Pembebanan Harta Pailit Dengan Gadai Dalam Pengurusan Harta Pailit Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaankewajiban Pembayaran Utang

BAB II PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 A. Pengertian dan Prosedur Permohonan Kepailitan 1. Pengertian Kepailitan Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala yang berhubungan dengan

  “pailit”. Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah “faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le failli. Didalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan istilah to fail, dan didalam bahasa latin dipergunakan istilah failire.

  Pengertian pailit atau bankrupt dalam Black’s Law Dictionary adalah: “The state or condition of a person (individual, partnership, corporation,

  municipality ) who is unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a

  12 bankrupt .”

  Pengertian pailit yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut dihubungkan dengan ketiadamampuan untuk membayar dari Debitur atas utang- utangnya yang telah jatuh tempo. Ketiadamampuan tersebut harus disertai dengan

                                                               12 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2002), hlm. 11.

  23 suatu tindakan nyata untuk mengajukan suatu permohonan ke Pengadilan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar debitur). Maksud dari pengajuan permohonan tersebut adalah

  13

  sebagai suatu bentuk pemenuhan azas “publisitas” Kepailitan adalah suatu kenyataan bahwa kegiatan usaha global seperti sekarang ini tidak mungkinterisolir dari masalah-masalah lain. Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit pada saat ini akan mempunyai imbas dan pengaruh buruk bukan hanya perusahaan itu saja melainkan berakibat global. Sebagai contoh, ketika Dirut Yamaichi Securities pada tanggal 1 Desember 1995 mengumumkan kebangkrutan perusahaannya pada suatu konferensi pers di Tokyo, Jepang laksana diguncang bom atom lagi. Bahkan dampaknya bersifat mengglobal. Dari kasus ini dapat dilihat banyak yang akan jadi korban bila perusahaan itu dinyatakan pailit.

  Lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok di dalam aktivitas bisnis karenaadanya status pailit merupakan salah satu sebab pelaku bisnis keluar dari pasar. Apabila pelaku bisnis sudah tidak mampu lagi untuk bermain di arena pasar, maka dapat keluar dari pasar. Di dalam hal seperti inilah

  

14

kemudian lembaga kepailtan itu berperan.

  Pandangan seperti itu memang secara ekonomis dapat diterima, bila dikemas di dalam peraturan hukum maka peraturan itu secara tepat kepentingan yangdilihat dari sudut pandang ekonomis namun hal seperti ini jelas tidak sesuai dengan era global seperti sekarang ini. Menurut Peter, aturan main bentuk perangkat hukum di dalam kegiatan bisnis meliputi tiga hal yaitu:

                                                               13 14 Ibid., hlm 11-12 Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Untuk Indonesia (Bandung:Citra Aditya Bakti,1998), hlm. 205. a.

  Aturan hukum yang memberi landasan hukum bagi keberadaan lembaga- lembaga yang mewadahi bisnis dalam arena pasar (substantive legal

  rules).

  b.

  Aturan hukum yang mengatur perilaku (behavior) para pelaku bisnis dalam melaksanakan setiap transaksi bisnis, dan c.

  Aturan hukum yang memungkinkan pelaku keluar dari pasar. Kata pailit berasal dari bahasa Perancis “failite” berarti kemacetan pembayaran.

  Dalam bahasa Belanda digunakan istilah “failite”. Sedang dalam hukum Anglo America, undang-undangnya dikenal dengan Bankcrupty Act.

  Dalam pengertian kita, merujuk aturan lama yaitu Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepailitan Faillisement Verordening S. 1990-217 jo 1905-348 menyatakan : “ Setiap berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditur), dengan putusan hakim dinyatakan dalam

  15

  keadaan pailit ” Kepailitan semula diatur oleh Undang-Undang tentang Kepailitan yang dikenal dengan sebutan Failissement Verordening (FV) yaitu Staatsblad Tahun

  1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. FV tersebut kemudian diubah dalam arti disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 sehubungan dengan gejolak moneter yang menimpa Negara Indonesia sejak pertengahan tahun 1997.

  PERPU Nomor 1 Tahun 1998 selanjutnya ditetapkan sebagai undang-undang oleh

                                                               15 Sri Rejeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepaitan Modern (Jakarta: Majalah Hukum Nasional, 2000), hlm 81.

