BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Supervisi Klinis 2.1.1. Pengertian Supervisi - Hubungan Supervisi Klinis dengan Kepuasan Kerja Perawat Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Propinsi Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Supervisi Klinis

2.1.1. Pengertian Supervisi

  Kata supervisi dialih bahasakan dari bahasa Inggris “Supervision” artinya pengawasan (Poerwadarminta, 1995). Menurut Ametembun (1993), pengertian supervisi secara etimologis dari bentuk perkataannya, supervisi terdiri dari dua buah kata super + vision : Super = atas, lebih, Vision = lihat, tilik, awasi. Makna yang terkandung dari pengertian tersebut, bahwa seorang supervisor mempunyai kedudukan atau posisi lebih dari orang yang disupervisi, tugasnya adalah melihat, menilik atau mengawasi orang-orang yang disupervisi.

  Supervisi atau pengawasan adalah proses pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan untuk memastikan apakah kegiatan tersebut berjalan sesuai tujuan organisasi dan standar yang telah ditetapkan. Supervisi dilaksanakan oleh orang yang memiliki kemampuan yang cakap dalam bidang yang disupervisi. Dalam struktur organisasi, supervisi biasanya dilakukan oleh atasan terhadap bawahan atau konsultan terhadap pelaksana. Dengan supervisi, kegiatan yang dilakukan diharapkan sesuai dengan tujuan organisasi, tidak menyimpang, dan menciptakan hasil (produk) seperti yang diinginkan (Keliat, 2010).

  Supervisi adalah tindakan observasional personal sesuai dengan fungsi dan aktifitasnya, menjalankan kepemimpinan dalam proses asuhan keperawatan

  (Huber, 2006). Supervisi adalah proses yang memacu anggota unit kerja untuk berkontribusi secara positif agar tujuan organisasi tercapai (Yaslis, 2003).

  Menurut Swansburg & Swansburg (1999), supervisi adalah suatu proses kemudahan untuk menyelesaikan tugas-tugas keperawatan.

  Swansburg (1999) melihat dimensi supervisi sebagai suatu proses kemudahan sumber-sumber yang diperlukan untuk penyelesaian suatu tugas.

  Sementara itu, Kron dan Gray (1987), dalam Arwani (2005) mengartikan supervisi sebagai kegiatan yang merencanakan, mengarahkan, membimbing, mengajar, mengobservasi, mendorong, memperbaiki, mempercayai dan mengevaluasi secara berkesinambungan anggota secara menyeluruh sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki anggota. Supervisi dalam konteks keperawatan sebagai suatu proses kegiatan pemberian dukungan sumber-sumber

  

(resources) yang dibutuhkan perawat dalam rangka menyelesaikan tugas untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2.1.2. Tujuan Supervisi

  Supervisi sebagai salah satu kegiatan dalam lingkup fungsi manajemen yaitu fungsi pengawasan (Arwani, 2006). Supervisi merupakan kegiatan penting para manajer yang dapat berpengaruh terhadap peningkatan mutu pelayanan keperawatan bahkan pelayanan kesehatan di rumah sakit pada umumnya. Kualitas dan kuantitas supervisi dapat ditentukan oleh falsafah hidup seseorang dan kemampuan dalam menggunakan bermacam-macam teknik supervisi yang dimiliki. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam keperawatan ada hubungan langsung antara supervisi yang diterima oleh perawat dan kualitas layanan keperawatan yang dapat mereka berikan. Dengan kata lain layanan keperawatan yang tidak professional yang diberikan oleh perawat dapat merupakan sebagai dampak dari supervisi yang diterimanya (Kron & Gray, 1987).

  Supervisi bertujuan untuk mengarahkan bawahan secara langsung agar dapat meningkatkan kinerjanya dan bukan mencari kesalahan bawahan, hal ini sesuai dengan pendapat dari berbagai ahli. Tujuan supervisi adalah memberikan bantuan kepada bawahan secara langsung sehingga bawahan akan memiliki bekal yang cukup untuk melaksanakan tugas atau pekerjaannya dengan hasil yang baik. Tujuan utamanya adalah untuk lebih meningkatkan kinerja bawahan dan bukan mencari kesalahan (Suarli & Bahtiar, 2009). Kegiatan supervisi akan mengusahakan seoptimal mungkin kondisi kerja yang kondusif dan nyaman yang mencakup lingkungan fisik, atmosfer kerja dan jumlah sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memudahkan pelaksanaan tugas. Tujuan supervisi diarahkan pada kegiatan, mengorientasikan staf dan pelaksana keperawatan, memberikan arahan dalam pelaksanaan kegiatan sebagai upaya untuk menimbulkan kesadaran dan mengerti akan peran dan fungsinya sebagai staf dan difokuskan pada pemberian pelayanan kemampuan staf dan pelaksanaan keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan (Arwani & Supriyatno, 2006).

  Supervisi dalam keperawatan bertujuan membantu perawat pelaksana dalam melaksanakan asuhan keperawatan sehingga supervisi yang dilakukan bersifat pemberian sumber-sumber dukungan untuk memudahkan dalam menyelesaikan pekerjaan. Selain itu supervisi dimaksudkan untuk memastikan bahwa perawat dalam memberikan asuhan keperawatan telah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh PPNI tahun 2002.

2.1.3. Manfaat Supervisi

  Apabila supervisi dapat dilakukan dengan baik, akan diperoleh banyak manfaat. Manfaat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut (Suarli & Bachtiar, 2009) :

  1. Supervisi dapat meningkatkan efektifitas kerja. Peningkatan efektifitas kerja ini erat hubungannya dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan bawahan, serta makin terbinanya hubungan dan suasana kerja yang lebih harmonis antara atasan dan bawahan.

  2. Supervisi dapat lebih meningkatkan efisiensi kerja. Peningkatan efisiensi kerja ini erat kaitannya dengan makin berkurangnya kesalahan yang dilakukan bawahan, sehingga pemakaian sumber daya (tenaga, harta dan sarana) yang sia-sia akan dapat dicegah.

  Apabila kedua peningkatan ini dapat diwujudkan, sama artinya dengan telah tercapainya tujuan suatu organisasi. Tujuan pokok dari supervisi ialah menjamin pelaksanaan berbagai kegiatan yang telah direncanakan secara benar dan tepat, dalam arti lebih efektif dan efisien, sehingga tujuan yang telah ditetapkan organisasi dapat dicapai dengan memuaskan (Suarli & Bachtiar, 2008).

