Filsafat secara harfiah berasal kata Phi

Filsafat secara harfiah berasal kata Philo berarti cinta, Sophos berarti ilmu atau hikmah, jadi filsafat secara
istilah berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Pengertian dari teori lain menyatakan kata Arab falsafah dari
bahasa Yunani, philosophia: philos berarti cinta (loving), Sophia berarti pengetahuan atau hikmah (wisdom),
jadi Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta pada kebenaran. Pelaku filsafat berarti filosof,
berarti: a lover of wisdom. Orang berfilsafat dapat dikatakan sebagai pelaku aktifitas yang menempatkan
pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya. Ariestoteles (filosof Yunani kuno) mengatakan
filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan, kadang-kadang disamakan dengan pengetahuan tentang
wujud (ontologi). Adapun pengertian filsafat mengalami perkembangan sesuai era yang berkembang pula.
Pada abad modern (Herbert) filsafat berarti suatu pekerjaan yang timbul dari pemikiran. Terbagi atas 3
bagian: logika, metafisika dan estetika (termasuk di dalamnya etika).
Filsafat menempatkan pengetahuan sebagai sasaran, maka dengan demikian pengetahuan tidak terlepas
dari pendidikan. Jadi, filsafat sangat berpengaruh dalam aktifitas pendidikan seperti manajemen pendidikan,
perencanaan pendidikan, evaluasi pendidikan, dan lain-lain. Karena ada pengaruh tersebut, maka dalam
makalah ini mencoba untuk membahas tentang keterkaitan paradigma aliran-aliran filsafat tersebut dengan
kajian pendidikan khususnya manajemen pendidikan.
KORELASI TEORI FILSAFAT DENGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN
(Positivisme, Interpretivisme, Teori Kritis, Postmodernisme dan Prophetivisme)

Aliran Positivisme dan Sejarahnya
Aguste Comte dilahirkan pada tahun 1798 di kota Monpellir Perancis Selatan, ayah dan ibunya menjadi
pegawai kerajaan dan merupakan penganut Agama Katolik yang cukup tekun. Ia menikah dengan seorang

pelacur bernama Caroline Massin yang kemudian dia menyesali perkawinan itu. Dia pernah mengatakan
bahwa perkawinan itu adalah satu-satunya kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dari kecil pemikiranpemikiran Comte sudah mulai kelihatan, kemudian setelah ia menyelesaikan sekolahnya jurusan politeknik
di Paris 1814-1816, dia diangkat menjadi sekretaris oleh Saint Simon yaitu seorang pemikir yang dalam
merespon dampak negatif reinaisance menolak untuk kembali pada abad pertengahan akan tetapi harus
direspon dengan menggunakan basis intelektual baru, yaitu dengan brfikir empirik dalam mengkaji
persoalan-persoalan realitas sosial.
Dalam membangun teori sosiologi Comte lebih memilih unit analisa makro (obyektif) dan bukan individu,
dalam hal ini entits yang lebih besar seperti keluarga, struktur sosial dan perubahan sosial. Ia menganjurkan
untuk keluar dari pemikiran abstrak dan melakukan riset dengan melakukan eksperimentasi dan analisis
perbandingan sejarah. Comte pada intinya berargumentasi bahwa gagasan terdahulu yang mendasari
pengembangan struktur masyarakat maupun negara, atas dasar pemikiran spekulatif, sudah tidak releven
dengan adanya teori positivistik. Dalam logika Comte sejarah manusia adalah perkembangan bertahap dari
cara berfikir manusia itu sendiri. Dengan berargumen bahwa dengan pemikiran empirik rasional dan positiv
maka manusia akan mampu menelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif melainkan secara
konkrit, pasti bahkan mutlak kebenaranya.
INTERPRETIVISME
Paradigma Interpretivisme diturunkan dari Germanic Philosophical Interests yang menekankan pada
peranan bahasa, interpretasi, dan pemahaman. Paradigma ini menggunakan cara pandang para nominalis
dari paham nominalism yang melihat teori dan praktik akuntansi sebagai sesuatu yang tidak lain adalah


label, nama, atau konsep yang digunakan untuk membangun realitas.
Pokok pikiran filsafat beraliran interpretivisme diantaranya adalah sebagai berikut:


Tidak ada tindakan irasional, semua rasional bagi pelaku.



Orang bertindak tidak lepas dari makna yang mereka miliki .



Pemaknaan/penilaian setiap orang berbeda karena memiliki dunia makna yang berbeda.



Dunia makna setiap orang ditentukan oleh pengalaman.




Sesuatu yang terjadi adalah prosuk pengalaman.



Satu-satunya makhluk yang bebas menciptakan adalah manusia.



Manusia selalu dalam proses menjadi “sesuatu”.

TEORI KRITIS
Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh
meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik
masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan
merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori
kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga
sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan
menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi
intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah

Frankfurt - paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - paradigma neo positivisme/neo
kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno).
Pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan berangkat dari konsep kritik.
Konsep kritik sendiri yang diambil oleh Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang
dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian
pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka.
Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang
menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia. Kritik dalam pengertian Marxian berarti
usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan
dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan
represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik
dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.
Berbeda dengan pendahulunya, Habermas optimis bahwa usaha manusia untuk menjadi rasional akan
membuahkan hasil yang positif. Baginya manusia dapat melakukan emansipasi dan lepas dari irasionalitas.
Ia membuat terobosan bagi kemacetan Teori Kritis dengan menunjukkan jalan yang tak terlihat oleh para
pendahulunya.

POSTMODERNISME
Awal abad 20. Merupakan suatu aliran alternatif yang menawarkan style karya dan pemaknaan yang keluar
dari pakem konservatif dan sebagai bentuk pemikiran yang kontradiktif terhadap peradapan hasil bentukan

zaman pencerahan. Postmodernisme ini menekankan untuk kembali pada nilai- nilai lama.
Gagasan Utama:



Skeptisisme terhadap gagasan yang di bawa oleh peradaban modern;



Keyakinan bahwa segala bentuk komunikasi adalah hasil bentukan dari bias-bias cultural;



Pemaknaan dan pengalaman diciptakan oleh individu;



Dominasi media massa;




Globalisasi sebagai bentuk masyarakat yang memiliki pluralitas budaya dan nilai yang saling
terhubung.

