Collusive Monopsony dalam Peraturan Huku

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kemajuan teknologi, sebagai cambuk kemajuan aspek lain di dunia secara
universal, tidak dapat lagi dipungkiri. Keseluruhan aspek kehidupan menjadi
berkembang dengan sangat cepatnya, karena alih informasi yang juga semakin
mudah, termasuk ekonomi di dalamnya. Kemajuan teknologi serta kemudahan
alih informasi, membawa kita beberapa langkah ke sebuah peradaban baru, yaitu
era global. Kondisi ekonomi di era ini, semakin memicu terjadinya persaingan
yang ketat antar pelaku usaha. Henry Clan, mengungkapkan “Off all human
powers operating on the affairs of mankind, none is greater than that of
competition”1, bahwa sebenarnya persaingan memiliki arti penting bagi kehidupan
manusia, persaingan usaha memiliki dua aspek, yakni aspek positif dan aspek
negative. Menurut Thomas J Anderson, bentuk aspek positif persaingan usaha
adalah2:
a. Persaingan merupakan sarana untuk melindungi para pelaku ekonomi
terhadap eksploitasi dan penyalahgunaan.
b. Persaingan mendorong alokasi dan relokasi sumber-sumber daya ekonomi
sesuai keinginan konsumen.
c. Persaingan bisa menjadi kekuatan untuk mendorong penggunaan sumber
daya ekonomi dan metode pemanfaatan secara efisien.

1

Ditha Wiradiputra, Materi Kuliah Hukum Persaingan Usaha. Universitas Indonesia.
2005 mengutip daro Modul untuk Retooling Program Under Employee Graduates at Priority
Disciplines under TPSDP DIKTI. Tanggal 14 September 2004, Jakarta. Diunduh dari
www.google.com tanggal 17 September 2012.
2
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Cetakan II, Ghalia Indonesia, Bogor,
2004,h.16-17, mengutip dari Thomas J Anderson, Our Competitive System and Public Policy,
South Western Publishing Company, Cincinnati, p. 17-21

1

2

d. Persaingan juga bisa merangsang peningkatan mutu, pelayanan, proses
produksi dan teknologi.
Dengan adanya persaingan, pelaku usaha berusaha mempertahankan
eksistensinya melalui sebuah praktik curang dan persaingan usaha yang tidak
sehat. Perbuatan demikian, tentu membawa dampak negatif bagi kesemua aspek

dan lini masyarakat, mulai dari konsumen, pelaku usaha lain, dan pemerintah. Hal
tersebut merupakan contoh nyata dari aspek negatif persaingan usaha menurut
Thomas J Anderson3, yaitu apabila dilakukan oleh pelaku ekonomi yang tidak
jujur, bisa bertentangan dengan kepentingan public. Keadaan seperti ini, telah
berlangsung sekitar tiga dasawarsa, mengingat seringnya terdapat perlakuan
khusus dari penguasa atau pemerintah pada pelaku usaha tertentu yang merupakan
bagian dari praktik-praktik KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) di masa itu.
Banyaknya perilaku penguasa yang terkesan melakukan intervensi terhadap
beberapa kebijakan pelaku usaha di Indonesia, dan mengakibatkan kesenjangan
sosial, masyarakat khususnya pelaku usaha, pasca reformasi besar-besaran tahun
1998, menghendaki sebuah peraturan hukum agar mewujudkan demokrasi
ekonomi yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, yakni menghindari persaingan
usaha yang tidak sehat, pemusatan kekuatan ekonomi, sehingga merugikan
masyarakat luas dan bertentangan dengan keadilan. Disamping merupakan
tuntutan nasional, adanya pengaturan mengenai fair competition law juga
merupakan tuntutan sebagai kebutuhan rambu-rambu yuridis dalam hubungan
bisnis antar bangsa4 mengingat telah banyak negara-negara yang menerapkannya
3

Ibid., h. 17-18

Rachmadi Usman Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2007,
h,13, mengutip dari Muladi, Menyongsong keberadaan Undang-undang Persaingan Sehat di
Indonesia, Diskusi Perencanaan dan Pembangunan Daerah di Era Krisis Ekonomi, Semarang, 20
4

3

dalam sistem perekonomian. Hadirnya Hukum Persaingan Usaha menjadi angin
segar dalam dunia perekonomian Indonesia. Sesuai dengan ruang lingkupnya,
maka Hukum Persaingan Usaha dapat diklasifikasikan sebagai hukum ekonomi.
Karena erat kaitannya dengan ekonomi, maka dalam Undang-Undang Persaingan
Usaha, materi ilmu ekonomi khususnya ekonomi industri turut serta dituangkan.
Hukum Persaingan Usaha beserta Undang-Undang Persaingan Usaha merupakan
lex speciallis dari Hukum Perdata.
Kebutuhan akan suatu kepastian hukum untuk menjamin keadilan hukum
merupakan suatu urgensi tersendiri. Menurut Sutan Remy Sjahdjeni, ada beberapa
alasan yang menyebabkan Undang-Undang Persaingan Usaha lahir pada masa
Orde Baru, yaitu5 :
a. Pemerintah kala itu menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan
besar perlu ditumbuhkan sebagai lokomotif pembangunan, khususnya

apabila diberikan perlakuan khusus bagi perusahaan-perusahaan
tersebut. Perlakuan khusus yang dimaksud adalah proteksi yang dapat
menghalangi perusahaan lain dalam bidang lain atau bidang usaha
yang sama, dengan kata lain memberikan posisi Monopoli.
b. Pemberian monopoli tersebut karena perusahaan yang bersangkutan
bersedia menjadi pioner di sektor yang bersangkutan. Pemerintah
merasa tanpa fasilitas monopoli, akan sulit untuk mendapatkan
investor. Dengan kata lain, Monopoli merupakan nilai jual atas suatu
investasi bagi pemerintah.
Jul 1998, , 36 diakses di http://pustaka2.ristek.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/97412
tanggal 29 November 2012, pukul 13.03 WIB
5
Ditha Wiradiputra., Op cit h.8.

4

c. Menjaga berlangsungnya praktik KKN demi kepentingan kroni-kroni
mantan Presiden Suharto dan pejabat-pejabat yang berkuasa masa itu.
Kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat selanjutnya disebut Undang-Undang

Persaingan Usaha, pada tanggal 8 Juli 1999 dan mulai diberlakukan pada tanggal
5 Maret 2000, ternyata tidaklah lazim. Undang-Undang Persaingan Usaha adalah
Undang-undang pertama yang lahirnya dari inisiatif DPR, karena sejatinya
pembentukan sebuah Undang-undang merupakan inisiatif dari pemerintah yang
selanjutnya dibahas oleh DPR,dan kemudian disahkan oleh DPR.
Asas dan tujuan, adalah hal penting yang harus diperhatikan untuk dapat
memahami makna suatu peraturan perundang-undangan, sebagai sebuah refleksi
bagi bentuk pengaturan serta norma yang ada di dalamnya. Asas dari UndangUndang Persaingan Usaha, diatur dalam Pasal 2 bahwa “Pelaku usaha di
Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi
dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum.”. Sedangkan tujuan dari Undang-Undang Persaingan Usaha
diatur pada Pasal 3, yaitu :
a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan
usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan
pelaku usaha kecil;
c. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan
d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.


