Jurnal Hubungan Internasional Peran Reli
Jurnal Hubungan Internasional
Peran Religion-based Peacebuilder Untuk Membangun Interfaith
Dialogue Sebagai Upaya Damai Dalam Perang Sipil Nigeria 1995
Oleh:
Wahyu Rachmadhani
105120407121002
SECCON. HI. 6. Ing
Program Studi Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
2014
Ringkasan Eksekutif
Makalah ini membahas mengenai peran tokoh agama sebagai religionbased peacebuilder dalam upaya damai atas konflik perang sipil yang terjadi di
Nigeria yang dimulai dari tahun 1967. Sebuah langkah yang sangat penting bagi
peacebuilding process setelah konflik selama bertahun-tahun adalah adanya
inisiasi Interfaith Dialogue yang di promotori oleh masing-masing kelompok
agama yang bertikai. Kelompok Muslim diwakili oleh Muhammed Nurayn
Ashafa dan tokoh agama Kristen diwakili oleh James Movel Wuye.
Penulis melihat adanya urgensi dan ketertarikan terhadap peran sebuah
agama maupun tokoh agama dalam sebuah peacebuilding process. Hal ini
dikarenakan pasca tragedi 9/11, agama menjadi suatu hal yang sensitif dan dapat
menimbulkan perpecahan meski sejatinya agama adalah tempat dimana manusia
dapat mengenal arti perdamaian yang sesungguhnya. Selain itu, pola
peacebuilding yang dilakukan oleh banyak organisasi barat untuk menyelesaikan
konflik pada umumnya fokus terhadap proses pembentukan demokrasi serta
penerapan model atau sistem barat yang belum tentu sesuai dengan kearifan lokal
negara yang sedang berkonflik. Maka dari itu penulis mengangkat permasalahan
agama beserta tokoh agama lokal yang dapat menjadi subyek aktif dalam proses
perundingan damai.
Pada akhirnya, tujuan daripada penulisan makalah ini adalah untuk
memberi kontribusi dan semangat dalam rangka memberdayakan kearifan lokal
sebuah peran agama dan juga tokoh agama dalam mempromosikan perdamaian.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran masyarakat internasional juga sangat
berpengaruh dan membantu. Tetapi alangkah baiknya apabila sebuah negara yang
berdaulat secara mandiri mampu mengatasi permasalahan internal yang dihadapi
tanpa campur tangan dari pihak luar sembari memaksimalkan sumber daya lokal.
I. PENDAHULUAN
Persoalan agama sebagai dasar atas aksi perusakan yang dilakukan oleh
kelompok atau individu semakin parah dengan adanya tragedi terorisme yang
terjadi pada 11 September di Amerika Serikat. Masyarakat dunia memandang
skeptis mengenai agama yang mampu menciptakan perdamaian, keseimbangan
hidup, dan kontrol sosial. Sebaliknya, tragedi terorisme tersebut telah memandang
agama sebagai satu hal pemicu konflik yang mendasari seorang manusia untuk
melakukan kejahatan. Penyudutan terhadap salah satu agama yang dikenal radikal
dalam melakukan aksi terorisme-Islam-juga merugikan banyak umat Muslim lain
yang tidak bersalah dalam aksi tersebut. Masyarakat dunia dengan tragedi 9/11
yang terjadi telah melupakan bagaimana sebuah agama pada hakikatnya adalah
ajaran mengenai kebaikan dan perdamaian bukan mengenai perusakan dan
penghancuran.
Salah satu contoh yang dapat dipelajari mengenai keberhasilan sebuah
agama sebagai dasar pemersatu perbedaan adalah konflik yang terjadi di Nigeria
pada tahun 1980an. Nigeria sebagai negara berkembang di Benua Afrika memiliki
populasi dengan mayoritas penduduk Muslim dan Kristen yang hampir seimbang.
Jumlah kedua agama yang dominan di Nigeria ini pada awalnya tidak
menimbulkan gesekan yang berarti sampai pada tahun 1960an terjadi berbagai
gesekan-gesekan dalam skala kecil yang menyangkut kepentingan agama masingmasing. Pada tahun 1986 ketika pemerintah dengan mayoritas Muslim
mendaftarkan Nigeria sebagai anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) tanpa
persetujuan rakyat terjadi konflik yang semakin mengukuhkan dominasi Islam
akan kekuasaan dan ekonomi di Nigeria (Haynes, 2009). Konflik terus berlanjut
dan semakin parah pada awal tahun 1990 dan menimbulkan banyak korban baik
dari kelompok Muslim dan Kristen. Konflik perang sipil ini akhirnya dapat di
selesaikan melalui Interfaith Dialogue yang di inisiasi oleh kedua tokoh agama
Islam dan Kristen, Muhammed Nurayn Ashafa dan James Movel Wuye. Melalui
dialog kedua agama yang kondusif ini telah melahirkan kesepakatan damai yang
disetujui oleh kedua belah pihak. Kerukunan yang dicontohkan oleh kedua
pemuka agama tersebut merupakan simbol berakhirnya perang saudara di Nigeria.
Tokoh agama adalah aktor yang sangat penting dalam proses resolusi
konflik mengingat fungsi sosial yang dimiliki mempunyai pengaruh yang sangat
besar dalam menyampaikan ajaran kebaikan dan melakukan mobilisasi masa.
Pengaruh yang kuat ini dapat menjadi faktor penentu utama bagi sebuah konflik
untuk diselesaikan dalam meja negosiasi ataupun melalui dialog yang kondusif
menuju kesepakatan damai. Secara spesifik penulis merujuk fenomena diatas
melalui konsep dari peran sebuah agama dan tokoh agama dalam peacebuilding
process yang dikemukakan oleh Peacebuilding Initiatives Organization. Konsep
ini mengandung tiga muatan analisis yang ditujukan untuk melihat bagaimana
kontribusi agama dan tokoh agama dalam mewujudkan perdamaian atas konflik
yang terjadi. Kemudian untuk membatasi ruang lingkup dari peran tokoh agama
dalam jenis intervensi apa yang dapat dilakukan, penulis menggunakan teori yang
dikemukakan oleh Cynthia Sampson mengenai fungsi substitusi dari seorang
tokoh agama dalam peacebuilding process.
Dengan mempertimbangkan fenomena yang menjadi objek penelitian
penulis serta kerangka konseptual dan teori yang penulis gunakan untuk
mendukung argumen pada bahasan selanjutnya, penulis mengajukan rumusan
masalah sebagai berikut:
Bagaimana peran tokoh agama sebagai religion-based peacebuilder dalam
penyelesaian konflik perang sipil Nigeria tahun 1995?
