Polisemi kata wali dan auliya dalam al-qur'an; studi kasus terjemahan Hamka dan Qurais Shihab

(1)

i

POLISEMI KATA

WALI

DALAM AL-

QUR’AN

: STUDI KASUS

TERJEMAHAN HAMKA DAN QURAISH SHIHAB

Oleh

Ismiyati Nur ‘Azizah

NIM:107024001141

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

i

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berupa pencabutan gelar.

Jakarta, 20 September 2011

Ismiyati Nur ‘Azizah

NIM: 107024001141


(3)

ii

POLISEMI KATA

WALI

DALAM AL-

QUR’AN

: STUDI

KASUS TERJEMAHAN HAMKA DAN QURAISH SHIHAB

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)

Oleh

Ismiyati Nur ‘Azizah

NIM:107024001141

NIP: 198003052009011015

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(4)

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “POLISEMI KATA WALI DAN AULIYA DALAM AL-QUR’AN: STUDI KASUS TERJEMAHAN HAMKA DAN QURAISH SHIHAB”. Telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Selasa, 20 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.

Jakarta, 20 September 2011

Sidang Munaqasyah TTD TGL

1. Dr. Ahmad Syaekhuddin, M.Ag. (Ketua) NIP: 19700505 200003 1001

2. Moch. Syarif Hidayatullah, M. Hum. (Sekretaris) NIP: 1979 1229 2005011004

3. Makyun Subki, M. Hum. (Pembimbing) NIP: 198003052009011015

4. Dr. Abdullah, M. Ag. (Penguji 1) NIP: 19610825 199303 1 002

5. Moch. Syarif Hidayatullah, M. Hum. (Penguji 2) NIP: 1979 1229 2005011004


(5)

iv

Abstrak

Ismiyati Nur ‘Azizah

Polisemi Kata Wali dan Auliya dalam Al-Qur’an: Studi Kasus Terjemahan Hamka dan Quraish Shihab”

Semantik berasal dari bahasa Yunani yakni sema yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’, kata kerjanya adalah semaino yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan’. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal yang ditandai.

Penulis akan menjelaskan dua model semantik yang kerap ditemukan dibeberapa kajian bahasa yaitu: semantik leksikal dan semantik gramatikal. Di dalam semantik ada beberapa relasi makna antaranya polisemi. Maka dari itu polisemi merupakan fenomena di dalam semantik.

Penelitian ini mengkaji tentang homonimi di dalam bahasa Arab dan menjadi persoalan dalam penerjemahannya di bahasa Indonesia dan Penulis lebih memfokuskan penelitian ini pada kata Wali dan Auliya yang ada di dalam al-Qur’an dengan membandingkannya antara terjemahan Hamka dan Quraish Shihab. Dalam penelitian ini teori yang digunakan bertalian dengan teori-teori umum semantik, sampai pada teori yang menyatakan bahwa polisemi sebagai fenomena semantik. Kata Wali dan Auliya tersebut dianalisis dalam bentuk konteks untuk mengetahui bagaimana terjemahannya dalam konteks kalimat dan kemudian dianalisis dengan membandingkan antara terjemahan Hamka dan Quraish Shihab.

Terlihat ada beberapa kata di dalam al-Qur’an jika diaplikasikan pada suatu konteks yang sama (ayat Qur’an) kemudian diterjemahkan dengan dua versi terjemahan yang berbeda maka akan ada yang mengalami perbedaan makna, maka di sinilah terjadinya polisemi.


(6)

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat rahmatNya, Penulis dapat menyelesaikan skipsi ini. Skripsi ini dibuat sebagai sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah.

Sekalipun karya ilmiah ini sangat sederhana dengan mengangkat judul “Polisemi dalam Bahasa Arab dan Persoalan Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia: Studi Kasus Penerjemahan Kata Wali dan Auliya Oleh Hamka dan Quraish Shihab”, bagi Penulis bukanlah suatu pekerjaan atau hasil usaha yang mudah. Sebab, dalam proses penyelesaiannya persiapan-persiapan yang matang, baik fisik material maupun mental spiritual.

Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, sudah sepantasnya dan seharusnya penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Pertama sekali terima kasih kepada dosen pembimbing saya Makyun Subuki, M. Hum. atas segala bantuan, koreksian, masukan-masukan, bimbingan, serta waktu luang yang diberikan sehingga skripsi ini dapat selesai pada waktunya. Penghargaan serupa saya haturkan kepada Karlina Helmanita, M.Ag sebagai orang yang pertama kali mengenalkan saya pada bidang penelitian.

Selanjutnya, ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ketua Jurusan Tarjamah, Dr. Ahmad Syaekhuddin, M.A., dan Sekretaris


(7)

vi

Jurusan Tarjamah Moch. Syarif Hidayatullah, M.hum., yang telah banyak memberikan bantuan moril selama studi saya di jurusan Tarjamah. Begitu juga kepada Drs. Ikhwan Azizi, M.Ag, mantan Ketua Jurusan Tarjamah.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada para dosen Jurusan Tarjamah yang selalu sabar mengajarkan dan mendidik saya selama perkuliahan atau pun di luar perkuliahan. Semoga ilmu dan kesabaran mereka mengalir dan menjadi amal kebaikan yang tak pernah putus.

Keluarga tercinta, terutama kedua orang tua saya, Ayahanda H. Muhammad Isro, S.pd. dan Ibunda tercinta Hj. Raudlatul Intihanah atas segala doa, dukungan dan semangat yang selalu diberikan tiada henti yang selalu memotivasi saya. I just wanna say I love you dad and mom and thanks for everything. Kakak dan Adik-adik saya terima kasih atas segala bantuan dan semangatnya.

Teman seperjuangan dan satu bimbingan, Nur Rahmawati dan Rahmat Darmawan, yang selalu memberikan semangat dan tempat berbagi di kala suka dan duka selama pengerjaan skripsi ini. Untuk teman-teman terhebat saya tempat saya mencurahkan keluh kesah saya selama skripsi ini berjalan Ani, Ais, Sifa, Rida, Hanny, Khoas, Reza, Anas, Buluk, terima kasih atas segala doa, pengertian dan semangatnya. Special thanks untuk Mario Pramudya Utama yang selalu memberikan doa, dan semangatnya, walaupun hanya dalam jarak yang jauh sampai proses pengerjaan skripsi ini selesai.

Teman-teman angkatan 2007 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah sama-sama berjuang dan saling memberikan motivasi dan juga adik-adik jurusan Tarjamah.


(8)

vii

Akhir kata, Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi Penulis maupun pembaca. Penulis juga menyadari akan banyaknya kekurangan pada penyusunan skripsi ini, karena itu saran dan kritik yang membangun sangat Penulis harapkan.