Tokoh-tokohnya:



Michel Foucault berangkat dari strukturalisme namun pada saat yang sama dia juga menolak
(melawan) strukturalisme, dan menyadari bahwa sebuah pengetahuan didefenisikan dan dirubah
oleh operasionalisasi sebuah kekuasaan (power) ;



Jean-François Lyotard menekankan pada peran dari naratif dalam kebudayaan manusia, yang
dapat membuat suatu perubahan saat memasuki situasi posmodern, dan dia meyakini bahwa suatu
kebenaran merupakan hasil kesepakatan, sehingga tidak ada hal yang benar-benar mendasari
suatu kebenaran (anti-foundationalist) dan terkenal dengan language games-nya.




Jacques Derrida (1930) terkenal dengan dekonstruksinya. Pada awalnya adalah penemu dan
penganut awal dekonstruksi. Dekonstruksi merupakan analisis tekstual yang dapat diterapkan dalam
berbagai tulisan, dimana dia menganggap filosofi tidak lebih dari sebuah literatur yang kreatif.
Menurutnya filosofi adalah bagian yang paling penting dari sebuah tulisan, tergantung pada sebuah
operasionalisasi ekspresi imajinatif

PROPHETIVISME
Paradigma prophetivisme adalah aliran filsafat baru, namun terimplementasikan pada kehidupan
masyarakat sudah lebih ratusan tahun, hanya saja mendapatkan tempat sebagai sebuah aliran filsafat pada
masa kini. Prophet artinya utusan/nabi/rasul, pada umumnya dikenal dengan filsafat kenabian. Sebagai
landasan dalam berparadigma prophetivisme ini adalah wahyu yang dibawa Nabi atau prophet, dalam Islam
secara otomatis berlandaskan al-Qur’an dan tujuannya adalah pencapaian kesempurnaan dengan tuntunan
Allah SWT melalui nabi/prophet. Dengan pema’naan demikian, dapat difahami bahwa segenap perilaku
kehidupan manusia berlandaskan aturan-aturan yang ada dalam al-Qur’an.
Dalam aliran ini, Allah SWT sumber kebenaran dan kebenaran yang ada pada manusia adalah bersifat
relative sebagaimana pemaknaan kata AKU (Allah) kebenaran yang sempurna dan aku (Manusia)
kebenaran yang relative.
KESIMPULAN
Keterkaitan aliran-aliran filsafat dalam pengaruhnya terhadap perkembangan manajemen pendidikan sangat

urgen sekali, bahkan setiap implementasi manajemen pendidikan dan khususnya pendidikan Islam tidak
terlepas dari pola pikir aliran-aliran filsafat tersebut. Keterkaitan tersebut dilandasi dengan tujuan yang
sama, yaitu melakukan perubahan lingkungan manusia menjadi lebih efektif dalam mencapai
kesempurnaan melalui sebuah paradigma

Perkembangan alam pikiran Barat hingga awal abad ke dua
puluh ini telah menempatkan kedudukan filsafat sebagai
pengetahuan yang mempunyai pamor tinggi. Tidak dapat disangkal,
filsafat merupakan induk segala ilmu, the queen of the sciences,
karena daripadanya berkembang ilmu-ilmu pengetahuan yang
beragam sampai pada spesifikasinya yang amat khusus. Dewasa ini
kita mengenal ilmu-ilmu mikrobiologi, genetika, ilmu perbintangan,
tehnik nuklir dsb. yang keberadaannya tak mungkin kita pahami
selain dalam kaitannya dengan perkembangan filsafat.
Di samping itu filsafat telah menyumbangkan pemikiranpemikiran besar mampu menggerakkan orang untuk merubah
masyarakat.Sokrates (± 470-399 sM), Plato (± 427-347 sM) dan
Aristoteles (± 384-322 sM), tiga tokoh filsuf Yunani yang hidup antara
500-300 sebelum Masehi adalah filsuf-filsuf besar yang meletakkan
dasar-dasar pemikiran yang nantinya menjadi benih-benih gagasangagasan besar dalam perubahan masyarakat seperti idealisme,
demokrasi, konstitusi,keadilan sosial, hak asasi manusia dsb. yang

dikembangkan oleh para filsuf berikutnya. Dalam hal ini filsafat
mempunyai arti sebagai pemikiran dasar yang melahirkan doktrindoktrin besar kenegaraan, moralitas, sosialitas, bahkan juga
keagamaan
yang
hingga
kini
masih
menjadi
bahan
perbincangan banyak orang. Dilihat secara demikian, filsafat boleh
dikata juga memberikan dasar-dasar pemikiran untuk pegangan
hidup, yang disebut Weltanschauung, wawasan yang luas dan
proyeksi-proyeksi ke masa depan yang jauh. Tetapi pengartianpengartian filsafat yang demikian inilah yang mulai dikritik, pertamapertama oleh para ilmuwan tetapi kemudian juga oleh kalangan filsuf
sendiri, yang tidak puas dengan peran filsafat yang terlalu jauh dari
jangkauan praktis masyarakat, serta sifat ambisius yang arogan,
yang mau meletakkan pengetahuan-pengetahuan lainnya di bawah
rentangan sayapnya.
Dalam latar belakang seperti itu persoalan-persoalan konkrit dan
sederhana, hal-hal praktis dalam kehidupan, termasuk juga bahasa


sehari-hari yang digunakan oleh orang-orang biasa kiranya
akan kurang mendapatkan perhatian filsafat, sebab filsafat hanya
berurusan dengan hal-hal yang umum bagi manusia, yang prinsipil
atau mendasar, yang menyangkut kehidupan bangsa manusia
dan untuk tujuan global. pada mulanya di jaman Yunani, ketika
filsafat lahir, hal-hal praktis setiap harirupanya tidak merupakan
persoalan yang perlu digumuli. Hal itu kiranya disebabkan karena
sudah adanya kebiasaan-kebiasaan yang mantap dan diikuti seluruh
masyarakat secara konvensionil tanpamempersoalkannya lebih
lanjut. Dengan demikian filsafat bisa memanfaatkan kesempatan
hanya untuk memusatkan perhatiannya pada persoalan-persoalan
batas, kemungkinan-kemungkinan yang ada di balik kehidupan yang
biasa itu. Marilah kita mulai dengan melihat beberapa kritik
filsafat untuk kemudian menempatkan peran filsafat dalam jaman
sekarang, khususnya dalam kaitannya dengan fungsi bahasa.
BEBERAPA KRITIK FILSAFAT
Kita tidak akan membuat analisis yang mendetil di sini,
melainkan hanya sejumlah sentilan menyangkut kritik yang pernah
dilontarkan terhadap filsafat, tatkala pengetahuan ini mulai
menjauh dari kepentingan praktis. Hingga abad Pertengahan yakni