II. PEMBAHASAN
Agama Sebagai Wadah Kebutuhan Spiritual Manusia
Setiap manusia di dunia mengalami suatu tahap pemenuhan kebutuhan
dalam hidupnya. Dimulai dari kebutuhan yang paling mendasar yaitu kebutuhan
fisik dan biologis seperti sandang, pangan, dan papan sampai pada puncak
pemenuhan kebutuhan spiritual manusia tentang sebuah kepercayaan mengenai
sesuatu yang abstrak. Hal ini kemudian diartikan dalam sebuah keyakinan yang
menjelaskan bagaimana hubungan manusia dan Tuhannya, secara terbuka maupun
rahasia. Tahapan pemenuhan kebutuhan ini di dasari oleh motivasi seseorang akan
sifat dasar manusia itu sendiri yaitu penghargaan atas sebuah pencapaian.
Menurut Basic Human Needs Theory yang dikemukakan oleh Maslow, ada
delapan tingkatan pemenuhan kebutuhan manusia yang terdiri dari kebutuhan
fisik dan biologis, kebutuhan atas rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan atas
penghargaan, kebutuhan kognitif, kebutuhan akan keindahan, aktualisasi diri, dan
kebutuhan transedensi yang merupakan puncak dari tahap pemenuhan kebutuhan
manusia (McLeod, 2007). Delapan tahapan ini menyerupai piramid yang semakin
tinggi akan semakin kecil atau mengerucut ruang lingkupnya. Hal tersebut
mencerminkan suatu kebutuhan spiritual mengenai hubungan manusia dengan apa
yang diyakininya-Tuhan-adalah suatu yang hal yang pribadi.
Fokus terhadap puncak pemenuhan kebutuhan yaitu Transendence needs,
Maslow berargumen bahwa apabila seorang manusia telah mencapai kebutuhan
hidup yang paling tinggi yaitu kebutuhan spiritual maka secara langsung hal
tersebut akan mempengaruhi sudut pandang hingga gaya hidup manusia (KoltkoRivera, 2006). Kebutuhan spiritual ini dapat dijadikan sebuah motivasi bagaimana
seseorang dapat menjalankan hidup sesuai dengan apa yang diyakininya. Sebagai
contoh, umat Muslim mengenal Jihad sebagai suatu kewajiban bagi seorang
Muslim untuk memperjuangkan agama Islam sebagai Rahmatan lil’alamin. Maka
teror bom yang ditujukan kepada umat non-muslim adalah benar menurut mereka.
Dalam hal ini Transcendence needs yang mereka alami mengarah pada hal negatif
yang dapat merugikan orang lain. Tetapi di sisi lain, kebutuhan spiritual aktor
pelaku teror bom yang mengatasnamakan jihad ini telah mencapai puncak
pemahaman tertinggi berdasar apa yang mereka yakini menurut intepretasi
hubungan spiritualnya dengan Tuhannya.
Kebutuhan spiritual seorang manusia di intepretasikan melalui sebuah
wadah yang sering kita sebut sebagai agama. Intepretasi manusia yang berbeda
satu sama lain ini pada akhirnya menimbulkan berbagai macam agama yang ada
di dunia saat ini. Namun, agama secara universal memiliki dasar ajaran yang sama
yaitu menempatkan perdamaian sebagai ajaran yang utama. Sebuah agama
merupakan sebuah wadah yang memiliki kekuatan yang tidak lekang oleh waktu
serta mengandung norma dan nilai yang secara spesifik membahas mengenai isu
atau permasalahan manusia seperti kebebasan, kasih sayang, salah benar,
keadilan, harmoni dan keseimbangan dalam hidup (Funk, 2001). Dengan kata
lain, meski banyak agama yang berbeda di dunia, ajaran utama dari masingmasing agama tersebut adalah mengenai penghormatan dan penghargaan terhadap
perbedaan-perbedaan yang terjadi di sekitar dengan tujuan damai dan hidup saling
mengasihi pada akhirnya.
Hubungan Antara Agama dan Konflik
Pada kenyataannya dinamika kehidupan dihiasi dengan interaksi sosial
yang berbeda dari keindahan sebuah perdamaian yang diajarkan oleh agama
masing-masing. Sisi lain dari sifat alami manusia sebagai makhluk hidup adalah
berusaha memperjuangkan sebuah kekuasaan dengan tujuan dan kepentingan
tertentu. Gesekan yang timbul akibat usaha-usaha yang dilakukan manusia ini
dapat berujung pada sebuah konflik yang dapat melibatkan banyak manusia lain.
Kepentingan manusia telah mengaburkan bagaimana semestinya manusia tersebut
hidup berdampingan dalam sebuah kompetisi yang sehat sesuai dengan ajaran
agama masing-masing.
Dalam kompleksitas permasalahan dunia, hubungan antara agama dan
konflik tidak dapat dipisahkan secara tegas. Sebaliknya, agama sering dijadikan
topeng atau alasan bagi sebuah kelompok atau individu dalam melakukan
pembenaran atas apa yang dilakukan meski hal tersebut merugikan orang lain
seperti contoh teror bom diatas. Menurut Daniel Philpott, agama menjadi pemicu
dalam sebuah konflik dalam dua cara. Pertama, agama dapat membentuk sebuah
identitas dan kesetiaan dalam berperang membela agama. Dalam cara ini, seorang
tokoh agama sangat penting untuk melakukan mobilisasi masa yang berperan
sebagai pengusaha politik. Kedua, agama dapat mendefinisikan tujuan-tujuan
politik dimana dalam hal ini sebuah agama memiliki peran penting dalam sejarah
perubahan sosial dan politik suatu negara (Philpott, 2007). Kemurnian ajaran
agama telah disalahgunakan juga disalah-artikan oleh manusia sebagai alat untuk
memperoleh kekuasaan atau kepentingan tertentu. Sebuah agama yang dijadikan
alasan dalam sebuah konflik dapat diartikan sebagai konflik nilai (value conflict).
Value conflict merupakan konflik yang cenderung memiliki nilai yang sama-sama
benar atau sama-sama meyakinkan sehingga sulit untuk menentukan resolusi yang
adil. Sebuah kesepakatan atau resolusi dari konflik ini akan berujung pada hasil
zero-sum yang mengalahkan atau menyudutkan satu pihak (Reychler, 1997).