  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, namun karena perubahan tersebut belum juga memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat kemudian diperbaharui dengan UUK dan PKPU.

  Setelah keluarnya UUK dan PKPU, pengertian pailit dijumpai dalam Pasal 1 angka (1) yang menyebutkan: “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Dilakukan penyitaan secara umum dimaksudkan untuk menghindari para kreditur bertindak sendiri-sendiri, agar semua kreditur memperoleh manfaat dari harta kekayaan debitur pailit, dengan cara dibagi menurut perimbangan hak tagihan atau tuntutan mereka masing-masing.

  Kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu: a.

  Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur; b. Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya.

  Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.

  Syarat-syarat untuk mengajukan pailit terhadap suatu perusahaan telah diatur dalam Pasal 2 UKK dan PKPU. Dari syarat pailit yang diatur dalam Pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat yuridis agar dapat dinyatakan

  16

  pailit adalah : a.

  Adanya utang; utang adalah perikatan, yang merupakan prestasi atau kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang harus dipenuhi oleh setiap debitur dan bila tidak dipenuhi, kreditur berhak mendapat pemenuhannya dari harta debitur. Pada dasarnya UUK dan PKPU tidak hanya membatasi utang sebagai suatu bentuk utang yang bersumber dari perjanjian pinjam-

  17 meminjam uang saja.

  b.

  Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo; Utang yang telah jatuh tempo, dapat terjadi karena beberapa hal, pertama, jatuh tempo biasa, yakni jatuh tempo sebagaimana yang disepakati bersama antar kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit; kedua, jatuh tempo yang dipercepat, yakni jatuh tempo yang mendahului jatuh tempo biasas karena debitur melanggar isi perjanjian, sehingga pernagihannya diakselerasi. Debitur diwajibkan mencicil utangnya setiap bulan termasuk bunga dan biaya-biaya lainnya. Apabila debitur tidak membayar angsuran cicilan kreditnya tiga bulan berturut-turut, maka jatuh tempo dapat dipercepat; ketiga, jatuh tempo

                                                               16 Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 8. 17 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hlm. 11. karena pengenaan sanksi/denda oleh instansi yang berwenang; keempat, jatuh tempo karena putusan pengadilan atau putusan badan arbitrase.

  Berdasarkan kebiasaan yang berlaku di antara debitur dan kreditur, atau

  18 dapat juga dipakai sebagai dasar jatuh tempo surat tegoran atau somasi.

  Tidak semua utang dapat ditagih. Utang yang dapat ditagih adalah utang yang legal. Utang yang timbul berdasarkan perjanjian atau undang- undang. Bukan utang yang illegal, utang yang timbul dengan cara melawan hukum tidak dapat ditagih melalui mekanisme dan prosedur hukum kepailitan.

  c.

  Minimal satu dari utang dapat ditagih; Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut debitur untuk memenuhi prestasinya. Menurut penulis, syarat ini menunjukkan bahwa utang harus lahir dari perikatan sempurna (adanya schuld dan haftung). Dengan demikian, jelas bahwa utang yang lahir dari perikatan alamiah (adanya schuld dan haftung) tidak dapat dimajukan untuk permohonan pernyataan pailit.

  Misalnya utang yang lahir dari perjudian. Meskipun utang yang lahir dari perjudian telah jatuh waktu, hal ini tidak melahirkan hak kepada kreditur untuk menagih utang tersebut. Dengan demikian, meskipun debitur mempunyai kewajiban untuk melunasi utang itu, kreditur tidak

  19 mempunyai alas hak untuk menuntut pemenuhan utang tersebut.

                                                               18 19 Syamsdin Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia (Jakarta: Tatanusa, 2012), hlm. 91.

  Ibid., hlm.92. d.

  Adanya debitur; debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.7 Sedangkan kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka

  20 pengadilan.

  e.

  Adanya Kreditur; kreditur konkuren/bersaing, yaitu kreditur-kreditur yang tidak termasuk golongan khusus dan golongan istimewa. Piutang mereka dibayar dengan sisa hasil penjualan/pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan kreditur separatis dan kreditur preferen. Sisa penjualan harta pailit itu dibagi menurut imbangan besar kecilnya piutang

  21

  para kreditur konkuren (Pasal 1132 KUHPerdata). Kreditur yang mempunyai privilege atau hak istimewa sering disebut kreditur preferen, adalah kreditur yang mempunyai hak untuk didahulukan pembayaran piutangnya dari kreditur lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya yang diistimewakan. Hal tersebut dapat mengenai benda-benda tertentu saja atau dapat mengenai semua benda bergerak pada umumnya.