sekitar abad duabelas dan tigabelas filsafat diterima dan
diperkembangan di Eropa, melanjutkan kebiasaan yang diterima di
Yunani, yakni sebagai “logos”yang menerangi dunia gelap, irasionil,
penuh dengan kepercayaan-kepercayaan dan takhayul, pendek kata
dunia “mitos”. Filsafat memberi terang pada uraian-uraian ilmiah
mahupun teologis. Tetapi pada waktu ini pengetahuan ilmiah masih
amat dekat dengan pengetahuan teologis,karena belum adanya
spesifikasi yang tegas. Ilmu kedokteran, perbintangan, pertanian dsb.
masih diwarnai dengan keyakinan akan Allah sebagai penguasa dan
penentu alam semesta, sehingga acuan teologis dan paparan Kitab
Suci tidak dirasakan aneh atau bertentangan dengan ilmu-ilmu dasar
tsb. Bahkan para cendekiawan dengan tegas menyatakan bahawa
iman kepercayaan akan Allah dan pengetahuan budi kita saling
melengkapi. Terkenal misalnya moto yang diucapkan oleh Anselmus

dari Canterbury (1033-1109), “credo ut intelligam”(“kepercayaan saya
membuat saya mengerti”) dan “fides quaerens intellectum” (iman
memberi terang akal budi). Dengan iklim seperti inilajim bagi mereka
melakukan pembuktian-pembuktian logis (akal budi) akan adanya
Allah.
Memang ada abad Pertengahan sudah muncul pula perdebatan
filosofis mengenai apa yang disebut sebagai “universalia”, yakni
konsep-konsep
abstrak
yang
digunakan
dalam
pembicaraan filsafat.Kata-kata
seperti
“Hakekat” (essentia) dan
“keberadaan” (existentia),“tindakan” (actus) dan “kemampuan” (poten
tia), atau “substansi”(substantia) misalnya, atau juga hal-hal yang
berkaitan dengan
keagamaan
seperti
“rahmat” (gratia), “kodrat” (natura), “kemanusiaan”(humanitas), “priba
di” (pesona), “nasib” (destinatio) atau
“penyelenggaraan
ilahi
´ (providentia Del) dsb. bagi sebagian filsufsungguh-sungguh
mengandung makna yang padat, sebab mengungkapkan kenyataan
yang berlaku umum. Akan tetapi bagi sebagian yang lain, kata-kata
itu tak lebih dari konsep-konsep kosong tak berisi, sebab selain
individu-individu yang riil tak ada sesuatu yang nyata. Menurut
kelompok ini, konsep-konsep abstrak itu hanyalah kata-kata kosong
atau bunyi saja yang keluar dari mulut ketika orang
mengucapkannya (flatus vocis).
Dalam perdebatan ini sebenarnya mulai tersirat persoalan
bahasa, tetapi yang baru menjadi pokok keprihatinan dan
pembicaraan filsafat pada periode-periode berikutnya. Kendati pun
demikian dari persoalan di atas orang sudah bisa merasakan adanya
keengganan untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan
istilah-istilah muluk, yang terlalu jauh dari pengalaman dan kenyataan
konkrit sehari-hari.Maka pada akhir abad Pertengahan, Gulielmus
dari Ockham (1285-1349) mencoba membuat pembatasan dalam hal
pembentukan
konsep-konsep. Konsep
memang perlu
untuk
menunjuk kelompok atau golongan hal0hal yang dibicarakan itu,
tetapi tak perlulah konsep-konsep dilipat gandakan. Prinsip ini dikenal
sebagai “Gunting Ockham” (Ockham’s razor). Dengan demikian

Ockham menghindari pembicaraan-pembicaraan dan diskusi steril
menyangkut konsep-konsep tanpa makna.
Kebencian terhadap filsafat yang abstrak dan kosong, serta
keengganan terhadap kecenderungan filsafat yang ambisius itu
diperkuat lagi oleh adanya perkembangan ilmu-ilmu terapan (applied
sciences) yang sangat pesat pada abad keenambelas. Sejak
penemuan Copericus (1473-1543) di bidang astronomi, ilmu-ilmu
alam telah membuktikan diri sebagai pengetahuan yang
praktis, berguna dan yang memperlihatkan dampak langsung bagi
kehidupan manusia.Penemuan demi penemuan di bidang ilmu
semakin mengangkat pengetahuan ilmiah sebagai pengetahuan
yang benar. Hal ini pun berpengaruh besar dalam perkembangan
filsafat. Banyak pemikir filsafat mulai mengalihkan perhatian mereka
pada
metode
yang
ditempuh
oleh
ilmu
pengetahuan,
serta mengidealkan filsafat dengan metode ilmiah yang sifatnya pasti.
Dengan latar belakang inilahDescartes (1596-1650) misalnya,
merintis
filsafat
“Rasionalisme”
dengan
mengetengahkan
pemikian sebagai konstruksi idea-idea dasar yang jelas dan terpilahpilah (claire et distincte). RasionalismeDescartes diikuti oleh para
filsuf sesudahnya yang mengarahkan perkembangan filsafat
pada pendewaan “rasio” sebagai kriterium utama pemikian. Lahirlah
pada periode berikutnya jaman “Pencerahan”(Enlightment atau
Aufklarung) yang sangat menghargai akal budi. Kecenderungan
ini dengan
jelas
memperlihatkan
bahwa
manusia
modern sesungguhnya tidak menolak filsafat, melainkan cara atau
metode pendekatannya saja yang terus menerus harus diperbaharui
agar tetap relevan untuk kebutuhan perkembangan peradaban.
Para filsuf tetap berupaya mengaktualisasikan filsafat di tengah
perkembangan ilmu-ilmu yang konkrit. Meskipun perkembangan ilmuilmu
itu
semakin
banyak
bidangnya
dan
semakin
mendalam kajiannya,
sehingga
semakin
luas
jangkauan
pengetahuan manusia, namun pada filsuf tetap berpendapat bahwa
filsafat belum kehilangan perannya. Penegasan semacam ini
dinyatakan terutama oleh eksistensialisme yang berkembang pada