5

Sebagai sebuah asas dan tujuan, kedua pasal tersebut tidak dapat
dikenakan secara langsung kepada pelaku usaha melainkan sebagai landasan dari
interpretasi agar tidak terjadi beda penafsiran. Hal-hal yang dimuat dan diatur
dalam Undang-Undang Persaingan Usaha dapat dilaksanakan seefisien mungkin.
Perundang-undangan Persaingan Usaha di Indonesia, secara keseluruhan
tidak hanya melindungi persaingan usaha, melainkan persaingan itu sendiri. Bagi
pelaku usaha Undang-Undang Persaingan Usaha, merupakan “level of playing
field” untuk berusaha, bersaing secara sehat, serta mempermudah untuk masuk
dalam pangsa pasar tertentu 6. Sehingga, pelaku usaha kecil dan menengah dapat
serta merta memasuki pasar yang sama dengan para pelaku usaha besar, tentunya
tanpa meninggalkan prinsip bersaing secara sehat dan jujur. Menurut Hamid
Chalid7 suatu undang-undang memiliki kriteria agar dapat dikategorikan sebagai
sebuah undang-undang yang baik, yakni :
a. Secara filosofis, undang-undang itu dapat menciptakan keadilan bagi
masyarakat;
b. Secara sosiologis, undang-undang akan memberi manfaat bagi yang
menundukkan diri secara sukarela kepadanya;

c. Secara yuridis, undang-undang akan menciptakan kepastian hukum.
Apabila ukuran keberhasilan suatu undang-undang tersebut diterapkan pada
Undang-Undang Persaingan Usaha, maka, akan didapat suatu kondisi, bahwa

8

:

6

L Budi Kagramanto, Mengenal hukum Persaingan Usaha, Edisi Revisi, Laros, Sidoarjo,
2012, h, 12 mengutip dari R Shyam Khemani, A framework For the Design and Implementation of
Competition Law and Policy, World Bank, Washington DC, USA & OECD, 1999, 6-8
7
Ibid., h, 29, mengutip dari Hamid Chalid, Telaah kritis UU no 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Kuliah Umum Persaingan Usaha,
Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 2001.
8
Ibid..,


6

a. Fungsi Undang-Undang Persaingan Usaha sebagai alat kontrol sosial,
yaitu berfungsi menjaga kepentingan umum serta mencegah adanya
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di tanah air.
b. Fungsi Undang-Undang Persaingan Usaha sebagai alat rekayasa sosial,
bahwa undang-undang tersebut berusaha untuk :
a) Meningkatkan efektivitas dan efisiensi nasional
b) Menumbuhkan iklim usaha kondusif melalui pengaturan hukum
persaingan usaha yang sehat.
c) Menumbuhkan budaya bersaing secara sehat, serta
d) Menciptakan keadilan atas semua pelaku usaha.
Sebagai upaya realisasi dari fungsi undang-undang dan pengawasannya
serta agar berjalan lebih operasional, diperlukan suatu lembaga yang menjadi
syarat mutlak, yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang diatur dalam Pasal
34 Undang-Undang Persaingan Usaha. Dalam pasal tersebut, diinstruksikan
pembentukan sebuah susunan organisasi, tugas, dan fungsi komisi ditetapkan
melalui Keputusan Presiden. Selanjutnya, dibentuklah Keputusan Presiden Nomor
75 Tahun 1999. Tugas-tugas KPPU kemudian diatur dalam pasal selanjutnya,
yaitu Pasal 35 Undang-Undang Persaingan Usaha yang ditegaskan dalam aturan

Pasal 4 Keppres No 75 Tahun 1999, yakni :
a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan
usaha seperti : Oligopoli, Diskriminasi Harga, Penetapan Harga,
Pembagian Wilayah, Pemboikotan, Kartel, Trust, Oligopsoni,
Integrasi Vertikal, Perjanjian Tertutup, dan Perjanjian Dengan
Pihak Luar Negeri;
b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli, dan atau pesaingan usaha tidak sehat seperti : Monopoli,
Monopsoni, Penguasaan Pasar, dan Persekongkolan.
c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan
posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat seperti : Posisi
Dominan, Jabatan Rangkap, Pemilikan Saham, Penggabungan,
Peleburan, dan Pengambilalihan.
d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi
sebagaimana diatur dalam Pasal 36.

7


e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli san atau
persaingan usaha tidak sehat.
f. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan
Undang-Undang Persaingan Usaha.
g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada
Presiden dan Wakil Presiden.
Pembentukan KPPU secara garis besar berdasarkan dua alasan utama,
yaitu alasan filosofis dan alasan sosiologis. Alasan filosofis antara lain
dibutuhkannya sebuah lembaga yang mengawasi jalannya sebuah peraturan dan
mendapat kewenangan dari negara dengan tujuan agar dapat bertindak lebih
independen. Sedangkan alasan sosiologis, telah menurunnya citra pengadilan di
mata masyarakat, sehingga perlu dihadirkan lagi sebuah lembaga alternatif yang
mampu menyelesaikan sengketa khususnya persaingan usaha tidak sehat, yang
mendapat kepercayaan masyarakat.
Sebagai sebuah lembaga yang sifatnya administratif, maka terhadap
sebuah pelanggaran atas monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, KPPU dapat
menjatuhkan sanksi berupa sanksi administratif, hal tersebut diatur dalam aturan
Pasal 47 Undang-Undang Persaingan Usaha. Salah satu contoh sanksi

administrasi dapat berupa pembatalan perjanjan hingga penghentian kegiatan
tersebut.
Menurut keseluruhan substansi Undang-Undang Persaingan Usaha, dapat
ditarik suatu garis besar hal-hal yang berkaitan dengan pasar dan perlu diatur di
dalamnya, antara lain :
1) Perjanjian yang dilarang.

8

2)
3)
4)
5)
6)
7)

Kegiatan yang dilarang.
Penyalahgunaan posisi dominan.
Komisi perngawas persaingan usaha
Tata cara penanganan perkara
Sanksi-sanksi
Perkecualian-perkecualian.

Berdasarkan substansi Undang-Undang Persaingan Usaha khususnya
aturan Bab IV, mengatur jenis kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang
Persaingan Usaha, yaitu :
a.
b.
c.
d.

Monopoli
Monopsoni
Penguasaan Pasar
Persekongkolan.

