Reorientasi Sejarah Politik Nasional adalah

Reorientasi Sejarah Politik Nasional
Oleh : Muslimin B. Putra

Ada pepatah asing yang berbunyi “De cultuur van een tijdpork is altijd de
cultuur van de heersende klasse” (kebudayaan daripada sesuatu jaman adalah selalu
kebudayaan daripada kelas yang berkuasa). Sepertinya hal tersebut berlaku dalam
penulisan dan pendidikan sejarah. Sejarah yang ditulis dan dibaca adalah sejarah
orang-orang yang berkuasa.
Sejak era reformasi setelah tumbangnya rezim Orde Baru, berbagai tuntutan
merebak terhadap tafsir tunggal sejarah politik nasional. Banyak pemikiran yang
tersumbat pada masa Orde Baru yang menginginkan perimbangan penulisan sejarah
agar tidak melanggengkan hegemoni kebenaran. Kita tahu, pada masa Orde Baru
yang berkuasa selama tiga dekade adalah masa berlangsungnya era otoritarian
kebenaran. Semua hal yang benar adalah milik penguasa, sementara suara tidak benar
(baca : oposisi) tidak diperkenankan bersuara di ranah publik.
Penyederhanaan partai-partai pada tahun 1977 dapat dipahami sebagai
penyederhanaan kelompok-kelompok yang potensial beroposisi. Apalagi suara-suara
oposisi semakin nyaring terdengar dari kampus-kampus yang dihembuskan
mahasiswa yang menolak pencalonan Soeharto untuk dipilih ketiga kalinya. Namun
apa lacur, justru rezim Soeharto semakin gencar menyumbat suara-suara oposisi
dengan mengeluarkan kebijakan NKK/BKK pada tahun 1978. Sementara di ranah

politik semakin memperkuat ABRI dan Golkar sebagai alat penekan kelompok oposisi
di dalam masyarakat dan di dalam parlemen.
Slogan Demokrasi Pancasila yang ditonjolkan rezim Orde Baru adalah slogan
hampa yang tidak menyentuh substansi. Pancasila yang mengakui kebhinekaan dan
keberagaman justru disumbat oleh kebijakan Orde Baru dengan menyeragamkan asas
semua organisasi politik dan organisasi massa yang dikenal dengan asas tunggal pada
awal dekade 1980-an. Logika manapun tentunya dapat membedakan antara arti
penyeragaman dan keberagaman. Keduanya memiliki arti berbanding terbalik.
Sejarah Bangsa yang Tercerai-berai
Sejarah yang ditulis dan dibaca sekarang adalah sejarah yang mengesampingkan fakta
ketercerai-beraian nasib komunitas-komunitas tertentu dalam bangsa ini yang

1

memiliki suara yang berbeda dengan penguasa pada periode kekuasaan sebelumnya.
Efeknya adalah hingga saat ini sejarah yang dapat merekatkan persatuan bangsa justru
sulit ditemui.
Pada masa Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya, komuntas Islam Politik
yang berhimpun dalam organisasi politik Masyumi terpinggirkan dan mendapat
stereotype pemberontak. Sikap Soekarno tersebut karena menganggap Masyumi

berada dibelakang pembangkangan PRRI di Sumatera dan menjadi spirit lahirnya
gerakan pembangkangan serupa di Sulawesi yang bernama Permesta. Sementara
faktor utama lahirnya gerakan pembangkangan daerah terhadap pemerintah pusat
sebagaimana termanifestasi dalam PRRI dan Permesta ketika itu disebabkan pola
kepemimpinan Soekarno yang telah menjurus otoriter dan mengabaikan aspirasi dan
kepentingan daerah.
Tidak hanya komunitas Islam Politik, malah sekutu idiologis yang berlainan
partaipun mengalami penyingkiran yakni komunitas yang bernaung dibawah Partai
Sosialis Indonesia (PSI). Sementara antara PSI dan PNI – partai Soekarno -

nyaris

tidak memiliki perbedaan signifikan dalam hal idiologi. Meski PNI berlabel
nasionalis, namun secara substansi PNI banyak memperjuangkan idiologi sosialis.
Malah PNI lebih dekat dengan ide sosialis Marxis yang diberi label : Marhaenisme
yakni idiologi sosialis komunis yang bernuansa keindonesiaan.
Setelah pergantian rezim pada pertengahan dan akhir dekade 1960-an,
Soeharto yang tampil memimpin usai pergolakan politik yang dilakukan PKI pada
peristiwa 30 September 1965, terjadi arus balik yang menjadi titik awal tampilnya
golongan militer dalam tampuk kekuasaan.


