Pembebanan Harta Pailit Dengan Gadai Dalam Pengurusan Harta Pailit Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaankewajiban Pembayaran Utang

(1)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

Ripin Winardi 100200381

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

PEMBEBANAN HARTA PAILIT DENGAN GADAI DALAM PENGURUSAN HARTA PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN

2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

Oleh

Ripin Winardi 100200381

Disetujui Oleh

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Windha, SH. M.Hum NIP. 19750112 200501 2 002

Pembimbing I Pembimbing II

(Ramli Siregar, SH., M.Hum) (Windha, SH., M.Hum)

NIP. 195303121983031002 NIP. 19750112 200501 2 002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Pembebanan Harta Pailit Dengan Gadai Dalam Pengurusan Harta Pailit Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan

Dan Penundaankewajiban Pembayaran Utang.

Sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi S-I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga dapat menjadi perbaikan di masa akan datang.

Dalam penulisan Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara moril dan materil, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(4)

5. Ibu Windha, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus dosen pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat dan saran mulai dari awal sampai akhir sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

6. Bapak Ramli Siregar, SH., M.Hum, selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat dan saran mulai dari awal sampai akhir sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

7. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Kepada kedua orang tua ayahanda dan ibunda SE yang telah banyak memberikan dukungan doa dan kasih sayang yang tak pernah putus sampai sekarang.

9. Rekan-rekan diluar kampus yang tidak bisa disebutkan satu persatu

Penulis berharap semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, September 2014 Penulis

Ripin Winardi 100200381


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... i

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan Pustaka ... 7

E. Metode Penelitian ... 16

F. Keaslian ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 20 BAB II PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 .... A. Syarat dan Prosedur Permohonan Pailit ... B. Akibat Hukum Putusan Pailit ... C. Pengurusan dan Pemberesan Harta Palit ... D. Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan

Pemberesan Harta Pailit ... E. Berakhirnya Kepailitan ...

BAB III KEBERADAAN GADAI DALAM PENGURUSAN

DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT ... A. Pengertian Gadai

B. Gadai sebagai Jaminan Utang


(6)

BAB IV PEMBEBANAN HARTA PAILIT DENGAN GADAI

DALAM PENGURUSAN HARTA PAILIT ... A. Alasan Pembebanan Harta Pailit dengan Gadai ... B. Penyelesaian Utang Debitur Melalui Pembebanan Harta

Pailit dengan Gadai ... C. Hambatan-hambatan Penyelesaian Utang Debitur

Melalui Pembebanan Harta Pailit dengan Gadai ...

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... A. Kesimpulan ... B. Saran

DAFTAR PUSTAKA


(7)

ABSTRAK

PEMBEBANAN HARTA PAILIT DENGAN GADAI DALAM PENGURUSAN HARTA PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN

2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

*Ripin Winardi ** Ramli Siregar

*** Windha

Kepailitan pada dunia usaha dimungkinkan dengan bentuk-bentuk usaha tertentu. Secara sederhana, perusahaan dapat diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) bentuk usaha, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole proprietorship), Persekutuan (partnership firm and limited partnership), Perseroan Terbatas (corporation), Koperasi (cooperative).Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimanakah pengurusan dan pemberesan harta pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.Bagaimanakah keberadaan gadai dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. Bagaimanakah pembebanan harta pailit dengan gadai dalam pengurusan harta pailit.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.

Pengurusan dan pemberesan harta pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. dalam hal harta pailit mampu mencukupi pembayaran utang-utang debitur pailit kepada para krediturnya, maka langkah selanjutnya adalah rehabilitasi atau pemulihan status Debitur pailit menjadi subjek hukum penuh atas harta kekayaannya, hal ini sesuai dengan isi Pasal 215 UUK dan PKPU. Syarat utama adanya rehabilitasi adalah bahwa si pailit telah membayar semua utangnya pada debitur dengan dibuktikan surat tanda bukti pelunasan dari para debitur bahwa uang debitur pailit telah dibayar semuanya. Keberadaan gadai dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, apabila nilai dari suatu harta pailit yang digadai lebih besar dari piutang-piutang kreditur. Pembebanan harta pailit dengan gadai dalam pengurusan harta pailit tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Dalam melaksanakan tugasnya, kurator: tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitur, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit.

Kata Kunci : Pembebanan, Harta Pailit, Gadai *Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU *** Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU


(8)

ABSTRAK

PEMBEBANAN HARTA PAILIT DENGAN GADAI DALAM PENGURUSAN HARTA PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN

2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

*Ripin Winardi ** Ramli Siregar

*** Windha

Kepailitan pada dunia usaha dimungkinkan dengan bentuk-bentuk usaha tertentu. Secara sederhana, perusahaan dapat diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) bentuk usaha, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole proprietorship), Persekutuan (partnership firm and limited partnership), Perseroan Terbatas (corporation), Koperasi (cooperative).Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimanakah pengurusan dan pemberesan harta pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.Bagaimanakah keberadaan gadai dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. Bagaimanakah pembebanan harta pailit dengan gadai dalam pengurusan harta pailit.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.

Pengurusan dan pemberesan harta pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. dalam hal harta pailit mampu mencukupi pembayaran utang-utang debitur pailit kepada para krediturnya, maka langkah selanjutnya adalah rehabilitasi atau pemulihan status Debitur pailit menjadi subjek hukum penuh atas harta kekayaannya, hal ini sesuai dengan isi Pasal 215 UUK dan PKPU. Syarat utama adanya rehabilitasi adalah bahwa si pailit telah membayar semua utangnya pada debitur dengan dibuktikan surat tanda bukti pelunasan dari para debitur bahwa uang debitur pailit telah dibayar semuanya. Keberadaan gadai dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, apabila nilai dari suatu harta pailit yang digadai lebih besar dari piutang-piutang kreditur. Pembebanan harta pailit dengan gadai dalam pengurusan harta pailit tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Dalam melaksanakan tugasnya, kurator: tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitur, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit.

Kata Kunci : Pembebanan, Harta Pailit, Gadai *Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU *** Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut yang akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur yang sudah jatuh tempo, maka pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) harus dapat mendukung dan menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. Pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundangundangan, salah satunya adalah dengan merubah Undang-undang Kepailitan yang ada. Untuk itu, pemerintah sebagai regulator memberikan solusi dengan menerbitkan Undang-undang Kepailitan yang komprehensif, yakni Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat UUK dan PKPU)

Kepailitan pada dunia usaha dimungkinkan dengan bentuk-bentuk usaha tertentu. Secara sederhana, perusahaan dapat diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) bentuk usaha, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole proprietorship), Persekutuan


(10)

(partnership firm and limited partnership), Perseroan Terbatas (corporation), Koperasi (cooperative).1

Pengertian perusahaan secara yuridis dapat ditemukan definisinya di dalam peraturan perundang-undangan, karena sesungguhnya perusahaan itu adalah sebagai lembaga ekonomi. Dengan kriteria tersebut maka dapat dengan mudah mengklasifisikan suatu kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan dan dilakukan secara legal (tidak bertentangan dengan hukum), serta imaksudkan untuk mencari laba, maka kegiatan itu adalah merupakan kegiatan usaha. Lembaganya adalah perusahaan tertentu. Dalam hal ini dapat dilihat pada Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD) yang menyatakan :“Bahwa setiap orang yang menjalankan perusahaan diwajibkan untuk menyelenggarakan catatan-catatan menurut syarat-syarat perusahaannya tentang keadaan hartanya dan tentang apa saja yang berhubungan dengan perusahaannya, dengan cara yang demikian sehingga dari catatan-catatan yang diselenggarakan itu sewaktu-waktu dapat diketahui segala hak dan kewajibannya.

Peraturan khusus mengenai pelaksanaan perusahaan, yang telah disebutkan dalam Pasal 6 KUHD tersebut di atas. Mewajibkan setiap orang yang menjalankan perusahaan membuat pembukuan yang teratur dan rapi. Dari pembukuan ini harus dapat diketahui semua hak dan kewajiban mengenai harta kekayaannya, termasuk harta kekayaan yang dipakai dalam perusahaan. Hal ini

       1

Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan Hukum


(11)

oleh pembentuk Undang-undang dipandang perlu untuk melindungi kepentingan kreditur.2

Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan dan usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit tersebut secara proporsional dan sesuai dengan struktur kreditur.

Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang rnenghimpit seorang debitur, di mana debitur tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersehut kepada para krediturnya. Sehingga, bila keadaan kezidakrmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitur. maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitur tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa debitur tersebut memang telah

       2

H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Hukum Dagang Indonesia 1 (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1991), hlm. 19.