Jakarta, 20 September 2011


(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………..…i

SURAT PERNYATAAN ………...……….………. ii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ..……….. iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN………....………. iv

ABSTRAK………..……… v

KATA PENGANTAR ... vi-viii DAFTAR ISI ………..……….. ix

BAB I PENDAHULUAN………..……….1

A. Latar Belakang Masalah ... 1-7 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7-8 D. Metodologi Penelitian ... 8-9 E. Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan ... 10-11 BAB II KERANGKA TEORI ... 12

A. Konsep Umum Semantik ... 12

1. Definisi dan Sejarah Semantik ... 13-14 2. Jenis Semantik ... 14-15 B. Polisemi Sebagai Fenomena Semantik ... 16

1. Pengertian Polisemi ... 16-17 2. Jenis-Jenis Polisemi……….……….……17-19 3. Pengertian Homonimi ... 20-21 4. Batasan-Batasan antara Polisemi dan Homonimi…...…...22-23 5. Perbedaan antara Polisemi dan Homonimi………...……...…23

6. Polisemi dan Perubahan Makna………...……24-25 7. Sebab-Sebab Perubahan Makna………...…….25-26


(10)

x

C. Konsep Umum Terjemahan………..…………...…27 1. Definisi Terjemahan………27-28 2. Jenis-Jenis Terjemahan………...29 3. Prinsip-Prinsip Terjemahan……….30-31 D. Penerjemahan al-Qur'an……….………...31 1. Definisi Penerjemahan al-Qur'an……….………....31-32 2. Syarat Penerjemahan al-Qur'an………..…..32-34 3. Metode Penerjemahan al-Qur'an………..……..…...35 BAB III BIOGRAFI HAMKA DAN QURAISH SHIHAB...36 A. Mengenal Sosok Mufasir Hamka...36

1. Riwayat Hidup Hamka dan Aktivitas Keilmuwan...36-39 2. Karya-Karya Hamka...39-43

3. Aktifitas Lainnya...43 4. Metode Penerjemahan Hamka...44-46 B. Mengenal Sosok Mufasir Quraish Shihab...47 1. Riwayat Hidup Quraish Shihab dan Aktivitas Keilmuwan...47-50 2. Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Misbah...50-52 3. Karya-Karya M. Quraish Shihab...52-54 4. Sekilas Gambaran Umum Buku Tafsir Al-Misbah...54-57 BAB IV ANALISIS HASIL TERJEMAHAN KATA WALI DAN AULIYA...58 A. Pendahuluan...58-59 B.Persamaaan dan Perbedaan Makna Polisemi Kata Wali dan Auliya dalam Terjemahan Hamka dan Quraish Shihab... 60 1. Persamaan Makna Polisemi Kata Wali dan Auliya dalam Terjemahan Hamka dan Quraish Shihab ... 60-70 2. Perbedaan Makna Polisemi Kata Wali dan Auliya dalam Terjemahan Hamka dan Quraish Shihab ... 70-86


(11)

xi

BAB V PENUTUP ... 87 A. KESIMPULAN ... 87-89 B. SARAN ... 90 DAFTAR PUSTAKA ... 94


(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Bahasa berisi gagasan, ide, pikiran, keinginan, atau perasaan yang ada pada diri si pembicara. Agar apa yang diinginkan, atau dirasakan dapat diterima oleh pendengar atau orang yang diajak bicara, hendaklah bahasa yang digunakannya dapat mendukung maksud atau pikiran dan perasaan secara jelas. Manusia berbahasa berarti manusia hendak mengungkapkan pikiran, perasaan, dan sikap. Dengan bahasa dan berbahasa, kebudayaan manusia berkembang. Pewarisan kebudayaan dilakukan lewat pewarisaan bahasa yang bermakna.1

Para penutur bahasa harus dapat menyesuaikan dan membedakan setiap makna kata dan penggunaan makna kata. Setiap kata atau leksem memiliki makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif atau makna konseptual. Para ahli linguistik pun mengemukakan bahwa bahasa memiliki lima unsur kajian linguistik, yaitu: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik.

Bahasa Arab tergolong bahasa yang disebut bahasa yang inflektif, artinya bahasa yang mempunyai sejumlah perubahan bentuk, baik bertalian dengan aturan pembentukan kata baru maupun bertalian dengan fungsi sintaksis tiap kata. 2

1

J. D. Parera, Teori Semantik (Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 61.

2

Aziz Fahrurrozi, Gramatika Bahasa Arab, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(13)

2

Belajar bahasa Arab memiliki kesan umum yang sulit dan rumit. Padahal, secara linguistik, setiap bahasa di dunia ini memiliki tingkat kesulitan dan kemudahan yang berbeda-beda, bergantung pada karakteristik sistem bahasa itu, baik dari segi fonologi, morfologi maupun sintaksis dan semantiknya.3 Pada tataran teoritis, penelitian bahasa Arab pun merupakan unsur yang dibatasi dalam sebuah sistem, setidak-tidaknya meliputi enam aspek penelitian, yaitu: bunyi bahasa (fonetik), ilmu al-ashwat (fonologi), ilmu al-sharaf (Morfologi), ilmu nahwu (sintaksis), ilmu ad-dhilalah (semantik), dan ilmu al-mu'jam (leksikologi).

Kini semantik dianggap sebagai komponen bahasa yang tidak dapat dilepaskan dalam pembicaraan linguistik. Tanpa membicarakan makna, pembahasan linguistik belum dianggap lengkap karena sesungguhnya tindakan berbahasa itu tidak lain dari upaya untuk menyampaikan makna-makna itu. Ujaran yang tidak bermakna tidak ada artinya sama sekali. Semantik dalam hubungannya dengan sejarah, melibatkan sejarah pemakai bahasa (masyarakat bahasa). Lingkungan masyarakat dapat menyebabkan perubahan makna suatu kata. Kata yang dipakai di dalam lingkungan tertentu belum tentu sama maknanya dengan kata yang dipakai di lingkungan lain.4

Perkembangan makna mencakup segala hal tentang makna yang berkembang, berubah, dan bergeser. Bahasa mengalami perubahan dan dirasakan oleh setiap

3

Muhbib Abdul Wahab, Pemikiran Linguistik Tammam Hassan dalam Pembelajaran bahasa Arab, (Jakarta:UIN Press ,2009), hal. 3

4

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna, (Bandung: Refika Aditama, 1999), hal. 66.


(14)

3

orang, dan salah satu aspek dari perkembangan makna (perubahan arti) yang menjadi objek telaah semantik historis.

Makna sebagai objek dalam studi semantik ini memang sangat rumit persoalannya, karena bukan hanya menyangkut persoalan dalam bahasa saja tetapi juga menyangkut persoalan luar bahasa. Faktor-faktor luar bahasa seperti masalah agama, pandangan hidup, budaya, norma dan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat turut menyulitkan masyarakat.

Karena bahasa digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi bermacam-macam dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda. Konsep tentang keberagamaan itu mengemuka ketika linguis mengaitkan bahasa dengan aspek kemasyarakatan. Bahasa dilihat sebagai media komunikasi yang dinamis, yang menyesuaikan aspek sosial pemakainya (the users) dan pemakaiannya (the uses). 5 Berbagai nama jenis makna telah dikemukakan oleh para ahli bahasa dalam buku-buku linguistik atau semantik. Dalam menganalisis semantik, seseorang harus menyadari bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya. Maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja dan tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Semua ini karena bahasa adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Selain itu, dalam bahasa yang penuturnya terdiri dari kelompok-kelompok yang mewakili

5

Kushartanti, Pesona Bahasa; Langkah Awal Memahami Linguistik, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 47


(15)

4

latar belakang budaya, pandangan hidup, dan status sosial yang berbeda, maka makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau mewakili nuansa makna yang berlainan.