Konflik Perang Sipil Nigeria
Akar permasalahan dari konflik perang sipil di Nigeria pada awalnya
adalah mengenai konflik perpecahan atau disintegrasi yang dilakukan oleh suku
Igbo untuk mendirikan negara sendiri dengan nama Republic of Biafra. Dasar dari
tindakan ini adalah suku Igbo melihat perbedaan sistem pemerintahan dalam
negeri yang terbagi menjadi tiga bagian peninggalan kolonial yaitu suku HausaFulani (mayoritas Muslim) memimpin bagian utara dengan sistem kerajaan, suku
Igbo (mayoritas Kristen) memimpin bagian tenggara dengan sistem demokrasi,
dan suku Yoruba (mayoritas suku asli Afrika) memimpin bagian selatan dengan
sistem kerajaan. Suku Igbo melakukan kudeta terhadap suku Hausa-Fulani karena
suku Igbo menginginkan perluasan kekuasaan dengan sistem demokrasi. Selain
itu juga suku Igbo menilai bahwa suku Hausa-Fulani menganut sistem otoriter
yang dikuasai oleh keluarga Sultan. Namun, permasalahan ini terdapat indikasi
bahwa adanya distribusi kekayaan alam yang tidak merata sehingga
mengakibatkan ketimpangan pendapatan ekonomi pada masing-masing bagian
(Handley, 2010).
Perang sipil ini terjadi selama tiga tahun pada 1967-1970. Permasalahan
menjadi semakin melebar dikarenakan motif pembunuhan yang dilakukan tidak
lagi terpusat pada keluarga kerajaan Sultan tetapi juga mengarah pada masyarakat
Muslim yang tidak terlibat. Setelah suku Igbo berhasil mendirikan Republik
Biafra, Nigeria bersatu untuk melawan Biafra yang menjadi basis suku Igbo.
Biafra berusaha untuk meminta bantuan militer internasional melalui Private
Military Companies dan bantuan kemanusiaan dari RedCross. Stagnasi perang
dan keterbatasan sumber daya yang dikerahkan untuk berperang telah membuat
kedua kubu tersebut sepakat dalam perundingan damai yang di inisiasi oleh
Inggris pada tahun 1970.
Namun, sayangnya perang sipil tersebut hanya merupakan permulaan dari
serangkaian konflik yang terus terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Motivasi
penyerangan yang dilakukan telah berubah tidak lagi mengenai sistem
pemerintahan atau ketimpangan ekonomi, tetapi berubah menjadi perang antar
agama, Muslim dan Kristen. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh elit Muslim
akan ditentang oleh Kristen begitu juga sebaliknya. Salah satu kebijakan yang
ditentang oleh kelompok Kristen adalah kebijakan penerapan hukum Sharia Islam
oleh anggota konstituen yang bermayoritas Muslim dan menginginkan Nigeria
menjadi anggota dalam OKI. Akibat perseteruan yang semakin memanas antara
Muslim dan Kristen, Presiden Nigeria saat itu, Babangida memutuskan Nigeria
tetap menjadi negara yang sekuler dan demokrasi.
Peran Tokoh Agama Nigeria Dalam Penyelesaian Konflik
Banyaknya jumlah penduduk Nigeria yang menjadi korban perang sipil
selama bertahun-tahun tersebut, mendasari dua tokoh agama dari masing-masing
Muslin dan Kristen untuk mengadakan Muslim-Christian Dialogue Forum pada
tahun 1995 di Kaduna (Haynes, 2009). Tokoh agama Muslim diwakili oleh
Muhammed Nurayn Ashafa dan tokoh agama Kristen diwakili oleh James Movel
Wuye. Kedua tokoh agama ini memiliki pengalaman pribadi yang menyedihkan
terkait dengan konflik yang terjadi. Keluarga kedua tokoh agama tersebut telah
menjadi korban dalam perang sipil yang terjadi. Langkah awal keduanya untuk
memulai perundingan damai sangat berat dengan masih adanya rasa benci dan
dendam satu sama lain. Tetapi tidak lama keduanya menyadari bahwa tanggung
jawab mereka adalah untuk menjadi penengah atau pendamai konflik yang terjadi.
Komitmen dan konsistensi keduanya untuk berjuang menegakkan
perdamaian di Nigeria membuahkan hasil. Masyarakat Nigeria melihat keduanya
sebagai simbol kerukunan umat beragama. Pada tahun 1999 keduanya merilis
buku yang fenomenal dan kemudian dijadikan film dokumenter sebagai peristiwa
sejarah yang patut dihargai. Buku tersebut berjudul The Pastor and The Imam:
Responding to Conflict yang membuat keduanya memenangkan nobel
perdamaian. Interfaith dialogue yang di agendakan secara rutin telah
menghasilkan butir-butir kesepakatan yang berlaku wajib bagi seluruh mayarakat
Nigeria yang kemudian disesuaikan dengan kearifan lokal. Hasil dari dialog
tersebut antara lain:
a. Baik Kristen atau Muslim wajib mengasihi satu sama lain sebagai saudara
b. Kedua komunitas beragama harus menunjukkan itikad baik dalam setiap
kesempatan
c. Pentingnya memberikan informasi yang benar mengenai agama dan tokoh
agama satu sama lain (tidak memprovokasi)
d. Pentingnya mendukung dan bekerjasama dengan pemerintah untuk
menjunjung keadilan bagi siapa saja yang telah melanggar hukum dan
kesepakatan (Haynes, 2009).
Analisis Konsep dan Teori Peran Tokoh Agama di Konflik Nigeria
Konsep yang digunakan penulis untuk mendukung pentingnya sebuah
kontribusi tokoh agama adalah peran tokoh agama dan agama itu sendiri dalam
peacebuilding process oleh Peacebuilding Initiatives Organization. Konsep ini
terdiri dari tiga analisis yaitu :
a. Sebuah kepercayaan dalam agama memberikan komponen penting yang
tidak terlihat dalam upaya peacebuilding
b. Tokoh agama secara tradisional mempunyai fungsi sosial dalam
mayarakat yang sangat penting bagi tahap menuju perdamaian dan
c. Tokoh agama memiliki peran yang penting sebagai anggota dari
masyarakat lokal (Peacebuilding Initiatives Org. , 2008).
Lebih lanjut, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Cynthia
Sampson mengenai fungsi substitusi dari seorang tokoh agama dalam
peacebuilding process. Secara garis besar, Sampson mendefinisikan peran
substitusi tokoh agama adalah sebagai advokat dalam politik dan hak asasi
manusia. Namun, secara spesifik Sampson membagi peran tersebut ke dalam tiga
peran menurut intervensi yang dapat dilakukan. Klasifikasi yang diberikan oleh
Sampson adalah sebagai berikut:
"Religiously motivated advocates are primarily concerned with empowering the weaker
party in a conflict situation, restructuring relationships, and transforming unjust social
structures.. Intermediaries devote themselves to the task of peacemaking, focusing their
efforts on bringing the parties together to resolve their differences and reach a
settlement.. Observers offer themselves as a physical and moral presence in a conflict
setting, in hopes of preventing violence and transforming the conflict dynamics."
