94526455 IPS Tugas Proyek SMP

Meningkatkan Prestasi Belajar IPS Melalui
Metode Pengajaran Berbasis Tugas/proyek
Pada Siswa SMP

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tujuan dari kegiatan belajar mengajar tidak akan pernah tercapai selama
komponen-komponen lainnya tidak diperlukan. Salah satunya adalah komponen
metode. Metode adalah salah satu alat untuk mencapai tujuan. Dengan
memanfaatkan metode secara akurat, guru akan mampu mencapai tujuan
pengajaran. Metode adalah pelican jalan pengajaran menuju tujuan. Ketika tujuan
dirumuskan agar anak didik memiliki keterampilan tertentu, maka metode dan
tujaun jangan bertolak belakang. Artinya, metode harus menunjang pencapaian
tujuan tersebut. Apalah artinya kegiatan belajar mengajar yang dilakukan tanpa
mengindahkan tujuan.
Jadi, guru sebaiknya menggunakan metode yang dapat menunjang
kegiatan belajar mengajar, sehingga dapat dijadikan sebagai alat yang efektif
untuk mencapai tujuan pengajaran.
Sebagai salah satu komponen pengajaran, metode mempunyai peranan

yang tidak kalah pentingnya dari komponen lainnya dalam kegiatan belajar
mengajar. Tidak ada satu pun kegiatan belajar mengajar yang tidak menggunakan
metode pengajaran. Ini berarti guru memahami benar kedudukan metode sebagai
alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar mengajar. Motivasi ekstrinsik

menurut Sardiman A.M (1988: 90) adalah motif-motif yang aktif dan
berfungsinya, karena adanya perangsang dari luar. Karena itu, metode berfungsi
sebagai alat perangsang dari luar yang dapat membangkitkan belajar seseorang.
Ada kecenderungan dalam dunia pendidikan dewasa ini untuk kembali
pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan
secara alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalami” sendiri apa
yang dipelajarinya, bukan ‘mengetahui’-nya. Pembelajaran yang berorientasi
target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi ‘mengingat’ jangka
pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam
kehidupan jangkan panjang. Dan, itulah yang terjadi di kelas-kelas sekolah kita.
Pendekatan kontekkstual (contextual teaching learning/CTL) adalah suatu
pendekatan pengajaran yang dari karakteristiknya memenuhi harapan itu.
Sekarang ini pengajaran kontekstual menjadi tumpuan harapan para ahli
pendidikan dan pengajaran dalam upaya menghidupkan kelas secara maksimal.
Kelas yang hidup diharapkan dapat mengimbangi perubahan yang terjadi di luar

sekolah yang sedemikian cepat.
Mengajar bukan semata persoalan menceritakan. Belajar bukanlah
konsekuensi otomatis dari perenungan informasi ke dalam benak siswa. Belajar
memerlukan keterlibatan mental dan kerja siswa sendiri. Penjelasan dan
pemeragaan semata tidak akan membuahkan hasil belajar yang langgeng. Yang
bisa membuahkan hasil belajar yang langgeng hanyalah kegiatan belajar aktif.

Apa yang menjadikan belajar aktif? Agar belajar menjadi aktif siswa harus
mengerjakan banyak sekali tugas. Mereka harus menggunakan otak, mengkaji
gagasan, memecahkan masalah, dan menerapkan apa yang mereka pelajari.
Belajar aktif harus gesit, menyenangkan, bersemangat dan penuh gairah. Siswa
bahkan sering meninggalkan tempat duduk mereka, bergerak leluasa dan berfikir
keras (moving about dan thinking aloud).
Untuk bisa mempelajari sesuatu dengan baik, kita perlu mendengar,
melihat, mengajukan pertanyaan tentangnya, dan membahasnya dengan orang
lain. Bukan Cuma itu, siswa perlu “mengerjakannya”, yakni menggambarkan
sesuatu dengan cara mereka sendiri, menunjukkan contohnya, mencoba
mempraktekkan

keterampilan,


dan

mengerjakan

tugas

yang

menuntut

pengetahuan yang telah atau harus mereka dapatkan.
Setiap akan mengajar, guru perlu membuat persiapan mengajar dalam
rangka melaksanakan sebagian dari rencana bulanan dan rencana tahunan. Dalam
persiapan itu sudah terkandung tentang, tujuan mengajar, pokok yang akan
diajarkan, metode mengajar, bahan pelajaran, alat peraga dan teknik evaluasi
yang digunakan. Karena itu setiap guru harus memahami benar tentang tujuan
mengajar, secara khusus memilih dan menentukan metode mengajar sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai, cara memilih, menentukan dan menggunakan
alat peraga, cara membuat tes dan menggunakannya, dan pengetahuan tentang

alat-alat evaluasi.

Sementara itu teknologi pembelajaran adalah salah satu dari aspek
tersebut yang cenderung diabaikan oleh beberapa pelaku pendidikan, terutama
bagi mereka yang menganggap bahwa sumber daya manusia pendidikan, sarana
dan prasarana pendidikanlah yang terpenting. Padahal kalau dikaji lebih lanjut,
setiap pembelajaran pada semua tingkat pendidikan baik formal maupun non
formal apalagi tingkat Sekolah Dasar, haruslah berpusat pada kebutuhan
perkembangan anak sebagai calon individu yang unik, sebagai makhluk sosial,
dan sebagai calon manusia seutuhnya.
Hal tersebut dapat dicapai apabila dalam aktivitas belajar mengajar, guru
senantiasa

memanfaatkan

teknologi

pembelajaran

yang


mengacu

pada

pembelajaran struktural dalam penyampaian materi dan mudah diserap peserta
didik atau siswa berbeda.
Khusunya dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, agar siswa dapat
memahami materi yang disampaikan guru dengan baik, maka proses
pembelajaran kontektual, guru akan memulai membuka pelajaran dengan
menyampaikan kata kunci, tujuan yang ingin dicapai, baru memaparkan isi dan
diakhiri dengan memberikan soal-soal kepada siswa.
Dengan menyadari gejala-gejala atau kenyataan tersebut diatas, maka
dalam penelitian ini penulis mengambil judul “Meningkatkan Prestasi Belajar IPS
Melalui Metode Pengajaran Berbasis Tugas/proyek Pada Siswa ……..Tahun
Pelajaran .....”

B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang diatas maka penulis merumuskan
permasalahnnya sebagi berikut:

1. Bagaimanakah peningkatan prestasi belajar Pengetahuan Sosial dengan
diterapkannya Metode pengajaran berbasis tugas/proyek pada siswa Kelas
…………………………………………… Tahun Pelajaran ....?
2. Bagaimanakah pengaruh Metode pengajaran berbasis tugas/proyek terhadap
motivasi

belajar

Pengetahuan

Sosial

pada

siswa

Kelas

……………………………………. Tahun Pelajaran ....?