Kegiatan monopsoni merupakan salah satu kegiatan yang dilarang dalam
Undang-Undang Persaingan Usaha. Pada dasarnya praktik monopsoni merupakan
sisi cermin dari praktik monopoli. Praktik ini pada kenyataannya sering terjadi
dalam persaingan usaha di masyarakat, namun perhatian terkait praktik tersebut
masih sangatlah minim. Salah satu contoh kasus monopsoni dalam masyarakat
terjadi pada tahun 2009-2010. Ketika itu terjadi praktik monopsoni yakni
penguasaan pasokan atas susu sapi yang dilakukan oleh salah satu Industri
Pengolahan Susu (IPS). Atas monitoring yang dilakukan oleh KPPU, menemukan
jika para peternak sapi yang berada di area produksi IPS tersebut lemah dan tidak
memiliki daya tawar. Total produksi di Jawa Timur pada tahun 2005 adalah sekitar
610ton susu segar per hari, di Jawa Timur terdapat 4 pabrik pengolahan susu.
Keempatnya adalah, PT Nestle Indonesia (95% penguasaan), PT Indo Murni
Dairy, Koperasi Gunung Kawi dan PKIS Sekar Tanjung (konsorsium 4 koperasi

9

susu di Jawa Timur)9. Dengan adanya penguasaan sebesar 95% maka PT Nestle
merupakan monopsonist. Ketergantungan peternak sapi perah di Jawa Timur
terhadap PT Nestle Indonesia sangat tinggi (dengan tingkat ketergantungan
95%)10. Keadaan ini yang melahirkan kondisi yang sangat tidak menguntungkan
bagi peternak, karena posisi tawar mereka sangat lemah dalam halnya penentuan
harga, persyaratan transaksi maupun kualitas.
Seringkali, KPPU mengalami kesulitan terkait dengan pembuktian praktik
monopsoni karena selain harus secara nyata berdampak pada terjadinya praktik
monopsoni, terdapat pengecualian lain yang juga diatur dalam Undang-Undang
Persaingan Usaha.
Melihat pada beberapa kasus yang terjadi di negara lain, khususnya
Amerika Serikat, yang dengan mudah dibuktikan bahwa terjadi suatu praktik
monopsoni, sangatlah menarik minat untuk mengetahui konsep dan teori bentuk
perilaku monopsoni serta

akibat yang ditimbulkan oleh praktik monopsoni.

Selanjutnya untuk mempermudah pemahaman, akan dilakukan analisa atas
beberapa kasus-kasus yang diindikasikan memiliki kaitan dengan praktik
monopsoni di Indonesia. Dan akan dilakukan studi komparasi dengan penanganan
kasus monopsoni yang terjadi di Amerika Serikat.
I.2 Rumusan Masalah

9

Sutrisno Iwantono, Konsentrasi Industri dan Pasar Tidak Sempurna di Sektor Pertanian,
jurnal di akses di www.google.com pada tanggal 28 Januari 2013, pukul 3.43 p.m. h.6
10
Ibid.,

10

Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan di atas,
maka rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Analisa konsep monopsoni dalam hal harga dan non-harga (pricing dan
non-pricing)
2. Praktik – praktik yang mengarah pada collusive monopsony menurut
Hukum Persaingan Usaha.
I.3 Penjelasan Judul
Collusive Monopsony dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia,
merupakan kesatuan judul untuk tulisan ini. Sesuai dengan judul tersebut, penulis
akan menganalisa berdasarkan teori praktik monopsoni khususnya mengenai
collusive monopsony, yang terjadi pada iklim persaingan usaha di Indonesia.
Analisa tersebut berdasarkan praktik turunan yang diakibatkan adanya praktik
collusive monopsony.
Hasil analisa tersebut selanjutnya akan dikaitkan dengan peraturan
perundang-undangan di Indonesia, khususnya Undang-Undang Persaingan Usaha.
Penulis serta pembaca akan mengetahui dan memahami praktik collusive
monopsony dan turunannya yang melanggar Hukum Persaingan Usaha, khususnya
Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, dan penanganan perkara untuk praktik
collusive monopsony.
I.4 Alasan Pemilihan Judul
Pemilihan judul “Collusive Monopsony dalam Hukum Persaingan Usaha
Indonesia” sebagai judul skripsi didasarkan pada pemikiran penulis yang

11

berkeinginan membahas macam praktik monopsoni yang diduga terjadi dalam
persaingan usaha di Indonesia, namun belum banyak pihak yang mengetahui
tergolong dalam jenis praktik monopsoni mana perjanjian maupun praktik tersebut
dan, dampak-dampak praktik tersebut dalam iklim persaingan usaha di Indonesia
serta pengaturannya dalam perspektif Hukum Persaingan Usaha Indonesia.
I.5 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk :
1. Memahami dan menganalisa konsep monopsoni dalam hal price fixing
dan non-price fixing.
2. Mengetahui dan memahami pengaturan praktik-praktik yang mengarah
pada collusive monopsony dalam perspektif Hukum Persaingan Usaha
di Indonesia.
I.6 Metode Penulisan
I.6.1 Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
penelitian hukum yuridis normatif yaitu pendekatan masalah yang mempunyai
maksud dan tujuan untuk mengkaji perundang-undangan dan peraturan hukum
yang berlaku juga buku-buku konsep teoritis ataupun sumber lainnya kemudian
dikorelasikan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.
Metode penelitian hukum ini dipilih karena penelitian hukum adalah
menggunakan pendekatan masalah yang tujuan dan maksudnya adalah untuk

12

menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum untuk menjawab isu hukum yang dihadapi.
I.6.2 Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini,
adalah sebagai berikut :
a.

Statute approach (Pendekatan Peraturan Perundang-undangan)
adalah penelitian hukum dengan cara menelaah semua peraturan
perundang-undangan dan regulasi yang terkait dengan isu hukum
yang ditangani.11 Peraturan Perundang-undangan yang digunakan
antara lain : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
Keppres No. 75 Tahun 1999 tentang Tugas dan Wewenang KPPU,
Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel, Peraturan
Komisi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan
Perkara dan Peraturan Perundang-undangan lain yang mengatur
tentang Hukum Persaingan Usaha, atau setidak-tidaknya terkait

b.

dengan Hukum Perdata di Indonesia .
Conceptual approach (Pendekatan Konseptual) yaitu pendekatan
penelitian hukum yang beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.12 Pendekatan secara
konseptual ini didukung melalui pengayaan atas konsep teori

11

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan ke 5, Kencana Premada Media
Group, Jakarta, 2009. h.93
12
Ibid., h.95

13

melalui literatur-literatur yang mengulas mengenai Hukum
Persaingan
c.