(Sampson, 2007)
Dalam konflik Nigeria, agama menjadi suatu hal yang mendasari perang
sipil meski pada awalnya motif konflik tersebut adalah perbedaan sistem
pemerintahan. Kekuatan sebuah agama yang diyakini oleh seseorang menjadi
sebuah belief system yang mengakar kuat yang mempengaruhi pola pokir dan cara
pandang manusia. Ketiga analisis dalam satu konsep tersebut tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Dengan menyadari bahwa agama adalah mengenai
kepercayaan yang tidak terlihat atau abstrak, maka agama mempunyai kekuatan
untuk mengembalikan manusia pada ajaran yang sesungguhnya. Sesuatu yang
tidak terlihat ini kemudian membutuhkan peran dari para tokoh agama sebagai
orang yang dipandang dan dianggap mampu menguasai segala sesuatu yang
berhubungan dengan pengetahuan mengenai agama yang tidak terlihat tersebut.
Tokoh agama ini mempunyai pengetahuan agama yang cukup sebagai
tanggung jawab mereka untuk menyiarkan pesan damai sesuai dengan ajaran
agama masing-masing. Kemudian, sebagai bagian dari masyarakat lokal pada
umumnya, tokoh agama memiliki peran yang menjangkau sampai ke tingkat grass
root untuk melakukan sosialisasi yang berhubungan dengan upaya damai. Fungsi
substitusi dari seorang tokoh agama dapat diartikan sebagai advokat politik dan
hak asasi manusia. Ketika terjadi konflik perang sipil seperti di Nigeria,
pemerintah yang berwenang tidak mampu melindungi warga negaranya karena
berbagai keterbatasan sumber daya militant maupun peacebuilder. Tokoh agama
diharapkan menjadi peran pengganti bagi absennya peran pemerintah untuk
bertanggung jawab menyelesaikan permasalahan. Seorang tokoh agama
memberikan advokasi bagi pihak yang lemah untuk ikut menyuarakan
pendapatnya dan memberikan pengaruh untuk tidak terprovokasi dalam perang.
Upaya Interfaith Dialogue yang dilakukan oleh Ashafa dan Wuye merupakan
bentuk dari peran intermediaries oleh seorang tokoh agama untuk melakukan
usaha-usaha pendamaian hingga mencapai proses kesepakatan. Observers
dibutuhkan untuk orang ketiga dari masing-masing pihak yang bertikai sebagai
pengawas tegaknya perjanjian yang telah disepakati.
III. KESIMPULAN
Perubahan pandangan manusia saat ini mengenai agama pasca tragedi 9/11
patut disayangkan. Bagi sebagian oknum yang memanfaatkan agama sebagai alat
atau topeng untuk melakukan kejahatan sudah sepantasnya untuk dihukum sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Namun, bagi masyarakat luas, ketakutan akan
aksi terorisme ini semakin parah dengan tidak adanya pemahaman mengenai
agama di dunia satu sama lain. Provokasi dan propaganda menjadi suatu hal yang
dianggap benar dengan tujuan menyudutkan agama tertentu melalui stereotip yang
belum tentu benar keberadaannya.
Pada dasarnya, semua agama di dunia mengajarkan kebaikan yang
mengarah pada perdamaian dan harmoni dalam hidup. Peran tokoh agama dalam
menyiarkan perdamaian dan melakukan sosialisasi kerukunan umat beragama
sangat penting. Tokoh agama adalah seorang yang dianggap mampu dan
menguasai pengetahuan mengenai agama, mengenai sesuatu yang tidak terlihat
atau abstrak, mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya atau dengan apa
yang diyakininya. Maka sudah seharusnya seorang tokoh agama memaksimalkan
peran dan tanggung jawabnya untuk menyebarkan kebaikan dan perdamaian.
Memberi pencerahan bagi mereka yang salah mengintepretasikan perintah Tuhan.
Dalam studi kasus konflik perang sipil Nigeria, peran tokoh agama
Muslim dan Kristen sangat memberi pengaruh yang signifikan bagi proses
perundingan damai melaui Interfaith Dialogue. Hal ini membuktikan bahwa
tokoh agama adalah seorang yang mempunyai kekuatan untuk memberi pengaruh
bagi pengikutnya. Dialog secara rutin yang dilakukan dapat menambah dan
memperdalam wawasan antar kelompok agama yang bertikai untuk dapat
memahami satu sama lain.
Terima Kasih
Daftar Pustaka
Funk, A. A. (2001). The Role of Faith in Cross‐Cultural Conflict Resolution.
Retrieved May 30, 2013, from Peacebuilding Initiatives:
http://www.gmu.edu/programs/icar/pcs/ASNC83PCS.htm
Handley, M. (2010, March 10). The Violence in Nigeria: What's Behind the
Conflict? Retrieved June 1, 2013, from TIME World:
http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1971010,00.html
Haynes, J. (2009). Conflict, Conflict Resolution and Peace‐Building: The Role of
Religion in Mozambique, Nigeria and Cambodia. Commonwealth & Comparative
Politics , 66.
Koltko‐Rivera, M. E. (2006). Rediscovering the Later Version of Maslow’s
Hierarchy of Needs: Self‐Transcendence and Opportunities for Theory, Research,
and Unification. General Psychology , 10 (4), 311.
McLeod, S. (2007). Maslow's Hierarchy of Needs. Retrieved May 30, 2013, from
Simply Psychology: http://www.simplypsychology.org/maslow.html
Peacebuilding Initiatives Org. . (2008). Religion & Peacebuilding: Religion &
Peacebuilding Processes. Retrieved June 5, 2013, from Peacebuilding Initiatives:
http://www.peacebuildinginitiative.org/index.cfm?pageId=1827#_ftn19
Philpott, D. (2007). Explaining The Political Ambivalence of Religion. American
Political Science Review , 518.
Reychler, L. (1997). Religion and Conflict Introduction: Towards a Religion of
World Politics? The Int'l Journal of Peace Studies .
Sampson, C. (2007). Religion and Conflict. In W. Zartman (Ed.), Peacemaking in
International Conflict: Methods and Techniques (pp. 273‐316). U.S Institute of
Peace Press.
