Akibat Hukum Perbuatan Tidak Kooperatif Debitur Pailit Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit

(1)

AKIBAT HUKUM PERBUATAN TIDAK KOOPERATIF DEBITUR PAILIT DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH: SRI NITA PAGIT NIM : 11O2OO159

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

AKIBAT HUKUM PERBUATAN TIDAK KOOPERATIF DEBITUR PAILIT DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

SRI NITA PAGIT NIM.110200159

DEPARTEMEN : HUKUM EKONOMI

KETUA DEPARTEMEN

WINDHA, S.H.,M.Hum NIP.197501122005012002

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Ramli Siregar,S.H.,M.Hum Windha, S.H.,M.Hum NIP.195303121983031002 NIP.197501122005022002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

AKIBAT HUKUM PERBUATAN TIDAK KOOPERATIF DEBITUR PAILIT DALAM PENGURUSAN DAN

PEMBERESAN HARTA PAILIT *) Sri Nita Pagit

**) Ramli Siregar ***) Windha

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Kepailitan mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai hartanya dan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit beralih ketangan kurator. Dalam melakukan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit, tidak jarang kurator yang memperoleh kesulitan yang antara lain disebabkan oleh adanya tindakan debitur pailit yang tidak koooperatif. Untuk menangani sikap tidak kooperatif debitur tersebut. UUK-PKPU memberikan ketentuan tentang kemungkinan debitur tidak kooperatif ditahan agar membantu tugas kurator dalam menyelesaikan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu bagaimana akibat hukum pernyataan pailit terhadap harta kekayaan debitur pailit, bagaimana tindakan debitur yang dikategorikan sebagai perbuatan tidak kooperatif dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, dan bagaimana akibat hukum perbuatan tidak kooperatif debitur pailit dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research) disertai dengan mengumpulkan data dan membaca referensi melalui peraturan, majalah, internet, dan sumber lainnya, kemudian diseleksi dengan data-data yang layak untuk mendukung penulisan.

Kesimpulan dari skripsi adalah kepailitan mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai hartanya dan tugas pengurusan dan pemberesan harta beralih ketangan kurator. Tindakan debitur yang dikatakan sebagai perbuatan tidak kooperatif adalah perbuatan debitur yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajibannya yang terdapat dalam Pasal 95 UUK-PKPU. Akibat hukum perbuatan tidak kooperatif debitur pailit adalah dengan dilakukannya penahanan terhadap debitur pailit yang tidak kooperatif tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 93 UUK-PKPU.

Kata Kunci : Perbuatan tidak kooperatif, debitor pailit.

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Dosen Pembimbing I

***) Dosen Pembimbing II


(4)

KATA PENGANTAR Syalom,

Dengan segenap hati, penulis panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menghantarkan penulis sampai di batas ini.

Skripsi ini ditulis guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum, Departemen Hukum Ekonomi, Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari perhatian, bimbingan, dorongan dan bantuan dari semua pihak. Untuk itu izinkanlah penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu SH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H.,M.H, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak Dr. Ok Saidin, S.H.,M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Ibu Windha, S.H.,M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara Medan dan Dosen Pembimbing II yang banyak memberikan bimbingan dan saran-saran dalam penyelesaian skripsi ini.


(5)

6. Bapak Ramli Siregar, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang banyak memberikan bimbingan dan saran-saran dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak Bachtiar Hamzah, S.H.,M.Hum, selaku selaku Dosen Wali penulis yang sudah benyak memberikan masukan selama masa perkuliahan. 8. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh administrasi

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

9. Yang paling saya sayangi kedua orang tuaku …Ayah Eddy Tarigan dan Ibu Seni Wati Sinuraya, terima kasih yang sebesar-besarnya atas doa, nasihat dan kasih sayang dan segala bentuk dukungan yang selalu diberikan yang tidak mungkin dapat saya balas sampai kapan pun.

10.Abang dan Adikku Fran Iswanto dan Yosi Krisman, terima kasih untuk kasih sayang dan dukungan selama ini.

11.Kelompok Kecilku “ELORA” yang sama-sama saling memberi semangat dalam penyelesaian skripsi kita.

12.Bung dan sarinah Gmni yang sudah banyak memberikan pelajaran yang berarti untuk kita semua.

13.Kawan-kawan stambuk 2011 grup c, berjuang untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara Medan.

14.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(6)

Akhir kata penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan segala kritikan dan saran yang bersifat membangun agar bisa lebih baik lagi di kesempatan yang akan datang.

Medan, April 2015

Penulis, Sri Nita Pagit


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……..……...………..……….1

B. Perumusan Masalah………….…………..…….……….5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan…..………..………6

D. Keaslian Penulisan………..…..……….7

E. Tinjauan Kepustakaan………..………..……8

F. Metode Penelitian………....……….11

G. Sistematika Penulisan………...…………...14

BAB II AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR A. Syarat Permohonan Pernyataan pailit……….16

B. Tahapan Permohonan Pernyataan Pailit……..…..….20

C. Akibat Hukum Pernyataan Pailit Terhadap Harta Kekayaan Debitor pailit.………..……29

D. Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit……..…..…47 BAB III TINDAKAN DEBITUR YANG DIKATEGORIKAN

SEBAGAI PERBUATAN TIDAK KOOPERATIF v


(8)

DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT

A. Pengertian Perbuatan Tidak Kooperatif…………..….53 B. Perbuatan tidak kooperatif Debitur

menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang……….………...…..57

C. Perbuatan tidak kooperatif Debitur dalam Kepailitan yang Memenuhi Unsur Perbuatan Melawan

Hukum….………66

BAB IV AKIBAT HUKUM PERBUATAN TIDAK KOOPERATIF DEBITUR PAILIT DALAM

PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT A. Actio Pauliana sebagai Sarana Pembatalan terhadap

Perbuatan Tidak Kooperatif Debitur

Pailit………..…………..…….77

B. Penahanan Debitur Sebagai Akibat Hukum Perbuatan Tidak Kooperatif Debitur Pailit dalam Pengurusan dan

Pemberesan Harta Pailit………..…….86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………..………..……105

B. Saran……….………..……..108

DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAK

AKIBAT HUKUM PERBUATAN TIDAK KOOPERATIF DEBITUR PAILIT DALAM PENGURUSAN DAN

PEMBERESAN HARTA PAILIT *) Sri Nita Pagit

**) Ramli Siregar ***) Windha

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Kepailitan mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai hartanya dan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit beralih ketangan kurator. Dalam melakukan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit, tidak jarang kurator yang memperoleh kesulitan yang antara lain disebabkan oleh adanya tindakan debitur pailit yang tidak koooperatif. Untuk menangani sikap tidak kooperatif debitur tersebut. UUK-PKPU memberikan ketentuan tentang kemungkinan debitur tidak kooperatif ditahan agar membantu tugas kurator dalam menyelesaikan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu bagaimana akibat hukum pernyataan pailit terhadap harta kekayaan debitur pailit, bagaimana tindakan debitur yang dikategorikan sebagai perbuatan tidak kooperatif dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, dan bagaimana akibat hukum perbuatan tidak kooperatif debitur pailit dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research) disertai dengan mengumpulkan data dan membaca referensi melalui peraturan, majalah, internet, dan sumber lainnya, kemudian diseleksi dengan data-data yang layak untuk mendukung penulisan.

Kesimpulan dari skripsi adalah kepailitan mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai hartanya dan tugas pengurusan dan pemberesan harta beralih ketangan kurator. Tindakan debitur yang dikatakan sebagai perbuatan tidak kooperatif adalah perbuatan debitur yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajibannya yang terdapat dalam Pasal 95 UUK-PKPU. Akibat hukum perbuatan tidak kooperatif debitur pailit adalah dengan dilakukannya penahanan terhadap debitur pailit yang tidak kooperatif tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 93 UUK-PKPU.

Kata Kunci : Perbuatan tidak kooperatif, debitor pailit.