Usaha

pada

umumnya,

dan

Monopsoni

pada

khususnya.
Case approach yaitu pendekatan terhadap rumusan masalah
melalui kasus yang sudah diputus melalui putusan KPPU.
Pendekatan melalui kasus ini, bertujuan untuk membuktikan
adanya hubungan dengan konsep teori, perbandingan, dan
substansi lainnya. Pendekatan ini bertujuan untuk memudahkan
pemahaman

bagi

penulis

dan

sekaligus

pembaca

dalam

mempelajari hukum persaingan usaha pada umumnya dan
monopsoni pada khususnya.
I.6.3 Sumber Bahan Hukum
a. Sumber bahan hukum primer yang digunakan dalam
penulisan skripsi berupa sumber hukum perundangundangan, yaitu peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan Hukum Persaingan Usaha, khususnya
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
b. Sumber bahan hukum sekunder diperoleh melalui studi
kepustakaan termasuk karya ilmiah, pendapat sarjana
hukum yang terdapat dalam berbagai literatur buku-buku
hukum, artikel-artikel, serta tulisan di internet yang relevan
serta terkait dengan tulisan ini.
I.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

14

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini dengan mencari bahan hukum yang terkait dengan permasalahan atau
kasus yang diangkat dalam tulisan. Setelah diperoleh, maka dilakukan studi
kepustakaan dengan mempelajari dan menganalisa sumber bahan hukum primer
dan sumber bahan hukum sekunder yang berkaian dengan masalah dalam tulisan
ini.
I.6.5 Analisa Bahan Hukum
Analisa bahan hukum dilakukan dengan mengklasifikasi dan menganalisa
sumber bahan hukum yang telah diperoleh, secara sistematis melalui pembagian
bab serta sub bab sesuai dengan rumusan masalah, agar pembahasan serta
pemahaman oleh pembaca akan lebih mudah.

I.7 Pertanggungjawaban Sistematika.
Pertanggungjawaban sistematika bertujuan agar penulisan skripsi ini
mencapai pembahasan yang sistematis yang terdiri dari 4 (empat) bagian,
sebagaimana diuraikan sebagai berikut :
Bab Pertama merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang,
rumusan masalah, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan, dan manfaat
penelitian, serta metode dan pertanggungjawaban sistematika. Bab ini berisi
gambaran awal yang berfungsi sebagai pedoman para pembaca untuk dapat
memahami permasalahan yang akan dibahas secara mendalam pada bab-bab
setelahnya.

15

Pertama-tama pada Bab kedua ini akan dibahas mengenai konsep dan
prinsip larangan monopsoni yang diambil dari peraturan perundang-undangan dan
buku-buku teoritis, yang selanjutnya akan dikaitkan dengan rumusan masalah
yang pertama yaitu, dampak dari segi harga dan non harga ( price dan nonpricing) dari kegiatan monopsoni tersebut.
Bab ketiga, membahas tentang rumusan masalah yang kedua yaitu
menjabarkan komparasi antara Praktik Monopsoni yang dianut di Indonesia
dengan Praktik Monopsoni yang dilakukan di Amerika Serikat khususnya praktik
collusive monopsony melalui pendekatan Rule of Reason dan Per Se Ilegal. Bab
ketiga, membahas tentang rumusan masalah yang kedua yaitu menjabarkan
komparasi antara Praktik Monopsoni yang dianut di Indonesia dengan Praktik
Monopsoni yang dilakukan di Amerika Serikat

khususnya praktik collusive

monopsony melalui pendekatan Rule of Reason dan Per Se Ilegal. Pendekatan
komparasi yang dilakukan, menggunakan analisa kasus-kasus praktik collusive
monopsony yang telah diputus oleh pihak yang berwenang di kedua negara
tersebut. Studi komparasi akan berdasarkan pendekatan yang diteraokan dalam
perumusan pasal dan penggunaan interpretasi oleh hakim dalam penyelesaian
perkara.

Terakhir, pada Bab keempat, merupakan penutup yang berisi kesimpulan
atas hasil pembahasan pada Bab kedua dan ketiga serta berisi saran-saran yang

16

diharapkan dapat bermanfaat untuk mendorong penegakkan hukum bisnis ditinjau
dari hukum positif di Indonesia, khususnya Hukum Persaingan Usaha.

BAB II
DAMPAK PERILAKU MONOPSONI DITINJAU DARI
PRICING DAN NON-PRICING
2.1 Konsep Monopsoni.
Monopsoni adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak
sebagai pembeli tunggal.13. Aryeh Friedman dalam jurnalnya memberikan
pengertian “Monopsony/ Oligopsony defined the ability of a buyer or a group of
buyes it reduce the purchase price of a purchased item usually an input below the
competitive level usually by restricting its purchases of the item.”14 dapat juga
13
14

Rachmadi Usman, Op. cit h.72
Aryeh Friedman, Monopsony, Sherman Act Section 2 Spring Meeting 2002, p1

17

dimaknai apabila monopsoni merupakan suatu kondisi dimana terjadi pembelian
dengan mengurangi harga dari barang dan atau jasa yang sama dibawah harga
kompetitornya melalui pembatasan jumlah pembelian.
Pengertian monopsoni dalam Black’s Law Dictionary adalah “A market
situation in which one buyer control the market”15, berdasarkan pengertian
tersebut, istilah monopsoni digunakan untuk menggambarkan suatu struktur pasar,
yang menyatakan seorang pembeli memiliki kontrol atas pasar tersebut.
Kekuasaan dan kekuatan untuk melakukan kontrol, didasari dengan kemampuan
pembeli atau sekelompok pembeli tersebut mendapatkan harga yang lebih rendah
dibandingkan harga pada pasar yang kompetitif.
“Monopsony involves an exercise of market power on the buy side of the
market”16. Bahwa praktik monopsoni merupakan sisi pembeli dari praktik
monopoli. Praktik monopsoni oleh pelaku usaha adalah dengan mengurangi
pembeliannya pada input, yang mengurangi harga komoditi tersebut dibawah
harga kompetitif. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Natalie Rosenfelt,
bahwa “A monopsonist exercises its market power by reducing its purchase of an
input, thereby decreasing its input price below compatitive level”17
Dalam monopoli, penguasaan atas pasar dilakukan oleh pelaku usaha yang
bertindak sebagai penjual suatu komoditi tertentu. Sedangkan dalam monopsoni,
penguasaan pasar besar untuk suatu komoditi tertentu dilakukan oleh pelaku usaha
sebagai pembeli atau penerima pasokan atas komoditi tersebut.

