Kaum Arab Hadrami di Indonesia Sejarah d
10/30/2017
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #2
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan
Dinamika Diasporanya #2
By Hikmawan Saefullah - Aug 11, 2013
Kaum Keturunan Arab Hadrami di Tegal. Sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/default.aspx?
idx=ALL&field=*&search=10005286
Bagian #1
Dinamika Asimilasi Arab Hadrami: Eksklusifme Kaum Sayyid
Kaum Arab Hadrami yang datang ke Nusantara sebelum abad ke18 telah berasimilasi
penuh dengan penduduk lokal. Sebagai produk asimilasinya, banyak anak keturunannya
yang menggunakan namanama lokal daripada namanama Arab. Sedangkan mereka yang
datang setelah abad ke18, lebih sedikit yang melakukan asimilasi. Kaum migran Arab
Hadrami yang kebanyakan terdiri dari golongan Sayyid (keturunan Nabi Muhammad SAW)
dan Masyaikh (keturunan sahabat Nabi) dari masa ini hanya melakukan pernikahan sesama
golongannya sendiri.
Hal ini terutama dilakukan oleh keluarga dari golongan Sayyid/Alawiyyin. Sebagaimana
dijelaskan oleh Lodewijk Willem Christiaan Van den Berg (1886/2010) “Anakanak
perempuan seorang Sayyid tidak boleh menikah dengan lelaki yang bukan golongan Sayyid.
Kepala suku yang paling kuat sekalipun tidak dapat menikah dengan anak perempuan dari
golongan Sayyid dengan tingkatan yang paling rendah. Namun, seorang Sayid dapat
menikah dengan siapapun yang ia sukai.”
https://antimateri.com/kaum-arab-hadrami-di-indonesia-sejarah-dan-dimanika-diasporanya-2/
1/8
10/30/2017
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #2
Bagi kelompok Sayyid yang konservatif, adalah terlarang hukumnya menikahkan puteri
puteri mereka (Syarifah) dengan lakilaki nonSayyid (Syaikh dan pribumi/ahwal).
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhammad Hisyam (1984), hanya pihak lakilaki sajalah
yang dapat meneruskan gelar kesayyidan, bukan Syarifah. Maka dari itu, lelaki sayyid boleh
menikah baik dengan wanita sayyid/syarifah atau nonsayyid. Sebaliknya, jika ada wanita
sayyid/syarifah yang menikah dengan nonsayyid, akan dianggap sebagai onmere atau
pelanggaran. Dan yang syarifah yang melakukan pelanggaran mesti dihukum berat, antara
lain (Assagaf 2000: 25556): “Ia harus pergi dari desa, dianggap mati, dibunuh atau
dianggap tidak pernah ada di dunia, serta diputuskan segala hubungan dengan mereka.”
Muhammad Hasyim Assagaf, penulis buku Derita Putriputri Nabi: Studi Historis Kafa’ah
Syarifah selanjutnya menambahkan dari pengalamannya, bagaimana ia menyaksikan
berbagai kasus yang memilukan yang terjadi pada syarifah yang melakukan pelanggaran
terhadap tradisi ini (Assagaf 2000: 256): “Seorang yang gadis (syarifah) ketahuan
berhubungan kasih dengan lelaki bukan sayyid akan digunduli dan dikurung dalam kamar.
Ia akan segera dinikahkan dengan seorang pemuda sayyid. Si sayyid biasanya bersedia
menikah dengan gadis itu demi membela martabat syarifah.”
Menariknya kaum Sayyid yang berpegang teguh pada tradisi ini sebenarnya mempunyai
nenek moyang nonsyarifah, dimana para Sayyid yang datang ke Nusantara setelah abad
ke18 tidak membawa wanitawanita mereka dan kemudian menikahi wanitawanita
pribumi.
Maka dari itu para muwallad Arab Hadrami yang ada di Indonesia sekarang, seperti
diantaranya Anies Baswedan (Universitas Paramadina), Habib Rizieq (FPI), Ja’far Umar
Thalib (Laskar Jihad), almarhum Munir (KONTRAS), Husein Muhammad (Fahmina dan
Rahima) sebenarnya bermoyangkan (beribukan) orang asli Indonesia. Kaum muwallad Arab
suka menyebut orangorang pribumi nonArab sebagai ahwal (saudara seibu mereka).
Namun karena kuatnya tradisi patriarki dalam kultur arab, identitas asli buyut dari garis ibu
ini tidak dianggap signifikan dalam silsilah mereka. Buyut ibu lokal demikian hanya
dianggap sebagai ‘penerus’ kesayyidan buyut dari garis ayahnya.
Modernisasi Tradisi dan Konflik Kafa’ah Syarifah: Irsyadi vs. Alawi
Pada akhir abad ke19, pemikiran pembaharuan Islam Jamaludin AlAfghani, Muhammad
Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mempengaruhi banyak sarjana Muslim di
dunia. Pembaharuan Islam oleh mereka ini ditujukan untuk membebaskan umat Islam
dunia yang saat itu berada dibawah subordinasi bangsa Eropa dari keterbelakangan dan
kebodohan intelektual.
https://antimateri.com/kaum-arab-hadrami-di-indonesia-sejarah-dan-dimanika-diasporanya-2/
2/8
10/30/2017
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #2
Para sarjana Muslim ini menitik beratkan pembaharuannya dalam upaya menyegarkan
kembagi ajaran agama Islam, fungsi pendidikan dan mengefektifkan politik pergerakan di
tengah masyarakat muslim dunia. Selama ini ajaran para sarjana Muslim ini selalu dikenal
sebagai ajaran untuk memberantas praktek bid’ah dan khurafat dalam masyarakat muslim.
Sayyid Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh melakukan gerakan pembaharuannya ini
dengan menerbitkan tulisantulisan mereka lewat majalah AlManar, yang menitik beratkan
pada pentingnya pembangunan/perbaikan sistem pendidikan. Karena menurut mereka,
hanya melalui pendidikan lah umat muslim dapat terbebaskan dari belenggu
keterbalakangan dan kebodohan.