2.1.4. Sasaran Supervisi

  Menurut Gillies (2000), tugas kepala ruangan sebagai supervisor terdiri dari empat area penting, yaitu:

  1. Area Personal Keperawatan Area supervisi kepala ruangan dalam ketenagaan keperawatan meliputi 1) keterlibatan penerimaan tenaga keperawatan pada saat wawancara 2) seleksi staf di ruang rawat yang menjadi tanggung jawabnya, 3) melakukan evaluasi terhadap pelaksana perawatan yang berada dalam ruang lingkup tanggung jawabnya, 4) memberikan nasehat kepada pelaksana perawatan untuk dapat disiplin, 5) memotivasi staf untuk dapat taat pada standar perawatan yang berlaku, 6) memberikan informasi yang diperlukan staf baru, 7) memperbaiki kebijakan dan prosedur di unitnya apabila diperlukan, 8) menyimpan semua dokumen yang berkaitan dengan kegiatan dan problem staf, 9) mengadakan perubahan/pembaharuan yang sifatnya positif, 10) mengatur dan mempertahankan penjadwalan dinas agar tetap fleksibel untuk semua staf, dan 11) membuat iklim kerja agar tetap nyaman bagi staf.

  2. Area Lingkungan dan Peralatan Area lingkungan dan peralatan yang menjadi tanggung jawab kepala ruangan sebagai supervisor adalah menjaga keamanan, kebersihan, kenyamanan, terlibat menentukan anggaran terutama yang berkaitan dengan keperawatan, mengevaluasi dan memantau kelengkapan peralatan di ruang lingkup tanggung jawabnya, membina kerja sama yang baik, membuat laporan dan menjaga terselenggaranya komunikasi yang baik di dalam ruangan dan bagian lainnya.

  3. Area Asuhan Keperawatan Area supervisi dalam asuhan keperawatan meliputi menjaga asuhan keperawatan sesuai dengan standar, menjaga dan meningkatkan standar dengan program Quality assurance (QA), mengawasi dan mengevaluasi kualitas asuhan keperawatan klien dan lingkungan sesuai dengan program QA, mendokumentasikan set standar dan asuhan keperawatan, koordinasi semua kegiatan yang berada di ruang lingkup tanggung jawab, membantu pelaksana perawatan dalam pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi asuhan keperawatan, menjadi penasehat dan pelindung klien, membina komunikasi yang baik dengan klien, keluarga dan profesi kesehatan lainnya di ruang lingkup tanggung jawabnya, ikut aktif dalam komite dan organisasi profesi yang ada, dan menjaga keserasian administrasi keperawatan tentang rahasia klien.

  4. Area pendidikan dan pengembangan staf Area supervisi dalam area pendidikan dan pengembangan staf terdiri dari koordinasi dengan staf untuk pengembangan, perencanaan, implementasi dan evaluasi dalam orientasi pegawai baru, koordinasi dengan staf untuk pengembangan dan perencanaan pendidikan yang dibutuhkan oleh staf keperawatan, koordinasi dengan staf untuk menentukan sumber daya yang diperlukan di unitnya, kerja sama dengan instruktur klinik perawatan dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi praktik siswa/mahasiswa, mempertanggungjawabkan kecukupan kebutuhan pengembangan staf, memelihara hubungan baik dengan masyarakat sambil menginterpretasikan filosofi, goal, kebijakan dan prosedur untuk semua klien dan masyarakat, menunjang dan ikut berpartisipasi dalam penelitian perawatan, dan melengkapi atau merevisi prosedur-prosedur yang ada di unitnya (Mua, 2011).

2.1.5. Prinsip Supervisi

  Dalam melaksanakan supervisi, supervisor harus memahami prinsip- prinsip supervisi agar supervisi dapat berjalan dengan baik. Prinsip-prinsip supervisi menurut Arikunto (2006), Arwani & Supriyatno (2006) dan Suyanto (2008) antara lain:

  1. Supervisi berdasarkan hubungan profesional bukan hubungan pribadi, supervisi akan senantiasa bersinggungan dengan hubungan interpersonal diantara orang yang terlibat. Pimpinan atau manajer keperawatan yang melakukan supervisi harus mampu menempatkan diri secara proporsional dan profesional, hubungan yang kearah pribadi biasanya akan berdampak kurang baik dalam pengambilan keputusan, misalnya budaya sungkan kepada orang yang lebih senior dan kadang-kadang pimpinan merasa sulit untuk menolak permintaan yang tidak sesuai standar dan peraturan organisasi.

  2. Kegiatan supervisi direncanakan dengan baik dan matang serta diketahui oleh staf yang akan disupervisi, hal ini diharapkan bahwa supervisi bukan sesuatu yang mendadak dilakukan sehingga staf yang akan disupervisi dapat merasakan bahwa supervisi bukan suatu tindakan yang dilakukan untuk mencari-cari kesalahan.

  3. Supervisi bersifat edukatif, supporting, preventif dan kooperatif, yang berarti mencegah timbulnya hal-hal yang negatif, memperbaiki kesalahan yang terjadi agar tidak terulang lagi dan berusaha melakukan mengatasi bersama ketika terjadi hal yang tidak diinginkan.

  4. Memberikan perasaan aman, tidak menumbuhkan rasa takut dan cemas pada staf atau pelaksana keperawatan.

  5. Membentuk hubungan kerjasama yang demokratis antara supervisor dengan staf.

6. Harus obyektif dan sanggup mengadakan penilaian diri sendiri/self evaluation.

  7. Harus progresif, inovatif, fleksibel dan dapat mengembangkan kelebihan masing-masing perawat yang disupervisi.

  8. Meningkatkan kinerja bawahan dalam upaya meningkatkan kualitas asuhan keperawatan.

  9. Supervisi hendaknya bersifat konstruktif dan kreatif yaitu supervisor dapat memberikan motivasi kepada pihak yang disupervisi sehingga bisa menumbuhkan dorongan atau motivasi untuk bekerja lebih giat dan mencapai hasil yang lebih baik.