(12)

tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for bankcruptcy).3

Proses kepailitan dimulai dengan adanya suatu permohonan pailit terhadap debitur yang memenuhi syarat, sesuai Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU yang menyatakan bahwa ”debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih dari krediturnya.”

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis memilih judul Pemberesan Harta Pailit Dengan Gadai Dalam Pengurusan Harta Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengurusan dan pemberesan harta pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004?

2. Bagaimanakah keberadaan gadai dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit?

3. Bagaimanakah pembebanan harta pailit dengan gadai dalam pengurusan harta pailit?

       3

Ricardo Simanjuntak, “Esensi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan” dalam Emmy Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm.55-56.


(13)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan penulisan

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui pengurusan dan pemberesan harta pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

b. Untuk mengetahui keberadaan gadai dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.

c. Untuk mengetahui pembebanan harta pailit dengan gadai dalam pengurusan harta pailit

2. Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:

a. Manfaat teoritis

1) Diharapkan menjadi pertimbangan dalam pemikiran dan wawasan berpikir dalam suatu karya ilmiah di bidang hukum, khususnya dalam bidang hukum kepailitan yang membahas pembebanan harta pailit dengan gadai dalam pengurusan harta pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PenundaanKewajiban Pembayaran Utang

2) Diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca, khususnya mengenai dengan adanya penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang Pembebanan Harta Pailit dengan Gadai Dalam Pengurusan Harta Pailit


(14)

b. Manfaat praktis

Diharapkan dapat memberikan informasi bagi masyarakat tentang pembebanan harta pailit dengan gadai dalam pengurusan harta pailit

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang Pemberesan Harta Pailit Dengan Gadai Dalam Pengurusan Harta Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas cabang Fakultas Hukum yang mirip yang penulis temukan adalah :

1. Harri Sugandi H, NIM 010200102, dengan judul Kewenangan Bank Indonesia terhadap kepailitan Banak dan Penundaan Kewajiban pembayaran uang. 2. Putri Herwina, NIM 040200065 dengan judul Tugas dan Wewenang Hakim

Pengawas dalam Kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. 3. Lisnawati Solin, NIM dengan judul Tinjauan yuridis akibat putusan pailit

terhadap karyawan perusahaan berdasarkan Undnag-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

4. Amirudin, NIM 050200086, dengang judul Tinjauan hukum mengenai permohonan pailit perusahaan BUMN berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.


(15)

Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas segala kritikan dan masukan yang sifatnya membangun guna penyempurnaan hasil penelitian.

E. Tinjauan Pustaka

1. Kepailitan

Secara etimologi kepailitan adalah segala sesuatu yang menyangkut peristiwa pailit.Dalam Black’s Law Dictionary, pailit atau bankruptadalah :

“The state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due.The term includes a person against whom an involuntary petition has beenfilled, or who has filled a voluntary petition, or who has been adjudged abankrupt.4

Pasal 1 angka (1) UUK dan PKPU menyatakan sebagai berikut: “kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.

Munir Fuady menyamakan “istilah kepailitan dengan bangkrut” manakala perusahaan (atau orang pribadi) tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, daripada pihak debitur ramai-ramai mengeroyok debitur dan saling berebutan harta debitur tersebut, hukum memandang perlu mengaturnya sehingga hutang-hutang debitur dapat dibayar

       4

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, St. Paul – onessota, USA, 1990.


(16)

secara tertib dan adil. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepailitan adalah suatu sitaan umum yang dijatuhkan oleh pengadilan khusus, dengan permohonan khusus, atas seluruh aset debitur (badan hukum atau orang pribadi) yang mempunyai lebih dari 1 (satu) hutang/debitur dimana debitur dalam keadaan berhenti membayar hutangnya, sehingga debitur segera membayar hutang-hutangnya tersebut.5

2. Harta Pailit

Harta Pailit adalah after acquired property yaitu harta yang ditaruh dalam harta pailit setelah putusan pailit dijatuhkan.6

3. Gadai

Gadai adalah salah satu lembaga jaminan yang akan dapat digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa barang bergerak. Gadai diatur oleh ketentuan-ketentuan Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata. Beberapa di antara ketentuan gadai sebagaimana yang tercantum dalam KUHPerdata adalah sebagai berikut :

a. Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya, dengan

       5

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra (Bandung: Aditya Bakti, 2002) hlm. 75.

6

http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/harta_pailit.aspx, diakses tanggal 1 Oktober 2014


(17)

mengecualikan biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya tersebut harus didahulukan (Pasal 1150 KUHPerdata).

b. Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan pokok. (Pasal 1151 KUHPerdata) Perjanjian Gadai dalam kehidupan sehari-hari dapat berupa akta autentik atau akta di bawah tangan.

c. Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang bawa diletakkan dengan membawa barang yang dijadikan objek gadai di bawah kekuasaan si berpiutang ataupun di bawah kekuasaan seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak. (Pasal 1152 ayat 1).

d. Tidak sah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan si berutang atau si pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan si berpiutang (Pasal 1152 ayat kedua).

e. Hak gadai hapus apabila barang yang dijadikan objek gadai keluar dari kekuasaan si penerima gadai. Apabila barang tersebut hilang dari tangan penerima gadai atau dicuri darinya, ia berhak menuntutnya kembali sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1977 ayat kedua, sedangkan apabila barang tersebut kembali diperolehnya, hak gadai dianggap tidak pernah hilang (Pasal 1152 ayat ketiga).

f. Hal tidak berkuasanya si pemberi gadai untuk bertindak bebas dengan barang yang dijadikan objek gadai tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada si berpiutang yang telah menerima barang tersebut dalam gadai,


(18)

dengan tidak mengurangi hak pihak yang kehilangan atau kecurian barang itu, untuk menuntutnya kembali (Pasal 1152 ayat keempat).

Ketentuan yang mengatur tentang keharusan objek jaminan utang di bawah kekuasaan pihak pemberi pinjaman pperlu dipatuhi karena bila objek jaminan utang yang diikat dengan gadai tersebut tetap berada pada pihak peminjam, pengikatan melalui gadai tersebut batal demi hukum. Bila hal seperti demikian terjadi dalam pemberian kredit perbankan, dapat dikatakan bahwa pemberian kredit yang bersangkutan adalah tanpa jaminan kredit dan mempunyai akibat terhadap penilaian tingkat kesehatan bank sebagai pemberi kredit jaminan kredit dan mempunyai akibat terhadap penilaian tingkat kesehatan bank sebagai pemberi kredit7

g. Apabila si berutang atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya, maka tidak diperkenankan si berpiutang memiliki barang yang dijadikan objek gadai (Pasal 1154 ayat kesatu). Segala janji yang bertentangan dengan ketentuan tersebut adalah batal (Pasal 1154 ayat kedua).

Ketentuan gadai yang melarang pihak pemberi pinjaman memiliki objek gadai tersebut termasuk sebagai salah satu prinsip hukum jaminan sebagaimana telah dikemukakan pada uraian terdahulu mengenai prinsip-prinsip hukum jaminan.8

Di samping beberapa ketentuan tersebut di atas, terdapat pula ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang hak gadai atas surat-surat tunjuk (Pasal 1152

       7

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 3.

8


(19)

bis), hak gadai atas benda bergerak yang tak bertubuh (Pasal 1153), tata cara pencairan objek gadai (Pasal 1155 dan Pasal 1156), tanggung jawab si berpiutang dan si berutang (Pasal 1157), piutang yang digadaikan (Pasal 1158), pelepasan gadai (Pasal 1159), dan objek gadai dan ahli waris (Pasal 1160).

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi penelitian

Penelitian dalam skripsi ini adalah bersifat deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum.9 Dengan demikian dalam penelitian ini tidak hanya ditujukan untuk mendeskripsikan gejala-gejala atau fenomena-fenomena hukum yang terkait dengan pembebanan harta pailit dengan gadai dalam pengurusan harta pailit akan tetapi lebih ditujukan untuk menganalisis fenomena-fenomena hukum tersebut dan kemudian mendeskripsikannya secara sistematis sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif yaitu ilmu hukum yang obyeknya hukum itu sendiri.10

       9

Ibid.

10

Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 57.


(20)

Dalam penelitian ini metode normatif digunakan untuk meneliti norma-norma hukum internasional dan hukum nasional yang berlaku terkait dengan pembebanan harta pailit dengan gadai dalam pengurusan harta pailit

2. Data penelitian

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal ataupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas, yang meliputi:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum yang bersifat mengikat seperti undang-undang, perjanjian inernasional, dan lain-lain, yang dalam penelitian tesis ini terdiri dari berbagai peraturan hukum yang berkaitan dengan UUK dan PKPU.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti berbagai tulisan, jurnal dan buku-buku yang dianggap berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan diangkat.

c. Bahan hukum tersier

Merupakan bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, dan kamus hukum sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.


