hal-hal yang bersinggungan dengan para informan yang dilihat dan diamati langsung oleh peneliti.

b) Wawancara

Wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu yang merupakan proses tanya jawab lisan, di mana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik.36

c) Studi Dokumen

Studi ini dilakukan dengan mempelajari beberapa dokumen yang memuat data-data terkait yang ditemukan di lapangan, seperti buku nikah, data pernikahan dari KUA, data Perceraian di PA.

5. Analisis data

Setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah menganalisis data. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis deskriptif yaitu suatu analisis yang bertujuan untuk menggambarkan fakta yang ada di lapangan. Selanjutnya penulis menggunakan pola pikir induktif, yakni berangkat dari satuan analisis yang sempit (seperti pernyataan-pernyataan penting dari para informan) menuju satuan yang lebih luas, kemudian menuju deskripsi yang detail yang merangkum dua unsur, apa yang dialami oleh para informan, dan bagaimana mereka mengalaminya.

36


(34)

25

6. Keabsahan data

Penelitian kualitatif mengungkap kebenaran yang objektif. Karena itu keabsahan data dalam sebuah penelitian kualitatif itu sangat penting. Melalui keabsahan data, kredibilitas (kepercayaan) penelitian kualitatif dapat tercapai. Dalam penelitian ini untuk mendapatkan keabsahan data, maka dilakukan dengan triangulasi. Adapun triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain atau data pendukung diluar data utama itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data utama itu.37

Triangulasi yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah membandingkan hasil wawancara dengan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan hal tersebut dan temuan-temuan hasil observasi.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan jaminan bahwa pembahasan yang termuat dalam penulisan ini benar-benar mengarah kepada tercapainya tujuan yang ada maka peneliti membuat sistematika sebagai berikut:

Bab pertama tentang pendahuluan, bab ini berfungsi sebagai pola umum yang menggambarkan seluruh bahasan tesis ini yang di dalamnya mencakup latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaannya, penelitian

37

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2007), 330.


(35)

26

terdahulu, metode penelitian, sistematika pembahasan, dan outline Penelitian.

Bab kedua adalah kajian pustaka, bab ini membahas tentang teori keharmonisan menurut Islam dan psikologi keluarga serta membahas tentang psikologi perkembangan.

Bab ketiga memuat paparan data yang berkenaan dengan gambaran umum tentang kehidupan yang meliputi keharmonisan dalam pernikahan pemuda dewasa dini, faktor-faktor pendukung dan strategi yang dilakukan oleh pemuda dewasa dini untuk mencapai keharmonisan.

Bab keempat tentang analisis. Bab ini tentang analisis tentang pernikahan pemuda dewasa dini dalam perspektif Islam dan psikologi.


(36)

27

BAB II KAJIAN TEORI

A. TINJAUAN TENTANG PERNIKAHAN

1. Pengertian Pernikahan

Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.1

Pernikahan dalam Islam adalah sebuah perjanjian, aqad atau sebuah kontrak, dan perjanjian hanya dapat tercapai antara dua pihak yang telah saling kenal dan saling tau. Perjanjian antara dua pihak yang tidak saling mengenal, tidak dapat diikat. Dan perjanjian yang sudah diikat tidak mudah untuk dibatalkan.2

Pernikahan tidak hanya sebuah akad atau perjanjian antara dua belah pihak, tetapi juga sebagai ketetapan Allah SWT (Sunnatullah). Sebab, manusia telah diciptakan dengan berpasang-pasangan, yaitu antara lelaki dan perempuan. Sebagaimana Firman Allah SWT pada surat adz-dzariyat ayat 49 :

























1

Bag. M. Letter, Tuntunan Rumah tangga Muslim dan Keluarga Berencana, (Padang: Angkasa Raya, 1983), 10.

2

Harun Nasution, Islam dan Pembangunan Keluarga Bahagia dalam “Islam Rasional”, (Bandung: Mizan, 1996), 438.


(37)

28

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”3

Pernikahan juga merupakan sunnah-sunnah rasul sejak dahulu sampai rasul terakhir sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Quran surat ar-Rad ayat 38:























































“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu).”

