Konstitusionalitas Model Pemilihan Noken dalam

Konstitusionalitas Model Pemilihan Noken
Oleh : Pandu Dewanata1
PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia bersifat pluralis terdiri dari berbagai macam suku
bangsa, bahkan diantara suku-suku tersebut masih ada yang menjunjung tinggi
nilai-nilai adat setempat dan tidak bisa dipengaruhi oleh nilai-nilai baru yang
datangnya dari luar budaya masyarakat adat tersebut. Sifat pluralis tersebut
dipertahankan oleh negara melalui konstitusi, yang mengakui dan menghormati
hak-hak tradisional masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat.2 Bahkan konstitusi dibuat dengan cita-cita
yang berakar dari semangat bangsa Indonesia yang khas serta pengalaman
ketatanegaraan adat yang telah dipraktekkan oleh masyarakat Indonesia.3
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai-nilai adat mempengaruhi
ketatanegaraan di Indonesia, termasuk sistem pemilihan.
Dalam praktik pemilihan umum masyarakat adat di Papua menggunakan
model pemilihan yang berbeda dengan model pemilihan pada umumnya di
Indonesia. Mekanisme pemilihan yang dilakukan oleh masyarakat adat di Papua
dengan cara memasukkan surat suara yang telah dicoblos ke dalam “noken”,
semacam kantong yang terbuat dari kain. Model pemilihan noken diawali dengan
musyawarah antara kepala suku dengan masyarakat mengenai pilihan mereka.
Setelah menghasilkan mufakat, kepala suku mewakili masyarakat untuk memilih


1

Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran saat ini mengambil
program kekhususan Hukum Tata Negara.
2
Lihat Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945.
3
Ahmad Zazili, Pengakuan Negara terhadap Hak-Hak Politik Masyarakat Adat dalam
Pelaksanaan Pemilihan Umum, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 1, Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta, 2012, hlm. 138.

calon anggota badan legislatif, calon kepala daerah, maupun calon presiden.
Pemilihan model Noken ini terungkap dalam sidang perkara nomor 4781/PHPU.A/VII/2009 di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh dua orang
pemohon, yaitu Pdt. Elion Numberi dan Hasbi Suaib, S.T. Sebenarnya yang
dipersoalkan pemohon bukan mekanisme noken, melainkan perselisihan hasil
pemilu untuk anggota DPD.
Setidaknya ada dua hal yang perlu dicermati dalam mengaitkan pemilihan
model noken dengan sistem pemilu di Indonesia, yaitu:4 (1) terkait dengan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil; dan (2) ketentuan tentang tata

cara pemungutan suara

didalam UU pemilu. Dalam model pemilihan noken,

kepala suku mewakili suara dari masyarakatnya dimana hal ini bertentangan
dengan asas langsung. Selain itu dalam model pemilihan ini surat suara yang telah
dicoblos dimasukkan ke dalam noken, bukan di dalam kotak suara.
Tulisan ini akan menganalisa mengenai konstitusionalitas model
pemilihan noken yang diakui eksistensinya melalui konstitusi dan putusan MK
No.47-81/PHPU.A-VII/2009. Kemudian tulisan ini akan meletakkan model
pemilihan noken dalam tiga konteks, yaitu nilai-nilai demokrasi, kontitusi pluralis,
serta hak memilih dari masyarakat adat.

4

Yance Arizona, Konstitusionalitas Noken:Pengakuan model pemilihan masyarakat adat dalam
sistem pemilihan umum di Indonesia, Jurnal Konstitusi Pusako Universitas Andalas, Volume 3,
Nomor 1, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2010, hlm. 113.

PEMBAHASAN


Nilai-Nilai Demokrasi dalam Model Pemilihan Noken
Sebagaimana pendapat Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dalam
paham kedaulatan rakyat (demokrasi), rakyat dianggap sebagai pemilik dan
pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.5 Secara umum demokrasi
terbagi menjadi dua, demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung. Model
pemilihan noken merupakan bentuk dari demokrasi tidak langsung, karena tiap
individu dari masyarakat adat di Papua mewakilkan hak memilihnya kepada
kepala suku. Namun model pemilihan noken dilakukan dalam pemilu yang
merupakan penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung atau demokrasi
langsung. Artinya model pemilihan noken merupakan demokrasi tidak langsung
yang dilaksanakan dalam saluran demokrasi langsung. Kepala suku dan anggota
masyarakat adat akan melakukan musyawarah mufakat untuk menentukan pilihan
mereka, sehingga masyarakat adat tersebut benar-benar ‘aklamasi’ mengenai
pilihannya dalam pemilu.
Demokrasi langsung maupun demokrasi tidak langsung pada hakikatnya
sama-sama demokratis. Model pemilihan noken merupakan demokrasi ‘khas’
Indonesia yang sejalan dengan konsep demokrasi Pancasila. Menurut Mohammad
Hatta, demokrasi Pancasila adalah demokrasi kekeluargaan dan gotong royong
yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur

berkesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur,

5

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 328.

berkepribadian Indonesia, dan berkesinambungan.6 Dalam demokrasi Pancasila,
keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan dengan cita-cita hidup bangsa
Indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan, sehingga tidak ada dominasi
mayoritas atau minoritas.7
Model pemilihan noken yang mengumpulkan kepala suku dan anggota
masyarakat adat untuk menentukan pilihan mereka dalam pemilu merupakan
wujud dari demokrasi kekeluargaan dan gotong royong. Dalam model pemilihan
noken terdapat perpaduan antara esensi dari pemilihan umum dan karakteristik
masyarakat adat Papua. Pemilu bagi masyarakat adat Papua mempunyai esensi
sebagai pengakuan dan perwujudan hak-hak politik rakyat, serta merupakan
pendelegasian hak-hak tersebut kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan
pemerintahan. Esensi tersebut tentu harus sejalan dengan karakteristik masyarakat
adat Papua yang berkarakter masyarakat solidaritas mekanis. Masyarakat

solidaritas mekanis menurut Emile Durkheim adalah masyarakat yang
mementingkan kebersamaan dan keseragaman, selain itu pemimpin memiliki
kedudukan sentral.8
Salah satu wujud hukum adat yang menjadi ciri ketatanegaraan Indonesia
adalah prinsip musyawarah.9 Musyawarah merupakan forum pengambilan
keputusan sekaligus pembatasan kekuasaan.10 Model pemilihan noken dilakukan
musyawarah dan mufakat yang juga menjadi karakteristik masyarakat adat Papua,
6

Mohammad Hatta, Indonesia Merdeka, LP3ES, Jakarta, 1998, hlm. 87.
Yudi Latif, Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia,
Jakarta, 2011, hlm. 383.
8
Achmad Sodiki, Konstitusionalitas Pemilihan Umum Model Masyarakat Yahukimo, Jurnal
Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2009, hlm. 2.
9
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Hukum Tata Negara Adat, Disampaikan sebagai bahan Keynote
Speech pada Seminar Nasional tentang Konstitusi Kesultanan-Kesultanan Islam di Jawa Barat dan
Banten. UIN Gunung Djati, Bandung, 5 April 2008, hlm. 4-5.
10

Ibid.
7

dalam musyawarah tersebut akan terjadi pertukaran pendapat mengenai pilihan
dalam pemilu. Musyawarah akan terus berjalan sampai tercapainya mufakat,
perbedaan pilihan dari masing-masing anggota masyarakat akan berakhir ketika
diperoleh mufakat dalam musyawarah. Walaupun pencoblosan surat suara
dilaksanakan oleh kepala suku namun kepala suku harus memilih sesuai dengan
mufakat yang telah dicapai, sehingga model pemilihan noken tetap demokratis.
Bagi masyarakat adat Papua pemilu identik dengan pesta gembira,11
sehingga pemilu tidak boleh meninggalkan permusuhan diantara mereka akibat
perbedaan pilihan. Jika dipaksakan menggunakan tata cara pemilihan umum
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka dikhawatirkan
akan timbul konflik di antara kelompok-kelompok masyarakat setempat.12 Dapat
disimpulkan bahwa model pemilihan noken tetap memiliki nilai demokratis yang
sesuai dengan karakteristik masyarakat adat Papua.

Konstitusi Pluralis
Pada negara pluralistik seperti Indonesia, konstitusi juga harus
mencerminkan penghargaan terhadap keberagaman sosial di dalam masyarakat.