(21)

3. Teknik pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dimana seluruh data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini, dikumpulkan dengan mempergunakan studi kepustakaan. Pada tahap awal pengumpulan data, dilakukan inventaris seluruh data dan atau dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan metode analisis yang sudah dipilih.11

4. Analisis data

Dilakukan secara kualitatif, yakni suatu bentuk analisa yang tidak bertumpu pada angka-angka melainkan pada kalimat-kalimat. Bahan hukum yang diperoleh akan dipilah-pilah, dikelompokkan dan disusun sedemikian rupa sehingga menjadi suatu rangkaian yang sistematis yang akan dipergunakan untuk membedah dan menganalisis permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini melalui interpretasi dan abstraksi bahan-bahan hukum yang tersedia. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai titik tolak untuk

       11


(22)

melakukan penelitian. Dengan demikian teori digunakan sebagai alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah dalam . Pembebanan Harta Pailit Dengan Gadai Dalam Pengurusan Harta Pailit Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

G. Sistematika Penulisan

Pembahasan secara sistematis sangat diperlukan dalam penulisan karya tulis ilmiah. Untuk memudahkan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab yang saling berhubungan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut BAB I PENDAHULUAN

Pada bagian bab ini akan membahas tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan Sistematika Penulisan

BAB II PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 Bab ini berisikan Pengertian dan Prosedur Permohonan Kepailitan, akibat hukum putusan pailit, pengurusan dan pemberesan harta pailit, tanggungjawab kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit dan berakhirnya kepailitan.


(23)

BAB III KEBERADAAN GADAI DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT.

Bab ini berisikan pengertian gadai, gadai sebagai jaminan utang, keberadaan gadai dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. BAB IV PEMBEBANAN HARTA PAILIT DENGAN GADAI DALAM

PENGURUSAN HARTA PAILIT

Bab ini berisikan alasan pembebanan harta pailit dengan gadai, penyelesaian utang debitur melalui pembebanan harta pailit dengan gadai serta hambatan-hambatan penyelesaian utang debitur melalui pembebanan harta pailit dengan gadai.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran


(24)

A. Pengertian dan Prosedur Permohonan Kepailitan 1. Pengertian Kepailitan

Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala yang berhubungan dengan “pailit”. Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah “faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le failli. Didalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan istilah to fail, dan didalam bahasa latin dipergunakan istilah failire.

Pengertian pailit atau bankrupt dalam Black’s Law Dictionary adalah: “The state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.”12

Pengertian pailit yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut dihubungkan dengan ketiadamampuan untuk membayar dari Debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketiadamampuan tersebut harus disertai dengan

       12

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2002), hlm. 11.


(25)

suatu tindakan nyata untuk mengajukan suatu permohonan ke Pengadilan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar debitur). Maksud dari pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan azas “publisitas”13

Kepailitan adalah suatu kenyataan bahwa kegiatan usaha global seperti sekarang ini tidak mungkinterisolir dari masalah-masalah lain. Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit pada saat ini akan mempunyai imbas dan pengaruh buruk bukan hanya perusahaan itu saja melainkan berakibat global. Sebagai contoh, ketika Dirut Yamaichi Securities pada tanggal 1 Desember 1995 mengumumkan kebangkrutan perusahaannya pada suatu konferensi pers di Tokyo, Jepang laksana diguncang bom atom lagi. Bahkan dampaknya bersifat mengglobal. Dari kasus ini dapat dilihat banyak yang akan jadi korban bila perusahaan itu dinyatakan pailit.

Lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok di dalam aktivitas bisnis karenaadanya status pailit merupakan salah satu sebab pelaku bisnis keluar dari pasar. Apabila pelaku bisnis sudah tidak mampu lagi untuk bermain di arena pasar, maka dapat keluar dari pasar. Di dalam hal seperti inilah kemudian lembaga kepailtan itu berperan.14

Pandangan seperti itu memang secara ekonomis dapat diterima, bila dikemas di dalam peraturan hukum maka peraturan itu secara tepat kepentingan yangdilihat dari sudut pandang ekonomis namun hal seperti ini jelas tidak sesuai dengan era global seperti sekarang ini. Menurut Peter, aturan main bentuk perangkat hukum di dalam kegiatan bisnis meliputi tiga hal yaitu:

       13

Ibid., hlm 11-12

14

Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Untuk Indonesia


(26)

a. Aturan hukum yang memberi landasan hukum bagi keberadaan lembaga-lembaga yang mewadahi bisnis dalam arena pasar (substantive legal rules).

b. Aturan hukum yang mengatur perilaku (behavior) para pelaku bisnis dalam melaksanakan setiap transaksi bisnis, dan

c. Aturan hukum yang memungkinkan pelaku keluar dari pasar. Kata pailit berasal dari bahasa Perancis “failite” berarti kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah “failite”. Sedang dalam hukum Anglo America, undang-undangnya dikenal dengan Bankcrupty Act. Dalam pengertian kita, merujuk aturan lama yaitu Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepailitan Faillisement Verordening S. 1990-217 jo 1905-348 menyatakan : “ Setiap berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditur), dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit ”15

Kepailitan semula diatur oleh Undang-Undang tentang Kepailitan yang dikenal dengan sebutan Failissement Verordening (FV) yaitu Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. FV tersebut kemudian diubah dalam arti disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 sehubungan dengan gejolak moneter yang menimpa Negara Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. PERPU Nomor 1 Tahun 1998 selanjutnya ditetapkan sebagai undang-undang oleh

       15

Sri Rejeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepaitan Modern (Jakarta: Majalah Hukum Nasional, 2000), hlm 81.


(27)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, namun karena perubahan tersebut belum juga memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat kemudian diperbaharui dengan UUK dan PKPU.

Setelah keluarnya UUK dan PKPU, pengertian pailit dijumpai dalam Pasal 1 angka (1) yang menyebutkan: “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Dilakukan penyitaan secara umum dimaksudkan untuk menghindari para kreditur bertindak sendiri-sendiri, agar semua kreditur memperoleh manfaat dari harta kekayaan debitur pailit, dengan cara dibagi menurut perimbangan hak tagihan atau tuntutan mereka masing-masing.

Kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:

a. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur;

b. Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang


(28)

taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.

Syarat-syarat untuk mengajukan pailit terhadap suatu perusahaan telah diatur dalam Pasal 2 UKK dan PKPU. Dari syarat pailit yang diatur dalam Pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat yuridis agar dapat dinyatakan pailit adalah :16

a. Adanya utang; utang adalah perikatan, yang merupakan prestasi atau kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang harus dipenuhi oleh setiap debitur dan bila tidak dipenuhi, kreditur berhak mendapat pemenuhannya dari harta debitur. Pada dasarnya UUK dan PKPU tidak hanya membatasi utang sebagai suatu bentuk utang yang bersumber dari perjanjian pinjam-meminjam uang saja.17

b. Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo; Utang yang telah jatuh tempo, dapat terjadi karena beberapa hal, pertama, jatuh tempo biasa, yakni jatuh tempo sebagaimana yang disepakati bersama antar kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit; kedua, jatuh tempo yang dipercepat, yakni jatuh tempo yang mendahului jatuh tempo biasas karena debitur melanggar isi perjanjian, sehingga pernagihannya diakselerasi. Debitur diwajibkan mencicil utangnya setiap bulan termasuk bunga dan biaya-biaya lainnya. Apabila debitur tidak membayar angsuran cicilan kreditnya tiga bulan berturut-turut, maka jatuh tempo dapat dipercepat; ketiga, jatuh tempo

       16

Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999),hlm. 8.

