PENGIMBASAN KETAHANAN BIBIT PISANG AMBON

PENGIMBASAN KETAHANAN BIBIT PISANG RAJA TERHADAP PENYAKIT
LAYU FUSARIUM DENGAN EKSTRAK BAKTERI ANTAGONIS
(INDUCED RESISTANCE OF RAJA CULTIVAR BANANA SEEDLING TO
FUSARIUM WILT BY APPLYING ANTAGONISTIC BACTERIA EXTRACT)
Oleh:
Loekas Soesanto dan Ruth Feti Rahayuniati
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian,
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
Kontak: lukassus26@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak bakteri antagonis
terhadap ketahanan bibit pisang Raja, perkembangan penyakit layu Fusarium, dan
pertumbuhan tanaman pisang. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok
Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 6 ulangan. Perlakuan meliputi tanpa ekstrak
bakteri antagonis dan tanpa Fusarium oxysporum f.sp. cubense, tanpa ekstrak bakteri
antagonis dan F. oxysporum, ekstrak Pseudomonas flourescens P60 dan F. oxysporum, P.
flourescens P32, atau Bacillus subtilis dan F. oxysporum. Peubah yang diamati meliputi
kandungan senyawa fenol (glikosida, saponin, tanin), masa inkubasi, keparahan penyakit,
laju infeksi, keefektifan antagonis, kepadatan akhir Fusarium, jumlah akar terinfeksi,
penghambatan perkecambahan, keberadaan Foc pada tanaman, tinggi tanaman, jumlah
daun, serta bobot basah akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak

bakteri antagonis P. flourescens P60 dan P. flourescens P32 berpotensi mengimbas
ketahanan penyakit layu Fusarium pada bibit tanaman pisang Raja, yang ditunjukkan
dengan peningkatan kandungan senyawa fenol, yaitu glikosida, saponin, dan tanin.
Perlakuan ekstrak bakteri tersebut berpotensi menekan perkembangan penyakit layu
Fusarium pada bibit pisang Raja, yang ditunjukkan pada perlambatan masa inkubasi
masing-masing selama 76,333 dan 75,167 hari setelah inokulasi, dengan keefektifan
antagonis pada bonggol masing-masing sebesar 31,51 dan 25,88%; sedangkan pada daun
masing-masing
sebesar 19,67 dan 20,58%. Perlakuan tersebut belum mampu
meningkatkan pertumbuhan bibit tanaman pisang Raja.
Kata Kunci: Ketahanan terimbas, Layu Fusarium, Bakteri antagonis.
ABSTRACT
This research aimed at knowing the effect of antagonistic bacteria extract on Raja
cultivar banana seedling, Fusarium wilt development, and banana growth. Completely
Randomized Block Design was used with five treatments repeated six times. The
treatments were without the extract and without Fusarium oxysporum f.sp. cubense,
without the extract and with the fungus, extract of Pseudomonas flourescens P60, P.
flourescens P32, or Bacillus subtilis and with the fungus. Variables observed were phenolic
compound content (glycoside, saponin, tannin), incubation period, disease severity,
infection rate, antagonistic effectivity, Fusairum late density, number of infected roots,

germination inhibition, the fungus inside the crop, crop height, number of leaves, and wet
weight of root. Result of the research pointed out that the extract of P. flourescens P60 and
P. flourescens P32 could potentially induce the crop seedling resistance to the disease
showed by increasing the compound content, i.e., glycoside, saponin, and tannin. The
antagonistic extract could potentially suppress the disease development performed by
slowness incubation period for 76.333 and 75.167 days after inoculation, respectively, with
1

antagonistic effectivity in the seedling corm of 31.51 and 25.88%, respectively, and in the
seedling leave of 19.67 and 20.58%, respectively. The treatments did not increase growth
of the banana seedling yet.
Key words: Induced resistance, Fusarium wilt, Antagonistic bacteria.
I. PENDAHULUAN
Pisang merupakan salah satu tanaman hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi
cukup tinggi dan memiliki berbagai manfaat baik buah atau bagian tanaman lain. Selain
dikonsumsi segar, pisang juga digunakan sebagai bahan baku makanan olahan. Pisang
mengandung gizi yang cukup tinggi, yaitu terdiri atas air, karbohidrat, protein, lemak dan
vitamin A, B1, B2 dan C (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura, 2005).
Sentra produksi pisang di Indonesia terdapat di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Lampung, Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, dan NTB