awal abad ke 20. Karl Jaspers (1883-1969),tokoh filsuf Jerman abad
ke 20 ini, mengatakan dalam bukunyaPhilosophie (1967) bahwa
meskipun ilmu-ilmu semakin luas dan mendalam, namun makna
kehidupan tak pernah bisa dijawab olehmereka. Kita tetap
membutuhkan filsafat untuk memecahkan persoalan-persoalan
mendasar dari kehidupan. Filsafat berfungsi untuk menerangi
eksistensi kita (Existenzerhellung), katanya.
PERAN DAN PENGARTIAN FILSAFAT
Sepanjang sejarahnya filsafat telah diartikan menurut berbagaibagai kepentingan. pada mulanya filsafat diartikan sebagai
kerinduan(phio) akan kebijaksanaan (sophia), sebagaimana bisa
dirunut dari arti etimologis kata Yunani “philosophia”. Dalam arti ini,
seorang filsuf adalah seseorang yang mencari dan mengupayakan
kebijaksanaan. Sementara murid-murid Aristoteles menurut
tradisi mengartikan pengetahuan filosofis sebagai pengetahuan
mengenai hal-hal yang mengatasi (meta) alam (physica) ini. Maka
filsafat sering kali disebut juga sebagai “metafisika”. Dalam arti ini
filsafat harus dipelajari sesudah ilmu-ilmu alam, sebab filsafat
berkaitan dengan persoalan-persoalan asasi, yang mendasari
kenyataan-kenyataan alam. Untuk selanjutnya menjadi lajim bahwa
filsafat dipahami sebagai pengetahuan yang komprehensif dan
mendasar (foundation) mengenai kenyataan. Obyek filsafat bisa
meliputi
apa
saja,
baik
manusia (anthropologia) alam(cosmologia) mahupun ketuhanan (the
odicea).
Dalam iklim metafisik ini para filsuf berkecenderungan menyusun
pemikiran-pemikiran mereka dalam ulasan-ulasan yang luas dan
komprehensif, sehingga membentuk satu sistem besar ini.
Sepertisudah
disebut
di
atas,
Discartes
merintis
“Rasionalisme”. Sistem ini digeser dan digantikan oleh Immanuel
Kant (1724-1804) yang memulai tradisi “Krititisme” karena teorinya
mengenai akal budi yang kritis atau sering kali juga disebut
“Kantianisme”. Pada periode berikutnya George Wilhelm Friederich

Hegel (1770-1831) memulai tradisi “Idealisme”, demikian
seterusnya. Pokok dari semua isme ini ialah bahwa mereka
memutlakkan ajaran atau doktrin mereka dan meredusir ajaranajaranlainnya. Akan tetapi sesuai dengan hukum sejarah, munculnya
ajaran-ajaran baru dengan sendirinya akan membunuh ajaran lama
sehingga setiap ajaran-ajaran itu sebenarnya tak pernah dapat
bertahan lama tanpa derevisi. Kenyataan ini telah menumbuhkan
rasa skeptis kepada mereka yang kemudian menganggap bahwa
perkembangan fisafat tak lebih dari pergumulan antara ajaran-ajaran
dan ideologi-ideologi kosong belaka. Ideologi yang satu hanya unggul
dalam kurun waktu tertentu, sebab dengan segera muncul ideologi
yang
baru
pada
periode
yang
lain
untuk
menggantikannya. Oleh karena itu menurut mereka sejarah filsafat
tak lebih dari sekedar kuburan idea-idea (cimetery of ideas).
Menjelang abad ke duapuluh berkembanglah keyakinan baru
mengenai arti filsafat yang dirintis oleh sekelompok ilmuwan yang
menamakan diri mashab Neo-positivisme. Karena mashab
ini berpusat di Wina, mereka juga disebut Lingkaran Wina
(Wienerkreis).Neopositivisme tentu saja mengingatkan kita pada
nama Positivismeyang dirintis oleh Auguste Comte (17981857). Positivisme comte seperti kebanyakan aliran modern, ingin
menghindari kecenderungan filsafat yang menjauh dari kenyataan
konkrit manusia. Positivisme berpendirian bahwa pengetahuan yang
benar hanyalah pengetahuan mengenai kenyataan yang diperoleh
dari pengamatan indera danpengalaman, inilah pengetahuan positif
yang sesungguhnya. Dalam arti ini positivisme berusaha menolak
metafisika
atau
sistem-sistem
besar.
Akan
tetapi NeoPositivisme menilai bahwa Positivisme sendiri masih berbau metafisik
dengan
pengandaian-pengandaiannya
yang
spekulatip,
mengandalkan akal
budi
tanpa
diuji
dalam
pengalaman
konkrit. Filsafat harus melangkah lebih jauh lagi dengan membatasi
diri hanya pada tugas membeberkan kenyataan konkrit. Tidak lebih
dari itu. Untuk itu Neo Positivisme mengetengahkan dua prinsip,
pertama bahwa hanya ada satu sumber pengetahuan, yakni
pengalaman konkrit dan kedua suatu ungkapan (proposition) hanya

mempunyai arti jika dapatdiperiksa (can be verified) lewat fakta yang
dapat diamati secara inderawi. Dengan prinsip ini neoPositivisme mengartikan filsafat bukan lagi sebagai kumpulan ajaran
atau doktrin untuk memperolehkebijaksanaan atau untuk mencari
pegangan hidup, yang dirumuskan dalam suatu sistem yang
besar, sebagaimana dianut oleh para pemikir lama, melainkan
sekedar sarana klarifikasi untuk melihat kenyataan menurut apa
adanya. Filsafat
menurut Neo-Positivisme sama
sekali
tidak
memberikan ajaran, melainkan menganalisa ungkapan-ungkapan
manusia, untuk meneliti apakah ungkapan mereka masuk akal dan
karenanya bermakna dan bisa dipahami atau tidak. Maka untuk
menjalankan klarifikasi atau penjelasan itu, Neo-Positivisme sangat
ungkapan sangat tergantung oleh logis tidaknya bahasa. Hal ini juga
yang
menjadi
alasan
mengapa
mashab
ini
juga
disebut PositivismeLogis. Tokoh-tokoh aliran ini ialah Moritz Schalick
(1882-1936), Hans Hahn (1880-1934), Otto Neurath (1882-1945),
Hans Reichenbach (1891-1955), Victor Kraft (1880-1975), semuanya
sarjana di bidangilmu pasti dan logika. yang sangat mengejutkan dari
aliran ini terutama adalah kesimpulan-kesimpulan jauh yang ditarik
dari prinsip dasar mereka; sebab dengan membatasi tugas filsafat
hanya pada klarifikasi, mereka menolak etika (filsafat moral) yang
membicarakan nilai-nilai.Demikian juga mereka menolak ungkapanungkapan keagamaan yang mereka anggap sebagai ungkapan
irasional, penuh dengan getaran jiwa (emosi) yang tak bisa ditera
dengan kenyataan konkrit.
Pandangan filsafat yang sangat ketat menyangkut peran bahasa
di atas sebenarnya telah dirintis oleh Ludwig Wittgenstein (18891951).
Dalam
bukunya Tractatus
logicophilosophicus (1918), Wittgenstein mengajukan apa yang disebutnya
teori gambar (“picture theory”).Menurut teori ini bahasa berfungsi
menggambarkan secara tepat kenyataan yang ada. Dengan
mengembalikan bahasa pada unsur-unsurnya yang paling elementer,
bahasa dan kenyataan dapat dilihat sebagai mempunyai hubungan
timbal-balik. Setiap kenyataan dapat dilukiskan melalui ungkapan
bahasa dan setiap ungkapan bahasa melukiskan kenyataan secara