Seluruh makna yang terkandung dalam bahasa sering berhubungan satu sama lain. Relasi makna dapat berwujud macam-macam.6 Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi), dan sebagainya.

Polisemi merupakan salah satu bagian dari relasi makna. Polisemi merupakan masalah yang cukup rumit dalam melakukan proses penerjemahan. Karena seorang penerjemah sulit untuk menerjemahkan arti suatu kata dengan tepat tanpa melihat konteks kalimat secara keseluruhan. Dalam hal ini sangatlah tidak asing ketika mengkaji bahasa Arab, apalagi bahasa al-Qur’an yang memang dikenal mengandung makna yang sangat beragam pada tiap kata.

Untuk lebih jelasnya penulis akan memaparkan definisi polisemi sebagai berikut. Fatimah mengatakan dalam bukunya yang berjudul Semantik 1 Pengantar ke Arah Ilmu Makna bahwasannya polisemi adalah satu kata yang memiliki makna lebih dari satu. Palmer pun mengatakan demikian: “…..it is also the case that same word may have a set of different meaning”. Sedangkan Kushartanti,

6


(16)

5

mengatakan bahwasanya polisemi merupakan kata atau frasa yang memiliki beb erapa makna yang berhubungan. 7

Objek utama dari polisemi adalah teks. Ketika berhadapan dengan teks, maka kita akan menemukan dua unsur pembangun, yaitu penulis dan pembaca. Ketika kita menerjemahkan suatu teks, maka pada tataran ini kita juga melakukan kegiatan menafsirkan makna. Al-Qur’an bukan rangkaian kata-kata semata, melainkan mencakup makna dan lafadz. Di Indonesia telah banyak ahli bahasa yang menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur'an seperti apa yang kita lihat saat ini. Semuanya mempunyai tujuan agar al-Qur'an dapat dipahami maksud dan makna yang terkandung di dalamnya. Di antara sekian banyak ahli bahasa yang telah menerjemahkan al-Qur'an itu di antaranya adalah Hamka, M. Quraish Shihab, Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Namun dalam hal ini, penulis hanya akan menganalisis makna (semantik) yang terkandung di dalam al-Qur’an dan mengandung makna yang berpolisemi dalam terjemahan Hamka dan Quraish Syihab.

Maka dari itu, saya sebagai penulis mencoba membicarakan persoalan dasar dari semantik sebagai bekal awal untuk memahami masalah bahasa, dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab, secara lebih luas. Akan tetapi, penulis lebih memfokuskan untuk menganalisis polisemi. Maka dari itu, saya sebagai penulis akan menganalisis judul “Polisemi Kata Wali dan Auliya dalam Al-Qur’an: Studi Kasus Terjemahan Hamka dan Quraish Shihab”. Contoh kasus surat Al-Maidah ayat 51:

7


(17)

6

م ضعب ءايل ا رص لا يلا ا ذ تت ا ا ما يذلا ا يأي

ه اف مك م م ل تي م ضعب ءايل ا

م قلا

ي ا ها ا م م

ي لاظلا

.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

Pada dasarnya dalam bahasa Arab kata wali dan auliya bermakna pemimpin. Akan tetapi, dari contoh di atas terdapat perbedaan makna mengenai kata auliya dalam surat Al-Maidah ayat 51 apakah bermakna pemimpin?

Berdasarkan kamus al-Munawwir kata auliy bermakna (1) yang mencintai (2) teman, sahabat (3) yang menolong (4) orang yang mengurus perkara seseorang atau wali. 8

Sedangkan, dalam kamus al-Arsy kata auliy bermakna (1) wakil, pejabat pelaksana, karetaker (2) penolong (3) sahabat, teman (4) wali, orang yang bertaqwa (5) tuan, kepala (6) yang mencintai (7) orang yang mengurus perkara seseorang (8) tetangga (9) sekutu (10) pengikut (11) pemilik (12) penanggung

8

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hal. 1582.


(18)

7

jawab, kepala, pimpinan (13) putra mahkota (14) wali yang diwasiatkan (15) pengasuh anak yatim (16) yang dermawan.9

Dalam kajiannya kata Wali dan Auliya di dalam al-Qur’an terdapat 88 kata.

10

Dan tidak semua kata Wali dan Auliya diterjemahkan dengan pemimpin.

B.Perumusan dan Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, Penulis memfokuskan diri pada polisemi kata Wali dan Auliya dalam al-Qur’an dan menggunakan kajian komparatif antara terjemahan Hamka dengan terjemahan Quraish Shihab. Oleh karena itu, rumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Apa saja arti dari kata wali dan auliya yang ada di dalam al-Qur’an, dan apakah memiliki arti yang berbeda-beda?

2. Bagaimanakah Hamka dan Quraish Shihab menerjemahkan kata wali dan auliya dalam Qur’an dan apakah terdapat perbedaan antara terjemahan keduanya?

9

Atabik Ali, Al-„Arsy Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Mulya Karya Grafika, 1998), hal. 2040.

10

Muhamad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam Al-Mufahras Li Al-Fadz Al- Qur‟an Al- Karim, (Turki: Maktabah al-Islamiyah, 1984), hal. 766-767


(19)

8

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui kata wali dan auliya diartikan apa saja, dan untuk membuktikan bahwa kata wali dan auliya memiliki makna lebih dari satu.

b. Untuk mengetahui hasil terjemahan kata wali dan auliya versi Hamka dan Quraish Shihab.

c. Untuk mengetahui dimana saja letak perbedaan dan persamaan dari terjemahan keduanya.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah dapat mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan terjemahan kata Auliya karya Hamka dan terjemahan karya M. Quraish Shihab. Sedangkan, manfaat penelitian ini secara praktisnya adalah memberikan kontribusi di dalam dunia penerjemahan karena dengan penelitian ini dapat menyumbangkan pengetahuan baru dalam dunia penerjemahan.

D.Metodologi Penelitian

Dalam memperoleh data penulis melakukan kajian yang bersifat pustaka (Library Research), yaitu mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan penelitian. Sedangkan, metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif analisis komparatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai polisemi dalam bahasa Arab dan persoalannya dalam penerjemahan bahasa Indonesia, penelitian deskriptif ini bertujuan untuk membuat deskripsi,


(20)

9

gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan melakukan analisis semantik kognitif.

Penelitian ini mengambil studi kasus dengan melakukan penelitian secara mendalam terhadap objek penelitian yang dipilih, dalam hal ini mengenai studi kasus penerjemahan kata auliya oleh Hamka dan Quraish Shihab. Seperti yang dikemukakan oleh Maxifield (1930) yang dikutip dari buku metode penelitian karangan Moh. Nasir mengatakan bahwa studi kasus, atau penelitian kasus, adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan satu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas.