17

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan


(29)

karena pengenaan sanksi/denda oleh instansi yang berwenang; keempat, jatuh tempo karena putusan pengadilan atau putusan badan arbitrase. Berdasarkan kebiasaan yang berlaku di antara debitur dan kreditur, atau dapat juga dipakai sebagai dasar jatuh tempo surat tegoran atau somasi.18 Tidak semua utang dapat ditagih. Utang yang dapat ditagih adalah utang yang legal. Utang yang timbul berdasarkan perjanjian atau undang-undang. Bukan utang yang illegal, utang yang timbul dengan cara melawan hukum tidak dapat ditagih melalui mekanisme dan prosedur hukum kepailitan.

c. Minimal satu dari utang dapat ditagih; Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut debitur untuk memenuhi prestasinya. Menurut penulis, syarat ini menunjukkan bahwa utang harus lahir dari perikatan sempurna (adanya schuld dan haftung). Dengan demikian, jelas bahwa utang yang lahir dari perikatan alamiah (adanya schuld dan haftung) tidak dapat dimajukan untuk permohonan pernyataan pailit. Misalnya utang yang lahir dari perjudian. Meskipun utang yang lahir dari perjudian telah jatuh waktu, hal ini tidak melahirkan hak kepada kreditur untuk menagih utang tersebut. Dengan demikian, meskipun debitur mempunyai kewajiban untuk melunasi utang itu, kreditur tidak mempunyai alas hak untuk menuntut pemenuhan utang tersebut.19

       18

Syamsdin Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia (Jakarta: Tatanusa, 2012), hlm. 91.

19


(30)

d. Adanya debitur; debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.7 Sedangkan kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.20

e. Adanya Kreditur; kreditur konkuren/bersaing, yaitu kreditur-kreditur yang tidak termasuk golongan khusus dan golongan istimewa. Piutang mereka dibayar dengan sisa hasil penjualan/pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan kreditur separatis dan kreditur preferen. Sisa penjualan harta pailit itu dibagi menurut imbangan besar kecilnya piutang para kreditur konkuren (Pasal 1132 KUHPerdata). 21 Kreditur yang mempunyai privilege atau hak istimewa sering disebut kreditur preferen, adalah kreditur yang mempunyai hak untuk didahulukan pembayaran piutangnya dari kreditur lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya yang diistimewakan. Hal tersebut dapat mengenai benda-benda tertentu saja atau dapat mengenai semua benda bergerak pada umumnya. Mereka ini menerima pelunasan terlebih dahulu dari penjualan barang yang bersangkutan. Kreditur separatis atau kreditur golongan khusus, adalah kreditur yang dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.22Kreditur golongan khusus ini dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan utang seolah-olah tidak ada kepailitan. Dari

       20

Pasal 1 angka (3) UUK dan PKPU

21

Agus Sudradjat, Kepailitan Dan Kaitannya Dengan Lembaga Perbankan, Makalah Seminar Nasional Lembaga Kepailitan Dalam Pembaharuan Hukum Ekonomi Di Indonesia, (Semarang :Fakultas Hukum Universitas Katolik Soegijapranata, 1996), hlm. 4.

22


(31)

hasil penjualan itu kreditur mengambil sebesar piutangnya sebagai pelunasan, sedang sisanya di setor ke kurator. Bila ternyata hasil penjualan itu kurang dari jumlah piutangnya, maka ia dapat menggabungkan diri sebagai kreditur konkuren untuk sisanya.

f. Kreditur lebih dari satu; Persyaratan dua atau lebih Kreditur initerkait dengan filosofi hukum kepailitan itu sendiri yaitu meletakkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur dan mengatur bagaimana cara membagi hasil penjualan harta kekayaan debitur tersebut untuk membayar kewajiban debitur kepada semua krediturnya

g. Pernyataan pailit dilakukan oleh Pengadilan khusus yang disebut dengan ”Pengadilan Niaga”;

h. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang yaitu: 1) Pihak Debitur;

2) Satu atau lebih Kreditur;

3) Jaksa untuk kepentingan umum; 4) Bank Indonesia jika Debiturnya bank;

5) Bapepam jika Debiturnya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian;

6) Menteri Keuangan jika Debiturnya perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik; i. Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang-Undang


(32)

j. Apabila syarat-syarat terpenuhi, Hakim “menyatakan pailit” bukan ”dapat dinyatakan pailit.” Sehingga dalam hal ini kepada Hakim tidak dapat diberikan ruang untuk memberikan ”judgement” yang luas. sehingga dalam pengajuan pailit terhadap Debitur oleh Kreditur, maka harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 2 UUK dan PKPU. Untuk syarat dinyatakan pailit pada prinsipnya masih sama dengan Undang-Undang Kepailitan, hanya pengaturan Pasalnya saja yang berubah bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU diatur. Esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan debitur untuk kepentingan semua kreditur yang pada waktu debitur dinyatakan pailit mempunyai hutang.

2. Prosedur permohonan pailit

Pasal 1 ayat (1) UUK disebutkan, bahwa Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) UUK disebutkan, debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikit dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Dari ketentuan Pasal ini dapat diketahui, bahwa syarat yang harus dipenuhi jika debitur ingin mengajukan permohonan pailit mempunyai :


(33)

b. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang sudah jatuh tempo.23 Dengan demikian, dalam UUK tidak dijelaskan berapa jumlah utang minimal yang harus ada sehingga dapat diajukan permohonan pailit. Di sini hanya dijelaskan utang adalah kewajiban yang dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan wajib dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Pengertian kreditur dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUK disebutkan, kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka Pengadilan, sedangkan pengertian debitur dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUK disebutkan, adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan, dengan mengacu kepada ketentuan di atas terlihat baik debitur maupun kreditur dapat mengajukan permohonan pailit.

Permohonan kepailitan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK, kepailitan dapat dimohonkan apabila debitur mempunyai dua atau lebih kreditur, dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan. Pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Utang yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 tersebut adalah utang pokok atau bunganya.

       23

Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan Dan Peraturan Perundang-undangan Yang Terkait Dengan Kepailitan, (Bandung : Nuansa Aulia, 2006), hlm. 14.


(34)

Sesuai dengan penjelasan atas Pasal 2 ayat (1) dari UUK, kreditur dalam ayat ini adalah baik kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen. Khusus mengenai kreditur separatis dan kreditur preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan. Bilamana terdapat indikasi kreditur maka masing-masing kreditur adalah kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 UUK dan PKPU.

Utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan Pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.

Adapun prosedur permohonan pailit adalah sebagai berikut : a. Tahap Pendaftaran Permohonan Pernyataan Pailit

Pasal 1 angka (7) UUK dan PKPU secara tegas menentukan bahwa : “Pengadilan adalah pengadilan niaga dalam lingkungan peradilan umum.” Apabila diperhatikan Pasal 3, walaupun tidak secara eksplisit ditentukan namun diketahui bahwa permohonan pernyataan pailit harus diajukan ke pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur. Ketentuannya adalah sebagai berikut: 24

       24


(35)

1) Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan atau diatur dalam undang-undang ini, diputuskan oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur.

2) Dalam hal debitur telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang menetapkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitur.

3) Dalam hal debitur adalah pesero yakni pesero suatu firma, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan firma tersebut juga berwenang untuk memutuskan.

4) Dalam hal debitur tidak bertempat kedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya dalam wilayah negara Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang memutuskan adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat debitur menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia.

5) Dalam hal debitur merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya. Pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada ketua pengadilan niaga. Panitera pengadilan niaga wajib mendaftarkan permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang


(36)

ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.

Pasal 6 ayat (3) UUK dan PKPU mewajibkan panitera untuk menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut. Pasal 6 ayat (3) UUK dan PKPU ini pernah diajukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 071/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 001-002/PUU.III/2005 telah menyatakan bahwa Pasal 6 ayat (3) beserta penjelasannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pertimbangan-pertimbangan hukum yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi, antara lain :

a) Bahwa panitera walaupun merupakan jabatan di pengadilan, tetapi kepada jabatan tersebut seharusnya hanya diberikan tugas teknis administrasi yustisial dalam rangka memberikan dukungan terhadap fungsi yustisial yang merupakan kewenangan hakim. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004, ditentukan bahwa tugas pokok panitera adalah menangani administrasi perkara dan hal-hal administrasi lain yang bersifat teknis peradilan dan tidak berkaitan dengan fungsi peradilan, yang merupakan kewenangan hakim. Menolak pendaftaran suatu permohonan pada hakikatnya termasuk ranah yustisial. Panitera


(37)

diberikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab melaksanakan fungsi yustisial, hal tersebut bertentangan dengan hakikat dari kekuasaan kehakiman yang merdeka, serta penegakan hukum dan keadilan;25 b) Menimbang pula bahwa sejak lama telah diakui asas hukum yang

berbunyi bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Asas ini dicantumkan dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman. Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang hukumnya jelas mengatur perkara yang diajukan kepada pengadilan;

c) Apabila panitera diberikan wewenang untuk menolak mendaftarkan permohonan pernyataan pailit suatu perusahaan asuransi, hal tersebut dapat diartikan penitera telah mengambil alih kewenangan hakim untuk memberi keputusan atas suatu permohonan. Kewenangan demikian menghilangkan hak pemohon untuk mendapatkan penyelesaian sengketa hukum dalam suatu proses yang adil dan terbuka untuk umum. Hal ini bertentangan dengan prinsip due process