Pernikahan harus dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu :4 a. Perkawinan dilihat dari segi hukum

Dari segi hukum, pernikahan itu merupakan suatu perjanjian, Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat : 21



























“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”5

Pernikahan adalah perjanjian yang sangat kuat, dimana dalam ayat al-Quran tersebut disebutkan pada kata-kata mitsaqon

3

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, 522.

4

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 2006) 157.

5


(38)

29

gholidzan. Adapun sebab dikatakan bahwa sebuah perkawinan itu adalah perjanjian ialah karena adanya :

1) Telah ada aturan mengenai Cara melaksanakan sebuah ikatan pernikahan yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.

2) Cara memutuskan sebuah ikatan pernikahan juga sudah diatur sebelumnya, yaitu dengan prosedur talak, fasakh, syiqoq, dan sebagainya.

b. Pernikahan dilihat dari segi sosial

Dalam pandangan masyarakat pada umumnya, menganggap bahwa seesorang yang telah menikah atau sudah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari pada mereka yang belum menikah.

c. Pernikahan dilihat dari segi agama

Dalam agama, pernikahan itu dianggap suatu hal yang suci atau sakral. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang mana kedua belah pihak ditemukan menjadi sepasang suami-istri atau saling meminta satu sama lain untuk menjadi pasangan hidupnya dengan menggunakan kalimat Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 1 :


(39)

30

































































“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”6

Maksud kalimat daripadanya menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam, berdasarkan dari hadis bukhori dan muslim. Di samping itu, ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam diciptakan.

Adapun pengertian pernikahan menurut peraturan perundang-undangan pernikahan yang berlaku di Indonesia yakni Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pada Bab I Dasar Perkawinan Pasal I, Yaitu “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

6


(40)

31

2. Asas dan Prinsip Pernikahan

Asas dan prinsip pernikahan adalah sebagai berikut :7 a. Asas sukarela

b. Partisipasi Keluarga c. Perceraian dipersulit

d. Poligami dibatasi secara ketat e. Kematangan Calon Mempelai f. Memperbaiki derajat kaum wanita

Dr. Musdah Mulia menjelaskan bahwa prinsip pernikahan ada 4, yaitu:8 a. Prinsip Kebebasan dalam memilih jodoh

b. Prinsip mawaddah wa rahmah

c. Prinsip saling melengkapi dan melindungi d. Prinsip Musyawarah Bil Ma’ruf

Asas pernikahan menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah :

a. Tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

b. Sahnya pernikahan sangat tergantung pada ketentuan hokum agama dan kepercayaan masing-masing

c. Asas monogami

d. Calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa dan raganya e. Mempersulit terjadinya perceraian

f. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang

7

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung : Sumur, 1960), 41.

8

Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender dan The Asia Fundation, 1999), 67.


(41)

32

Asas pernikahan menurut hukum islam ada 3 (tiga), yaitu :9 a. Asas absolut abstrak

Asas absolut abstrak ialah suatu asas dalam hokum pernikahan dimana jodoh atau pasangan suami istri itu sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan oleh Allah SWT. Atas permintaan manusia yang bersangkutan

b. Asas selektivitas

Asas selektifitas adalah suatu asas dalam suatu pernikahan dimana seorang yang hendak menikah itu harus menyeleksi lebih dahulu dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia tidak boleh menikah

c. Asas legalitas

Asas legalitas adalah suatu asas dalam pernikahan, wajib hukumnya dicatatkan.

3. Tujuan Pernikahan

Bila dilihat dari kaca mata Islam, terbentuknya keluarga bermula dari terciptanya jalinan antara lelaki dan perempuan melalui pernikahan yang halal, memenuhi rukun dan syarat-syarat yang sah, yang bertujuan untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan dan membina keluarga yang harmonis, sejahtera serta bahagia di dunia dan akhirat.10

9

Idris ramulyo, Asas-asas hokum islam, (Jakarta: sinar grafika, 1997), 54.

