BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian - Pendampingan Orangtua Dengan Aktivitas Anak Menonton Televisi (Studi Kasus pada Keluraga di Perumahan Meranti Permai, Kecamatan Siantar Utara, Kota Pematangsiantar)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

  Penelitian merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Cara untuk mencari kebenaran dilakukan para peneliti dan praktisi melalui model yang biasa dikenal dengan prespektif. Becker mendefenisikan perspektif sebagai seperangkat gagasan yang melukiskan karakter situasi yang memungkinkan pengambilan tindakan, suatu spesifikasi jeni-jenis tindakan yang secara layak danmasuk akal dilakukan orang, standar nilai yang memungkinkan orang dapat dinilai (Mulyana,2005:5)

  Menurut Mulyana (Kriyantono, 2006:48), jenis perspektif atau pendekatan yang disampaikan oleh teoritis bergantung pada bagaimana teoritis itu memandang manusia yang menjadi objek kajian mereka. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus dengan paradigma konstruktivisme. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistimologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengalaman manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material dimana pengalaman manusia tersebut terdiri dari interpretasi makna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Dengan kata lain dunia ini terbentuk secara terorganisasi dan bermakna ( Ardianto dan Bambang, 2007: 152).

  Robyn Penmann merangkum kaitan konstruktivisme dalam hubungannya dengan ilmu komunikasi:

  1. Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilihan bebas walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dan telah dilakukan.

2. Pengetahuan adalah produk sosial dimana pengetahuan diturunkan dari interaksi dalam kelompok sosial.

  3. Pengetahuan bersifat kontekstual, maksudnya pengetahuan adalah produk yang dipengaruhi ruang waktu dan dapat berubah sesuai perubahan waktu.

  4. Teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara pandang yang mempengaruhi cara pandang manusia terhadap realitas. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan beraksi menurut kategori konseptual dan pikiran. Realitas tidak menggambarkan diri individu tetapi disaring lagi melaui cara pandangorang terhadap realitas tersebut (Ardianto dan Bambang, 2007:158).

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Komunikasi

2.2.1.1 Defenisi dan Prinsip Komunikasi Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya.

  Manusia ingin mengetahui apa yang terjadi dengan lingkungan sekitarnya bahkan yang terjadi pada dirinya. Rasa ingin tahu inilah yang membuat manusia bekomunikasi dengan yang lain. Komunikasi adalah hal yang fundamental di dalam kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan rasa ingin tahu tersebut.

  Menurut Tubbs dan Moss, komunikasi adalah proses penciptaan makna antara dua orang atau lebih. Sedangkan menurut Gudykunst dan Kim mendefenisikan komunikasi (antarbudaya) sebagai proses transaksional, simbolik yang melibatkan pemberian makna antara orang-orang dari budaya yang berbeda (Deddy Mulyana, 2005:59).

  Berdasarkan model Laswell, komunikator sangat powerfull, mampu mempengaruhi komunikan, dan menganggap bahwa pesan pasti memiliki efek di dalam diri komunikannya. Unsur-unsur utama komunikasi adalah komunikator (who), pesan (says what), saluran komunikasi (in which channel), komunikan (to whom), dan efek komunikasi (with what

  effect) (Dani Vardiansyah, 2004:115).

  Kesamaan dalam berkomunikasi dapat diibaratkan dua buah lingkaran yang bertindihan satu sama lain. Daerah yang bertindihan itu disebut kerangka pengalaman (field of

  experience). Dari pernyataan tersebut dapat ditarik empat prinsip dasar komunikasi, yaitu :

1. Komunikasi hanya bisa terjadi bila terdapat pertukaran pengalaman yang sama antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi (sharing similar experiences).

  2. Jika daerah tumpang tindih menyebar menutupi lingkaran A dan B, menuju terbentuknya satu lingkaran yang sama, makin besar kemungkinannya tercipta suatu proses komunikasi yang mengena (efektif).

  3. Tetapi kalau daerah tumpang tindih ini makin mengecil dan menjauhi sentuhan kedua lingkaran, atau cenderung mengisolasi lingkaran masing-masing, komunikasi yang terjadi sangat terbatas. Bahkan besar kemungkinannya gagal dalam menciptakan suatu proses komunikasi yang efektif.

  4. Kedua lingkaran ini tidak akan bisa saling menutup secara penuh karena dalam konteks komunikasi antar-manusia tidak pernah ada manusia di atas dunia ini yang memiliki perilaku , karakter, dan sifat-sifat yang persis sama sekalipun kedua manusia itu dilahirkan secara kembar (Cangara, 2007 :21-22).

  Menurut Berlo dalam bukunya The Process Communication (1960), komunikasi sebagai suatu proses adalah suatu kegiatan yang berlangsung secara dinamis. Sesuatu yang didefenisikan sebagai proses, berarti unsur-unsur yang ada di dalamnya bergerak aktif, dinamis, dan tidak statis. Dilihat dari konteks komunikasi antarpribadi, proses menunjukkan adanya kegiatan pengiriman pesan dari seseorang kepada orang lain. Sementara itu, dari konteks komunikasi massa, proses dimulai dari kegiatan pengumpulan, pengolahan dan penyebaran berita dari penerbit atau stasiun televisi kepada khalayaknya (Cangara, 2007: 51- 52).

2.2.1.2 Fungsi dan Tujuan Komunikasi

  Adapun fungsi komunikasi adalah: 1. Menyampaikan informasi (to inform).

  2. Mendidik (to educate).

  3. Menghibur (to entertain).

  4. Mempengaruhi (to influence).

  Adapun tujuan komunikasi adalah : 1. Perubahan sikap (attitude change).

  2. Perubahan pendapat (opinion change).

  3. Perubahan perilaku (behavior change).

  4. Perubahan sosial (social change) (Effendy, 2002: 8).

2.2.1.3 Jenis-Jenis Komunikasi Banyak pakar komunikasi mengklasifikasikan komunikasi berdasarkan konteksnya.

  Sebagaimana juga defenisi komunikasi, konteks komunikasi ini juga diuraikan secara berlainan. Indikator paling umum untuk mengklasifikasikan komunikasi berdasarkan konteks atau tingkatnya adalah jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi. Klasifikasi komunikasi berdasarkan tingkat jumlah peserta dapat dikategorikan menjadi enam (Mulyana,2005:80): a.

  Komunikasi Intrapribadi Komunikasi intrapribadi adalah komunikasi dengan diri sendiri. Contohnya berpikir.

