NORMA NORMA PERLINDUNGAN ANAK Kajian ata

Qawwãm•

Vol. 5, No. 1, 2011

OPINI
NORMA-NORMA PERLINDUNGAN ANAK
(Kajian atas peraturan tentang kesejahteraan
keluarga dan anak)
Muchammadun
Penulis adalah dosen Tetap Fakultas Dakwah
dan Komunikasi IAIN
Mataram, Jurusan
Pengembangan Masyarakat Islam. Peraih
Stuned Fellowship untuk bidang Management
of Development di Van Hall Larenstein
Scholen,
Wageningen
Universiteit
and
Research Centrum ini aktif sebagai fasilitator
bidang Pendidikan dan Perlindungan Anak,

termasuk staff Penelitian dan Pengembangan
LPA NTB.

BINGKAI

HUKUM
INDONESIA

KESEJAHTERAAN

KELUARGA DI

Wanita dan pria-dalam kapasitasnya sebagai
ibu dan ayah, adalah salah satu elemen penting
dalam kesejahteraan keluarga untuk membangun
generasi
penerus
yang
lebih
baik.

Sistem
kesejahteraan keluarga didefinisikan sebagai sistem
yang mencegah dan merespon segala bentuk
kekerasan, perlakuan salah, penelantaran, dan
eksploitasi pada keluarga, terutama anak.1 Normanorma berupa UU, kebijakan, pedoman, standar, dan
peraturan seharusnya telah menjadi pemahaman
bersama ibu dan ayah untuk bersama-sama
mensejahterakan anak dan keluarganya. Isu
pemahaman norma adalah isu mikro pertama yang
menjadi tantangan kesejahteraan keluarga. Pada
bingkai Lombok, isu pemahaman ini masih menjadi
pekerjaan besar. LPA NTB dalam penelitiannya
Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Mataram

65

OPINI

Qawwãm•


Vol. 5, No. 1, 2011

tentang Pemetaan Kekerasan terhadap Anak,2
menunjukkan dua temuan penting yang terkait
dengan isu pemahaman. Pertama, bahwa statistik
kekerasan yang terjadi terhadap anak di sekolah
maupun di rumah dikarenakan pemahaman sempit
orang dewasa atas kekerasan sebagai kekerasan
fisik semata. Kedua, pemahaman tadi membawa
sejumlah temuan terjadinya kekerasan psikis dan
pengabaian yang dilakukan orang tua dan guru di
tiga daerah penelitian.
Badan
Pemberdayaan
Perempuan
dan
Keluarga Berencana Provinsi NTB juga menguatkan
data itu. Kepala BPPKB NTB mengungkapkan contoh
pemahaman kesejahteraan keluarga yang masih
menjadi isu penting sbb3:

”Saya miris melihat contoh di desa Ra****, yang
sekarang desanya telah mekar menjadi dua, tempat 600
penduduk wanitanya berstatus janda muda. Sejumlah
janda itu harus menanggung anak pada umur yang masih
begitu muda tanpa bantuan keuangan apapun dari
mantan suami. Bagaimana anak bisa bertumbuh
kembang dengan baik? Kajian pada proses pembuatan
kebijakan harusnyalah tidak copy paste tetapi membawa
perspektif gender.”

Meneruskan keterangan Hj. Ratningdyah, Ibu
Mujiyati juga membahas bahwa angka bayi di NTB
juga merupakan salah satu bukti kebijakan yang
masih membawa praktik diskriminatif sehingga
posisi anak rentan terhadap kekerasan. 4
Ditinjau dari perspektif anak, Indonesia telah
meratifikasi konvensi PBB mengenai hak-hak anak
yang mengadopsi prinsip non diskriminasi terhadap
anak secara universal. Konvensi ini jelas menyatakan
bahwa anak harus dilindungi dari segala bentuk

kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terlepas dari
66

Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Mataram

Qawwãm•

Vol. 5, No. 1, 2011

OPINI

latar belakang apapun. Konvensi ini berbasis pada
alasan yang sangat logis, anak adalah aset bangsa.
Jika kebijakan negara kurang baik sehingga tidak
mampu menjamin proses tumbuh kembang anak,
alih-alih menjadi aset, anak justru akan menjadi
sumber masalah yang penangannya akan memakan
biaya tinggi.
Amanah UUD 1945 juga jelas menyatakan
perlindungan anak. Amandemen kedua pasal 28 (b)