10


(42)

33

Harmonis maksudnya adalah dalam hal menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, dan sejahtera disebabkan terpenuhinya ketenangan lahir dan batin sehingga timbullah kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota. Selain itu pembentukan keluarga adalah untuk memenuhi naluri manusiawi antara lain berupa keperluan biologis.11

Tujuan pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.12

Adapun pendapat lain mengatakan Tujuan Pernikahan dapat dirinci sebagaimana berikut :13

a. Menyalurkan libido seksual b. Memperoleh keturunan c. Mencari Kebahagiaan

d. Mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW. e. Menjalankan perintah Allah.

Menurut Imam Ghazali, melalui kitab ihya’ulumuddin menjelaskan bahwa tujuan perkawinan yaitu:14

a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan

Pentingnya keturunan bagi suatu keluarga adalah sebagai penerus kehidupan. Generasi-generasi yang saling mewarisi dan saling berwasiat.

11

Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat (Bogor: Kencana, 2003), 22.

12

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo, 1992), 114.

13

Slamet Abidin Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 12.

14


(43)

34

b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.

Sempurnanya Islam sebagai agama adalah memenuhi kebutuhan naluri manusia termasuk memenuhi syahwat sepasang kekasih. c. Memenuhi panggilan agama, memlihara diri dari kejahatan dan

kerusakan.

Orang-orang yang tidak menikah akan mengalami dan menimbulkan kerusakan, entah kerusakan dirinya sendiri atau orang lain bahkan masyarakat.

d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.

Dengan adanya sebuah keluarga maka akan dapat menimbulkan gairah bekerja dan rasa tanggung jawab serta berusaha dan mencari harta yang halal.

e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram dan kasih sayang.

Keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat. Masyarakat yang sejahtera hanya akan dihasilkan dari keluarga yang sejahtera dan bahagia.

B. BATAS USIA PERNIKAHAN


(44)

35

Permasalahan batas usia perkawinan dalam Al Qur’an maupun Hadis tidak dijelaskan secara spesifik. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah baligh, berakal sehat, mampu membedakan mana yang baik dan buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah, maka sebenarnya ia sudah siap untuk menikah. Usia baligh ini berhubungan dengan penunaian tugas-tugas seorang suami maupun istri. Dalam surat An Nisa ayat 6 digambarkan tentang sampainya waktu seseorang untuk menikah (bulūg alnikāḥ) dengan kata “rusyd”:





























































































“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”15

Rasyid Ridha berpendapat bahwa bulūg al-nikāū diartikan bahwa sampainya seseorang untuk menikah itu, sampai dia bermimpi sebagai tanda dia telah baligh, dimana dia telah taklif dengan hokum-hukum

15


(45)

36

agama, baik yang ibadah, muamalah ataupun hudud. Oleh karena itu makna rusyd dimaknai dengan kemampuan seseorang untuk melakukan perbuatan yang akan mendatangkan suatu kebaikan dan terhindar dari keburukan. Ini menjadi bukti bahwa akalnya telah sempurna.16

Imam Ibnu Katsir berpendapat dalam tafsirnya, bahwa bulūg al

-nikāḥ diartikan dengan cukup umur atau cerdas, sedangkan yang di maksud dengan balig adalah ditandai dengan adanya mimpi yang menyebabkan keluarnya air yang memancar, dan dengan air itu menjadi anak.17 Ia berpendapat bahwa batasan waktu seseorang untuk menikah tidak terbatas pada baligh saja, tetapi ditentukan pada umur atau kecerdasan juga.

Pendapat Ibnu katsir ini sependapat dengan Rasyid ridha, bahwa batasan waktu seseorang untuk menikah ditekankan pada rusyd yaitu umur dan kecerdasan, yang ditandai dengan ciri-ciri fisik seperti bermimpi dan menstruasi.

Dalam Tafsir al Azhar, Hamka menyatakan bahwa bulūg al-nikāh

ditafsirkan dengan arti dewasa, di mana kedewasaan tidak tergantung pada umur tetapi pada kecerdasan atau kecerdasan pikiran. Karena ada anak yang menurut umur belum dewasa tetapi secara akal dia

16

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Mamnār (Mesir: Al-Mannār, 2000M/1460), I: 396-397.