  10. Kegiatan supervisi hendaknya dapat dilaksanakan dengan sederhana, tidak kaku, sewajarnya dan tidak muluk-muluk.

  11. Supervisi bukan suatu inspeksi atau pemeriksaan sehingga supervisor tidak tepat apabila bertindak mencari-cari kesalahan dari pihak yang disupervisi.

  12. Prinsip ilmiah supervisi keperawatan menurut Kementerian Kesehatan (2010) adalah kegiatan supervisi dilaksanakan atas dasar data obyektif yang diperoleh dalam pelaksanaan pelayanan keperawatan, menggunakan berbagai instrumen pengumpulan data (angket, observasi, pedoman wawancara, dan lain-lain) agar memperoleh hasil yang baik dan supervisi dilaksanakan secara sistematis, terencana dan terus-menerus.

2.1.6. Teknik Supervisi

  Teknik supervisi dibagi menjadi 2 bagian yaitu dengan teknik langsung dan tidak langsung:

  

1. Supervisi langsung yaitu supervisi yang dilakukan secara langsung pada kegiatan

yang sedang berlangsung, dapat dilakukan dengan observasi langsung maupun

melalui rekaman video dan pendampingan selama melakukan tindakan

keperawatan (Bittel, 1987). Menurut Gilles (2001), salah satu metode supervisi

yang dapat dilakukan adalah supervisor melihat secara langsung bagaimana

perawat pelaksana memberikan perawatan kepada satu atau beberapa orang

pasien. Jika pada saat supervisi ini, supervisor menemukan tindakan yang tidak

sesuai dengan standar, atau perawat pelaksana membutuhkan bantuan, maka

supervisor dapat secara langsung membantu atau memastikan bahwa apa yang

dilakukan oleh perawat pelaksana sudah benar dan sesuai dengan prosedur.

  

Metode lain yang dapat digunakan adalah supervisor dapat mendemonstrasikan

prosedur tindakan dan memberi saran metode yang dapat digunakan untuk

menyelesaikan masalah pasien.

  2. Supervisi tidak langsung, yaitu supervisi dilakukan melalui laporan tertulis seperti

laporan pasien dan catatan asuhan keperawatan pada setiap shift pagi, sore dan

malam. Presentasi kasus, bermain peran, maupun pemodelan. Gilles (2001),

supervisi dapat dilakukan secara tidak langsung dengan cara supervisor melihat

  

catatan yang dilakukan oleh perawat pelaksana yang berupa laporan pasien

selama interval tertentu, meminta informasi pada saat pertukaran shift.

  

Keakuratan data dapat dibandingkan antara isi laporan dengan informasi yang

terdokumentasi pada laporan pasien. Umpan balik dari supervisor dapat diberikan

secara lisan melalui ketua tim atau dengan tulisan pada hasil pekerjaan perawat

pelaksana.

  Supervisi dalam keperawatan memerlukan teknik khusus dan bersifat klinis. Menurut Swansburg (2000), supervisi dalam keperawatan mencakup hal- hal di bawah ini.

1. Proses supervisi dalam praktik keperawatan meliputi tiga elemen yaitu:

  Pertama, standar praktik keperawatan sebagai acuan. Kedua, fakta pelaksanaan praktik keperawatan sebagai pembanding dalam menetapkan pencapaian atau kesenjangan dan tindak lanjut. Ketiga, upaya mempertahankan kualitas maupun upaya memperbaiki.

  2. Area yang disupervisi Area supervisi dalam keperawatan mencakup pengetahuan dan pengertian tentang tugas yang dilaksanakan, keterampilan yang dilakukan yang disesuaikan dengan standar, sikap dan penghargaan terhadap pekerjaan misalnya kunjungan empati.

2.1.7. Model Supervisi

  Supratman & Sudaryanto (2008) mengemukakan model supervisi klinik keperawatan di Indonesia belum jelas seperti apa dan bagaimana implementasinya di rumah sakit. Belum diketahui model yang sesuai dan efektif yang dapat diterapkan. Model supervisi dapat diterapkan dalam kegiatan supervisi antara lain:

  1. Model development Model supervisi ini yaitu supervisor diberikan kewenangan untuk membimbing perawat dengan tiga cara, yaitu change agent, counselor, dan

  teacher . Kegiatan change agent bertujuan agar supervisor membimbing

  perawat menjadi agen perubahan; kegiatan tersebut nantinya ditransfer kepada pasien sehingga pasien memahami masalah kesehatan. Kegiatan counselor dilakukan supervisor dengan tujuan membina, membimbing, mengajarkan kepada perawat tentang hal-hal yang berkaitan dengan tugas (task) rutin perawat (contoh: supervisor membimbing perawat melakukan pengkajian fisik). Kegiatan teaching bertujuan mengenalkan dan mempraktikkan ‘nursing

  practice’ yang sesuai dengan tugas perawat (contoh: supervisor di ICU

  mengajarkan teknik pengambilan darah arteri, analisa gas darah dan sebagainya).

  2. Model Akademik Supervisi dilakukan dengan pendekatan membagi pengalaman supervisor kepada para perawat sehingga ada proses pengembangan kemampuan profesional yang berkelanjutan (CPD/ Continuing Profesional Development). Dilihat dari prosesnya, model ini merupakan proses formal dari perawat profesional untuk support dan learning sehingga pengetahuan dan kompetensi perawat dapat dipertanggungjawabkan sehingga pasien mendapat perlindungan dan merasa aman selama menjalani perawatan.

  3. Model experiential Dalam model ini disebutkan bahwa kegiatan supervisi klinik keperawatan meliputi training dan mentoring. Dalam kegiatan training, supervisor mengajarkan teknik-teknik keperawatan tertentu yang belum dipahami perawat pelaksana (contoh: pemasangan infus pada bayi, melakukan vena sectie, teknik advance life support dan sebagainya). Training biasanya dilakukan secara berjenjang kepada setiap perawat, misalnya training pada perawat pemula (beginner), perawat pemula-lanjut (advance). Dalam kegiatan

  

mentoring , supervisor lebih mirip seorang penasehat dimana ia bertugas

  memberikan nasehat berkaitan dengan masalah-masalah rutin sehari-hari (contoh: bagaimana mengurus ASKES pasien, mencari perawat pengganti yang tidak masuk, menengahi konflik, mengambil keputusan secara cepat, tepat dan etis dan sebagainya).