tepat, oleh karena itu mengenai hal-hal yang tak dapat dibahasakan,
sebaiknya orang diam. Dengan ini Wittgenstein bermaksud
menolak ungkapan-ungkapan bahasa etis dan keagamaan yang tidak
menunjuk pada kenyataan konkrit.
Namun
perkembangan Neo-Positivisme dengan
segera
memperlihatkan bahwa penekanan pada fungsi logis dari bahasa
berlawanan dengan kenyataan, sebab bahasa jauh lebih luas
fungsinyadari sekedar melukiskan kenyataan secara logis. Hal ini
dilihat oleh beberapa filsuf yang mulai menaruh perhatian pada
kepentingan bahasa sehari-hari. Minat pada pemikiran seperti ini
muncul di kalangan para sarjana di Oxford, di mana Wittgenstein,
orang yang kita sebut di atas – berpindah dari Austria, dan merubah
pandangan filsafatnya. Periode kedua dari pemikiran Wittgenstein ini
ditandai dengan teorinya mengenai bahasa sebagai permainan
(“language
games”).
Dalam
bukunya Philosophical
Investigations (1953),
Wittgenstein
mengemukakan
bahwa
sebagaimana setiap permainan, entah itu olah raga atau rekreasi,
mempunyai aturan-aturannya yang berbeda, demikian pun bahasa.
Ada berbagai-bagai ragam bahasa yang masing-masing mempunyai
aturannya sendiri-sendiri. Tidak ada satu bahasa logis untuk semua,
sebab setiap kalangan masyarakat pun nampaknya menggunakan
lingkup bahasa yang khas dengan aturan mainnya sendiri.
Pandangan semacam ini didukung antara lain oleh tokoh-tokoh
Gilbert Ryle (1900-1976), Peter Frederick Strawson (1919- ), John
Langshaw Austin (1911-1960) dan Ian T. Ramsey (1915-1972).
Austinmisalnya, terkenal oleh karena pembedaanya antara ungkapan
performatif (“performative
utterance”) dan
ungkapan
konstatatif(“constatative utterances”). Ungkapan yang pertama
mempunyai dampak sosial dalam kedudukan seseorang, misalnya
dalam pengangkatan presiden oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, sedangkan yang kedua hanya memberitahu atau
menyatakan sesuatufakta saja. Sementara Ian T. Ramsey, seorang
uskup, membela fungsi bahasa dalam kepentingan-kepentingan
keagamaan.

PENUTUP
Dari uraian singkat di atas nampak bahwa filsafat itu teris
menerus berkembang, baik menyangkut obyek keprihatinannya
mahupun meteode atau cara pendekatannya. Lewat perkembangan
itu,pengartian filsafat pun berubah-berubah. Namun kendati
perubahan dan perkembangannya yang beruntun itu, filsafat tetap
berusaha mempertahankan diri sebagai pengetahuan yang kritis,
sistematis dan metodis sebagaimana halnya ilmu-ilmu lainnya. Dan
yang penting lagi ialah kenyataan bahwa sejarah filsafat senantiasa
memperlihatkan perjuangan untuk menjadikan dirinya tidak terlalu
jauh dari persoalan-persoalan manusia konkrit, sehingga tetap
relevan untuk kepentingan kehidupan manusia masa kini dan waktu
yang akan datang.
Kepustakaan Sejarah Filsafat dalam Bahasa Indonesia:
1. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius,
1975.
2. Dr. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta:
Karnisius, 1976.
3. Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, Jilid 1 dan 2
Yogyakarta: Kanisius, 1980.
4. Dr. K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX, jilid I, Jakarta:
Gramedia, 1981.
5. Dr. Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern,
Jakarta: Gramedia, 1983.
6. Dr. K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX, jilid II, Jakarta:
Gramedia, 1985.
7. B. Delfgaauw, Filsafat Abad 20, (alih bahasa Soejono
Soemargono), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988 (1972).