Pendekatan modern ini kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh lembaga dan sarjana
Muslim yang ada di Indonesia. Antara lain seperti Yayasan Jamiat Khayr yang didirikan oleh
Muhammad AlFakhir, Idrus bin Ahmad bin Syihabuddin, Muhammad bin Abdullah bin
Syihabuddin, dan Sayid Syehan bin Syihab pada tahun 1903 di Batavia (Jakarta).
Yayasan pendidikan yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan Islam ini, sebenarnya
ditujukan untuk masyarakat umum, meskipun kebanyakan murid dan anggotanya terdiri
dari orangorang keturunan Arab. Pada tahun 1911, Jamiat Khayr mengundang tiga sarjana
muslim terkemuka dari Arab, yaitu Syekh Muhammad Thaib dari Maroko, Syekh
Muhammad Abdul Hamid dari Mekah dan yang terakhir, Syekh Ahmad Soorkati dari Sudan.
Yang terkahir ini sangat dikenal sebagai sarjana Muslim yang aktif, gigih dan menonjol
dalam mendidik kaderkader muslim di Jami’at Khayr dan nantinya, di alIrsyad al
Islamiyyah.
Syekh Syurkati, sebagai guru di Jami’at Khayr yang tinggi ilmunya, sebelumnya sangat
dihormati oleh komunitas Arab Hadrami, khususnya dari kalangan Sayyid/Alawiyyin. Namun
keadaan ini kemudian berubah 2 tahun kemudian (1913) ketika di Solo, Syurkati
mengeluarkan fatwa yang membolehkan gadis keturunan Alawi (Syarifah) menikah dengan
pria bukan keturunan Alawi (nonSayyid).
Fatwa ini membuat berang banyak kaum ArabHadrami dari golongan Sayyid/Alawiyyin di
Indonesia. Banyak diantara tokoh Sayyid yang sebelumnya menghormati Syukari berbalik
membenci Syurkati. Hal ini terjadi karena fatwa yang dikeluarkan Syurkati sangat
bertentangan dengan ijtihad kebanyakan para ulama dari golongan Sayyid/Alawiyyin di
tempat asalnya, Hadramaut.
Sebagaimana yang ditekankan oleh Ibnu Taimiyyah (1328), bahwa bangsa Arab lebih
unggul (afdhal) daripada nonArab (al‘ajam). Dan diantara bangsa Arab, suku Quraish lah
https://antimateri.com/kaum-arab-hadrami-di-indonesia-sejarah-dan-dimanika-diasporanya-2/
3/8
10/30/2017
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #2
yang paling dimuliakan. Dan diantara suku Quraish, bani Hasyim lah yang paling tinggi.
Dan diantara bani Hasyim, (keluarga) Nabi Muhammad lah yang paling utama.
Seggaff bin Ali AlKaff (1992: 37) dalam bukunya Diraasat fi Nasab asSaadat banii ‘Alawii,
bahkan mengutip hadis dari AtTabarani dalam kitab alKabir: “Membenci Bani Hasyim dan
Ansar adalah kufur dan membenci orang Arab adalah Nifaq.”
Syurkati menolak pemahaman sistem pernikahan yang didasarkan pada kafa’ah nasab
seperti yang diyakini kebanyakan kaum Alawiyyin. Menurutnya, Islam sama sekali tidak
menerapkan rasialisme dan superioritas kesukuan dalam pernikahan.
Bagi Syurkati, orang Arab tidak lebih tinggi derajatnya daripada orang nonArab. Hal ini
didasarkan pada AlQur’an di surat AlHujuraat ayat 13 dimana dikatakan bahwa manusia
itu diciptakan berbangsabangsa dan bersukusuku untuk saling mengenal (li atta’arafuu),
dan yang paling mulia diantara mereka adalah yang bertaqwa (at Qaaqum). Selain itu juga
ada hadis Nabi SAW yang mengatakan bahwa derajat manusia itu setara seperti gerigi sisir
(annaasu sawaasiyatu ka asnan almusyth).
Sandaran fatwa Syurkati juga sejalan dengan pendirian Muhammad Hasyim Assagaf (2000)
dan mazhab Ahlul Bayt (Syi’ah) yang tidak melarang wanita keturunan Alawi (Syarifah)
untuk menikah dengan lelaki nonAlawi (nonSayyid). Assagaf (2000: 256) mengutip
perkataan ulama besar abad 1718, Sayyid Muhammad bin Ismai’l alKahlani alShan’aani
yang mengatakan bahwa tradisi kafa’ah syarifah bermula dari Imam alMutawakkil Ahmad
bin Sulaiman (11381170M) yang mengharamkan “wanita Fathimah dengan selain lelaki
Fathimah”. Menurut alShan’aani, larangan tersebut tidak ada landasannya, dan tidaklah
Imam Mazhab alHaadi alaihissalam melarangnya.
Pedasnya penolakan kaum Alawiyyin terhadap fatwa Syurkati yang membolehkan
pernikahan antara perempuan Syarifah dengan lelaki nonSayyid/Alawiyyin menyebabkan
pengucilan mereka terhadap Syeikh Syurkati.
Tidak lama setelah itu Syekh Syurkati dan kawankawan dekatnya mengundurkan diri dari
Jamiat Khayr pada tahun 1913. Kemudian kelompok Arab Hadrami dari kalangan non
Alawiyyin (Masyaikh) memberikan simpati kepada Syekh Syurkati dan membujuknya untuk
mengajar di madrasah yang mereka dirikan, yang kemudian pada taun 1914 diberi nama
oleh Syurkati, alIrsyad alIslamiyyah atau disingkat alIrsyad.
Madrasah ini dinaungi oleh sebuah yayasan yang bernama Jam’iyat alIslah aw alIrsyad al
Arabiyyah. Selanjutnya, para pengikut Syekh Syurkati yang kebanyakan berasal dari
golongan Arab Masyaikh dan penduduk setempat ini dikenal dengan sebutan ‘kaum al
https://antimateri.com/kaum-arab-hadrami-di-indonesia-sejarah-dan-dimanika-diasporanya-2/
4/8
10/30/2017
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #2
Irsyadi’. Sebutan kaum alIrsyadi ini muncul sebagai oponen dari kaum Alawi atau Sayyid.