17


(46)

37

cerdas/cerdik, dan adapula yang orang yang sudah dewasa secara usia tetapi pemikirannya belum dewasa (matang).18

Dari beberapa pendapat tersebut terlihat perbedaan diantara para ulama. Rasyid Ridha dan Hamka menetapkan kedewasaan untuk menikah pada segi mental yaitu dilihat dari sikap dan tingkah lakunya, sedangkan Ibnu Katsir menetapkan kedewasaan itu pada lahiriyah dan dia telah mukallaf. Ulama kontemporer melihat, bahwa sampainya waktu untuk menikah tidak hanya dilihat dari ciri-ciri fisik semata (baligh) akan tetapi lebih menekankan pada kesempurnaan akal dan jiwa (rusyd). Oleh karena itu pernikahan tidak hanya membutuhkan kematangan fisik saja, tetapi juga perlu kematangan psikologis, social, agama dan intelektual.

Pemahaman istilah baligh bersifat relatif berdasarkan kondisi sosial dan kultur, sehingga ketentuan tentang dewasa dalam usia perkawinan para ulama madzhab berbeda pendapat baik yang ditentukan dengan umur, maupun dengan tanda-tandafisik lainnya. Pertama, golongan Syafiiyah dan Hanabilah menetapkan bahwa masa dewasa seorang anak itu dimulai umur 15 tahun, walaupun mereka dapat menerima tanda-tanda kedewasaan seseorang ditandai dengan datangnya haid bagi anak perempuan dan mimpi bagi anak laki-laki. Akan tetapi tanda-tanda tersebut tidak sama datangnya pada setiap orang, sehingga kedewasaan seseorang ditentukan dengan standar umur. Kedewasaan

18


(47)

38

antara laki-laki dan perempuan sama, karena kedewasaan ditentukan dengan akal. Dengan adanya akal ditentukan taklif dan adanya hukum. Kedua, Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa ciri kedewasaan itu datangnya mulai umur 19 tahun bagi laki-laki dan umur 17 tahun bagi perempuan. Ketiga, Imam Maliki menetapkan bahwa usia dewasa seseorang adalah ketika berumur 18 tahun bagi lakilaki dan perempuan.19 Keempat, Mazhab Ja’fari berpendapat bahwa seseorang dipandang telah dewasa dan dapat melangsungkan perkawinan jika telah berumur 15 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan, mazhab ini juga memandang bahwa seorang wali boleh mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.20 Dari perbedaan pendapat tersebut diatas, bahwa pendapat Imam Abu Hanifahlah yang memberikan batasan usia tertinggi dibandingan pendapat lainnya. Dan pendapat inilah yang dijadikan rujukan dalam perundang-undangan perkawinan di Indonesia.

2. Batas Usia Pernikahan menurut Hukum Nasional

Dalam peraturan perundang-undangan nasional, persoalan tentang batas usia dijelaskan dalam beberapa peraturan, diantaranya :

a. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 50 Ayat (1) menyebutkan ”Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah

19

Abdul Qadir Audah, Al Tasyri’ al Jinai al-Islami (Kairo: Dār al-‘Urubah, 1946), I: 602-603.

20

Muhammad Jawad Mugniyah, Fikih Lima Mazhab, terj.Masykur AB (Jakarta: lentera, 1999), 316-318.


(48)

39

kekuasaan wali, sedangkan mengenai batas kedewasaan untuk melangsungkan perkawinan ditentuakan dalam Pasal 6 Ayat (2) menyebutkan ”Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.” Pasal 7 Ayat (1) ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.21

b. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991tentang Kompilasi Hukum Islam(KHI) Pasal 98 Ayat (1) menyebutkan bahwa ”batas usia anak yang mampu berdiri sendiri adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernahmelangsungkan perkawinan”22

c. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Pdt) Pasal 330 Ayat (1) menyebutkan ”belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dulu telah kawin” sedangkan pada Ayat (2) disebutkan bahwa ”apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa”.23

21

Undang-Undang Perkawinan, cet. 1 (Bandung: Fokusmedia), 30.