Filsafat ilmu sebagai bagian integral dari filsafat secara keseluruhan perkembangannya
tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat itu sendiri secara keseluruhan.
Menurut Lincoln Cuba, sebagai yang dikutip oleh Ali Abdul Azim, bahwa kita mengenal tiga
babakan perkembangan paradigma dalam filsafat ilmu di Barat yaitu era prapositivisme, era
positivisme dan era pasca modernisme. Era prapositivisme adalah era paling panjang dalam
sejarah filsafat ilmu yang mencapai rentang waktu lebih dari dua ribu tahun.
Dalam uraian ini, penulis cenderung mengklasifikasi perkembangan filsafat ilmu berdasarkan
ciri khas yang mewarnai pada tiap fase perkembangan. Dari sejarah panjang filsafat,
khususnya filsafat ilmu, penulis membagi tahapan perkembangannya ke dalam empat fase
sebagai berikut:
1.Filsafat Ilmu zaman kuno, yang dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan
munculnya Renaisance
2.Filsafat Ilmu sejak munculnya Rennaisance sampai memasuki era positivisme
3.Filsafat Ilmu zaman Modern, sejak era Positivisme sampai akhir abad kesembilan belas
4.Filsafat Ilmu era kontemporer yang merupakan perkembangan mutakhir Filsafat Ilmu sejak
awal abad keduapuluh sampai sekarang.
Perkembangan Filsafat ilmu pada keempat fase tersebut akan penulis uraikan dengan
mengedepankan aspek-aspek yang mewarnai perkembangan filsafat ilmu di masanya
sekaligus yang menjadi babak baru dan ciri khas fase tersebut yang membedakannya dari
fase-fase sebelum dan atau sesudahnya. Di samping itu penulis juga akan mengungkap
tentang peran filosof muslim dalam perkembangan filsafat ilmu ini, walaupun bukan dalam
suatu fase tersendiri.
A. Filsafat Ilmu Zaman Kuno
Filsafat yang dipandang sebagai induk ilmu pengetahuan telah dikenal manusia pada masa
Yunani Kuno. Di Miletos suatu tempat perantauan Yunani yang menjadi tempat asal mula
munculnya filsafat, ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir (baca: filosof) besar seperti
Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Pemikiran filsafat yang memiliki ciri-ciri dan metode
tersendiri ini berkembang terus pada masa selanjutnya.
Pada zaman Yunani Kuno filsafat dan ilmu merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan.
Keduanya termasuk dalam pengertian episteme yang sepadan dengan kata philosophia.
Pemikiran tentang episteme ini oleh Aristoteles diartikan sebagai an organized body of
rational konwledge with its proper object. Jadi filsafat dan ilmu tergolong sebagai
pengetahuan yang rasional. Dalam pemikiran Aritoteles selanjutnya pengetahuan rasional
itu dapat dibedakan menjadi tiga bagian yang disebutnya dengan praktike (pengetahuan
praktis), poietike (pengetahuan produktif), dan theoretike (pengetahuan teoritis).
Pemikiran dan pandangan Aritoteles seperti tersebut di atas memberikan gambaran kepada
kita bahwa nampaknya ilmu pengetahuan pada masa itu harus didasarkan pada pengertian
dan akibatnya hanya dapat dilaksanakan bagi aspek-aspek realitas yang terjangkau pikiran.
Lalu masuk akal saja kalau orang berpendapat bahwa kegiatan ilmiah tidak lain daripada
menyusun dan mengaitkan pengertian-pengertian itu secara logis, yang akhirnya
menimbulkan kesana bahwa setiap ilmu pengetahuan mengikuti metode yang hampir sama
yaitu mencari pengertian tentang prima principia, lalu mengadakan deduksi-deduksi logis.
Pemikirannya hal tersebut oleh generasi-generasi selanjutnya memandang bahwa
Aristoteleslah sebagai peletak dasar filsafat ilmu.
Selama ribuan tahun sampai dengan akhir abad pertengahan filsafat logika Aristoteles
diterima di Eropa sebagai otoritas yang besar. Para pemikir waktu itu mengaggap bahwa
pemikiran deduktif (logika formal atau sillogistik) dan wahyu sebagai sumber pengetahuan.
Aristoteles adalah peletak dasar ‘doktrin sillogisme’ yang sangat berpengaruh terhadap
perkembangan pemimiran di Eropa sampai dengan munculnya Era Renaisance. Sillogisme
adalah argumentasi dan cara penalaran yang terdiri dari tiga buah pernya-taan, yaitu
sebagai premis mayor, premis minor dan konklusi.

B. Filsafat Ilmu Era Renaisance
Memasuki masa Rennaisance, otoritas Aritoteles tersisihkan oleh metode dan pandangan
baru terhadap alam yang biasa disebut Copernican Revolution yang dipelopori oleh
sekelompok sanitis antara lain Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1542) dan
Issac Newton (1642-1727) yang mengadakan pengamatan ilmiah serta metode-metode
eksperimen atas dasar yang kukuh.
Selanjutnya pada Abad XVII, pembicaraan tentang filsafat ilmu, yang ditandi dengan
munculnya Roger Bacon (1561-1626). Bacon lahir di ambang masuknya zaman modern
yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Bacon menanggapi Aristoteles bahwa ilmu sempurna tidak boleh mencari untung namun
harus bersifat kontemplatif. Menurutnya Ilmu harus mencari untung artinya dipakai untuk
memperkuat kemampuan manusia di bumi, dan bahwa dalam rangka itulah ilmu-ilmu
berkembang dan menjadi nyata dalam kehidupan manusia. Pengetahuan manusia hanya
berarti jika nampak dalam kekuasaan mansia; human knowledge adalah human power.
Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada metode eksperimental dana
matematis memasuki abad XVI mengakibatkan pandangan Aritotelian yang menguasai
seluruh abad pertengahan akhirnya ditinggalkan secara defenitif. Roger Bacon adalah
peletak dasar filosofis untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Bacon mengarang Novum
Organon dengan maksud menggantikan teori Aristoteles tentang ilmu pengetahuan dengan
teori baru. Karyanya tersebut sangat mempengaruhi filsafat di Inggris pada masa
sesudahnya. Novum Organon atau New Instrumen berisi suatu pengukuihan penerimaan
teori empiris tentang penyelidikan dan tidak perlu bertumpu sepenuhnya kepada logika
deduktifnya Aritoteles sebab dia pandang absurd.
Kehadiran Bacon memberi corak baru bagi perkembangan Filsafat Ilmu, khususnya tentang
metode ilmiah. Hal ini sebagai yang dikemukakan oleh A. B. Shah dalam Scientific Method,
bahwa: “Pengertian yang paling baik tentang metode ilmiah dapat dilukiskan yang paling
baik menurut induksi Bacon”.
Hart mengaggap Bacon sebagai filosof pertama yang bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat
dapat mengubah dunia dan dengan sangat efektif menganjurkan penyelidikan ilmiah.
Beliaulah peletak dasar-dasar metode induksi modern dan menjadi pelopor usaha untuk
mensistimatisir secara logis prosedur ilmiah. Seluruh asas filsafatnya bersifat praktis yaitu
menjadikan untuk manusia menguasai kekuasaan alam melalui penemauan ilmiah Menurut
Bacon, jiwa manusia yang berakal mempunyai kemamapuan triganda, yaitu ingatan
(memoria), daya khayal (imaginatio) dan akal (ratio). Ketiga aspek tersebut merupakan
dasar segala pengetahuan. Ingatan menyangkut apa yang sudah diperiksa dan diselidiki
(historia), daya khayal menyangkut keindahan dan akal menyangkut filsafat (philosophia)
sebagai hasil kerja akal.
C. Filsafat Ilmu Era Positivisme
Memasuki abad XIX perkembangan Filsafat Ilmu memasuki Era Positivisme. Positivisme
adalah aliran filsafat yang ditandai dengan evaluasi yang sangat terhadap ilmu dan metode
ilmiah. Aliran filsafat ini berawal pada abad XIX. Pada abad XX tokoh-tokoh positivisme
membentuk kelompok yang terkenal dengan Lingkaran Wina, di antaranya Gustav Bergman,
Rudolf Carnap, Philip Frank Hans Hahn, Otto Neurath dan Moritz Schlick.
Pada penghujung abad XIX (sejak tahun 1895), pada Universitas Wina Austria telah
diajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan Induktif. Hal ini memberikan indikasi bahwa
perkembangan filsafat ilmu telah memasuki babak yang cukup menentukan dan sangat
berpengaruh terhadap perkembangan dalam abad selanjutnya.
Memasuki abad XX perkembangan filsafat ilmu memasuki era baru. Sejak tahun 1920
panggung filsafat ilmu pengetahuan didominasi oleh aliran positivisme Logis atau yang
disebut Neopositivisme dan Empirisme Logis. Aliran ini muncul dan dikembangkan oleh
Lingkaran Wina (Winna Circle, Inggris, Wiener Kreis, Jerman). Aliran ini merupakan bentuk
ekstrim dari Empirisme. Aliran ini dalam sejarah pemikiran dikenal dengan Positivisme Logic