  Komunikasi ini merupakan landasan komunikasi antarpribadi dan komunikasi dalam konteks lainnya. Sebelum kita berkomunikasi dengan orang lain, kita biasanya berkomunikasi dengan diri sendiri guna mempersepsikan dan memastikan makna pesan oranglain. Keberhasilan komunikasi kita dengan orang lain bergantung pada keefektifan komunikasi kita dengan diri sendiri.

  b.

  Komunikasi Antarpribadi Komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal. Bentuk khusus dari komunikasi ini adalah komunikasi diadik yang biasanya terjadi hanya melibatkan dua orang yang berkomunikasi dalam jarak dekat, dimana pesan yang dikirim maupun diterima secara simultan dan spontan baik secara verbal maupun nonverbal. Komunikasi ini sangat efektif untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain. Sebagai komunikasi yang paling lengkap dan sempurna, komunikasi antarpribadi berperan besar hingga kapanpun selama manusia masih memiliki emosi.

  c.

  Komunikasi Kelompok Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lain, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Dengan demikian komunikasi kelompok biasanya merujuk pada komunikasi yang dilakukan oleh kelompok kecil, jadi bersifat tatap muka. d.

  Komunikasi Publik Komunikasi publik adalah komunikasi antara seorang pembicara dengan sejumlah besar orang (khalayak), yang tidak bisa dikenali satu persatu. Komunikasi ini biasanya berlangsung lebih formal dan lebih sulit dibandingkan dengan komunikasi antarpribadi dan kelompok, dikarenakan bentuk komunikasi publik ini menuntut persiapan pesan yang cermat, keberanian dan kemampuan menghadapi sejumlah orang atau khalayak.

  e.

  Komunikasi Organisasi Komunikasi organisasi adalah komunikasi yang terjadi dalam organisasi, dapat bersifat formal maupun informal, dan berlangsung dalam ruang lingkup lebih besar daripada komunikasi kelompok. Komunikasi formal adalah komunikasi yang berdasarkan struktur organisasi, yakni komunikasi kebawah, komunikasi keatas, dan komunikasi setara atau horisontal. Komunikasi informal adalah komunikasi yang berdasarkan struktur organiasi, seperti komunikasi antar rekan..

  f.

  Komunikasi Massa Komunikasi massa adalah proses komunikasi yang dilakukan melalui media massa, baik media cetak maupun elektronik, dengan tujuan masyarakat luas yang anonim, heterogen yang tersebar diberbagai tempat.

2.2.2 Komunikasi Antarpribadi

2.2.2.1 Defenisi Komunikasi Antarpribadi

  Menurut Vardiansyah (2004:30-31), Komunikasi dapat terjadi dalam konteks satu komunikator dengan satu komunikan (komunikasi diadik: dua orang) atau satu komunikator dengan dua komunikan (komunikasi triadik: tiga orang).

  Komunikasi antarpribadi dapat terjadi secara tatap muka maupun melalui media komunikasi antarpribadi, seperti telepon. Dalam komunikasi antarpribadi, komunikator dan komunikan saling mengenal satu dan lainnya, pesan yang dikirim dan diterima secara simultan dan spontan, tidak berstruktur, serta umpan balik yang terjadi dengan segera. Efek komunikasi antarpribadi yang paling kuat daripada bentuk komunikasi lainnya. Komunikasi antarpribadi dapat mengubah tingkah laku dari komunikannya dengan menggunakan pesan verbal maupun nonverbal.

  Menurut Joseph A. Devito dalam bukunya “The Interpersonal Communication Book” mendefenisikan komunikasi antarpribadi sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan- pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika (Fajar, 2009: 78).

2.2.2.2 Tujuan Komunikasi Antarpribadi

  Komunikasi antarpribadi memiliki enam tujuan, yaitu: 1.

  Mengenal diri sendiri dan orang lain Komunikasi ini memberi kita kesempatan untuk memperbincangkan mengenai diri sendiri. Melalui komunikasi ini kita dapat belajar mengenai bagaimana dan sejauh mana kita harus membuka diri pada orang lain. Selain itu, kita juga dapat mengetahui nilai, sikap dan perilaku orang lain.

  2. Mengetahui dunia luar Melalui komunikasi antarpribadi kita dapat memahami lingkungan kita dengan baik yaitu mengenai objek dan kejadian-kejadian orang lain. Banyak informasi yang kita miliki berasal dari interaksi antarpribadi.

  3. Menciptakan dan memelihara hubungan menjadi bermakna Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial sehingga dalam kehidupan sehari-hari orang ingin menciptakan dan memelihara hubungan dekat dengan orang lain.

  Manusia menggunakan banyak waktu untuk berkomunikasi antarpribadi yang bertujuan agar tercipta dan terpeliharanya hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan ini membantu mengurangi kesepian dan ketegangan serta membuat kita merasa lebih postif tentang diri kita sendiri.

  4. Mengubah sikap dan perilaku Manusia banyak menggunakan waktu untuk mempersuasi orang lain melalui komunikasi antarpribadi untuk mengubah sikap dan perilaku orang lain.

  5. Bermain dan mencari hiburan Bermain gunanya untuk memperoleh kesenangan dan perlu dilakukan untuk memberi suasana lepas.

  6. Membantu Psikolog, ahli terapi dan psikiater adalah contoh profesi yang mempunyai tugas menolong orang lain dengan menggunakan komunikasi antarpribadi.

  Berdasarkan tujuan komunikasi tersebut, dapat dilihat dua perspektif, yaitu: 1.

  Tujuan-tujuan ini dapat dilihat sebagai faktor motivasi atau sebagai alasan mengapa manusia melakukan komunikasi antarpribadi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia melakukan komunikasi antarpribadi untuk mengubah sikap dan perilaku orang lain.

  2. Tujuan-tujuan ini dapat dipandang sebagai hasil efek umum dari komunikasi antarpribadi. Sebagai hasil dari komunikasi antarpribadi, kita dapat mengenal diri sendiri dan orang lain, membuat hubungan lebih bermakna serta memperoleh pengetahuan tentang dunia luar ( Marhaeni fajar, 2009 : 78-80).

  Komunikasi antarpribadi sebagai suatu bentuk perilaku, dapat berubah dan sangat tidak efektif. Pada suatu saat komunikasi bisa lebih baik dan pada saat lain bisa menjadi sangat buruk. Ini dikarenakan setiap tindakan komunikasi adalah berbeda dan mempunyai keunikan sendiri sehingga prinsip-prinsip yang dibicarakan harus ditetapkan secara fleksibel.