  Mereka ini menerima pelunasan terlebih dahulu dari penjualan barang yang bersangkutan. Kreditur separatis atau kreditur golongan khusus, adalah kreditur yang dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi

  22

  kepailitan. Kreditur golongan khusus ini dapat menjual sendiri barang- barang yang menjadi jaminan utang seolah-olah tidak ada kepailitan. Dari

                                                               20 21 Pasal 1 angka (3) UUK dan PKPU Agus Sudradjat, Kepailitan Dan Kaitannya Dengan Lembaga Perbankan, Makalah

Seminar Nasional Lembaga Kepailitan Dalam Pembaharuan Hukum Ekonomi Di Indonesia, (Semarang :Fakultas Hukum Universitas Katolik Soegijapranata, 1996), hlm. 4. 22 Pasal 55 UUK dan PKPU hasil penjualan itu kreditur mengambil sebesar piutangnya sebagai pelunasan, sedang sisanya di setor ke kurator. Bila ternyata hasil penjualan itu kurang dari jumlah piutangnya, maka ia dapat menggabungkan diri sebagai kreditur konkuren untuk sisanya.

  f.

  Kreditur lebih dari satu; Persyaratan dua atau lebih Kreditur initerkait dengan filosofi hukum kepailitan itu sendiri yaitu meletakkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur dan mengatur bagaimana cara membagi hasil penjualan harta kekayaan debitur tersebut untuk membayar kewajiban debitur kepada semua krediturnya g. Pernyataan pailit dilakukan oleh Pengadilan khusus yang disebut dengan

  ”Pengadilan Niaga”; h. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang yaitu:

  1) Pihak Debitur;

  2) Satu atau lebih Kreditur;

  3) Jaksa untuk kepentingan umum;

  4) Bank Indonesia jika Debiturnya bank;

  5) Bapepam jika Debiturnya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian;

  6) Menteri Keuangan jika Debiturnya perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik; i.

  Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU; j.

  Apabila syarat-syarat terpenuhi, Hakim “menyatakan pailit” bukan ”dapat dinyatakan pailit.” Sehingga dalam hal ini kepada Hakim tidak dapat diberikan ruang untuk memberikan ”judgement” yang luas. sehingga dalam pengajuan pailit terhadap Debitur oleh Kreditur, maka harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 2 UUK dan PKPU. Untuk syarat dinyatakan pailit pada prinsipnya masih sama dengan Undang-Undang Kepailitan, hanya pengaturan Pasalnya saja yang berubah bahwa dalam

  Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU diatur. Esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan debitur untuk kepentingan semua kreditur yang pada waktu debitur dinyatakan pailit mempunyai hutang.

  2. Prosedur permohonan pailit

  Pasal 1 ayat (1) UUK disebutkan, bahwa Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) UUK disebutkan, debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikit dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Dari ketentuan Pasal ini dapat diketahui, bahwa syarat yang harus dipenuhi jika debitur ingin mengajukan permohonan pailit mempunyai : a.

  Dua atau lebih kreditur; dan

  23 b.

  Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang sudah jatuh tempo.

  Dengan demikian, dalam UUK tidak dijelaskan berapa jumlah utang minimal yang harus ada sehingga dapat diajukan permohonan pailit. Di sini hanya dijelaskan utang adalah kewajiban yang dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan wajib dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Pengertian kreditur dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUK disebutkan, kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka Pengadilan, sedangkan pengertian debitur dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUK disebutkan, adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan, dengan mengacu kepada ketentuan di atas terlihat baik debitur maupun kreditur dapat mengajukan permohonan pailit.

  Permohonan kepailitan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK, kepailitan dapat dimohonkan apabila debitur mempunyai dua atau lebih kreditur, dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan. Pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Utang yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 tersebut adalah utang pokok atau bunganya.

                                                               23 Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan Dan Peraturan Perundang-undangan Yang Terkait Dengan Kepailitan, ( Bandung : Nuansa Aulia, 2006), hlm. 14.