Peran Religion-based Peacebuilder Untuk Membangun Interfaith
Dialogue Sebagai Upaya Damai Dalam Perang Sipil Nigeria 1995
Oleh:
Wahyu Rachmadhani
105120407121002
SECCON. HI. 6. Ing
Program Studi Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
2014
Ringkasan Eksekutif
Makalah ini membahas mengenai peran tokoh agama sebagai religionbased peacebuilder dalam upaya damai atas konflik perang sipil yang terjadi di
Nigeria yang dimulai dari tahun 1967. Sebuah langkah yang sangat penting bagi
peacebuilding process setelah konflik selama bertahun-tahun adalah adanya
inisiasi Interfaith Dialogue yang di promotori oleh masing-masing kelompok
agama yang bertikai. Kelompok Muslim diwakili oleh Muhammed Nurayn
Ashafa dan tokoh agama Kristen diwakili oleh James Movel Wuye.
Penulis melihat adanya urgensi dan ketertarikan terhadap peran sebuah
agama maupun tokoh agama dalam sebuah peacebuilding process. Hal ini
dikarenakan pasca tragedi 9/11, agama menjadi suatu hal yang sensitif dan dapat
menimbulkan perpecahan meski sejatinya agama adalah tempat dimana manusia
dapat mengenal arti perdamaian yang sesungguhnya. Selain itu, pola
peacebuilding yang dilakukan oleh banyak organisasi barat untuk menyelesaikan
konflik pada umumnya fokus terhadap proses pembentukan demokrasi serta
penerapan model atau sistem barat yang belum tentu sesuai dengan kearifan lokal
negara yang sedang berkonflik. Maka dari itu penulis mengangkat permasalahan
agama beserta tokoh agama lokal yang dapat menjadi subyek aktif dalam proses
perundingan damai.
Pada akhirnya, tujuan daripada penulisan makalah ini adalah untuk
memberi kontribusi dan semangat dalam rangka memberdayakan kearifan lokal
sebuah peran agama dan juga tokoh agama dalam mempromosikan perdamaian.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran masyarakat internasional juga sangat
berpengaruh dan membantu. Tetapi alangkah baiknya apabila sebuah negara yang
berdaulat secara mandiri mampu mengatasi permasalahan internal yang dihadapi
tanpa campur tangan dari pihak luar sembari memaksimalkan sumber daya lokal.
I. PENDAHULUAN
Persoalan agama sebagai dasar atas aksi perusakan yang dilakukan oleh
kelompok atau individu semakin parah dengan adanya tragedi terorisme yang
terjadi pada 11 September di Amerika Serikat. Masyarakat dunia memandang
skeptis mengenai agama yang mampu menciptakan perdamaian, keseimbangan
hidup, dan kontrol sosial. Sebaliknya, tragedi terorisme tersebut telah memandang
agama sebagai satu hal pemicu konflik yang mendasari seorang manusia untuk
melakukan kejahatan. Penyudutan terhadap salah satu agama yang dikenal radikal
dalam melakukan aksi terorisme-Islam-juga merugikan banyak umat Muslim lain
yang tidak bersalah dalam aksi tersebut. Masyarakat dunia dengan tragedi 9/11
yang terjadi telah melupakan bagaimana sebuah agama pada hakikatnya adalah
ajaran mengenai kebaikan dan perdamaian bukan mengenai perusakan dan
penghancuran.
Salah satu contoh yang dapat dipelajari mengenai keberhasilan sebuah
agama sebagai dasar pemersatu perbedaan adalah konflik yang terjadi di Nigeria
pada tahun 1980an. Nigeria sebagai negara berkembang di Benua Afrika memiliki
populasi dengan mayoritas penduduk Muslim dan Kristen yang hampir seimbang.
Jumlah kedua agama yang dominan di Nigeria ini pada awalnya tidak
menimbulkan gesekan yang berarti sampai pada tahun 1960an terjadi berbagai
gesekan-gesekan dalam skala kecil yang menyangkut kepentingan agama masingmasing. Pada tahun 1986 ketika pemerintah dengan mayoritas Muslim
mendaftarkan Nigeria sebagai anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) tanpa
persetujuan rakyat terjadi konflik yang semakin mengukuhkan dominasi Islam
akan kekuasaan dan ekonomi di Nigeria (Haynes, 2009). Konflik terus berlanjut
dan semakin parah pada awal tahun 1990 dan menimbulkan banyak korban baik
dari kelompok Muslim dan Kristen. Konflik perang sipil ini akhirnya dapat di
selesaikan melalui Interfaith Dialogue yang di inisiasi oleh kedua tokoh agama
Islam dan Kristen, Muhammed Nurayn Ashafa dan James Movel Wuye. Melalui
dialog kedua agama yang kondusif ini telah melahirkan kesepakatan damai yang
disetujui oleh kedua belah pihak. Kerukunan yang dicontohkan oleh kedua
pemuka agama tersebut merupakan simbol berakhirnya perang saudara di Nigeria.
Tokoh agama adalah aktor yang sangat penting dalam proses resolusi
konflik mengingat fungsi sosial yang dimiliki mempunyai pengaruh yang sangat
besar dalam menyampaikan ajaran kebaikan dan melakukan mobilisasi masa.
Pengaruh yang kuat ini dapat menjadi faktor penentu utama bagi sebuah konflik
untuk diselesaikan dalam meja negosiasi ataupun melalui dialog yang kondusif
menuju kesepakatan damai. Secara spesifik penulis merujuk fenomena diatas
melalui konsep dari peran sebuah agama dan tokoh agama dalam peacebuilding
process yang dikemukakan oleh Peacebuilding Initiatives Organization. Konsep
ini mengandung tiga muatan analisis yang ditujukan untuk melihat bagaimana
kontribusi agama dan tokoh agama dalam mewujudkan perdamaian atas konflik
yang terjadi. Kemudian untuk membatasi ruang lingkup dari peran tokoh agama
dalam jenis intervensi apa yang dapat dilakukan, penulis menggunakan teori yang
dikemukakan oleh Cynthia Sampson mengenai fungsi substitusi dari seorang
tokoh agama dalam peacebuilding process.
Dengan mempertimbangkan fenomena yang menjadi objek penelitian
penulis serta kerangka konseptual dan teori yang penulis gunakan untuk
mendukung argumen pada bahasan selanjutnya, penulis mengajukan rumusan
masalah sebagai berikut:
Bagaimana peran tokoh agama sebagai religion-based peacebuilder dalam
penyelesaian konflik perang sipil Nigeria tahun 1995?