C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui peningkatan prestasi belajar Pengetahuan Sosial setelah
diterapkannya Metode pengajaran berbasis tugas/proyek pada siswa Kelas
…………………………………………….. Tahun Pelajaran .....
2. Mengetahui pengaruh motivasi belajar Pengetahuan Sosial setelah diterapkan
Metode

pengajaran

berbasis

tugas/proyek

pada

…………………………………….Tahun Pelajaran .....

siswa


Kelas

D. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan pada permasalahan dalam penelitian tindakan yang
berjudul ……………………………. yang dilakukan oleh peneliti, dapat
dirumuskan hipotesis tindakan sebagai berikut:
"Jika Proses Belajar Mengajar Siswa Kelas ……………….
menggunakan

metode……………….

dalam

menyampaikan

materi

pembelajaran, maka dimungkinkan minat belajar dan hasil belajar siswa kelas
…………………… akan lebih baik dibandingkan dengan proses belajar
mengajar yang dilakukan oleh guru sebelumnya".


E. Manfaat Penelitan
Adapun maksud penulis mengadakan penelitian ini diharapkan dapat
berguna sebagai:

1. Menambah pengetahuan dan wawasan penulis tentang peranan guru
Pengetahuan

Sosial

dalam meningkatkan

pemahaman

siswa belajar

pengetahuan sosial
2. Sumbangan pemikiran bagi guru Pengetahuan Sosial dalam mengajar dan
meningkatkan


pemahaman

siswa

belajar

Pengetahuan

Sosial

di

………………………………………. Tahun Pelajaran ....

F. Penjelasan Istilah
Agar tidak terjadi salah persepsi terhadap judul penelitian ini, maka perlu
didefinisikan hal-hal sebagai berikut:
1. Metode pengajaran berbasis tugas/proyek adalah:
Pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari
konteks bermakna. Siswa mengembangkan keterampilan berpikir dan

pemecahan masalah yang penting dalam konteks kehidupan nyata
2. Motivasi belajar adalah:
Suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah
laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan, atau keadaan dan
kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat
sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu.
3. Prestasi belajar adalah:

Hasil belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau dalam bentuk skor,
setelah siswa mengikuti pelajaran.
G. Batasan Masalah
Karena keterbatasan waktu, maka diperlukan pembatasan masalah yang
meliputi:
1. Penelitian

ini

hanya

dikenakan

pada

siswa

Kelas

……………………………….Tahun Pelajaran .....
2. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September semester ganjil tahun ajaran
.....
3. Materi yang disampaikan adalah pokok bahasan………………………

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Memperkenalkan Belajar Aktif
Lebih dari 2400 tahun silam, Konfusius menyatakan:
Yang saya dengar, saya lupa.
Yang saya lihat, saya ingat.
Yang saya kerjakan, saya pahami.
Tiga pertanyaan sederhana ini berbicara banya tentang perlunya metode belajar
aktif.
Yang saya dengar, saya lupa.
Yang saya dengar dan lihat, saya sedikit ingat.
Yang saya dengar, lihat, dan pertanyakan atau diskusikan dengan orang lain, saya
mulai pahami. Dari yang saya dengar, lihat, bahas dan terapkan, saya dapatkan
pengetahuan dan keterampilan. Yang saya ajarkan kepada orang lain, saya kuasai.
(Melvin L. Siberman, 2003: 15).
Ada sejumlah alasan mengapa sebagian besar orang cenderung lupa
tentang apa yang mereka dengar. Salah satu alasan yang paling menarik ada
kaitannya dengan tingkat kecepatan bicara guru dan tingkat kecepatan
pendengaran siswa.

Pada umumnya guru berbicara dengan kecepatan 100 hingga 200 kata
permenit. Tetapi beberapa kata-kata yang dapat ditangkap siswa dalam per
menitnya? Ini tentunya juga bergantung pada cara mereka mendengarkannya. Jika
siswa benar-benar berkonsentrasi, mereka akan dapat mendengarkan dengan
penuh perhatian terhadap 50 sampai 100 kata per menit, atau setengah dari apa
yang dikatakan guru. Itu karena siswa juga berpikir banyak selama mereka
mendengarkan. Akan sulit menyimak guru yang bicaranya nyerocos. Besar
kemungkinan, siswa tidak bisa konsentrasi karena, sekalipun materinya menarik,
berskonsentrasi dalam waktu yang lama memang bukan perkara mudah.
Penelitian menunjukkan bahwa siswa mampu mendengarkan (tanpa memikirkan)
denga kecepatan 400 hingga 500 kata per menit. Ketika mendengarkan dalam
waktu berkepanjangan terhadap seorang guru yang berbicara lambat, siswa
cenderung menjadi jenuh, dan pikiran mereka mengembara entah ke mana.
Bahkan, sebuah penelitian menunjukkan bahwa dalam suatu perkualiahan
bergaya-ceramah, mahasiswa kurang menaruh perhatian selama 40% dari seluruh
waktu kuliah (Pollio, 1984). Mahasiswa dapat mengingat 70 persen dalam
sepuluh menit pertama kuliah, sedangkan dalam sepuluh menit terakhir, mereka
hany dapat mengingat 20% materi kuliah mereka (McKeachie, 1986). Tidak
heran bila masisiwa dalam kualiah psikologi yang disampaikan dengan gaya
ceramah hanya mengetahui 8% lebih banyak dasri kelompok pembanding yang
sama sekali belum pernah mengikuti kuliah itu (Richard, dkk., 1989). Bayangkan

apa yang bisa didapatkan dari pemberian kuliah dengan cara seperti itu di
perguruan tinggi.
Dua figur terkenal dalam gerakan kooperatif, David dan Roger Jonson,
bersama Karl Smith, mengemukakan beberapa persoalan berkenaan dengan
perkuliahan yang berkepanjangan (Johnson, Johnson & Smith, 1991).
-

Perhatian masasiswa menurun seiring berlalunya waktu.

-

Cara kuliah macam ini hanya menarik bagi peserta didik auditori.

-

Cara ini cenderung mengakibatkan kurangnya proses belajar mengajar tentang
informasi faktual.

-

Cara ini mengasumsikan bahwa mahasiswa memerlukan informasi yang sama
dengan langkah penyampaian yang sama dengan langkah penyampaian yang
sama pula.

-

Mahasiswa cenderung tidak menyukainya.
Dengan menambahkan media visual pada pemberian pelajaran, ingatan

akan meningkat dari 14 hingga 38 persen (Pike, 1989). Penelitian juga
menunjukkanadanya peningkatan hingga 200 persen ketika digunakan media
visual dalam mengajarkan kosa kata. Tidak hanya itu, waktu yang diperlukan
untuk menyajikan sebuah konsep dapat berkurang hingga 40 persen ketika media
visual digunakan untuk mendukung presentasi lisan. Sebuah gambar barangkali
tidak memiliki ribuan kata, namun ia tiga kali lebih efektif ketimbang kata-kata
saja.

Ketika pengajaran memiliki dimensi auditori dan visual, pesan yang
diberikan akan menjadi lebih kuat berkat kedua system penyampaian itu. Juga,
sebagian siswa, seperti akan kita bahas nanti. Lebih menyukai satu cara
penyampaian ketimbang cara yang lain. Dengan menggunakan keduanya, kita
memiliki peluang yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan dari beberapa tipe
siswa. Namum demikian belajar tidaklah cukup hanya dengan mendengarkan atau
melihat sesuatu.