yang memiliki pengaruh mendasar bagi perkem-bangan ilmu. Munculnya aliran ini akibat
pengaruh dari tiga arah. Pertama, Emperisme dan Positivisme. Kedua, metodologi ilmu
empiris yang dikembangkan oleh ilmuwan sejak abad XIX, dan Ketiga, perkembangan logika
simbolik dan analisa logis.
Secara umum aliran ini berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengetahuan yaitu
pengalaman indrawi. Selain itu mereka juga mengakui adanya dalil-dalil logika dan
matematika yang dihasilkan lewat pengalaman yang memuat serentetan tutologi -subjek dan
predikat yang berguna untuk mengolah data pengalaman indrawi menjadi keseluruhan yang
meliputi segala data itu.
Lingkaran Wina sangat memperhatikan dua masalah, yaitu analisa pengetahuan dan
pendasaran teoritis matematika, ilmu pengetahuan alam, sosiologi dan psikologi. Menurut
mereka wilayah filsafat sama dengan wilayah ilmu pengetahuan lainnya. Tugas filsafat ialah
menjalankan analisa logis terhadap pengetahuan ilmiah. Filsafat tidak diharapkan untuk
memecahkan masalah, tetapi untuk menganalisa masalah dan menjelaskannya. Jadi
mereka menekankan analisa logis terhadap bahasa. Trend analisa terhadap bahasa oleh
Harry Hamersma dianggap mewarnai perkembangan filsafat pada abad XX, di mana filsafat
cenderung bersifat Logosentrisme
D. Filsafat Ilmu Kontemporer
Perkembangan Filsafat Ilmu di zaman ditandai dengan munculnya filosof-filosof yang
memberikan warna baru terhadap perkembangan Filsafat Ilmu sampai sekarang.
Muncul Karl Raymund Popper (1902-1959) yang kehadirannya menadai babak baru
sekaligus merupakan masa transisi menuju suatu zaman yang kemudian di sebut zaman
Filsafat Ilmu Pengetahuan Baru. Hal ini disebabkan Pertama, melalui teori falsifikasi-nya,
Popper menjadi orang pertama yang mendobrak dan meruntuhkan dominasi aliran
positivisme logis dari Lingkaran Wina. Kedua, melalui pendapatnya tentang berguru pada
sejarah ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu yang baru yang
dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn.
Para tokoh filsafat ilmu baru, antara lain Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, N.R. Hanson,
Robert Palter dan Stephen Toulmin dan Imre Lakatos memiliki perhatian yang sama untuk
mendobrak perhatian besar terhadap sejarah ilmu serta peranan sejarah ilmu dalam upaya
mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang
sesungguhnya terjadi. Gejala ini disebut juga sebagai pemberontakan terhadap Positivisme.
Thomas S. Kuhn populer dengan relatifisme-nya yang nampak dari gagasan-gagasannya
yang banyak direkam dalam paradigma filsafatnya yang terkenal dengan The Structure of
Scientific Revolutions (Struktur Revolusi Ilmu Pengetahuan).
Kuhn melihat bahwa relativitas tidak hanya terjadi pada Benda yang benda seperti yang
ditemukan Einstein, tetapi juga terhadap historitas filsafat Ilmu sehingga ia sampai pada
suatu kesimpulan bahwa teori ilmu pengetahuan itu terus secara tak terhingga mengalami
revolusi. Ilmu tidak berkembang secara komulatif dan evolusioner melainkan secara
revolusioner.
Salah seorang pendukung aliran filsafat ilmu Baru ialah Paul Feyerabend (Lahir di Wina,
Austria, 1924) sering dinilai sebagai filosof yang paling kontroversial, paling berani dan
paling ekstrim. Penilaian ini didasarkan pada pemikiran keilmuannya yang sangat
menantang dan provokatif. Berbagai kritik dilontarkan kepadanya yang mengundang banyak
diskusi dan perdebatan pada era 1970-an.

Filsafat ilmu berkembang dari masa ke masa sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta realitas sosial. Dimulai
dengan aliran rasionalisme-emprisme , kemudian kritisisme dan positivisme.
Rasionalisme adalah paham yang menyatakan kebenaran
haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan dan analisis
yang berdasarkan fakta. Paham ini menjadi salah satu bagian dari
renaissance atau pencerahan dimana timbul perlawanan terhadap
gereja yang menyebar ajaran dengan dogma-dogma yang tidak
bisa diterima oleh logika. Filsafat Rasionalisme sangat menjunjung
tinggi akal sebagai sumber dari segala pembenaran. Segala
sesuatu harus diukur dan dinilai berdasarkan logika yang jelas. Titik tolak
pandangan ini didasarkan kepada logika matematika. Pandangan ini sangat
popular pada abad 17. Tokoh-tokohnya adalah Rene Descartes (1596-1650),
Benedictus de Spinoza – biasa dikenal: Barukh Spinoza (1632-1677), G.W.
Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662).
Empirisisme adalah pencarian kebenaran melalui
pembuktian-pembukitan indrawi. Kebenaran belum dapat
dikatakan kebenaran apabila tidak bisa dibuktikan secara
indrawi, yaitu dilihat, didengar dan dirasa. Francis Bacon
(1561-1624) seorang filsuf Empirisme pada awal abad
Pencerahan menulis dalam salah satu karyanya Novum
Organum: Segala kebenaran hanya diperoleh secara induktif,
yaitu melalui pengalamn dan pikiran yang didasarkan atas empiris, dan melalui
kesimpulan dari hal yang khusus kepada hal yang umum. Empirisisme muncul
sebagai akibat ketidakpuasan terhadap superioritas akal. Paham ini bertolak
belakang dengan Rasionalisme yang mengutamakan akal. Tokoh-tokohnya
adalah John Locke (1632-1704); George Berkeley (1685-1753); David Hume
(1711-1776). Kebenaran dalam Empirisme harus dibuktikan dengan
pengalaman. Peranan pengalaman menjadi tumpuan untuk memverifikasi
sesuatu yang dianggap benar. Kebenaran jenis ini juga telah mempengaruhi
manusia sampai sekarang ini, khususnya dalam bidang Hukum dan HAM.
Kedua aliran ini dibedakan lewat caranya untuk mencari kebenaran
rasionalisme didominasi akal sementara empirisisme didominasi oleh
pengalaman dalam pencarian kebenaran. Kedua aliran ini secara ekstrim bahkan
tidak mengakui realitas di luar akal, pengalaman atau fakta. Superioritas akal
menyebabkan agama dilempar dari posisi yang seharusnya. Agama didasarkan
pada doktrin-dokrtin yang tidak bisa diterima oleh rasio sehingga tidak diterima
oleh para pemegang paham rasionalisme dan empirisisme. Bukan berarti dogma
yang diajarkan agama itu tidak benar, tapi rasio manusia masih terbatas untuk
menguji kebenaran dogma Tuhan. Munculah aliran kritisisme sebagai jawaban
dari rasionalisme dan empirisisme untuk menyelamatkan agama.