Dikotomi alIrsyadi dan alAlawi ini baru muncul sebagai konsekuensi sengitnya
perdebatan, bahkan permusuhan antara kedua kelompok tersebut mengenai fatwa yang
dikeluarkan oleh Syurkati di Solo.
Namun tidak semua dari golongan Alawi membenci Syurkati. Sayyid Abdullah bin Alwi
Alattas, seorang Intelektual Arab dan pedagang kaya dari golongan Alawiyyin justru tetap
menjaga persahabatannya dengan Syurkati, terlepas dari fatwa yang dikeluarkan Syurkati.
Sayyid Abdullah bahkan memberikan F 60.000 kepada Yayasan AlIrsyad ketika awal
berdirinya.
Semangat Perubahan dan Persatuan kaum Arab Hadrami: Partai Arab Indonesia (PAI)
Sejak perpecahan internal di kalangan masyarakat ArabHadrami, beberapa upaya
persatuan dilakukan oleh berbagai pihak. Baik mereka yang berasal dari golongan Alawi,
maupun Irsyadi turut aktif membangun upaya rekonsiliasi. Menurut Bisri Affandi (1999)
bahkan Raja Arab Saudi saat itu, Abdul Aziz bin Saud pun pernah ikut turun tangan, namun
semua usaha yang pernah ada hanya menemui kegagalan.
Harapan muncul pada 4 Oktober 1934 ketika upaya persatuan dan perdamaian masyarakat
Arab di Indonesia diinisiasi oleh seorang wartawan dan nasionalis muda peranakan Arab
yang bernama Abdurrachman (AR) Baswedan (Kakek dari Anies Baswedan, rektor
Universitas Paramadina dan pendiri Indonesia Mengajar).
Saat itu AR Baswedan mengumpulkan seluruh pemuka keturunan Arab Indonesia dan
mengikrarkan ‘Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab’. Isi ikrar itu antara lain
(peranakan Arab) mesti mengakui Indonesia sebagai tanah air mereka, menjauhi sifat
https://antimateri.com/kaum-arab-hadrami-di-indonesia-sejarah-dan-dimanika-diasporanya-2/
5/8
10/30/2017
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #2
mengisolasi diri (tidak berbaur dengan masyarakat nonArab), memenuhi kewajiban
sebagai warga negara Indonesia, serta membela kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Ikrar Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab ini kemudian melahirkan Partai Arab
Indonesia (PAI) di tahun 1940 yang setahun kemudian diakui sebagai bagian dari
Gabungan PartaiPartai Politik Indonesia (GAPPI) dan menuntut agar Indonesia
berparlemen. Persoalan tafadul yang didasarkan pada keturunan di kalangan masyarakat
Arab Hadrami di Indonesia ini akhirnya berhasil diakhiri. Tidak ada lagi pertentangan antara
‘Partai Syekh’ dan ‘Partai Sayyid’. Sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda Indonesia
keturunan Arab, kaum peranakan Arab di Indonesia diharuskan untuk memanggil
sesamanya dengan AlAkh, yang artinya ‘saudara’. Sejak saat itu pula, gelar Sayyid untuk
kelompok Alawiyyin tidak lagi populer digunakan lagi di Indonesia.
Meskipun perjuangan PAI untuk tidak lagi mempersoalkan kearaban muwallad Arab di
Indonesia, kenyataannya, baik keluarga Arab dari golongan sayyid maupun nonsayyid,
tetap jarang menikahkan anakanak mereka dengan orang pribumi atau ahwal. Mereka
tetap menikahkan puteraputeri mereka dengan sesama mereka sendiri yang berketurunan
Arab. Hanya sedikit aktivis PAI yang mau menerima orang Indonesia sebagai menantu.
Hamid AlGadri adalah diantaranya. Meskipun demikian, kini telah terjadi banyak
perubahan dimana keluarga Arab Hadrami secara terangterangan dan berani menikahkan
puteri mereka dengan lelaki nonArab.
Justifikasi dan Penjelasan Historis Eksklusifme Arab Hadrami
Eksklusifme Arab Hadrami menyandarkan diri pada justifikasi agama yang kebanyakan
dianut oleh para pengikut Salafi. Seperti contohnya yang saya sebutkan sebelumnya diatas.
Tapi ada beberapa pertimbangan lain yang dapat menjelaskan kenapa eksklusifitas ini
begitu kenyal dipertahankan oleh komunitas Arab Hadrami:
Pertama, masyarakat Indonesia pada umumnya dibangun di atas fondasi feodalisme yang
sangat kuat. Dimana status sosial seseorang lebih banyak dinilai dari given status
dibandingkan achieved status. Contohnya, di masyarakat tradisional, orang yang bergelar
‘Raden’ akan cenderung lebih dihormati oleh penduduk setempat karena status
kebangsawanannya, meskipun secara riil ia tidak berbuat banyak untuk pembangunan
masyarakatnya.
Sama halnya dengan gelar Sayyid, pada masa kolonial Belanda, gelar Sayyid merupakan
gelar yang sangat disegani di masyarakat di Indonesia. Selain itu, pemerintah kolonial
Belanda memberlakukan hukum yang didasarkan pada latar belakang ras penduduknya,
yaitu (1) kelompok Eropa sebagai kelompok tertinggi (2) Timur Asing, diantaranya Cina,
https://antimateri.com/kaum-arab-hadrami-di-indonesia-sejarah-dan-dimanika-diasporanya-2/
6/8
10/30/2017
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #2
Arab, dan India sebagai kelompok tertinggi kedua, dan yang terendah, ialah (3) kelompok
pribumi. Sederhananya, mana ada orang yang tadinya berada pada posisi teratas dalam
hirarki sosial kemudian mau berubah untuk berada pada posisi terbawah?
Kedua, eksklusifisme kaum Arab di Indonesia sangat berkenaan erat dengan konstruksi ide
yang rasis yang dibangun oleh kolonialisme Eropa di Yaman. Eropa yang pada masa
kejayaan kolonialnya (17001800an) mengklasifikasikan peradaban dunia berdasarkan
kategori ras dimana orang kulit putih lebih tinggi dibandingkan orang yang berkulit gelap.