II. PEMBAHASAN
Agama Sebagai Wadah Kebutuhan Spiritual Manusia
Setiap manusia di dunia mengalami suatu tahap pemenuhan kebutuhan
dalam hidupnya. Dimulai dari kebutuhan yang paling mendasar yaitu kebutuhan
fisik dan biologis seperti sandang, pangan, dan papan sampai pada puncak
pemenuhan kebutuhan spiritual manusia tentang sebuah kepercayaan mengenai
sesuatu yang abstrak. Hal ini kemudian diartikan dalam sebuah keyakinan yang
menjelaskan bagaimana hubungan manusia dan Tuhannya, secara terbuka maupun
rahasia. Tahapan pemenuhan kebutuhan ini di dasari oleh motivasi seseorang akan
sifat dasar manusia itu sendiri yaitu penghargaan atas sebuah pencapaian.
Menurut Basic Human Needs Theory yang dikemukakan oleh Maslow, ada
delapan tingkatan pemenuhan kebutuhan manusia yang terdiri dari kebutuhan
fisik dan biologis, kebutuhan atas rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan atas
penghargaan, kebutuhan kognitif, kebutuhan akan keindahan, aktualisasi diri, dan
kebutuhan transedensi yang merupakan puncak dari tahap pemenuhan kebutuhan
manusia (McLeod, 2007). Delapan tahapan ini menyerupai piramid yang semakin
tinggi akan semakin kecil atau mengerucut ruang lingkupnya. Hal tersebut
mencerminkan suatu kebutuhan spiritual mengenai hubungan manusia dengan apa
yang diyakininya-Tuhan-adalah suatu yang hal yang pribadi.
Fokus terhadap puncak pemenuhan kebutuhan yaitu Transendence needs,
Maslow berargumen bahwa apabila seorang manusia telah mencapai kebutuhan
hidup yang paling tinggi yaitu kebutuhan spiritual maka secara langsung hal
tersebut akan mempengaruhi sudut pandang hingga gaya hidup manusia (KoltkoRivera, 2006). Kebutuhan spiritual ini dapat dijadikan sebuah motivasi bagaimana
seseorang dapat menjalankan hidup sesuai dengan apa yang diyakininya. Sebagai
contoh, umat Muslim mengenal Jihad sebagai suatu kewajiban bagi seorang
Muslim untuk memperjuangkan agama Islam sebagai Rahmatan lil’alamin. Maka
teror bom yang ditujukan kepada umat non-muslim adalah benar menurut mereka.
Dalam hal ini Transcendence needs yang mereka alami mengarah pada hal negatif
yang dapat merugikan orang lain. Tetapi di sisi lain, kebutuhan spiritual aktor
pelaku teror bom yang mengatasnamakan jihad ini telah mencapai puncak
pemahaman tertinggi berdasar apa yang mereka yakini menurut intepretasi
hubungan spiritualnya dengan Tuhannya.
Kebutuhan spiritual seorang manusia di intepretasikan melalui sebuah
wadah yang sering kita sebut sebagai agama. Intepretasi manusia yang berbeda
satu sama lain ini pada akhirnya menimbulkan berbagai macam agama yang ada
di dunia saat ini. Namun, agama secara universal memiliki dasar ajaran yang sama
yaitu menempatkan perdamaian sebagai ajaran yang utama. Sebuah agama
merupakan sebuah wadah yang memiliki kekuatan yang tidak lekang oleh waktu
serta mengandung norma dan nilai yang secara spesifik membahas mengenai isu
atau permasalahan manusia seperti kebebasan, kasih sayang, salah benar,
keadilan, harmoni dan keseimbangan dalam hidup (Funk, 2001). Dengan kata
lain, meski banyak agama yang berbeda di dunia, ajaran utama dari masingmasing agama tersebut adalah mengenai penghormatan dan penghargaan terhadap
perbedaan-perbedaan yang terjadi di sekitar dengan tujuan damai dan hidup saling
mengasihi pada akhirnya.
Hubungan Antara Agama dan Konflik
Pada kenyataannya dinamika kehidupan dihiasi dengan interaksi sosial
yang berbeda dari keindahan sebuah perdamaian yang diajarkan oleh agama
masing-masing. Sisi lain dari sifat alami manusia sebagai makhluk hidup adalah
berusaha memperjuangkan sebuah kekuasaan dengan tujuan dan kepentingan
tertentu. Gesekan yang timbul akibat usaha-usaha yang dilakukan manusia ini
dapat berujung pada sebuah konflik yang dapat melibatkan banyak manusia lain.
Kepentingan manusia telah mengaburkan bagaimana semestinya manusia tersebut
hidup berdampingan dalam sebuah kompetisi yang sehat sesuai dengan ajaran
agama masing-masing.
Dalam kompleksitas permasalahan dunia, hubungan antara agama dan
konflik tidak dapat dipisahkan secara tegas. Sebaliknya, agama sering dijadikan
topeng atau alasan bagi sebuah kelompok atau individu dalam melakukan
pembenaran atas apa yang dilakukan meski hal tersebut merugikan orang lain
seperti contoh teror bom diatas. Menurut Daniel Philpott, agama menjadi pemicu
dalam sebuah konflik dalam dua cara. Pertama, agama dapat membentuk sebuah
identitas dan kesetiaan dalam berperang membela agama. Dalam cara ini, seorang
tokoh agama sangat penting untuk melakukan mobilisasi masa yang berperan
sebagai pengusaha politik. Kedua, agama dapat mendefinisikan tujuan-tujuan
politik dimana dalam hal ini sebuah agama memiliki peran penting dalam sejarah
perubahan sosial dan politik suatu negara (Philpott, 2007). Kemurnian ajaran
agama telah disalahgunakan juga disalah-artikan oleh manusia sebagai alat untuk
memperoleh kekuasaan atau kepentingan tertentu. Sebuah agama yang dijadikan
alasan dalam sebuah konflik dapat diartikan sebagai konflik nilai (value conflict).
Value conflict merupakan konflik yang cenderung memiliki nilai yang sama-sama
benar atau sama-sama meyakinkan sehingga sulit untuk menentukan resolusi yang
adil. Sebuah kesepakatan atau resolusi dari konflik ini akan berujung pada hasil
zero-sum yang mengalahkan atau menyudutkan satu pihak (Reychler, 1997).