15

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary,9th. Ed, St. Paul-Minnesota, West
Publishing Co,. 2004,h 1098
16
Natalie Rosenfelt, The Verdict of Monopsony, 2008. p.2 mengutip dari Roger D Blair &
Jeffrey L Harrison, Antitrust Policy and Monopsony, 1991. p. 297-298
17
Ibid., p.2

18

Dalam kedua praktik ini, jumlah barang yang ditransaksikan akan
mengalami sebuah pembatasan hingga penurunan yang akan mempengaruhi
keuntungan pelakunya. Keuntungan itu didapat oleh pelaku usaha melalui
pembatasan penjualan sehingga ketika kebutuhan masyarakat meningkat untuk
suatu komoditi tertentu, dengan sedikitnya persediaan komoditi di pasaran, pelaku
usaha dapat mempermainkan harga atas komoditi tersebut. Keadaan demikianlah
yang selanjutnya disebut sebagai monopoli. Sedangkan monopsoni, keuntungan
didapatkan ketika monopsonist mampu mempengaruhi biaya untuk produksi suatu
komoditi, sehingga mampu mempengaruhi harga beli atas komoditi tertentu di
bawah harga pasar. Dengan rendahnya harga yang didapatkannya, pelaku usaha
tersebut mampu membeli komoditi tersebut dengan kekuasaan penuh.
Jika keuntungan dalam monopoli dapat terlihat secara langsung begitu
pula dengan kerugian bagi konsumen. Maka dalam monopsoni keuntungan bagi
pelaku usaha masih terlihat samar begitu pula dengan kerugian yang akan
dirasakan oleh konsumen. Dalam paper-nya, John Clifford menulis ”.... the
exercise of market power by a monopsonist may not result in any obvious harm to
consumers.”18 Dalam praktik monopsoni yang secara langsung bersinggungan
dengan kerugian yang ditimbulkan adalah pihak supplier atau pihak lain sebelum
konsumen komoditi tersebut. “Generally, a monopsony is more likely to occur in
a market for inputs than for end-products”19. Transfer keuntungan adalah hal yang
membedakan praktik monopoli dengan monopsoni. Menurut Laura Alexander

18

John Clifford and Sorcha O’Carroll, Monopsony and Predatory Pricing : The
Canadian Landscape is Wide Open.). p, 1.
19
Ibid., p,3.

19

dalam jurnalnya, “Because in monopsony, the wealth is transferred not up-stream
from consumers to sellers, as it is in monopoly, but downstream, from input
suppliers to manufacturers”20. Ringkasnya, praktik monopsoni terjadi pada hulu
dalam kegiatan usaha atau dengan nama lain upstream. Namun, tak menutup
kemungkinan terjadinya praktik monopsoni pada hilir atau downstream.
Sebuah praktik monopsoni pada akhirnya akan mampu melahirkan praktik
yang dilarang lainnya, yaitu monopoli. Demikian itu, karena dalam monopsoni,
ketika seseorang menjadi pembeli tunggal atas suatu komoditi baik barang
maupun jasa, maka ia menjadi satu-satunya atau setidaknya menjadi penguasa atas
komoditi bersangkutan. Kemampuan menguasai tersebut, akan berpengaruh pada
kemampuan pelaku usaha untuk melakukan penjualan tunggal atas komoditi
barang atau jasa. Pada fase inilah, pelaku usaha monopsoni akan menjadi
monopolist untuk komoditi tertentu. Pada kondisi ini potensi kerugian yang
dialami masyarakat akan timbul dan turut menumbuhkan potensi persaingan
usaha tidak sehat.
Larangan mengenai monopsoni di Indonesia diatur dalam Pasal 18
Undang-Undang Persaingan Usaha. Definisi monopsoni diletakkan pada Pasal 18
ayat (1) Undang-Undang Persaingan Usaha, bahwa monopsoni adalah perbuatan
pelaku usaha yang menguasai dan/atau menjadi pembeli tunggal atas suatu barang
dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan, dengan indikatornya selanjutnya
diletakkan pada ayat (2) pasal yang sama, bahwa pelaku usaha tersbut melakukan
penguasaan dalam penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebanyak
lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar untuk satu jenis barang atau
20

Laura Alexander, Monopsony and the consumer harm standard, Georgetown University
Law Center, 2007. 1613

20

jasa.. Penjabaran atas unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 18 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Persaingan Usaha adalah sebagai berikut :
a. Berdasarkan pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Persaingan Usaha,
yang dimaksud pelaku usaha adalah :
Orang perorangan atau badan usaha, badan hukum atau non
badan hukum yang ddirikan, berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia baik
sendiri
maupun
bersama-sama
melalui
perjanjian,
menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang ekonomi.
b. Unsur barang, berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang
Persaingan Usaha :
“Barang adalah setiap benda, baik berujud atau tidak berujud,
bergerak atau tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku
usaha”
c. Unsur Jasa berdasarkan pasal 1 angka 17 Undang-Undang
Persaingan Usaha adalah :
“Jasa adalah tiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi
yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen atau pelaku usaha.”
Sebagai refleksi dari monopoli, beberapa hal yang berkaitan dengan
monopoli terkait pula dengan monopsoni. Monopsoni, dapat pula terjadi secara
alamiah. Yang pertama, monopsoni alamiah yang terjadi akibat tidak adanya
pesaing atas suatu komoditi tertentu. Terjadinya monopsoni secara alamiah ini
dipengaruhi oleh kondisi geografis suatu wilayah dan pasar atas komoditi
tersebut. Contoh monopsoni secara alamiah, antara lain pada suatu daerah hanya
terdapat satu pabrik pengolahan biji jarak menjadi bahan bakar alternatif dengan
banyaknya penduduk sekitar yang menjadi petani jarak. Dengan keadaan

21

demikian, pabrik tersebut menjadi penerima pasokan dan/atau pembeli tunggal
dari petani jarak di daerah tersebut. Dalam keadaan inilah, pabrik pengolahan biji
jarak menjadi monopsonist. Akan tetapi, kondisi ini bukanlah monopsoni yang
dilarang karena bukan menjadi kehendak pemilik pabrik biji jarak untuk
mematikan persaingan. Kedua, monopsoni alamiah yang terjadi akibat ada
persaingan yang justru tidak memberikan keuntungan atau kemungkinan harga
komoditi lebih murah sebab disediakan oleh satu pelaku usaha saja. Misalnya
pada suatu persaingan yang dianggap tidak dapat menghadirkan keuntungan bagi
pelaku usaha, sehingga tidak ada pelaku usaha dalam kegiatan usaha yang sama
yang berminat untuk memasuki pasar di wilayah tersebut. Secara tidak langsung,
kedua monopsoni alamiah yang terjadi memiliki satu kesamaan yang mendasar,
yakni tidak adanya pesaing atas kegiatan usaha tanpa ada kehendak dari pelaku
usaha monopsonist untuk menciptakan barrier to entry guna menguasai pasokan
atas suatu komoditi tertentu.
Monopsoni lainnya, adalah monopsoni menurut undang-undang, dalam
praktik monopsoni ini, peran negara sangat besar. Praktik ini sangat
menguntungkan bagi negara dan pemerintah karena pelaksanaannya diatur oleh
undang-undang. Tujuan dari praktik monopsoni adalah untuk mengatur
kesejahteraan rakyat, sehingga pada komoditi tertentu, terdapat pengaturan terkait
pihak yang dapat bertindak sebagai monopsonist. Ilustrasi contoh monopsoni
karena undang-undang terjadi pada suatu wilayah penghasil susu sapi, dan hanya
terdapat satu pabrik pengolahan susu milik swasta dengan harga beli yang rendah,
sedangkan di wilayah yang sama terdapat pula koperasi milik pemerintah yang