dan amandemen pasal 28 (c) berisi tentang hak anak
untuk melangsungkan hidup, bertumbuh kembang,
dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi serta
mengembangkan
diri
melalui
terpenuhinya
kebutuhan dasar. Mandat konsitusi ini dijabarkan
dalam sejumlah UU, terutama UU tentang
Kesejahteraan Anak dan UU tentang Perlindungan
Anak.
Saat dikaji secara mendalam, ada sejumlah hal
dalam UU Kesejahteraan Anak dan UU Perlindungan
Anak
yang
memerlukan
pembenahan
demi
tersedianya layanan kesejahteraan keluarga dan
anak yang lebih baik. Kajian ini bertujuan

memetakan kejelasan peran pemerintah pada aspek
struktur, mekanisme, sumber daya, dan layanan
untuk peningkatan kualitas kesejahteraan keluarga
dan perlindungan anak.
TANGGUNG JAWAB KESEJAHTERAAN KELUARGA DAN
PERLINDUNGAN ANAK.

Saat isu sistem kesejahteraan keluarga masih
menjadi pekerjaan, muncul pertanyaan menarik
tentang pihak utama mana yang harus bertanggung
jawab. Ditinjau dari aspek hukum, pelayanan
Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Mataram

67

OPINI

Qawwãm•

Vol. 5, No. 1, 2011


kesejahteraan keluarga dan anak diatur dalam dua
UU-UU no.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak, dan UU no.23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. UU no. 4 tahun 1979 melihat
tanggung jawab kesejahteraan keluarga dan anak
ada pada masyarakat dengan supervisi dari
pemerintah. UU ini menyatakan bahwa:
’’upaya kesejahteraan anak harus dilakukan oleh
pemerintah dan/atau masyarakat serta menentukan
tanggung jawab pemerintah untuk memberikan arahan,
bimbingan, bantuan, dan upaya-upaya yang dilakukan
oleh masyarakat.”

UU ini jelas menyatakan bahwa masyarakat
bertanggung jawab atas kesejahteraan anak dan
pemerintah berkewajiban membimbing masyarakat.
Saat merujuk lebih lanjut pada UU no.23 tahun
2002, ada sebuah temuan tentang ketidakjelasan
lembaga pemerintah pemegang peran ini. Hal ini

bisa jadi berkontribusi atas sejumlah permasalahan
kesejahteraan keluarga dan anak yang masih terjadi.
Tabel
analisis
berikut
menjelaskan
perlunya
kejelasan tanggung jawab ini.
Tabel 1. Penanggungjawab Kesejahteraan Keluarga
dan Anak
Pendekata Pernyataan
Intisari
dan
n
Evaluasi

68

Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Mataram


Qawwãm•

Vol. 5, No. 1, 2011

OPINI
Empirik
 Ps.22:
(FaktaNegara dan
fakta apa
pemerintah
saja yang
berkewajiban dan
ada di UU
bertanggungjawab
23/2002?)
memberikan
dukungan sarana dan
prasarana dalam
penyelenggaraan
perlindungan anak.

 Ps.23:
(1) Negara dan
pemerintah
menjamin
perlindungan,
pemeliharaan,
dan
kesejahteraan
anak dengan
memperhatikan
hak dan
kewajiban orang
tua, wali, atau
orang lain yang
secara hukum
bertanggung
jawab terhadap
anak.
(2) Negara dan
pemerintah
mengawasi
penyelenggaraan
perlindungan
anak.

Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Mataram

 Pasal ini
menunjukkan
bahwa negara
dan pemerintah
adalah alat
pertanggungja
waban
kesejahteraan
anak.
 Pertanyaannya
: Lembaga
manakah yang
ditunjuk
sebagai
penanggungjaw
ab utama
kesejahteraan
keluarga dan
anak?
 Strategi
kebijakan
apakah yang
telah
dirumuskan
sebagai
penanganan isu
perlindungan
anak?

69

OPINI

Qawwãm•

Vol. 5, No. 1, 2011

Dilihat dari pendekatan evaluatif, dua pasal ini telah
menyatakan siapa penanggung jawab tetapi UU
tidak menyatakan secara jelas lembaga pemerintah
yang mana harus bertindak sebagai penanggung
jawab
utama
dalam
pengelolaan
pelayanan
kesejahteraan keluarga dan anak.
KESINAMBUNGAN PROGRAM PENANGANAN
Ditinjau dari penanganan kesejahteraan sosial,
aspek pre-emptive dan preventive muncul sebagai
isyarat kesinambungan (continuum) program.5
Artinya, pemerintah diharap memberikan layanan
yang memungkinkan masyarakat mampu menangkal
dan mencegah permasalahan kesejahteraan keluarga
dan anak. Hal ini sangat penting karena anak yang
bermasalah tidaklah disebabkan oleh kejadian
tunggal, tetapi oleh serangkaian peristiwa, tindakan
yang
dialami,
dan
perilaku
yang
perlahan
terakumulasi
dan
berkelanjutan.
Karenanya
penanganannya
pun
harus
melalui
sebuah
continuum yang jelas. Sejalan dengan prinsip-prinsip
intervensi, Kementerian Sosial dan UNICEF6 telah
merekomendasikan sebuah continuum penanganan
yang rangkumannya bisa dicermati dalam tabel
berikut ini.
Tabel 2: Kesinambungan Program Penanganan