(Ditjen PPHP, 2005). Salah satu pisang komoditas ekspor, yaitu pisang Raja.
Salah satu kendala bagi peningkatan produksi pisang adalah gangguan penyakit
tanaman mulai pembibitan sampai pascapanen. Penyakit terpenting yang merusak tanaman
pisang adalah penyakit layu Fusarium, yang disebabkan jamur Fusarium oxysporum f.sp.
cubense (Foc). Penyakit pisang tersebut termasuk paling berbahaya di dunia. Di Indonesia,
serangan paling parah oleh patogen ini (bersama dengan Ralstonia solanacearum)
ditemukan di Sumatera barat (Nasir dan Jumjunidang, 2004). F. oxysporum umumnya
menyerang tanaman sejak tanaman masih muda (Suastika dan Kamandalu, 2005).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan penyakit ini, tetapi belum
memberikan harapan dan hasil yang memuaskan. Pengendalian hayati patogen tular-tanah
merupakan pilihan yang perlu dikembangkan, sebab relatif murah dan mudah dilakukan,
serta bersifat ramah lingkungan. Penggunaan agensia pengendali hayati yang berasal dari
bakteri antagonis telah banyak dilaporkan. Pseudomonas fluorescens dan Bacillus subtilis
merupakan bakteri antagonis yang banyak dimanfaatkan sebagai agensia hayati untuk
beberapa jamur dan bakteri patogen tanaman.
Pseudomonas fluorescens P60 merupakan salah satu strain bakteri antagonis P.
fluorescens yang telah diuji terhadap beberapa penyakit tanaman. Misalnya, terhadap
penekanan F. oxysporum f.sp. gladioli penyebab layu pada tanaman gladiol (Soesanto et
al., 2008) dan penyakit Moler pada bawang merah (Santoso et al., 2007). B. subtilis
terbukti efektif mengendalikan penyakit rebah kecambah karena Rhizoctonia solani pada

krisan (Hanudin et al., 2008).
2

Mekanisme ketahanan ketahanan terimbas atau Induced Resistance adalah
preinokulasi tanaman dengan berbagai agensia fisik, kimia, dan hayati, yang dapat
menyebabkan perubahan reaksi penyakit yang diakibatkan oleh inokulasi berikutnya
dengan patogen sasaran (Misaghi, 1982). Selain itu, reaksi biokimia yang terjadi di dalam
sel atau jaringan mampu menghasilkan senyawa toksin terhadap patogen atau menciptakan
kondisi yang menghambat pertumbuhan patogen di dalam tanaman (Agrios, 2005).
Ketahanan secara kimiawi ditunjukkan dengan terbentuknya senyawa kimia yang mampu
mencegah pertumbuhan dan perkembangan patogen (Chairul, 2003) dan umumnya dengan
konsentrasi lebih tinggi daripada tanaman tidak tahan (Mansfield, 2000; Agrios, 2005).
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan upaya yang dapat diterapkan untuk
meningkatkan ketahanan tanaman. Salah satu upaya tersebut dapat dilakukan melalui
mekanisme pengimbasan ketahanan bibit pisang Raja terhadap penyakit layu Fusarium,
yaitu menggunakan ekstrak beberapa bakteri antagonis. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh ekstrak bakteri antagonis terhadap peningkatan ketahanan bibit
pisang Raja dari penyakit layu Fusarium, terhadap perkembangan penyakit layu Fusarium,
dan terhadap pertumbuhan bibit tanaman pisang Raja.
METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan dan Kebun
Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal soedirman selama enam bulan mulai
Juli sampai Desember 2008.
Penyiapan isolat
Isolat jamur F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) (Haryono, 2007) disiapkan dengan
medium kentang dekstrosa cair, yang digojog (Orbital shaker Daiki) selama 5 hari dengan
kecepatan 150 rpm pada suhu kamar. Isolat bakteri antagonis P. fluorescens P60 (Soesanto
dan Termorshuizen, 2001) dan P. fluorescens P32 (Koleksi L. Soesanto) disiapkan dalam
medium King’s B cair (Schaad, 1980) dan digojog dengan kecepatan 150 rpm pada suhu
kamar selama 24 jam. Isolat B. subtilis (Koleksi D.S Utami) disiapkan dengan medium
Nutrient Broth dan digojog selama 2 hari pada kecepatan dan suhu yang sama.
Penyiapan medium tanam dan bahan tanaman
Medium tanam yang digunakan adalah pasir sungai steril dengan cara penguapan.
Bahan tanaman yang digunakan adalah bibit pisang Raja hasil kultur jaringan yang telah
diaklimatisasi (± umur 2 minggu) dari Balai Benih Hortikultura, Salaman, Magelang.
Perlakuan
3

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL), yang terdiri atas 5 perlakuan dengan 6 ulangan dan tiap perlakuan terdiri atas tiga