John M. Hobson (2005) dalam bukunya yang berjudul The Eastern Origins of Western
Civilization menjelaskan bagaimana bangsa Eropa mengklasifikasikan bangsabangsa di
dunia kepada 3 jenis: (1) ‘Beradab’ (Civilized), (2) ‘Barbar’ (Barbaric), dan (3) ‘Biadab’
(savage). Melalui pembenaran agama (kristen) dan sains (scientific racism) yang mereka
buat, bangsabangsa nonEropa dimasukkan kepada kategori kedua dan ketiga (barbar dan
biadab). Dan diantara mereka, barangsiapa yang semakin gelap kulitnya, maka ia termasuk
pada kategori ras yang paling ‘biadab’.
Jika dikaitkan dengan kasus kolonialisme di Indonesia, dapat dipahami bagaimana
masyarakat pribumi yang saat itu secara umum berkulit gelap, dikategorikan oleh Belanda
sebagai masyarakat kelas terendah, setelah bangsa Eropa, Arab, dan Cina. Penting untuk
dipikirkan secara baikbaik dan kritis mengapa kaum Arab Hadrami dari generasi pertama
(sebelum abad ke18) mempunyai sikap yang berbeda dengan generasi kedua (setelah
abad ke18) berkenaan dengan asimilasi. Dimana yang pertama lebih terbuka dibandingkan
yang kedua. Jika dilihat dari rentang waktunya, kaum Arab Hadrami dari generasi kedua
melakukan diaspora pada saat Imperium Inggris menguasai Yaman.
Pada awal abad ke19 Hadramaut sebagai bagian dari Yaman dijajah oleh Imperium
Inggris. Inggris adalah salah satu imperium Eropa yang sangat rasis. Inggris melakukan
invasi ke wilayah Yaman Selatan (Aden) tepatnya pada awal tahun 1830an dan terus
melakukan ekspansi ke seluruh wilayah Yaman hingga akhir abad ke19. Selama Inggris
berkuasa, seluruh warga negara Yaman yang saat itu berada dibawah ‘protektorat’ Inggris
harus tunduk kepada sistem hukum yang dibuat dan diterapkan oleh pemerintahan
kolonial. Diantara hukum yang diberlakukan ialah klasifikasi warga negara berdasarkan
kelas sosial seperti yang dipaparkan oleh Hobson diatas.
Begitupun dalam hubungan sosialnya, perlakuan negara terhadap warga negaranya
didasarkan pada kelas sosial yang dimilikinya. Karena kaum Sayyid/Alawiyyin saat itu
dikenal sebagai kelompok yang paling elit di tengah masyarakat Yaman, maka mereka
menduduki posisi terpenting setelah warga Eropa dalam struktur sosial modern yang dibuat
dan diterapkan pemerintahan kolonial.
https://antimateri.com/kaum-arab-hadrami-di-indonesia-sejarah-dan-dimanika-diasporanya-2/
7/8
10/30/2017
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #2
Dan tradisi kolonial yang rasis ini tentunya mempengaruhi orangorang Arab yang
melakukan diaspora ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Asia Tenggara, khususnya
Nusantara. Tradisi ini kemudian disakralkan dan wajib ditaati oleh para pengikutnya,
khususnya oleh kaum Sayyid/Alawiyyin. Demikian untuk dijadikan strategi untuk menjaga
otentisitas kearaban mereka yang ‘sepaket’ dengan prestise yang terkandung di dalamnya.
Terakhir, Muhammad Hasyim Assagaf (2000) menegaskan bahwa justifikasi agama atas
tradisi yang rasis ini sebenarnya tidak jelas asal muasal dalilnya, seperti yang ia kutip dari
alShan’aani. Di bagian penutup bukunya, Assagaf mengatakan bahwa salah satu
penyebabnya bersifat historis: dimana kebiasaan pernikahan tertutup kafa’ah syarifah ini
dibentuk oleh sejarah permusuhan antara kaum Alawiyyin (keturunan Ali) dengan kaum
Khawarij. Dalam konteks konflik, demi alasan agama dan (juga) keamanan, kelompok
Alawiyyin terpaksa melakukan pernikahan terhadap sesama anggota kelompoknya sendiri.
Selain itu juga, Assagaf (Assagaf 2000: 274) menyandarkan penjelasannya pada kitab
Bughyat alMustarsydin yang ditulis oleh Abdurrahman bin Husain alMasyhur alHadrami,
bahwa hukum diharamkannya Syarifah untuk menikah dengan nonSayyid itu baru
dipopulerkan melalui berbagai publikasi setelah kaum Sayyid di Mekah pada awal abad ke
20 berdemonstrasi agar pernikahan Syarifah yang menikah dengan nonSayyid agar di
fasakhkan (karena prestise kaum Sayyid terancam).
Terlepas dari dinamika ini, kebanyakan warga pribumi sejak dahulu melihat tradisi kaum
Arab Hadrami yang hanya menikahkan anggota keluarganya dengan kelompoknya sendiri
sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak adil (untuk si wanitanya). Sekarang pun
tradisi ini masih dipandang sama oleh masyarakat Indonesia yang bukan keturunan Arab.
Penutup
Ada sedikit kasus yang berbeda terjadi di kalangan Arab Hadrami di Kedah, Malaysia.
Sharifah Zaleha binte Syed Hassan, dalam presentasinya di konferensi internasional
bertajuk The YemenHadrami in Southeast Asia: Identity Maintenance or Assimilation? di
International Islamic University Malaysia (IIUM) 2526 Agustus 2004, mengatakan bahwa
warga keturunan Arab di Kedah kini lebih suka disebut sebagai orang Melayu daripada
orang Arab (Hassan 2004).