Data didapat oleh penulis dari sumber buku hasil terjemahan Hamka dan Quraish Shihab. Sedangkan perincian data yang dilakukan adalah dengan langkah-langkah membaca dan menelaah. Dalam penelitian ini yang pertama kali dilakukan oleh penulis adalah mencari kata wali dan auliya yang terdapat dalam al-Qur’an agar penulis lebih mudah lagi menemukan kata wali dan auliya maka penulis membaca kitab mu’jam al-mufahras, dan kemudian melihat terjemahan Hamka dan Quraish Shihab, dan data diolah secara perlahan kemudian menganalisis makna tersebut dan membandingkan hasil terjemahan dari kedua buku terjemahan yang berbeda penerjemahnya.

Dalam penulisan skripsi ini, peneliti mengacu pada sumber-sumber sekunder berupa buku-buku semantik, kamus-kamus Arab, buku-buku terjemahan, tafsir


(21)

10

Al-Azhar karya Hamka, kemudian tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, dan lain-lain.

Adapun dalam penulisan skripsi ini, Penulis mengacu pada buku "Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)" yang diterbitkan oleh Center for Quality Development and Assurance (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press 2007).

E.Tinjauan Pustaka

Berdasarkan tinjauan penelitian terhadap buku-buku, skripsi, dan tesis yang pernah diteliti bahwa penelitian yang sama baru diteliti oleh satu orang yaitu Firmansyah dengan judul skripsi yaitu Analisis Polisemi dalam al-Qur’an Studi Kasus Terjemahan Kata Al-sa’ah. Alasan Penulis memilih judul ini, dikarenakan rasa keingintahuan yang mendalam tentang penerjemahan karya Hamka dan M. Quraish Shihab.

Penulis juga merujuk pada buku-buku ataupun bahan bacaan lain yang dapat di jadikan acuan serta data yang dapat ditemukan atau buku yang terkait dengan pembahasan yang Penulis teliti, Leksikologi Bahasa Arab karangan H.R. Taufiqurrahman, M.A, Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna karangan T. Fatimah Djajasudarma, Pengantar Semantik karya Stephen Ullmann, dan lain sebagainya. Penulis mengambil referensi tersebut karena buku-buku tersebut banyak terdapat pembahasan-pembahasan yang Penulis perlukan sebagai penunjang skripsi.


(22)

11

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan lebih terarah dan sistematis, maka langkah yang Penulis lakukan adalah sebagai berikut:

Pada Bab I merupakan pendahuluan dari bab-bab yang selanjutnya, dalam bab ini berisi Latar Belakang Masalah, kemudian selanjutnya berisi tentang Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan.

Bab II, dalam bab ini Penulis menyajikan Konsep Umum Semantik di dalam konsep umum semantik ini akan dijelaskan definisi dan sejarah semantik, jenis semantik, dan polisemi sebagai fenomena semantik sedangkan, dalam Konsep Umum Penerjemahan al-Qur'an ini pun akan dijelaskan tentang definisi terjemah Qur'an, macam-macam terjemah Qur'an, dan syarat-syarat terjemah al-Qur'an, dan Konsep Umum Polisemi

Bab III, Biografi Kedua Penerjemah, berisikan keseluruhan biografi Hamka dan Quraish Shihab.

Bab IV, Analisis Polisemi Kata Wali dan Auliya, berisikan Unsur Persamaan Kedua terjemahan, Unsur Perbedaan kedua terjemahan.


(23)

12

BAB II

KERANGKA TEORI

A.Konsep Umum Semantik

Makna merupakan objek dari ilmu semantik. Makna berada diseluruh atau disemua tataran yang membangun kalimat; satuan kalimat dibangun oleh klausa; satuan klausa dibangun oleh frase; satuan frase dibangun oleh kata; satuan kata dibangun oleh morfem; satuan morferm dibangun oleh fon (bunyi). Makna berada di tataran fonologi, morfologi dan sintaksis. Oleh karena itu, semantik merupakan unsur yang berada pada semua tataran, meskipun sifat pada setiap kehadirannya di dalam tataran tidak sama. Sebagai disiplin ilmu bahasa, semantik banyak memberikan manfaat dalam kehidupan. Semantik lebih menitikberatkan pada bidang makna dengan berpegang teguh pada acuan dan bentuk. Acuan dapat bersifat kongret dan abstrak. Ilmu ini merefleksikan bidang ilmu masing-masing. Bagi seorang yang bergelut dimedia cetak dan elektronik, kajian ilmu ini akan digunakan karena bekerja di bidang ini selalu berhubungan dengan teks-teks yang berhubungan dengan daftar pustaka.11 Namun, sebelum Penulis membicarakan persoalan ini lebih rinci lagi, penulis akan memaparkan hal-hal yang diperlihatkan sebagai berikut:

11

Siti Kurratul’aini, Analisis Semantik Terhadap Terjemahan al-Qur‟an Juz 30, (Surat al-Qadar, al-Alaq, al- Ikhlash) Studi Komparatif antara Terjemahan Hamka dan Mahmud Yunus, (skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), hal. 33


(24)

13

1. Definisi dan Sejarah Semantik

Kata semantik berasal dari bahasa Yunani seme (kata benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan’. Menurut Verhaar semantik adalah cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti (dalam linguistik kedua istilah itu lazimnya tidak dibedakan).12 Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunkan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditanda-tandainya. Oleh karena itu, semantik dapat diartikan dengan ilmu arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatikal dan semantik.

Istilah semantik baru muncul pada tahun 1894 M yang dikenal melalui American Philological Association (Organisasi Filologi Amerika) dalam sebuah artikel yang berjudul Reflected Meaning: A Point in Semantics. Istilah semantik berpadanan dengan kata semantique dalam bahasa Perancis yang diserap dari bahasa Yunani dan diperkenalkan oleh M. Breal.13 Istilah ini sudah ada sejak abad ke-17 SM bila dipertimbangkan melalui frase Semantic Philosophy.14 Breal melalui artikelnya yang berjudul “Le Lois Intellectuelles du Langage” mengungkapkan istilah semantik sebagai bidang baru dalam keilmuan.

Semantik adalah penelitian makna kata dalam bahasa tertentu menurut sistem penggolongan. Fatimah mengemukakan pendapatnya bahwa semantik adalah ilmu

12

J.W.M.Verhaar, Pengantar Linguistik, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1995), cet. Ke-20, hal. 9

13

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-2, hal. 3

14

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, (Bandung: Refika Aditama, 1999), hal.1


(25)

14

makna, membicarakan makna, bagaimana mula adanya makna sesuatu, bagaimana perkembangannya, dan mengapa terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa.