  Menurut Yosep A. Devito, karakteristik-karakteristik efektvitas komunikasi antarpribadi dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu:

1. Humanitis, meliputi sifat-sifat: a.

  Keterbukaan Sifat keterbukaan menunjuk pada 2 aspek mengenai komunikasi antarpribadi. Aspek pertama adalah bahwa kita harus terbuka pada orang- orang yang berinteraksi dengan kita. Aspek kedua adalah kemauan kita untuk memberi tanggapan terhadap orang lain dengan jujur dan terus terang tentang segala sesuatu yang dikatakan.

  b.

  Perilaku Suportif Jack R, Gibb menyebutkan tiga perilaku yang menimbulkan perilaku suportif, yaitu: i.

  Deskriptif, suasana deskriptif akan menimbulkan sikap suportif dibanding dengan suasana yang evaluatif. ii.

  Spontanitas, orang yang spontan dalam berkomunikasi adalah orang yang terbuka dan terus terang tentang apa yang dipikirkan. iii.

  Provosionalisme, orang yang memiliki sifat terbuka, mau mendengar pandangan berbeda dan bersedia menerima pendapat orang lain, bila memang pendapatnya keliru.

  c.

  Perilaku Positif Komunikasi antarpribadi akan berkembang bila ada pandangan positif terhadap orang lain dan berbagai situasi komunikasi.

  d.

  Empatis Empati adalah kemauan seseorang untuk menempatkan dirinya pada peranan atau posisi orang lain.

  e.

  Kesamaan Hal ini mencakup dua hal, pertama kesamaan bidang pengalaman di antara para pelaku komunikasi. Yang kedua adalah kesamaan dalam percakapan di antara pelaku komunikasi memberi pengertian bahwa dalam komunikasi antarpribadi harus ada kesamaan dalam hal mengirim dan menerima pesan.

2. Pragmatis, meliputi sifat-sifat: a.

  Bersikap yakin Komunikasi antarpribadi akan lebih efektif bila seseorang mempunyai keyakinan diri. Orang yang mempunyai sifat ini akan bersikap luwes dan tenang, baik secara verbal maupun non-verbal.

  b.

  Kebersamaan Seseorang bisa meningkatkan efektivitas komunikasi antarpribadi dengan orang lain bila ia membawa ras kebersamaan. Orang yang memiliki sifat ini akan memperhatikan dan merasakan kepentingan orang lain.

  c.

  Manajemen interaksi Seseorang yang menginginkan komunikasi yang baik dan efektif akan mengontrol dan menjaga interaksi agar dapat memuaskan kedua belah pihak.

  Hal ini ditunjukkan dengan mengatur isi, kelancaran dan arah pembicaraan secara konsisten. d.

  Perilaku eksperesif Perilaku ini memperlihatkan keterlibatan seseorang secara sungguh-sungguh dalam berinteraksi dengan orang lain.

  e.

  Orientasi pada orang lain Untuk mencapai efektivtas komunikasi, seseorang harus memilki sifat yang berorientasi pada orang lain (Marhaeini fajar, 2009 : 84-86).

2.2.3 Media Literasi

  Dalam kumpulan makalah literasi media di Indonesia (2011: 32-33), literasi media menurut Aufderheide merupakan kemampuan untuk membuat, mengakses, menganalisa, dan melakukan evaluasi terhadap media dalam semua bentuknya. Hal ini selaras dengan Buckingham (2008) bahwa literasi media tidak lagi hanya mengandung makna sebagai cara untuk memahami, memaknai, dan mengkritisi media, namun juga kemampuan untuk berkreasi dan berekspresi sosial dan kemampuan teknis lainnya. Aufderheide menambahkan bahwa pendidikan media juga seharusnya membantu remaja untuk belajar mengenali kenyataan yang dibentuk oleh media dan meningkatkan pengetahuan remaja terhadap diri dan lingkungannya.

  Pada penelitian Studi komparatif pengetahuan dan keterampilan media literasi oleh Mazdalifah dalam kumpulan makalah literasi media di Indonesia (2011:117-118) yang memaparkan mengenai pengetahuan media literasi dan keterampilan media literasi menyebutkan bahwa pondasi pengetahuan media literasi menurut potter (2005) adalah seperangkat struktur pengetahuan yang dimiliki seseorang tentang isi media, media industri, pengaruh media, informasi dunia nyata dan diri sendiri. Namun potter mneyoroti tiga aspek pengetahuan yang amat mendasar dalam media literasi, yaitu: pengetahuan tentang isi media, media industri dan pengaruh media.

  Pengetahuan tentang isi media berkaitan dengan pengetahuan orang tentang banyak informasi yang dimiliki tentang acara TV. Pengetahuan tersebut meliputi acara apa saja yang ada di televisi seperti: acara hiburan, berita dan iklan. Informasi ini membantu orang untuk mengakses pesan media dan untuk alasan ini, jenis informasi sangat berguna. Pengetahuan tentang industri media berkaitan dengan pengetahuan kepemilikan televisi, bagaimana mereka menjalankan bisnis televisi, bagaimana mereka memasarkan pesan-pesan melalui televisi, dan bagaimana mereka berinteraksi. Pengetahuan tentang pengaruh media berkaitan dengan pengetahuan yang luas mengenai pengaruh yang dimilki oleh media, dalam hal ini khususnya tentang media televisi. Pengaruh tersebut meliputi pengaruh pada pengetahuan sesorang, sikap, emosi, psikologi, dan perilaku.

  Lalu selanjutnya Mazdalifah mengartikan bahwa keterampilan media literasi adalah kecakapan keluarga (orang tua) dalam mendampingi anak, menjelaskan kepada anak, memilih tayangan yang baik, dan menjadwalkan kegiatan menonton televisi yang baik bagi anak. Media literasi harus dimulai dari orangtua lalu berlanjut kepada anak-anaknya, tetangganya, dan akhirnya pada masyarakat sekitarnya. Hal ini menjelaskan bahwa orangtua harus benar-benar memahami tentang berbagai media yang dikonsumsi anak. Orangtua harus tahu acara apa yang tonton anak, apa muatannya (sehatkah untuk anak, sesuai dengan umur anak?), dan apa kemungkinan dampak yang timbul (apakah positif atau negatif). Orangtua juga seharusnya mengatur pola jam menonton anak. Berapa lama anak menonton? (seharusnya tidak lebih dari dua jam, sesuai saran ahli), acara apa yang boleh ditonton, dan kapan saja anak boleh menonton. Bila orangtua melek media menerapkan ini pada anak-anak, maka anak pun akan melek media. Mereka akan memiliki daya kritis terhadap isi tayangan televisi, tidak gampang terpengaruh TV, dan ada proses seleksi terhadap acara TV.

