Perebutan Ruang Kota Dalam Bisnis Transp (1)

Perebutan Ruang Kota Dalam Bisnis Transportasi Publik di Jakarta
Fariz Panghegar

Sejatinya, sejak tahun 2004 Pemerintah DKI Jakarta telah berupaya membenahi sistem
transportasi publik yang beroperasi di jalan. Jalan yang ditempuh adalah modernisasi moda
transportasi publik dengan menghadirkan bus transjakarta, angkutan perbatasan terintegrasi
busway (APTB), bus kota terintegrasi Busway (BKTB). Namun upaya pemerintah untuk
memodernisasi layanan transportasi publik tidak berjalan dengan mulus karena adanya
penolakan dari pelaku usaha moda transportasi lama, seperti pengusaha angkutan kota (angkot).
Sepanjang tahun 2012 hingga awal tahun 2014 saja, telah terjadi tiga insiden penolakan
keberadaan moda transportasi APTB dan BKTB di Jakarta dan kota sekitarnya. Tahun 2012 dan
2013, awak angkutan di kota Bekasi dan Bogor menolak keberadaan APTB jurusan BekasiPulogadung dan Bogor-Rawamangun (Kompas, 2012; 2013). Pada awal tahun 2014, giliran
awak perusahaan angkutan Koperasi Wahana Kalpika (KWK) menolak keberadaan BKTB
jurusan Pantai Indah Kapuk-Monas (Kompas, 2014).
Alasan penolakannya adalah trayek (rute perjalanan) moda transportasi baru bersinggungan di
banyak titik lokasi dengan trayek angkutan lama. Para awak angkutan khawatir penghasilan
mereka akan berkurang karena masalah persinggungan trayek. Konflik karena masalah
persinggungan trayek angkutan menandai adanya konflik perebutan ruang kota dalam bisnis
transportasi publik.

Aspek Penguasaan Ruang Kota dalam Bisnis Transportasi


Dalam bisnis transportasi, trayek merupakan ruang produksi yang menjadi lahan untuk
menjalankan bisnis. Mobil memang merupakan aset penting dalam bisnis angkutan, namun
trayek merupakan aset terpenting. Karena trayek adalah ruang dimana mobil-mobil angkutan itu
boleh beroperasi mengantarkan penumpang. Bisnis transportasi bekerja dengan cara penguasaan
ruang. Ada dua model penguasaan ruang trayek di dunia bisnis transportasi Jakarta.
Pertama, penguasaan ruang moda transportasi lama. Model ini meliputi moda transportasi publik
lawas yang telah lama mendominasi jalanan ibukota seperti angkot. Trayek-trayek moda
transportasi lama dikuasai oleh para elite pengusaha angkutan. Mereka dapat menguasai trayektrayek tersebut karena merekalah yang merancang dan membiayai proses pembuatan trayek
tersebut (Panghegar, 2013). Pemerintah DKI Jakarta berperan sebagai regulator yang memeriksa
kelayakan rancangan trayek dan mengesahkannya sebagai trayek baru. Ketika sebuah trayek baru
disahkan, pemerintah akan menetapkan kuota mobil angkutan yang boleh beroperasi di sana.

Dalam model ini, para elite pengusaha angkot, yang memiliki modal dan pengetahuan tentang
birokrasi Pemerintah DKI Jakarta yang mengurus transportrasi publik, mencari ruang-ruang
perkotaan strategis yang padat penumpang. Ruang-ruang strategis tersebut berupa pusat aktivitas
warga seperti sekolah, area perkantoran, kawasan industri, pasar, dan tempat hiburan. Mereka
merancang trayek melewati daerah strategis tersebut dan mengajukannya ke Dinas Perhubungan
DKI Jakarta agar trayek mereka bisa disahkan (Panghegar 2013).
Setelah trayek tersebut disahkan, elite pengusaha tersebut menjadi pemegang hak pengelolaan