Semantik pun dapat menampilkan sesuatu yang abstrak, dan apa yang ditampilkan oleh semantik hanya sekedar membayangkan kehidupan mental pemakai bahasa. Semantik ada hubungannya dengan sejarah, melibatkan sejarah pemakaian bahasa (masyarakat bahasa).15

Gagasan-gagasan orang Yunani-Romawi tentang kata dan penggunaannya jelas mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap semantik modern, akan tetapi tonggak pengerak atas munculnya sebuah ilmu tentang makna itu datang dari mana-mana. Munculnya ilmu ini pada pertengahan abad ke-19 dan setidaknya ditentukan oleh dua faktor. Pertama, munculnya ilmu filologi perbandingan, dan lebih umum lagi munculnya ilmu linguistik dalam arti modern. Faktor kedua adalah pengaruh gerakan Romantik dalam sastra.16

2. Jenis Semantik

Pada abad kelima seorang filosof dari Neo-Platonis yaitu Proclus, melakukan survai terhadap keseluruhan yang terdapat di dalam perubahan makna dan membeda-bedakannya menjadi beberapa tipe dasar perubahan. Perubahan itu meliputi, perubahan kultural, metafora, perluasan dan penyempitan makna dan yang lainnya yang masih merupakan bagian semantik modern masa kini. Minat para ahli pada zaman kuno tentang kata tidaklah terbatas pada perubahan makna

15

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, (Bandung: Refika Aditama, 1999), hal.14

16


(26)

15

saja. Mereka juga melakukan pengamatan yang tepat mengenai tingkah laku kata– kata dalam tutur yang sebenarnya. Sedangkan, Demokritus dengan jelas melihat adanya dua jenis makna-jamak: ada sebuah kata yang mempunyai makna lebih dari satu dan sekarang sering disebut dengan polisemi, dan sebaliknya, ada lebih dari satu kata untuk satu gagasan atau makna dan sekarang sering disebut dengan

sinonimi.17

Bila kita mengkaji semantik maka sudah barang tentu kita akan menemukan jenis semantik yang sangat beragam. Namun untuk memudahkan pembahasan, penulis akan menjelaskan dua model semantik yang kerap digunakan dalam kajian ilmu bahasa. Pertama semantik leksikal, jenis semantik ini lazim digunakan dalam ilmu semantik untuk menyebutkan satuan bahasa bermakna dan merupakan kajian semantik yang lebih memuaskan pada pembahasan sistem makna yang terdapat dalam kata. Verhaar (1983:9) berkata, “Perbedaan antara leksikon dan gramatikal menyebabkan bahwa dalam semantik kita bedakan pula antara semantik leksikal dan semantik gramatikal.18 Kedua, semantik gramatikal, semantik gramatikal merupakan studi semantik yang khusus mengkaji makna yang terdapat dalam satuan kalimat. Semantik gramatikal jauh lebih sulit untuk dianalisis.19

17

Stephen Ullmann, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 3.

18

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-2, hal. 74

19


(27)

16

B.Polisemi Sebagai Fenomena Semantik

1. Pengertian Polisemi

Polisemi merupakan suatu unsur fundamental di dalam tutur manusia yang dapat muncul dalam berbagai cara, salah satunya adalah faktor dari bahasa asing. Kata “polisemi” berasal dari bahasa Inggris, yaitu polysemy, yang berarti makna ganda, sebuah kata yang dikelompokan dengan kata lain di dalam klasifikasi yang sama berdasarkan makna yang berbeda.

Penulis mendapatkan beberapa pengertian polisemi dari beberapa linguis, para ahli linguis mempunyai pendapat yang sejalan bahwa, polisemi itu adalah satu kata yang memiliki makna lebih dari satu. Hal tersebut dapat kita simak dari pendapat Lyons yang menyatakan bahwa polisemi (multiple meaning) is a property of a single lexemes. Pateda mengatakan: “it is also the case that same word may have a set of different meanings”; demikian ada juga ada yang mengatakan, “a word which have too (or more) related meanings” adalah polisemi.20 Sementara itu, penulis lokal yaitu Suparno dalam buku Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kerja Kependidikan bahwa polisemi secara harfiah berarti banyak makna. Polisemi sebagai istilah berarti bermakna banyaknya suatu kata atau tanda bahasa dengan catatan makna yang banyak itu memiliki banyak hubungan antara satu dengan yang lainnya. Polisemi juga merupakan satu ujaran dalam bentuk kata-kata yang mempunyai makna

20

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, (Bandung: Refika Aditama, 1999), hal. 45


(28)

17

beda, tetapi masih ada hubungan dan kaitannya antara makna-makna yang berlainan tersebut, maksudnya masih ada dalam satu bidang.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa polisemi adalah leksem yang mengandung makna ganda. Karena kegandaan makna seperti itulah maka pendengar atau pembaca ragu-ragu menafsirkan makna leksem atau kalimat yang didengar atau dibacanya. Untuk menghindari kesalahpahaman sudah barang tentu saja kita harus melihat terlebih dahulu konteks kalimatnya, atau kita bisa bertanya lagi kepada si pembicara, apakah yang ia maksud.

Pengertian polisemi bertumpang tindih dengan pengertian homonimi, yaitu kesamaan kata-kata yang berbeda.21 Homonimi dan polisemi tumbuh oleh faktor kesejarahan dan faktor perluasan makna. Berdasarkan dari pengumpulan data, proses polisemi bukan hanya terjadi pada tataran morfologi itu sendiri, tetapi pada tataran frase dan sintaksis, dalam hal morfologi, polisemi terjadi baik dalam hal pelafalan maupun leksem itu sendiri.

2. Jenis-Jenis Polisemi

Di dalam bukunya Stephen Ullmann menjelaskan bahwasanya polisemi terdiri atas lima jenis, empat di antaranya terletak pada bahasa yang bersangkutan sedangkan yang satu lagi bersangkutan dengan munculnya pengaruh bahasa asing. Maka penulis akan menyebutkan kelima jenis polisemi tersebut berdasarkan pendapat Ullmann di antaranya adalah:

21


(29)

18

1. Pergeseran Penggunaan, pergeseran penggunaan terutama tampak mencolok dalam penggunaan adjektiva karena adjektiva ini cenderung berubah maknanya sesuai nomina yang diterangkan. Sebagian besar kata muncul karena pergeseran penggunaan, walau faktor lain, seperti penggunaan kias, mungkin saja ikut berperan. Pergeseran dalam penggunaan ini merupakan pelaku utama di belakang banayaknya jumlah makna dengan penggunaan kias sebagai suatu faktor penyumbang yang penting. Contoh dalam bahasa Indonesia, verba makan yang semula hanya untuk manusia dan binatang, itu pun dengan cara dan proses yang berbeda-beda, misalnya makan ayam, makan bebek, makan asam garam, makan suap.

2. Spesialisasi dalam Lingkungan Sosial. Breal mengemukakan bahwa “dalam setiap situasi, dalam setiap lingkungan dagang dan profesi, atau suatu gagasan tertentu. Orang dapat menemukan sekian banyak contoh kata-kata yang mempunyai makna umum dalam bahasa sehari-hari dan makna khusus dalam suasana terbatas:maju, jatuh dikalangan mahasiswa;aman, sepi, panen dikalangan perdagangan.

3. Bahasa Figuratif (kiasan), sudah dikemukakan bahwa metafora dan kias-kias lainnya merupakan faktor penting dalam motivasi dan dalam

overtone emotif. Sebuah kata dapat diberi dua atau lebih pengertian yang bersifat figuratif tanpa menghilangkan makna orisinalnya: makna yang lama dan makna yang baru akan tetap berdampingan selama tidak terjadi kekacauan makna. Metafora muncul atas dasar adanya kesamaan-kesamaan bukanlah satu-satunya penyebab polisemi. Metonimi, yang munculnya tidak didasarkan atas kesamaan melainkan didasarkan atas kaitan-kaitan tertentu antara dua buah makna, bisa juga bertindak sebagai metafora. Contohnya, ‘dewan’ tidak hanya menunjuk kepada ‘meja’ untuk siding, melainkann juga untuk orang-orang anggota dewan yang duduk disekitar meja itu.