       25

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, 1945 Pasal 24 ayat (1)


(38)

of law dan access to courts yang merupakan pilar utama bagi tegaknya rule of law;26

d) Meskipun hasil akhir atas permohonan yang bersangkutan boleh jadi sama, yaitu tidak dapat diterimanya permohonan yang bersangkutan, karena tidak terpenuhinya syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang a quo, yang menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan UUD 1945, keputusan demikian harus dituangkan dalam putusan yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” ;

e) Menimbang bahwa karena penjelasan Pasal 6 ayat (3) merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari pasal yang dijelaskan, dengan sendirinya penjelasan pasal tersebut diperlakukan sama dengan pasal yang dijelaskannya.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, panitera pengadilan niaga menjadi tidak berwenang untuk menolak setiap perkara yang masuk. Setelah mendaftarkan permohonan pernyataan pailit, panitera menyampaikan permohonan tersebut kepada ketua pengadilan niaga paling lambat 2 (dua) hari setelah permohonan didaftarkan. 27

b. Tahap pemanggilan para pihak

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan kepailitan, sebagai berikut:

       26

Ibid., Pasal 1 ayat (3)

27


(39)

1) Debitur sendiri, dengan syarat bahwa debitur tersebut mempunyai minimal 2 (dua) kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih;

2) kreditur yang mempunyai piutang kepada debitur yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih (Pasal 2 ayat 1);

3) Kejaksaan atau jaksa demi kepentingan umum (Pasal 2 ayat 2) ; 4) Bank Indonesia dalam hal menyangkut debitur yang merupakan bank

(Pasal 2 ayat 3);

5) Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal menyangkut debitur yang merupakan Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (Pasal 2 ayat 4); 6) Menteri Keuangan dalam hal debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik (Pasal 2 ayat 5). UUK dan PKPU memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan sebagai satu-satunya pihak yang berhak mengajukan pailit Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik ini merupakan sesuatu yang baru yang tidak dijumpai dalam UU No.4 Tahun 1998. Pasal Pasal 2 ayat (5) UUK dan PKPU. Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui juru sita melakukan pemanggilan para pihak, antara lain :28

       28


(40)

a) Wajib memanggil debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan;

b) Dapat memanggil kreditur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU telah terpenuhi. Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan.

c. Tahap persidangan atas permohonan pernyataan pailit

Jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan debitur dan berdasarkan alasan yang cukup seperti adanya surat keterangan sakit dari dokter, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang pemeriksaan sampai dengan paling lambat 25 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan yaitu Pasal 10 ayat (1) UUK dan PKPU untuk :


(41)

1) Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur; atau

2) Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi : a) Pengelolaan usaha debitur; dan

b) Pembayaran kepada kreditur, pengalihan, atau pengagunan kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan wewenang kurator.

Pasal 10 ayat (2) UUK dan PKPU Pengadilan hanya dapat mengabulkan permohonan tersebut apabila hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan kreditur. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam hal permohonan meletakkan sita jaminan tersebut dikabulkan, maka pengadilan dapat menetapkan syarat agar kreditur pemohon memberikan jaminan yang dianggap wajar oleh pengadilan. Kemudian dalam penjelasannya Pasal 10 ayat (3) UUK dan PKPU dijelaskan : “... Namun demikian, untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan debitur dan kreditur, pengadilan dapat mempersyaratkan agar kreditur memberikan uang jaminan dalam jumlah yang wajar apabila upaya pengamanan tersebut dikabulkan. Dalam menetapkan persyaratan tentang uang jaminan atas keseluruhan kekayaan debitur, jenis kekayaan debitur dan besarnya uang jaminan yang harus diberikan sebanding dengan kemungkinan besarnya kerugian yang diderita oleh debitur, apabila permohonan pernyataan pailit ditolak oleh pengadilan”.


(42)

Dari penjelasan tersebut, terlihat jelas bahwa jaminan hanya diperlukan apabila pemohonnya adalah kreditur, sedangkan jika BI, Bapepam, dan Menteri Keuangan yang bertindak sebagai pemohon, jaminan tersebut tidak diperlukan.

d. Tahap putusan atas permohonan pernyataan pailit

Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar, sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang dialihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhinya putusan pernyataan pailit.

Putusan pengadilan niaga atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Waktu 60 hari (2 bulan) yang cukup singkat merupakan suatu perwujudan atas asas peradilan yang bersifat cepat, murah, dan sederhana. Dahulu dalam UU No.4 Tahun 1998 lebih cepat lagi, yaitu hanya dalam waktu 30 hari (1 bulan), pengadilan sudah harus memberikan putusan atas permohonan pernyataan pailit. Dengan pertimbangan yang rasional, UUK dan PKPU memberikan batasan, yaitu 2 (dua) bulan di mana pengadilan wajib memberikan putusan, terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Putusan atas permohonan


(43)

pernyataan pailit wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan wajib memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut serta memuat pula :

1) Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan

2) Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis.29

Salinan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada debitur, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, kurator, dan hakim pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan.30

B. Akibat Hukum Putusan Pailit

Dijatuhkannya putusan kepailitan, mempunyai pengaruh bagi debitur dan harta kekayaannya. Pasal 24 UUK dan PKPU menyebutkan bahwa terhitung ejak ditetapkannya putusan pernyataan pailit, debitur demi Hukum kehilangan hak menguasai dan mengurus kekayaannya (Persona Standi In Ludicio), artinya debitur pailit tidak mempunyai kewenangan atau tidak bisa berbuat bebas atas harta kekayaan yang dimilikinya. Pengurusan dan penguasaan harta kekayaan

       29

Jono, Op.cit., hlm 89-90

30


(44)

debitur dialihkan kepada kurator atau Balai Harta Peninggalan yang bertindak sebagai kurator yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.

Pernyataan pailit, mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan. Dengan ditiadakannya hak debitur secara hukum untuk mengurus kekayaannya maka oleh Undang-Undang Kepailitan ditetapkan bahwa terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator tersebut ditunjuk bersamaan dengan Hakim Pengawas pada saat putusan pernyataan pailit dibacakan.

Akibat hukum dari pernyataan pailit antara lain : 1. Kehilangan hak mengurus dan menguasai harta

Debitur dengan adanya putusan pernyataan pailit, berdasarkan ketentuan Pasal 16 UUK dan PKPU kehilangan untuk melakukan pengurusan, penguasaan dan pemberesan terhadap harta bendanya karena sudah beralih kepada Kurator (BHP atau Kurator lainnya). Harta benda yang termasuk dalam kepailitan adalah seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan sesuai yang diatur Pasal 21. Meskipun pengurusan, penguasaan dan pemberesan terhadap seluruh harta benda beralih kepada Kurator, akan tetapi ada beberapa harta yang ditegaskan berada di luar kepailitan berdasarkan Pasal 22, yaitu alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari; perlengkapan


(45)

dinas; perlengkapan kerja; persediaan makanan; buku-buku yang dipakai bekerja; gaji, upah, uang jasa, honorarium; hak cipta; sejumlah uang yang ditentukan Hakim Pengawas untuk nafkah debitur; tunjangan (uang) yang diperoleh debitur dari pendapatan anak-anaknya.31

2. Akibat hukum terhadap hibah

Ketentuan Pasal 1666 KUHPerdata, hibah adalah suatu persetujuan dimana penghibah menyerahkan sebuah benda guna keperluan penerima hibah semasa hidup secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali. Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 43 UUK dan PKPU Kurator dapat memintakan pembatalan apabila hibah yang dilakukan debitur diketahui secara patut akan merugikan bagi kreditur, kecuali debitur dapat membuktikan sebaliknya dimana dapat diketahui secara patut bahwa penghibahan ini terjadi setahun sebelum putusan pailit ditetapkan.

3. Akibat hukum terhadap pembayaran utang

Ketentuan Pasal 45 UUK dan PKPU, pembayaran utang yang dapat ditagih oleh debitur hanya dapat dimintakan pembatalannya jika dapat dibuktikan bahwa penerima pembayaran mengetahui pernyataan pailitnya debitur sudah dimintakan atau pelaporannya sudah dimasukkan, maupun apabila pembayaran tersebut sebagai akibat perundingan antara debitur dan kreditur yang dimaksudkan untuk, dengan memberikan pembayaran itu memberikan keuntungan kepada yang terakhir ini yang melebihi kreditur lainnya.

       31

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.54.