layanan transportasi di trayek tersebut. Ada dua pilihan yang dapat dia lakukan, dia mengelola
layanan angkutan di trayek tersebut seutuhnya atau dia menyewakan trayek tersebut kepada para
pengusaha angkutan lain. Umumnya, para elite pemilik trayek lebih memilih pilihan kedua.
Mereka berperan sebagai tuan tanah trayek tersebut dan menyewakan seluruh atau sebagian jatah
kuota mobil dalam trayek ke para pengusaha angkutan lain (Panghegar 2013).
Misalkan sebuah trayek memiliki jatah kuota 100 mobil, para tuan tanah biasanya menyewakan
sebagian dari kuota mobil tersebut ke pengusaha angkutan lain. Para tuan tanah trayek menarik
fee kepada pengusaha angkutan lain yang menyewa lahan di trayek mereka. Para pengusaha
angkot juga menjalin relasi kerja dengan supir yang berperan sebagai penyewa mobil dengan
sistem setoran. Inilah relasi kerja dalam bisnis transportasi publik lawas seperti angkot,
metromini, dan kopaja.
Model kedua adalah penguasaan ruang moda transportasi baru seperti bus transjakarta, APTB
dan BKTB. Dalam model ini, pemerintah merupakan perancang dan pemilik trayek angkutan.
Mereka mentenderkan hak pengelolaan layanan transportasi di trayek tersebut kepada BUMN
atau perusahaan swasta dalam jangka waktu tertentu (Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor
173/2010). Dalam model ini, hak pengelolaan layanan transportasi dapat berganti ke perusahaanperusahaan lain, tidak seperti model pertama dimana trayek dikuasai oleh elit pemilik trayek.
Karena pada model pertama, perancangan dan pembuatan trayek dilakukan oleh pengusaha
angkutan.
Kedua model penguasaan ruang ini berdiri bersama-sama dalam dunia bisnis transportasi Jakarta.
Penolakan keberadaan moda transportasi baru (transjakarta, APTB, BKTB) oleh para pelaku

usaha moda transportasi lama (angkot) yang terjadi dalam tiga tahun terakhir merupakan konflik
perebutan ruang kota. Para pelaku usaha moda transportasi lama tidak menginginkan trayeknya
dilintasi oleh trayek moda transportasi baru. Mereka tidak ingin punya saingan di ruang-ruang
kota strategis yang mereka kuasai.

Kompetisi Perebutan Ruang Kota dalam Bisnis Transportasi

Meskipun tak terlihat secara kasat mata, bisnis transportasi bekerja dengan cara pengusaaan
ruang. Konflik akibat perebutan ruang merupakan masalah keseharian dalam dunia bisnis

transportasi Jakarta. Mengenai kompetisi perebutan ruang kota, Harvey Molotch, sosiolog
perkotaan menjelaskan:
‘Setiap unit dari sebuah komunitas berusaha meningkatkan potensi nilai guna lahan yang
dimilikinya. Contohnya para pemilik toko di ujung blok saling berkompetisi untuk menentukan
di gedung mana halte bus akan ditempatkan. Atau, para pemilik hotel di sisi utara kota
berkompetisi dengan para pemilik hotel di selatan kota agar balai pertemuan dibangun di dekat
hotel miliknya.Begitu juga, pertarungan memperebutkan rute jalan tol, lokasi bandar udara,
pembangunan kampus, kontrak pertahanan, lampu lalulintas, rancangan jalan satu arah dan
pembangunan taman. (Molotch 1976).’
Dari penjelasan Molotch, para pengusaha akan berusaha mempertahankan nilai lahan yang