4. Homonim-Homonim yang Diinterprestasikan Kembali, jika dua kata mempunyai bunyi yang identik dan perbedaan maknanya tidak begitu besar, kita cenderung untuk memandangnya sebagai dua kata dengan dua pengertian. Secara historis, ini adalah masalah homonimi karena dua kata itu berasal dari sumber-sumber yang berbeda. Apa yang dulunya homonimi, kemudian diinterprestasikan sebagai polisemi karena ketidaktahuan aka nasal-usul kata yang berhomonimi itu. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Poerdarminta, homonimi ditunjukan dengan menggunakan angka Romawi besar (I, II, dst,.) sedangkan polisemi ditunjukan dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dst). Angka Romawi ditulis secara berurut secara vertikal, sedangkan angka Arab ditulis secara horizontal.

5. Pengaruh Asing, salah satu masuknya pengaruh asing ke dalam suatu bahasa adalah dengan mengubah makna yang ada dalam suatu kata asli.


(30)

19

Contohnya, taste, misalnya, mempunyai dua makna pokok, yaitu ‘mencicipi rasa sesuatu’ dan ‘kearifan dan penghargaan terhadap keindahan’.22

Di antara lima jenis polisemi yang telah Penulis sebutkan di atas penulis bisa mengatakan bahwa ketiga jenis pertama, yaitu pergeseran penggunaan, spesialisasi makna, dan penggunaan kiasan, adalah jenis-jenis yang paling penting; yang keempat (yaitu interpretasi kembali atas homonim) sangat jarang terjadi, dan yang kelima (peminjaman makna) meskipun cukup umum terjadi dalam situasi-situasi tertentu, bukanlah merupakan proses biasa dalam kehidupan sehari-hari.

Para filosof beramai-ramai mengemukakan bahwa polisemi itu merupakan kelemahan bahasa dan merupakan hambatan besar dalam komunikasi dan bahkan dalam kejelasan pikir. Akan tetapi, Breal melihat bahwa dalam kemultigandaan makna ada suatu tanda keagungan bahasa itu. Polisemi merupakan faktor ekonomi dan fleksibilitas dalam bahasa yang tak ternilai harganya.

Kadang-kadang sangat sulit untuk membedakan antara polisemi dan homonimi. Akan tetapi, hal ini tidak mengherankan karena dua istilah ini berhubungan dengan makna dan sekaligus dengan bentuk. 23

3. Pengertian Homonimi

Dibandingkan dengan polisemi, homonimi tidak begitu sering terjadi dan tidak begitu kompleks, walaupun efeknya mungkin lebih serius dan bahkan lebih

22

Stephen Ullmann, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 202-210.

23


(31)

20

dramatis dalam fenomena semantik. Istilah homonimi (Inggris: homonymy) berasal dari bahasa Yunani Kuno, onoma diartikan nama dan homos diartikan sama. Secara harfiah, homonimi adalah nama sama untuk benda yang berlainan.24 Menurut T. Fatimah Djajasudarma, kata homonimi adalah hubungan makna dan bentuk bila dua buah makna atau lebih dinyatakan dengan sebuah bentuk yang sama (homonimi ‘sama nama’ atau sering disebut juga dengan homofoni ‘sama bunyi’. Sedangkan Kushartanti mengatakan bahwasannya homonimi adalah relasi makna antarkata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda.

25

Seorang ahli linguis lainnya seperti John Lyons mengatakan dalam buku Bahasa dan Linguistik Suatu Pengenalan, mengatakan homonimi adalah pendekatan yang berbeda tetapi mempunyai bentuk yang sama. Sedangkan, menurut Aminuddin dalam buku Semantik Pengantar Studi tentang Makna mengatakan, bahwa homonimi tersebut adalah beberapa kata yang memiliki bentuk ujaran yang sama, tetapi memiliki makna yang berbeda-beda.

Berdasarkan pendapat Ullmann homonimi bisa terjadi disebabkan oleh tiga cara, di antaranya adalah: 26

1. Konvergensi Fonetis

Umumnya homonimi seringkali dijumpai dengan timbulnya konvergensi fonetis (pemusatan atau perpaduan bunyi). Karena pengaruh bunyi yang ada maka dua atau tiga kata yang semula berbeda bentuknya, lalu menjadi sama bunyinya dalam bahasa lisan atau bahkan sampai dengan

24

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 211 25

Kushartanti, Pesona Bahasa; Langkah Awal Memahami Linguistik, ( Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 118

26


(32)

21

bahasa tulisannya. Misalnya, seri bermakna ‘rangkaian’ atau ‘deretan’ dan seri ‘pohon ceri’

2. Divergensi Makna

Perkembangan makna yang “menyebar” (divergen) juga bisa menimbulkan homonimi. Jika dua buah makna atau lebih (polisemi) dari sebuah kata berkembang ke arah yang berbeda, maka di sana tidak akan jelas lagi hubungan antara makna-makna itu, dan kesatuan kata itu menjadi rusak, dan polisemi berubah menjadi homonimi. Dalam beberapa hal ada kriteria yang memadai untuk menentukan homonimi. Perbedaan ejaan mungkin memang tidak pasti dalam menyelesaikan masalah, namun dalam hal ini ada kaitan dengan faktor-faktor lain, hal ini menunjukkan bahwa kata itu sudah tidak lagi dianggap sebagai sebuah satuan. Kriteria lain yang kadang-kadang dapat menentukan homonimi atau bukan homonimi adalah rima. Kriteria semacam ini memang sangat menolong dalam beberapa hal tetapi tetap tidak dapat menyelesaikan masalah seluruhnya. Misalnya, flower bermakna ‘bunga’ dan flour ‘tepung’.27

3. Pengaruh Asing

Banyaknya kata asing yang masuk ke dalam suatu bahasa sangat mungkin menimbulkan homonimi dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa-bahasa lainnya. Pengaruh bahasa asing dapat juga membawa ke arah homonimi lewat peminjaman makna (semantic borrowing), ini memang proses yang jarang terjadi. Misalnya, butir ‘barang yang kecil -kecil’ atau ‘kata bantu bilangan’ (sebutir kelapa), sekarang dipakai juga untuk mengacu konsep yang datang dari bahasa Inggris, item ‘butir tes’.