(46)

4. Akibat hukum terhadap surat-surat berharga

Menurut Pasal 46 UUK dan PKPU, berdasarkan ketentuan Pasal 46 maka tidak boleh dilakukan penagihan kembali dari orang yang sebagai pemegang suatu surat pembayaran atas tunjuk (aan toonder) atau surat perintah pembayaran (aan order) yang karena hubungan hukum pemegang-pemegangnya terdahulu diwajibkan menerima pembayaran. Jumlah yang telah dibayarkan oleh debitur dapat dikembalikan manakala dapat dibuktikan penerbitan surat-surat berharga tersebut adalah akibat suatu perundingan. 5. Akibat hukum terhadap pembayaran sesudah pernyataan pailit

Dinyatakan Berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (1) UUK dan PKPU, setiap orang yang setelah diucapkannya putusan pailit tetapi sebelum pernyataan pailit itu diumumkan telah membayar kepada si pailit untuk memenuhi perikatan-perikatan yang terbit, maka dibebaskan dari harta pailit selama tidak dapat dibuktikan bahwa ia mengetahui adanya putusan pernyataan pailit tersebut. Pembayaran sebagaimana dimaksud ayat (1) tersebut, yang dilakukan sesudah pernyataan pailit diumumkan tidak membebaskan terhadap harta pailit, apabila orang yang melakukannya membuktikan bahwa pernyataan pailit dengan jalan pengumuman menurut Undang-Undang tidak mungkin diketahui tempat tinggalnya, dengan tidak mengurangi hak kurator membuktikan bahwa pernyataan pailit itu memang telah diketahui orang tersebut sebagaimana diatur lebih lanjut dalam ayat (2) dan (3).


(47)

Setidak-tidaknya pembayaran yang dilakukan kepada debitur pailit membebaskan debitur terhadap harta pailit sekedar apa yang dibayarkan tersebut menguntungkan harta pailit.

6. Akibat hukum terhadap orang yang punya utang dan piutang

Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan (2) UUK dan PKPU, bahwa setiap orang yang mempunyai utang maupun piutang terhadap debitur pailit boleh meminta diadakannya perjumpaan utang, apabila utang maupun piutang itu diterbitkan sebelum pernyataan pailit ataupun akibat perbuatan-perbuatan yang dilakukannya dengan debitur sebagaimana diatur dalam ayat (1). Jika perlu, maka piutang-piutang terhadap debitur pailit dihitung menurut aturan-aturan dalam Pasal 136 dan Pasal 137.

7. Akibat hukum terhadap orang yang mengambil alaih utang maupun piutang

a. Bahwa seorang yang telah mengambil alih suatu utang maupun piutang dari pihak ketiga sebelum pernyataan pailit tidak boleh meminta perjumpaan utang apabila sewaktu pengambilalihan utang atau piutang tersebut tidaklah dengan itikad baik sebagaimana diatur Pasal 52 ayat (1).

b. Semua utang piutang yang diambil alih setelah putusan pernyataaan pailit diucapkan tidak dapat diperjumpakan sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2).

c. Setiap orang yang mempunyai utang kepada debitur pailit, yang hendak menjumpakan utangnya dengan suatu piutang unjuk dan


(48)

piutang atas pengganti wajib membuktikan bahwa pada saat pernyataan pailit ia sudah menjadi pemilik dari surat-surat berharga tersebut atass dasar itikad baik sebagaimana diatur Pasal 53.

8. Akibat hukum terhadap hak tanggungan, hak gadai, dan hak retensi

a. Setiap kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan lainnya dapat mengeksekusi seolah-olah tidak terjadi kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 55;

b. Hak eksekusi dapat ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak putusan pailit ditetapkan sesuai yang diatur Pasal 56 ayat (1);

c. Kreditur pemegang hak harus melaksanakan haknya paling lambat 2 bulan terhitung dimulainya keadaan insolvensi.;

d. Kreditur yang telah melaksanakan haknya wajib memberikan pertanggungjawaban kepada Kurator atas hasil penjualan barang yang menjadi agunan sebagaimana diatur Pasal 60 ayat (1);

e. Apabila dari hasil penjualan tidak cukup melunasi piutang, maka kreditur yang bersangkutan dapat mengajukan pelunasan atas kekurangan dari harta pailit sebagai kreditur konkuren setelah mengajukan permintaan pencocokan piutang sebagaimana diatur Pasal 60 ayat (3).

f. Kreditur yang berhak menahan barang-barang kepunyaan debitur sampai dibayarnya suatu utang tidak kehilangan haknya untuk


(49)

menahan barang meskipun telah diucapkan pernyataan pailit sesuai yang diatur dalam Pasal 61.

9. Akibat hukum bagi suami-isteri yang melakukan perjanjian pisah harta a. Apabila suami atau istri dinyatakan pailit maka suami atau isterinya

berhak mengambil kembali barang bergerak dan tak bergerak yang merupakan harta bawaannya dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1);

b. Jika benda milik istri atau suami telah dijual oleh suami atau istri dan harganya belum dibayar aatau uang hasul penjualan belum tercampur dalam harta pailit maka istri atau suami berhak mengambil kembali uang hasil penjualan tersebut;

c. Untuk tagihan yang bersifat pribadi terhadap istri atau suami maka kreditur terhadap harta pailit adalah suami atau istri, sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (3).

10.Akibat hukum terhadap suami-isteri dengan harta campur

Kepailitan pada suami-isteri dengan harta campur diperlakukan sebagai kepailitan persatuan, meliputi segala benda yang jatuh pada persatuan dan untuk kepentingan semua orang yang berhak meminta pembayaran dari benda-benda persatuan. Jika ada barang-barang yang tidak jatuh pada persatuan maka barang-barang inipun termasuk dalam kepailitan namun hanya untuk utang-utang yang mengikat debitur pailit secara pribadi sebagaimana diatur dalam Pasal 64.


(50)

C. Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

Pada prinsipnya tugas umum dari kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pengurusan terhadap harta pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (1). Kurator dalam menjalankan tugasnya tersebut bersifat independen baik dengan pihak debitur maupun terhadap kreditur. Kurator tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah saru organ debitur dalam menjalankan tugasnya, meskipun dalam keadaan biasa di luar kepailitan, persetujuan atau pemberitahuan tersebut dipersyaratkan (vide Pasal 69 ayat (2)).32

Kurator sudah berwenang melakukan pengurusan harta pailit sejak adanya putusan pertanyaan pailit, sungguhpun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi (Pasal 16 UUK dan PKPU). Ini adalah sebagai konsekuensi hukum dan sifat serta merta (uilvoorbaar bij voorraad) dari putusan pernyataan pailit (Pasal 8 ayat (5) UUK dan PKPU) , walaupun demikian, tidak berarti kurator dapat melakukan tindakan pengurusan dan pemberesan sesukanya. Hal yang juga penting dalam kedudukannya sebagai kurator, adalah dalam kaitannya dengan pembebanan harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, maka perlu adanya persetujuan dari hakim pengawas. Hal ini bukan berarti pembatasan atas kewenangan kurator, namun lebih kepada perlindungan terhadap potensi kerugian yang nantinya akan berdampak terhadap pembayaran kewajiban debitur terhadap pada kurator.33

       32

Edward Manik, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung: Mandar Maju, 2012), hlm. 72

33


(51)

Dalam peraturan kepailitan lama (Faillisementwet Verordening) hanya terdapat satu kurator dalam kepailitan yang ditetapkan oleh Pengadilan, yaitu Balai Harta Peninggalan.62 Setelah berlakunya UU No. 4 Tahun 1998, BHP bukan lagi sebagai lembaga tunggal yang mengurus dan membereskan harta pailit. UU No. 4 Tahun 1998 menentukan bahwa yang menjadi kurator dalam kepailitan adalah : (1) Balai Harta Peninggalan ; atau (2) Kurator lainnya. Adanya dua kurator dalam kepailitan ini tetap dipertahankan dengan keluarnya UUK dan PKPU. Kurator yang dimaksud adalah:

1. Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit;

2. Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan (Pasal 70 UU Kepailitan dan PKPU).

Kurator mulai bertugas sejak kepailitan diputuskan karena debitur tidak berhak lagi untuk melakukan pengurusan atas harta kekayaannya. Kurator merupakan satu-satunya pihak yang akan menangani seluruh kegiatan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan kreditur maupun debitur pailit.34

Kurator wajib seketika memulai dengan pemberesan harta pailit. Dalam keadaan semacam ini maka harta pailit dibagi di antara kreditur dengan cara :

       34


(52)

1. Jika kreditur lama maupun kreditur baru belum mendapat pembayaran, hasil penguangan harta pailit dibagi di antara mereka secara pro rata.