B. Bagaimanakah Otak Bekerja
Otak kita tidak bekerja seperti piranti audio atau video tape recorder.
Informasi yang masuk akan secara kontinyu dipertanyakan. Otak kita mengajukan
pertanyaan-pertanyaan seperti ini.
Pernahkan saya mendengar atu melihat informasi ini sebelumnya?
Di bagian manakah informasi itu cocok? Apa yang bisa saya lakukan
terhadapnya?
Dapatkah saya asumsikan bahwa ini merupakan gagasan yang sama yang saya
dapatkan kemarin atau bulan lalu atau tahun lalu?
Otak tidak sekedar menerima informasi, ia mengolah.
Untuk mengolah informsi secara efektif, ia akn terbantu dengan
melakukan perenungan semacam itu secara eksternal juga internal. Otak kita akan
melakukan tugas proses belajar yang lebih baik jiak kita membahas informasi
dengan orang lain dan jika kita diminta mengajukan pertanyaan tentang itu.
Sebagai contoh, Ruhl, Hughes, dan Schloss (1987) meminta siswa untuk
berdiskusi dengan teman sebangkunya tentang apa yang dijelaskan oleh guru
pada beberapa jeda waktu yang disediakan selama pelajaran berlangsung.
Dibandingkan dengan siswa dalam kelas pembanding yang tidak diselingi
diskusi, siswa-siswi ini mendapatkan nilai dengan selisih dua angka lebih tinggi.
Akan lebih baik lagi jika kita dapat melakukan sesuatu terhadap informasi
itu, dan dengan demikian kita bisa mendapat umpan balik tentang seberapa bagus

pemahaman kita. Menurut John Holt (1967), proses belajar akan meningkat jika
siswa dinima untuk melakukan berikut ini.
1. Mengemukakan kembali informasi dengan kata-kata mereka sindiri.
2. Memberikan contohnya.
3. Mengenalinya dalam bermacam-macam bentuk dan situasi.
4. Melihat kaitan antara informasi itu dengan fakta atau gagasan lain.
5. Menggunakannya dengan beragam cara.
6. Memprekdisikan sejumlah konsekuensinya.
7. Menyebutkan lawan atau kebalikannya.
Dalam banyak hal, otak tidak begitu berbeda dengan sebuah computer,
dan kita adalah pemakainya. Sebuah computer terntunya perlu di-“on“-kan untuk
bisa digunakan. Otak kita juga demikian. Ketika kegiatan belajar sifatnya pasif,
otak kita tidak “on”. Sebuah computer membutuhkan software yang tepat untuk
menginterpretasikan data yang diasumsikan. Otak kita perlu mengaitkan antara
apa yang dimasukkan. Otak kita perlu mengaitkan antara apa yang diajarkan
kepada kita dengan apa yang telah kita ketahui dan dengan cara kita berpikir.
Ketika proses belajar sifatnya pasif, otak tidak melakukan pengkaitan ini dengan
software pikiran kita. Ujung-ujungnya, computer tidak dapat mengakses kembali
informasi yang dia olah bila tidak terlebih dahulu “disimpan”. Otak kita perlu
menguji informasi, mengikhtisarkannya, atau menjelaskan kepada orang lain

untuk dapat menyimpannya dalam bank ingatannya. Ketika proses belajar bersifat
pasif, otak tidak menyimpan apa yang telah disajikan kepadanya.
Apa yang terjadi ketika guru menjejali siswa dengan pemikiran mereka
sendiri (betapapun meyakinkan dan tertatanya pemikitan mereka) atau ketika
guru terlalu sering menggunakan penjelasan dan pemeragaan (demonstrasi) yang
dsertai ungkapan, “begini lho caranya”? Menuangkan fakta dan konsep ke dalam
benak siswa dan menunjukan keterampilan dan prosedur dengan cara yang
kelewat menguasai justru akan mengganggu proses belajar. Cara menyajikan
informasi akan menimbulkan kesan langsung di otak, namun tanpa memori
fotografis, siswa tidak akan mendapatkan banyak hal baik dalam waktu lama
maupun sebentar.
Tentu saja, proses belajar sesungguhnya bukanlah semata kegiatan
menghafal. Banyak hal yang kita ingat akan hilang dalam beberapa jam.
Memperlajari bukanlah menelan semuanya. Untuk mengingat apa yang telah
diajarkan, siswa harus mengolahnya atau memahaminya. Seorang guru tidak
dapat dengan serta merta menuangkan sesuatu ke dalam benak para siswanya,
mereka dengar dan lihat menjadi satu kesatuan yang bermana. Tanpa peluang
untuk mendiskusikan, mengajukan pertanyaan, mempraktekan, dan barangkali
bahkan mengajarkannya kepada siwa yang lain, proses belajar yang
sesungguhnya tidak akan terjadi.

Lebih lanjut, belajar bukanlah kegiatan sekali tembak. Proses belajar
berlangsung secara bergelombang. Belajar memerlukan kedekatan dengan materi
yang hendak dipelajari, jauh sebelum bisa memahaminya. Belajar juga
memerlukan kedekatan dengan berbagai macam hal, bukan sekedar pengulangan
atau hafalan. Sebagi contoh, pelajaran Pengetahuan Sosial bisa diajarkan dengan
media yang konkret, melalui buku-buku latihan, dan dengan mempraktekan
dalam kegiatan sehari-hari. Masing-masing cara dalam menyajikan konsep akan
menentukan pemahaman siswa. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana
kedekatan itu berlangsung. Jika ini terjadi pada peserta didik, dia akan merasakan
sedikit keterlibatan mental. Ketika kegiatan belajar sifatnya pasif, siswa
mengikuti pelajaran tanpa rasa keingintahuan, tanpa mengajukan pertanyaan, dan
tanpa minat terhadap hasilnya (kecuali, barangkali, nilai yang akan dia peroleh).
Ketika kegiatan belajar sifat aktif, siswa akan mengupayakan sesuatu. Dia
menginginkan jawaban atas sebuah pertanyaan, membutuhkan informasi untuk
memecahkan masalah, atau mencari cara untuk mengerjakan tugas.
C. Gaya Belajar
Kalangan pendidik telah menyadari bahwa peserta didik memiliki
bermacam cara belajar. Sebagian siswa bisa belajar dengan sangat baik hanya
dengan melihat orang lain melakukannya. Biasanya, mereka ini menyukai
penyajian informasi yang runtut. Mereka lebih suka menuliskan apa yang
dikatakan guru. Selama pelajaran, mereka biasanya diam dan jarang terganggu