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Dosen Pembimbing I

***) Dosen Pembimbing II


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan hidup financial setiap orang dapat diperoleh dengan berbagai cara. Orang (orang perseorangan dan badan hukum) yang hendak memenuhi kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang lain yang lazimnya dituangkan dalam suatu perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit. Orang yang meminjamkan uang disebut kreditur, sedangkan yang meminjam uang disebut debitur. Debitur wajib membayarkan utangnya kepada kreditur sebagaimana yang diperjanjikan. Apabila debitur ingkar janji, kreditur dapat mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga agar debitur dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya.1

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudiaan hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurtor dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk

1

Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia (Jakarta : Tatanusa, 2012), hlm.1.


(11)

membayar seluruh utang debitur pailit tersebut secara proporsional dan sesuai dengan struktur kreditur.2

Setelah putusan pailit diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum maka putusan itu menjadi mengikat secara hukum. Pernyataan pailit mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan. Ditiadakannya hak debitur secara hukum untuk mengurus kekayaannya oleh UUK-PKPU sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, maka yang berhak membagi harta debitur pailit dan melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan terhadap harta debitur tersebut adalah kurator sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK-PKPU). Pemberesan harta pailit merupakan fase yang paling ditunggu-tunggu oleh Kreditur. Pemberesan dilakukan setelah harta pailit berada dalam kedaan insolvensi. Pemberesan harta pailit dari debitur pailit yang mempunyai perusahaan sudah dapat dilakukan apabila telah ada kepastian bahwa perusahaan debitur pailit tidak akan dilanjutkan atau apabila kelanjutannya sudah dihentikan. Pemberesan harta pailit yang menjadi tugas dan tanggungjawab kurator dilakukan dengan cara menjual semua harta pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan dari debitur pailit. Penjualan dapat dilakukan secara lelang maupun dibawah tangan. Hasil

2

Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan Prinsip,Norma dan Praktik di Peradilan (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008),hlm.1.


(12)

penjualannya dibagikan secara proporsional atau secara seimbang kepada kreditur.3

Pelaksanaan pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh pihak kurator dan diawasi oleh hakim pengawas, tidak selamanya berjalan dengan baik dan benar. Hal ini selalu disertai dengan adanya kendala atau hambatan eksternal yang terjadi dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit tersebut, seperti:

1. Lambatnya penetapan tentang pernyataan pailit debitur yang dikirimkan oleh pengadilan niaga kepada kurator;

2. Ketidakcermatan pengadilan niaga dalam memeriksa harta kekayaan dari debitur pailit;

3. Tidak kooperatifnya instansi lain terhadap pengurusan dan pemberesan harta pailit;

4. Debitur tidak kooperatif terhadap pengurusan dan pemberesan harta pailit.4 Didalam UUK-PKPU ruang lingkup debitur beritikad tidak baik adalah debitur pailit yang dengan sengaja tanpa suatu alasan tidak sah tidak memenuhi kewajiban hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2) UUK-PKPU, yakni kewajiban pengamanan terhadap semua harta pailit, panggilan untuk memberikan keterangan atau menghadiri rapat pencocokan piutang. Sedangkan ruang lingkup yang dimaksud dengan debitur beritikad tidak baik dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000

3

Syamsudin M.Sinaga, Op.Cit, hlm. 203.

4Sarifani Simanjuntak,”Prinsip Transparansi dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta

Pailit oleh Balai Harta Peninggalan di Kota Medan” (Tesis, Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan,2009), hlm.76.


(13)

Tentang Lembaga Paksa Badan (selanjutya disebut Perma No.1 Tahun 2000) adalah debitur, penanggung atau penjamin utang yang mampu tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar utang-utangnya. Debitur pailit yang tidak kooperatif dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit dapat dilakukan penahanan (gijzeling). Dalam UUK-PKPU tujuan diterapkannya gijzeling adalah semata-mata untuk menekan debitur pailit agar kooperatif dalam proses kepailitan seperti harus hadir dalam rapat pencocokan piutang serta memberikan keteragan yang diperlukan. Sedangkan tujuan gijzeling dalam HIR adalah untuk menekan debitur dengan cara memaksa agar debitur membayar utangnya meskipun si debitur tersebut sudah tidak memiliki harta dengan harapan kerabatya ikut membayar utang tersebut. Adapun tujuan gijzeling dalam Perma No 1 Tahun 2000 adalah lebih ditujukan kepada debitur atau penjamin utang yang mampu akan tetapi tidak mau membayar utang-utangnya.

Adapun pihak yang berhak mengajukan permohonan paksa badan ini adalah atas usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih dan setelah mendengar hakim pengawas. Permohonan diajukan kepada Pengadilan Niaga. Sedangkan pelaksana dari paksa badan ini adalah jaksa yang ditujuk oleh hakim pengawas. Pelaksanaan paksa badan ini dilakukan baik ditempatkan di rumah tahanan negara maupun dirumahnya sendiri, dibawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas.5

Terhadap perbuatan debitur pailit yang tidak kooperatif atau dapat mengakibatkan kerugian bagi kreditur dapat dilakukan pembatalan yaitu dengan

5


(14)

mengajukan gugatan actio pauliana. Actio pauliana diatur dalam Pasal 41 – 47 UUK-PKPU. Actio pauliana diajukan oleh kurator atas persetujuan hakim pengawas. Gugata actio pauliana dalam kepailitan disyaratkan bahwa debitur da pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur. Pengajuan actio pauliana diajukan ke Pengadilan Niaga. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UUK-PKPU yang menyatakan bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam undang-undang ini diputuskan oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur.6

Berdasarkan uraian tersebut, hal mengenai akibat hukum perbuatan tidak kooperatif debitur pailit dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, merupakan sesuatu yang penting untuk diteliti.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana akibat hukum pernyataan pailit terhadap harta kekayaan debitur? 2. Bagaimana tindakan debitur yang dikategorikan sebagai perbuatan tidak

kooperatif?

3. Bagaimana akibat hukum perbuatan tidak kooperatif Debitur pailit dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit ?

6


(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan ini dilakukan dengan manfaat dan tujuan yang hendak dicapai, yaitu :

1. Tujuan penulisan

Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas maka tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum pernyataan pailit terhadap harta kekayaan debitur.

b. Untuk mengetahui bagaimana perbuatan debitur yang dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak kooperatif.

c. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum perbuatan tidak kooperatif debitur dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.

2. Manfaat penulisan

Mengenai manfaat akan hasil penelitian skripsi ini terhadap rumusan masalah yang telah diuraikan, dapat dibagi menjadi dua jenis manfaat yaitu :

a. Manfaat teoritis

1) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan teoritis bagi penulis dan pembaca untuk menambah pengetahuan beserta pemahaman mengenai hukum kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang di Indonesia.

2) Merupakan bahan untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan dasar maupun bahan perbandingan bagi penelitian yang lebih luas.


(16)

b. Manfaat praktis

Agar debitur mengetahui akibat hukum pernyataan pailit terhadap harta debitur menurut UUK-PKPU. Agar debitur mengetahui bagaimana akibat hukum atas perbuatan tidak kooperatif debitur dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan di Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara dan fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara maka diketahui bahwa belum pernah dilakukan penulisan yang serupa mengenai

Akibat Hukum Perbuatan tidak Kooperatif Debitur Pailit dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit “. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini merupakan ide asli, kalaupun terdapat judul yang hampir sama dengan judul ini tetapi substansi pembahasannya berbeda. Adapun judul yang hampir sama

yaitu “ Pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit atas Debitur Kredit Sidikasi “ yang ditulis oleh Lindia Halim pada tahun 2001, Program Studi Hukum Ekonomi

dan “ Penanaman dan Tanggungjawab Kurator dalam Pengurusan Harta Pailit “ yang ditulis oleh Hans Philip Samosir pada tahun 2001, Program Studi Hukum Ekonomi. Adapun tambahan ataupun kutipan dalam penulisan ini bersifat menambah penguraian dalam skripsi ini. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara alamiah dan akademik.