Kesejahteraan Keluarga dan Anak.
Jenis
Intervensi
Primer

70

Sasaran dan tujuan

cakupan kegiatan

Seluruh lapisan
masyarakat untuk
memeperkuat
kapasitas
masyarakat dalam

Perubahan sikap dan
perilaku, dorongan
penggunaan metode
konsekuensi tindakan
non fisik,
Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Mataram

Qawwãm•

Vol. 5, No. 1, 2011

OPINI
pemastian
pengasuhan dan
keselamatan anakanak
Untuk anak dan
keluarga yang
potensial
mendapatkan
kekerasan dan
terabaikan, keluarga
yang terbiasa
dengan kekerasan
untuk merubah
keadaan sebelum
terakumulasi
menjadi dampak
buruk terhadap
anak.
Untuk anak yang
telah mengalami
kekerasan dan
beresiko berat
mendapatkannya
lagi atau terlantar,
tereksploitasi, dan
diperlakukan salah
sehingga bisa
dihentikan.

pemahaman
mengenai dampak
kekerasan terhadap
anak
Sekunder/p
Variasi layanan
elayanan
berbasis lintas
intervensi
lembaga pemerintah
dini
dan organisasi sosial
terhadap KDRT,
kesulitan pengasuhan
anak, kesehatan
mental, kecanduan
NAPZA dan kasus
potensial kekerasan
dan pengabaian
lainnya termasuk
konflik berbasis isu
perceraian.
Intervensi
mediasi, pengawasan
tersier
oleh masyarakat,
termasuk intervensi
wajib oleh negara
berupa layanan
berupa program
terstruktur bagi
keluarga, konseling
keluarga dan
perseorangan,
program
penyembuhan, dan
pemisahan temporer
beserta integrasinya.
Sumber: Modifikasi Kementerian Sosial dan Unicef: 2010.

Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Mataram

71

OPINI

Qawwãm•

Vol. 5, No. 1, 2011

Pada isu penanganan anak–anak yang memerlukan
perlindungan khusus (AMPK), UU no. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak juga menyisakan
pekerjaan tentang penanggungjawab yang harus
segera diperjelas. Tabel berikut merinci kekurangan
ini.
Tabel 2. Penanganan AMPK
Pendekata Pernyataan
n
Empirik
 Ps. 12:
(FaktaSetiap anak yang
fakta
menyandang cacat
yang
berhak memperoleh
dinyataka
rehabilitasi, bantuan
n
dalam
sosial, dan
UU
No.
pemeliharaan taraf
23 tahun
kesejahteraan sosial.
2002
 Ps. 15 UU
tentang
no.23/2002:
Perlindun
Setiap anak berhak
gan Anak)
untuk memperoleh
perlindungan dari;
a. Penyalahgunaan
dalam kegiatan
politik
b. Pelibatan dalam
sengketa
bersenjata
c. Pelibatan dalam
kerusuhan sosial
d. Pelibatan dalam
peristiwa
kekerasan
e. Pelibatan dalam
peperangan.
72

Intisari dan
Evaluasi
-Jenis-jenis
AMPK
telah
dirinci dan ada
ancaman
pidana
yang
jelas
bagi
semua
pihak
yang
mengabaikan
AMPK.
Pertanyaannya:
lembaga
pemerintah
yang mana
bertindak
sebagai
pembuat
kebijakan
program
pencegahan
dan
penanganan
atas
eksploitasi,

Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Mataram

Qawwãm•

Vol. 5, No. 1, 2011

OPINI


Ps. 78 UU 23/2002:
Setiap orang yang
mengetahui dan
sengaja membiarkan
anak dalam situasi
darurat sebagaimana
dimaksud dalam
pasal 60, anak yang
berhadapan dengan
hukum, anak dari
kelompok minoritas
dan terisolasi, anak
yang tereksploitasi
secara ekonomi
dan/atau seksual,
anak yang
diperdagangkan,
anak yang menjadi
korban
penyalahgunaan
narkotika, alcohol,
dan psikotropika, dan
zat adiktif lainnya
(napza), anak korban
penculikan, anak
korban perdagangan,
atau anak korban
kekerasan
sebagaimana
dimaksud dalam
pasal 59, padahal
anak tersebut
memerlukan
pertolongan dan
harus dibantu,
dipidana dengan

Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Mataram

perlakuan
salah, dan
kekerasan atas
anak?,
Bagaimanakah
wewenang dan
sistem
koordinasinya?