  4. Model 4S (Structure, Skills, Support dan Sustainability) .

  Dalam model ini, kegiatan structure (struktur) dilakukan oleh perawat RN’s dalam melakukan pengkajian dan asuhan pasien dimana perawat yang dibina sekitar 6-8 orang. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengembangkan pengalaman perawat dalam hal konsultasi, fasilitasi dan assisting. Kegiatan

  

Skills (keterampilan) dilakukan supervisor untuk meningkatkan ketrampilan

  praktis (contoh: menjahit luka, interpretasi elektrokardiografi (EKG), pasang CAPD dan sebagainya). Kegiatan support (dukungan) dilakukan dengan tujuan untuk tetap menjaga kesegaran praktik (will keep practice fresh), berbagi (sharing), kebutuhan-kebutuhan pelatihan tertentu yang bernilai kebaruan (contoh: pelatihan emergency/kegawatdaruratan pada keadaan bencana). Kegiatan sustainability (berbagi pengalaman) bertujuan untuk tetap mempertahankan pengalaman, ketrampilan, nilai-nilai yang telah dianut perawat. Kegiatan ini dilakukan secara kontinyu dengan cara mentransfer pengalaman supervisor kepada perawat pelaksana (contoh: supervisor membuat modul tentang berbagai ketrampilan teknik yang dibagikan kepada semua perawat pelaksana).

  Dalam penelitian ini, model supervisi klinik yang diteliti adalah model akademik. Model ini diperkenalkan oleh Farington di Royal College of Nursing UK tahun 1995. Farington menyebutkan bahwa supervisi klinik dilakukan untuk membagi pengalaman supervisor kepada para perawat sehingga ada proses pengembangan kemampuan professional yang berkelanjutan. Dilihat dari prosesnya, supervisi klinik merupakan proses formal dari perawat professional untuk support dan learning sehingga pengetahuan dan kompetensi perawat dapat dipertanggungjawabkan sehingga pasien mendapatkan perlindungan dan merasa aman selama menjalani perawatan. Dalam model akademik proses supervise klinik meliputi tiga kegiatan, yaitu a)educative, b) supportive, c)managerial.

  Kegiatan educative dilakukan dengan: 1) mengajarkan ketrampilan dan kemampuan (contoh: perawat diajarkan cara membaca hasil EKG); 2) membangun pemahaman tentang reaksi dan refleksi dari setiap intervensi keperawatan (contoh: supervisor mengajarkan perawat dan melibatkan pasien diabetes melitus dalam demonstrasi injeksi SC); 3) supervisor melatih perawat untuk mengeksplore strategi, teknik-teknik lain dalam bekerja (contoh: supervisor mengajarkan merawat luka dekubitus dengan obat-obat jenis baru yang lebih baik). Kegiatan supportive dilakukan dengan cara: melatih perawat ‘menggali’ emosi ketika bekerja (contoh: meredam konflik antar perawat, job enrichment agar mengurangi burn out selama bertugas). Kegiatan managerial dilakukan dengan: melibatkan perawat dalam peningkatan ‘standar’ (contoh: SOP yang sudah ada dikaji bersama kemudian diperbaiki hal-hal yang perlu) (Supratman & Sudaryanto, 2008).

2.1.8. Bentuk Supervisi Klinik Keperawatan

  Supervisi klinik adalah proses aktif dalam mengarahkan, membimbing dan memengaruhi kinerja perawat dalam melaksanakan tugasnya (American Nurses Association, 2005) merupakan proses dukungan formal dan pembelajaran profesional untuk mengembangkan pengetahuan dan kompetensi staf, bertanggung jawab terhadap pekerjaannya dan meningkatkan perlindungan keselamatan konsumen terhadap pelayanan kesehatan di lingkungan klinik yang kompleks (Royal College of Nursing, 2002).

  Supervisor klinik mempunyai area supervisi yang terbagi dalam beberapa bagian berdasarkan kelompok kedekatan ruangan. Supervisor yang ada bertugas untuk melihat proses asuhan keperawatan yang diberikan secara umum, namun belum

ada pengawasan terhadap kelengkapan dokumentasi asuhan keperawatan

(Linggardini, 2010).

  Supervisi klinik tidak diartikan sebagai pemeriksaan atau mencari kesalahan, tetapi lebih kepada pengawasan partisipatif, mendahulukan penghargaan terhadap pencapaian hasil positif dan memberikan jalan keluar terhadap hal yang masih belum dapat dilakukan. Perawat tidak sekedar merasa dinilai akan tetapi dibimbing untuk melakukan pekerjaannya secara benar (Keliat, 2006).

  Supervisi klinis keperawatan bertujuan untuk membantu perawat pelaksana dalam mengembangkan profesionalisme sehingga penampilan dan kinerjanya dalam pemberian asuhan keperawatan meningkat. Supervisi dilakukan secara sistematis melalui pengamatan pelayanan keperawatan yang diberikan oleh seorang perawat selanjutnya dibandingkan dengan standar keperawatan.

  Sistem supervisi sangat berhubungan dengan kepuasan kerja perawat. Perawat yang merasa mendapat dukungan dari supervisor dan disupervisi dengan baik dalam melakukan pekerjaannya lebih merasa puas terhadap pekerjaannya (Robert John Wood Foundation, 2007). Kepuasan kerja perawat lebih banyak tercapai dengan sistem supervisi yang menciptakan hubungan baik antara supervisor dengan supervisi (Brunero & Parbury, 2005). Proses supervisi yang baik akan meningkatkan kepuasan kerja dan kinerja.

2.1.9. Peran Supervisor

  Gilles (2000) membagi tugas supervisor menjadi dua bagian, yaitu supervisor sebagai pendamping atau pelatih dan supervisor sebagai kontrol. Supervisor sebagai

pendamping harus mengetahui tujuan dari kelompok sehingga dapat memberikan

arahan dan bimbingan kepada anggota timnya. Supervisor dapat menyusun strategi pendampingan sesuai dengan kondisi anggota tim yang bervariasi sehingga proses pendampingan dapat diterima dengan baik. Sedangkan supervisor sebagai kontrol artinya supervisor harus dapat memastikan semua pekerjaan yang ada dalam tanggungjawabnya sesuai dengan aturan. Kontrol kualitas yang efektif dalam

  

supervisi keperawatan dapat dilakukan jika supervisor melakukan penilaian secara

langsung selama perawat pelaksana memberikan asuhan keperawatan.