Tapi sebagaimana yang juga terjadi di belahan lain di Malaysia, di Indonesia banyak kaum
Arab
Hadrami
yang
masih
dan
ingin
terus
menjaga
tradisi
otensitas
kearabannya/kesayyidannya. Salah satunya yaitu dengan menerapkan tradisi kafa’ah
Syarifah dimana pernikahan hanya tertutup bagi kalangan mereka saja. Bagi yang
melanggar tradisi ini, biasanya akan diberikan sanksi secara sosial, baik oleh keluarga
mereka sendiri maupun kerabat lain.
https://antimateri.com/kaum-arab-hadrami-di-indonesia-sejarah-dan-dimanika-diasporanya-2/
8/8
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #2
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan
Dinamika Diasporanya #2
By Hikmawan Saefullah - Aug 11, 2013
Kaum Keturunan Arab Hadrami di Tegal. Sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/default.aspx?
idx=ALL&field=*&search=10005286
Bagian #1
Dinamika Asimilasi Arab Hadrami: Eksklusifme Kaum Sayyid
Kaum Arab Hadrami yang datang ke Nusantara sebelum abad ke18 telah berasimilasi
penuh dengan penduduk lokal. Sebagai produk asimilasinya, banyak anak keturunannya
yang menggunakan namanama lokal daripada namanama Arab. Sedangkan mereka yang
datang setelah abad ke18, lebih sedikit yang melakukan asimilasi. Kaum migran Arab
Hadrami yang kebanyakan terdiri dari golongan Sayyid (keturunan Nabi Muhammad SAW)
dan Masyaikh (keturunan sahabat Nabi) dari masa ini hanya melakukan pernikahan sesama
golongannya sendiri.
Hal ini terutama dilakukan oleh keluarga dari golongan Sayyid/Alawiyyin. Sebagaimana
dijelaskan oleh Lodewijk Willem Christiaan Van den Berg (1886/2010) “Anakanak
perempuan seorang Sayyid tidak boleh menikah dengan lelaki yang bukan golongan Sayyid.
Kepala suku yang paling kuat sekalipun tidak dapat menikah dengan anak perempuan dari
golongan Sayyid dengan tingkatan yang paling rendah. Namun, seorang Sayid dapat
menikah dengan siapapun yang ia sukai.”
https://antimateri.com/kaum-arab-hadrami-di-indonesia-sejarah-dan-dimanika-diasporanya-2/
1/8
10/30/2017
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #2
Bagi kelompok Sayyid yang konservatif, adalah terlarang hukumnya menikahkan puteri
puteri mereka (Syarifah) dengan lakilaki nonSayyid (Syaikh dan pribumi/ahwal).
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhammad Hisyam (1984), hanya pihak lakilaki sajalah
yang dapat meneruskan gelar kesayyidan, bukan Syarifah. Maka dari itu, lelaki sayyid boleh
menikah baik dengan wanita sayyid/syarifah atau nonsayyid. Sebaliknya, jika ada wanita
sayyid/syarifah yang menikah dengan nonsayyid, akan dianggap sebagai onmere atau
pelanggaran. Dan yang syarifah yang melakukan pelanggaran mesti dihukum berat, antara
lain (Assagaf 2000: 25556): “Ia harus pergi dari desa, dianggap mati, dibunuh atau
dianggap tidak pernah ada di dunia, serta diputuskan segala hubungan dengan mereka.”
Muhammad Hasyim Assagaf, penulis buku Derita Putriputri Nabi: Studi Historis Kafa’ah
Syarifah selanjutnya menambahkan dari pengalamannya, bagaimana ia menyaksikan
berbagai kasus yang memilukan yang terjadi pada syarifah yang melakukan pelanggaran
terhadap tradisi ini (Assagaf 2000: 256): “Seorang yang gadis (syarifah) ketahuan
berhubungan kasih dengan lelaki bukan sayyid akan digunduli dan dikurung dalam kamar.
Ia akan segera dinikahkan dengan seorang pemuda sayyid. Si sayyid biasanya bersedia
menikah dengan gadis itu demi membela martabat syarifah.”
Menariknya kaum Sayyid yang berpegang teguh pada tradisi ini sebenarnya mempunyai
nenek moyang nonsyarifah, dimana para Sayyid yang datang ke Nusantara setelah abad
ke18 tidak membawa wanitawanita mereka dan kemudian menikahi wanitawanita
pribumi.
Maka dari itu para muwallad Arab Hadrami yang ada di Indonesia sekarang, seperti
diantaranya Anies Baswedan (Universitas Paramadina), Habib Rizieq (FPI), Ja’far Umar
Thalib (Laskar Jihad), almarhum Munir (KONTRAS), Husein Muhammad (Fahmina dan
Rahima) sebenarnya bermoyangkan (beribukan) orang asli Indonesia. Kaum muwallad Arab
suka menyebut orangorang pribumi nonArab sebagai ahwal (saudara seibu mereka).
Namun karena kuatnya tradisi patriarki dalam kultur arab, identitas asli buyut dari garis ibu
ini tidak dianggap signifikan dalam silsilah mereka. Buyut ibu lokal demikian hanya
dianggap sebagai ‘penerus’ kesayyidan buyut dari garis ayahnya.
Modernisasi Tradisi dan Konflik Kafa’ah Syarifah: Irsyadi vs. Alawi
Pada akhir abad ke19, pemikiran pembaharuan Islam Jamaludin AlAfghani, Muhammad
Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mempengaruhi banyak sarjana Muslim di
dunia. Pembaharuan Islam oleh mereka ini ditujukan untuk membebaskan umat Islam
dunia yang saat itu berada dibawah subordinasi bangsa Eropa dari keterbelakangan dan
kebodohan intelektual.
https://antimateri.com/kaum-arab-hadrami-di-indonesia-sejarah-dan-dimanika-diasporanya-2/
2/8
10/30/2017
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #2
Para sarjana Muslim ini menitik beratkan pembaharuannya dalam upaya menyegarkan
kembagi ajaran agama Islam, fungsi pendidikan dan mengefektifkan politik pergerakan di
tengah masyarakat muslim dunia. Selama ini ajaran para sarjana Muslim ini selalu dikenal
sebagai ajaran untuk memberantas praktek bid’ah dan khurafat dalam masyarakat muslim.
Sayyid Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh melakukan gerakan pembaharuannya ini
dengan menerbitkan tulisantulisan mereka lewat majalah AlManar, yang menitik beratkan
pada pentingnya pembangunan/perbaikan sistem pendidikan. Karena menurut mereka,
hanya melalui pendidikan lah umat muslim dapat terbebaskan dari belenggu
keterbalakangan dan kebodohan.