(17)

E. Tinjauan Pustaka

Kepentingan perkembangan perdagangan yang semakin cepat, meningkat, dan dalam skala yang lebih luas dan global, masalah utang piutang baik perorangan maupun perusahaan semakin rumit dan membutuhkan aturan hukum yang efektif.7 Karena itu perubahan dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dengan memperbaiki, menambah dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, karena jika ditinjau dari segi materi yang diatur, masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan.8

Kepailitan adalah dimana debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sehingga debitur yang bersangkutan dapat memohon sendiri ataupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya ke Pengadilan untuk dinyatakan pailit.9 Secara umum kepailitan sering diartikan sebagai suatu sitaan umum atas seluruh kekayaan debitur agar dicapainya perdamaian antara debitur dengan para krediturnya atau agar kekayaan debitur dapat dibagi-bagikan secara adil diantara para krediturnya.10

Syarat kepailitan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, yang menyatakan debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan

7

Sunarmi, Hukum Kepailitan ( Jakarta : Softmedia, 2010), hlm. 1.

8

Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), hlm.69.

9

Riduan Syahrini, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata ( Banjarmasin : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm .179.

10

Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum dalam Ekonomi (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), hlm .144.


(18)

pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

Kepailitan menyebabkan debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit, sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ketentuan sebagaimana sebagaimana disebutkan sebelumnya tidak berlaku terhadap :

1. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang digunakan oleh debitur dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi debitur dan keluarganya, yang terdapat ditempat itu.

2. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai penggaian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas.

3. Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban member nafkah menurut undang-undang.

Hak dan kewajiban debitur pailit akan beralih ke tangan kurator. Yang mana tugas utama seorang kurator adalah melakukan pengurusan dan pemberesan harta debitur pailit. Yang dimaksud dengan pengurusan adalah menginventarisasi, menjaga dan memelihara agar harta pailit tidak berkurang dalam jumlah dan nilai. Sedangkan pemberesan adalah penguangan atau pembagian harta debitur kepada


(19)

para kreditur yang dilakukan setelah pengurusan harta pailit selesai.11 Pasal 69 ayat (2) UUK-PKPU menyebutkan:” dalam melaksanakan tugasnya kurator tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau peyampaian pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitur, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan dan dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga dalam rangka meningkatkan harta pailit”.

Harta pailit adalah harta milik debitur yang dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan. Pada ketentuan Pasal 21 UUK-PKPU secara tegas

dinyatakan bahwa : “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur yang ada pada

saat pernyataan pailit itu dijatuhkan oleh pengadilan, dan meliputi juga seluruh kekayaan yang diperoleh selama kepailitan berlangsung”.

Pihak-pihak yang terlibat dalam kepailitan tidak hanya debitur dan kreditur saja, tetapi ada juga hakim pengawas dan kurator. Menurut Pasal 1 angka (3) UUK-PKPU, yang dimaksud dengan debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan dan yang dimaksud dengan debitur pailit adalah debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan. Sedangkan kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.12

11

http://dali-telaumbanua.blogspot.com/2012/06/dt-15-akibat-hukum-kepailitan.html (diakses pada 06 Maret 2015).

12


(20)

Selama melakukan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit, tidak jarang kurator menemui hambatan. Salah satu pengahambat tugas kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit adalah adanya perbuatan tidak kooperatif dari debitur pailit. Menurut Pasal 1 huruf b Perma Nomor 1 Tahun 2000, yang

dimaksud dengan debitur tidak beritikad baik adalah “debitur, penanggung atau

penjamin yang tidak mau memenuhi kewajibannya membayar utang-utangnya, padahal mampu untuk memenuhinya.”13 Terhadap debitur pailit dapat dikenakan paksa badan yang terutama ditujukan apabila si debitur pailit tidak kooperatif dalam pemberesan kepailitan. Paksa badan merupakan suatu upaya hukum yang disediakan untuk memastikan bahwa debitur pailit, atau direksi dan komisaris dalam hal yang pailit adalah perseroan terbatas, benar-benar membantu tugas kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.14

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mengetahui dan memahami segala kehidupan, atau lebih jelasnya penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, menguji serta mengembangkan ilmu pengetahun.15 Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yag digunakan antara lain :

13

Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa badan, Pasal 1.

14

M.Hadi Shuban, Op.Cit., hlm.179.

15

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia (UI) Pers, 1986), hlm 250.


(21)

1. Spesifikasi penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normative. Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum. Dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat.16 Penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan skunder yaitu inventrisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penulisan skripsi penulis.

Penelitian ini bersifat deskriptif. Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran yang lengkap dan secara jelas tentang permasalahan yang terdapat pada masyarakat dan dapat dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Adapun metode pendekatan penelitian yang dipakai adalah pendekatan yuridis.

2. Data penelitian

Penyusunan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.17 Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dibidang kepailitan, antara lain :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

16

Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm. 54.

17

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm .30.


(22)

b. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

c. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yaitu hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat sarjana yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini. Bahan hukum tertier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder yakni kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3. Teknik pengumpulan data

Pegumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan, yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan cara membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku litaratur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari dari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari tekhnik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, atau penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalah penelitian.18

4. Analisa data

18


(23)

Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan bahan hukum yang ada. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.19

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT TERHADAP

HARTA KEKAYAAN DEBITUR

19


(24)

Bab ini berisi tentang syarat permohonan pernyataan pailit, tahapan permohonan pernyataan pailit, akibat hukum pernyataan pailit terhadap harta kekayaan debitur dan pengurusan dan pemberesan harta pailit.

BAB III TINDAKAN DEBITUR YANG DIKATEGORIKAN SEBAGAI PERBUATAN TIDAK KOOPERATIF

Bab ini memberikan penjelasan mengenai pengertian perbuatan tidak kooperatif, ruang lingkup perbuatan tidak kooperatif debitur pailit dalam pegurusan dan pemberesan harta pailit menurut UUK-PKPU dan perbuatan tidak kooperatif debitur pailit yang memenuhi unsur perbuatan melawan hukum.

BAB IV AKIBAT HUKUM PERBUATAN TIDAK KOOPERATIF

DEBITUR PAILIT DALAM PENGURUSAN DAN

PEMBERESAN HARTA PAILIT

Bab ini berisikan tentang actio pauliana sebagai sarana pembatalan terhadap perbuatan tidak kooperatif debitur yang merugikan kreditur dan penahanan sebagai akibat hukum perbuatan debitur tidak kooperatif dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit


(25)

BAB II

AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT TAERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR

A. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit

Kepailitan menurut Pasal 1 ayat (1) UUK-PKPU merupakan sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang penguasaan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitur, sehingga debitur tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para krediturnya. Tujuan kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator atau kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.20

Seorang debitur dapat dikatakan pailit apabila memenuhi syarat-syarat yang dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, antara lain: “debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih krediturnya.” Syarat-syarat

20

Adriani Nurdin, Kepailitan BUMN Persero (Jakarta: P.T. ALUMNI, 2012), hlm.131.


(26)

permohonan pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 21

1. Syarat adanya dua kreditur atau lebih (concursus creditorum)

Syarat bahwa debitur harus mempunyai minimal dua kreditur, sangat terkait dengan filosofis lahirnya hukum kepailitan. Dengan adanya pranata hukum kepailitan, diharapkan pelunasan utang-utang debitur kepada para kreditur dapat dilakukan secara seimbang dan adil. Setiap kreditur (konkuren) mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelunasan dari harta kekayaan debitur. Jika debitur hanya mempunyai satu kreditur, maka seluruh harta kekayaan debitur otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang debitur tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pro rata dan pari passu. Dengan demikian, jelas bahwa debitur tidak dapat dituntut pailit, jika debitur tersebut hanya mempunyai satu kreditur.