Konflik Perang Sipil Nigeria
Akar permasalahan dari konflik perang sipil di Nigeria pada awalnya
adalah mengenai konflik perpecahan atau disintegrasi yang dilakukan oleh suku
Igbo untuk mendirikan negara sendiri dengan nama Republic of Biafra. Dasar dari
tindakan ini adalah suku Igbo melihat perbedaan sistem pemerintahan dalam
negeri yang terbagi menjadi tiga bagian peninggalan kolonial yaitu suku HausaFulani (mayoritas Muslim) memimpin bagian utara dengan sistem kerajaan, suku
Igbo (mayoritas Kristen) memimpin bagian tenggara dengan sistem demokrasi,
dan suku Yoruba (mayoritas suku asli Afrika) memimpin bagian selatan dengan
sistem kerajaan. Suku Igbo melakukan kudeta terhadap suku Hausa-Fulani karena
suku Igbo menginginkan perluasan kekuasaan dengan sistem demokrasi. Selain
itu juga suku Igbo menilai bahwa suku Hausa-Fulani menganut sistem otoriter
yang dikuasai oleh keluarga Sultan. Namun, permasalahan ini terdapat indikasi
bahwa adanya distribusi kekayaan alam yang tidak merata sehingga
mengakibatkan ketimpangan pendapatan ekonomi pada masing-masing bagian
(Handley, 2010).
Perang sipil ini terjadi selama tiga tahun pada 1967-1970. Permasalahan
menjadi semakin melebar dikarenakan motif pembunuhan yang dilakukan tidak
lagi terpusat pada keluarga kerajaan Sultan tetapi juga mengarah pada masyarakat
Muslim yang tidak terlibat. Setelah suku Igbo berhasil mendirikan Republik
Biafra, Nigeria bersatu untuk melawan Biafra yang menjadi basis suku Igbo.
Biafra berusaha untuk meminta bantuan militer internasional melalui Private
Military Companies dan bantuan kemanusiaan dari RedCross. Stagnasi perang
dan keterbatasan sumber daya yang dikerahkan untuk berperang telah membuat
kedua kubu tersebut sepakat dalam perundingan damai yang di inisiasi oleh
Inggris pada tahun 1970.
Namun, sayangnya perang sipil tersebut hanya merupakan permulaan dari
serangkaian konflik yang terus terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Motivasi
penyerangan yang dilakukan telah berubah tidak lagi mengenai sistem
pemerintahan atau ketimpangan ekonomi, tetapi berubah menjadi perang antar
agama, Muslim dan Kristen. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh elit Muslim
akan ditentang oleh Kristen begitu juga sebaliknya. Salah satu kebijakan yang
ditentang oleh kelompok Kristen adalah kebijakan penerapan hukum Sharia Islam
oleh anggota konstituen yang bermayoritas Muslim dan menginginkan Nigeria
menjadi anggota dalam OKI. Akibat perseteruan yang semakin memanas antara
Muslim dan Kristen, Presiden Nigeria saat itu, Babangida memutuskan Nigeria
tetap menjadi negara yang sekuler dan demokrasi.
Peran Tokoh Agama Nigeria Dalam Penyelesaian Konflik
Banyaknya jumlah penduduk Nigeria yang menjadi korban perang sipil
selama bertahun-tahun tersebut, mendasari dua tokoh agama dari masing-masing
Muslin dan Kristen untuk mengadakan Muslim-Christian Dialogue Forum pada
tahun 1995 di Kaduna (Haynes, 2009). Tokoh agama Muslim diwakili oleh
Muhammed Nurayn Ashafa dan tokoh agama Kristen diwakili oleh James Movel
Wuye. Kedua tokoh agama ini memiliki pengalaman pribadi yang menyedihkan
terkait dengan konflik yang terjadi. Keluarga kedua tokoh agama tersebut telah
menjadi korban dalam perang sipil yang terjadi. Langkah awal keduanya untuk
memulai perundingan damai sangat berat dengan masih adanya rasa benci dan
dendam satu sama lain. Tetapi tidak lama keduanya menyadari bahwa tanggung
jawab mereka adalah untuk menjadi penengah atau pendamai konflik yang terjadi.
Komitmen dan konsistensi keduanya untuk berjuang menegakkan
perdamaian di Nigeria membuahkan hasil. Masyarakat Nigeria melihat keduanya
sebagai simbol kerukunan umat beragama. Pada tahun 1999 keduanya merilis
buku yang fenomenal dan kemudian dijadikan film dokumenter sebagai peristiwa
sejarah yang patut dihargai. Buku tersebut berjudul The Pastor and The Imam:
Responding to Conflict yang membuat keduanya memenangkan nobel
perdamaian. Interfaith dialogue yang di agendakan secara rutin telah
menghasilkan butir-butir kesepakatan yang berlaku wajib bagi seluruh mayarakat
Nigeria yang kemudian disesuaikan dengan kearifan lokal. Hasil dari dialog
tersebut antara lain:
a. Baik Kristen atau Muslim wajib mengasihi satu sama lain sebagai saudara
b. Kedua komunitas beragama harus menunjukkan itikad baik dalam setiap
kesempatan
c. Pentingnya memberikan informasi yang benar mengenai agama dan tokoh
agama satu sama lain (tidak memprovokasi)
d. Pentingnya mendukung dan bekerjasama dengan pemerintah untuk
menjunjung keadilan bagi siapa saja yang telah melanggar hukum dan
kesepakatan (Haynes, 2009).
Analisis Konsep dan Teori Peran Tokoh Agama di Konflik Nigeria
Konsep yang digunakan penulis untuk mendukung pentingnya sebuah
kontribusi tokoh agama adalah peran tokoh agama dan agama itu sendiri dalam
peacebuilding process oleh Peacebuilding Initiatives Organization. Konsep ini
terdiri dari tiga analisis yaitu :
a. Sebuah kepercayaan dalam agama memberikan komponen penting yang
tidak terlihat dalam upaya peacebuilding
b. Tokoh agama secara tradisional mempunyai fungsi sosial dalam
mayarakat yang sangat penting bagi tahap menuju perdamaian dan
c. Tokoh agama memiliki peran yang penting sebagai anggota dari
masyarakat lokal (Peacebuilding Initiatives Org. , 2008).
Lebih lanjut, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Cynthia
Sampson mengenai fungsi substitusi dari seorang tokoh agama dalam
peacebuilding process. Secara garis besar, Sampson mendefinisikan peran
substitusi tokoh agama adalah sebagai advokat dalam politik dan hak asasi
manusia. Namun, secara spesifik Sampson membagi peran tersebut ke dalam tiga
peran menurut intervensi yang dapat dilakukan. Klasifikasi yang diberikan oleh
Sampson adalah sebagai berikut:
"Religiously motivated advocates are primarily concerned with empowering the weaker
party in a conflict situation, restructuring relationships, and transforming unjust social
structures.. Intermediaries devote themselves to the task of peacemaking, focusing their
efforts on bringing the parties together to resolve their differences and reach a
settlement.. Observers offer themselves as a physical and moral presence in a conflict
setting, in hopes of preventing violence and transforming the conflict dynamics."