Karena korban-korban peristiwa 30

September adalah berasal dari kalangan militer, maka rezim militer yang kelak
disebut rezim Orde Baru ganti menekan orang-orang Soekarno dan PKI. Arus balik
pengganyangan aktifis dan simpatisan PKI berlangsung di seantero nusantara
sehingga dikabarkan menyebabkan jatuhnya ribuan korban jiwa.
Selama 30 tahun Orde Baru berkuasa, orang-orang Soekarnois nyaris tidak
memiliki kebebasan bergerak. Gerak-geriknya diteropong melalui organisasi
stabilisator bentukan Soeharto, seperti Pangkopkamtib hingga berubah nama menjadi
Bakorstanas. Lembaga stabilisator tersebut berfungsi meneropong aktifitas eks
Soekarnois baik dalam aktifitas ekonomi hingga aktifitas politik, termasuk keluarga
Soekarno.

2

Setelah kejatuhan Soeharto pada Mei 1998 melalui demontrasi gerakan
mahasiswa, kembali terjadi arus balik pengkutukan terhadap rezim Orde Baru.
Komunitas yang progresif bersuara setelah kejatuhan Soeharto adalah justru berasal
dari komunitas yang selama Orde Baru mengalami tekanan yakni orang-orang

Soekarnois. PDI-P sebagai tempat berkumpulnya orang-orang Soekarnois tak
menemui hambatan tampil menjadi pemenang Pemilu 1999 karena disimbolkan
sebagai partai wong cilik yang membela hak-hak orang kecil yang selama Orde Baru
diabaikan.
Peristiwa pengganyangan terhadap simpatisan dan aktifis PKI tersebut masih
menjadi trauma bagi orang-orang Soekarnois hingga kini. Berbagai cara digunakan
untuk mendapatkan keadilan, termasuk dengan pendekatan litigasi. Komunitas eks
PKI melalui bantuan hukum yang diberikan LBH Jakarta giat melakukan gugatan di
pengadilan Jakarta terhadap Soeharto yang telah menghilangkan kebebasannya
selama tiga puluh tahun Orde Baru berkuasa.
Hegemoni kebenaran oleh penguasa
Sejarah yang ditulis pada masa Orde Baru dapat dikatakan adalah sejarah orang-orang
yang berkuasa pada masa itu. Maka tak salah bila hampir tidak ada satupun buku
sejarah resmi

yang mengisahkan orang-orang yang terkalahkan dalam “program

pembangunan” Orde Baru tersebut.
Pada era Orde Baru merupakan era otoritarian kebenaran dengan terjadinya
berbagai kasus-kasus pelarangan peredaran dan penerbitan buku-buku yang

berseberangan dengan kepentingan penguasa.

Berbagai kasus-kasus pencekalan

buku-buku yang bernuansa sosialis-komunis dilarang keras beredar. Maka tak salah
bila buku-buku semacam karangan Pramoedya Ananta Toer dalam versi Indonesia
sangat jarang dijumpai pada masa itu. Malah buku Ananta Toer lebih mudah ditemui
pada rak-rak perpustakaan di kampus-kampus negeri lain, seperti di Australia.
Pelarangan buku Ananta Toer merupakan konsekwensi ditetapkannya PKI
sebagai partai terlarang di Indonesia sebagai efek dari Peristiwa Gerakan 30
September 1965. Sementara Ananta Toer adalah seorang penggiat LEKRA (Lembaga
Kebudayaan Rakyat), salah satu organisasi onderbouw PKI. Hal tersebut dapat
dipahami sebagai sebuah kebijakan politik. Namun sebagai sebuah idiologi, komunis
semestinya harus tetap hidup meski terbatas di ruang-ruang kuliah kampus perguruan
tinggi karena merupakan obyek studi yang tetap diperlukan dalam pengayaan