  Menurut Kron (1987) dalam Mua (2011), peran supervisor adalah sebagai perencana, pengarah, pelatih, dan penilai.

  1. Peran sebagai perencana. Seorang supervisor dituntut mampu membuat perencanaan sebelum melaksanakan supervisi. Dalam perencanaan seorang supervisor banyak membuat keputusan mendahulukan tugas dan pemberian arahan, untuk memperjelas tugasnya untuk siapa, kapan waktunya, bagaimana, mengapa, termasuk memberikan instruksi.

  2. Peran sebagai pengarah. Seorang supervisor harus mampu memberikan arahan yang baik saat supervisi. Semua pengarahan harus konsisten di bagiannya dan membantu perawat pelaksana dalam menampilkan tugas dengan aman dan efisien meliputi: pengarahan harus lengkap sesuai kebutuhannya, dapat dimengerti, pengarahan menunjukkan indikasi yang penting, bicara pelan dan jelas, pesannya masuk akal, hindari pengarahan dalam satu waktu, pastikan arahan dapat dimengerti, dan dapat ditindaklanjuti. Pengarahan diberikan untuk menjamin agar mutu asuhan keperawatan pasien berkualitas tinggi, maka supervisor harus mengarahkan staf pelaksana untuk melaksanakan tugasnya sesuai standar yang ditentukan rumah sakit. Pengarahan sangat penting karena secara langsung berhubungan dengan manusia, segala jenis kepentingan, dan kebutuhannya. Tanpa adanya pengarahan, karyawan cenderung melakukan pekerjaan menurut cara pandang mereka pribadi tentang tugas-tugas apa yang seharusnya dilakukan, bagaimana melakukan dan apa manfaatnya.

  3. Peran sebagai pelatih. Seorang supervisor dalam memberikan supervisi harus dapat berperan sebagai pelatih dalam pemberian asuhan keperawatan pasien.

  Dalam melakukan supervisi banyak menggunakan keterampilan pengajaran atau pelatihan untuk membantu pelaksana dalam menerima informasi. Prinsip dari pengajaran dan pelatihan harus menghasilkan perubahan perilaku, yang meliputi mental, emosional, aktivitas fisik, atau mengubah perilaku, gagasan, sikap dan cara mengerjakan sesuatu.

  4. Peran sebagai penilai. Seorang supervisor dalam melakukan supervisi dapat memberikan penilaian yang baik. Penilaian akan berarti dan dapat dikerjakan apabila tujuannya spesifik dan jelas, terdapat standar penampilan kerja dan observasinya akurat. Dalam melaksanakan supervisi penilaian hasil kerja perawat pelaksana saat melaksanakan asuhan keperawatan selama periode tertentu seperti selama masa pengkajian. Hal ini dilaksanakan secara terus menerus selama supervisi berlangsung dan tidak memerlukan tempat khusus.

2.1.10. Penerapan Supervisi di Ruang MPKP Jiwa

  Supervisi tidak diartikan sebagai pemeriksaan atau mencari kesalahan tetapi lebih diartikan sebagai pengawasan partisipatif, yaitu mendahulukan penghargaan terhadap pencapaian atau hal positif yang dilakukan dan memberikan jalan keluar untuk hal yang masih belum dapat dilakukan. Dengan demikian, bawahan tidak merasakan bahwa ia sedang dinilai. Namun, ia juga dibimbing untuk melakukan pekerjaannya dengan benar.

  Kegiatan supervisi di ruang Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) Jiwa, dilaksanakan secara optimal untuk menjamin kegiatan pelayanan di MPKP Jiwa sesuai dengan standar mutu profesional yang telah ditetapkan.

  Supervisi dilakukan oleh perawat yang memiliki kompetensi, baik dalam manajemen maupun asuhan keperawatan jiwa serta menguasai pilar-pilar profesionalisme yang diterapkan di MPKP Jiwa. Oleh karena itu, mekanisme pengawasan dilakukan berjenjang, yaitu sebagai berikut ;

  1. Kepala seksi keperawatan atau konsultan melakukan pengawasan terhadap kepala ruangan, ketua tim, dan perawat pelaksana.

  2. Kepala ruangan melakukan pengawasan terhadap ketua tim dan perawat pelaksana.

  3. Ketua tim melakukan pengawasan terhadap perawat pelaksana.

  Materi supervisi atau pengawasan disesuaikan dengan uraian tugas dari masing-masing staf perawat yang disupervisi. Materi supervisi untuk kepala ruangan berkaitan dengan kemampuan manajerial dan kemampuan asuhan keperawatan. Ketua tim disupervisi terkait dengan kemampuan pengelolaan di timnya dan kemampuan asuhan keperawatan. Di lain pihak, perawat pelaksana disupervisi terkait dengan kemampuan asuhan keperawatan yang dilaksanakan.

  Agar supervisi dapat menjadi alat pembinaan dan tidak menjadi momok bagi staf, perlu disusun jadwal supervisi dan standar kinerja masing-masing staf (Keliat, 2010).

Tabel 2.1. Contoh Jadwal supervisi Ruang MPKP Jiwa Yang

  No Waktu Supervisor Materi supervisi

disupervisi

  1 06-03-2006 Karu Katim I Memimpin pre conference 2 07-03-2006 Karu Katim II Memimpin pre conference 3 07-03-2006 Katim I Perawat Askep: Halusinasi 4 07-03-2006 Katim II Perawat Askep: perilaku kekerasan

2.1.11. Uraian Tugas Supervisor di Rumah Sakit Jiwa

  Uraian tugas kepala ruangan (supervisor) di rumah sakit jiwa adalah sebagai berikut :

  1. Mengatur pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan pasien.

  2. Mengatur penempatan tenaga keperawatan di ruangan

  3. Mengatur penggunaan dan pemeliharaan logistik keperawatan agar selalu siap pakai.

  4. Memberi pengarahan dan motivasi kepada ketua tim/group agar melaksanakan asuhan keperawatan sesuai standar, etis dan profesional.

  5. Melaksanakan program orientasi pada :

  a. Perawat (tenaga kerja) baru

  b. Siswa/mahasiswa peserta didik

  c. Pasien baru 6. Mendampingi dokter (supervision) selama kunjungan visite.