bibit tanaman. Perlakuan yang dicoba adalah K0 = tanpa ekstrak bakteri antagonis, tanpa
inokulasi F. oxysporum f.sp. cubense, K1 = tanpa ekstrak bakteri antagonis + inokulasi F.
oxysporum f.sp. cubense, P1 = ekstrak P. fluorescens P60 + inokulasi F. oxysporum f.sp.
cubense, P2 =ekstrak P. fluorescens P32 + inokulasi F. oxysporum f.sp. cubense, dan Bs =
ekstrak B. subtilis + inokulasi F. oxysporum f.sp. cubense. Bonggol bibit pisang direndam
dalam larutan ekstrak bakteri antagonis selama 5 menit, kemudian ditanam dalam medium
pasir steril. Setelah 1 minggu, dilakukan inokulasi dengan menyiramkan suspensi Foc
sebanyak 20 ml/tanaman.ke daerah perakaran tanaman, yang telah dilukai dengan pisau
steril. Pemeliharaan dilakukan dengan pemupukan menggunakan larutan Hoagland (Lo,
2002).
Variabel dan Pengukuran
Variabel dan pengukuran yang diamati dalam penelitian ini adalah 1) komponen
patosistem, terdiri atas masa inkubasi yang dihitung sejak inokulasi patogen sampai
munculnya gejala pertama, dalam satuan hari setelah inokulasi (hsi), keparahan penyakit
dengan menggunakan kategori serangan atau skala kerusakan mengacu pada skala
kerusakan menurut Mak et al. (2008), yaitu untuk gejala pada daun, skala 1 = tidak ada
infeksi (tanaman sehat), 2 = daun sedikit menguning, 3 = sebagian besar daun menguning,
4 = semua daun menguning, dan 5 = tanaman mati; sedangkan gejala pada akar, skala 1 =
jaringan pada bagian atau sekitar bonggol tidak ada perubahan warna, 2 = tidak ada
perubahan warna pada bagian bonggol, perubahan warna


terdapat pada bagian yang

berhubungan dengan akar, 3 = perubahan warna 0 - 5%, 4 = perubahan warna 6 - 20%, 5 =
perubahan warna 21 - 50%, 6 = perubahan warna > 50%, 7 = perubahan warna mencapai
bonggol tanaman, dan 8 = tanaman mati. Menurut Mak et al. (2008), keparahan penyakit
(DSI) pada daun dan akar dihitung dengan rumus:
∑ (Nilai kategori x jumlah bibit tiap kategori serangan)
DSI = ---------------------------------------------------------------------∑ (Jumlah bibit yang diamati)
Selanjutnya dimasukkan ke dalam kelompok ketahanan menurut Skala DSI
Skala DSI untuk LSI
Skala DSI untuk RDI
Keterangan
1
1
Tahan
1,1 – 2
1,1 – 3
Toleran
2,1 – 3

3,1 – 5
Rentan
3,1 – 4
5,1 – 8
Sangat rentan
Laju infeksi, dihitung berdasarkan rumus van der Plank (1963), yaitu:
4

r

2,3   1 
 1 
 log
  log
 
t   1  Χt 
 1  Χo  

Keterangan: r = laju infeksi, Xo = proporsi penyakit awal, Xt = proporsi penyakit pada
waktu t, dan t = waktu pengamatan, keefektifan antagonis, dihitung berdasarkan Djaya et

al. (2003), yaitu:
IPp 
x100%
IPk
Keterangan: Ea = keefektifan antagonis, IPk = Intensitas penyakit pada kontrol /tanpa
Ea 

 IPk 

perlakuan, dan IPp = Intensitas penyakit pada perlakukan, jumlah akar terinfeksi, dihitung
pada akhir penelitian. 2) komponen pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman, diukur
dari permukaan tanah sampai dengan titik tumbuh tertinggi, jumlah daun, dihitung pada
akhir pengamatan, dan bobot basah akar, ditimbang pada akhir pengamatan. 3) analisis
jaringan tanaman, dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa fenol secara kualitatif.
Senyawa fenol yang diuji adalah glikosida, saponin, dan tanin, menurut Chairul (2003).
Selain itu, juga diuji penghambatan perkecambahan konidium jamur untuk mengetahui
persentase penghambatan metabolit sekunder yang dihasilkan terhadap perkecambahan
konidium

patogen,


menurut

Wirianata

(2004)

yang

dimodifikasi.

Pengamatan

perkembangan jamur di dalam tanaman dilakukan dengan mengisolasi akar dan bonggol
tanaman. Akar dan bonggol yang akan diamati dipotong kemudian direndam dalam dalam
larutan kloroks 1% selama ± 3 menit, dicuci dua kali, dikeringkan, dipotong lebih kurang 1
cm, diisolasi pada medium PDA, dan diinkubasi minimum 5 hari. Isolat yang tumbuh
diamati melalui mikroskop dengan pewarnaan menggunakan lactophenol cotton blue.
Selain itu, dilakukan pula pengamatan dengan cara membuat irisan melintang akar,
diwarnai dengan lactophenol cotton blue, dan diamati menggunakan mikroskop.

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F untuk mengetahui pengaruh dari
perlakuan yang dicoba. Apabila berbeda nyata, dilanjutkan dengan DMRT pada tingkat
kesalahan 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Kandungan Senyawa Fenol
Hasil pengujian menunjukkan adanya peningkatan kandungan senyawa glikosida,
saponin, dan tanin setelah diperlakukan dengan ekstrak bakteri antagonis (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil pengujian kandungan senyawa fenol secara kualitatif
5