  Dalam kumpulan makalah literasi media di Indonesia (2011: 234-236), Potter (2009) mengatakan bahwa tujuan kegiatan literasi media adalah membangun perspektif mengenai media. Perspektif mengenai media itu dibangun oleh tiga pilar, yaitu 1.

  Personal Locus : adalah energi, tujuan yang mengarahkan proses pencarian informasi. Semakin memiliki literasi media, semakin orang tersebut akan lebih terkonsentrasi untuk memproses dan mengontrol informasi, serta menekan efek media.

  2. Knowledge structure: Elemen ini terkait dengan aspek informasi dan pengetahuan yang dimilki, yang dapat menyediakan kemampuan dalam memahami dan menganalisis media serta melihat konteks pesan media.

  3. Skills: adalah keahlian untuk menganalisis, mengevaluasi, mengkategorikan, mensintesakan, mengkritisi isi media. Keahlian ini jika dilatih maka akan semakin kuat kemampuannya. Materi dan informasi mengenai media menjadi dasar bagi pengembangan kemampuan ini.

  Dari kajian Tyner (2010), disebutkan bahwa literasi seringkali dikaitkan dengan agenda politik, budaya dan agenda pendidikan. Artinya sebagai suatu agenda publik, kegiatan literasi media idealnya haruslah bersifat terintegrasi dalam berbagai agenda kebijakan dan kegiatnan lainnya diluar kebijakan komunikasi, seperti kebijakan politik, budaya dan pendidikan. Tyner mengatakan bahwa terdapat beberapa pola kegiatan literasi media yang dijalankan di berbagai negara, yaitu:

  1. Literasi media yang dijalankan melalui jalur pendidkan formal. Di level universitas, dibawah program studi komunikasi atau jurnalisme, pendidkan literasi media yang dikembangkan bertujuan untuk membangun critical thinking siswa dalam menganalisa media, memaknai, dan memproduksi media

  2. Literasi media yang dijalankan sebagai bagian dari program media berbasis komunitas.

  3. Literasi media yang dijalankan sebagai bagian daria kegiatan di lingkungan sekolah. Kegiatan literasi media, baik secara formal maupun non formal, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan daya kritis masyarakat atas media. Tujuan akhirnya adalah menjadikan perubahan dalam masyarakat (Pemakalah konferensi nasional literasi media, 2011: 236) .

2.2.4 Teori Kultivasi

  Menurut McQuail, teori ini menyatakan bahwa televisi telah mendapat tempat yang penting didalam kehidupan sehari-hari, sehingga mendominasi lingkungan simbolik, menggantikan pesan (yang terdistorsi) mengenai realitas untuk pengalaman pribadi dan alat lain untuk mengetahui mengenai dunia. Hipotesis utama dari penelitian ini adalah bahwa menonton televisi secara berangsur-angsur mengarahkan pada adopsi keyakinan mengenai sifat dasar dari dunia sosial yang mengikuti pandangan akan realitas yang memiliki stereotip, terdistorsi, dan sangat selektif sebagaimana yang digambarkan dengan cara yang sistematis di fiksi dan berita televisi. Teori ini melibatkan pembelajaran dan pembentukan pandangan akan realitas sosial tergantung pada keadaan dan pengalaman pribadi.

  Dalam teori ini, televisi menyediakan lingkungan yang konsisten dan simbolisme yang hampir total bagi banyak orang yang memasok norma-norma untuk tindakan dan keyakinan mengenai serangkainan situasi pada kehidupan nyata. Menurut Mcquail, penelitian mengenai teori ini menghasilkan dua poin utama yaitu: satu diarahkan untuk menguji asumsi mengenai konsistensi (dan distorsi) dari 'sistem pesan' di televisi, dan satunya lagi dirancang untuk menguji, melalui analisis survei, beragam keyakinan publik mengenai realitas sosial, terutama yang dapat diuji dengan indikator empiris (McQuail,2007:256-257).

  Temuan penelitian awal dari Gerbner dan Gross (1976) mengenai kultivasi menyebutkan bahwa semakin banyak televisi yang ditonton orang, semakin mungkin mereka akan melebih-lebihkan insiden kekerasan di dunia nyata dan resiko pribadi yang mereka hadapi. Dalam pembahasan yang mendalam akan sejumlah studi mengenai pembentukan realitas oleh televisi, Hawkins dan Pingree (1983) menemukan banyak indikasi yang tersebar mengenai hubungan yang telah diperkirakan, tetapi tidak ada bukti kuat yang menyimpulkan arah dari hubungan antara menonton televisi dengan gagasan mengenai realitas sosial. Mereka mengatakan bahwa televisi dapat mengajari realitas sosial dan bahwa hubungan antara menonton dan realitas sosial dapat timbal-balik: menonton televisi dapat menyebabkan realitas sosial dibentuk dalam cara tertentu, tetapi konstruksi realitas ini juga membentuk perilaku menonton (McQuail, 2007: 257-258).

2.2.5 Sikap dan Perilaku Sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak untuk bereaksi terhadap rangsang.

  Oleh karena itu wujud sikap tidak dapat langsung dilihat, akan tetapi harus ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah laku yang masih tertutup.

  Menurut Bimo Walgito (1980) bahwa pembentukan sikap dan perubahan sikap akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu :  Faktor Internal (individu itu sendiri), yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak  Faktor Eksternal, yaitu keadaan-keadaan yang ada diluar individu yang merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap.

  Sementara itu Mednick, Higgins dan Kirschenbaum (1975) menyebutkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :  Pengaruh sosial, seperti norma dan kebudayaan  Karakter kepribadian individu

   Informasi yang selama ini diterima individu Ketiga faktor ini akan berinteraksi dalam pembentukan sikap.

  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan dan perubahan sikap pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor yang ada dalam diri individu dan faktor di luar diri individu yang keduanya saling berinteraksi. Proses ini akan berlangsung selama perkembangan individu (Tri Dayakisni, 2003, 96;98-99).

  Sikap mempunyai 3 aspek, yaitu: 1. Aspek kognitif, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan gejala mengenal pikiran. Ini berbentuk pengolahan, pengalaman, dan keyakinan serta harapan-harapan individu tentang objek atau kelompok objek tertentu.

  2. Aspek Afektif, berwujud proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti rasa takut, dengki, simpati, antipati, dan sebagainya yang ditujukan pada objek tertentu.