Pendekatan modern ini kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh lembaga dan sarjana
Muslim yang ada di Indonesia. Antara lain seperti Yayasan Jamiat Khayr yang didirikan oleh
Muhammad AlFakhir, Idrus bin Ahmad bin Syihabuddin, Muhammad bin Abdullah bin
Syihabuddin, dan Sayid Syehan bin Syihab pada tahun 1903 di Batavia (Jakarta).
Yayasan pendidikan yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan Islam ini, sebenarnya
ditujukan untuk masyarakat umum, meskipun kebanyakan murid dan anggotanya terdiri
dari orangorang keturunan Arab. Pada tahun 1911, Jamiat Khayr mengundang tiga sarjana
muslim terkemuka dari Arab, yaitu Syekh Muhammad Thaib dari Maroko, Syekh
Muhammad Abdul Hamid dari Mekah dan yang terakhir, Syekh Ahmad Soorkati dari Sudan.
Yang terkahir ini sangat dikenal sebagai sarjana Muslim yang aktif, gigih dan menonjol
dalam mendidik kaderkader muslim di Jami’at Khayr dan nantinya, di alIrsyad al
Islamiyyah.
Syekh Syurkati, sebagai guru di Jami’at Khayr yang tinggi ilmunya, sebelumnya sangat
dihormati oleh komunitas Arab Hadrami, khususnya dari kalangan Sayyid/Alawiyyin. Namun
keadaan ini kemudian berubah 2 tahun kemudian (1913) ketika di Solo, Syurkati
mengeluarkan fatwa yang membolehkan gadis keturunan Alawi (Syarifah) menikah dengan
pria bukan keturunan Alawi (nonSayyid).
Fatwa ini membuat berang banyak kaum ArabHadrami dari golongan Sayyid/Alawiyyin di
Indonesia. Banyak diantara tokoh Sayyid yang sebelumnya menghormati Syukari berbalik
membenci Syurkati. Hal ini terjadi karena fatwa yang dikeluarkan Syurkati sangat
bertentangan dengan ijtihad kebanyakan para ulama dari golongan Sayyid/Alawiyyin di
tempat asalnya, Hadramaut.
Sebagaimana yang ditekankan oleh Ibnu Taimiyyah (1328), bahwa bangsa Arab lebih
unggul (afdhal) daripada nonArab (al‘ajam). Dan diantara bangsa Arab, suku Quraish lah
https://antimateri.com/kaum-arab-hadrami-di-indonesia-sejarah-dan-dimanika-diasporanya-2/
3/8
10/30/2017
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #2
yang paling dimuliakan. Dan diantara suku Quraish, bani Hasyim lah yang paling tinggi.
Dan diantara bani Hasyim, (keluarga) Nabi Muhammad lah yang paling utama.
Seggaff bin Ali AlKaff (1992: 37) dalam bukunya Diraasat fi Nasab asSaadat banii ‘Alawii,
bahkan mengutip hadis dari AtTabarani dalam kitab alKabir: “Membenci Bani Hasyim dan
Ansar adalah kufur dan membenci orang Arab adalah Nifaq.”
Syurkati menolak pemahaman sistem pernikahan yang didasarkan pada kafa’ah nasab
seperti yang diyakini kebanyakan kaum Alawiyyin. Menurutnya, Islam sama sekali tidak
menerapkan rasialisme dan superioritas kesukuan dalam pernikahan.
Bagi Syurkati, orang Arab tidak lebih tinggi derajatnya daripada orang nonArab. Hal ini
didasarkan pada AlQur’an di surat AlHujuraat ayat 13 dimana dikatakan bahwa manusia
itu diciptakan berbangsabangsa dan bersukusuku untuk saling mengenal (li atta’arafuu),
dan yang paling mulia diantara mereka adalah yang bertaqwa (at Qaaqum). Selain itu juga
ada hadis Nabi SAW yang mengatakan bahwa derajat manusia itu setara seperti gerigi sisir
(annaasu sawaasiyatu ka asnan almusyth).
Sandaran fatwa Syurkati juga sejalan dengan pendirian Muhammad Hasyim Assagaf (2000)
dan mazhab Ahlul Bayt (Syi’ah) yang tidak melarang wanita keturunan Alawi (Syarifah)
untuk menikah dengan lelaki nonAlawi (nonSayyid). Assagaf (2000: 256) mengutip
perkataan ulama besar abad 1718, Sayyid Muhammad bin Ismai’l alKahlani alShan’aani
yang mengatakan bahwa tradisi kafa’ah syarifah bermula dari Imam alMutawakkil Ahmad
bin Sulaiman (11381170M) yang mengharamkan “wanita Fathimah dengan selain lelaki
Fathimah”. Menurut alShan’aani, larangan tersebut tidak ada landasannya, dan tidaklah
Imam Mazhab alHaadi alaihissalam melarangnya.
Pedasnya penolakan kaum Alawiyyin terhadap fatwa Syurkati yang membolehkan
pernikahan antara perempuan Syarifah dengan lelaki nonSayyid/Alawiyyin menyebabkan
pengucilan mereka terhadap Syeikh Syurkati.
Tidak lama setelah itu Syekh Syurkati dan kawankawan dekatnya mengundurkan diri dari
Jamiat Khayr pada tahun 1913. Kemudian kelompok Arab Hadrami dari kalangan non
Alawiyyin (Masyaikh) memberikan simpati kepada Syekh Syurkati dan membujuknya untuk
mengajar di madrasah yang mereka dirikan, yang kemudian pada taun 1914 diberi nama
oleh Syurkati, alIrsyad alIslamiyyah atau disingkat alIrsyad.
Madrasah ini dinaungi oleh sebuah yayasan yang bernama Jam’iyat alIslah aw alIrsyad al
Arabiyyah. Selanjutnya, para pengikut Syekh Syurkati yang kebanyakan berasal dari
golongan Arab Masyaikh dan penduduk setempat ini dikenal dengan sebutan ‘kaum al
https://antimateri.com/kaum-arab-hadrami-di-indonesia-sejarah-dan-dimanika-diasporanya-2/
4/8
10/30/2017
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #2
Irsyadi’. Sebutan kaum alIrsyadi ini muncul sebagai oponen dari kaum Alawi atau Sayyid.
Dikotomi alIrsyadi dan alAlawi ini baru muncul sebagai konsekuensi sengitnya
perdebatan, bahkan permusuhan antara kedua kelompok tersebut mengenai fatwa yang
dikeluarkan oleh Syurkati di Solo.