2. jika telah dilakukan pembayaran sebagian kepada Kreditur lama, Kreditur lama dan Kreditur baru berhak menerima pembayaran sesuai dengan prosentase yang telah disepakati dalam perdamaian;

3. Kreditur lama dan Kreditur baru berhak memperoleh pembayaran secara pro rata atas sisa harta pailit setelah dikurangi pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b sampai dipenuhinya seluruh piutang yang diakui; 4. Kreditur lama yang telah memperoleh pembayaran tidak diwajibkan untuk

mengembalikan pembayaran yang telah diterimanya

Istilah pemberesan harta pailit (insolvency) dalam Pasal 178 ayat (1) UUK dan PKPU disebutkan, sebagai keadaan tidak mampu membayar, artinya insolvency itu terjadi demi hukum, yaitu jika tidak terjadi perdamaian dan harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar seluruh utang yang wajib dibayar.

Pemberesan harta pailit dilakukan setelah harta pailit berada dalam keadaan insolvensi. Pemberesan dilakukan oleh kurator selaku eksekutor atas putusan pailit. Kurator dapat meminta bantuan aparat keamanan bila dipandang perlu dalam rangka membereskan harta pailit. Setelah harta pailit berada dalam keadaan insolvensi, kurator wajib dengan segera melakukan pemberesan. Tugas membereskan adalah pekerjaan yang pada pokoknya bersifat yuridis. Tugas membereskan antara lain adalah menjual harta pailit dan hasil penjualan itu dibagikan kepada kreditur secara prorate atau proporsional. Hakim pengawas


(53)

setiap saat bila dipandang perlu, dapat memerintahkan kurator untuk membagikan hasil penjualan budel pailit kepada kreditur yang telah dicocokkan piutangnya.

Penjualan harta pailit dapat dilakukan secara lelang maupun di bawah tangan. Penjualan di bawah tangan wajib dengan izin Hakim Pengawas. Izin yang diberikan oleh Hakim Pengawas kepada Kurator merupakan wujud dari tugasnya sebagai pengawas. Oleh karena itu, Hakim Pengawas harus hati-hati sebelum mengeluarkan izin. Izin menjual yang diberikan oleh Hakim Pengawas pada hakikatnya adalah untuk meningkatkan nilai harta pailit. Demikian juga halnya penjualan yang dilakukan oleh kurator, baik secara lelang maupun di bawah tangan, harus tetap bertujuan untuk meningkatkan nilai budel pailit. Sebelum dijual, harta pailit harus dinilai oleh penilai. Kurator tidak boleh menjual harta pailit di bawah harga yang telah ditentukan oleh penilai. Harga jual harus paling tidak setara dengan harga yang telah ditentukan oleh penilai, setara dengan harga pasar, atau sama dengan harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Setiap kurun waktu tertentu (antara 6-12 bulan), Apabila ada budel pailit yang belum terjual, namun sudah pernah dinilai, maka sebaiknya diadakan lagi penilaian untuk menentukan harga yang patut. Karena dalam kurun waktu tersebut besar kemungkinan sudah terjadi perubahan, baik terhadap harta pailit maupun harganya.

Dalam salah satu kamus, insolvency berarti :

1. Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti layaknya dalam perusahaan (bisnis), atau


(54)

2. Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu.35

Bahwa insolvency itu terjadi dengan istilah demi hukum jika tidak terjadi perdamaian dan harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar seluruh utang yang wajib dibayar. Secara prosedural hukum positif, maka dalam suatu proses kepailitan, harta pailit dianggap berada dalam keadaan tidak mampu membayar jika :

1. Dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan perdamaian, atau 2. Rencana perdamaian yang ditawarkan telah ditolak, atau

3. Pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.36

Ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUK dan PKPU disebutkan, kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit, tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan, debitur :

1. Usul untuk mengurus perusahaan debitur tidak diajukan dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak.

2. Pengurusan terhadap perusahaan dihentikan (dalam Pasal 184 ayat (1) UUK dan PKPU).

Akibat hukum dari insolvency debitur pailit, yaitu konsekuensi hukum tertentu, adalah sebagai berikut :

       35

Jack. P. Friedman, Dictionary Of Businness Terms, (Educational Series, New York, USA : Barron’s, Inc, 1987), hlm .289.

36


(55)

1. Harta pailit segera dieksekusi dan dibagi kecuali ada pertimbangan tertentu (misal, pertimbangan bisnis) yang menyebabkan penundaan eksekusi dan penundaan pembagian akan lebih menguntungkan.

2. Pada prinsipnya tidak ada rehabilitasi. Hal ini dikarenakan dalam hal insolvency telah tidak terjadi perdamaian, dan aset debitur pailit lebih kecil dari kewajibannya. Dapat diketahui bahwa rehabilitasi dilakukan antara lain, apabila ada perdamaian atau utangnya dapat dibayar penuh (dalam Pasal 215 UUK dan PKPU). Kecuali jika setelah insolvency, kemudian terdapat harta debitur pailit, misalnya karena warisan atau menang undian, sehingga utang dapat dibayar lunas.

Dengan demikian, rehabilitasi dapat diajukan berdasarkan Pasal 215 UUK dan PKPU. Tindakan kurator sesudah adanya keadaan insolvency, dengan keadaan insolvency yang sudah ada, maka :

1. Dalam Pasal 188 UUK dan PKPU disebutkan, Kurator melakukan pembagian kepada kreditur yang piutangnya telah dicocokkan.

2. Dalam Pasal 189 ayat (1) UUK dan PKPU disebutkan, penyusunan daftar pembagian atas persetujuan Hakim Pengawas.

3. Perusahaan pailit dapat diteruskan atas persetujuan Hakim Pengawas. 4. Dalam Pasal 189 ayat (2) Undang-undang Kepailitan disebutkan,

Kurator membuat daftar pembagian yang berisi : a. Jumlah uang yang diterima dan yang dikeluarkan.


(56)

c. Pembayaran-pembayaran yang akan dilakukan terhadap tagihan-tagihan itu.

5. Dalam Pasal 189 ayat (3) UUK dan PKPU disebutkan, bagi para kreditur yang konkuren, harus diberikan bagian yang ditentukan oleh Hakim Pengawas.

6. Dalam Pasal 189 ayat (4) UUK dan PKPU disebutkan, untuk kreditur yang mempunyai hak istimewa, juga mereka yang hak istimewanya dibantah, dan pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, sejauh mereka tidak dibayar menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dapat dilakukan dari hasil penjualan benda terhadap mana mereka mempunyai hak istimewa atau yang diagunkan kepada mereka.

7. Dalam Pasal 189 ayat (5) UUK dan PKPU disebutkan, bagi mereka kreditur yang didahulukan maka untuk kekurangannya mereka berkedudukan sebagai kreditur konkuren.

8. Dalam Pasal 190 UUK dan PKPU disebutkan, untuk piutang-piutang yang diterima dengan syarat, diberikan prosentase-prosentase dari seluruh jumlah piutang.

9. Dalam Pasal 191 UUK dan PKPU disebutkan, biaya-biaya kepailitan dibebankan kepada tiap-tiap bagian dari harta pailit, kecuali yang menurut Pasal 55 telah dijual sendiri oleh kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya.


(57)

Ada dua cara untuk berakhirnya proses kepailitan, yaitu :

1. Dengan pembayaran kembali semua piutang-piutang para kreditur atau dengan tercapainya perdamaian (akkoor) dalam rapat pencocokan piutang (verification), maka proses kepailitan berakhir, atau

2. Dalam pelaksanaan, harta kekayaan debitur tidak mencukupi untuk pembayaran kembali semua piutang kreditur. Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak tercapai perdamaian, debitur dalam keadaan insolvency (tidak mampu membayar). Sebagai lanjutan dari insolvency, maka proses sitaan umum berjalan. Penjualan aset debitur dimungkinkan, karena dalam tahapan insolvency, sitaan konservatoir atas harta kekayaan debitur berubah sifatnya menjadi sitaan eksekutorial. Dalam keadaan demikian kepailitan berakhir berakhir dengan disusun dan dilaksanakan daftar pembagian mengikat dari hasil sitaan atau hasil penjualan harta kekayaan debitur.37

Dengan demikian, sebagai konsekuensi hukum dengan berakhirnya kepailitan tersebut baik melalui cara pertama atau dengan cara yang kedua, debitur pailit memperoleh kembali wewenangnya untuk melakukan tindakan pengurusan dan pemilikan (daden van beheer er daden van eigendom). Bagi kreditur dan para kreditur-kreditur yang piutang-piutang yang belum dibayar lunas, para kreditur tetap mempunyai hak menuntut. Oleh karena itu, jika debitur dikemudian hari memperoleh harta lagi, maka

       37

Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pememrintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan, (Bandung : Mandar Maju, 1999), hlm.83.