73

OPINI

Qawwãm•

Vol. 5, No. 1, 2011

pidana penjara paling
lama lima tahun
dan/atau denda
paling banyak
seratus juta.

Ditinjau dari pendekatan evaluatif, ketidakjelasan
penanggungjawab utama mengenai pencegahan dan
penanganan AMPK akan menimbulkan kebingungan
peran lembaga pemerintah dan masyarakat. 7
Pedoman Departemen Sosial tahun 2004 mengenai
AMPK justru menempatkan penanganan keseluruhan
atas
AMPK
dari
perencanaan,
intervensi
penanganan, pengambilan keputusan layanan, dan
layanan pada organisasi masyarakat dan panti
asuhan anak. Hal ini tidak sesuai dengan mandat
amandemen UUD 45 mengenai hak-hak anak.
Saat dibaca secara keseluruhan, UU Perlindungan
Anak telah menyatakan rinci mengenai aturan
pengangkatan anak, pencatatan kelahiran, dan KPAI,
tetapi
aspek
penting
lain
seperti
lembaga
pemerintah yang mana di tingkat pusat maupun
daerah serta peran dan tanggung jawab instansi
tersebut pada pengelolaan kesejahteraan anak
belum terurai. Sayangnya, UU ini juga tidak
menyatakan perintah tentang perlunya peraturan
lanjut.
KEJELASAN PERAN DAN TANGGUNG JAWAB
Indonesia telah lama memasukkan Konvensi Hak
Anak pada hukum nasional, tetapi UU Perlindungan
Anak baru efektif sejak 2002. Hal ini mengisyaratkan
perlunya percepatan kinerja pembuat kebijakan atas
dinamika sosial yang berjalan cepat. Saat mengacu
74

Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Mataram

Qawwãm•

Vol. 5, No. 1, 2011

OPINI

pada ranah peran dan tanggung jawab, pemerintah
telah membuat satu langkah lebih maju dengan
penetapan
UU
no.11
tahun
2009
tentang
Kesejahteraan Sosial, yang juga mencakup ranah
perlindungan anak. UU ini jelas menyatakan bahwa
pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial di
daerah harus dikoordinir oleh instansi sosial yang
berwenang dan dilaksanakan secara terencana,
terfokus, serta berkelanjutan. Pada kesejahteraan
anak contohnya, telah ada Peraturan Pemerintah dan
Peraturan
Menteri
yang
mengatur
peran
Kementerian
Sosial
sbb:
(1.)mengembangkan
pedoman dan prosedur tentang pelaksanaan
pengasuhan
dan
bantuan
kepada
anak-anak
bermasalah; (2.) menetapkan persyaratan dan
prosedur untuk pembangunan panti-panti asuhan
anak; (3.) dan mengawasi upaya-upaya masyarakat
dalam pelayanan kesejahteraan sosial.8
Melihat rincian di atas, pemegang tanggung jawab
kesejahteraan
sosial
termasuk
kesejahteraan
keluarga dan anak sudah jelas. Hanya saja, kejelasan
tanggung jawab ini perlu dirinci dalam peranan
berupa kewenangan apa saja, dan spesifikasi peran
apa saja dalam penanganan kesejahteraan sosial.
Hal ini sangat diperlukan karena mengacu contoh di
Provinsi Nusa Tenggara Barat, ada sejumlah
lembaga pemerintahan yang memiliki kewenangan
dengan isu kesejahteraan keluarga dan anak. Jika
kewenangan, spesifikasi peran, dan koordinasi
lembaga-lembaga tersebut tidak jelas dinyatakan,
maka akan terjadi ketumpangtindihan penanganan
atau bahkan tidak saling assertive. Hal ini tidak ideal
untuk penciptaan sistem kesejahteraan keluarga dan
Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Mataram

75

OPINI

Qawwãm•

Vol. 5, No. 1, 2011

anak. Hal yang hampir sama juga ada pada tataran
pemerintah tingkat II. Tabel berikut memberikan
pemetaan lembaga pemerintah tingkat I yang terkait
dengan penanganan kesejahteraan keluarga dan
anak.
Tabel 2: Lembaga Pemerintah Tingkat Provinsi
yang terkait dengan Isu Kesejahteraan Keluarga
dan Anak
No. Nama Lembaga Pemerintah
BPPKB/Badan Pemberdayaan Perempuan
1
dan Keluarga Berencana
BKKBN/Badan Koordinasi Keluarga
2
Berencana Nasional
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan
3
HAM
Kantor Wilayah Kementerian Agama
4
Dinas Sosial, Kependudukan, dan Catatan
5
Sipil
Dinas Kesehatan
6.