Negara Indonesia sendiri juga memiliki keberagaman model pemilu yang
berdasarkan pada adat istiadat, khususnya di daerah Papua. Pasal 18B ayat (2)
UUD 1945 secara tegas menyatakan adanya pengakuan terhadap hak-hak
tradisional masyarakat hukum adat sepanjang sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Model pemilihan noken yang dilaksanakan masyarakat adat di Papua
tetap sesuai dengan perkembangan masyarakat di Papua karena masih dilakukan
11
12

Yance Arizona, Op. Cit, hlm. 4.
Achmad Sodiki, Op. Cit, hlm. 4.

oleh masyarakat adatnya. Selain itu model pemilihan noken juga dikuatkan
dengan pengakuan dari Mahkamah Konstitusi. Putusan MK Nomor 4748/PHPU.A-VI/2009 mengakui model pemilihan noken sebagai bagian dari
pengakuan konstitusi terhadap kesatuan masyarakat hukum adat yang masih
hidup.13 Sehingga dapat disimpulkan bahwa konstitusti Indonesia adalah
konstitusi pluralis, konstitusi yang mengakomodasi keberagaman yang hidup di
tengah-tengah masyarakat.
Istilah kontitusi pluralis diperkenalkan oleh Neil Walker melalui
tulisannya yang berjudul The Idea of Constitutional Pluralism.14 Gagasan Neil

Walker muncul dari kritik yang diajukannya, antara lain :15


kritik terhadap karakter konstitusi yang melanjutkan tradisi kerangka
pemikiran yang statis, sehingga tidak mampu menjelaskan dan
bertindak sebagai wadah bagi arus mekanisme kekuatan politik, sosial,
ekonomi untuk menyelamatkan negara.



constitutional fetishism yang merupakan suatu ilusi konstitusi yang

menghalangi pandangan pada mekanisme lain. Konstitusi dianggap
sebagai ‘jimat’ dan sebagai satu-satunya yang mampu menyelesaikan
permasalahan di masyarakat.


normative bias dari konstitusi modern yakni adanya tendensi
menguntungkan kepentingan dan nilai-nilai tertentu di atas yang lain
dan gagal memberikan kedudukan yang seimbang bagi semua

kepentingan dan nilai yang seharusnya diakomodasi.

13

Ibid, hlm. 3.
Yance Arizona, Op. Cit, hlm. 11-12.
15
Ibid.
14



ideological

exploitation

dari

konstitusi


modern

menjadikan

konstitusionalisme sebagai sumber ideologi dan kecenderungan
membungkus kepentingan, ide, dan inspirasi dalam pakaian konstitusi,
bukan karena komitmen pada ukuran normatif tertentu di dalam
konstitusionalisme.
Hukum tumbuh dan berkembang dalam jiwa masyarakat.16 Sejalan dengan
pendapat Von Savigny bahwa hukum mengikuti jiwa (volkgeist) dari masyarakat
setempat. Bagi Carl Von Savigny, pemahaman yang benar dalam menyusun
hukum merupakan suatu tindakan self-conscious articulation tentang apa yang
tertanam dalam perilaku masyarakat.17 Volkgeist masing-masing masyarakat
berlainan, maka hukum yang berlaku dalam masyarakat juga berlainan.18
Sebagaimana model pemilihan noken yang didasari oleh volkgeist masyarakat
adat Papua yang mengutamakan musyawarah mufakat dan solidaritas dari
kesatuan masyarakatnya.
Sejarah

pembentukan


konstitusi

Indonesia

dimulai

sejak

proses

pembahasan UUD 1945, menunjukkan bahwa UUD 1945 dibuat dengan cita-cita
yang berakar dari volkgeist bangsa Indonesia yang khas dan pengalaman
ketatanegaraan adat yang telah dipraktekkan oleh masyarakat Indonesia.19
Sebagaimana yang dikatakan Soepomo dalam rapat pembahasan BPUPKI, ”dasar
dan susunan negara berhubungan dengan riwayat hukum (rechtsgeschichte) dan

16

Atip Latipulhayat, Friedrich Karl Von Savigny, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2, Nomor
1, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2015, hlm. 197.
17
Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum, Soepomo : Pergulatan Tafsir Negara Integralistik, Thafa
Media, Yogyakarta, 2015, hlm. 241.
18
Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2001, hlm. 64.
19
Ahmad Zazili, Op. Cit, hlm. 138.

lembaga sosial dari negara itu”.20 Kaitan erat antara hukum dan masyarakat telah
disadari oleh founding father , karena hukum dapat menjadi benda mati apabila
tidak mampu menerjemahkan volkgeist bangsa. Sehingga konstitusi pluralis
adalah pilihan yang tepat untuk sebuah bangsa yang plural.
Sejak amandemen kedua UUD 1945, konstitusi telah mengakomodasi hakhak

tradisional

masyarakat

hukum

adat

dalam

Pasal

18B

ayat

(2).