  Sesuai dengan penjelasan atas Pasal 2 ayat (1) dari UUK, kreditur dalam ayat ini adalah baik kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen. Khusus mengenai kreditur separatis dan kreditur preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan. Bilamana terdapat indikasi kreditur maka masing-masing kreditur adalah kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 UUK dan PKPU.

  Utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan Pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.

  Adapun prosedur permohonan pailit adalah sebagai berikut : a.

  Tahap Pendaftaran Permohonan Pernyataan Pailit

  Pasal 1 angka (7) UUK dan PKPU secara tegas menentukan bahwa : “Pengadilan adalah pengadilan niaga dalam lingkungan peradilan umum.” Apabila diperhatikan Pasal 3, walaupun tidak secara eksplisit ditentukan namun diketahui bahwa permohonan pernyataan pailit harus diajukan ke pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur. Ketentuannya adalah sebagai berikut:

  24                                                              24 Sunarmi, Hukum Kepailitan (Medan : USU Press, 2009), hlm. 21.

  1) Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan atau diatur dalam undang-undang ini, diputuskan oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur.

  2) Dalam hal debitur telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang menetapkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitur.

  3) Dalam hal debitur adalah pesero yakni pesero suatu firma, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan firma tersebut juga berwenang untuk memutuskan.

  4) Dalam hal debitur tidak bertempat kedudukan dalam wilayah negara

  Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya dalam wilayah negara Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang memutuskan adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat debitur menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia. 5)

  Dalam hal debitur merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.

  Pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada ketua pengadilan niaga. Panitera pengadilan niaga wajib mendaftarkan permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.

  Pasal 6 ayat (3) UUK dan PKPU mewajibkan panitera untuk menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut. Pasal 6 ayat (3) UUK dan PKPU ini pernah diajukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 071/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 001-002/PUU.III/2005 telah menyatakan bahwa Pasal 6 ayat (3) beserta penjelasannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pertimbangan-pertimbangan hukum yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi, antara lain : a)

  Bahwa panitera walaupun merupakan jabatan di pengadilan, tetapi kepada jabatan tersebut seharusnya hanya diberikan tugas teknis administrasi yustisial dalam rangka memberikan dukungan terhadap fungsi yustisial yang merupakan kewenangan hakim. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004, ditentukan bahwa tugas pokok panitera adalah menangani administrasi perkara dan hal-hal administrasi lain yang bersifat teknis peradilan dan tidak berkaitan dengan fungsi peradilan, yang merupakan kewenangan hakim. Menolak pendaftaran suatu permohonan pada hakikatnya termasuk ranah yustisial. Panitera diberikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab melaksanakan fungsi yustisial, hal tersebut bertentangan dengan hakikat dari kekuasaan

  25

  kehakiman yang merdeka, serta penegakan hukum dan keadilan;

  b) Menimbang pula bahwa sejak lama telah diakui asas hukum yang berbunyi bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Asas ini dicantumkan dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman.

  Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang hukumnya jelas mengatur perkara yang diajukan kepada pengadilan; c)

  Apabila panitera diberikan wewenang untuk menolak mendaftarkan permohonan pernyataan pailit suatu perusahaan asuransi, hal tersebut dapat diartikan penitera telah mengambil alih kewenangan hakim untuk memberi keputusan atas suatu permohonan. Kewenangan demikian menghilangkan hak pemohon untuk mendapatkan penyelesaian sengketa hukum dalam suatu proses yang adil dan terbuka untuk umum. Hal ini bertentangan dengan prinsip due process

                                                               25 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, 1945 Pasal 24 ayat (1)

  of law dan access to courts yang merupakan pilar utama bagi tegaknya rule of law ;

  26

  d) Meskipun hasil akhir atas permohonan yang bersangkutan boleh jadi sama, yaitu tidak dapat diterimanya permohonan yang bersangkutan, karena tidak terpenuhinya syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang a quo, yang menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan UUD 1945, keputusan demikian harus dituangkan dalam putusan yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” ;

  e) Menimbang bahwa karena penjelasan Pasal 6 ayat (3) merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari pasal yang dijelaskan, dengan sendirinya penjelasan pasal tersebut diperlakukan sama dengan pasal yang dijelaskannya.

  Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, panitera pengadilan niaga menjadi tidak berwenang untuk menolak setiap perkara yang masuk.

  Setelah mendaftarkan permohonan pernyataan pailit, panitera menyampaikan permohonan tersebut kepada ketua pengadilan niaga paling lambat 2 (dua) hari setelah permohonan didaftarkan.

  27 b.

  Tahap pemanggilan para pihak Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan kepailitan, sebagai berikut:

                                                               26 Ibid., Pasal 1 ayat (3) 27 Jono, Hukum Kepailitan, (Tangerang: Sinar Grafika, 2008), hlm. 87-89.

  1) Debitur sendiri, dengan syarat bahwa debitur tersebut mempunyai minimal 2 (dua) kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih;

  2) kreditur yang mempunyai piutang kepada debitur yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih (Pasal 2 ayat 1);

  3) Kejaksaan atau jaksa demi kepentingan umum (Pasal 2 ayat 2) ;

  4) Bank Indonesia dalam hal menyangkut debitur yang merupakan bank

  (Pasal 2 ayat 3); 5)

  Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal menyangkut debitur yang merupakan Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (Pasal 2 ayat 4);

  6) Menteri Keuangan dalam hal debitur adalah Perusahaan Asuransi,

  Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik (Pasal 2 ayat 5). UUK dan PKPU memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan sebagai satu-satunya pihak yang berhak mengajukan pailit Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik ini merupakan sesuatu yang baru yang tidak dijumpai dalam UU No.4 Tahun 1998. Pasal Pasal 2 ayat (5) UUK dan PKPU. Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui juru sita melakukan

  28

  pemanggilan para pihak, antara lain :

                                                               28 Ibid., hlm. 89.

  a) Wajib memanggil debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau

  Menteri Keuangan;

  b) Dapat memanggil kreditur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagimana dimaksud dalam

  Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU telah terpenuhi. Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan.

  c.

  Tahap persidangan atas permohonan pernyataan pailit Jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan debitur dan berdasarkan alasan yang cukup seperti adanya surat keterangan sakit dari dokter, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang pemeriksaan sampai dengan paling lambat 25 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

  Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan yaitu Pasal 10 ayat (1) UUK dan PKPU untuk :

  1) Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur; atau

  2) Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi :

  a) Pengelolaan usaha debitur; dan

  b) Pembayaran kepada kreditur, pengalihan, atau pengagunan kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan wewenang kurator.

  Pasal 10 ayat (2) UUK dan PKPU Pengadilan hanya dapat mengabulkan permohonan tersebut apabila hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan kreditur. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam hal permohonan meletakkan sita jaminan tersebut dikabulkan, maka pengadilan dapat menetapkan syarat agar kreditur pemohon memberikan jaminan yang dianggap wajar oleh pengadilan. Kemudian dalam penjelasannya Pasal 10 ayat (3) UUK dan PKPU dijelaskan : “... Namun demikian, untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan debitur dan kreditur, pengadilan dapat mempersyaratkan agar kreditur memberikan uang jaminan dalam jumlah yang wajar apabila upaya pengamanan tersebut dikabulkan. Dalam menetapkan persyaratan tentang uang jaminan atas keseluruhan kekayaan debitur, jenis kekayaan debitur dan besarnya uang jaminan yang harus diberikan sebanding dengan kemungkinan besarnya kerugian yang diderita oleh debitur, apabila permohonan pernyataan pailit ditolak oleh pengadilan”.

  Dari penjelasan tersebut, terlihat jelas bahwa jaminan hanya diperlukan apabila pemohonnya adalah kreditur, sedangkan jika BI, Bapepam, dan Menteri Keuangan yang bertindak sebagai pemohon, jaminan tersebut tidak diperlukan.

  d.

  Tahap putusan atas permohonan pernyataan pailit Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar, sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang dialihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhinya putusan pernyataan pailit.