Perlakuan
Glikosida
Saponin
Tanin
K0
+
+
+
K1
+
++
+
P1
+++
+++
+++
P2
+++
++
+
Bs
+++
+++
+
Keterangan: - = tidak ada kandungan fenol, + = sedikit fenol, ++ = cukup fenol, +++ =
banyak fenol. K0 = Tanpa ekstrak bakteri antagonis + tanpa F. oxysporum, K1
= F. oxysporum tanpa ekstrak bakteri antagonis, P1 = Ekstrak P. flourescens
P60 + F. oxysporum, P2 = Ekstrak P. flourescens P32 + F. oxysporum, dan Bs
= Ekstrak B. subtilis + F. oxysporum.
Akar dan bonggol tanaman pisang yang telah diimbas dengan bakteri antagonis
menunjukkan perbedaan kandungan glikosida dibandingkan dengan kontrol. Tanaman
pisang yang diperlakukan dengan P1, P2, dan Bs menunjukkan peningkatan kandungan
glikosida, saponin, dan tanin (Tabel 1). Peningkatan kandungan glikosida diduga karena
ekstrak bakteri antagonis mampu meningkatkan kadar senyawa fenol pada tanaman pisang.
Menurut Nio (1989) dan Chairul (2003), glikosida merupakan senyawa antara karbohidrat
dan zat lain yang dinamakan radikal aglikon, yang terdapat pada berbagai jenis tetumbuhan
tinggi dan memberikan pengaruh fisiologis. Seperti halnya kandungan glikosida, saponin
diduga berperan dalam pengaktifan sistem pertahanan tanaman terhadap patogen. Nio
(1989) menyatakan bahwa saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi
pada bagian tertentu, yang dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap pertumbuhan.
Perlakuan P1 yaitu pengimbasan ekstrak bakteri antagonis P. fluorescens P60 menunjukkan
kandungan tanin paling tinggi dibanding perlakuan lain. Hal ini menunjukkan bahwa
pengimbasan dengan ekstrak P. fluorescens P60 mampu mengaktifkan mekanisme
pertahanan tanaman yang sebelumnya sudah ada. Menurut Agrios (2005), senyawa fenol
dan tanin terdapat dalam konsentrasi tinggi dalam sel daun atau buah yang masih muda,
dan diperkirakan bertanggung jawab dalam ketahanan jaringan yang masih muda tersebut
terhadap mikroba patogen seperti Botrytis.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Komponen Patosistem
Berdasarkan hasil penelitian, pengimbasan dengan ekstrak bakteri antagonis
berpengaruh nyata terhadap masa inkubasi, keefektifan antagonis pada daun dan bonggol,
serta kepadatan konidium Fusarium akhir. Akan tetapi, tidak memengaruhi keparahan
penyakit, laju infeksi, dan jumlah akar terinfeksi (Tabel 2).
1. Masa Inkubasi dan Gejala

6

Masa inkubasi layu Fusarium antara 44-76 hari setelah inokulasi (hsi) terlihat pada
Tabel 2. Gejala penyakit layu Fusarium diawali dengan menguningnya daun, terutama
permukaan bawah daun, kemudian berlanjut pada daun yang lebih muda di atasnya, dan
akhirnya seluruh tanaman layu. Menurut Semangun (2002), gejala layu Fusarium terlihat
pada tepi daun bawah berwarna kuning tua, kemudian coklat dan mengering. Gejala yang
paling khas adalah gejala dalam, apabila pangkal batang dibelah membujur, terlihat garis
coklat atau hitam menuju ke semua arah, dari batang ke atas melalui jaringan pembuluh ke
pangkal daun dan tangkai. Perubahan warna pada berkas pembuluh paling jelas tampak
dalam batang. Berkas pembuluh akar biasanya tidak berubah warnanya, namun seringkali
akar tanaman sakit berwarna hitam dan membusuk.

7

Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap komponen patosistem
Perlakuan

K0
K1
P1
P2
Bs
Keterangan:

Masa
inkubasi
(hsi)

(Keparahan Penyakit)tn
Pada
Daun

Pada
bonggol

Laju
infeksi
(unit/hari)tn

Kepadatan
Fusarium akhir
(n x 107/g tanah)

Keefektifan
antagonis(%)
Pada
Pada
daun
bonggol

Jumlah
akar
terinfeksi
(%) tn

Tingkat
keparahan

72,500 b
1,31
3,05
0,00302
0,19 b
0,00 b
0,00 b
66,44
Toleran
44,667 a
1,52
3,38
0,00439
1,47 a
0,00 b
0,00 b
81,93
Rentan
76,333 b
1,23
1,99
0,00263
1,23 a
19,67 a
31,51 a
60,52
Toleran
75,167 b
1,26
2,94
0,00335
0,82 ab
20,58 a
25,88 ab
64,73
Toleran
52,500 ab
1,51
3,33
0,00522
1,49 a
14,06 ab 12,03 ab
67,74
Rentan
K0 = Tanpa ekstrak bakteri antagonis + tanpa F. oxysporum, K1 = F. oxysporum tanpa ekstrak bakteri antagonis, P1 =
Ekstrak P. flourescens P60 + F. oxysporum, P2 = Ekstrak P. flourescens P32 + F. oxysporum, dan Bs = Ekstrak B.
subtilis + F. oxysporum. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut
DMRT taraf 5 %. Data laju infeksi ditransformasi  x  0,5 . tn = tidak nyata.