3. Aspek Konatif, berupa proses tendensi/kecenderungan untuk berbuat kepada suatu objek (Ahmadi, 2007:149).

  Sikap timbul karena dipengaruhi perangsang oleh lingkungan sosial dan kebudayaan. Dalam hal ini keluarga mempunyai peranan yang besar dalam membentuk sikap anak- anaknya. Sikap seseorang tidak selamanya tetap. Sikap dapat berkembang manakala mendapat pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar yang bersifat positif dan mengesankan. Antara perbuatan dan sikap ada hubungan yang timbal balik. Tetapi sikap tidak selalu menjelma dalam bentuk perbuatan atau tingkah laku (Ahmadi, 2007: 156).

  Ada beberapa teori yang membantu kita untuk memahami bagaimana sikap dibentuk dan bagaimana sikap dapat berubah:

  1. Teori Belajar Teori belajar pertama kali dikembangkan oleh Carl Hovland dan rekannya di Yale University. Asumsi di balik teori ini adalah bahwa proses pembentukan sikap adalah sama seperti pembentukan kebiasaan. Orang mempelajari informasi dan fakta tentang objek sikap yang berbeda-beda, dan mereka juga mempelajari perasaan dan nilai yang diasosiasikan dengan fakta itu. Belajar juga dapat dilakukan melalui reinforcement (penguatan) dan punishment (hukuman). Sikap juga bisa dipelajari melalui imitation (peniruan,imitasi). Orang menirukan orang lain, khususnya jika orang itu adalah orang kuat dan penting. Message Learning (belajar pesan) dianggap penting bagi perubahan sikap. Apabila seseorang mempelajari suatu pesan, ada kemungkinan terjadi perubahan. Teori belajar juga menunjukkan bahwa orang terbujuk ketika mereka mentransfer afek dari satu objek ke objek lain yang diasosiasikan dengan objek itu.

  2. Teori Konsistensi Kognitif Pendekatan konsistensi kognitif menegaskan bahwa seseorang selalu berusaha mendapatkan koherensi dan makna dalam kognisinya, Jika kognisi mereka sudah konsisten dan mereka berhadapan dengan kognisi baru yang mungkin menimbulkan inkonsistensi, maka mereka akan berjuang untuk meminimalkan inkonsistensi itu (Shelley E. Taylor, 2009: 167-169).

  Adapun sikap memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

  1. Sikap itu dipelajari (learnability), sikap merupakan hasil belajar ini perlu dibedakan dari motif psikologi lainnya. Contoh: lapar, haus, adalah motif psikologi yang tidak dipelajari, sedangkan pilihan kepada makanan Eropa adalah sikap. Beberapa sikap dipelajari tanpa disengaja dan tanpa kesadaran dari individu.

  2. Memiliki kestabilan (stability), Sikap yang bermula dari dipelajari, selanjutnya menjadi lebih kuat, tetap, dan stabil, melalui pengalaman.

  3. Personal-societal significance, sikap melibatkan hubungan antara seseorang dan orang lain dan juga antara orang dan barang atau situasi. Bila sesesorang merasa bahwa orang lain menyenangkan, terbuka dan hangat akan sangat berarti abgi dirinya, ia merasa bebas.

  4. Berisi kognisi dan afeksi, berisi informasi yang faktual, misalnya: suatu objek dirasa menyenangkan atau tidak.

  5. Approach – avoidance directionally, bila seseorang memiliki sikap ketertarikan akan suatu objek, maka dia akan mendekatinya, sebaliknya bila tidak memiliki ketertarikan, maka orang tersebut akan menjahuinya. Fungsi dari sikap itu sendiri dibagi kedalam empat (4) golongan, yaitu:

  1. Sikap berfungsi sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Sikap itu bersifat artinya sesuatu yang mudah menjalar, sehingga mudah menjadi

  communicable,

  milik bersama. Justru karena itu suatu golongan yang didasarkan atas kepentingan dan pengalaman bersama biasanya ditandai dengan adanya sikap anggotanya yang sama terhadap suatu objek. Dengan demikian sikap menjadi rantai penghubung antara orang dengan kelompoknya atau dengan anggota kelompok lainya.

  2. Sikap berfungsi sebagai alat pengatur tingkah laku. Seperti tingkah laku anak kecil yang spontan terhadap sekitarnya. Antara perangsang dan reaksi tidak ada pertimbangan, tetapi pada anak dewasa dan yang sudah lanjut usianya perangsang itu pada umumnya tidak diberi reaksi secara spontan, akan tetapi terdapat adanya proses secara sadar untuk menilai perangsang-perangsang itu. Jadi antara perangsang dan reaksi terdapat sesuatu yang disisipkannya yaitu sesuatu yang berwujud pertimbangan/penilaian terhadap perangsang itu sebenarnya bukan hal yang berdiri sendiri, tetapi merupakan sesuatu yang erat hubungannya dengan cita- cita orang, peraturan-peraturan kesusilaan yang ada dalam masyarakat, keinginan- keinginan pada orang itu dan sebagainya

  3. Sikap berfungsi sebagai alat atur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa manusia dalam menerima pengalaman-pengalaman dilakukan secara aktif, artinya semua pengalaman yang berasal dari dunia luar tidak semuanya dilayani manusia, tetapi manusia memilah man yang perlu dan yang tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman itu diberi nilai, lalu dipilih. Pemilihan itu pun dilakukan atas tinjauan apakh pengalaman-pengalaman itu mempunyai arti atau tidak baginya. Tanpa pengalaman tidak ada keputusan dan tidak dapat melakukan perbuatan.

  4. Sikap berfungsi sebagai pernyataan kepribadian. Sikap sering mencerminkan kepribadian seseorang. Ini dikarenakan sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu dengan melihat sikap-sikap pada objek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi orang tersebut ( Ahmadi, 2007: 164- 167). Adapun hubungan erat antara sikap dan perilaku didukung oleh pengertian sikap yang mengatakan bahwa sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak terhadap sesuatu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Warner dan De Fleur (1969) diidentifikasi adanya 3 postulat hubungan antara sikap dan perilaku.

  1. Postulat keajegan (consistency): sikap verbal merupakan alasan masuk akal untuk meprediksi apa yang akan dilakukan seseorang bila ia berhadapan dengan objek sikapnya. Dengan kata lain ada hubungan langsung antara sikap dan perilaku.