22

Kompilasi Hukum Islam,. 148

23

Subekti. R. dan Tjitrosudibio. R, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, cet. 31 (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001)


(49)

40

d. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 171 menyebutkan ”Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:

1) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin

2) Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali Pasal 153 Ayat (5) menyebutkan ”Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh belas tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang”.

e. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa ”anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.24

f. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 45 menyebutkan ” Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu

24

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, 2. http;//www.google.co.id. (diakses 20 April 2017)


(50)

41

pelanggaran berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah”25

g. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 39 Ayat (1) menyebutkan bahwa: “penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah

2) Cakap dalam melakukan perbuatan hukum”.26

h. UU Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Pasal 1 angka 1 menyebutkan ”Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin” Pasal 4 Ayat (2) ”Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke siding pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum

25

Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, 3 http;//www.google.co.id. (diakses 20 April 2017)

26

Tan Thong Kie, Buku I Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris (Jakarta: PT Iktiar Van Hoeve, 2000).


(51)

42

mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak”.27

i. UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (18 tahun atau sudah menikah). Dalam undang-undang ini tidak secara gamblang dikatakan bahwa anak yang telah berusia 18 tahun atau sudah menikah disebut sebagai orang dewasa, namun beberapa pasal dalam undang-undang ini menyiratkan hal tersebut. Hal ini terllihat dari pasal 4c, 4d, 4h dan 4l. Dimana seorang anak yang berasal dari perkawinan campuran, baik anak dari perkawinan sah maupun perkawinan yang tidak sah, hingga usia 18 tahun mendapatkan kewarganegaraan ganda. Hal ini berarti bahwa seorang anak yang belum berusia 18 tahun masih berada dalam pengawasan orang tuanya, oleh karena itu dia belum dapat menentukan kewarganegaraannya.28

j. Setelah berusia 18 tahun dia dianggap mampu untuk menentukan kewarganegaraannya, hal ini terlihat dalam pasal 6. Meski tidak diterangkan secara gamblang, namun hal ini berarti bahwa seorang anak yang telah berusia 18 tahun atau telah menikah dianggap telah dewasa sehingga dia dapat menentukan sendiri kewarganegaraannya. Selain itu umur 18 tahun pun menjadi patokan bagi seorang warga negara asing untuk mengajukan

27

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak., 1.http;//www.google.co.id. diakses 20 April 2017

28

Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia., 3 http;//www.google.co.id. (diakses 20 April 2017).


(52)

43

permohonan menjadi warga negara Indonesia, tidak mungkin seseorang yang masih dianggap di bawah umur diperkenankan mengajukan permohonan perubahan kewarganegaraan. Oleh karena itu sangat jelas sekali bahwa undangundang kewarganegaraan menetapkan dewasa tidaknya seseorang dilihat dari umurnya yang telah mencapai 18 tahun atau sudah menikah.29

k. UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Kependudukan Pasal 63 Ayat (1) menyebutkan ”Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP”30

l. UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 81 Ayat (2) menyebutkan syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut:31

1) Usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D; 2) Usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; 3) Usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B

II.

29

Ibid, Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. http;//www.google.co.id. (diakses 20 April 2017)

30

Subekti. R. dan Tjitrosudibio. R, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, 90

31

Kompilasi perundang-undangan tentang KPK, POLISI, dan Jaksa.(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), 61.


(53)

44

m. UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Pasal 13 menyebutkan ”Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih”32

Beberapa Negara melihat bahwa penetapan usia nikah harus dilakukan, tidak terkecuali Indonesia. Undang-undang pernikahan Islam di Dunia Islam memang berbeda-beda dalam menentukan batas minimal usia pernikahan sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut ini :33

Tabel 2.1. : Batas Usia Minimal Menikah di Beberapa Negara

No. Nama Negara

Batas Usia Minimal Nikah

Laki-laki Perempuan

1 Aljazair 21 18

2 Bangladesh 21 18

3 Mesir 18 16

4 Indonesia 19 16

5 Iraq 18 18

6 Yordania 16 15

7 Libanon 18 17

8 Libya 18 16

9 Malaysia 18 16

10 Maroko 18 15

11 Yaman Utara 15 15

12 Pakistan 18 18

32

Subekti. R. dan Tjitrosudibio. R, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, 90.

33

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 184.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta. Akademika Presindo. 1992.

Adhim, Muhmmad Fauzil. Diambang Pernikahan. Jakarta. Gema Insani Press. 2002.