2. Syarat harus adanya utang

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tidak memberikan definisi sama sekali mengenai utang. Oleh karena itu, telah menimbulkan penafsiran yang beraneka ragam dan para hakim juga menafsirkan utang dalam pengertian yang berbeda-beda (baik secara sempit maupun luas). Apakah pengertian „utang‟ hanya terbatas pada utang yang lahir dari perjanjian utang piutang atau perjanjian pinjam

meminjam ataukan pengertian „utang‟ merupakan suartu prestasi/kewajiban yang

tidak hanya lahir dari perjanjian utang-piutang saja. Dibawah ini diuraikan beberapa pendapat para pakar hukum mengenai pengertian utang, yaitu:

21


(27)

a. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, pengertian utang di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tidak seyogianya diberi arti yang sempit, yaitu tidak seharusnya hanya diberi arti berupa kewajiban membayar utang yang timbul karena perjanjian utang-piutang saja, tetapi merupakan setiap kewajiban debitur yang berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada kreditur, baik kewajiban itu timbul karena perjanjian apapun juga (tidak terbatas hanya kepada perjanjian utang piutang saja), maupun timbul karena ketentuan undang-undang, dan timbul karena putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. b. Menurut Kartini dan Gunawan Widjaja, utang adalah perikatan, yang

merupakan prestasi atau kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang harus dipenuhi oleh setiap debitur dan bila tidak dipenuhi kreditur berhak mendapat pemenuhannya dari harta debitur.

c. Menurut Setiawan, utang seyogianya diberi arti luas, baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitur harus membayar sejumlah uang tertentu.

Kontroversi mengenai pengertian utang, akhirnya dapat disatuartikan dalam Pasal 1 angka (6) UUK-PKPU, yaitu : “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul


(28)

karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk

mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.”

Dilihat dari definisi utang yang diberikan oleh UUK-PKPU, bahwa definisi utang harus ditafsirkan secara luas, tidak hanya meliputi utang yang timbul dari perjanjian utang-piutang atau perjanjian pinjam-meminjam, tetapi juga utang yang timbul karena undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah uang.

3. Syarat cukup satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih

Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut debitur untuk memenuhi prestasinya. Menurut Jono, syarat ini menunjukkan bahwa utang harus lahir dari perikatan sempurna. Dengan demikian jelas bahwa utang yang lahir dari perikatan alamiah tidak dapat diajukan untuk permohonan pernyataan pailit. Misalnya utang yang lahir dari perjudian. Meskipun utang yang lahir dari perjudian telah jatuh waktu hal ini tidak melahirkan hak kepada kreditur untuk menagih utang tersebut. Dengan demikian, meskipun debitur mempunyai kewajiban untuk melunasi utang itu, kreditur tidak mempunyai alas hak untuk menuntut pemenuhan utang tersebut. Dengan demikian, kreditur tidak berhak mengajukan permohonan pailit atas utang yang lahir dari perjudian.


(29)

B. Proses Permohonan Pernyataan Pailit

Proses permohonan dan putusan pernyataan pailit diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UUK-PKPU. Adapun tahap-tahap yang dilakukan untuk mengajukan gugatan kepailitan, yaitu : 22

1. Tahap pendaftaran permohonan pernyataan pailit

Pendaftaran permohonan harus diajukan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan, yaitu:

a. Permohonan harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktik;

b. Apabila diajukan oleh seorang debitur yang sudah menikah, maka permohonan didasarkan atas persetujuan suami atau isterinya;

c. Wajib membayar panjar biaya perkara di kepaniteraan sebagaimana lazimnya suatu perkara perdata;

Permohonan mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan Niaga. Panitera Pengadilan Niaga wajib mendaftarkan permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Pasal 6 ayat (3) UUK-PKPU mewajibkan Panitera untuk menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut. Pasal 6 ayat (3) UUK-PKPU ini pernah diajukan Judicial Review di

22

http://click-gtg.blogspot.com/2010/01/proses-permohonan-pernyataan-pailit-dan.html (diakses pada 19 Februari 2015).


(30)

Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 071/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 001-002/PUU.III/2005 telah menyatakan bahwa Pasal 6 ayat (3) beserta penjelasannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pertimbangan-pertimbangan hukum yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi, antara lain :

a. Bahwa Panitera walaupun merupakan jabatan di Pengadilan, tetapi kepada jabatan tersebut seharusnya hanya diberikan tugas teknis administrasi yustisial dalam rangka memberikan dukungan terhadap fungsi yustisial yang merupakan kewenangan hakim. Dalam Penjelasan Undang-Undang No 8 Tahun 2004, ditentukan bahwa tugas pokok panitera adalah menangani administrasi perkara dan halhal administrasi lain yang bersifat teknis peradilan dan tidak berkaitan dengan fungsi-fungsi peradilan (rechtsprekende functie), yang merupakan kewenangan hakim. Menolak pendaftaran suatu permohonan pada hakikatnya termasuk ranah (domein) yustisial. Panitera diberikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab melaksanakan fungsi yustisial, hal tersebut bertentangan dengan hakikat dari kekuasaan kehakiman yang merdeka, serta penegakan hukum dan keadilan sebagaimana terkandung dalam Pasal 24 ayat 1 UUD 1945.

b. Menimbang pula bahwa sejak lama telah diakui asas hukum yang berbunyi bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa


(31)

dan mengadilinya. Asas ini telah dimuat dalam Pasal 22 AB yang berbunyi, de regter die weigert regt te spreken onder voorwendsel van stilwigjen, duisterheid of onvolledigheid der wet, kan uit hoofed van regtsweigering vervolgd worden (Rv.859 v.; Civ 4). Terakhir asas ini dicantumkan dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan menggunakan tafsiran argumentum a contrario, pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang hukumnya jelas mengatur perkara yang diajukan kepada pengadilan;

c. Apabila Panitera diberikan wewenang untuk menolak mendaftarkan permohonan pernyataan pailit suatu perusahaan asuransi, hal tersebut dapat diartikan panitera telah mengambil alih kewenangan hakim untuk memberi keputusan atas suatu permohonan. Kewenangan demikian menghilangkan hak Pemohon untuk mendapatkan penyelesaian sengketa hukum dalam suatu proses yang adil dan terbuka untuk umum. Hal ini bertentangan dengan due process of law dan access to courts yang merupakan pilar utama bagi tegaknya rule of law sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;

d. Meskipun hasil akhir atas permohonan yang bersangkutan boleh jadi sama, yaitu tidak dapat diterimanya (niet onvantkelijkheid) permohonan yang bersangkutan, karena tidak terpenuhinya syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (5) undang-undang a quo, yang menurut mahkamah tidak bertentangan dengan UUD


(32)

1945, keputusan demikian harus dituangkan dalam putusan yang

berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;

e. Menimbang bahwa karena penjelasan Pasal 6 ayat (3) merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari Pasal yang dijelaskan, dengan sendirinya Penjelasan Pasal tersebut diperlakukan sama dengan Pasal yang dijelaskannya. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, panitera Pengadilan Niaga menjadi tidak berwenang untuk menolak setiap perkara yang masuk. Setelah mendaftarkan permohonan pernyataan pailit, panitera menyampaikan permohonan tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga paling lambat 2 (dua) hari setelah permohonan didaftarkan.

Surat permohonan tersebut harus disertai dokumen-dokumen atau surat-surat dibuat rangkap sesuai dengan jumlah pihak, serta ditambah 4 rangkap untuk Majelis dan Arsip. Salinan/dokumen atau surat-surat yang berupa foto copy harus dilegalisir sesuai dengan aslinya oleh Pejabat yang berwenang/Panitera Pengadilan Negeri/Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Apabila salinan/dokumen atau surat-surat yang dibuat di Luar Negeri harus disahkan oleh kedutaan/Perwakilan Indonesia di negara tersebut dan selanjutnya diterjemahkan oleh Penterjemah resmi ke dalam Bahasa Indonesia, demikian pula terhadap salinan dokumen dan surat-surat yang menyangkut kepailitan ke dalam Bahasa Indonesia. Dokumen atau surat-surat yang harus dilampirkan untuk permohonan kepailitansesuai dengan ketentuan-ketentuan


(33)

lampiran. Menurut Pasal 2 UUK-PKPU bahwa kepailitan dapat dilakukan oleh pihak-pihak berikut ini:

a. Debitur sendiri;

b. Seorang atau lebih krediturnya; c. Kejaksaan untuk kepentingan umum; d. Bank Indonesia (BI);

e. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM); f. Menteri Keuangan.