  Putusan pengadilan niaga atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Waktu 60 hari (2 bulan) yang cukup singkat merupakan suatu perwujudan atas asas peradilan yang bersifat cepat, murah, dan sederhana. Dahulu dalam UU No.4 Tahun 1998 lebih cepat lagi, yaitu hanya dalam waktu 30 hari (1 bulan), pengadilan sudah harus memberikan putusan atas permohonan pernyataan pailit. Dengan pertimbangan yang rasional, UUK dan PKPU memberikan batasan, yaitu 2 (dua) bulan di mana pengadilan wajib memberikan putusan, terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Putusan atas permohonan pernyataan pailit wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan wajib memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut serta memuat pula : 1)

  Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan

  2) Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis.

29 Salinan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit wajib

  disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada debitur, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, kurator, dan hakim pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan.

30 B.

   Akibat Hukum Putusan Pailit

  Dijatuhkannya putusan kepailitan, mempunyai pengaruh bagi debitur dan harta kekayaannya. Pasal 24 UUK dan PKPU menyebutkan bahwa terhitung ejak ditetapkannya putusan pernyataan pailit, debitur demi Hukum kehilangan hak menguasai dan mengurus kekayaannya (Persona Standi In Ludicio), artinya debitur pailit tidak mempunyai kewenangan atau tidak bisa berbuat bebas atas harta kekayaan yang dimilikinya. Pengurusan dan penguasaan harta kekayaan

                                                               29 Jono, Op.cit., hlm 89-90 30 Ibid., hlm. 90-92. debitur dialihkan kepada kurator atau Balai Harta Peninggalan yang bertindak sebagai kurator yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.

  Pernyataan pailit, mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan. Dengan ditiadakannya hak debitur secara hukum untuk mengurus kekayaannya maka oleh Undang-Undang Kepailitan ditetapkan bahwa terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator tersebut ditunjuk bersamaan dengan Hakim Pengawas pada saat putusan pernyataan pailit dibacakan.

  Akibat hukum dari pernyataan pailit antara lain : 1. Kehilangan hak mengurus dan menguasai harta

  Debitur dengan adanya putusan pernyataan pailit, berdasarkan ketentuan Pasal 16 UUK dan PKPU kehilangan untuk melakukan pengurusan, penguasaan dan pemberesan terhadap harta bendanya karena sudah beralih kepada Kurator (BHP atau Kurator lainnya). Harta benda yang termasuk dalam kepailitan adalah seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan sesuai yang diatur Pasal 21. Meskipun pengurusan, penguasaan dan pemberesan terhadap seluruh harta benda beralih kepada Kurator, akan tetapi ada beberapa harta yang ditegaskan berada di luar kepailitan berdasarkan Pasal 22, yaitu alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari; perlengkapan dinas; perlengkapan kerja; persediaan makanan; buku-buku yang dipakai bekerja; gaji, upah, uang jasa, honorarium; hak cipta; sejumlah uang yang ditentukan Hakim Pengawas untuk nafkah debitur; tunjangan (uang) yang

  31 diperoleh debitur dari pendapatan anak-anaknya.

  2. Akibat hukum terhadap hibah Ketentuan Pasal 1666 KUHPerdata, hibah adalah suatu persetujuan dimana penghibah menyerahkan sebuah benda guna keperluan penerima hibah semasa hidup secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali. Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 43 UUK dan PKPU Kurator dapat memintakan pembatalan apabila hibah yang dilakukan debitur diketahui secara patut akan merugikan bagi kreditur, kecuali debitur dapat membuktikan sebaliknya dimana dapat diketahui secara patut bahwa penghibahan ini terjadi setahun sebelum putusan pailit ditetapkan.

  3. Akibat hukum terhadap pembayaran utang Ketentuan Pasal 45 UUK dan PKPU, pembayaran utang yang dapat ditagih oleh debitur hanya dapat dimintakan pembatalannya jika dapat dibuktikan bahwa penerima pembayaran mengetahui pernyataan pailitnya debitur sudah dimintakan atau pelaporannya sudah dimasukkan, maupun apabila pembayaran tersebut sebagai akibat perundingan antara debitur dan kreditur yang dimaksudkan untuk, dengan memberikan pembayaran itu memberikan keuntungan kepada yang terakhir ini yang melebihi kreditur lainnya.

                                                               31 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.54.