PENUTUP
UU telah mendefinisikan dengan jelas penanggung
jawab, tetapi belum menunjuk penanggungjawab
utama. Kewajiban atas layanan kesejahteraan
keluarga dan anak-menimbang aspek keberlanjutan
dan hak haruslah dipandang sebagai kewajiban
negara,
bukan
disandarkan
pada
prakarsa
masyarakat ataupun inisiatif sukarela. Kejelasan
mengenai wewenang dan detil peran antar lembaga
pemerintah
yang
terkait
dengan
sistem
kesejahteraan keluarga dan anak juga harus diatur
dalam peraturan yang mengikat.
Ada sebuah kebutuhan untuk menunjuk secara jelas
lembaga pemerintah di tingkat pusat maupun daerah
76

Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Mataram

Qawwãm•

Vol. 5, No. 1, 2011

OPINI

yang mana sebagai kepanjangan tangan kewajiban
negara dan pemerintah menjamin perlindungan,
pemeliharaan, dan kesejahteraan anak beserta peran
dan tanggung jawab yang rinci.
Saat upaya dan prakarsa sukarela masyarakat atas
pelayanan sistem kesejahteraan keluarga dan anak
di Indonesia telah dipuji, sudah saatnya negara dan
pemerintah memiliki political will yang lebih baik
untuk merinci tugas lembaga-lembaga yang terkait
dengan sistem kesejahteraan keluarga dan anak, dan
berusaha
mengalokasikan
dana
ideal
untuk
peningkatan kapasitas sumberdaya lembaga terkait
dan mutu layanan. Negeri ini tidaklah terlalu miskin
untuk melaksanakan kewajiban itu demi terjaminnya
generasi penerus yang lebih bermutu.

Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Mataram

77

OPINI

Qawwãm•

Vol. 5, No. 1, 2011

End Note

78

Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Mataram

1

Kementerian Sosial dan Unicef, Pelayanan Kesejahteraan Anak dan Keluarga di Indonesia. (Jakarta: Kemensos
dan Unicef Indonesia, 2010), x.
2
Data Penelitian Pemetaan Kekerasan Terhadap Anak Di Daerah Rintisan, Penelitian LPA NTB di Desa Aiq Dewa,
Lombok Timur, Kelurahan Leneng, Lombok Tengah, dan Desa Batulayar, Lombok Barat, 2009.
3
Sambutan Hj. Ratningdyah, MH. dalam Sosialisasi Konsep Parameter Gender dalam Pembentukan Peraturan
Perancangan Perundang-undangan, Hotel Lombok Raya, 22 Agustus 2011.
4
Presentasi Deputi Bidang PUG Bidang Polsoskum KPP dan PA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak pada Sosialisasi Draft Parameter Kesetaraan Gender, Hotel Lombok Raya, 22 Agustus 2011.
5
Penanganan kesejahteraan sosial menyatakan bahwa ada sejumlah interversi yang bisa dilakukan oleh para pekerja
sosial. Dua di antaranya bersifat antisipatif, yaitu pre-emptive dan preventive sebelum kejadian berlangsung. Dua yang lain
bersifat rehabilitative dan integrative setelah kejadian berlangsung. Lihat Brenda Dubois dan Karla Kroosruud Miley dalam
Social Work: an Empowering Profession, Allyn and Bacon: 2000
6
Kementerian Sosial dan Unicef, Pelayanan Kesejahteraan Anak dan Keluarga di Indonesia. (Jakarta: Kemensos
dan Unicef Indonesia, 2010), 60-61.
7
UU Perlindungan Anak tidak menyatakan rinci peran lembaga pemerintah untuk pencegahan dan penanganan
AMPK, tetapi hanya menyatakan bahwa AMPK sebaiknya diberi upaya pengawasan, pencegahan, pengasuhan, dan
rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Hal ini perlu dirinci dalam peraturan yang mengikat.
8
Peraturan Pemerintah no.2 tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan bagi Anak yang Mempunyai Masalah dan
Peraturan Menteri No. 82/HUK/2005, pasal 248 tentang Penyelenggaraan dan Pekerjaan Departemen Sosial.