Terkait dengan proses pengajuan permohonan kepailitan yang dilakukan oleh para pihak tersebut juga harus diperhatikan mengenai dokumen atau surat yang harus dipenuhi atau dilampirkan yaitu sebagai berikut :

a. Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada Ketua / Pengadilan Negeri / Pengadilan Niaga Jakarta Pusat;

b. Izin pengacara / kartu pengacara; c. Surat kuasa khusus;

d. Akta Pendaftaran Perusahaan (Tanda Daftar Perusahaan) / yayasan / asosiasi yang dilegalisir (dicap) oleh kantor Perdagangan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum permohonan didaftarkan;

e. Surat perjanjian utang (Loan Agreement) atau bukti lainnya yang menunjukkan adanya utang;

f. Perincian utang yang tidak terbayar;


(34)

2. Tahap pemanggilan para pihak

Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui juru sita melakukan pemanggilan para pihak, antara lain:

a. Wajib memanggil debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan;

b. Dapat memanggil kreditur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur (voluntary position) dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU telah terpenuhi;

c. Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 hari sebelum sidang pemeriksan pertama diselenggarakan; 3. Tahap persidangan atas permohonan pernyataan pailit

Jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan debitur dan berdasarkan alasan yang cukup seperti adanya surat keterangan sakit dari dokter, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang pemeriksaan sampai dengan paling lambat 25 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. 23 Dalam Pasal 10 ayat (1) UUK- PKPU dinyatakan bahwa selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap kreditur,

23


(35)

kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk: 24

a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur; b. Menunjuk Kurator sementara untuk mengawasi;

c. Pengelolaan usaha debitur;

d. Pembayaran kepada kreditur, pengalihan, atau pengagunan kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan wewenang kurator;

Pengadilan hanya dapat mengabulkan permohonan tersebut apabila hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan kreditur (Pasal 10 ayat (2) UUK-PKPU). Dalam ayat (3) selanjutnya dikatakan bahwa dalam hal permohonan meletakkan sita jaminan tersebut dikabulkan, maka pengadilan dapat menetapkan syarat agar Kreditur Pemohon memberikan jaminan yang dianggap wajar oleh pengadilan. Dari penjelasan tersebut, terlihat jelas bahwa jaminan hanya diperlukan apabila pemohonnya adalah kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan yang bertindak sebagai pemohon, jaminan tersebut tidak diperlukan. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan melalui panitera, yang menurut lampiran UUK-PKPU Pasal 5 harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek.

4. Tahap penetapan putusan hakim

Pasal 8 ayat (5) UUK-PKPU menyatakan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Inilah yang

24

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 10 .


(36)

membedakan antara Pengadilan Niaga dan peradilan umum dimana hakim diberi batasan waktu untuk menyelesaikan perkara. Putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Majelis hakim dalam menjatuhkan putusan harus memuat Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis (dissenting opinion). Secara umum isi dan sistematika putusan juga sama dengan putusan pada perkara perdata yang meliputi:

a. Nomor putusan;

b. Kepala putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”;

c. Identitas pemohon dan termohon pailit dan kuasa hukumnya; d. Tentang duduk perkaranya;

e. Tentang pertimbangan hukumnya; f. Amar putusan;

g. Tanda tangan majelis hakim dan panitera.

Perlu diketahui bahwa menurut Pasal 8 ayat (7) UUK-PKPU, putusan atas permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut masih diajukan upaya hukum atau putusan tersebut bersifat serta merta. UUK-PKPU mewajibkan kurator untuk melaksanakan segala tugas dan kewenangannya untuk mengurus dan atau membereskan harta pailit terhitung sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan.


(37)

Meskipun putusan pailit tersebut di kemudian hari dibatalkan oleh suatu putusan yang secara hierarkhi lebih tinggi. Semua kegiatan pengurusan dan pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan terhitung sejak putusan kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan, tetap dinyatakan sah oleh undang-undang. Salinan putusan pengadilan selanjutnya wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada debitur, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, kurator, dan hakim pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan.

Terhadap putusan permohonan pernyataan pailit, dapat diajukan upaya hukum kasasi ke mahkamah agung. Permohonan kasasi diajukan paling lambat 8 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan dengan mendaftarkan kepada panitera pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit. Permohonan kasasi selain dapat diajukan oleh debitur dan kreditur yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, juga dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit. Mahkamah agung wajib mempelajari permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang paling lambat 2 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Sidang pemeriksaan pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh mahkamah agung. Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh mahkamah agung. Putusan atas permohonan kasasi memuat secara lengkap pertimbangan hukum


(38)

yang mendasasri putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.25

C. Akibat Hukum Pernyataan Pailit Terhadap Harta Kekayaan Debitur Dijatuhkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, debitur demi hukum kehilangan haknya untuk berbuat sesuatu terhadap penguasaan dan pengurusan harta kekayaan yang termasuk dalam kepailitan terhitung sejak tanggal kepailitan itu.

1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

Kepailitan mengakibatkan seluruh harta kekayaan debitur serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit di ucapkan, kecuali :26

a. Benda termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan dengan, pekerjaannya perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan keluarganya, yang terdapat ditempat itu.

b. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari perkerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim pengawas. c. Atau uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu

kewajiban memberikan nafkah menurut Undang-Undang. Akibat kepailitan secara umum.

Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasasi dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak yanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Tanggal putusan sebagaimana dimaksud diatas dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat.

25

Ibid., Pasal 11-13.

26


(39)

2. Akibat kepailitan terhadap harta perkawinan (suami/istri) debitur pailit

Pasal 23 UUK-PKPU menentukan bahwa apabila seseorang dinyatakan pailit, maka pailit tersebut termasuk juga isteri atau suaminya yang kawin atas dasar persatuan harta. Ketentuan Pasal ini membawa konsekwensi yang cukup berat terhadap harta kekayaan suami atau isteri yang kawin dengan persatuan harta. Artinya bahwa seluruh harta isteri atau suami yang termasuk dalam persatuan harta perkawinan juga terkena sita kepailitan dan otomatis masuk kedalam boedel pailit. Meskipun Pasal 23 menentukan bahwa kepailitan itu meliputi seluruh harta persatuan perkawinan, namun Pasal 62 mengatur beberapa hal yang cukup penting yang berkaitan dengan barang-barang yang tidak jatuh dalam persatuan harta. Ketentuan tersebut ialah :

a. Apabila suami atau isteri dinyatakan pailit maka isteri atau suaminya berhak mengambil kembali semua benda bergerak dan tidak bergerak yang merupakan harta bawaan dari isteri atau suami dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.

b. Jika benda milik isteri atau suami telah dijual oleh suami atau isteri dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur dalam harta pailit maka isteri atau suami berhak mengambil kembali uang hasil tersebut.

c. Untuk tagihan yang bersifat pribadi terhadap isteri atau suami maka kreditur terhadap harta pailit adalah suami atau isteri.

Kepailitan suami atau isteri yang kawin dalam suatu persatuan harta, diperlakukan sebagai kepailitan persatuan harta tersebut. Dengan tidak


(40)

mengurangi pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 maka kepailitan tersebut meliputi semua benda yang termasuk dalam persatuan, sedangkan kepailitan tersebut adalah untuk kepentingan semua kreditur yang berhak meminta pembayaran dari harta persatuan. Bila suami atau isteri yang dinyatakan pailit mempunyai benda yang tidak termasuk persatuan harta maka benda tersebut termasuk harta pailit, akan tetapi hanya dapat digunakan untuk membayar utang pribadi suami atau isteri yang dinyatakan pailit .27

3. Akibat kepailitan terhadap seluruh perikatan yang dibuat debitur pailit

Semua perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit, tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit.28 Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajuakan oleh atau terhadap kurator. Dalam hal tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitur pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitur pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit.Selama berlangsungnya kepailitan, tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang diajukan terhadap debitur pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.29

4. Akibat kepailitan terhadap seluruh perbuatan hukum debitur yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

27

Sunarmi, Hukum Kepailitan ( Jakarta : Softmedia, 2010), hlm .106.

28

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ,Pasal 25.