Namun tidak semua dari golongan Alawi membenci Syurkati. Sayyid Abdullah bin Alwi
Alattas, seorang Intelektual Arab dan pedagang kaya dari golongan Alawiyyin justru tetap
menjaga persahabatannya dengan Syurkati, terlepas dari fatwa yang dikeluarkan Syurkati.
Sayyid Abdullah bahkan memberikan F 60.000 kepada Yayasan AlIrsyad ketika awal
berdirinya.
Semangat Perubahan dan Persatuan kaum Arab Hadrami: Partai Arab Indonesia (PAI)
Sejak perpecahan internal di kalangan masyarakat ArabHadrami, beberapa upaya
persatuan dilakukan oleh berbagai pihak. Baik mereka yang berasal dari golongan Alawi,
maupun Irsyadi turut aktif membangun upaya rekonsiliasi. Menurut Bisri Affandi (1999)
bahkan Raja Arab Saudi saat itu, Abdul Aziz bin Saud pun pernah ikut turun tangan, namun
semua usaha yang pernah ada hanya menemui kegagalan.
Harapan muncul pada 4 Oktober 1934 ketika upaya persatuan dan perdamaian masyarakat
Arab di Indonesia diinisiasi oleh seorang wartawan dan nasionalis muda peranakan Arab
yang bernama Abdurrachman (AR) Baswedan (Kakek dari Anies Baswedan, rektor
Universitas Paramadina dan pendiri Indonesia Mengajar).
Saat itu AR Baswedan mengumpulkan seluruh pemuka keturunan Arab Indonesia dan
mengikrarkan ‘Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab’. Isi ikrar itu antara lain
(peranakan Arab) mesti mengakui Indonesia sebagai tanah air mereka, menjauhi sifat
https://antimateri.com/kaum-arab-hadrami-di-indonesia-sejarah-dan-dimanika-diasporanya-2/
5/8
10/30/2017
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #2
mengisolasi diri (tidak berbaur dengan masyarakat nonArab), memenuhi kewajiban
sebagai warga negara Indonesia, serta membela kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Ikrar Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab ini kemudian melahirkan Partai Arab
Indonesia (PAI) di tahun 1940 yang setahun kemudian diakui sebagai bagian dari
Gabungan PartaiPartai Politik Indonesia (GAPPI) dan menuntut agar Indonesia
berparlemen. Persoalan tafadul yang didasarkan pada keturunan di kalangan masyarakat
Arab Hadrami di Indonesia ini akhirnya berhasil diakhiri. Tidak ada lagi pertentangan antara
‘Partai Syekh’ dan ‘Partai Sayyid’. Sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda Indonesia
keturunan Arab, kaum peranakan Arab di Indonesia diharuskan untuk memanggil
sesamanya dengan AlAkh, yang artinya ‘saudara’. Sejak saat itu pula, gelar Sayyid untuk
kelompok Alawiyyin tidak lagi populer digunakan lagi di Indonesia.
Meskipun perjuangan PAI untuk tidak lagi mempersoalkan kearaban muwallad Arab di
Indonesia, kenyataannya, baik keluarga Arab dari golongan sayyid maupun nonsayyid,
tetap jarang menikahkan anakanak mereka dengan orang pribumi atau ahwal. Mereka
tetap menikahkan puteraputeri mereka dengan sesama mereka sendiri yang berketurunan
Arab. Hanya sedikit aktivis PAI yang mau menerima orang Indonesia sebagai menantu.
Hamid AlGadri adalah diantaranya. Meskipun demikian, kini telah terjadi banyak
perubahan dimana keluarga Arab Hadrami secara terangterangan dan berani menikahkan
puteri mereka dengan lelaki nonArab.
Justifikasi dan Penjelasan Historis Eksklusifme Arab Hadrami
Eksklusifme Arab Hadrami menyandarkan diri pada justifikasi agama yang kebanyakan
dianut oleh para pengikut Salafi. Seperti contohnya yang saya sebutkan sebelumnya diatas.
Tapi ada beberapa pertimbangan lain yang dapat menjelaskan kenapa eksklusifitas ini
begitu kenyal dipertahankan oleh komunitas Arab Hadrami:
Pertama, masyarakat Indonesia pada umumnya dibangun di atas fondasi feodalisme yang
sangat kuat. Dimana status sosial seseorang lebih banyak dinilai dari given status
dibandingkan achieved status. Contohnya, di masyarakat tradisional, orang yang bergelar
‘Raden’ akan cenderung lebih dihormati oleh penduduk setempat karena status
kebangsawanannya, meskipun secara riil ia tidak berbuat banyak untuk pembangunan
masyarakatnya.
Sama halnya dengan gelar Sayyid, pada masa kolonial Belanda, gelar Sayyid merupakan
gelar yang sangat disegani di masyarakat di Indonesia. Selain itu, pemerintah kolonial
Belanda memberlakukan hukum yang didasarkan pada latar belakang ras penduduknya,
yaitu (1) kelompok Eropa sebagai kelompok tertinggi (2) Timur Asing, diantaranya Cina,
https://antimateri.com/kaum-arab-hadrami-di-indonesia-sejarah-dan-dimanika-diasporanya-2/
6/8
10/30/2017
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #2
Arab, dan India sebagai kelompok tertinggi kedua, dan yang terendah, ialah (3) kelompok
pribumi. Sederhananya, mana ada orang yang tadinya berada pada posisi teratas dalam
hirarki sosial kemudian mau berubah untuk berada pada posisi terbawah?
Kedua, eksklusifisme kaum Arab di Indonesia sangat berkenaan erat dengan konstruksi ide
yang rasis yang dibangun oleh kolonialisme Eropa di Yaman. Eropa yang pada masa
kejayaan kolonialnya (17001800an) mengklasifikasikan peradaban dunia berdasarkan
kategori ras dimana orang kulit putih lebih tinggi dibandingkan orang yang berkulit gelap.