  7. Mengelompokkan pasien, mengatur penempatannya di ruangan menurut tingkat kegawatan untuk mempermudah asuhan keperawatan.

  8. Menciptakan, memelihara suasana kerja yang baik antara petugas, pasien/keluarga sehingga memberi ketenangan

  9. Mengadakan pertemuan berkala tenaga keperawatan minimal 2x/hari untuk membicarakan pelaksanaan keperawatan di ruangan.

  10. Memeriksa da n meneliti :

  a. Pengisian daftar permintaan makanan

  b. Pengisian sensus harian

  c. Pengisian buku register

  d. Pengisian rekam medik 11. Mengawasi dan menilai pelaksanaan asuhan keperawatan 5 (lima) tahapan yaitu : a. Pengkajian keperawatan

  b. Diagnosa keperawatan

  c. Perencanaan keperawatan

  d. Pelaksanaan keperawatan

  e. Evaluasi 12. Pertemuan secara rutin dengan pelaksanaan keperawatan 13. Membuat laporan pelaksanaan kegiatan di ruangan.

  (Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu, 2012).

2.2. Kepuasan Kerja

2.2.1. Pengertian Kepuasan Kerja

  Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1999) kepuasan adalah perasaan senang gembira, lega karena sudah terpenuhi hasrat hatinya. Tjiptono (2008) mengatakan bahwa kepuasan pelanggan dinyatakan sebagai ratio (perbandingan) kualitas jasa yang didapat atau dirasakan dengan keinginan, kebutuhan dan harapan. Menurut Wexley dan Yukl (1977), kepuasan kerja secara umum dapat diberi batasan sebagai perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Kemudian oleh Vroom (1964) dikatakan bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.

  Tiffin (1958) berpendapat bahwa kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap dari karyawan terhadap pekerjaannya sendiri, situasi kerja, kerjasama antar pimpinan dengan sesama karyawan (Syaiin, 2008).

  Seseorang akan merasa puas dalam bekerja apabila aspek-aspek pekerjaan dan aspek harapan dalam dirinya saling mendukung, dan sebaliknya jika aspek tersebut tidak mendukung, seseorang akan merasa tidak puas. Aspek-aspek yang terlibat dalam pekerjaan antara lain upah atau gaji yang diterima, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lainnya, penempatan kerja, jenis pekerjaan, struktur organisasi perusahaan, dan mutu pengawasan. Sedangkan perasaan yang berhubungan dengan diri sendiri antara lain umur, kondisi kesehatan, kemampuan dan pendidikan (Mangkunegara, 2009).

2.2.2. Teori Kepuasan Kerja

  Para ahli mengemukakan berbagai teori tentang kepuasan kerja sebagai berikut:

  1. Teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow Keseluruhan teori motivasi yang dikembangkan oleh Maslow (1943) didasarkan pada kenyataan bahwa manusia sangat tergantung pada kepentingan individu tersebut, dimana kebutuhan-kebutuhan manusia tersebut digolongkan ke dalam lima tingkatan (Potter & Perry, 2005).

  a. Kebutuhan Fisiologi Kebutuhan untuk memelihara kelangsungan hidup seperti sandang, pangan dan tempat berlindung, seks dan kesejahteraan individu. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan primer, karena kebutuhan ini telah ada dan terasa sejak manusia dilahirkan.

  b. Kebutuhan Akan Keamanan Kebutuhan akan keamanan bukan hanya segi keamanan fisik saja.

  Keamanan yang bersifat psikologi juga mutlak penting mendapatkan perhatian. Perlakuan yang manusiawi dan adil adalah salah satu contohnya.

  c. Kebutuhan Sosial Berbagai kebutuhan yang berkisar pada pengakuan akan keberatan seseorang dan penghargaan atas harkat dan martabatnya. Biasanya kebutuhan sosial tersebut tercermin dalam empat bentuk perasaan yaitu perasaan yang tercermin oleh orang lain, perasaan harus diterima, kebutuhan akan perasaan maju, dan kebutuhan akan perasaan diikutsertakan.

  d. Kebutuhan Harga Diri Salah satu ciri manusia adalah bahwa ia mempunyai harga diri. Karena itu semua orang memerluka n pengakuan atas keberadaan dan statusnya oleh orang lain. Keberadaan dan status seseorang biasanya tercermin pada berbagai lambang yang penggunaannya sering dipandang sebagai hak seseorang, pada umumnya dikatakan bahwa semakin tinggi kedudukan dan status seseorang dalam organisasi dan lingkungan masyarakat semakin banyak pula simbol yang digunakan untuk menunjukkan status yang diharapkan diterima dan diakui oleh orang lain, baik secara langsung oleh mereka dengan siapa berinteraksi maupun secara tidak langsung oleh berbagai pihak dengan siapa seseorang tidak melakukan interaksi.

  e. Aktualisasi Diri Dewasa ini semakin disadari berbagai kalangan yang semakin luas bahwa dalam diri setiap orang terpendam potensi kemampuan yang belum seluruhnya dikembangkan. Seseorang yang menginginkan potensinya dikembangkan dalam meniti karir merupakan suatu hal yang normal. Oleh karena itu, dengan pengembangan yang demikian seseorang dapat memberikan sumbangan yang lebih besar bagi kepentingan organisasi dan dengan demikian meraih kemajuan profesional yang pada gilirannya memungkinkan yang bersangkutan memuaskan berbagai jenis kebutuhannya.

  2. Teori Keseimbangan (Equity Theory) Teori keseimbangan merupakan salah satu dari model teori motivasi yang menjelaskan bagaimana seseorang membangun hubungan berdasarkan keadilan dan kesetaraan. Teori keseimbangan ini dikembangkan oleh Adam. Kunci utama dari teori ini adalah hubungan timbal balik antara individu dengan organisasi yaitu inputs dan outcomes (Kreitner & Kinicki, 2001). Teori ini mengatakan bahwa jika seseorang mendapatkan sesuatu sesuai dengan keinginannya dan sama dengan yang orang lain dapatkan, maka ia akan mencapai kepuasan, namun sebaliknya jika yang ia dapatkan tidak sesuai dengan yang diinginkan, dan lebih sedikit dari yang orang lain dapatkan, maka ia akan merasa tidak puas.