  2. Postulat ketidakajegan (inconsistency): Postulat ini membantah adanya hubungan yang konsisten antar sikap dan perilaku. Sikap dan perilaku adalah dimensi individual yang berbeda dan terpisah.Postulat ini berdasarkan penelitian La Pierre (1934) namun memperoleh kritikan dari Kiesler, COllins dan Miller (1960), dan Campbell. Raab dan Lipset mengemukakan defenisi sikap yang mencerminkan hubungan kondisional dengan perilaku yaitu bahwa sikap bukanlah suatu benda melainkan sebuah proses, suatu interaksi yang melibatkan tidak saja orang dan objek, tetapi semua faktor lain yang hadir dalam setiap situasi. Mereka menyarankan agar sikap dapat dipakai untuk meramalkan perilaku perlu dicari akal menemukan beberapa ukuran variabel dari semua situasi.

  3. Postulat Konsistensi Kontingen (Postulat keajegan yang tidak tentu): Postulat ini mengusulkan bahwa hubungan antara sikap dan perilaku tergantung pada faktor- faktor situasi tertentu pada variabel antara. Pada situasi tertentu dapat diharapkan adanya hubungan antara sikap dan perilaku; dalam situasi lain hubungan itu tidak ada. Postulat ini kelihatannya lebih dapat menerangkan hubungan antara sikap dan perilaku. Norma, peranan, keanggotaan kelompok, kelompok referen dan unsur kebudayaan menempati kondisi yang tidak tetap yang dapat tercermin dalam hubungan antara sikap dan tingkah laku. Ketiga postulat tersebut yang mencoba menerangkan hubungan antara sikap dan perilaku semuanya bersummber pada pada satu asumsi dasar bahwa tingkah laku adalah fungsi daripada sikap (Ahmadi, 2007: 159-163).

  Berdasarkan teori tindakan beralasan yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen (1975; Ajzen dan Fishbein, 1980) yang berusaha menunjukkan faktor-faktor yang menentukan konsistensi sikap-perilaku, perilaku kita terjadi sesuai dengan niat sadar kita, yang didasarkan pada kalkulasi rasional tentang efek potensial dari perilaku kita dan tentang bagaimana orang lain akan memandang perilaku kita. Poin utama dari teori ini adalah perilaku seseorang dapat diprediksikan dari behavioral intention (niat sadar untuk menjalankan suatu tindakan). Niat sadar ini dapat diprediksikan melalui dua variabel utama yaitu sikap seseorang terhadap perilaku (apakah aborsi aman dan baik dilakukan) dan norma sosial subjektif (persepsi mengenai apa yang dipikirkan orang lain terhadap tindakan yang dilakukan: apakah ibu setuju dilakukan aborsi?). Sikap seseorang terhadap perilakunya sendiri diprediksikan oleh kerangka ekspektasi nilai: keinginan untuk mencapai suatu hasil akan dipertimbangkan berdasarkan kemungkinan terwjudnya hasil itu. Norma sosial subjektif diprediksikan melalui ekpektasi terhadap pertimbangan orang lain ddengan motivasi untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi itu. .(Shelley E. Taylor, 2009: 203-204).

2.2.6 Keluarga

  Dalam keluarga yang sesungguhnya, komunikasi merupakan sesuatu yang harus dibina, sehingga anggota keluarga merasakan ikatan yang dalam serta saling membutuhkan. Keluarga merupakan kelompok primer paling penting dalam masyarakat, yang terbentuk dari hubungan laki-laki dan perempuan, perhubungan ini yang paling sedikit berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Keluarga dalam bentuk yang murni merupakan kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak (Ahmadi, 2007: 221)

  Dalam sejarah kehidupan keluarga terdapat 4 tingkat sebagai berikut: 1.

  Formatif pre-nuptial stage. Yaitu tingkat persiapan sebelum pekawinan. Saling mengenal satu sama lain lebih dalam.

  2. Nupteap stage. Yaitu tingkat sebelum lahirnya anak. Suami istri yang hidup bersama dalam suatu rumah tangga, medapatkan pengalaman baru, sikap baru dalam masyarakat.

3. Child rearing stage. Tingkat dimana tanggung jawab yang semakin bertambah dikarenakan sudah memiliki anak.

  4. Maturity stage. Tingkat dimana anak-anak tidak lagi membutuhkan pemeliharaan dari orangtua, telah memasuki masa dewasa, memulai aktivitas baru (Ahmadi, 2007: 223). Keluarga merupakan kelompok primer yang mempunyai arti penting bagi kehidupan individu. Pada keluargalah terletak peranan yang penting di dalam membentuk kepribadian seseorang di dalamnya perilaku dan pengalamannya. Prof. Dr. J. Verkuyl mengemukakan tiga tugas orangtua terhadap anaknya yaitu:

  1. Mengurus keperluan materi anak-anak, yaitu memberi makan, tempat perlindungan dan pakaian anak-anak.

  2. Menciptakan suatu "home" bagi anak-anak. "Home" disini bermakna bahwa di dalam keluarga itu anak-anak dapat berkembang dengan subur, merasakan kemesraan, kasih sayang, keramahtamahan, merasa aman, ter;indungi dan lain-lain.

  3. Tugas mendidik merupakan tugas terpenting dari orangtua, terhadap anak-anaknya. Ogburn membagi fungsi keluarga menjadi 7 yaitu: 1.

  Affectional (Afeksi).

  2. Economic (Ekonomi).

  3. Educational (Pendidikan).

  4. Protective (Perlindungan).

  5. Recreational.

  6. Family status.

  7. Religius. Disini, Orgburn lebih mengetengahkan fungsi keluarga tidak saja di dalam lingkungan keluarga sendiri tetapi juga di dalam masyarakat.

  Menurut Ahmadi (2007: 226-228)., fungsi keluarga bukanlah fungsi tunggal melainkan jamak. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa tugas oangtua adalah:

  1. Menstabilisasi situasi keluarga: dalam arti stabilisasi situasi ekonomi keluarga.

  2. Mendidik anak.

  3. Pemeliharaan fisik dan psikis keluarga, termasuk disini kehidupan religius. Adapun yang menjadi faktor-faktor keluarga terhadap perkembangan anak antara lain: 1.

  Perimbangan perhatian.

  Artinya keseimbangan perhatian orangtua terhadap tugas-tugasnya yang menjadi kebutuhan anak yaitu stabilitas keluarga, pendidikan, pemeliharaan fisik dan psikis termasuk kehidupan religius. Apabila tugas-tugas tersebut tidak dipenuhi secara seimbang oleh orangtua akan berakibat dengan tidak terpenuhinya kebutuhan anak untuk berkembang. Contohnya orangtua yang memusatkan perhatian pada tugas menstabilkan keluarga dalam hal ini ekonomi namun mengesampingkan pendidikan akan berakibat dengan tidak terpenuhinya kebutuhan anak akan pendidikan. Anak berkembang tanpa adanya pola yang dituju dan dibiarkan tumbuh tanpa tuntutan norma yang pasti. Situasi ini disebut juga miss educated yang bisa disebabkan secara sengaja maupun tidak sengaja. Orangtua berbuat demikian mungkin dikarenakan faktor: a.