8

Hasil penelitian menunjukkan, terjadi beda nyata antarperlakuan pada
masa inkubasi (Tabel 2). Perlakuan K1 berbeda nyata dengan perlakuan K0, P1,
dan P2, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan Bs. Nilai rerata perlakuan
menujukkan bahwa K1 memiliki masa inkubasi tercepat sebesar 44,67 hari setelah
inokulasi (hsi). Hal ini diduga karena patogen lebih cepat beradaptasi dan
menginfeksi akar tanaman pisang dibandingkan dengan perlakuan lain. Masa
inkubasi terlama terjadi pada perlakuan P1 atau terjadi perlambatan masa inkubasi
sebesar 41,49%.
Perbedaan masa inkubasi pada perlakuan diduga dipengaruhi oleh
senyawa fenol yang dihasilkan oleh bibit tanaman pisang. Bibit tanaman pisang
yang diimbas dengan ekstrak P. fluorescens P60 (P1), menunjukkan kandungan
glikosida, tanin, dan saponin yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
yang lain (Tabel 1). Hal ini diduga bahwa pengimbasan dengan P1 menimbulkan
ketahanan sistemik karena senyawa yang terdapat dalam ekstrak mampu diserap
lebih cepat oleh tanaman. Menurut Semangun (2001), tanaman yang tahan
maupun yang rentan menghasilkan fitoaleksin, tetapi tanaman yang tahan
membentuknya lebih cepat dan lebih banyak, dan senyawa fenol berkadar tinggi
terdapat dalam jaringan muda yang tahan terhadap patogen.
2. Keparahan Penyakit
Keparahan penyakit memiliki hubungan yang erat dengan masa inkubasi.
Keparahan penyakit didasarkan pada keparahan daun dan bonggol (Tabel 2).
Berdasarkan hasil pengamatan, rerata keparahan penyakit pada daun lebih rendah
daripada keparahan penyakit pada akar atau bonggol. Hal ini diduga karena
infeksi patogen belum mencapai seluruh bagian tanaman dan baru menginfeksi
bagian akar dan bonggol. Hal ini sesuai dengan pendapat Mardinus (2006), bahwa
gejala sekunder yaitu gejala yang terjadi di tempat lain pada tanaman, merupakan
akibat dari kerusakan pada bagian yang menunjukkan gejala primer.
Tanaman pisang yang diimbas dengan ekstrak bakteri Pseudomonas
fluorescens P60 (P1) dan P. fluorescens P32 (P2) lebih tahan terhadap penyakit
layu Fusarium, dan tergolong toleran. Keparahan penyakit terendah terjadi pada
perlakuan P1, yaitu 1,23 pada daun dan 1,99 pada bonggol atau terjadi penurunan

9

keparahan penyakit masing-masing sebesar 19,07 dan 41,12%. Rendahnya
keparahan penyakit diduga karena tingkat kevirulenan patogen yang rendah dan
adanya faktor lingkungan yang dapat memacu atau menghambat pertumbuhan
patogen. Agrios (2005) menyatakan bahwa terjadinya suatu penyakit mempunyai
hubungan yang erat adanya patogen virulen, faktor inang yang rentan terhadap
serangan patogen, dan kondisi suhu yang mendukung untuk perkembangan
penyakit.
3. Laju Infeksi
Rendahnya angka laju infeksi diduga bertalian dengan rendahnya
keparahan penyakit, yang disebabkan adanya patogen yang virulen sehingga
tanaman gagal melakukan mekanisme pertahanan. Menurut van Loon et al.
(1998), semua tanaman mempunyai mekanisme pertahanan aktif melawan
serangan patogen. Mekanisme tersebut gagal ketika tanaman diinfeksi oleh
patogen virulen karena patogen mencegah adanya reaksi ketahanan atau
menghindari pengaruh pengaktifan ketahanan. Apabila mekanisme ketahanan
dapat dipicu lebih dulu sebelum adanya infeksi patogen tanaman., maka penyakit
dapat dikurangi.
4. Kepadatan Fusarium akhir
Kepadatan awal patogen sebesar 10,4 x 107 konidium per ml larutan, yang
berarti bahwa terdapat penurunan terhadap jumlah akhir konidium patogen
sebesar 85,86%. Hasil analisis statistika kepadatan konidium menunjukkan bahwa
K1 berbeda nyata dengan P2, tetapi tidak berbeda dengan P1 dan Bs. Hal ini
menunjukkan bahwa mengimbasan dengan ekstrak P. fluorescens P32 (P2)
mampu

menurunkan

jumlah

konidium

patogen.