29


(41)

Pasal 41 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan secara tegas bahwa untuk kepentingan harta pailit, segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit, yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai pembatalan kepada pengadilan. Kemudian dalam Pasal 42 UUK-PKPU diberikan batasan yang jelas mengenai perbuatan hukum debitur tersebut, antara lain :

a. Bahwa perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit.

b. Bahwa perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya;

c. Bahwa debitur dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur;

d. Bahwa perbuatan hukum itu dapat berupa :

1) Merupakan perjanjian dimana kewajiban debitur jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat.

2) Merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan/atau belum atau tidak dapat ditagih. 3) Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur

perorangan, dengan atau untuk kepentingan :

(a) Suami atau isteri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga.


(42)

(b) Suatu badan hukum dimana debitur atau pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1. adalah anggota Direksi atau pengurus atau apabila pihak tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut lebih dari 50 % dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.

4) Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum, dengan atau untuk kepentingan:

(a) Anggota Direksi atau pengurus dari debitur, suami atau isteri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari angggota direksi atau pengurus tersebut.

(b) Perorangan baik sendiri atau bersama-sama dengan suami atau isteri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada debitur lebih dari 50 % dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.

(c) Perorangan yang suami atau isteri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada


(43)

debitur lebih dari 50 % dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.

5) Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum dengan atau untuk kepentingan badan hukum lainnya, apabila :

(a) Perorangan anggota direksi atau pengurus pada kedua badan usaha tersebut adalah orang yang sama.

(b) Suami atau isteri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari perorangan anggota direksi atau pengurus debitur juga merupakan anggota Direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya. (c) Perorangan anggota Direksi atau pengurus, atau anggota

badan pengawas pada debitur, atau suami, atau isteri, anak angkat atau keluarga sampai derajat ketiga, baik sendiri atau bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum lainnya lebih dari 50 % (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut, atau sebaliknya.

(d) Debitur adalah anggota Direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya.

(e) Badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama baik bersama, atau tidak dengan suami atau isterinya, dan/atau


(44)

para anak angkatnya dan keluarganya sampai derajat ketiga ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kedua badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50 % dari modal yang disetor.

6) Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap badan hukum lain dalam satu grup dimana debitur adalah anggotanya.

7) Ketentuan dalam huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f berlaku

mutatis mutandis dalam hal dilakukan oleh debitur dengan atau untuk kepentingan :

(a) Anggota pengurus dari suatu badan hukum, suami atau isteri, anak angkat atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota pengurus tersebut.

(b) Perorangan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan suami atau isteri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga yang ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam pengendalian badan hukum tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 41 dan 42 UUK-PKPU, dapat diketahui bahwa sistem pembuktian yang dipakai adalah sistem pembuktian terbalik, artinya beban pembuktian terhadap perbuatan hukum debitur (sebelum putusan pernyataan pailit) tersebut adalah berada pada pundak debitur pailit dan pihak ketiga yang melakukan perbuatan hukum dengan debitur apabila perbuatan hukum debitur tersebut dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan


(45)

pernyataan pailit yang membawa kerugian bagi kepentingan kreditur. Jadi, apabila kurator menilai bahwa ada perbuatan hukum tertentu dari debitur dengan pihak ketiga dalam jangka waktu satu tahun (sebelum putusan pernyataan pailit) merugikan kepentingan kreditur, maka debitur dan pihak ketiga wajib membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut wajib dilakukan oleh mereka dan perbuatan hukum tersebut tidak merugikan harta pailit. Berbeda, apabila perbuatan hukum yang dilakukan debitur dengan pihak ketiga dalam jangka waktu lebih dari satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit, dimana kurator menilai bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan kepentingan kreditur dan harta pailit, maka yang wajib membuktikan adalah kurator.30

5. Akibat kepailitan terhadap perjanjian timbal balik

Subekti menerjemahkan istilah overeenkomst dari bahasa Belanda kedalam

bahasa Indonesia, yaitu “Perjanjian”. Pasal 1313 KUH Perdata memberikan defenisi perjanjian, yaitu suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri atas satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri atas satu atau lebih badan hukum.

Pasal 1314 KUH Perdata berbunyi :

30


(46)

a. Suatu perjanjian dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban.

b. Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

c. Suatu perjanjian atas beban, adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Pasal 36 ayat (1) UUK-PKPU menentukan bahwa dalam hal pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan, terdapat perjanjian timbal-balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitur dapat meminta kepada kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh kurator dan pihak tersebut. Apabila dalam jangka waktu tersebut , kurator tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut maka perjanjian berakhir dan pihak dalam perjanjian tersebut dapat menuntut ganti rugi dan akan diperlakukan sebagai kreditur konkuren. Apabila kurator menyatakan kesanggupannya atau pelaksanaan perjanjian tersebut, kurator wajib memberi jaminan atas kesanggupan untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Pelaksanaan perjanjian tersebut tidak meliputi perjanjian yang prestasinya harus dilaksanakan sendiri oleh debitur misalnya debitur adalah seorang penyanyi atau seorang pelukis, dimana debitur diwajibkan untuk melukis wajah pihak tersebut, dalam hal tersebut tidak mungkin bagi kurator untuk melaksanakan perjanjian.31

31


(47)

6. Akibat kepailitan terhadap berbagai jenis perjanjian a. Terhadap perjanjian sewa

Pasal 38 ayat (1) UUK-PKPU menentukan bahwa dalam hal debitur telah menyewa suatu benda maka baik kurator atau pihak yang menyewakan benda, dapat menghentikan perjanjian sewa, dengan syarat pemberitahuan penghentian dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian sesuai dengan adat kebiasaan setempat. Pasal 38 ayat (2) mensyaratkan dalam hal melakukan penghentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diindahkan jangka waktu pemberitahuan penghentian menurut perjanjian. Apabila dalam perjanjian sewa tersebut tidak ditentukan jangka waktunya, Pasal 38 ayat (2) tersebut menentukan paling singkat adalah 90 hari karena jangka waktu tersebut menurut kelaziman merupakan jangka waktu yang dianggap patut.

Pasal 38 ayat (3) menentukan dalam hal uang sewa telah dibayar dimuka maka perjanjian sewa tidak dapat dihentikan lebih awal sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah dibayar uang sewa tersebut. Dengan kata lain, hanya perjanjian sewa-menyewa yang uang sewanya belum dibayar dimuka yang dapat dihentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1). Apabila uang sewa yang telah dibayar atau masih harus dibayar (uang sewa yang belum diterima oleh debitur, misalnya uang sewa tersebut dibayar bulanan), menurut Pasal 38 ayat (4) sejak tanggal putusan peryataan pailit diucapkan, uang sewa tersebut merupakan utang harta pailit.32

32

Sutan Remi Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang NO.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti,2009), hlm. 198.


(48)

b. Terhadap perjanjian kerja

Pasal 39 ayat (1) UUK-PKPU menentukan pekerja yang bekerja pada debitur pailit dapat memutuskan hubungan kerjanya dan sebaliknya kurator dapat memberhentikan pekerja tersebut, namun kurator harus mengindahkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam persetujuan (perjanjian kerja) atau sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangan yang berlaku. Apabila dalam perjanjian kerja tersebut tidak ditentukan jangka waktu minimal untuk memberitahukan maksud dari salah satu pihak untuk mengakhiri perjanjian kerja tersebut maka baik pekerja maupun kurator hanya dapat memutuskan/mengakhiri hubungan kerja tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan paling singkat 45 hari sebelumnya. Sesuai dengan penjelasan Pasal 39 ayat (1), berkenaan dengan pelaksanaan pemutusan hubungan kerja yang dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), kurator harus tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan.