Aminuddin, Slamet Abidin. Fiqih Munakahat. Bandung. Pustaka Setia. 1999.

Anwar, Moch. Fiqih Islam. Subang. PT. Al-Ma’arif. 1980.

Aplikasi al-Maktabah al-Syamilah, Syarh al-Nawawiala Muslim juz V, 71.

Arikunto, Suharsimi. Preosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. PT. Rineka Cipta. 2006.

Audah, Abdul Qadir. Al Tasyri’ al Jinai al-Islami. Kairo. Dār al-‘Urubah. 1946. Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid al_syari’ah menurut al-syatibi. Jakarta. PT

Raja Grafindo, 1996.

Basri, Hasan. Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2002.

Basri, Hasan. Merawat Cinta Kasih. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 1996.

Bastaman, Hanna Djumhana. Integrasi Psikologi dengan Islam (Menuju Psikologi

Islami). Yogjakarta. Pustaka Pelajar. 1995.

Basuki, Sulistyo. Metode Penelitian. Jakarta. Wedatama Widya Sastra. 2006.

BKKBN. Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi, Pendewasaan Usia Perkawinan dan Hak-hak Reproduksi bagi Remaja Indonesia Perempuan. Jakarta. 2010.


(2)

BKKBN. Pendewasaan Usia Perkawinan dan Hak-Hak Reproduksi Remaja. Jakarta. 2010.

Bukhari (al), Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah al- Shahih Bukhori hadis no. 5066 . Riyadh. Dar al-Salam. 2008.

Cahyani, Sri Endah. Keharmonisan keluarga dan kecenderungan kenakalan

remaja di SMA Darul Arafah Bumi Ratu Nuban” (Tesis—Universitas

Lampung, Lampung, 2016). Dalam http://digilib.unila.ac.id diakses pada tanggal 27 Januari 2017 Pukul 14:22 WIB.

Cresswell, Jhon W. Penelitian Kualitatif dan Desain Riset. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2015.

Departemen Agama RI. Alquran dan Terjemahannya. Jakarta. Roudlatul Jannah. 2009.

Dradjat, Zakiah. Ketenangan dan Kebahagiaan dalam Keluarga. Jakarta. Bulan Bintang. 1975.

Fauzi, Rif’an. Hubungan Keharmonisan Keluarga dengan Perkembangan Moral Siswa Kelas IV dan V di MI Darul Falah Ngrangkok Klampisan

Kandangan Kediri, E-Journal Kopertais, 2, 2014.

Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta. Kencana. 2006.

Gunarsa, Singgih D. Gunarsa. Dan Yulia Singgih D. Psikologi Praktis Anak

Remaja dan Keluarga. Jakarta. Gunung Mulia 1991.

Gunarsa, Singgih D. Gunarsa. Dan Yulia Singgih D. Psikologi untuk Keluarga. Jakarta. Gunung Mulia. 1986.

Gunarsa, Singgih D. Psikologi untuk Keluarga. Jakarta. Gunung Mulia. 2003.

Halim, M. Nipan Abdul. Membahagiakan Istri Sejak Malam Pertama. Yogyakarta. Mitra Pustaka. 2008.


(3)

Hamka. Tafsir al Azhar. Jakarta. Pustaka Panji Masyarakat. 1984. IV.

Hanafi, Yusuf. Kontroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur (Child Marriage). Bandung. CV. Mandar Maju. 2011.

Hawari, Dadang. al-Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta. Dana Bhakti Prima Yasa. 1999.

Herdiansyah, Haris. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta. Salemba Humanika. 2011.

Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan. Jakarta. Erlangga. 1980.

Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Jakarta. Erlangga. 1999.

Jahar, Asep Saepudin dkk. Hukum Keluarga, Pidana, dan bisnis. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. 2013.

Katsir, Ibn. Tafsir Ibnu Katsir. Mesir. Daral-Kutub.tt. IV.

Kie, Tan Thong Buku I Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris. Jakarta. PT Iktiar Van Hoeve. 2000.

Kompilasi Hukum Islam.

Kompilasi perundang-undangan tentang KPK, POLISI, dan Jaksa. Yogyakarta.

Pustaka Yustisia, 2010.