dimilikinya agar terus berpotensi menghasilkan pendapatan yang tinggi. Dalam bisnis
transportasi, ruang trayek akan berusaha dipertahankan agar tetap memiliki potensi keuntungan
yang tinggi. Para pengusaha angkutan akan berupaya untuk memasukkan ruang kota strategis ke
dalam trayek miliknya dan menjaga agar trayek-trayek lain tidak banyak melintasi trayek
miliknya. Agar mereka tidak memiliki banyak saingan ketika mengantar penumpang.
Persinggungan trayek dalam jarak yang panjang menjadi hal yang tidak diinginkan oleh para
pengusaha transportasi. Perusahaan transportasi berusaha mempertahankan trayeknya agar tidak
banyak bersinggungan dengan trayek perusahaan lain. Persinggungan antar trayek dianggap
merugikan. Pihak pengusaha angkutan khawatir persinggungan antar trayek berpotensi
menurunkan pendapatan karena mereka harus bersaing dengan perusahaan angkutan lain.
Penolakan keberadaan armada APTB dan BKTB oleh para pelaku usaha angkot, merupakan
contoh konflik perebutan ruang kota yang dipicu oleh masalah persinggungan trayek. Ruangruang kota di jalanan Jakarta dan kota sekitarnya, bukanlah lahan kosong tanpa penunggu
melainkan ruang-ruang yang telah dikapling, dimiliki dan dipertahankan oleh para tuan tanah
trayek dan klien-kliennya. Aspek penguasaan ruang merupakan hal penting yang perlu
diperhatikan dalam kajian transportasi kota.
Pembuatan kebijakan transportasi dengan demikian, harus memperhatikan masalah penguasaan
trayek. Karena bisnis transportasi merupakan bisnis berbasis penguasaan lahan berupa trayek.
Harvey Molotch dan Kee Warner menjelaskan pentingnya memperhatikan masalah penguasaan
lahan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Mereka menjelaskan,
‘Studi ilmu politik dalam berbagai generasi telah mengajarkan bahwa implementasi kebijakan

publik yang sukses tidak bisa terjadi begitu saja. Karena pengembangan lahan merupakan ranah
operasi yang kompleks dan secara intensif diperebutkan, adanya para pendukung yang
terorganisir dengan baik, membuat hasil yang ditargetkan menjadi hal yang tidak pasti (Warner
dan Molotch 2000).’
Penguasaan trayek sebagai ruang ekonomis dalam bisnis transportasi harus menjadi perhatian
bagi pemerintah DKI Jakarta dalam usaha pembenahan transportasi di Jakarta. Langkah
pemerintah DKI Jakarta untuk membenahi layanan transportasi publik dengan mengadakan

trayek baru dengan menggunakan armada bus besar dihalangi oleh pengusaha lama yang telah
ada sebelumnya. Membenturkan trayek moda transportasi baru dengan moda transportasi yang
telah lama merupakan hal yang tidak tepat, karena akan memicu timbulnya penolakan dari
pengusaha lama.

Mometum Pembenahan Layanan Transportasi publik

Upaya pembenahan jaringan trayek dan pengelolaan layanan transportasi, tidak bisa dilakukan
jika pengelolaan layanan transportasi publik dilepaskan begitu saja ke pihak para pengusaha
angkutan. Apalagi dengan membiarkan pengusaha angkutan menguasai trayek dan membangun
relasi klientelistik dengan para pengusaha lain dan para awak angkutan. Langkah pemerintah
menciptakan sarana angkutan modern (bus transjakarta, APTB dan BKTB) sembari membiarkan