  Ketidaktahuan, yaitu tidak tahu bagaimana cara mendidik anak.

  b.

  Tahu tetapi situasi yang memaksa berbuat demikian, mungkin karena terlalu sibuk.

  2. Kebutuhan keluarga.

  Keluarga yang utuh adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Utuh tidak sekedar dalam bentuk fisik melainkan juga dalam psikis.Keluarga yang utuh memiliki pengaruh yang berbeda dengan keluarga yang pecah atau broken home terhadap perkembangan anak. Keluarga yang utuh memilki perhatian yang penuh atas tugas-tugasnya sebagai orangtua. Sebaliknya keluarga broken home kurang memiliki perhatian pada anaknya dikarenakan antara ayah dan ibu tidak memiliki kesatuan perhatian atas anak-anaknya. Situasi broken home ini tentu tidak menguntungkan bagi perkembangan anak. Anak akan mengalami maladjusment, dimana situasi ini bersumber dari hubungan keluarga yang tidak memuaskan, frustasi dan sebagainya. Di dalam keluarga anak memerlukan perhatian, kasih sayang dari orangtuanya dimana hal ini tidak dapat diperoleh secara memuaskan pada keluarga broken home.

  3. Status sosial.

  Status sosial orangtua memilki pengaruh terhadap tingkah laku dan pengalaman anak-anaknya. Setiap keluarga memilki kebiasaan yang berlainan dengan keluarga lain, sehingga perkembangan anakpun juga berlainan. Di dalam hal ini status orangtua memegang peranan yang penting. Kebiasaan sehari-hari dalam keluarga benyak dipengaruhi atau terbawa oleh status sosial orangtua.

  4. Besar kecilnya keluarga Besar kecilnya jumlah anak mempengaruhi perkembangan sosial anak. Pada Keluarga besar yang terdiri atas lebih dari 3 orang anak biasanya anak sejak kecil sudah biasa bergaul dengan orang lain. Pergaulan ini mempunyai pengaruh yaitu unsur memberi dan menerima. Anak tidak bisa seenaknya sendiri sebab ia memiliki saudara-saudara lain. Peraturan dalam keluarga dipatuhi bersama yang didalamnya terdapat pembagian tugas. Anak dilatih memilki tanggung jawab sendiri-sendiri. Anak juga sudah biasa bergaul, bagaimana ia harus memperlakukan saudaranya. bagaimana ia harus bisa menerima pendapat, menghormati, bersikap terhadap saudara-saudaranya. Sedangkan pada keluarga kecil yang memilki anak kurang dari 3 orang, ada keterbatasan pergaulan pada si anak, terlebih bagi anak tunggal. Pada situasi anak tunggal, orangtua cenderung memanjakan karena dorongan untuk tidak mengecewakan anaknya. Anak yang manja cenderung tidak mandiri, terlalu bergantung pada orangtuanya. Kondisi ini tentu merugikan karena anak berkembang dengan tidak wajar. Sikap yang ditemui si anak ketika berada diluar rumah berbeda dengan dirumah yang selalu menuruti kehendaknya. Anak akan kecewa karena sifat egoismenya juga akan diterapkan pada oang lain. Kesimpulannya, besar kecilnya keluarga berpengaruh pada perkembangan anak. Pada keluarga besar, sikap toleransi sudah diajarkan pada anak karena sudah biasa memperlakukan dan diperlakukan orang lain. Sedangkan pada kelurga kecil, dibutuhkan perhatian lebih dari orangtua dalam mendidik anak agar perkembangannya wajar.

5. Keluarga kaya/miskin

  Keluarga yang kaya atau miskin berpengaruh terhadap perkembangan anak. Pada keluarga kaya yang mampu menyediakan materi terhadap anak-anaknya, ternyata cenderung tidak seimbang dalam hal pengajaran dan kasih sayang dikarenakan orangtua memusatkan perhatian pada pekerjaan untuk menstabilkan keluarga. Sedangkan pada keluarga miskin, orangtua yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga terkadang melupakan perhatian pada si anak karena keadaan yang memaksa untuk mencari materi demi memenuhu kebutuhan. Namun dalam hal keterampilan, kerja anak dari keluarga miskin biasanya lebih unggul dariapa anak dari keluarga kaya karena anak dari keluarga miskin sudah terbiasa untuk mandiri bahkan turut bekerja untuk memenuhi nafkah. Jadi, miskin atau kaya perekonomian suatu keluarga mempunyai pengaruh yang besar dalam perkembangan anak. Masing-masing memilki sisi positif dan negatif (Ahmadi, 2007: 228-234).

2.2.7 Televisi

  Menurut Milton Chen yang tertulis pada buku yang berjudul “Anak-Anak dan Televisi” (1996) , televisi pernah dijuluki si Tabung Tolol, Candu Elektronik, Monster Mata Satu, dan sebagainya. Itu sisi jeleknya. Sisi baiknya, tabung tolol itu juga bisa berperan sebagai tabung percobaan untuk belajar di rumah. Tetapi untuk mewujudkannya, harus diamati terlebih dahulu dari dekat apa yang bisa ia lakukan dan apa yang tidak. Menerapkan pengetahuan ini dalam tindakan nyata menuntut komitmen serius dari orangtua maupun anak. Dan untuk bisa berperan sebagai orangtua yang efektif, sebagaimana dengan semua cara lain, orang perlu bereksperimen dengan tabung percobaan ini untuk melihat mana yang paling cocok untuk keluarga sendiri.

  Menurut catatan Agge (2001), dari semua media komunikasi yang tersedia, televisi merupakan media yang paling berpengaruh bagi kehidupan manusia. Sebanyak 99% orang Amerika memiliki televisi dirumahnya. Tayangan televisi yang menyiarkan hiburan, berita dan iklan. Mereka menghabiskan waktu menonton televisi sekitar tujuh jam dalam sehari. Tahun 1948 merupakan tahun penting bagi dunia pertelevisian, dengan adanya perubahan dari televisi ekperimen ke televisi komersial di Amerika. Karena perkembangan televisi yang sangat cepat, dari waktu ke waktu media televisi memiliki dampak terhadap kehidupan manusia sehari-hari (Ardianto, 2004: 125).