Menurut Oka (1993),

epidemiologi perkembangan suatu penyakit, termasuk layu Fusarium ditentukan
oleh jumlah inokulum awal dan laju infeksi dalam satuan waktu. Selanjutnya
dikemukakan bahwa untuk mengendalikan penyakit, inokulum patogen harus
dihilangkan atau dikurangi.
5. Keefektifan Antagonis
Pengimbasan ekstrak P. flourescens P60 (P1) dan P. flourescens P32 (P2)
menunjukkan keefektifan yang tinggi pada bagian daun, masing-masing sebesar

10

19,67 dan 20,58%. Pada bonggol, perlakuan paling efektif terjadi pada perlakuan
P1 yaitu 31,51%. Menurut Maryani dan Kasiamdari (2004), dinding sel yang
terinfeksi mengalami peningkatan pembentukan senyawa penyusunnya, terutama
lignin, suberin, kutin dan senyawa fenol lainnya sebagai perlindungan diri.
6. Jumlah Akar Terinfeksi
Perlakuan pengimbasan dengan ekstrak Pseudomonas fluorescens P60
(P1), P. fluorescens P32 (P2) menunjukkan rerata jumlah akar terinfeksi lebih
kecil dibandingkan dengan kontrol. Hal ini diduga adanya pengaruh lingkungan
selama penelitian sehingga memengaruhi penyebaran dan perkembangan
penyakit, terutama rerata suhu dan kelembapan sebesar 34 0C dan 80%. Menurut
Semangun (2002), penyebaran penyakit ke tanaman lain dapat terjadi melalui
aliran air, atau alat pertanian yang terkontaminasi.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertumbuhan Bibit Pisang
Parameter pertumbuhan yang digunakan adalah pertumbuhan tinggi
tanaman, jumlah daun dan bobot basah akar, yang dihitung pada akhir
pengamatan. Data hasil penelitian terhadap komponen pertumbuhan tanaman
menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata dari tiap perlakuan (Tabel 3).
Tabel 3. Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan tanaman
Perlakuan

Tinggi tanaman
Jumlah daun
Bobot basah
(cm)tn
(helai)tn
akar (g)tn
K0
44,70
5,40
5,763
K1
42,10
5,30
5,333
P1
46,60
5,90
6,127
P2
45,50
5,60
6,470
Bs
40,90
5,00
5,022
Keterangan: K0 = Tanpa ekstrak bakteri antagonis + tanpa F. oxysporum, K1 = F.
oxysporum tanpa ekstrak bakteri antagonis, P1 = Ekstrak P.
flourescens P60 + F. oxysporum, P2 = Ekstrak P. flourescens P32 +
F. oxysporum, dan Bs = Ekstrak B. subtilis + F. oxysporum. tn = tidak
nyata.
Tinggi tanaman pada akhir pengamatan berkisar 40-46 cm, terendah pada
Bs yaitu 40,9 cm, tertinggi pada P1 46,6 cm, diikuti P2 dan K0 (Tabel 5). Jumlah
daun hampir seragam yaitu 5-6 helai, begitu juga dengan bobot basah akar
tanaman pisang yang hanya 5-6 g. Hasil analisis statistika tinggi tanaman, jumlah

11

daun dan bobot basah akar menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan yang
nyata pada semua perlakuan yang dicoba. Hal ini diduga bahwa F. oxysporum
belum sampai menginfeksi ke batang palsu tanaman pisang, sehingga tinggi
tanaman dan jumlah daun relatif seragam karena untuk dapat menginfeksi seluruh
tubuh tanaman membutuhkan waktu yang cukup lama. Menurut Hadisutrisno
(2004), penyakit layu Fusarium dan penyakit tanaman karena Fusarium sp.
mempunyai perkembangan penyakit yang relatif lambat.
Pengaruh Perlakuan terhadap Perkecambahan Konidium Jamur dan
Keberadaan Fusarium di dalam Tanaman
Tabel 4. Konidium yang berkecambah dan keberadaan Fusarium
Perlakuan

Konidium yang
berkecambah (%)

Keberadaan Foc (%)tn
Pada akar
Pada bonggol

K0
15,87
10,00
10,00
K1
47,00
50,00
50,00
P1
15,59
30,00
30,00
P2
29,19
30,00
30,00
Bs
42,13
20,00
20,00
Keterangan: K0 = Tanpa ekstrak bakteri antagonis + tanpa F. oxysporum, K1 = F.
oxysporum tanpa ekstrak bakteri antagonis, P1 = Ekstrak P.
flourescens P60 + F. oxysporum, P2 = Ekstrak P. flourescens P32 +
F. oxysporum, dan Bs = Ekstrak B. subtilis + F. oxysporum. tn = tidak
nyata.
1. Perkecambahan Konidium Jamur
Ekstrak tanaman dari akar dan bonggol berbeda antarperlakuan terhadap
besarnya persentase perkecambahan konidium jamur patogen (Tabel 4). Pada
kontrol positif, persentase perkecambahan spora menunjukkan nilai tertinggi,
yaitu 47%, kemudian diikuti perlakuan Bs, P2, K0, sedangkan persentase
perkecambahan konidium terendah terdapat pada perlakuan P1, sebesar 15,59%
atau terjadi penurunan sebesar 31,41%. Menurut Firmansyah (2008), peningkatan
aktivitas mekanisme pengimbasan ketahanan tanaman dipengaruhi oleh faktor
biotik dan abiotik. Bakteri antagonis berperan sebagai faktor biotik yang
menghambat infeksi patogen, dan senyawa fenol yang dihasilkan oleh bibit
tanaman pisang merupakan faktor abiotik.
2.