Kritisisme merupakan filsafat yang terlebih dahulu
menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum melakukan
pencarian kebenaran. Tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah
Immanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan Idealisme
Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan
manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah
ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari
pengalaman (aposteriori).
Filsafat positivisme membatasi kajian filsafat ke hal-hal yang dapat di
justifikasi (diuji) secara empirik. Hal-hal tersebut dinamakan hal-hal
positif. Positivisme digunakan untuk merumuskan pengertian mengenai relaita
sosial dengan Penjelasan ilmiah, prediksi dan control seperti yang dipraktekan
pada fisika, kimia, dan biologi. Tahap penelitian positivisme dimulai dengan
pengamatan, percobaan, generalisasi, produksi, manipulasi.
Krisis Sains
Perkembangan sains sampai ke abad 20 membawa manusia ke tingkat
yang lebih tinggi pada kehidupannya. Level pemahaman terhadap alam
mencapai tingkat level yang lebih tinggi. Pengamatan alam sudah sampai ke
level mikroskopis, ternyata pengamatan pada level mikroskopis mementahkan
hukum-hukum fisika yang pada saat itu menajdi pijakan ilmu fisika. Hukumhukum fisika klasik seperti mekanika dan gravitasi dimentahkan oleh perilaku
elektron dan proton yang acak tapi teratur. Penemuan-penemuan baru pada
bidang fisika pada level mikroskopis merubah pandangan ilmuwan pada saat itu
mengenai alam secara keseluruhan. Tenyata sains merupakan ilmu yang tidak
pasti, ada ketidakpastian dalam kepastian terutama pada level mikroskopis
dimana ketidakpastian itu semakin besar. Pada masa ini terjadi pergeseran
paradigma dari paradigma Newtonian ke paradigm pos Newtonian. Perubahan
paradigma ini merupakan revolusi pada bidang fisika, yang melahirkan tokohtokoh baru seperti Einstein dan Heisenberg

Objek
Paradigma Newtonian
Paradigma Pos Newtonian
Alam
Mesin
Sistem / jaringan
Fenomena objek
Interaksi benda
Transformasi objek
Ruang, waktu
Datar, tak berbatas
Melengkung, tak berbatas
Kekuatan alam
Determenistik, realistik
Indeterministik, anti-realistik
Werner Heisenberg mengajukan teori ketidakpastian yang menyatakan tidak
mungkin mengukur secara teliti suatu partikel secara stimultan dalam ruang dan
waktu. Teori ini bukan hanya menjungkirbalikan teori fisika klasik yang

dikembangkan oleh Newton, namun juga mengubah cara pandang berbagai
disiplin ilmu terhadap sifat alam yang tadinya dianggap determentstik (dapat
ditentukan) menjadi indeterminsitik (tidak dapat ditentukan). Teori ini menjadi
landasan fisika kuantum. Perubahan paradigma terhadap alam mengubah arah
perkembangan teknologi. Namun perkembangan teknologi yang revolusioner
malah menjadi petaka bagi seluruh umat manusia, puncaknya ketika Albert
Einstein menemukan bom atom dan digunakan oleh manusia untuk
menghancurkan kota Hirosima dan Nagasaki. Dunia terkejut oleh kemampuan
sains yang bukan hanya memudahkan manusia, namun juga menghancurkan.
Pada tahap ini mulai dipertanyakan peranan sains dalam menuju kehidupan
manusia yang lebih baik. Kritik mulai dilontarkan terhadap sains karena ternyata
kemajuan sains belum tentu memajukan kemanusiaan di muka bumi.

Cendawan atom dan korban Bom atom Hiroshima

Sains memiliki tiga sifat utama yaitu netral, humanistik dan universal. Namun
pada perkembangannya ternyata sains tidak netral, humanistik dan universal.
Sains sangat tergantung pada kondisi ekonomi, sehingga pemilik modal dapat
mengarahkan perkembangan sains. Pada masa perang dunia II sains memberi
kontribusi besar pada kematian umat manusia lewat penemuan senjata
pemusnah masal. Sains juga kehilangan sifat netralnya karena pengembangan
sains sangat tergantung dari pemilik modal. Sains berpihak kepada pemilik
modal.
Sains bersifat humanistik yaitu manusia sebagai pusat dari segalanya.
Ternyata pandangan ini malah menghancurkan manusia. Kemajuan sains seiring
dengan kemajuan teknologi. Teknologi sangat menguntungkan manusia karena
bersifat memudahkan. Teknologi membutuhkan sumber daya yang diambil dari
alam dan teknologi juga menghasilkan limbah yang sulit diuraikan aoleh sistem
alam. Eksploitasi sumber daya alam berlebih mengakibatkan keseimbangan
lingkungan terganggu yang menjadikan Bumi rentan terhadap bencana. Limbah
hasil industri diketahui berbahaya bagi manusia, sehingga menimbulkan kanker
yang membunuh jutaan manusia tiap tahunnya.

Sains hanya alat untuki mencapai sesuatu, namun dasar motivasi untuk
mencapai suatu hal adalah hal yang berbeda. Akal budi lebih berperan untuk
menentukan arah tujuan sains tersebut. Perkembangan dari sains seharusnya
diikuti dengan perkembangan akal budi agar tercipta kehidupan manusia yang
lebih baik.