oleh kebisingan. Perserta didik visual ini berbeda dengan peserta didik auditori,
yang biasanya tidak sungkan-sungkan untuk memperhatikan apa yang dikerjakan
oleh guru, dan membuat catatan. Mereka menggunakan kemampuan untuk
mendengar dan mengingat. Selama pelajaran, mereka mungkin banyak bicara dan
mudah teralihkan perhatiannya oleh suara atau kebisingan. Peserta didik
kinestetik belajar terutama dengan terlibat langsung dalam kegiatan. Mereka
cenderung impulsive, semau gue, dan kurang sabaran. Selama pelajaran, mereka
mungkin saja gelisah bila tidak bisa leluasa bergerak dan mengerjakan sesuatu.
Cara mereka belajar boleh jadi tampak sembarangan dan tida karuan.
Tentu saja, hanya ada sedikit siswa yang mutlak memiliki satu jenis cara
belajar. Grinder (1991) menyatakan bahwa dari setiap 30 siswa, 22 diantaranya
rata-rata dapat belajar dengan efektif selama gurunya mengahadirkan kegaitan
belajar yang berkombinasi antara visual, auditori dan kinestik. Namun, 8 siswa
siswanya sedemikan menyukai salah satu bentuk pengajaran dibanding dua
lainnya. Sehingga mereka mesti berupaya keras untuk memahami pelajaran bila
tidak ada kecermatan dalam menyajikan pelajaran sesuai dengan ara yang mereka
sukai. Guna memenuhi kebutuhan ini, pengajaran harus bersifat mulitsensori dan
penuh dengan variasi.
Kalangan pendidikan juga mencermati adanya perubahan cara belajar
siswa. Selama lima belas tahun terakhir, Schroeder dan koleganya (1993) telah
menerapkan indikator tipe Myer-Briggs (MBTI) kepada mahasiswa baru. MBTI

merupakan salah satu instrument yang paling banyak digunakan dalam dunia
pendidikan dan untuk memahami fungsi perbedaan individu dalam proses belajar.
Hasilnya menunjukkan sekitar 60 persen dari mahasiswa yang masuk memiliki
orientasi praktis ketimbang teoritis terhadap pembelajaran, dan persentase itu
bertambah setiap tahunnya. Mahasiswa lebih suka terlibat dalam pengalaman
langsung dan konkret daripada mempelajari konsep-konsep dasar terlebih dahulu
dan baru kemudian menerapkannya. Penelitain MBTI lainnya, jelas Schroeder,
menunjukkan bahwa siswa sekolah menengah lebih suka kegiatan belajar yang
benar-benar aktif dari pada kegiatan yang reflektif abstrak, dengan rasio lima
banding satu. Dari semua ini, dia menyimpulkan bahwa cara belajar dan mengajar
aktif sangat sesuai dengan siswa masa kini. Agar bisa efektif, guru harus
menggunakan yang berikut ini: diskusi dan proyek kelompok kecil, presentasi
dan debat, dalam kelas, latihan melalui pengalaman, pengalaman lapangan,
simulasi, dan studi kasus. Secara khusus Schroeder menekankan bahwa siswa
masa kini “bisa beradaptasi dengan baik terhadap kegiatan kelompok dan belajar
bersama.”
Temuan-temuan ini dapat dianggap tidak mengejutkan bila kita
mempertimbangkan secepatnya laju kehidupan modern. Dimasa kini siswa
dibesarkan dalam dunia yang segala sesuatunya berjalan dengan cepat dan banyak
pilihan yang tersedia. Suara-suara terdengar begitu menghentak merdu, dan
warna-warna terlihat begitu semarak dan menarik. Obyek, baik yang nyata

maupun yang maya, bergerak cepat. Peluang untuk mengubah segala sesuatu dari
satu kondisi ke kondisi lain terbuka sangat luas.

D. Sisi Sosial Proses Belajar
Karena siswa masa kini menghadapi dunia di mana terdapat pengetahuan
yang luas, perubahan pesat, dan ketidakpastian, mereka bisa mengalami
kegelisahan dan bersikap defensif. Abraham Maslow mengajarkan kepada kita
bahwa manusia memiliki dua kumpulan kekuatan atau kebutuhan yang satu
berupaya untuk tumbuh dan yang lain condong kepada keamanan. Orang yang
dihadapkan pada kedua kebutuhan ini akan memiliki keamanan ketimbang
pertumbuhan. Kebutuhan akan rasa aman harus dipenuhi sebelum bisa
sepenuhnya kebutuhan untuk mencapai sesuatu mengambil resiko, dan menggali
hal-hal baru. Pertumbuhan berjalan dengan langkah-langkah kecul, menurut
Maslow, dan “tiap langkah maju hanya dimungkin akan bila ada rasa aman, yang
mana ini merupakan langkah ke depan dari suasana rumah yang aman menuju
wilayah yang belum diketahui” (Maslow, 1968).
Salah satu cara utama untuk mendapatkan rasa aman adalah menjalin
hubungan dengan orang lain dan menjadi bagian dari kelompok. Perasaan saling
memiliki ini memungkinkan siswa untuk menghadapi tantangan. Ketika mereka
belajar bersama teman, bukannya sendirian, mereka mendapatkan dukungan

emosional dan intelektual yang memungkinkan mereka melampaui ambang
pengetahuan dan ketermapilan mereka yang sekarang.
Jerome Bruner membahas sisi sosial proses belajar dama buku klasiknya,
Toward a Theory of Instruction. Dia menjelaskan tentang “kebutuhan mendalam
manusia untuk merespon orang lain dan untuk bekerjasama dengan mereka guna
mencapai tujuan,” yang mana hal ini dia sebut resiprositas (hubungan timbal
balik). Bruner berpendapat bahwa resiprositas merupakan sumber motivasi yang
bisa dimanfaatkan oleh guru sebagai berikut, “Di mana dibutuhkan tindakan
bersama, dan di mana resiprositas diperlukan bagi kelompok untuk mencapai
suatu tujuan, disitulah terdapat proses yang membawa individu ke dalam
pembelajaran membimbingnya untuk mendapatkan kemampuan yang diperlukan
dalam pembentukan kelompok” (Bruner, 1966).
Konsep-konsepnya Maslow dan Bruner melgurusi perkembangan metode
belajar kolaboratif yng sedemikian popular dalam lingkup pendidikan masa kini.
Menempatkan siswa dalam kelompok dan memberi mereka tugas yang menuntut
untuk bergantung satu sama lain dalam mengerjakannya merupakan cara yang
bagus untuk memanfaatkan kebutuhan sosial siswa. Mereka menjadi cenderung
lebih telibat dalam kegiatan belajar karena mereka mengerjakannya bersama
teman-teman. Begitu terlibat, mereka juga langsung memiliki kebutuhan untuk
membicarakan apa yang mereka alami bersama teman, yang mengarah kepada
hubungan-hubungan lebih lanjut.

Kegiatan belajar bersama dapat membantu memacu belajar aktif. Kegiatan
belajar dan mengajar di kelas memang dapat menstimulasi belajar aktif dengan
cara khusus. Apa yang didiskusikan siswa dengan teman-temannya dan apa yang
diajarkan siswa kepada

teman-temannya

memungkinkan

mereka

untuk

memperoleh pemahaman dan penguasaan materi pelajaran. Metode belajar
bersama yang terbaik, semisal pelajaran menyusun gambar (jigsaw), memenuhi
persyaratan ini. Pemberian tugas yang berbeda kepada siswa akan mendorong
mereka untuk tidak hanya belajar bersama, namun juga mengajarkan satu sama
lain.