Keberadaan Jamur di dalam Tanaman

12

Adanya Fusarium yang menginfeksi tanaman dibuktikan dengan isolasi
jamur Fusarium pada akar dan bonggol yang terinfeksi. Hasil analisis
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap keberadaan F.
oxysporum. Berdasarkan hasil rerata keberadaan F. oxysporum pada akar dan
bonggol, kontrol positif tetap menunjukkan jumlah tertinggi dibandingkan dengan
perlakuan yaitu masing-masing 50 dan 60%.
Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini dapat berjalan karena bantuan berbagai pihak; untuk itu
diucapkan terima kasih kepada Nur Azizah dan Chaerul Basir atas bantuan
teknisnya.
SIMPULAN
1. Ekstrak bakteri antagonis P. flourescens P60 dan P. flourescens P32 berpotensi
mengimbas ketahanan penyakit layu Fusarium pada bibit tanaman pisang
Raja, yang ditunjukkan dengan peningkatan kandungan senyawa fenol, yaitu
glikosida, saponin, dan tanin.
2. Ekstrak bakteri antagonis berpotensi P. flourescens P60 dan P. flourescens P32
menekan perkembangan penyakit layu Fusarium pada bibit pisang Raja, yang
ditunjukkan pada perlambatan masa inkubasi selama 76,333 dan 75,167 hari
setelah inokulasi (hsi) dengan keefektifan antagonis pada bonggol sebesar
31,51 dan 25,88%; sedangkan pada daun sebesar 19,67 dan 20,58%.
3. Ekstrak bakteri antagonis belum mampu meningkatkan pertumbuhan bibit
tanaman pisang Raja.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology, Fifth Edition. Academic Press, California.
922 hal.
Alexopoulos, C.J. and C.W. Mims. 1996. Introductory of Mycology. John Willey
and Sons, New York. 632 pp.
Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Universitas Indonesia Press.
Jakarta.
BPS.
2008.
Production
of
Fruits
in
Indonesia.
(On-line)
http://www.bps.go.id/sector/agri/horti/table8.shtml. Diakses 24 Januari
2009.

13

Chairul. 2003. Identifikasi Secara Cepat Bahan Bioaktif Pada Tumbuhan di
Lapangan. Berita Biologi 6(4): 621-628.
Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura. 2005. Road Map
Pisang: Pasca Panen, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pisang. (Online).
http://www.gribisnis.web.id/layana/data/01_profilorganisasai/rencanastrate
gi/lampiranroadmap/Road%20map%20pisang.pdf Diakses 20 Agustus
2008.
Ditjen PPHP Departemen Pertanian. 2005. Potensi Investasi Pisang di Indonesia.
(On-line).
http:/agribisnis.deptan.go.id/index.php?
files=Berita_Detail&tbl=berita&idberita=341&drt=9. Diakses 20 Agustus
2008.
Djaya, A.A., R.B. Mulya, Giyanto, dan Marsiah. 2003. Uji Keefektifan
Mikroorganisme dan Bahan Organik terhadap Penyakit Layu Fusarium
(Fusarium oxysporum) pada Tanaman Tomat. Prosiding Kongres Nasional
XVII dan Seminar Ilmiah PFI, Bandung, 6-8 Agustus 2003. Hal. 61-70.
Domsch, K.H., W. Gams dan T.H. Anderson. 1993. Compedium of Soil Fungi.
IHW-Verlag. Eching. 859 hal.
Dwijoseputro. 1982. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan, Jakarta. 188 hal.
EPA.
1997.
Bacillus
subtilis
Final
Risk
Assessment.
http://www.epa.gov/oppt/biotech/pubs/fra/fra009.htm. Diakses 20 Agustus
2008.
Firmansyah, R. 2008. Potensi Bakteri Endofit Dan Filoplen Asal Daun Mucuna
pruriens Linn. dalam Memacu Pertumbuhan Tanaman dan Menekan
Penyakit Bercak Daun (Cercospora sp.) pada Tanaman Kacang Tanah
(Arachis hypogaea L.). http://www.scribd.com/doc/7681332/-PotensiBakteri-Endofit-Dan-Filoplen-Asal-Daun-Mucuna-Pruriens-Linn-Dalam
Memacu-Pertumbuhan-Tanaman-dan-Menekan-Penyakit-Bercak-DaunCercospora-sp-p?autodown=pdf. Diakses 24 Januari 2009.
Goto, M. 1992. Fundamentals of Bacterial Plant Pathogen. Academic Inc., San
Diego, California. 342p.
Hadisutrisno, B. 2004. Taktik dan Strategi Perlindungan Tanaman Menghadapi
Gangguan Penyakit Layu Fusarium. Hal. 26-35. Dalam: L. Soesanto (Ed.),
Prosiding Symposium Nasional I Tentang Fusarium, Purwokerto, 26-27
Agustus 2004.
Hanudin, E. Sutarya, S. Mihardja dan I. Sanusie. 2008. Mikroba antagonis Agen
Pengendali Penyakit Tanaman. Balai Penelitian Tanaman Hias, Cianjur.
Haryono,J. 2007. Pengaruh Pemateuran Medium Tanam dan Pengendalian Hayati
Terhadap Penyakit Busuk Hati pada Pembibitan Pisang Di PT Nusantara
Tropical Fruit Lampung. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto. 74 hal. (Tidak dipublikasikan).
Lo, K.H. 2002. Nutrien Solution Recipes. (On-line). http://plant
tc.cfans.umn.edu/listserv/2002/log0202/msg00278.html
diakses
12
November 2008.
Mak, C., A.A. Mohamed, K.W. Liew, and Y.W. Ho. 2008. Early Screening
Technique for Fusarium Wilt Resistance in Banana Micropropagated