Diakomodasinya hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dalam konstitusi
diperkuat juga dengan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan

zaman dan peradaban”. Dalam rumusan tersebut sudah terdapat perwujudan dari
gagasan konstitusi pluralis. Sehingga konstitusi terbuka terhadap majemuknya
hukum yang di Indonesia sepanjang sesuai dengan perkembangan zaman dan
masyarakat. Model pemilihan noken tetap selaras dengan perkembangan
masyarakat dan zaman, karena model pemilihan ini tetap bertahan sampai
sekarang. Walaupun hukum adat seringkali berbeda dengan hukum positif yang
berlaku di Indonesia tetapi itu tidak menjadi alasan untuk menafikan hukum adat
yang berlaku di suatu daerah.
Hak Pilih dari Masyarakat Hukum Adat
Menurut pendapat Van Vollenhoven, masyarakat hukum adat merupakan
subjek hukum.21 Subjek hukum adalah pengemban dari hak-hak dan kewajibankewajiban.22 Masyarakat hukum adat di Indonesia menjadi penyandang dari hak
pilih yang diatur oleh hukum. Kerangka hukum harus memastikan semua warga
20

Yanis Malaadi, Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca
Amandemen, Mimbar Hukum, Volume 22, Nomor 3, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2010,
hlm. 453.
21
Loc.Cit, hlm. 141.
22
Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2009, hlm. 80.

negara yang memenuhi syarat dijamin memberikan suara secara universal dan adil
serta berhak ikut dalam pemilihan tanpa diskriminasi.23 Pemberian hak pilih
didasarkan pada persyaratan kewarganegaraan, usia, dan kediaman. Kerangka
hukum sejatinya tidak diperkenankan melakukan pembatasan hak pilih selain
dengan syarat-syarat tersebut. Apabila tidak tentu akan menimbulkan diskriminasi
dalam pemilu. Diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
paham politik atau pendapat, perkumpulan dengan minoritas nasional, kekayaan,
kelahiran atau status lainnya tidak diperkenankan mencabut hak warga negara yang
memenuhi syarat untuk memberikan suara atau bersaing dalam pemilu.24
Walaupun masyarakat adat di Papua memiliki perbedaan model pemilihan bukan
berarti negara dapat mencabut atau membatasi hak pilih mereka. Hal ini dijamin dengan
adanya prinsip persamaan dihadapan hukum yang telah termaktub dalam Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945. Dengan adanya jaminan tersebut hak pilih dari masyarakat adat di Papua
tidak berbeda dengan masyarakat lainnya. Negara tidak boleh melakukan diskriminasi
terhadap masyarakat adat di Papua atas dasar model pemilihan yang berbeda. Masyarakat
adat di Papua harus bebas dari perlakuan diskriminatif dalam pemilu yang bisa saja
dilakukan oleh negara, atas dasar Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 bahwa setiap orang bebas
dari perlakukan diskriminatif atas dasar apapun.

Legitimasi terhadap hak pilih dari masyarakat hukum adat juga terdapat
pada United Nations Declaration on The Rights of Indigeneous Peoples
(UNDRIPs) yaitu dalam preambule dan Pasal 27. Preambule UNDRIPs
mengatakan,” Recognizing also that the situation of indigenous peoples varies
from region to region and from country to country and that the significance of
national and regional particularities and various historical and cultural
23

International IDEA, Standar-Standar Internasional untuk Pemilihan Umum, diunduh dari
pada 11 September 2015, hlm. 35.
24
Ibid,hlm. 36.

