PAJAK PENGHASILAN atas penghasilan (1)

 PAJAK PENGHASILAN (PPh)
pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterimanya
atau diperolehnya dalam tahun pajak
 DASAR HUKUM
-Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
No. 28 Tahun 2007.
-Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008.
-Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
541/KMK.04/2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007
tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyeroran Pajak,
Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran,
Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan
Penundaan Pembayaran Pajak.
-Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang
Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai
Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak
Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.

-Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
 SUBJEK PAJAK (PASAL 2 AYAT 1)
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan (“UU Pajak Penghasilan”), menetapkan Subjek Pajak sebagai
berikut:
1. (i) orang pribadi atau (ii) warisan yang belum terbagi sebagai satu
kesatuan menggantikan yang berhak;
2. badan usaha yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia;

3. bentuk usaha tetap. Bentuk usaha tetap merupakan Subjek Pajak yang
perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan (bentuk
usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
di Indonesia).


SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI
Pasal 2 ayat (3) UU Pajak Penghasilan menetapkan Subyek Pajak Dalam
Negeri sebagai berikut:
1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, (i) orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau (ii) orang pribadi yang dalam
suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia;
2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali
unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: badan yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu
dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
a. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan;
b. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
c. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; dan
d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara;
tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subyek pajak pengganti karena
pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang

pribadi dimaksud melekat pada objeknya (penjelasan Pasal 2 ayat (3)
huruf c UU Pajak Penghasilan).

SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI
Pasal 2 ayat (4) UU Pajak Penghasilan menetapkan Subyek Pajak Luar
Negeri sebagai berikut: (i) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan
dan (ii) badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia:
1. yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia; dan
2. Yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak
dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia.
Menurut Pasal 2 ayat (5) UU Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap adalah
bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di

Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
 BENTUK USAHA TETAP (PASAL 2 AYAT 5)
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU PPh, disebutkan bahwa suatu
BUT mengandung pengertian :
 adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang
dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan
peralatan.
tempat usaha tersebut bersifat permanen; dan
 digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Bentuk Usaha Tetap dapat berupa :
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;

e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja

pengeboran yangdigunakan untuk eksplorasi pertambangan;
h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
Objek Pajak BUT :
a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut
dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya (attribution rule) ;
b. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan penjualan barang
atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan
atau dilakukan oleh BUT-nya di Indonesia (force of attraction rule);
c. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima
atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif
antara BUT-nya dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan dimaksud (effectively connected income) .
Pembebanan Biaya pada BUT :
1. Biaya-biaya yang diperkenankan sebagai pengurang atas
penghasilan BUT (deductible expenses).
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
b. biaya administrasi kantor pusat, yang besarnya ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak (KEP-62/PJ/1995)
2. Biaya-biaya yang tidak diperbolehkan sebagai pengurang atas
penghasilan BUT (non deductible expenses).

a. royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten,
atau hak-hak lainnya;
b. imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
 TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK (PASAL 3)
yang tidak termasuk subjek pajak adalah: (pasal 3 UU Nomor 36
Tahun 2008):
1. Kantor perwakilan Negara asing
2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabatpejabat lain dari Negara asing dan orang-orang yang diperbantukan

kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersamasama mereka dengan syarat bukan Negara Indonesia dan di Indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan diluar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta Negara bersangkutan memberikan
perlakuan timbale balik
3. organisasi-organisasi internasional dengan syarat Indonesia menjadi
anggota organisasi tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan
lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan
pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para
anggota
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat
bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha,

kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia
Pejabat perwakilan organisasi internasional adalah pejabat yang
diangkat atau ditunjuk langsung oleh induk organisasi internasional
yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan pada kantor
perwakilan organisasi internasional tersebut di Indonesia.
Organisasi Internasional adalah
organisasi/badan/lembaga/asosiasi/perhimpunan/forum/ antar
pemerintah atau non-pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan
kerjasama interasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau
kesepakatn bersama.
Daftar Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek PPh:
1. Badan-badan internasional dari perserikatan bangsa-bangsa
2. Organisasi-organisasi internasional yang berbentuk kerjasama
teknik dan atau kebudayaan
3. Organisasi Internasional lainnya
 OBJEK PAJAK (PASAL 4 AYAT 1)
Pada prinsipnya Pasal 4 UU Pajak Penghasilan (PPh) mengatur
bahwa atas semua penghasilan merupakan objek Pajak Penghasilan


kecuali ditetapkan lain oleh UU PPh bukan sebagai objek pajak,
karena:
1. UU Pajak Penghasilan (PPh) menganut pengertian penghasilan yang
seluas-luasnya dengan nama dan dalam bentuk apapun. Hal ini sejalan
dengan prinsip substance over form yang dianut UU PPh. Artinya,
dalam penghitungan pajak hakikat ekonomis yang sebenarnya lebih
diutamakan dibandingkan nama atau istilah yang diberikan atas
penghasilan tersebut.
2. jenis penghasilan sangat banyak dan luas dan akan semakin
berkembang sesuai dengan kemajuan ekonomi sehingga tidak
mungkin dapat memberikan jenis penghasilan yang menjadi objek
pajak secara spesifik dalam undang-undang.
Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah memberikan batasan
macam dan jenis penghasilan yang bukan Objek Pajak (tidak terutang
pajak) sehingga jenis penghasilan yang tidak termasuk bukan objek
pajak merupakan objek pajak dan terutang pajak.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Pajak Penghasilan (PPh) disebutkan
bahwa yang menjadi Objek Pajak adalah Penghasilan, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia

yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak yang bersangutan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, antara lain:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh, termasuk : gaji, upah, tunjangan,
honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UU PPh.
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3. Laba usaha.
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta,
termasuk:
1. keuntungan karena penglihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham
atau penyertaan modal;

5.
6.

7.


8.
9.

2. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan
badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang
saham, sekutu, atau anggota;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya.
Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan
pengembalian uang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai
nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli
di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan
penghasilan bagi yang meneritkan obligasi dan diskonto
merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi dan diskonto
merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan

pembagian sisa hasil usaha koperasi.
Pengetian deviden termasuk pula:
1. pembagian laba, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah
modal yang disetor;
3. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran
termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio
saham;
4. pembagian laba dalam bentuk saham;
5. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa
penyetoran;
6. pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya.
Ciri informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut
telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi
melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.

10.Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan
jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Penghasilan yang menjadi objek pajak dapat dikelompokkan dalam 4
(empat) kelompok, yaitu :
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan
bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter,
notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan;
3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta
takgerak seperti bunga, deviden, royalti, sewa, keuntungan
penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan
lain sebagainya;
4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan
sebagainya.
 DASAR PENGENAAN PAJAK
Pengertian dan jenis-jenis:
Pengertian Dasar pengenaan Pajak adalah dasar perhitungan PPN yang
harus dibayar setelah dikali dengan tarif PPN-nya pasti 10% yang harus
dibayar. Apabila DPP-nya 100% maka PPN-nya adalah 4%. Pasal 16 C UU
No. 8 PPN tahun 1983 dan DPP-nya 10% maka PPN-nya adalah 1%.
Misalnya, penyerahan kendaraan bermotor bekas yang dijual melalui
showroom dan bila DPP-nya 5% maka PPN-nya adalah 0,5% (penyerahan
anjak piutang).
Jenis-jenis:
Berdasarkan jenis-jenis DPP maka DPP dibagi menjadi Harga Jual,
Pengganti, Nilai Impor, dan Nilai Lain.
1. Harga Jual: harga jual adalah nilai berupa mata uang, termasuk
semua biaya yang diminta oleh penjual karena penyerahan BKP,
tidak termasuk pajak yang dipungut menurut UU No.8 PPN Th
1983 dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.