Pasal 39 ayat (2) menentukan, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. Sesuai dengan penjelasan Pasal

39 ayat (2), yang dimaksud dengan “upah” adalah hak pekerja yang diterima

dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja atas suatu pekerjaan atas jasa yang akan atau telah dilakukan. Upah tersebut adalah yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu


(49)

perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan. Termasuk didalamnya adalah tunjangan bagi pekerja dan keluarga.33

Mahkamah Agung berpendapat undang-undang harus memberikan jaminan perlindungan untuk dipenuhinya hak pekerja karena hak itu telah dijamin Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan secara sosial ekonomi kedudukan buruh lebih lemah dibandingkan pengusaha. Upah buruh harus

dibayar „sebelum kering keringatnya‟. Kewajiban terhadap negara berada

pada tingkat setelah upah pekerja. Negara masih punya sumber penghasilan lain di luar boedel pailit, sedangkan buruh menjadikan upah satu-satunya sumber mempertahankan hidup diri dan keluarganya. 34

c. Terhadap warisan

Pasal 40 ayat (1) UUK-PKPU menyebutkan warisan yang selama kepailitan jatuh kepada debitur pailit, oleh kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila menguntungkan harta pailit. Logika ketentuan-ketentuan Pasal 40 ayat (1) dapat dimengerti karena tidak mustahil debitur pailit bukan menerima warisan berupa piutang tetapi menerima warisan utang. Apabila debitur pailit menerima warisan berupa piutang (tagihan) maka warisan tersebut akan menguntungkan harta pailit. Akan tetapi, apabila debitur pailit menerima warisan berupa utang, maka warisan tersebut akan membebani harta pailit. Sudah tentu hak tersebut bukan saja akan merugikan debitur pailit, tetapi juga para krediturnya.

33

Ibid., hlm. 198.

34

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5412a9f00ba43/upah-buruh-harus-didahulukan-dalam-kepailitan (diakses pada 27 November 2014).


(50)

Pasal 40 ayat (2) UUK-PKPU menentukan bahwa untuk tidak menerima suatu warisan, kurator memerlukan izin dari hakim pengawas. Ketentuan Pasal 40 ayat (2) terkesan kontradiktif dengan ketentuan Pasal 40 ayat (1). Disatu pihak Pasal 40 ayat (1) menentukan, kurator tidak boleh menerima warisan yang jatuh kepada debitur pailit (dengan kata lain kurator harus menolak) selama debitur berada dalam kepailitan (kecuali warisan tersebut menguntungkan harta pailit) namun dipihak lain untuk tidak menerima suatu warisan (dengan demikian berarti menolak), kurator memerlukan izin dari hakim pengawas. Apabila tujuan ketentuan Pasal 40 ayat (2) adalah untuk memastikan tindakan kurator tidak merugikan harta pailit, sebaiknya bukan saja dalam hal kurator tidak menerima atau menolak tetapi juga apabila kurator menerima suatu warisan yang jatuh kepada debitur pailit. Dengan demikian baik penerimaan atau penolakan warisan yang dilakukan oleh kurator itu tidak sampai merugikan harta pailit karena kekeliruan pertimbangan kurator atau karena kurator beritikad tidak baik.35 7. Akibat kepailitan terhadap kerditor pemegang hak jaminan dan hak istimewa

Pada saat ini, sistem hukum jaminan Indonesia mengenal 4 (empat) macam jaminan, antara lain :

a. Hipotek

Hipotek diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 Bab XXI KUH Perdata, yang pada saat ini hanya diberlakukan untuk

35


(51)

kapal laut yang berukuran minimal 20 meter kubik dan sudah terdaftar di Syahbandar dan pesawat terbang.

b. Gadai

Gadai diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 Bab XX KUH Perdata, yang diberlakukan terhadap benda-benda bergerak. c. Hak Tanggungan

Hak tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, yang merupakan jaminan atas hak-hak atas tanah tertentu berikut kebendaan yang melekat diatas tanah.

d. Fidusia

Hak fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang objek jaminannya berupa benda-benda yang tidak dapat dijaminkan dengan gadai, hipotik, dan hak tanggungan.36

Pasal 55 ayat (1) UUK-PKPU menentukan bahwa dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi hak nya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Namun dalam Pasal 56 UUK-PKPU menentukan, hak eksekusi kreditur pemegang hak

36


(52)

jaminan itu ditangguhkan (tidak dapat seketika dilaksanakan) untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak tanggal putusan peryataan pailit diucapkan. 8. Akibat kepailitan terhadap hak retensi kreditur

Menurut H.F.A. Vollmar, hak menahan atau hak retentive pada umumnya adalah hak untuk tetap memegang benda milik orang lain sampai piutang si pemegang mengenai benda tersebut telah lunas. UUK-PKPU mengakui eksistensi hak retensi atau hak menahan. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 61 UUK-PKPU,

antara lain : “ kerditor yang mempunyai hak untuk menahan benda milik debitur, tidak kehilangan hak karena ada putusan pernyataan pailit”. Kemudian dalam bagian penjelasan Pasal 61 UUK-PKPU dikatakan : “ hak untuk menahan atas

benda milik debitur berlangsung sampai utangnya dilunasinya”. Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun adanya putusan kepailitan, kreditur yang mempunyai hak retensi atau hak menahan terhadap benda milik debitur pailit tetap diakui keberadaan hak retensiya, sepanjang utangnya debitur pailit belum dibayar lunas. UUK-PKPU mewajibkan kurator untuk menebus benda yang ditahan oleh kreditur tersebut dengan membayar piutang kreditur tersebut. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 185 ayat (4) UUK-PKPU, antara lain bahwa kurator berkewajiban membayar piutang kreditur yang mempunyai hak untuk menahan suatu benda, sehingga benda itu masuk kembali dan menguntungkan harta pailit.37

37


(53)

9. Akibat kepailitan terhadap tuntutan hukum oleh pihak lain terhadap debitur Suatu tuntutan hukum dipengadilan yang diajukan terhadap debitur sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit terhadap debitur. Ketentuan yang demikian ini, merupakan konsekuensi berlakunya asas bahwa dengan kepailitan debitur maka harta debitur berada dibawah sita umum dan harta debitur harus dibagi untuk kepentingan para krediturnya. Berkenaan dengan gugatan tersebut, dengan dinyatakan debitur, penggugat harus mengajukan tagihannya untuk dicocokkan dalam rapat pencocokan piutang bersama-sama dengan para kreditur lain.

10. Akibat kepailitan terhadap transfer dana dan trasaksi efek

Tidak mustahil ketika putusan pailit diucapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga, terdapat transfer dana oleh debitur pailit kepada pihak lain, baik yang dilakukan melalui bank atau lembaga lain yang melakukan misalnya kegiatan kiriman uang. Tidak mustahil pula ketika itu telah menjadi transaksi efek di bursa efek yang mengakibatkan beralihnya saham atau obligasi yang dimiliki oleh debitur kepada pihak lain. Mengenai transaksi-transaksi tersebut, Pasal 24 ayat (3) UUK-PKPU menentukan bahwa dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank pada tanggal putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), transfer tersebut wajib diteruskan. Sementara itu, Pasal 24 ayat (4) menentukan bahwa dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan transaksi efek di bursa efek maka transaksi tersebut wajib diselesaikan.


(54)

Penjelasan Pasal 24 ayat (3) mengemukakan bahwa transfer dana melalui bank perlu dikecualikan untuk menjamin kelancaran dan kepastian sistem transfer melalui bank. Sementara itu, penjelasan Pasal 24 ayat (4) mengemukakan bahwa transaksi efek di bursa efek perlu dikecualikan untuk menjamin kelancaran dan kepastian hukum atas transaksi efek di bursa efek. Adapun penyelesaian transaksi efek di bursa efek dapat dilaksanakan dengan cara penyelesaian pembukuan atau cara lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibidang pasar modal. Sebagaimana halnya dengan transfer dana, demikian pula kiranya argumentasi hukum yang harus dianut berkaitan dengan transaksi efek di bursa efek. Artinya, efek milik debitur yang sudah ditransaksikan itu beralih kepemilikannya kepada pembeli efek pada saat penjualan efek disetujui oleh debitur dan transaksi itu terjadi sekalipun secara administrative dan akutansi belum tercatat direkening atau dibuku pembeli efek.