  3. Teori Dua Faktor dari Herzberg Teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg dengan menggunakan teori Abraham Maslow sebagai titik acuannya. Penelitian Herzberg diadakan dengan melakukan wawancara terhadap subyek insinyur dan akuntan. Herzberg menemukan bahwa kepuasan kerja lebih terkait dengan pencapaian terhadap sesuatu, pengakuan, karakteristik pekerjaan, tanggung jawab, dan pengembangan. Faktor-faktor ini lebih dikenal dengan faktor motivator karena hal ini lebih berfokus pada usaha dan produktivitas kerja. Sementara itu faktor yang lain disebut sebagai faktor lingkungan atau faktor hygiene, mencakup kebijakan, teknik supervisi, gaji, hubungan interpersonal, dan kondisi kerja (Kreitner & Kinicki, 2001).

  4. Teori Perbedaan (Discrepancy Theory) Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter (1961). Porter mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Locke (1969) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung kepada discrepancy antara should

  

be (expectation, needs atau values) dengan apa yang menurut perasaannya

  atau persepsinya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan. Dengan demikian, orang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi.

  Bila seseorang mendapatkan yang lebih besar lagi dari yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas lagi walaupun terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy yang positif. Sebaliknya makin jauh kenyataan yang dirasakan itu di bawah standar minimum sehingga menjadi negative

  

discrepancy , maka makin besar pula ketidakpuasan seseorang terhadap

pekerjaan (As’ad, 2008; Mangkunegara, 2009).

2.2.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepuasan Kerja

  Kreitner dan Kinicki (2001) mengemukakan terdapat lima faktor yang dapat memengaruhi timbulnya kepuasan kerja, yaitu sebagai berikut:

  1. Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan). Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.

  2. Discrepancies (perbedaan). Kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan apa yang diperoleh individu dari pekerjaan.

  3. Value attainment (pencapaian nilai). Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting.

  4. Equity (keadilan). Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja.

5. Dispositional/genetic components (komponen genetik). Kepuasan kerja

  sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Perbedaan individu mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan dan pekerjaan.

  Pendapat lain dikemukakan oleh Wood, Chonko, dan Hunt 1986; Purani & Sahadev, 2007 dalam Alam & Fakir, (2010), kepuasan kerja memiliki enam aspek utama yaitu

  1. Kepuasan dengan supervisor. Kepuasan kerja ditentukan oleh persepsi karyawan tentang seberapa banyak informasi dan bimbingan yang diberikan oleh atasan untuk melaksanakan pekerjaan. Hasil riset yang dilakukan oleh Sigit (2009) menemukan supervisi yang dilakukan secara konsisten akan berpeluang meningkatkan kepuasan kerja sebesar 67,40%.

2. Kepuasan dengan keragaman tugas. Kepuasan yang dirasakan dengan

  memiliki berbagai tugas yang menantang dan tidak rutinitas. Hal ini akan membantu karyawan untuk melihat bahwa ada banyak peluang yang tersedia untuk tumbuh dalam organisasi.

  3. Kepuasan dengan otonomi dalam pekerjaan. Kepuasan yang dirasakan dengan memiliki kebebasan dalam menyelesaikan pekerjaan dari awal sampai akhir.

  4. Kepuasan kompensasi. Kepuasan yang dirasakan berdasarkan imbalan yang diterima oleh karyawan. Temuan riset yang dilakukan oleh Curtis (2007), menunjukkan kecilnya korelasi antara gaji dan kepuasan kerja. Ia mengatakan bahwa motivasi untuk bekerja bukanlah semata-mata karena uang, namun yang paling penting adalah bagaimana rumah sakit memenuhi kebutuhan karyawan, memperlakukan karyawan dengan baik, menerapkan manajemen yang fleksibel dan komunikator, serta melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan (Barry & Huston, 1998).

  5. Kepuasan dengan rekan kerja. Kepuasan yang dirasakan karena adanya kehadiran dan dukungan dari rekan kerja. Penelitian terbaru mengidentifikasi bahwa rekan kerja yang menjadi tim kuat atau efektif akan membuat pekerjaan jadi menyenangkan (Luthans, 2006).

6. Kepuasan dengan manajemen dan kebijakan sumber daya manusia. Kepuasan

  yang berhubungan dengan kebijakan organisasi. Hasil riset ditemukan bahwa salah satu sumber utama ketidakpuasan kerja perawat adalah manajemen keperawatan yang tidak efektif (Kapella, 2002 dalam Papathanassoglou, 2007), rendahnya keterlibatan dalam pengambilan keputusan, hubungan yang buruk dengan manajemen, kurangnya pengakuan, dan kurangnya fleksibilitas dalam penjadwalan (Albaugh, 2003 dalam Alam & Fakir, 2010).

2.3. Perawat

2.3.1. Pengertian

  Perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan, berwenang di negara bersangkutan untuk memberikan pelayanan dan bertanggung jawab dalam peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan terhadap pasien (Praptiningsih, 2006).

  Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan formal dalam bidang keperawatan yang program pendidikannya telah disyahkan oleh pemerintah, sedangkan perawat profesional adalah perawat yang mengikuti pendidikan keperawatan sekurang-kurangnya Diploma III keperawatan. Keperawatan sebagai profesi terdiri atas komponen disiplin dan praktik (Gartinah dkk, 1999).

  Karakteristik keperawatan sebagai profesi menurut Gillies (2000) yaitu (a)memiliki ilmu pengetahuan tentang tubuh manusia yang sistemis dan khusus, (b) mengembangkan ilmu pengetahuan tentang tubuh manusia secara konstan melalui penelitian, (c) melaksanakan pendidikan melalui pendidikan tinggi, (d)menerapkan ilmu pengetahuan tentang tubuh manusia dalam pelayanan, (e)berfungsi secara otonomi dalam merumuskan kebijakan dan pengendalian praktek profesional, (f) memberikan pelayanan untuk kesejahteraan masyarakat di atas kepentingan pribadi, berpegang teguh pada tradisi leluhur dan etika profesi serta (g) memberikan kesempatan untuk pertumbuhan profesional dan mendokumentasikan proses perawatan

  Pelayanan keperawatan adalah bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan pada individu, keluarga dan masyarakat baik yang sakit maupun sehat yang mencakup siklus hidup manusia (Hidayat, 2004).