14

Plants. FAO. (On-line). http://www.fao.org/docrep/007/ae216e0k.htm.
Diakses 23 Juli 2008.
Mansfield, J.W. 2000. Antimikrobial Compounds and Resistance. Pp. 325-370. In:
A.J. Slusarenko, R.S.S. Fraser, and L.C. van Loon (eds), Mechanisms of
Resistance to Plant Disease. Kluwer Academic Publiser, London.
Mardinus. 2006. Jamur Patogenik Tumbuhan. Andalas University Press, Padang.
Maryani and R.S. Kasiamdari. 2004. Kenampakan anatomis Jaringan Tanaman
kedelai [Glycine max (L) Merr.] Terinfeksi Jamur Mikroskopis. Hal. 150159. Dalam: L. Soesanto (Ed.), Prosiding Symposium Nasional I Tentang
Fusarium, Purwokerto, 26-27 Agustus 2004.
Misaghi, I.J. 1982. Physiology and Biochemistry of Plant-Pathogen Interaction.
Plenum Press, New York.
Nasir, N. dan Jumjunidang. 2004. Identifikasi Ras Fusarium oxysporum f.sp.
cubense pada Pisang Menggunakan Metode Volatile Odour Test dan
Vegetative Compatibility Group Test. Hal. 70-81. Dalam: L. Soesanto
(Ed.), Prosiding Symposium Nasional I Tentang Fusarium, Purwokerto,
26-27 Agustus 2004.
Nio, O.K. 1989. Zat-zat Toksik yang Secara Alamiah Ada pada Bahan Makanan
Nabati. Cermin Dunia Kedokteran 58:24-28.
Oka, I.N. 1993. Pengantar Epidemiologi Penyakit Tanaman. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. 92 hal.
Rokhlani. 2005. Potensi Pseudomonas fluorescens P60, Trichoderma harzianum,
dan Gliocladium sp. dalam Menekan Fusarium oxysporum f.sp. gladioli in
vitro dan in planta. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto. 58 hal. (Tidak dipublikasikan).
Santoso, S.E., L. Soesanto, dan T.A.D. Haryanto. 2007. Penekanan hayati
penyakit moler pada bawang merah dengan Trochoderma harzianum,
Trichoderma koningii, dan Pseudomonas fluorescens P60. Jurnal HPT
Tropika 7(1):53-61.
Sastrahidayat, I.R. 1990. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional, Surabaya.
366 hal.
Schaad, N.W. 1980. Laboratory Guide for Identification of Plat Pathogenic
Bacteria. Bacteriological Committee of The American Phitopathological
Society, St. Paul, Minnesota. 67 hal.
Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
____________. 2002. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Soesanto, L dan A.J. Termorshuizen. 2001. Potensi Pseudomonas fluorescens P60
sebagai Agensia Hayati jamur-jamur Patogen Tular Tanah. Prosiding
Kongres XIV dan Seminar Nasional PFI, Bogor. Hal. 183-186.
-------------. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Suastika, I.B.K dan A.A.N.B. Kamandalu. 2005. Penggunaan Biopestisida
Persada dan Pestisida Nabati dalam Uji adaptasi Pengendalian Penyakit

15

Layu Pisang di Propinsi Bali. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian 8 (3): 405-416.
Sunarjono, H. 2004. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Penebar
Swadaya, Jakarta. 96 hal.
Supriadi. 2006. Analisis Resiko Agens Hayati untuk Pengendalian Patogen
Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian, 25(3): 75-80.
Untung. K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
van der Plank, J.E. 1963. Plant Diseases: Epidemics and Control. Academic
Press, New York.
van Loon, L.C., P.A.H.M. Bakker, and C.M.J. Pieterse. 1998. Systemic Resistance
induced by rhizosphere bacteria. Annu. Rev. Phytopathol. 36:453-483.
Widono, S., C. Sumardiyono, dan B. Hadisutrisno. 2003. Pengimbasan Ketahanan
Pisang Trehadap Penyakit layu Fusarium dengan Burkholderia cepacia.
Agrosains 5(2): 72-79.
Wirianata, H. 2004. Mekanisme Ketahanan Kakao Terhadap Penyakit busuk Buh
(Phytophthora palmivora). Disertasi. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

16