22

dapat membeli susu milik peternak dengan harga yang lebih pantas. Sehingga,
melalui undang-undang, pemerintah dapat melakukan pengaturan agar peternak
dapat menjual susu sapi kepada koperasi, dan tujuan untuk menyejahterakan
masyarakat khususnya pemilik peternakan tingkat menengah terpenuhi. Praktik
monopsoni berdasarkan undang-undang terjadi di Jawa Barat, ketika itu PT
Nusamba di Jawa Barat mendapatkan kesempatan menjadi monopsonist melalui
instruksi Gubernur Jawa Barat. PT Nusamba melakukan monopsoni untuk
komoditi daun teh. Dalam praktiknya, Gubernr Jawa Barat menghalangi
perusahaan-perusahaan atau pabrik lainnya untuk membeli daun teh dari daerahdaerah Jawa Barat21.
Seiring berjalannya perkembangan zaman, praktik monopsoni dapat pula
terjadi dalam praktik industrial antara pekerja dan pabrik. Keadaan itu adalah
ketika suatu organisasi pekerja atau serikat pekerja sangat solid, sehingga para
pekerja mampu mengatur nilai tawar atas upah dengan harga diatas rata-rata pasar
tenaga kerja.22
Selain pembagian monopsoni berdasarkan sifatnya yang alamiah dan
menurut undang-undang, pembagian praktik monopsoni juga didasarkan pada
pihak atau berapa pelaku usaha yang menjadi monopsonist. Pertama, adalah pure
monopsony, praktik monopsoni yang berjalannya berada di tangan pelaku usaha
dengan kekuatan pasarnya, dengan cara pelaksanaannya yang halal (baik), fair,
serta mampu menciptakan trend-trend di pasar bersangkutan. Kedua, adalah
21

Isei, Bundling: Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia, h.614 dilihat di
www.google.com tanggal 27 Januari 2013, pukul 13.05 WIB.
22
Andi Fahmi Lubis, et al. Op cit.,, h 137

23

collusive monopsony, keadaan ini yakni ketika beberapa pelaku usaha sebagai
pembeli yang saling berkolusi yang mempengaruhi pada hasil yang sifatnya
monopsonistik.23 Tujuan utama pelaku usaha melakukan praktik ini, adalah untuk
mempengaruhi harga atas barang yang harus mereka keluarkan untuk membayar
suatu komoditi tertentu, dengan nama lain input prices. Dengan menekan input
prices, pelaku usaha bersangkutan dapat memaksimalkan keuntungan mereka atas
komoditi tersebut. Praktik collusive monopsony, sangat dipengaruhi oleh beberapa
kondisi pasar. Kondisi pasar yang dimaksudkan, adalah sebagai berikut :
1. Sedikitnya pembeli, semakin sedikit pembeli yang tergabung
dalam grup yang berkolusi, berpengaruh pada kemampuan grup
untuk mengatur perjanjian terkait harga yang dikehendakinya.
2. Homogenitas produk, semakin homogen keadaan suatu produk,
maka perjanjian terkait harga akan semakin mudah. Biasanya,
dalam keadaan seperti ini, hanya terdapat satu harga yang telah
ditetapkan.
3. Sealed bids atau penawaran-penawaran yang dilakukan terbatas
oleh anggota kolusi. Penawaran ini berisikan informasi mengenai
harga-harga untuk produk baik barang dan/atau jasa objek usaha.
Dalam kolusi, terdapat kewajiban para anggota-anggota kolusi
untuk mengumpulkan sealed bids, sehingga masing-masing pihak
mengetahui siapa yang menawarkan, dan berapa harga dalam
penawaran. Sehingga para anggota kolusi terfasilitasi dengan baik

23

Roger D Blair and Jeffrey L Harrison, Monopsony in Law and Economics, Princeton
University Press, 1993. h, 48

24

karena ketika ada pihak yang hendak melakukan kecurangan, akan
segera diketahui.
4. Penawaran yang tidak elastis, terkait dengan kondisi pasar, yang
berpengaruh pada kurva penawaran. Ketika penawaran bersifat
tidak elastis, pembeli yang berkolusi membutuhkan pembatasan
atas pembelian mereka, dengan tujuan untuk memperoleh
pengurangan harga secara signifikan. Keuntungan yang akan
mereka dapatkan akan semakin besar.24
Telah terjadinya praktik collusive monopsony biasanya dapat
diukur atau nampak ketika para pelaku usaha menyepakati harga yang
akan mereka bayarkan. Pada beberapa kondisi lain, kolusi dapat
melahirkan alokasi pasar atau menghambat pembeli pesaingnya. Seperti
dalam sebuah konser, para pembeli akan menjadi orkestra yang mengatur
jalannya konser tersebut, dengan mengatur atau menyepakati jumlah
pembelian yang mereka lakukan. Tujuan pengaturan tersebut, adalah untuk
mendapatkan hasil yang sama dengan praktik monopsoni pada
umumnya.25
2.2 Pendekatan yuridis Rules of Reason dan Per se illegal
Ada beberapa prinsip-prinsip umum dalam hukum persaingan usaha yang
dianut oleh Indonesia. Prinsip-prinsip umum yang dijelaskan dalam pembahasan
ini terbatas mengenai pendekatan atas perumusan yang digunakan dalam tiap
ketentuan

pada

Undang-Undang

Persaingan

Usaha.

Penggunaan

kedua

pendekatan tersebut pada dasarnya memiliki satu tujuan yang sama, yakni sebagai
bentuk perlindungan dari kerugian konsumen yang tercipta akibat hilangnya
24
25

Lihat Roger D Blair and Jeffrey L Harrison, h. 49
Ibid., h.50

25

efisiensi melalui terhambatnya persaingan usaha. Terhambatnya persaingan usaha
adalah salah satu bentuk akibat dari perjanjian atau kegiatan usaha atas suatu
bidang tertentu oleh pelaku usaha, yang menjadi tolok ukur atau pembuktian
pelanggaran. Terdapat dua model pendekatan yang digunakan dalam perumusan
Undang-Undang Persaingan Usaha, yakni :
a. Rule of reason :
Definisi perumusan Rule of Reason, adalah perumusan untuk menyatakan
bahwa suatu perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan,
diperlukan pertimbangan keadaan disekitar kasus tersebut. Fungsinya
untuk menentukan apakah perbuatan itu membatasi persaingan secara
tidak patut, sehingga penegak hukum wajib dapat menunjukkan akibatakibat anti persaingan, atau kerugian yang ditimbulkan serta bersifat nyata
terhadap persaingan.26 Definisi lain, Rule of Reason , sebuah pendekatan
yang digunakan oleh lembaga persaingan usaha untuk membuat evaluasi
mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan
apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau
mendukung persaingan.27 Pada intinya, pendekatan atau perumusan yang
menggunakan sistem Rule of Reason, mengutamakan ada atau tidaknya
suatu akibat dari kegiatan usaha atau perjanjian yang dilakukan oleh
pelaku usaha baik mendukung atau menghambat persaingan. Penggunaan
pendekatan rule of reason, memungkinkan para hakim atau profesional di
bidang hukum untuk melakukan interpretasi atas Undang-Undang
26
Lihat Ditha Wiradiputra, h.12 mengutip dari Daniel V., et.all., Comprehensive business
law: principles and cases., Kent publishing Company., 1987., hal 1042. yang dikutif dari hukum
persaingan usaha elips
27
Andi Fahmi Lubis et al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, Deutsche
Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Indonesia, Oktober 2009, h 12.