  4. Akibat hukum terhadap surat-surat berharga Menurut Pasal 46 UUK dan PKPU, berdasarkan ketentuan Pasal 46 maka tidak boleh dilakukan penagihan kembali dari orang yang sebagai pemegang suatu surat pembayaran atas tunjuk (aan toonder) atau surat perintah pembayaran (aan order) yang karena hubungan hukum pemegang- pemegangnya terdahulu diwajibkan menerima pembayaran. Jumlah yang telah dibayarkan oleh debitur dapat dikembalikan manakala dapat dibuktikan penerbitan surat-surat berharga tersebut adalah akibat suatu perundingan.

  5. Akibat hukum terhadap pembayaran sesudah pernyataan pailit Dinyatakan Berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (1) UUK dan

  PKPU, setiap orang yang setelah diucapkannya putusan pailit tetapi sebelum pernyataan pailit itu diumumkan telah membayar kepada si pailit untuk memenuhi perikatan-perikatan yang terbit, maka dibebaskan dari harta pailit selama tidak dapat dibuktikan bahwa ia mengetahui adanya putusan pernyataan pailit tersebut. Pembayaran sebagaimana dimaksud ayat (1) tersebut, yang dilakukan sesudah pernyataan pailit diumumkan tidak membebaskan terhadap harta pailit, apabila orang yang melakukannya membuktikan bahwa pernyataan pailit dengan jalan pengumuman menurut Undang-Undang tidak mungkin diketahui tempat tinggalnya, dengan tidak mengurangi hak kurator membuktikan bahwa pernyataan pailit itu memang telah diketahui orang tersebut sebagaimana diatur lebih lanjut dalam ayat (2) dan (3).

  Setidak-tidaknya pembayaran yang dilakukan kepada debitur pailit membebaskan debitur terhadap harta pailit sekedar apa yang dibayarkan tersebut menguntungkan harta pailit.

6. Akibat hukum terhadap orang yang punya utang dan piutang

  Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan (2) UUK dan PKPU, bahwa setiap orang yang mempunyai utang maupun piutang terhadap debitur pailit boleh meminta diadakannya perjumpaan utang, apabila utang maupun piutang itu diterbitkan sebelum pernyataan pailit ataupun akibat perbuatan-perbuatan yang dilakukannya dengan debitur sebagaimana diatur dalam ayat (1). Jika perlu, maka piutang-piutang terhadap debitur pailit dihitung menurut aturan-aturan dalam Pasal 136 dan Pasal 137.

  7. Akibat hukum terhadap orang yang mengambil alaih utang maupun piutang a.

  Bahwa seorang yang telah mengambil alih suatu utang maupun piutang dari pihak ketiga sebelum pernyataan pailit tidak boleh meminta perjumpaan utang apabila sewaktu pengambilalihan utang atau piutang tersebut tidaklah dengan itikad baik sebagaimana diatur Pasal 52 ayat (1).

  b.

  Semua utang piutang yang diambil alih setelah putusan pernyataaan pailit diucapkan tidak dapat diperjumpakan sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2).

  c.

  Setiap orang yang mempunyai utang kepada debitur pailit, yang hendak menjumpakan utangnya dengan suatu piutang unjuk dan piutang atas pengganti wajib membuktikan bahwa pada saat pernyataan pailit ia sudah menjadi pemilik dari surat-surat berharga tersebut atass dasar itikad baik sebagaimana diatur Pasal 53.

8. Akibat hukum terhadap hak tanggungan, hak gadai, dan hak retensi a.

  Setiap kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan lainnya dapat mengeksekusi seolah-olah tidak terjadi kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 55; b. Hak eksekusi dapat ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak putusan pailit ditetapkan sesuai yang diatur Pasal 56 ayat

  (1); c. Kreditur pemegang hak harus melaksanakan haknya paling lambat 2 bulan terhitung dimulainya keadaan insolvensi.; d.

  Kreditur yang telah melaksanakan haknya wajib memberikan pertanggungjawaban kepada Kurator atas hasil penjualan barang yang menjadi agunan sebagaimana diatur Pasal 60 ayat (1); e. Apabila dari hasil penjualan tidak cukup melunasi piutang, maka kreditur yang bersangkutan dapat mengajukan pelunasan atas kekurangan dari harta pailit sebagai kreditur konkuren setelah mengajukan permintaan pencocokan piutang sebagaimana diatur Pasal 60 ayat (3).

  f.