John M. Hobson (2005) dalam bukunya yang berjudul The Eastern Origins of Western
Civilization menjelaskan bagaimana bangsa Eropa mengklasifikasikan bangsabangsa di
dunia kepada 3 jenis: (1) ‘Beradab’ (Civilized), (2) ‘Barbar’ (Barbaric), dan (3) ‘Biadab’
(savage). Melalui pembenaran agama (kristen) dan sains (scientific racism) yang mereka
buat, bangsabangsa nonEropa dimasukkan kepada kategori kedua dan ketiga (barbar dan
biadab). Dan diantara mereka, barangsiapa yang semakin gelap kulitnya, maka ia termasuk
pada kategori ras yang paling ‘biadab’.
Jika dikaitkan dengan kasus kolonialisme di Indonesia, dapat dipahami bagaimana
masyarakat pribumi yang saat itu secara umum berkulit gelap, dikategorikan oleh Belanda
sebagai masyarakat kelas terendah, setelah bangsa Eropa, Arab, dan Cina. Penting untuk
dipikirkan secara baikbaik dan kritis mengapa kaum Arab Hadrami dari generasi pertama
(sebelum abad ke18) mempunyai sikap yang berbeda dengan generasi kedua (setelah
abad ke18) berkenaan dengan asimilasi. Dimana yang pertama lebih terbuka dibandingkan
yang kedua. Jika dilihat dari rentang waktunya, kaum Arab Hadrami dari generasi kedua
melakukan diaspora pada saat Imperium Inggris menguasai Yaman.
Pada awal abad ke19 Hadramaut sebagai bagian dari Yaman dijajah oleh Imperium
Inggris. Inggris adalah salah satu imperium Eropa yang sangat rasis. Inggris melakukan
invasi ke wilayah Yaman Selatan (Aden) tepatnya pada awal tahun 1830an dan terus
melakukan ekspansi ke seluruh wilayah Yaman hingga akhir abad ke19. Selama Inggris
berkuasa, seluruh warga negara Yaman yang saat itu berada dibawah ‘protektorat’ Inggris
harus tunduk kepada sistem hukum yang dibuat dan diterapkan oleh pemerintahan
kolonial. Diantara hukum yang diberlakukan ialah klasifikasi warga negara berdasarkan
kelas sosial seperti yang dipaparkan oleh Hobson diatas.
Begitupun dalam hubungan sosialnya, perlakuan negara terhadap warga negaranya
didasarkan pada kelas sosial yang dimilikinya. Karena kaum Sayyid/Alawiyyin saat itu
dikenal sebagai kelompok yang paling elit di tengah masyarakat Yaman, maka mereka
menduduki posisi terpenting setelah warga Eropa dalam struktur sosial modern yang dibuat
dan diterapkan pemerintahan kolonial.
https://antimateri.com/kaum-arab-hadrami-di-indonesia-sejarah-dan-dimanika-diasporanya-2/
7/8
10/30/2017
Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #2
Dan tradisi kolonial yang rasis ini tentunya mempengaruhi orangorang Arab yang
melakukan diaspora ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Asia Tenggara, khususnya
Nusantara. Tradisi ini kemudian disakralkan dan wajib ditaati oleh para pengikutnya,
khususnya oleh kaum Sayyid/Alawiyyin. Demikian untuk dijadikan strategi untuk menjaga
otentisitas kearaban mereka yang ‘sepaket’ dengan prestise yang terkandung di dalamnya.
Terakhir, Muhammad Hasyim Assagaf (2000) menegaskan bahwa justifikasi agama atas
tradisi yang rasis ini sebenarnya tidak jelas asal muasal dalilnya, seperti yang ia kutip dari
alShan’aani. Di bagian penutup bukunya, Assagaf mengatakan bahwa salah satu
penyebabnya bersifat historis: dimana kebiasaan pernikahan tertutup kafa’ah syarifah ini
dibentuk oleh sejarah permusuhan antara kaum Alawiyyin (keturunan Ali) dengan kaum
Khawarij. Dalam konteks konflik, demi alasan agama dan (juga) keamanan, kelompok
Alawiyyin terpaksa melakukan pernikahan terhadap sesama anggota kelompoknya sendiri.
Selain itu juga, Assagaf (Assagaf 2000: 274) menyandarkan penjelasannya pada kitab
Bughyat alMustarsydin yang ditulis oleh Abdurrahman bin Husain alMasyhur alHadrami,
bahwa hukum diharamkannya Syarifah untuk menikah dengan nonSayyid itu baru
dipopulerkan melalui berbagai publikasi setelah kaum Sayyid di Mekah pada awal abad ke
20 berdemonstrasi agar pernikahan Syarifah yang menikah dengan nonSayyid agar di
fasakhkan (karena prestise kaum Sayyid terancam).
Terlepas dari dinamika ini, kebanyakan warga pribumi sejak dahulu melihat tradisi kaum
Arab Hadrami yang hanya menikahkan anggota keluarganya dengan kelompoknya sendiri
sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak adil (untuk si wanitanya). Sekarang pun
tradisi ini masih dipandang sama oleh masyarakat Indonesia yang bukan keturunan Arab.
Penutup
Ada sedikit kasus yang berbeda terjadi di kalangan Arab Hadrami di Kedah, Malaysia.
Sharifah Zaleha binte Syed Hassan, dalam presentasinya di konferensi internasional
bertajuk The YemenHadrami in Southeast Asia: Identity Maintenance or Assimilation? di
International Islamic University Malaysia (IIUM) 2526 Agustus 2004, mengatakan bahwa
warga keturunan Arab di Kedah kini lebih suka disebut sebagai orang Melayu daripada
orang Arab (Hassan 2004).
Tapi sebagaimana yang juga terjadi di belahan lain di Malaysia, di Indonesia banyak kaum
Arab
Hadrami
yang
masih
dan
ingin
terus
menjaga
tradisi
otensitas
kearabannya/kesayyidannya. Salah satunya yaitu dengan menerapkan tradisi kafa’ah
Syarifah dimana pernikahan hanya tertutup bagi kalangan mereka saja. Bagi yang
melanggar tradisi ini, biasanya akan diberikan sanksi secara sosial, baik oleh keluarga
mereka sendiri maupun kerabat lain.
https://antimateri.com/kaum-arab-hadrami-di-indonesia-sejarah-dan-dimanika-diasporanya-2/
8/8