E. Pengajaran Berbasis Tugas/Proyek
Pengajaran berbasis proyek/tugas terstruktur (Project-Based Learning)
membutuhkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif di mana lingkungan
belajar siswa disain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalahmasalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran,
dan melaksanakan tugas bermana lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa
untuk bekerja secara mandiri dalam mengkostruksikannya dalam produk nyata
(Buck Institue for Eduction, 2001).
Siswa diberikan tugas/proyek yang kompleks, sulit, lengkap, tetapi
realistis/autentik dan kemudian diberikan bantuan secekupnya agar mereka dapat
menyelesaikan tugas mereka (bukan diajar sedikit demi sedikit komponen-

komponen suatu tugas kompleks yang padu suatu diharapkan akan terwujud
menjadi suatu kemampuan untuk menyelesaikan tugas kompleks tersebut).
Prinsip ini digunakan untuk menunjang pemberian tugas kompleks di kelas
seperti proyek, simulasi, penyelidikan masyarakat, menulis untuk disajikan
kepada forum pendengar yang sesungguhnya, dan tugas-tugas autentik lainnya.
Istilah situated learning (Prawat, 1992) digunakan untuk menggambarkan
pembelajaran yang terjadi di dalam kehidupan nyata, tugas-tugas outentik/asli
yang sebenarnya.
Tidak memandang apakah suatu tugas harus dikerjaklan sebagai pekerjaan
kelas atau sebagai pekerjaan rumah, empat prinsip berikut ini akan membantu
siswa dalam perjalana mereka menjadi pembelajar mandiri yang efektif.
1. Membuat tugas bermakna, jelas, dan menantang
Salah satu tantangan paling sukar yang dihadapi guru pada saat
mereka menggunakan pekerjaan kelas atau pekerjaan rumah adalah menjaga
siswa tetap terlibat. Pada saat bekerja sendiri, sangat mudah bagi sisa untuk
kehilangan minat dan melalukan tindakan yang tidak relevan, khususnya
apabila tugas-tugas itu rutin.
Kebanyakan guru setuju bahwa tugas pekerjaan kelas dan pekerjaan
rumah mandiri yang dapat mempertahankan keterlibatan siswa memiliki
tujuan yang jelas. Siswa perlu mengetahui dengan tepat apa yang mereka
harus kerjakan, mengapa mereka mengerjakan pekerjaan itu, dan apa yang

dibutuhkanuntuk menyelsaikan pekerjaan itu. Siswa-siswa itu tetap berada
dalam tugas selama pekerjaan kelas dan menyelesaikan pekerjaan rumah
apabila mereka menyikapi tugas-tugas tersebut secar bermakna.
Linda Anderson (1985) menunjukan bahwa guru jarang menaruh
perhatian pada tujuan pekerjaan kelas atau strategi-strategi belajar yang
telibat. Sebaliknya, guru menekankan pada arahan-arahan procedural. Sebagai
contoh guru dpat menghabiskan waktu banyak menjelaskan kepad siswa di
mana menulis nama di kertas atau bagaimana menyusun jawabanjawabannya. Sementar petunjuk-petunjuk tentang “apa yang dilakukan”
adalah penting guru tidak menyertakan penjelasan tentang “mengapa” sesuatu
harus dikerjakan dan proses-proses pembelajaran yang terlibat. Sebelum
memberikan suatu tugas, guru hendaknya mempertimbangkan cirri penting itu
secara seksama dan kemudian menyediakan waktu cukupuntuk menjelaskan
cirri penting itu kepada siswa.
2. Menganekaragamkan Tugas-tugas
Sama dengan kehidupan pada umumnya, keanekaragaman menambah
daya tarik tugas pekerjaan kelas dan pekerjaan rumah.siswa kemungkinan
besar ttap terlibata dan mengerjakan pekerjaan mereka jika tugas-tugas lebih
bervariasi dan menarik daripada rutindan monoton. Guru yang efektif
mengubah panjang dan cara tugas yang diberikan di samping hakikat tugas
beljar dan strategi-strategi kognitif yang telibat. Membaca di dalam hati,

laporan proyek-proyek khusus, dan bahan-bahan multimedia menawarkn
berbagai macam cara untuk menyelesaikan pekerjaan mandiri. Pilihan
kemungkinan tidak terbatas dan tidak aka alasan bagi guru untuk membuat
jenis tugas yang sama dari hari ke hari.
3. Menaruh Perhatian pada Tingkat Kesulitan
Menetapkan tingkat kesulitan yang cocok atas tugas-tugas yang
diberikan kepada siswa merupakan suatu bahan baku penting untuk
keterlibatan berkelanjutan yang dibutuhkan untuk penyelesaian tugas-tugas
tersebut. Apabila siswa diharapkan untuk bekerja secara mandiri, tugas
tesebut sehrusnya memiliki tingkat kesulitan yang menjamin kemungkinan
berhasil tinggi. Siswa tidak akan tertantang ketika tugas-tugas yang diberikan
guru terlalu mudah. Mereka menyikapi tugas-tugas seperti sebagai pekerjaan
yang tidak menantang. Pada umumnya tugas yang baik perlu memiliki tingkat
kesulitan cukup sehingga kebanyakan siswa memandangnya sebagai sesuatu
yang menantang, namun cukup mudah sehingga kebanyakan siswa akan
menemukan pemecahannya dan mengerjakan tugas tersebut atas jerih payah
sendiri.
4. Memonitor Kemajuan Siswa
Akhirnya, merupakan hal penting bagi guru untuk memonitor tugastugas pekerjaan kelas dan pekerjaan rumah. Monitoring hendaknya meliputi
pengecekan untuk mengetahui apakah siswa memahami tugas mereka dan

proses-proses kognitif yang telibat. Monitoring ini juga termasuk pengecekan
pekerjaan siswa dan mengembalikan tugas dengan umpan balik. Pad saat
beberfapa siswa diberikan pekerjaan kelas, maka guru dapat bekerja dengan
siswa lain.a dianjurkan agar guru menyediakan waktu 5 atau 10 menit untuk
berkeliling di antara siswa yang bekerja untuk memastikan apakah mereka
memahami tugas tersebut sebelum menangani siswa-siswa lain. Apabila siswa
bekerja dalam kelompok-kelompok, maka guru hendaknya berada dalam
kelompok-kelompok tersebut secara bergantian dan berkeliling di antara siswa
yang bekerja secara mandiri. Meskipun mengoreksi tugas menghabiskan
waktu, hendaknya guru mengoreksi pekerjaan yang dibuat siswa dan
mengembalikan kepda mereka dengan umpan balik.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan (action research), karena
penelitian dilakukan untuk memecahkan masalah pembelajaran di kelas. Penelitian
ini juga termasuk penelitian deskriptif, sebab menggambarkan bagaimana suatu
teknik pembelajaran diterapkan dan bagaimana hasil yang diinginkan dapat dicapai.
Menurut Oja dan Sumarjan (dalam Titik Sugiarti, 1997: 8) mengelompokkan
penelitian tindakan menjadi empat macam yaitu, (a) guru sebagai penelitia; (b)
penelitian tindakan kolaboratif; (c) simultan terintegratif; (d) administrasi social
eksperimental.
Dalam penelitian tindakan ini menggunakan bentuk guru sebagai peneliti,
penanggung jawab penuh penelitian ini adalah guru. Tujuan utama dari penelitian
tindakan ini adalah untuk meningkatkan hasil pembelajaran di kelas dimana guru
secara penuh terlibat dalam penelitian mulai dari perencanaan, tindakan, pengamatan,
dan refleksi.
Dalam penelitian ini peneliti tidak bekerjasama dengan siapapun, kehadiran
peneliti sebagai guru di kelas sebagai pengajar tetap dan dilakukan seperti biasa,
sehingga siswa tidak tahu kalau diteliti. Dengan cara ini diharapkan didapatkan data
yang seobjektif mungkin demi kevalidan data yang diperlukan.