4. Batasan-batasan Antara Polisemi dan Homonimi

Untuk memahami batas antara kasus homonimi dan polisemi atau sebaliknya polisemi dengan homonimi, Palmer, mengungkapkan perlu adanya sejumlah hal yang patut diperhatikan, yakni:

a) Melihat kamus dan memahami etimologinya sebagai pemakai bahasa dapat memahami makna dasar setiap kata yang batas polisemi dan homoniminya rancu. Dengan mengetahui makna dasarnya, diharapkan

27


(33)

22

kita dapat menetapkan apakah bentuk kebahasaan itu termasuk polisemik ataukah homonim. Dengan memahami etimologinya, misalnya pada bentuk lik dan dhe, seseorang akan segera memahami bahwa kedua bentuk itu bukan polisemik melainkan homonim.

b) Memahami konteks pemakainnya. Apabila bentuk kebahasaanya itu digunakan sebagai metafor, misalnya dapat dipastikan bahwa kehadiran maupun makna di dalamnya bukan akibat polisemi maupun homonim, melainkan akibat pemindahan makna yang secara individual dilakukan oleh penutur. Meskipun demikian, patut pula diperhatikan bahwa gaya bahasa individual itu bisa menjadi umum, misalnya: bentuk tanyakan pada rumput yang bergoyang yang secara umum dapat diberi makna “sama sekali tidak tahu”, “tidak mau tahu”, atau “sekedar member tahu” pertanyaan itu tidak lucu. Dalam hal itu, bentuk metaforis telah termasuk ke dalam polisemi.

c) Melihat makna inti atau core of meaning. Apabila bentuk yang semula rancu harus dinamai polisemik atau homonimi dapat ditentukan makna intinya, kedudukan akhirnya dapat ditentukan. Memiliki makna inti berarti polisemik, dan apabila memiliki makna inti berbeda berarti homonimi.

d) Mengkaji hubungan strukrulanya. Dengan melihat bahwa kata syah dan sah memiliki relasi struktural dengan kolokasi yang jauh berbeda, dapat ditentukan bahwa bentuk itu adalah homonim.


(34)

23

5. Perbedaan Antara Homonimi dan Polisemi

Palmer mengemukakan cara untuk membedakan polisemi dari homonimi caranya yaitu:

a) Penelusuran secara etimologis. Misalnya bentuk pupil yang bermakna murid atau mahasiswa yang tidak langsung berhubungan dengan pupil of the eye yang bermakna biji mata, tetapi secara historis dianggap berasal dari bentuk yang sama.

b) Mencari makna ini. Misalnya kata tangan yang biasa dihubungkan dengan bagian anggota badan. Tetapi dalam perkembangannya, terdapat urutan tangan kursi, dan terdapat urutan kaki tangan musuh.

c) Mencari antonimnya. Maksudnya, kalau antonimnya sama, maka kita berhadapan dengan polisemi, dan kalau antonimnya berbeda, kita berhadapan dengan homonimi. Misalnya, kata indah yang dapat digunakan untuk rumah, baju, pemandangan. Antonimi kata indah adalah buruk. Kata buruk dapat digunakan untuk baju, pemandangan. Dengan demikian kata indah bermakna ganda atau polisemi.

d) Alasan formal. Contoh, dalam bahasa Perancis terdapat bentuk poli yang bermakna tingkah laku yang halus, baik yang dihubungkan dengan makna literer, maupun makna kiasan.28

6. Polisemi dan Perubahan Makna

Bahasa mengalami perkembangan, perkembangan bahasa pun mempengaruhi perkembangan makna di dalam perkembangan makna selalu mencakup segala hal tentang makna yang berkembang, berubah, dan bergeser. Dan di dalam hal ini pula, perkembangan meliputi beberapa hal tentang perubahan makna, baik yang meluas, menyempit atau yang bergeser maknanya. Gejala perubahan makna sebagai akibat dari perkembangan makna oleh para pemakai bahasa. Bahasa berkembang sesuai dengan perkembangan pikiran manusia.

28

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-2, hal, 221-222


(35)

24

Seperti yang dinyatakan sebelumnya, ada beberapa faktor yang mengakibatkan sebuah makna akan berubah dari makna aslinya. Semua itu diakibatkan karena adanya perkembangan bahasa. Perubahan makna dengan mudah bisa terjadi karena berbagai faktor-faktor berikut ini, antara lain:

a) Menurut Meillet, bahasa itu dialihkan secara turun-temurun dalam suatu cara yang „tak berkesinambungan‟ dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Sebagian besar dari beberapa linguis menyetujui bahwa ini merupakan salah satu faktor yang sangat penting, meskipun sangat sulit dalam membuktikan bahwa suatu perubahan dapat terjadi hanya dalam bahasa anak-anak.

b) Sumber perubahan makna yang lain adalah kekaburan makna. Berbagai kekaburan makna di antaranya yaitu sifat generik kata, banyaknya aspek dalam kata, kurangnya keakraban, tidak adanya batas makna yang jelas-semua itu mempermudah bergesernya penggunaan.

c) Hilangnya motivasi juga merupakan faktor yang menyebabkan perubahan makna.

d) Adanya polisemi menunjukkan unsur kelenturan dalam bahasa. Tidak ada kata akhir untuk suatu perubahan makna: sebuah kata dapat memperoleh makna baru, atau sejumlah makna baru, tanpa kehilangan makna aslinya. Biasanya polisemi hanya dipakai oleh seseorang pada sebuah konteks.


(36)

25

e) Banyak perubahan makna berasal dari adanya konteks bermakna ambigu (ambiguous contexts) di mana sebuah kata tertentu dipakai dalam dua makna, sementara makna ujaran secara keseluruhan tetap tak terpengaruh.

f) Struktur kosakata merupakan faktor yang paling terpenting dari faktor-faktor yang umum yang menyebabkan perubahan makna terjadi.

7. Sebab-Sebab Perubahan Makna

Perubahan makna bisa disebabkan oleh berbagai sebab; ada yang menyebut tidak kurang dari 31 kemungkinan. Ada sebab-sebab yang mungkin unik untuk suatu kasus, yang hanya bisa dibangun hanya dengan merekonstruksi keseluruhan semua latar belakang sejarahnya, tetapi bisa pula karena sebab-sebab umum. Enam sebab di antaranya yaitu:29

1. Sebab-sebab yang bersifat kebahasaan

Dalam hal ini Breal pernah mengemukakan adanya proses penularan (contagion), dalam arti makna sebuah kata mungkin dialihkan kepada kata yang lain hanya karena kata-kata itu selalu hadir bersama-sama dalam banyak konteks.

2. Sebab-sebab historis

Sering terjadi bahwasannya bahasa itu lebih konservatif daripada peradaban material maupun moral. Objek atau benda, lembaga, gagasan, konsep ilmiah, selalu berubah sepanjang waktu.

3. Sebab-sebab sosial

Sebuah kata semula dipakai dalam arti umum kemudian dipakai dalam bidang khusus, misalnya dipakai dalam istilah perdagangan atau

29

Stephen Ullman, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 251-262


(37)

26

kelompok terbatas yang lain, kata itu cenderung memperoleh makna yang terbatas.

4. Faktor psikologis

Perubahan makna yang secara psikologis lebih menarik adalah yang bersumber pada unsur atau yang berkecendrungan yang berakar dalam jiwa penutur. Dalam studi makna ada dua sebab semacam itu yang ditekankan hanya faktor emotif dan tabu.