  Kreditur yang berhak menahan barang-barang kepunyaan debitur sampai dibayarnya suatu utang tidak kehilangan haknya untuk menahan barang meskipun telah diucapkan pernyataan pailit sesuai yang diatur dalam Pasal 61.

  9. Akibat hukum bagi suami-isteri yang melakukan perjanjian pisah harta a.

  Apabila suami atau istri dinyatakan pailit maka suami atau isterinya berhak mengambil kembali barang bergerak dan tak bergerak yang merupakan harta bawaannya dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1); b. Jika benda milik istri atau suami telah dijual oleh suami atau istri dan harganya belum dibayar aatau uang hasul penjualan belum tercampur dalam harta pailit maka istri atau suami berhak mengambil kembali uang hasil penjualan tersebut; c.

  Untuk tagihan yang bersifat pribadi terhadap istri atau suami maka kreditur terhadap harta pailit adalah suami atau istri, sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (3).

  10. Akibat hukum terhadap suami-isteri dengan harta campur Kepailitan pada suami-isteri dengan harta campur diperlakukan sebagai kepailitan persatuan, meliputi segala benda yang jatuh pada persatuan dan untuk kepentingan semua orang yang berhak meminta pembayaran dari benda-benda persatuan. Jika ada barang-barang yang tidak jatuh pada persatuan maka barang-barang inipun termasuk dalam kepailitan namun hanya untuk utang-utang yang mengikat debitur pailit secara pribadi sebagaimana diatur dalam Pasal 64.

C. Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

  Pada prinsipnya tugas umum dari kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pengurusan terhadap harta pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (1). Kurator dalam menjalankan tugasnya tersebut bersifat independen baik dengan pihak debitur maupun terhadap kreditur. Kurator tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah saru organ debitur dalam menjalankan tugasnya, meskipun dalam keadaan biasa di luar kepailitan, persetujuan atau pemberitahuan

  32 tersebut dipersyaratkan (vide Pasal 69 ayat (2)).

  Kurator sudah berwenang melakukan pengurusan harta pailit sejak adanya putusan pertanyaan pailit, sungguhpun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi (Pasal 16 UUK dan PKPU). Ini adalah sebagai konsekuensi hukum dan sifat serta merta (uilvoorbaar bij voorraad) dari putusan pernyataan pailit (Pasal 8 ayat (5) UUK dan PKPU) , walaupun demikian, tidak berarti kurator dapat melakukan tindakan pengurusan dan pemberesan sesukanya. Hal yang juga penting dalam kedudukannya sebagai kurator, adalah dalam kaitannya dengan pembebanan harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, maka perlu adanya persetujuan dari hakim pengawas. Hal ini bukan berarti pembatasan atas kewenangan kurator, namun lebih kepada perlindungan terhadap potensi kerugian yang nantinya akan berdampak terhadap pembayaran kewajiban debitur terhadap

  33 pada kurator.

                                                               32 Edward Manik, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung: Mandar Maju, 2012), hlm. 72 33 Ibid.

  Dalam peraturan kepailitan lama (Faillisementwet Verordening) hanya terdapat satu kurator dalam kepailitan yang ditetapkan oleh Pengadilan, yaitu Balai Harta Peninggalan.62 Setelah berlakunya UU No. 4 Tahun 1998, BHP bukan lagi sebagai lembaga tunggal yang mengurus dan membereskan harta pailit.

  UU No. 4 Tahun 1998 menentukan bahwa yang menjadi kurator dalam kepailitan adalah : (1) Balai Harta Peninggalan ; atau (2) Kurator lainnya. Adanya dua kurator dalam kepailitan ini tetap dipertahankan dengan keluarnya UUK dan PKPU. Kurator yang dimaksud adalah: 1.

  Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit; 2. Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan (Pasal 70 UU

  Kepailitan dan PKPU). Kurator mulai bertugas sejak kepailitan diputuskan karena debitur tidak berhak lagi untuk melakukan pengurusan atas harta kekayaannya. Kurator merupakan satu-satunya pihak yang akan menangani seluruh kegiatan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan

  34 kreditur maupun debitur pailit.

  Kurator wajib seketika memulai dengan pemberesan harta pailit. Dalam keadaan semacam ini maka harta pailit dibagi di antara kreditur dengan cara :

                                                               34 Munir Fuady, Op. cit., hal. 35.