A. Tempat, Waktu dan Subyek Penelitian
1. Tempat Penelitian
Tempat penelitian adalah tempat yang digunakan dalam melakukan
penelitian untuk memperoleh data yang diinginkan. Penelitian ini bertempat di
……………………………………….. Tahun Pelajaran .....
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian adalah waktu berlangsungnya penelitian atau saat
penelitian ini dilangsungkan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
September semester ganjil tahun pelajaran .....
3. Subyek Penelitian
Subyek

penelitian

adalah

siswa-siswi

Kelas

……………………………….. Tahun Pelajaran .... pada pokok bahasan
kerajaan Hindu, Budha dan Islam di Indonesia.

B. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Menurut
Tim Pelatih Proyek PGSM, PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat
reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan
rasional dari tindakan mereka dalam

melaksanakan tugas, memperdalam

pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan itu, serta memperbaiki

kondisi dimana praktek pembelajaran tersebut dilakukan (dalam Mukhlis,
2000: 3).
Sedangkah menurut Mukhlis (2000: 5) PTK adalah suatu bentuk kajian
yang bersifat sistematis reflektif oleh pelaku tindakan untuk memperbaiki kondisi
pembelajaran yang dilakukan.
Adapun tujuan utama dari PTK adalah untuk memperbaiki/meningkatkan
pratek pembelajaran secara berkesinambungan, sedangkan tujuan penyertaannya
adalah menumbuhkan budaya meneliti di kalangan guru (Mukhlis, 2000: 5).
Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan,
maka penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan
Taggart (dalam Sugiarti, 1997: 6), yaitu berbentuk spiral dari sklus yang satu ke
siklus yang berikutnya. Setiap siklus meliputi planning (rencana), action
(tindakan), observation (pengamatan), dan reflection (refleksi). Langkah pada
siklus berikutnya adalah perncanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan,
dan refleksi. Sebelum masuk pada siklus 1 dilakukan tindakan pendahuluan yang
berupa identifikasi permasalahan. Siklus spiral dari tahap-tahap penelitian
tindakan kelas dapat dilihat pada gambar berikut.

Putar
an 1

Refleksi

Rencana
Rencana
awal/rancangan
awal/rancangan

Putar
an 2

Tindakan/
Observasi
Refleksi

Rencanayang
yang
Rencana
direvisi
direvisi

Tindakan/
Observasi
Refleksi

Putar
an 3

Rencanayang
yang
Rencana
direvisi
direvisi

Tindakan/
Observasi

Gambar 3.1 Alur PTK
Penjelasan alur di atas adalah:
1. Rancangan/rencana awal, sebelum mengadakan penelitian peneliti menyusun
rumusan masalah, tujuan dan membuat rencana tindakan, termasuk di
dalamnya instrumen penelitian dan perangkat pembelajaran.
2. Kegiatan dan pengamatan, meliputi tindakan yang dilakukan oleh peneliti
sebagai upaya membangun pemahaman konsep siswa serta mengamati hasil
atau dampak dari diterapkannya metode pembelajaran model tugas/proyek.

3. Refleksi, peneliti mengkaji, melihat dan mempertimbangkan hasil atau
dampak dari tindakan yang dilakukan berdasarkan lembar pengamatan yang
diisi oleh pengamat.
4. Rancangan/rencana yang direvisi, berdasarkan hasil refleksi dari pengamat
membuat rancangan yang direvisi untuk dilaksanakan pada siklus berikutnya.
Observasi dibagi dalam tiga putaran, yaitu putaran 1, 2 dan 3, dimana
masing putaran dikenai perlakuan yang sama (alur kegiatan yang sama) dan
membahas satu sub pokok bahasan yang diakhiri dengan tes formatif di akhir
masing putaran. Dibuat dalam tiga putaran dimaksudkan untuk memperbaiki
sistem pengajaran yang telah dilaksanakan.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Silabus
Yaitu

seperangkat

rencana

dan

pengaturan

tentang

kegiatan

pembelajaran pengelolahan kelas, serta penilaian hasil belajar.
2. Rencana Pelajaran (RP)
Yaitu merupakan perangkat pembelajaran yang digunakan sebagai
pedoman guru dalam mengajar dan disusun untuk tiap putaran. Masingmasing RP berisi kompetensi dasar, indikator pencapaian hasil belajar, tujuan
pembelajaran khusus, dan kegiatan belajar mengajar.
3. Lembar Kegiatan Siswa

Lembar kegiataan ini yang dipergunakan siswa untuk membantu
proses pengumpulan data hasil kegiatan belajar mengajar.
4. Tes formatif
Tes ini disusun berdasarkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai,
digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman konsep Pengetahuan
Sosial pada pokok bahasan kerajaan Hindu, Budha dan Islam di Indonesia.
Tes formatif ini diberikan setiap akhir putaran. Bentuk soal yang diberikan
adalah pilihan guru (objektif). Sebelumnya soal-soal ini berjumlah 46 soal
yang telah diujicoba, kemudian penulis mengadakan analisis butir soal tes
yang telah diuji validitas dan reliabilitas pada tiap soal. Analisis ini digunakan
untuk memilih soal yang baik dan memenuhi syarat digunakan untuk
mengambil data. Langkah-langkah analisi butir soal adalah sebagai berikut:

a. Validitas Tes
Validitas butir soal atau validitas item digunakan untuk
mengetahui tingkat kevalidan masing-masing butir soal. Sehingga dapat
ditentukan butir soal yang gagal dan yang diterima. Tingkat kevalidan ini
dapat dihitung dengan korelasi Product Moment:
rxy 

N  X

2001: 72)

 X  Y 
   X   N  Y    Y 

N  XY 
2

2

2

2



(Suharsimi

Arikunto,

Dengan: rxy

: Joefisien korelasi product moment

N

: Jumlah peserta tes

ΣY

: Jumlah skor total

ΣX

: Jumlah skor butir soal

ΣX2

: Jumlah kuadrat skor butir soal

ΣXY : Jumlah hasil kali skor butir soal
b. Reliabilitas
Relaiabilitas butir soal dalam penelitian ini menggunakan rumus
belah dua sebagai berikut:
r11 