26

Persaingan Usaha.28 Dengan kata lain, pendekatan ini dapat digunakan
oleh pengadilan untuk mengetahui dan menilai, apakah terdapat suatu
hambatan dalam perdagangan atau tidak, dan apakah hambatan itu
mempengaruhi pada proses persaingan atau tidak.29
b. Per se illegal
Pendekatan dalam teori ini, cenderung lebih sempit diandingkan dengan
pendekatan Rule of Reason. Dalam teori ini, segala kegiatan usaha dan
perjanjian tertentu dianggap sebagai ilegal, tanpa perlu pembuktian lebih
lanjut. Berdampak atau tidaknya perjanjian atau kegiatan usaha yang
dilakukan pelaku usaha dalam persaingan, bukan merupakan perhatian dari
teori ini. Menghambat atau mendukung iklim persaingan, segala bentuk
perjanjian dan kegiatan usaha tetap dinyatakan ilegal. Dengan kata lain,
menurut Yahya Harahap, Per se illegal memiliki arti “sejak semula tidak
sah” sehingga suatu perbuatan merupakan suatu perbuatan yang
“melanggar

hukum”30

Pendekatan

dengan

per

se

illegal

dapat

diilustrasikan sebagai berikut :31

TINDAKAN
Penetapan

Gb.1 Pembuktian per se illegal
TERBUKTI
ILLEGAL
harga
secara kolusif suatu
produk tertentu, serta

pengaturan harga jual kembali, merupakan contoh suatu kegiatan usaha
yang dianggap sebagai per se illegal.
Dari kedua pendekatan atau perumusan diatas, untuk menentukan
pendekatan yang digunakan dalam suatu pasal dalam Undang-Undang Persaingan
28

L Budi Kagramanto, op cit., h 102
Lihat L Budi Kagramanto, h 90
30
L Budi Kagramanto, op cit., h. 95 mengutip dari M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan
tentang Permasalahan Hukum (II), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h.28
31
L Budi Kagramanto, op cit., h, 95 mengutip dari Arie Siswanto, Hukum Persaingan
Usaha, Ghalia Indonesia, Jakarta, Desember 2002, h. 66.
29

27

Usaha dapat dilakukan dengan mencermati kalimat yang digunakan dalam klausul
pasal. Pencantuman kata-kata seperti “yang dapat mengakibatkan” dan/atau “patut
diduga” menunjukkan perlunya penelitian lebih lanjut apakah suatu perjanjian
atau kegiatan usaha tertentu tersebut memberikan dampak dalam iklim persaingan
atau tidak. Maka klausul pasal tersebut menggunakan pendekatan secara Rule of
Reason. Sedangkan apabila dalam klausul pasal terdapat kata-kata seperti
“dilarang” tanpa kalimat lanjutan “...yang dapat mengakibatkan...”, maka klausul
pasal tersebut menggunakan pendekatan secara per se ilegal.
Apabila dikaitkan antara penjelasan unsur-unsur dalam klausul pasal yang
mengatur monopsoni dengan prinsip umum pendekatan tersebut, maka definisi
pengaturan monopsoni dalam Undang-Undang Persaingan Usaha menggunakan
pendekatan secara Rule of Reason. Sehingga, penguasaan penerimaan pasokan
atas suatu barang dan/atau jasa tidak melebihi 50% (lima puluh persen) bukan
merupakan sebuah praktik monopsoni, atau selama kurang dari 50% (lima puluh
persen) dan membawa pada keadaan persaingan usaha tidak sehat serta
melahirkan praktik monopoli, dapat pula dikategorikan sebagai praktik
monopsoni. Hal tersebut karena dalam pasal tersebut cenderung menekankan
proses terjadinya monopsoni atas penguasaan pasar, bukan pada pasar monopsoni
itu sendiri.
Penentuan penggunaan salah satu pendekatan tersebut tidak semata-mata
tergantung pada bunyi kata-kata dalam ketentuan Undang-Undang Persaingan
Usaha, misalnya kata “dilarang” sebagai per se illegal, atau kata “..dapat
menyebabkan..” sebagai rules of reasons. Mengingat kembali bahwa dalam

28

penegakkan hukum antimonopoli dan persaingan usaha di Indonesia, telah
dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha, maka terdapat kemungkinan
penggunaan pendekatan dengan bercermin pada hasil olah tafsir oleh KPPU.
KPPU menggunakan pertimbangan dengan mendasarkan pada praktik yang
dianggap paling baik untuk menilai praktik-praktik pelaku usaha dan tetap
berpedoman pada tujuan pembentukan Undang-Undang Persaingan Usaha.
2.3 Monopsoni dan price fixing.
Berdasarkan

beberapa

pernyataan

yang

menggambarkan

bahwa

monopsoni merupakan monopoly on demand, menunjukkan jika monopsoni
sendiri pada dasarnya adalah bagian dari monopoli 32. Sehingga, ada beberapa
conduct yang terjadi dalam praktik monopoli yang kemungkinan pula dapat
terjadi dalam praktik monopsoni. Demikian pula pada dampak-dampak yang
terjadi akibat kedua praktik tersebut, dapat pula hal yang menjadi dampak dari
praktik monopoli, menjadi dampak dari praktik monopsoni. Dampak tersebut,
tidak terbatas pada sistem monopsoni yang dilakukan oleh pelaku usaha atas suatu
komoditi tertentu. Baik pada pure monopsony, collusive monopsony, monopsoni
alamiah dan monopsoni menurut undang-undang.
Perbedaan yang mencolok antara keduanya terkait dampak yang
ditimbulkan adalah kepada siapa dampak tersebut akan memiliki pengaruh secara
langsung. Dalam monopoli, yang serta merta merasakan dampak atas kemampuan
monopolist untuk menjual suatu komoditi adalah end-user atas komoditi tersebut.
Hal ini dikarenakan monopoly power memiliki pengaruh yang besar atas harga