backgrounds should be taken into consideration ” (“menyadari bahwa situasi

masyarakat adat bervariasi dari wilayah ke wilayah, dari negara ke negara dan
pentingnya kekhasan nasional dan regional dan latar belakang sejarah dan
budaya”). Pasal 27 dinyatakan bahwa, ” States shall establish and implement, in
conjunction with indigenous peoples concerned, a fair, independent, impartial,

open and transparent process, giving due recognition to indigenous peoples’
laws, traditions, customs and land tenure systems, to recognize and adjudicate the
rights of indigenous peoples pertaining to their lands, territories and resources,
including those which were traditionally owned or otherwise occupied or used.
Indigenous peoples shall have the right to participate in this process ” (“negara

patut mendirikan, menerapkan dalam kaitannya dengan masyarakat adat terkait
sebuah proses yang jujur, independen, tidak memihak, terbuka dan transparan,
memberikan pengakuan yang pantas terhadap hukum, tradisi, adat dan sistem
pemanfataan tanah masyarakat adat, untuk mengakui dan bertindak sebagai hakim
untuk memutuskan hak-hak masyarakat adat terkait dengan tanah, wilayah dan
sumber daya, termasuk yang mereka miliki atau kalau tidak menduduki dan
menggunakan secara tradisional”).
Dalam preambule tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa negara
sepatutnya menyadari bahwa situasi masyarakat adat yang bervariasi dan
pentingnya kekhasan regional, latar belakang sejarah, dan budaya. Sehingga
perbedaan model pemilihan yang dianut masyarakat adat di Papua tidak
menjadikan negara berwenang untuk mencabut atau membatasi hak pilih mereka.
Sedangkan Pasal 27 UNDRIPs menekankan kepada seluruh negara yang ikut
mendeklarasikan UNDRIPs untuk mengakui hukum, tradisi, dan adat dari

masyarakat adat di Papua. Sehingga model pemilihan noken yang berdasarkan
adat istiadat setempat sepatutnya diakui oleh negara dan tidak boleh terjadi
pembatasan atau pencabutan hak pilih.

KESIMPULAN
Model pemilihan noken merupakan demokrasi tidak langsung yang
dilaksanakan dalam saluran demokrasi langsung. Model pemilihan noken
merupakan demokrasi ‘khas’ Indonesia yang sejalan dengan konsep demokrasi
Pancasila. Hal ini dibuktikan dengan adanya musyawarah antara kepala suku dan
anggota masyarakat adat untuk menentukan pilihan mereka dalam pemilu.
Diakuinya model pemilihan noken merupakan wujud dari konstitusi pluralis yang
terbuka terhadap majemuknya hukum yang di Indonesia, sepanjang sesuai dengan
perkembangan zaman dan masyarakat. Model pemilihan noken tetap selaras
dengan perkembangan masyarakat dan zaman, karena model pemilihan ini tetap
bertahan sampai sekarang. Walaupun masyarakat adat di Papua memiliki perbedaan
dalam model pemilihan bukan berarti negara dapat mencabut atau membatasi hak pilih
mereka. Karena konstitusi dan UNDRIPs telah memberikan jaminan terhadap hak pilih
mereka, sehingga tidak boleh ada perlakuan diskriminatif terhadap masyarakat adat di
Papua.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hatta, Mohammad, 1998, Indonesia Merdeka , LP3ES, Jakarta.
International IDEA, Standar-Standar Internasional untuk Pemilihan Umum,
diunduh dari pada
11 September 2015.
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia , PSHTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Kusumaatmaja, Mochtar, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum, 2015, Soepomo : Pergulatan Tafsir Negara
Integralistik, Thafa Media, Yogyakarta.
Rasyidi, Lili dan Ira Rasyidi, 2001, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Artikel dan Makalah
Arizona, Yance, 2010, Konstitusionalitas Noken:Pengakuan model pemilihan
masyarakat adat dalam sistem pemilihan umum di Indonesia , Jurnal Konstitusi
Pusako Universitas Andalas, Volume 3, Nomor 1, Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Hukum Tata Negara Adat, Disampaikan
sebagai bahan Keynote Speech pada Seminar Nasional tentang Konstitusi
Kesultanan-Kesultanan Islam di Jawa Barat dan Banten. UIN Gunung Djati,
Bandung, 5 April 2008.
Latipulhayat, Atip, 2015, Friedrich Karl Von Savigny, Padjadjaran Jurnal Ilmu
Hukum, Volume 2, Nomor 1, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Malaadi, Yanis, 2010, Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Dalam Konstitusi
Negara Pasca Amandemen, Mimbar Hukum, Volume 22, Nomor 3, Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta.
Sodiki, Achmad, 2009, Konstitusionalitas Pemilihan Umum Model Masyarakat
Yahukimo, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta.
Zazili, Ahmad, 2012, Pengakuan Negara terhadap Hak-Hak Politik Masyarakat
Adat dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor
1, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.