2. Penggantian: penggantian adalah nilai berupa uang termasuk
semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi
jasa karena penyerahan JKP tidak termasuk pajak yang dipungut
menurut UU No.8 PPN Th 1983 dan potongan harga yang
dicantumkan dalam faktur pajak.
3. Nilai Impor: nilai impor adalah nilai berupa uang, yang menjadi
dasar perhitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang
dikenakan berdasarkan ketentuan dalam pengaturan perundangundangan pabean untuk impor BKP, tidak termasuk pajak yang
dipungut menurut UU No.8 PPN Th 1983.
4.

Nilai Ekspor: nilai ekspor adalah sebagai dasar pengenaan
pajak dirumuskan sebagai nilai berupa uang, termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. DPP
atas ekspor BKP adalah Nilai Ekspor yang tercantum dalam
PEB yang telah dimuat oleh DJBC.

5. Nilai Lain: nilai lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
berdasarkan KMK No. 251/KMK 04/02 tanggal 31 mei 2002
terdiri dari:
 Pemberian Cuma-Cuma dan pemakaian sendiri, yaitu
penyerahan BKP dalam bentuk apapun kepada pihak lain yang
tidak memiliki nama/NPWP/alamat jelas dan bentuk pemakaian
sendiri BKP milik sendiri/orang lain untuk kepentingan sendiri
sama dengan harga jual/pengganti dikurangi unsure laba yang
diharapkan: media rekaman suara dan gambar dengan harga
jual rata;
 Persediaan BKP pada saat pembubaran perusahaan dengan
harga pasar wajar;

WPLN
PPh pasal 26
pajak penghasilan (PPh) pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong
atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau
diperoleh wajib pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di
Indonesia.
 Pemotong PPh pasal 26
1. Badan Pemerintah
2. Subjek Pajak dalam negeri
3. Penyelanggaraan Kegiatan
4. BUT
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di
Indonesia
 Tarif dan Objek PPh pasal 26
1. 20% (final) dari jumlah penghapusan bruto yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa:
a. Dividen
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembaian utang
c. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta
d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan
e. Hadiah dan penghargaan
2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto bruto berupa:
a. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia
b. Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung

maupun pialang kepada perusahaan asuransi diluar negeri
3. 20% dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau
pengalihan saham perusahaan antara conduit company atau
special purpose company yang didirikan atau bertempat
kedudukan dinegara yang memberikan perlindungan pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan
atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia
4. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi
pajak dari suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia
5. Tarif berdasarkan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B)
antara Indonesia dengan Negara pihak pada persetujuan
 Saat Terutang, tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan
PPh pasal 26
a) PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya
pembayaran atau akhir bulan terutannya penghasilan,
tergantung yang mana terjadi lebih dahulu
b) Pemotongan PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan
PPh pasal 26 rangkap 3:
1. Lembar pertama untuk wajib pajak luar negeri
2. Lembar kedua untuk kantor pelayanan pajak
3. Lembar ketiga untuk arsip pemotong
c) PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank persepsi atau kantor pos
dengan menggunakan surat setoran pajak (SSP), paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan saat terutangnya
pajak
d) SPT masa PPh pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua,

bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat
20 hari setelah masa pajak berakhir. Contoh: pemotongan PPh
pasal 26 dilakukan tanggal 24 mei 2009, penyetoran paling
lambat tanggal 10 juni 2009 dan dilaporkan ke kantor
pelayanan pajak paling lambat tanggal 20 juni 2009
 Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan
PPh pasal 26 bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau
hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan
pada hari kerja berikutnya.
Pengecualian
1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh pasal 26 apabila
penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan
dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
a. penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan
kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan
modal ppada perusahaan yang didirikan dan kedudukan di
Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri
 WP Orang Pribadi
Dasar Hukum Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21).
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 7 tahun
1983 tentang pajak penghasilan dan peraturan direktur jenderal
pajak nomor PER-31/PJ/2012 tentang pedoman teknis tata cara
pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak penghasilan pasal 21
dan atau pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan
orang pribadi, maka dasar pengenaan dan pemotongan pajak