2r1 / 21 / 2
(Suharsimi Arikunto, 20001: 93)
(1  r1 / 21 / 2 )

Dengan: r11
r1/21/2

: Koefisien reliabilitas yang sudah disesuaikan
: Korelasi antara skor-skor setiap belahan tes

Kriteria reliabilitas tes jika harga r11 dari perhitungan lebih besar dari
harga r pada tabel product moment maka tes tersebut reliabel.
c. Taraf Kesukaran
Bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal
adalah indeks kesukaran. Rumus yang digunakan untuk menentukan taraf
kesukaran adalah:
P

B
Js

(Suharsimi Arikunto, 2001: 208)

Dengan: P

: Indeks kesukaran

B

: Banyak siswa yang menjawab soal dengan benar

Js

: Jumlah seluruh siswa peserta tes

Kriteria untuk menentukan indeks kesukaran soal adalah sebagai berikut:
-

Soal dengan P = 0,000 sampai 0,300 adalah sukar

-

Soal dengan P = 0,301 sampai 0,700 adalah sedang

-

Soal dengan P = 0,701 sampai 1,000 adalah mudah

d. Daya Pembeda
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk
membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang
berkemampuan rendah. Angka yang menunjukkan besarnya daya
pembeda desebut indeks diskriminasi. Rumus yang digunakan untuk
menghitung indeks diskriminasi adalah sebagai berikut:
D

B A BB

 PA  PB
JA JB

(Suharsimi Arikunto, 2001: 211)

Dimana:
D : Indeks diskriminasi
BA : Banyak peserta kelompok atas yang menjawab dengan benar
BB : Banyak peserta kelompok bawah yang menjawab dengan benar
JA : Jumlah peserta kelompok atas
JB : Jumlah peserta kelompok bawah
PA 

BA
 Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar.
JA

PB 

BB
 Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar
JB

Kriteria yang digunakan untuk menentukan daya pembeda butir
soal sebagai berikut:
-

Soal dengan D = 0,000 sampai 0,200 adalah jelek

-

Soal dengan D = 0,201 sampai 0,400 adalah cukup

-

Soal dengan D = 0,401 sampai 0,700 adalah baik

-

Soal dengan D = 0,701 sampai 1,000 adalah sangat baik

D. Metode Pengumpulan Data
Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh melalui
observasi pengolahan belajar aktif, observasi aktivitas siswa dan guru, dan tes
formatif.

E. Teknik Analisis Data
Untuk mengetahui keefektivan suatu metode dalam kegiatan pembelajaran
perlu diadakan analisa data. Pada penelitian ini menggunakan teknik analisis
deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bersifat menggambarkan
kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh dengan tujuan untuk

mengetahui prestasi belajar yang dicapai siswa juga untuk memperoleh respon
siswa terhadap kegiatan pembelajaran serta aktivitas siswa selama proses
pembelajaran.
Untuk mengalisis tingkat keberhasilan atau persentase keberhasilan siswa
setelah proses belajar mengajar setiap putarannya dilakukan dengan cara
memberikan evaluasi berupa soal tes tertulis pada setiap akhir putaran.
Analisis ini dihitung dengan menggunakan statistic sederhana yaitu:
1. Untuk menilai ulangan atau tes formatif
Peneliti melakukan penjumlahan nilai yang diperoleh siswa, yang
selanjutnya dibagi dengan jumlah siswa yang ada di kelas tersebut sehingga
diperoleh rata-rata tes formatif dapat dirumuskan:
X 

X
N

Dengan

: X

= Nilai rata-rata

Σ X = Jumlah semua nilai siswa
Σ N = Jumlah siswa
2. Untuk ketuntasan belajar
Ada dua kategori ketuntasan belajar yaitu secara perorangan dan
secara klasikal. Berdasarkan petunju pelaksanaan belajar mengajar kurikulum
1994 (Depdikbud, 1994), yaitu seorang siswa telah tuntas belajar bila telah
mencapai skor 65% atau nilai 65, dan kelas disebut tuntas belajar bila di kelas
tersebut terdapat 85% yang telah mencapai daya serap lebih dari atau sama

dengan 65%. Untuk menghitung persentase ketuntasan belajar digunakan
rumus sebagai berikut:
P

 Siswa. yang.tuntas.belajar x100%
 Siswa

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Data penelitian yang diperoleh berupa hasil uji coba item butir soal, data
observasi berupa pengamatan pengelolaan pembelajaran kontekstual model
pengajaran berbasis proyek/tugas dan pengamatan aktivitas siswa dan guru pada akhir
pembelajaran, dan data tes formatif siswa pada setiap siklus.
Data hasil uji coba item butir soal digunakan untuk mendapatkan tes yang
betul-betul mewakili apa yang diinginkan. Data ini selanjutnya dianalisis tingkat
validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda.
Data tes formatif untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa setelah
diterapkan pembelajaran kontekstual model pengajaran berbasis proyek/tugas.

A. Analisis Item Butir Soal
Sebelum melaksanakan pengambilan data melalui instrument penelitian
berupa tes dan mendapatkan tes yang baik, maka data tes tersebut diuji dan
dianalisis. Uji coba dilakukan pada siswa di luar sasaran penelitian. Analisis tes
yang dilakukan meliputi:
1. Validitas
Validitas butir soal dimaksudkan untuk mengetahui kelayakan tes
sehingga dapat digunakan sebagai instrument dalam penelitian ini. Dari

perhitungan 42 soal diperoleh 12 soal tidak valid dan 30 soal valid. Hasil dari
validits soal-soal dirangkum dalam tabel di bawah ini.

Tabel 4.1. Soal Valid dan Tidak Valid Tes Formatif Siswa
Soal Valid
1, 2, 3, 4, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 17, 19, 21, 23,
25, 256 27, 28, 29, 30,36, 37, 38, 39, 41, 42,

Soal Tidak Valid
5, 6, 8, 15, 16, 18, 20, 22, 24, 31, 32,
33, 34, 35, 40

2. Reliabilitas
Soal-soal yang telah memenuhi syarat validitas diuji reliabilitasnya.
Dari hasil perhitungan diperoleh koefisien reliabilitas r 11 sebesar 0, 635. Harga
ini lebih besar dari harga r product moment. Untuk jumlah siswa (N = 45)
dengan r (95%) = 0,294. Dengan demikian soal-soal tes yang digunakan telah
memenuhi syarat reliabilitas.
3. Taraf Kesukaran (P)
Taraf kesukaran digunakan untuk mengetahui tingkat kesukaran soal.
Hasil analisis menunjukkan dari 42 soal yang diuji terdapat:
-

18 soal mudah

-

14 soal sedang

-

10 soal sukar

4. Daya Pembeda
Analisis daya pembeda dilakukan untuk mengetahui kemampuan soal
dalam membedakan siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang
berkemampuan rendah.
Dari hasil analisis daya pembeda diperoleh soal yang berkteriteria
jelek sebanyak 12 soal, berkriteria cukup 20 soal, berkriteria baik 10 soal.
Dengan demikian soal-soal tes yang digunakan telah memenuhi syara-syarat
validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda.