layanan angkutan lama (angkot) tetap beroperasi, terbukti gagal membuat sistem layanan
transportasi bekerja dengan baik. Sebaliknya, yang terjadi adalah konflik dan kebuntuan akibat
masalah perebutan ruang kota dimana para pelaku usaha angkutan lama menolak dan
menghalangi moda angkutan baru beroperasi.
Jalan yang sebaiknya ditempuh adalah pemerintah perlu mengambilalih pengelolaan layanan
transportasi publik dari para pengusaha angkutan. Selanjutnya, Pemerintah DKI Jakarta
kemudian membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang mengelola layanan transportasi
di Jakarta. Hal itu perlu dilakukan agar pemerintah leluasa mengubah sistem kerja dan
pengelolaan layanan angkutan, termasuk juga menata ulang trayek-trayek angkutan.
Selama ini yang terjadi adalah trayek-trayek angkutan saling tumpang tindih, tidak saling
terintegrasi dan melengkapi. Di jalan-jalan raya ibukota, dapat kita temukan trayek angkutan
baru bus transjakarta, tumpang tindih dengan trayek angkutan lama. Idealnya, masing-masing
trayek angkutan saling terhubung dari jalan yang kecil di permukiman sampai ke jalan besar di
pusat aktivitas kota.
Menghindari trayek angkutan agar tidak saling tumpang tindih, Pemerintah dapat membagi area
pelayanan angkutan berdasarkan ukuran kendaraan dengan kapasitas jalan. Layanan transportasi
di jalan raya dilayani oleh bus besar dan menegah, sementara angkot yang menggunakan mobil
kecil melayani daerah jalan lokal, seperti jalan permukiman. Jika trayek ditata seperti itu, akan
tercipta jaring trayek yang lebih terintegrasi dan tidak tumpang tindih.
Kemudian yang tak kalah penting, masyarakat sebagai pengguna jasa layanan transportasi perlu

dilibatkan dalam hal perencanaan dan pengelolaan layanan transportasi. Selama ini, pengelolaan
layanan transportasi didominasi oleh elite pengusaha angkutan dengan pemerintah sebagai
fasilitatornya. Selain itu masyarakat pengguna jasa layanan angkutan belum memiliki komunitas
atau organisasi konsumen yang kuat untuk menghimpun dan mendesakkan aspirasi mereka
tentang masalah layanan angkutan. Perencanaan dan pengelolaan layanan angkutan tanpa

melibatkan masyarakat, terbukti gagal hasilkan layanan angkutan yang berkualitas. Oleh karena
itu, sudah saatnya pembangunan layanan transportasi dan layanan publik lainnya melibatkan
partisipasi masyarakat agar pembangunan fasilitas publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat
sebagai pengguna.

*** pernah dimuat di http://indoprogress.com/2014/08/perebutan-ruang-kota-dalam-bisnistransportasi-publik-di-jakarta/

Kepustakaan:
Molotch, Harvey. The City as a Growth Machine: Toward a Political Economy of Place.
American Journal of Sociology, Vol. 82, No. 2 (Sep., 1976) diperoleh dari
http://www.jstor.org/stable/2777096 diakses pada 5 Maret 2012.
Panghegar, Fariz. Dampak Privatisasi Terhadap Dinamika Relasi Kuasa Antara Pihak Negara,
Pengusaha Angkutan Kota Dan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Layanan Tansportasi
Publik: Studi Kasus Angkutan Kota (Angkot) Jakarta. Skripsi S 1. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Indonesia. 2013
Warner, Kee and Harvey Molotch. Building Rules: How Local Controls Shape Community
Environments and Economies. Colorado: Westview Press. 2000.
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 173/2010.
‘Tiga Unit BKTB Dirusak Sopir Angkot di Penjaringan’. 11 Februari 2014.Diperoleh dari
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/02/11/1823013/Tiga.Unit.BKTB.Dirusak.Sopir.Angk
ot.di.Penjaringan diakses pada 11-2-2014
‘DKI Minta Bogor Selesaikan Masalah Penolakan APTB’. 7 Maret 2013. Diperoleh dari
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/03/07/17214883/DKI.Minta.Bogor.Selesaikan.Masala
h.Penolakan.APTB
‘Armada APTB Bekasi Kembali Beroperasi 7 April’. 5 April 2012. Diperoleh dari
http://tekno.kompas.com/read/2012/04/05/23424375/armada.aptb.bekasi.kembali.beroperasi.7.ap
ril