(58)

kreditur-kreditur ini masih mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan kembali sisa piutangnya tersebut.

D. Tanggungjawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta

Pailit

Kurator menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah pengurus dan pengawasan atas harta benda orang lain.38 Menurut UUK dan PKPU, yang dimaksud dengan Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan Niaga untuk mengurus dan membereskan harta Debitur Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas (Pasal 1 angka 5).

Dalam menjalankan tugasnya kurator tidak sekedar bagaimana menyelamatkan harta pailit yang berhasil dikumpulkan untuk kemudian dibagikan kepada para kreditur, tetapi sedapat mungkin bisa meningkatkan nilai harta pailit tersebut. Lebih jauh lagi kurator dituntut untuk memiliki integritas yang berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta keharusan untuk menaati standar profesi dan etika. Hal ini untuk menghindari adanya benturan kepentingan dengan debitur maupun kreditur. Namun pada praktiknya kinerja kurator menjadi terhambat oleh permasalahan, seperti debitur pailit tidak mengacuhkan putusan pengadilan atau bahkan menolak untuk dieksekusi. Oleh sebab itu, mengenai kewenangan dan tanggung jawab kurator dalam melaksanakan tugas pengurusan

       38


(1)

PKPU yang menyatakan: “Kurator harus membuat pencatatan harta pailit paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima putusan pengangkatannya sebagai kurator.”

Debitur pailit yang tidak kooperatif memberikan data asetnya akan mempersulit kurator dalam pembuatan pencatatan harta pailit. Debitur pailit yang tidak hadir dalam rapat pencocokan piutang yang telah ditetapkan penyelenggaraannya akan berakibat ditundanya rapat pencocokan piutang. Berdasarkan Pasal 121 ayat (1) kehadiran debitur pailit adalah wajib, sehingga jika Debitur pailit tidak hadir pada rapat pencocokan piutang, maka rapat tidak dapat diteruskan dan Hakim Pengawas akan menundanya. Tertundanya rapat pencocokan piutang akan menambah lama penyelesaian kepailitan.

3. Debitur Pailit menjual/menyembunyikan asetnya sebelum dinyatakan pailit. Tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit, sehingga apabila terdapat aset debitur Pailit yang telah dijual sebelum kepailitan, kurator harus mengurus kapan penjualannya dan kepada siapa aset tersebut dijual. Penelusuran aset debitur yang telah dijual/disembunyikan dan proses pembatalannya memerlukan waktu yang lama dan biaya yang banyak, hal ini jelas menjadi hambatan dalam penyelesaian utang debitur terhadap kreditur melalui kepailitan.


(2)

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya yang dikaitkan dengan permasalahan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pengurusan dan pemberesan harta pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. dalam hal harta pailit mampu mencukupi pembayaran utang-utang debitur pailit kepada para krediturnya, maka langkah selanjutnya adalah rehabilitasi atau pemulihan status Debitur pailit menjadi subjek hukum penuh atas harta kekayaannya, hal ini sesuai dengan isi Pasal 215 UUK dan PKPU. Syarat utama adanya rehabilitasi adalah bahwa si pailit telah membayar semua utangnya pada debitur dengan dibuktikan surat tanda bukti pelunasan dari para debitur bahwa uang debitur pailit telah dibayar semuanya. Putusan pengadilan mengenai diterima atau ditolaknya permohonan rehabilitasi adalah putusan final dari upaya hukum terhadap putusan tersebut.

2. Keberadaan gadai dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, apabila nilai dari suatu harta pailit yang digadai lebih besar dari piutang-piutang kreditur.

3. Pembebanan harta pailit dengan gadai dalam pengurusan harta pailit tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Dalam melaksanakan tugasnya, kurator: tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu


(3)

kepada debitur atau salah satu organ debitur, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit. Apabila dalam melakukan pinjaman dari pihak ketiga Kurator perlu membebani harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya maka pinjaman tersebut harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan Hakim Pengawas. Pembebanan harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta pailit yang belum dijadikan jaminan utang.

B. Saran

Pada kegiatan akhir pembahasan skripsi ini merasa perlu untuk menuliskan saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan-kesimpulan di atas, yaitu

1. Disarankan agar pada waktu debitur hadir dalam persidangan Majelis Hakim menanyakan asset debitur/minta daftar aset debitur karena selama ini dalam putusan pernyataan permohonan pailit yang diajukan oleh debitur tidak memuat data aset yang dimiliki Debitur. Penelitian dilapangan ternyata pemuatan aset yang dimiliki Debitur dalam putusan pernyataan pailit sangat membantu Kurator dalam pengurusan dan


(4)

pemberesan harta pailit yang berarti dapat memperlancar penyelesaian kepailitan.

2. Tanggung jawab kurator yang diatur dalam UUK dan PKPU hanya diterangkan bahwa curator bertanggung jawab atas kelalaian ataupun kesalahan yang dilakukannya dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit. Sementara bagaimana bentuk dari tanggung jawab tersebut tidak dijelaskan secara rinci. Sehingga sangat diperlukan aturan khusus yang mengatur tentang hal tersebut supaya kurator dalam menjalankan tugasnya bisa mengetahui batas-batas kewenangannya serta bentuk sanksi terhadap setiap kesalahannya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdulkadir, Muhammad. Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000

Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001.

Bahsan, M. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.

Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 1994 Ibrahim, Johannes, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan

Hukum, Bandung : Refika Aditama, 2006.

Ibrahim, Jhonny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006

H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Hukum Dagang Indonesia 1, Jakarta ; Penerbit Djambatan, 1991.

Fuady, Munir. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999.

___________.. Hukum Jaminan Hutang, Jakarta: Erlangga, 2013.

__________. Dinamika Teori Hukum, Jakarta: Ghlmia Indonesia, 2007.

Gautama, Sudargo Komentar Atas Peraturan Kepailitan Untuk Indonesia Bandung:Citra Aditya Bakti,1998.

Hartini, Rahayu ,Hukum Kepailitan. Malang : UMM Press, 2008

Hartono, Sri Rejeki. Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepaitan Modern Jakarta: Majalah Hukum Nasional, 2000.

Jack. P. Friedman. Dictionary Of Businness Terms, (Educational Series, New York, USA : Barron’s, Inc, 1987.


(6)

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Prodjohamidjojo, Martiman. Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pememrintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan, Bandung : Mandar Maju, 1999.

Simanjuntak, Ricardo. “Esensi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan” dalam Emmy Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005.

Sembiring, Sentosa. Hukum Kepailitan Dan Peraturan Perundang-undangan Yang Terkait Dengan Kepailitan, Bandung : Nuansa Aulia, 2006.

Sunarmi, Hukum Kepailitan, Medan : USU Press, 2009.

Sinaga, Syamsudin M., Hukum Kepailitan Indonesia, Jakarta: Tatanusa, 2012. Sutedi, Adrian. Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,

Likuidasi, dan Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 66. Sutedi, Andrian, Hukum Kepailitan, Bogor:Ghalia Indonesia, 2009

Usman, Rachmadi. Hukum Jaminan Keperdataan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan Jakarta: Raja

Grafindo Perkasa, 2002.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, 1945 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.


Dokumen yang terkait

Kewenangan Kurator Dalam Meningkatkan Harta Pailit Debitur Dalam Hukum Kepailitan Indonesia

18 131 111

Analisis Yuridis Permohonan Pernyataan Pailit Terhadap Bank Oleh Bank Indonesia Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

3 72 165

Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Harta Warisan Ditinjau Dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

24 183 81

Tanggung Jawab Balai Harta Peninggalan dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998.

0 4 6

Perlindungan Hukum Terhadap Kurator Dalam Melaksanakan Tugas Mengamankan Harta Pailit Dalam Praktik Berdasarkan Kajian Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

1 3 18

Pertanggungjawaban Kurator atas Kesalahan atau Kelalaiannya dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit ditinjau dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

0 1 2

Pembebanan Harta Pailit Dengan Gadai Dalam Pengurusan Harta Pailit Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaankewajiban Pembayaran Utang

0 10 50

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembebanan Harta Pailit Dengan Gadai Dalam Pengurusan Harta Pailit Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaankewajiban Pembayaran Utang

0 0 15

BAB II PUTUSAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Pengertian Pailit - Analisis Yuridis Putusan Pailit Terhadap PT. Telkomsel Tbk.

0 1 31

JURNAL ILMIAH RENVOI DALAM KEPAILITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

0 0 16