B. Analisis Data Penelitian Persiklus
1. Siklus I
a. Tahap Perencanaan
Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran
yang terdiri dari rencana pelajaran 1, soal tes formatif 1 dan alat-alat
pengajaran yang mendukung.
b. Tahap Kegiatan dan Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus I dilaksanakan
pada tanggal 5 September 2004 di Kelas ……….. dengan jumlah siswa
45 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses
belajar

mengajar

mengacu

pada

rencana

pelajaran

yang

telah

dipersiapkan. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan
pelaksaaan belajar mengajar
Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif I
dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses
belajar mengajar yang telah dilakukan. Adapun data hasil penelitian pada
siklus I adalah sebagai berikut:

Table 4.2. Nilai Tes Formati Pada Siklus I
No.
Nilai
Absen
1
80
2
80
3
70
4
60
5
80
6
60
7
80
8
80
9
80
10
60
11
60
12
70
13
70
14
70
15
80
16
70
17
90
18
70
19
60
20
60
21
80
22
70
23
80
Jumlah
1660
Skor Maksimal Ideal 4500
Jumlah Skor Tercapai 3240
Skor Rata-rata 72,00

Keterangan
T
TT























17
6

No.
Absen
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
Jumlah

Nilai
70
60
80
60
80
80
80
60
60
70
80
70
80
80
90
70
60
60
60
70
80
80
1580

Keterangan
T
TT






















15
7

Keterangan:

T

: Tuntas

TT

: Tidak Tuntas

Jumlah siswa yang tuntas

: 32

Jumlah siswa yang belum tuntas

: 13

Klasikal

: Belum tuntas

Tabel 4.3. Rekapitulasi Hasil Tes Formatif Siswa Pada Siklus I
No
1
2
3

Uraian
Nilai rata-rata tes formatif
Jumlah siswa yang tuntas belajar
Persentase ketuntasan belajar

Hasil Siklus I
72,00
32
71,11

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa dengan menerapkan
metode pengajaran berbasis proyek/tugas diperoleh nilai rata-rata prestasi
belajar siswa adalah 72,00 dan ketuntasan belajar mencapai 71,11% atau
ada 32 siswa

dari 45 siswa sudah tuntas belajar. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa pada siklus pertama secara klasikal siswa belum
tuntas belajar, karena siswa yang memperoleh nilai ≥ 65 hanya sebesar
71,11% lebih kecil dari persentase ketuntasan yang dikehendaki yaitu
sebesar 85%. Hal ini disebabkan karena siswa masih merasa baru dan
belum mengerti apa yang dimaksudkan dan digunakan guru dengan
menerapkan metode pengajaran berbasis proyek/tugas.

2. Siklus II
a. Tahap perencanaan
Pada tahap inipeneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran
yang terdiri dari rencana pelajaran 2, soal tes formatif II dan alat-alat
pengajaran yang mendukung.
b. Tahap kegiatan dan pelaksanaan
Pelaksanaan

kegiatan

belajar

mengajar

untuk

siklus

II

dilaksanakan pada tanggal 12 September 2004 di Kelas ……………
dengan jumlah siswa 45 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai
guru. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran
dengan memperhatikan revisi pada siklus I, sehingga kesalah atau
kekurangan pada siklus I tidak terulanga lagi pada siklus II. Pengamatan
(observasi)

dilaksanakan

bersamaan

dengan

pelaksanaan

belajar

mengajar.
Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif II
dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses
belajar mengajar yang telah dilakukan. Instrumen yang digunakan adalah
tes formatif II. Adapun data hasil penelitian pada siklus II adalah sebagai
berikut.

Table 4.4. Nilai Tes Formatif Pada Siklus II
No.
Nilai
Absen
1
80
2
60
3
70
4
70
5
80
6
80
7
80
8
80
9
70
10
60
11
60
12
90
13
90
14
80
15
80
16
80
17
80
18
90
19
80
20
70
21
60
22
80
23
80
Jumlah
1750
Skor Maksimal Ideal 4500
Jumlah Skor Tercapai 3430
Skor Rata-rata 76,22

Keterangan:

Keterangan
T
TT























19
4

No.
Absen
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
Jumlah

Nilai
60
70
80
80
80
80
80
70
60
60
90
90
80
80
80
80
90
80
70
60
80
80
1680

Keterangan
T
TT






















18
4

T

: Tuntas

TT

: Tidak Tuntas

Jumlah siswa yang tuntas

: 37

Jumlah siswa yang belum tuntas

:8

Klasikal

: Belum tuntas

Tabel 4.5. Rekapitulasi Hasil Tes Formatif Siswa Pada Siklus II
No
1
2
3

Uraian
Nilai rata-rata tes formatif
Jumlah siswa yang tuntas belajar
Persentase ketuntasan belajar

Hasil Siklus II
76,22
37
82,22

Dari tabel di atas diperoleh nilai rata-rata prestasi belajar siswa
adalah 76,22 dan ketuntasan belajar mencapai 82,22% atau ada 37 siswa
dari 45 siswa sudah tuntas belajar. Hasil ini menunjukkan bahwa pada
siklus II ini ketuntasan belajar secara klasikal telah mengalami
peningkatan sedikit lebih baik dari siklus I. Adanya peningkatan hasil
belajr siswa ini karena setelah guru menginformasikan bahwa setiap akhir
pelajaran akan selalu diadakan tes sehingga pada pertemuan berikutnya
siswa lebih termotivasi untuk belajar. Selain itu siswa juga sudah mulai
mengerti apa yang dimaksudkan dan dinginkan guru dengan menerapkan
metode pengajaran berbasis proyek/tugas.
3. Siklus III
a. Tahap Perencanaan
Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran
yang terdiri dari rencana pelajaran 3, soal tes formatif 3 dan alat-alat
pengajaran yang mendukung.
b. Tahap kegiatan dan pengamatan

Pelaksanaan

kegiatan

belajar

mengajar

untuk

siklus

III

dilaksanakan pada tanggal 19 September 2004 di Kelas ………… dengan
jumlah siswa 45 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru.
Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran dengan
memperhatikan revisi pada siklus II, sehingga kesalahan atau kekurangan
pada siklus II tidak terulang lagi pada siklus III. Pengamatan (observasi)
dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar.
Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif III
dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses
belajar mengajar yang telah dilakukan. Instrumen yang digunakan adalah
tes formatif III. Adapun data hasil penelitian pada siklus III adalah
sebagai berikut:

Table 4.6. Nilai Tes Formatif Pada Siklus III
No.
Nilai
Absen
1
90
2
80
3
90
4
90
5
80
6
80
7
90
8
80
9
70
10
80
11
60
12
80
13
90
14
90
15
90
16
80
17
90
18
80
19
90
20
60
21
90
22
70
23
90
Jumlah
1890
Skor Maks