Masalah lain yang perlu diperhatikan sehubungan dengan ketentuan Pasal 24 ayat (3) dan ayat (4) UUK-PKPU, adalah berlakunya ketentuan actio pauliana dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 50 UUK-PKPU. Tujuan diadakannya ketentuan-ketentuan mengenai actio pauliana didalam UUK-PKPU sebagaimana diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 50 tetap harus ditegakkan. Artinya, terhadap pelaksana transfer dana dan transaksi efek di bursa efek yang bukan terlaksana karena debitur wajib melakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang sedangkan debitur megetahui, sebagaimana hal itu dapat dibuktikan, bahwa perbuatannya tersebut diketahui akan mengakibatkan kerugian bagi debitur atau pihak dengan siapa debitur bertransaksi mengetahui bahwa


(1)

Perma No. 1 Tahun 2000 menentukan bahwa paksa badan tidak dapat dikenakan terhadap debitur yang beritikad tidak baik yang telah berusia 75 tahun. Dalam UUK-PKPU ruang lingkup yang dimaksud dengan debitur yang beritikad tidak baik adalah debitur pailit yang dengan sengaja tanpa suatu alasan yang tidak sah tidak memenuhi kewajiban hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 98, Pasal 110 dan Pasal 121 UUK-PKPU. Sedangkan ruang lingkup yang dimaksud dengan debitur beritikad tidak baik menurut Perma No. 1 Tahun 2000 adalah debitur, penanggung atau penjamin utang yang mampu tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar utang-utangnya. Namun meskipun terdapat perbedaan mengenai ketentuan penahanan debitur pailit tidak kooperatif, untuk penahanan debitur pailit berlaku ketentuan UUK-PKPU dan dalam hal UUK-PKPU tidak mengatur mengenai suatu hal dan hal tersebut diatur didalam Perma No. 1 tahun 2000, maka peraturan tersebut dapat diberlakukan, dengan alasan bahwa UUK-PKPU merupakan peraturan perundang-undangan yang hierarkinya dalam urutan hierarki peraturan perundang-undangan lebih tinggi dari pada Perma No. 1 Tahun 2000 dan UUK-PKPU merupakan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus (lex specialis) dibandingkan dengan Perma No.1 tahun 2000 yang berlaku bukan saja terbatas pada debitur pailit, tetapi berlaku pula bagi debitur lainnya (lex generali).


(2)

B. Saran

Untuk menanggulangi perbuatan tidak kooperatif debitur pailit dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, maka berikut saran-saran yang dapat diberikan kepada beberapa pihak yang terlibat :

1. Pihak pemerintah

Pemerintah perlu mempertegas pengaturan atau keberadaan lembaga-lembaga yang berupaya untuk mengatasi perbuatan tidak kooperatif debitur pailit, seperti keberadaan Lembaga Paksa Badan dalam bentuk undang-undang yang bersifat umum dan mengikat dengan memperhatikan substansinya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, agar pelaksanaan lembaga paksa badan bisa berlaku efektif sebagaimana tujuan yang ingin diwujudkan oleh lembaga tersebut.

2. Pihak debitur

Pihak debitur hendaknya menyadari bahwa tindakan tidak kooperatif debitur dalam rangka pengurusan dan pemberesan harta pailit dapat memberikan kerugian bagi para pihak yang terlibat dalam proses kepailitan tersebut. Selain itu juga kepada debitur juga dapat dikenakan pidana penjara apabila telah terbukti bahwa debitur tersebut sudah melakukan perbuatan tidak kooperatif dalam pengurusan dan pemberasan harta pailit.

3. Pihak kreditur

Untuk mengantisipasi perbuatan tidak kooperatif debitur dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit sebaiknya kreditur melakukan koordinasi secara langsung dengan lembaga/instasi yang berhubungan langsung dengan proses pengurusan


(3)

dan pemberesan harta pailit dan melakukan tindakan tegas, seperti meminta kepada Hakim agar debitur tidak kooperatif tersebut ditahan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum .Jakarta. Rajawali Pers, 2006.

Aria, Suyudi. Kepailitan Di Negeri Pailit. Jakarta. Dimensi, 2003.

Badrulzaman. Mariam Darus. Asas-Asas Hukum Perikatan. Medan.FH USU, 1970.

Faudi, Munir. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek. Jakarta. Citra Aditya Bakti, 2005.

Harahap, M. Yahya. Ruang Lingkup Eksekusi Perdata. Jakarta. Sinar Grafika, 1990.

Ikhsan Edy , Mahmul Siregar. Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar .Medan. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009. Jono. Hukum Kepailitan. Jakarta. Sinar Grafika,2010.

Kartini ,Rahayu. Hukum Kepailitan. Malang. UMM Press, 2008.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Muljadi, Kartini. Pedoman Penanganan Perkara Kepailitan. Jakarta. Raja Grafindo Persada, 2003.

Nurdin, Adriani. Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum. Bandung. P.T. Alumni, 2012.

Shubhan, Hadi. Hukum Kepailitan Prinsip,Norma,dan Praktik di Peradilan, Jakarta.Kencana Prenada Media Grup, 2008.

Sinaga, Syamsudin M. Hukum Kepailitan Indonesia. Jakarta. Tatanusa, 2012. Sjahdeini ,Sultan Remi. Hukum Kepailitan. Jakarta. PT Pustaka Utama Grafiti,

2010.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum . Jakarta. Universitas Indonesia (UI) Pers, 1986.


(5)

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta. Intermasa, 2001.

Suhaimi, T. Pertanggungjawaban Pidana Direksi. Medan. Books Terrace & Librari, 2010.

Sunarmi. Hukum Kepailitan. Jakarta. Softmedia, 2010.

Sunarmi. Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta.Sofmedia, 2010.

Syahrini, Riduan. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata . Banjarmasin. Citra Aditya Bakti, 2000.

Usman, Rachmadi. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Widjaja, Gunawan, Kartini Muljadi. Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung. Jakarta. Raja Grafindo Persada, 2005.

Widjaja, Gunawan. Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Pailit. Jakarta. Forum Sahabat, 2009.

Yuhassarie, Emmy. Kewajiban dan Standar Pelaporan Dalam Kepailitan dan Perlindungan Kurator dan Harta Pailit. Jakarta. Pusat Pengkajian Hukum, 2004.

B. Peraturan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana)

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU)

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan


(6)

C. Karya Ilmiah

Akbar, Faisal, ”Paksa Badan Sebagai Alternatif Penanganan Terhadap Debitur Yang beritikad Tidak Baik Dalam Sistem Perbankan Syariah” (Skripsi Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan,2009).

Simanjuntak, Sarifani, “Prinsip Transparansi dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit oleh Balai Harta Peninggalan di Kota Medan” (Tesis, Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009). D. Website

http://m.bisnis.com/quick-news/read/20130926/16/165360/kasus-investasi-emas-makira-kurator-kewalahan (diakses pada 18 November 2014 pukul 21.47 WIB).

http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/09/10/0061.html (diakses pada 25 November 2014 pukul 17.30 WIB).

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5412a9f00ba43/upah-buruh-harus-didahulukan-dalam-kepailitan (diakses pada 27 November 2014 pukul 13.20 WIB).

http://www.kesimpulan.com/2009/03/hambatan-pelaksanaan-eksekusi-kepailita.html (diakses pada 27 November 2014 pukul 13.50 WIB).

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53b65a5e2cfef/pembagian-harta-bersama-jika-terjadi-perceraian (diakses pada tanggal 12 Januari 2015 pukul 15.45 WIB).

http://click-gtg.blogspot.com/2010/01/proses-permohonan-pernyataan-pailit-dan.html (diakses pada 19 Februari 2015 pukul 12.35 WIB).

http://makkula.blogspot.com/ (diakses pada 19 Februari 2015pukul 13.00).

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl738/tugas-tugas-kurator-dan-pengawas (diakses pada 20 Februari 2015 pukul 15.25 WIB).

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4483/pengangkatan-kurator-dan-pengurus (diakses pada 26 Februari 2015 pukul 13.30 WIB).

http://www.umnaw.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Kultura-Volume-14-No.-1-September-2013.pdf (diakses pada 27 Februari 2015 pukul 15.45 WIB).