penghasilan pasal 21 (PPh 21) adalah sebagai berikut:
1) Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi
a) Pegawai tetap
b) Penerima pension berkala
c) Pegawai tidak tetap yang pengasilannya dibayar
secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan
yang diterima dalam 1 bulan kalender telah melebihi
Rp 2.025.000
d) Bukan pegawai yang menerima imbalan yang bersifat
berkesinambungan
2) Jumlah penghasilan yang melebihi Rp 200.000 sehari, yang
berlaku bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas
yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan
atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang
diterima dalam bulan kalender belum melebihi RP
2.025.000.
3) 50% dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi bukan
pegawai yang menerima imbahan yang tidak bersifat
berkesinambungan
 Bagi pegawai tidak tetap, sebesar penghasilan bruto dikurangi
PTKP. Berikut ketentuan yang menyangkut dasar pengenaan pajak
untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas:
1) Atas penghasilan bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja
lepas yang tidak dibayar secara bulanan atau jumlah
kumulatif dalam 1 bulan kalender belum melebihi Rp
2.025.000
NETTO PTKP

A. Rata-rata penghasilan sehari adalah rata-rata upah
mingguan, upah satuan, atau upah borongan untuk setiap
hari kerja yang digunakan
B.PTKP sebenarnya adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari
kerja yang sebenarnya
C. PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang
sebenarnya adalah sebesar PTKP per tahun dibagi 360 hari
Bagi bukan pegawai sebesar 50% dari jumlah penghasilan
bruto dikurangi PTKP per bulan:
1. Dalam hal bukan pegawai memberikan jasa kepada
pemotong PPh pasal 21 dan atau PPh pasal 26:
A) Mempekerjaan orang lain sebagai pegawainya maka
besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesarnya jumlah
pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah
dari pegawai yang dipekerjaan tersebut, kecuali apabila
dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji
atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka
besarnya yang dibayarkan.
Dalam hal penghasilan bruto dikurangi keseluruhan
pengurang yang di ijinkan oleh UU dengan memperhatikan
ketentuan sebagai berikut:
 Penghasilan kena pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi
wajib pajak dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara
mengurangkan dari penghasilan
 Penghasilan kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi
dengan menggunakan norma perhitungan dan untuk wajib

pajak orang pribadi dikurangi dengan penghasilan tidak kena
pajak
 Penghasilan kena pajak bagi wajib pajak luar negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak
dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan
dengan yang di ijinkan oleh UU
Penghasilan kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi dalam
negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak
dihitung berdasarkan penghasilan neto yang disetahunkan.
Dasar Hukum:
 Undang-undang No 7 tahun 1983 tentang pajak
penghasilan
 Undang-undang No 36 tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas UU No 7 tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan
 Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER31/PJ/2012 tentang pedoman teknis tata cara
pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak
penghasilan pasal 21 dan atau pasal 26
sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan
orang pribadi

 PTKP ( PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK)
Pengertian PTKP adalah :

PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) adalah besarnya penghasilan yang
menjadi batasan tidak kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan
kata lain apabila penghasilan neto Wajib Pajak Orang Pribadi yang
menjalankan usaha dan/atau pekerjaan bebas jumlahnya dibawah PTKP tidak
akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 dan apabila berstatus
sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai objek PPh Pasal 21,
maka penghasilan tersebut tidak akan dilakukan pemotongan PPh Pasal 21.
Menurut Kemenkeu, beberapa hal yang menjadi pertimbangannya adalah:
1. Untuk menjaga daya beli masyarakat. Sebagaimana diketahui dalam
beberapa tahun terakhir telah terjadi pergerakan harga kebutuhan pokok yang
cukup signifikan,khususnya di tahun 2013 dan 2014 sebagai dampak dari
kebijakan penyesuaian harga BBM.
2. Telah terjadi penyesuaian Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah
Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di hampir semua daerah.
3. Terkait dengan kondisi ekonomi terakhir yang menunjukkan tren
perlambatan ekonomi, khususnya pada kuartal 1 tahun 2015 yang hanya
tumbuh sebesar 4,7% terutama akibat dampak perlambatan ekonomi global,
khususnya mitra dagang utama Indonesia.
Berdasarkan ketiga hal tersebut, maka untuk mendorong naiknya kembali
laju pertumbuhan ekonomi pada semester II tahun 2015, langkah pemerintah
yaitu dengan melakukan penyesuaian batasan PTKP, dengan harapan
dinaikkannya batasan PTKP ini dapat menaikkan permintaan domestik
dengan tetap terus mendorong daya beli masyarakat.
Pemerintah menyadari bahwa saat ini tidak bisa mengandalkan sisi eksternal
(perdagangan internasional) untuk mendorong kinerja ekonomi sehingga
diperlukan usaha untuk mendorong permintaan domestik melalui investasi
maupun konsumsi masyarakat. Kinerja investasi diharapkan dapat terdorong
melalui belanja infrastruktur yang meningkat besar, sementara itu konsumsi
masyarakat dapat naik melalui kebijakan penyesuaian PTKP ini dan berbagai
program bantuan sosial, sehingga dapat menahan melemahnya kinerja sisi

eksternal tadi.
Pokok-pokok PMK 122/PMK.010/2015 adalah:
1. Besaran PTKP mulai berlaku sebagai dasar perhitungan PPh orang pribadi
untuk tahun pajak 2015 sejak tanggal 1 Januari 2015.
2. Batasan PTKP 2015, untuk:
a. Diri Wajib Pajak Orang Pribadi sebesar Rp 36.000.000;
b. Tambahan bagi Wajib Pajak Kawin Rp 3.000.000;
c. Tambahan untuk istri yang penghasilannya digabung dengan suami Rp
36.000.000; dan
d. Tambahan untuk setiap tanggungan Rp. 3.000.000.
Mengutip siaran pers Direktorat Jenderal Pajak tanggal 27 Juli 2015,
konsekuensi yang akan timbul akibat diterapkannya PMK
122/PMK.010/2015 adalah :
1. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang untuk Masa Pajak Juli s.d. Desember
2015 dihitung dengan menggunakan PTKP baru;
2. PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari s.d. Juni 2015 yang telah dihitung,
disetor dan dilaporkan dengan menggunakan PTKP lama dilakukan
pembetulan dengan menggunakan PTKP baru.
3. Dalam hal terdapat kelebihan setor akibat pembetulan penghitungan
pemotongan PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari s.d. Juni 2015, dan agar
manfaat kenaikan PTKP tersebut dapat langsung dirasakan oleh masyarakat
luas maka pemberi kerja mengkompensasikan kelebihan setor tersebut
terhadap PPh Pasal 21 Masa Pajak Juli s.d. Desember 2015.

Besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak

Ketentuan mengenai PTKP diatur dalam Pasal 7 UU PPh, yang salah satunya
memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan besarnya
PTKP tersebut dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi, moneter, dan
pokok setiap tahunnya.
Menteri Keuangan telah beberapa kali mengubah besarnya PTKP tersebut dan
terakhir dengan peraturan Menteri Keuangan No. 137/PMK.03/2005 tanggal 30
desember 2005 yang mulai berlaku 1 Januari 2006. Selanjutnya dengan adanya
amandemen UU PPh baru (UU No. 36 Tahun 2008), besarnya PTKP adalah
sebagai berikut :
 Sebesar Rp. 15.840.000 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan
 Tambahan untuk Wajib Pajak Kawin, sebesar Rp. 1.320.000

Tambahan untuk istri yang bekerja dan penghasilannya
digabungkan dengan pengasilan suami sebesar Rp 15.840.000

Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi
tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga sebesar
Rp. 1.320.000.