  Televisi sebagai salah satu media komunikasi memiliki fungsi sebagai berikut: 1.

  Pengawasan (Surbeillance), yakni memberi informasi dan menyediakan berita.

  Dalam membentuk fungsi ini, media sering kali memperingatkan kita akan bahaya yang mungkin terjadi seperti kondisi cuaca yang ekstrem. Fungsi pengawasan ini juga menyebabkan beberapa disfungsi seperti kepanikan atas penekanan berlebihan mengenai suatu berita. Lazarsfeld dan Merton (1948/1960) mencatat adanya disfungsi yang memabukkan ketika individu jatuh dalam kelesuan atau kepasifan sebagai akibat dari banyaknya informasi yang diterima. Selain itu, terlalu banyak ekspose "berita" yang tidak biasa bisa membuat mereka yang menonton menjadi memiliki sedikit perspektif tentang apa yang biasa, normal atau wajar dalam masyarakat. .

  2. Korelasi (Correlation), adalah seleksi dan interpretasi informasi mengenai lingkungan. Media sering kali memasukkan kritik dan cara bagaimana seseorang harus bereaksi terhadap kejadian tertentu. Salah satu bentuk disfungsi utama pada korelasi media yang sering disinggung adalah pembentukan apa yang disebut Daniel Boorstin "kejadian Palsu" atau pembentukan kesan atau kepribadian- yang sebagian besar merupakan barang yang dijual industri humas.

  3. Penyampaian Warisan Sosial, merupakan suatu fungsi dimana media menyampaikan informasi, nilai, dan norma dari satu generasi ke generasi berikutnya atau dari anggota masyarakat ke kaum pendatang. .

  4. Hiburan. Sebagian besar media mungkin dimaksudkan sebagai hiburan. Media hiburan dimaksudkan untuk memberi waktu istrahat dari masalah setiap hari dan mengisi waktu luang (Werner,2005:386-388)

  Televisi memiliki fungsi yang sama dengan media massa lainnya (surat kabar dan radio siaran), yaitu memberi informasi, mendidik, menghibur dan membujuk. Tetapi fungsi menghibur lebih dominan pada media televisi sebagaimana hasil penelitian-penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD, yang menyatakan bahwa pada umumnya tujuan utama khalayak menonton televisi adalah memperoleh hiburan, selanjutnya untuk memperoleh informasi.

  Adapun televisi memiliki karakterisitik sebagai berikut.

1. Audiovisual

  Televisi memiliki kelebihan, yakni dapat didengar sekaligus dapat dilihat. Apabila radio hanya mendengar kata-kata, musik dan efek suara, maka khalayak televisi dapat meilhat gambar yang bergerak. Namun, tidak berarti gambar lebih penting dibanding kata-kata. Keduanya harus memiliki kesesuaian secara harmonis. Karena sifatnya yang audiovisual, maka acara siaran berita harus selalu dilengkapi dengan gambar, baik gambar diam seperti foto, gambar peta, maupun film berita, yaitu rekaman peristiwa yang menjadi topik berita. Jadi, penayangan film berita dalam siaran berita, selain untuk memanfaatkan karakteristik televisi, juga agar penonton memperoleh gambaran yang lengkap tentang berita yang disiarkan serta mempunyai keyakinan akan kebenaran berita.

2. Berpikir dalam gambar

  Ada dua tahap yang dilakukan dalam proses berpikir dalam gambar. Yang pertama adalah visualisasi, yaitu menerjemahkan kata-kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar secara individual. Dalam proses visualisasi, pengarah acara berperan penting dalam menunjukkan objek-objek tertentu menjadi gambar yang jelas dan menyajikannya sedemikian rupa, sehingga memiliki suatu makna (Effendy,1993). Tahap kedua dari proses “berpikir dalam gambar” adalah penggambaran, yakni kegiatan merangkai gambar-gambar individual sedemikian rupa, sehingga kontinuitasnya mengandung makna tertentu. Dalam proses penggambaran ada gerakan-gerakan kamera tertentu yang dapat menghasilkan gambar sangat besar, gambar diambil dari jarak dekat, dan lain-lain. Perpindahan dari satu gambar ke gambar lainnya juga bermacam-macam, bisa secara menyamping, dari atas ke bawah atau sebaliknya, dan sebagainya.

Dokumen yang terkait

Pendampingan Orangtua Dengan Aktivitas Anak Menonton Televisi (Studi Kasus pada Keluraga di Perumahan Meranti Permai, Kecamatan Siantar Utara, Kota Pematangsiantar)

3 61 130

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif Paradigma Kajian - Proses Pengungkapan Diri(Self Disclosure) Kaum Gay (Studi Kasus Tentang Pengungkapan Diri(Self Disclosure) Kaum Gay Di Kota Medan)

0 0 22

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Paradigma Kajian - Iklan pada Provider AXIS dan TELKOMSEL di Televisi

0 0 30

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PerspektifParadigma Kajian - Penyingkapan Diri (Self Disclosure) Orangtua Tunggal dengan Anak (Studi Fenomenologi Penyingkapan Diri (Self Disclosure) Ibu Tunggal dengan Remaja Perempuan di Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntung

0 0 23

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian - Konstruksi Media Terhadap Jilbab di Majalah Noor

0 0 25

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PerspektifParadigma Kajian - Komunikasi Yang Efektif Antara Remaja Dengan Orangtua Yang Bertugas Jarak Jauh(Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Yang Efektif Antara Remaja Dengan Orangtua Yang Bertugas Jarak Jauh Di Kota Medan)

0 0 44

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Paradigma Kajian - Strategi Komunikasi Pasangan Backstreet Dengan Orang Tua (Studi Kasus Komunikasi Verbal Dan Nonverbal Pasangan Backstreet Dengan Orang Tua Di Kota Medan)

0 0 33

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif Paradigma Kajian - Komunikasi Keluarga Dalam Hubungan Jarak Jauh (Studi Deskriptif Kualitatif Peran Komunikasi Keluarga Terhadap Mahasiswa yang Tinggal Terpisah dengan Orangtua dalam Hubungan Harmonisasi di Kota Medan)

0 0 28

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian - Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi Dalam Menangani Pasien (Studi Kasus Tentang Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang Praktek Bersama dalam Menangani Pasien Anak di Kota Medan)

0 1 14

Pendampingan Orangtua Dengan Aktivitas Anak Menonton Televisi (Studi Kasus pada Keluraga di Perumahan Meranti Permai, Kecamatan Siantar Utara, Kota Pematangsiantar)

0 2 34