Langgulung, Hasan. Manusia Dan Pendidikan Islam. Jakarta. Al-Husna Zikra. 1995.

Letter, Bag. M. Tuntunan Rumah tangga Muslim dan Keluarga Berencana. Padang. Angkasa Raya. 1983.

Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta. Rajawali Pres. 2006.


(4)

May. Setiap Bulan Tambah Ratusan Janda Baru. Jawa Pos. 21 Januari 2017.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2007.

Mugniyah, Muhammad Jawad. Fikih Lima Mazhab, terj.Masykur AB. Jakarta. Lentera. 1999.

Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan. Yogyakarta. LKIS. 2001.

Mulia, Musdah. Pandangan Islam tentang Poligami. Jakarta. Lembaga Kajian Agama dan Jender dan The Asia Fundation. 1999.

Nabhani, (an) Taqiyuddin. An-Nizam Al-Ijtima’I Fil Islam. Bandung. PT. Al-Maarif. 1990.

Najoan, Hardsen Julsy Imanuel. “Pola Komunikasi Suami Istri dalam menjaga

keharmonisan keluarga di Desa Tondegesan II Kecamatan

Kawangkoan”, Acta Diurna, 4. 2015.

Nasa’i, An. Sunan an-Nasa’i bi Syarhi wa Hasyiyah al-Sanadi, Juz VI. Beirut. Dar al-Fikr. 1348 H/1930 M.

Nasution, S. Metodologi Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

Nasution, Harun. Islam dan Pembangunan Keluarga Bahagia dalam “Islam Rasional”. Bandung. Mizan. 1996.

Nasution, S. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito, 1992. Prodjodikoro, R. Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung. Sumur.

1960.


(5)

R, Subekti. R. dan Tjitrosudibio. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. cet. 31. Jakarta. Pradnya Paramita. 2001.

R, Subekti. R. dan Tjitrosudibio. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Ramulyo, Idris. Asas-asas hukum islam. Jakarta. Sinar grafika. 1997.

Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Mamnār. Mesir. Al-Mannār. 2000M/1460. Salim, Moh. Haitami. Pendidikan Agama dalam Keluarga. Jakarta. Ar-Ruzz

Media. 2013.

Sarwono, Sarlito Wirawan. Menuju Keluarga Bahagia 2. Jakarta. Bhatara Karya Aksara. 1982.

Sarwono, Sarlito Wirawan. Menuju Keluarga Bahagia 4. Jakarta. Bhatara Karya Aksara. 1982.

Shihab, M Qurais. Pengantin al-Quran Kalung Permata Buat Anak-Anakku. Jakarta. Lentera Hati. 2007.

Singgih, Yulia dan Singgih D. Gunarsa. Psikologi untuk Keluarga. Jakarta. PT. BPK Gunung Mulia. 2012.

Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. 2004.

Suryabrata, Sumadi. Metode Penelitian. Jakarta. Rajawali. 1987.

Suryadin, Adin. “Hubungan Keharmonisan Keluarga dan Dukungan Sosial Teman dengan Konsep diri pada Siswa Madrasah Mualimin

Muhammadiyah Yogyakarta” (Tesis -- Universitas Muhammadiyah,

Surakarta, 2014) dalam http://eprints.ums.ac.id, diunduh pada tanggal 27 Januari 2017 Pukul 14:29 WIB


(6)

Tim Penyusun Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989.

Tim penyusun kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989.

Ulfiah. Psikologi Keluarga. Bogor. Ghalia Indonesia. 2016.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia., 3 http;//www.google.co.id. (diakses 10 April 2017).

Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. http;//www.google.co.id. (diakses 10 April 2017)

Undang-Undang No. 21Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, 3 http;//www.google.co.id. (diakses 10 April 2017)

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, 2. http;//www.google.co.id. (diakses 10 April 2017)

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak., 1.http;//www.google.co.id. diakses 20 April 2015

Undang-Undang No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan.

Undang-Undang Perkawinan. cet. 1. Bandung. Fokusmedia.

Yanggo, Huzaimah Tahido. Masail Fiqhiyah; Kajian Hukum Islam Kontemporer. Bandung. Angkasa. 2005.