(Sampson, 2007)
Dalam konflik Nigeria, agama menjadi suatu hal yang mendasari perang
sipil meski pada awalnya motif konflik tersebut adalah perbedaan sistem
pemerintahan. Kekuatan sebuah agama yang diyakini oleh seseorang menjadi
sebuah belief system yang mengakar kuat yang mempengaruhi pola pokir dan cara
pandang manusia. Ketiga analisis dalam satu konsep tersebut tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Dengan menyadari bahwa agama adalah mengenai
kepercayaan yang tidak terlihat atau abstrak, maka agama mempunyai kekuatan
untuk mengembalikan manusia pada ajaran yang sesungguhnya. Sesuatu yang
tidak terlihat ini kemudian membutuhkan peran dari para tokoh agama sebagai
orang yang dipandang dan dianggap mampu menguasai segala sesuatu yang
berhubungan dengan pengetahuan mengenai agama yang tidak terlihat tersebut.
Tokoh agama ini mempunyai pengetahuan agama yang cukup sebagai
tanggung jawab mereka untuk menyiarkan pesan damai sesuai dengan ajaran
agama masing-masing. Kemudian, sebagai bagian dari masyarakat lokal pada
umumnya, tokoh agama memiliki peran yang menjangkau sampai ke tingkat grass
root untuk melakukan sosialisasi yang berhubungan dengan upaya damai. Fungsi
substitusi dari seorang tokoh agama dapat diartikan sebagai advokat politik dan
hak asasi manusia. Ketika terjadi konflik perang sipil seperti di Nigeria,
pemerintah yang berwenang tidak mampu melindungi warga negaranya karena
berbagai keterbatasan sumber daya militant maupun peacebuilder. Tokoh agama
diharapkan menjadi peran pengganti bagi absennya peran pemerintah untuk
bertanggung jawab menyelesaikan permasalahan. Seorang tokoh agama
memberikan advokasi bagi pihak yang lemah untuk ikut menyuarakan
pendapatnya dan memberikan pengaruh untuk tidak terprovokasi dalam perang.
Upaya Interfaith Dialogue yang dilakukan oleh Ashafa dan Wuye merupakan
bentuk dari peran intermediaries oleh seorang tokoh agama untuk melakukan
usaha-usaha pendamaian hingga mencapai proses kesepakatan. Observers
dibutuhkan untuk orang ketiga dari masing-masing pihak yang bertikai sebagai
pengawas tegaknya perjanjian yang telah disepakati.
III. KESIMPULAN
Perubahan pandangan manusia saat ini mengenai agama pasca tragedi 9/11
patut disayangkan. Bagi sebagian oknum yang memanfaatkan agama sebagai alat
atau topeng untuk melakukan kejahatan sudah sepantasnya untuk dihukum sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Namun, bagi masyarakat luas, ketakutan akan
aksi terorisme ini semakin parah dengan tidak adanya pemahaman mengenai
agama di dunia satu sama lain. Provokasi dan propaganda menjadi suatu hal yang
dianggap benar dengan tujuan menyudutkan agama tertentu melalui stereotip yang
belum tentu benar keberadaannya.
Pada dasarnya, semua agama di dunia mengajarkan kebaikan yang
mengarah pada perdamaian dan harmoni dalam hidup. Peran tokoh agama dalam
menyiarkan perdamaian dan melakukan sosialisasi kerukunan umat beragama
sangat penting. Tokoh agama adalah seorang yang dianggap mampu dan
menguasai pengetahuan mengenai agama, mengenai sesuatu yang tidak terlihat
atau abstrak, mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya atau dengan apa
yang diyakininya. Maka sudah seharusnya seorang tokoh agama memaksimalkan
peran dan tanggung jawabnya untuk menyebarkan kebaikan dan perdamaian.
Memberi pencerahan bagi mereka yang salah mengintepretasikan perintah Tuhan.
Dalam studi kasus konflik perang sipil Nigeria, peran tokoh agama
Muslim dan Kristen sangat memberi pengaruh yang signifikan bagi proses
perundingan damai melaui Interfaith Dialogue. Hal ini membuktikan bahwa
tokoh agama adalah seorang yang mempunyai kekuatan untuk memberi pengaruh
bagi pengikutnya. Dialog secara rutin yang dilakukan dapat menambah dan
memperdalam wawasan antar kelompok agama yang bertikai untuk dapat
memahami satu sama lain.
Terima Kasih
Daftar Pustaka
Funk, A. A. (2001). The Role of Faith in Cross‐Cultural Conflict Resolution.
Retrieved May 30, 2013, from Peacebuilding Initiatives:
http://www.gmu.edu/programs/icar/pcs/ASNC83PCS.htm
Handley, M. (2010, March 10). The Violence in Nigeria: What's Behind the
Conflict? Retrieved June 1, 2013, from TIME World:
http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1971010,00.html
Haynes, J. (2009). Conflict, Conflict Resolution and Peace‐Building: The Role of
Religion in Mozambique, Nigeria and Cambodia. Commonwealth & Comparative
Politics , 66.
Koltko‐Rivera, M. E. (2006). Rediscovering the Later Version of Maslow’s
Hierarchy of Needs: Self‐Transcendence and Opportunities for Theory, Research,
and Unification. General Psychology , 10 (4), 311.
McLeod, S. (2007). Maslow's Hierarchy of Needs. Retrieved May 30, 2013, from
Simply Psychology: http://www.simplypsychology.org/maslow.html
Peacebuilding Initiatives Org. . (2008). Religion & Peacebuilding: Religion &
Peacebuilding Processes. Retrieved June 5, 2013, from Peacebuilding Initiatives:
http://www.peacebuildinginitiative.org/index.cfm?pageId=1827#_ftn19
Philpott, D. (2007). Explaining The Political Ambivalence of Religion. American
Political Science Review , 518.
Reychler, L. (1997). Religion and Conflict Introduction: Towards a Religion of
World Politics? The Int'l Journal of Peace Studies .
Sampson, C. (2007). Religion and Conflict. In W. Zartman (Ed.), Peacemaking in
International Conflict: Methods and Techniques (pp. 273‐316). U.S Institute of
Peace Press.