3

idiologi-idiologi besar dunia yang pernah dan sedang berpengaruh. Tapi dalam
kenyataannya, komunis sebagai idiologi pun


dilarang di pelajari sehingga praktek

hegemoni kebenaran benar-benar telah merasuk pada dunia akademik yang
semestinya memiliki kebebasan akademik dan mimbar akademik.
Disamping pelarangan penerbitan buku-buku yang sehaluan dengan idiologi
penguasa Orde Baru, juga pelarangan penerbitan umum seperti majalah. Pelarangan
dilakukan bila isi pemberitaan menyoroti langsung praktek tercela yang dilakukan
petinggi-petinggi Orde Baru. Majalah Tempo, Editor dan Detik adalah beberapa
penerbitan yang mengalami pembredelan karena berani melaporkan secara lugas
beberapa kinerja negatif/skandal yang dilakukan pejabat-pejabat Orde Baru.
Ketertutupan informasi publik adalah hal lain yang turut mendukung
kelanggengan rezim otoritarian Orde Baru. Hingga saat ini, tuntutan masyarakat sipil
agar ada jaminan kebebasan mengakses informasi publik masih menjadi perdebatan.
RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang telah diperjuangkan kalangan
OMS (organisasi masyarakat sipil) selama empat tahun belakangan ini masih
ditanggapi negatif oleh pihak yang berkuasa karena dianggap berseberangan dengan
RUU

Rahasia


Negara

yang

diyakini

oleh

pemerintah

dapat

melindungi

kepentingannya.
Sejarah yang mencerahkan
Dalam membangun bangsa ke depan, dibutuhkan sejarah yang mencerahkan semua
lapisan masyarakat. Karena itu kita memerlukan adanya kelembagaan khusus yang
dapat menafsirkan sejarah secara lugas, transparan dan imparsial.

Sirkulasi elit politik yang berubah-ubah ternyata membawa efek sejarah
bangsa yang tercerai berai.

Elit politik yang menguasai pemerintahan selalu

menunjukkan hegemoninya terhadap golongan lain yang terkalahkan baik secara
politik maupun idiologis. Sehingga dalam rangka integrasi bangsa, sudah sepatutnya
pemerintahan sekarang ini (SBY-JK) mengakhiri “tradisi” politik tersebut. Saatnya
sekarang membangun identitas bangsa yang plural menjadi bangsa yang bersatu
secara idiologis dalam rangka menjaga kesatuan nasional.
Jawaban atas keinginan sejarah yang mencerahkan tersebut lebih menghendaki
pada terbentuknya segera Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). KKR dapat
menjadi pintu masuk digelarnya seluruh kasus-kasus yang berpotensi melanggar
HAM pada masa lalu dan mendudukkannya dalam satu cara pandang pendekatan

4

HAM. Pendekatan HAM dapat dijadikan parameter karena merupakan tolok ukur
yang sudah berlaku universal dalam melihat kasus kriminal politik yang pernah terjadi
yang dilakukan oleh penguasa.

Setelah mendudukkan pada posisinya, semua pihak diharapkan mengakui
kesalahan dan setelah ini mengadakan rekonsiliasi nasional agar tidak ada dendam
sejarah yang terus terjadi dan berkepanjangan yang menghambat proses integrasi
bangsa maupun integrasi nasional. Bangsa yang tercabik-cabik oleh sejarahnya akan
berpotensi menjadi bangsa yang stagnan karena para penguasa pemerintahan akan
didorong keinginan untuk berkuasa seraya menindas golongan politik yang lain yang
tidak sejalan dengan garis politiknya.
Rekonsiliasi yang bagus yang patut dicontoh adalah rekonsiliasi yang terjadi
di Afrika Selatan. Pada saat pemerintahan apartheid berkuasa, orang-orang berkulit
hitam dimusuhi oleh rezim yang dikuasai oleh kulit putih. Setelah Nelson Mandela
yang berasal dari kulit hitam berhasil menjadi presiden negeri itu, dia berhasil
melakukan rekonsiliasi dan memaafkan perlakuan diskriminasi penguasa apartheid
Afrika Selatan. Justru semangat dan inspirasi melakukan pemaafan oleh Nelson
Mandela - berdasarkan pengakuannya - bersumber dari semangat yang pernah
ditunjukkan Syeh Yusuf yang makamnya terdapat di wilayah Afrika Selatan. Syeh
Yusuf Al Makassary adalah ulama Islam yang berasal dari Gowa pada beberapa abad
lalu.
Indonesia dengan mayoritas penduduk Muslim seyogyanya dapat bercermin
pada kasus Afrika Selatan dalam melakukan gerakan rekonsiliasi dimana inspirasi
rekonsiliasinya Nelson Mandela berasal dari spirit Islam. Sehingga kedepan, Bangsa

Indonesia dapat menuliskan sejarahnya yang dapat membawa pencerahan bagi
generasi penerusnya, bukannya meneruskan dendam sejarah secara turun temurun.
Hasta la Victoria siempre !
Penulis, Analis Politik pada Pusat Kajian Kebijakan Nasional (Puska-Jaknas), Jakarta.

5

6