32

Andi Fahmi Lubis, et al., Op cit., h 128

29

akhir suatu komoditi terkait penjualan, sehingga pelaku usaha akan mengenakan
harga tinggi atas komoditi tersebut, karena merekalah yang memegang
penguasaan atas komoditi tersebut. Sementara itu, dalam praktik monopsoni, yang
serta merta merasakan dampak dari monopsony power yang dimiliki oleh pelaku
usaha adalah pihak supplier atau produsen suatu komoditi. Demikian itu karena
para supplier dari produk atau jasa tersebut merasakan adanya pengurangan
pendapatan atau income dari hasil produksi mereka. Untuk menanggulangi
kerugian tersebut, sebagai sebuah konsekuensi para supplier atau produsen harus
mengurangi jumlah produksi atau tetap menghasilkan produk dengan mengurangi
kualitasnya. Kedua pilihan itu nantinya akan berpengaruh pada jumlah barang
yang ada di pasaran dan sekaligus kualitasnya, ini yang pada akhirnya
berpengaruh terhadap kesejahteraan bagi masyarakat atau end-user. Pada keadaan
seperti inilah, praktik monopsoni harus bisa dihentikan.
Sebelum menentukan ada atau tidaknya sebuah dampak yang ditimbulkan,
lebih baik jika mengetahui pengukuran atas suatu monopsony power pada suatu
pasar terlebih dahulu. Kekuatan tersebut merupakan suatu tolok ukur apakah
sebuah perbuatan dapat dinyatakan praktik monopsoni atau tidak. Pertama,
terdapat tiga kondisi penting untuk mengukur monopsony power, yakni :
1. Pembeli atau beberapa pembeli (collusive monopsonist) harus
mewakili porsi terbesar dari total pembelian dalam suatu pasar.
2. Kurva penawaran harus pada posisi yang bergerak naik.33
33

Dalam kondisi ini, pihak produsen atau supplier memiliki stok barang yang melimpah
ruah, sehingga mereka sangat membutuhkan pembeli untuk menghindari kerugian yang mungkin
akan ditimbulkan dengan penumpukkan barang yang tidak berbanding setidaknya secara equal
dengan jumlah biaya produksi. Kondisi inilah, keadaan yang paling aman bagi para pelaku usaha
karena keadaan seperti inilah mereka memiliki monopsony power. Hal ini tidak akan terjadi jika
kurva permintaan ada pada kurva yang satbil atau cenderung datar, karena pada keadaan demikian
tidak ada suatu keadaan memaksa yang bisa membuat pihak produsen atau supplier mengurangi
harga.

30

3. Harus terdapat hambatan atau penghalang untuk memasuki
pasar yang diciptakan oleh para pembeli.
Selain ketiga tolok ukur diatas, terdapat dua cara lain yang juga menjai
tolok ukur untuk menentukan eksistensi dari monopsony power pada suatu pasar,
yakni :
1. Menganalisa ada atau tidaknya komoditi substitusi atas komoditi tertentu.
2. Menganalisa mengenai pasar berdasarkan keadaan geografis.
Apabila dari hasil analisa tersebut menunjukkan indikasi bahwa belum
adanya barang substitusi yang menjadi objek usaha pelaku usaha lain, serta tidak
ada alasan keadaan geografis bagi terjadinya praktik monopsoni, maka dapat
dinyatakan jika pada kondisi tersebut pelaku usaha memiliki monopsony power
atas suatu pasar.
Pada dasarnya, terdapat dua penggolongan yang mendasar atas dampak
monopsoni yang secara implisit dinyatakan oleh para ahli dalam buku dan
jurnalnya. Penggolongan tersebut, yakni :
a. Dampak praktik monopsoni terkait dengan harga atau pricing.
b. Dampak praktik monopsoni terkait hal-hal selain harga atau non
pricing.34
Dalam sub bab ini, yang akan menjadi pembahasan adalah dampak dari
monopsoni, khususnya dampak terkait dengan pricing. Dampak tersebut antara
lain, kemampuan praktik monopsoni dalam mempengaruhi harga komoditi
tertentu, dalam penetapannya atau membuat sebuah diskriminasi harga dengan
nama lainnya adalah monopsony pricing. Selanjutnya, dalam penjelasannya,

34

Dampak tersebut pada dasarnya adalah praktik lain dari penguasaan pasar, yang
termasuk pula pada kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang Persaingan Usaha. Yang
termasuk kegiatan penguasaan pasar antara lain, menciptakan barrier to entry, membatasi
peredaran suatu komoditi, hingga melakukan diskriminasi kepada pelaku usaha tertentu. Hal itu
terkait dengan kedudukan monopsonist yang memiliki market power terhadap pembelian atau
penerimaan atas suatu komoditi baik barang maupun jasa dalam lingkup usaha tertentu. Karena
suatu penguasaan pasar hanya akan terjadi jika pelakunya memiliki market power pada lingkup
pasar tersebut.

31

kedua main idea tersebut akan dibagi lagi dalam dua bagian yang terpisah dan
merupakan satu kesatuan dengan sub bab ini.
2.3.1 Price Discrimination
Perjanjian diskriminasi harga, adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku
usaha lainnya dimana untuk suatu produk yang sama dijual dengan harga yang
berbeda.35 Dengan adanya perjanjian yang demikian, berakibat pada terciptanya
kerugian bagi pelaku usaha lainnya dalam struktur pasar yang sama. Akibat yang
nyata dari perjanjian perbedaan harga adalah, salah satu pelaku usaha
mendapatkan harga yang tinggi, sementara pelaku usaha lainnya mendapatkan
harga yang rendah. Pada keadaan inilah, kerugian akan dirasakan oleh pelaku
usaha.
Praktik diskriminasi harga, tidak secara keseluruhan dilarang oleh hukum
persaingan usaha, karena dimungkinkan adanya biaya yang berbeda dari pelaku
usaha untuk memproduksi komoditi tertentu yang menjadi objek kegiatan usaha.
Dengan adanya perbedaan tersebut, sangat rasional sekali apabila selanjutnya ada
perbedaan harga untuk barang yang sama. Larangan diskriminasi harga yang
dimaksudkan dalam hukum persaingan usaha apabila lahirnya bukan dari
perbedaan biaya yang dikeluarkan oleh produsen. Singkatnya, suatu kondisi dapat
dinyatakan telah terjadi diskriminasi harga, haruslah memenuhi beberapa syarat.
Syarat-syarat tersebut :

35

Andi Fahmi Lubis, et al. op cit.¸h.93

32

1. Para pihak haruslah mereka yang melakukan kegiatan bisnis, sehingga
diskriminasi harga dapat merugikan apa yang disebut primary line36 dan
secondary line37.
2. Terdapat perbedaan harga baik secara langsung maupun tidak langsung,
misal melalui pemberian diskon, atau pembayaran secara kredit, namun
pada pihak lainnya harus cash dan tidak berlaku diskon.38
3. Dilakukan terhadap pembeli yang berbeda. Jadi dalam hal ini paling
sedikit terdapat dua pembeli.39
4. Terhadap barang yang sama tingkat dan kualitasnya.
5. Perbuatan tersebut secara substansial akan merugikan, merusak, atau
mencegah terjadinya persaingan yang sehat atau dapat menyebabkan
monopoli pada suatu aktifitas perdagangan.40
Pelaku usaha yang seringkali melakukan kegiatan seperti ini adalah pelaku
usaha yang be