2.3.2. Fungsi dan Peran Perawat

  Fungsi perawat menurut Aziz (2004), merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan perannya. Fungsi tersebut dapat berubah sesuai dengan keadaan yang ada. Dalam menjalankan perannya, perawat akan melaksanakan beberapa fungsi diantaranya:

  1. Fungsi Independen yaitu: mandiri dan tidak tergantung pada orang lain dimana perawat dalam melaksanakannya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti: pemahaman kebutuhan fisiologis (pemenuhan kebutuhan oksigen, cairan dan elektrolit, nutrisi, aktivitas dan lain-lain), pemenuhan kebutuhan keamanan dan kenyamanan, pemenuhan kebutuhan cinta, harga diri dan aktualisasi diri.

  2. Fungsi Dependen yaitu: dalam melaksanakan kegiatan atas pesan dan instruksi dari perawat lain ataupun dari dokter. Sehingga sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasanya dilakukan oleh perawat kepada perawat umum atau perawat yang fungsinya sebagai perawat pelaksana, juga dokter melimpahkan ke perawat.

  3. Fungsi Interdependen yaitu: dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan diantara tim satu dengan lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita yang mempunyai penyakit kompleks.

  Menurut Nursalam (2011), peran perawat harus berkembang seiring dengan perkembangan iptek dan tuntutan kebutuhan masyarakat. Sehingga perawat dituntut mampu menjawab dan mengantisipasi terhadap dampak dari perubahan. Sebagai perawat profesional, maka peran yang diemban adalah CARE yang meliputi: C = Communication

  Ciri khas perawat profesional di masa depan dalam memberikan pelayanan keperawatan harus dapat berkomunikasi secara lengkap, adekuat, cepat.

  Artinya setiap melakukan komunikasi (lisan maupun tulis) dengan teman sejawat dan tenaga kesehatan lainnya harus memenuhi ketiga unsur di atas dengan didukung suatu fakta yang memadai. Profil perawat masa depan yang terpenting adalah mampu berbicara dan menulis bahasa asing, minimal bahasa Inggris. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya persaingan/pasar bebas pada abad ke-21 ini.

  A = Activity Prinsip melakukan aktivitas/pemberian asuhan keperawatan harus dapat bekerja sama dengan teman sejawat dan tenaga kesehatan lainnya, khususnya tim medis sebagai mitra kerja dalam memberikan asuhan kepada pasien. Aktivitas tersebut harus ditunjang dengan menunjukkan kesungguhan dan sikap empati dan bertanggung jawab terhadap setiap tugas yang diemban. Hal ini diperlukan pada saat ini dan masa yang akan datang dalam upaya mewujudkan jati diri perawat dan menghilangkan masa lalu keperawatan yang hanya bekerja seperti robot dan berada pada posisi inferior dari tim kesehatan lainnya. Yang penting diantisipasi di masa depan adalah ketika memberikan asuhan harus berdasarkan ilmu yang dapat/tepat diaplikasikan di institusi tempatnya bekerja. Artinya, ilmu keperawatan yang ada, harus diidentifikasi yang notabene dibuat di luar negeri dengan kondisi budaya, agama yang berbeda, untuk dapat diterapkan di Indonesia.

  R = Review Prinsip utama dalam melaksanakan peran tersebut adalah moral dan etik keperawatan. Dalam setiap memberikan asuhan keperawatan kepada klien, perawat harus selalu berpedoman pada nilai-nilai etik keperawatan dan standar keperawatan yang ada serta ilmu keperawatan. Hal ini penting guna menghindarkan kesalahan-kesalahan yang dapat berakibat fatal terhadap konsumen dan eksistensi profesi keperawatan yang sedang mencari identitas diri. Dalam melaksanakan peran profesionalnya, perawat harus menerapkan prinsip-prinsip etik yang meliputi: (1) Justice: keadilan, 2) Autonomy: asas menghormati autonomi, 3) beneficience (asas manfaat) dan non-maleficiency, 4) Veracity: asas kejujuran, 5) confidentiality; asas kerahasiaan. Untuk menghindari kesalahan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien, maka perlu diterapkan tindakan keperawatan dengan prinsip “CWIPAT”–Check the order, Wash your

  , Identity the clients, Provide safety and privacy, Assess the problem;

  hands and Teach or Tell the clients (Nursalam, 2001).

  E = Education Dalam upaya meningkatkan kualitas layanan keperawatan di masa depan, perawat harus mempunyai komitmen yang tinggi terhadap profesi dengan secara kontinu menambah ilmu melalui pendidikan formal/nonformal, sampai pada suatu keahlian tertentu.

2.3.3. Peran Perawat pada Keperawatan Jiwa

Dokumen yang terkait

Hubungan Fungsi Supervisi Kepala Ruangan dengan Produktivitas Kerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Pirngadi Medan

10 149 126

Hubungan Supervisi Klinis dengan Kepuasan Kerja Perawat Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Propinsi Sumatera Utara

4 54 130

Hubungan Kompetensi Supervisi dengan Gaya Manajemen Konflik Perawat Supervisor Rumah Sakit Pemerintah di Banda Aceh

4 75 137

Gambaran Kepuasan Kerja Pada Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Medan Tahun 2005

0 31 64

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Supervisi - Hubungan Supervisi Kepala Ruangan dengan Pelaksanaan Prinsip “Enam Benar” Pemberian Obat yang Dilakukan Perawat di RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 0 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Motivasi Kerja 2.1.1. Pengertian Motivasi - Hubungan Motivasi Perawat dan Supervisi Kepala Ruangan Terhadap Kinerja Perawat di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam.

0 1 51

Hubungan Fungsi Supervisi Kepala Ruangan dengan Produktivitas Kerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Pirngadi Medan

0 2 7

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1.Supervisi 2.1.1. Pengertian Supervisi - Hubungan Fungsi Supervisi Kepala Ruangan dengan Produktivitas Kerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Pirngadi Medan

0 1 34

Hubungan Fungsi Supervisi Kepala Ruangan dengan Produktivitas Kerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Pirngadi Medan

0 0 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Peran - Peran Perawat Dalam Meningkatkan Kemampuan Bersosialisasi Pada Penderita Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 13