5. Pengaruh asing sebagai penyebab perubahan makna; Banyak perubahan makna disebabkan oleh pengaruh suatu model asing.

6. Kebutuhan akan makna baru

Cepatnya kemajuan ilmu dan teknologi masa kini makin meningkatkan tuntutan pada sumber-sumber kebahasaan, dan kemungkinan-kemungkinan metafora dan jenis-jenis perubhan makna yang lain menjadi sangat dieksploatasi.

C.Konsep Umum Terjemahan

1. Definisi Terjemahan

Definisi terjemah secara luas adalah semua kegiatan manusia dalam mengalihkan makna atau pesan baik verbal maupun nonverbal, dari suatu bentuk ke bentuk yang lainnya.30

Eugene A. Nida mendefinisikan penerjemahan sebagai kegiatan menghasilkan kemsbali di dalam bahasa penerima barang yang sedekat-dekatnya dan sewajarnya, sepadan dengan pesan dalam bahasa sumber, pertama-tama menyangkut maknanya dan kedua menyangkut gayanya.31

30

Suhendra Yusuf, Teori Terjemah; Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik, (Bandung : TPA, 1994), cet. I, hal. 8

31


(38)

27

Savory (1968) mengemukakan hakikat penerjemahan di dalam bukunya The Art of Translation dengan menerjemahkan menjadi mungkin dengan adanya gagasan yang sepadan dibalik ungkapan verbal yang berbeda.

Newmark, seperti yang dikutip oleh Rochyah Machali, mengatakan, bahwa yang dimaksud dari penerjemahan adalah rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text. “Menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang”.32

J. Levy, agak berlainan dari Newmark dalam menyatakan definisi penerjemahan. Yang ia tonjolkan adalah terjemah sebagai salah satu keterampilan, di mana kejelasan dari penerjemah tampak tercermin dalam opininya. Dalam bukunya Translation as A Decision Process, seperti yang dikutip Nurrachman Hanafi, menyatakan translation is a creative process with always leaves the translater a freedom of choice between several approximately equivalent possibilities of realizing situational meaning. “Terjemahan merupakan proses kreatif yang memberikan kebebasan bagi penerjemah buat memilih padanan yang dekat dalam mengungkapkan makna yang sesuai dengan situasi”.33

Az-Zarqani mengemukakan bahwa secara etimologi istilah terjemah memiliki empat makna: (a) menyampaikan tuturan kepada orang yang tidak menerima tuturan itu. (b) menjelaskan tuturan dengan bahasa yang sama, misalnya bahasa

32

Rochyah Machali, Pedoman Bagi Penerjemahan, (Jakarta: PT. Grasindo, 2000), cet. Ke-1, hal.5

33

Nurrachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan, (Flores: Nusa Indah, 1986), cet. Ke-1, hal.24


(39)

28

Arab dijelaskan dengan bahasa Arab atau bahasa Indonesia dijelaskan dengan bahasa Indonesia pula. (c) menafsirkan tuturan dengan bahasa yang berbeda, misalnya bahasa Arab dijelaskan dengan bahasa Indonesia atau sebaliknya. (d) memindahkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain, seperti mengalihkan bahasa Arab ke bahasa Indonesia, karena itu penerjemah disebut pula pengalih bahasa.34

Berdasarkan penjelasan di atas, definisi-definisi tersebut, memperlihatkan adanya satu karakteristik yang menyatukan kelima makna terjemahan tersebut, yaitu bahwa menerjemahkan berarti menjelaskan dan menerangkan tuturan, baik penjelasan itu sama dengan tuturan yang dijelaskannya maupun berbeda.

2. Jenis-jenis Terjemahan

Istilah metode berasal dari bahasa Inggris yaitu method. Dalam Macquarie Dictionary (1982), metode didefinisikan sebagai:“Way of doing something, especially in accordance with a definitc plan” atau suatu cara untuk melakukan sesuatu, terutama yang berkaitan dengan rencana (tertentu).35

Ada beberapa metode dan jenis terjemahan yang diterapkan dalam praktik menerjemahkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:

a. Adanya perbedaan beberapa sistem antara beberapa bahasa sumber dan bahasa sasaran.

b. Adanya perbedaan jenis materi teks yang diterjemahkan.

34

Shihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia : Teori dan Praktek, (Bandung: Humaniora, 2005), cet. Ke-1, hal. 8

35


(40)

29

c. Adanya anggapan bahwa terjemahan adalah alat komunikasi. d. Adanya perbedaan tujuan dalam menerjemahkan suatu teks.

Dalam proses menerjemahkan yang sesungguhnya, keempat faktor tersebut tidak selalu berdiri sendiri, dalam artian bahwa ada kemungkinan seseorang penerjemah menetapkan dua jenis atau tiga jenis penerjemahan sekaligus dalam proses penerjemahan sebuah teks.36

Pada umumnya terjemahan terbagi atas dua bagian besar: terjemahan harfiah (literal translation) dan terjemahan yang tidak harfiah atau bebas (non-literal translation dan free translation).

3. Prinsip-prinsip Terjemahan

Para ahli tejemah memberikan prinsip-prinsip dasar bagi seorang penerjemah secara berbeda, namun penulis lebih cenderung memilih pendapat Ian Finlay, seperti yang dikutip Suhendra Yusuf, sebagai landasan teoritis karena pendapatnya lebih komperehensif dibandingkan dengan yang lain. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

a. Memiliki pengetahuan bahasa sumber yang sempurna dan up-to date. b. Mengetahui terminologi padanan terjemahan di dalam bahasa sasaran. c. Berkemampuan mengekspresikan, mengapresiasikan, merasakan gaya,

irama, nuansa dan register kedua bahasa sumber dan bahasa sasaran. Hal

36

M. Rudolf, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1949) cet. Ke-1, hal. 29


(41)

30

demikian akan sangat membantu menciptakan mood atau keadaan yang diinginkan penulis aslinya. 37

Keempat prinsip tersebut penulis anggap sudah mewakili prinsip-prinsip penerjemahan yang ditawarkan oleh para pakar lainnya. Karena tanpa pengetahuan yang terdepan seorang penerjemah akan menghadapi kesulitan dalam memahami objek-objek terjemah apalagi bila objek itu merupakan studi-studi baru. Namun begitu, walau seorang penerjemah memiliki banyak pengetahuan tetapi tidak memahami objek terjemahannnya juga akan mustahil terjadi proses penerjemahan. Ditambah lagi, apalagi ia mengetahui padanan terminologi-terminologi objek penerjemahannya maka hasil terjemahannya semakin sempurna. Akhirnya, walau seorang penerjemah memiliki ketiga prinsip penerjemahan sebelumnya, tapi ia tidak mampu mengapresiasikannya dalam bentuk tulisan (terjemahan) maka semua kerja kerasnya juga akan sia-sia. Itulah kiranya yang dibutuhkan seorang penerjemah dalam proses menerjemahkan.

D.Penerjemahan al-Qur’an

1. Definisi penerjemahan al-Qur’an

Secara harfiah, terjemah berarti menyalin atau memindahkan sesuatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa lain.38

37

Suhendra Yusuf, Teori Terjemahan Pengantar ke Arah Pendekatan linguistik dan Sosiolinguistik, (Bandung: Mandar Maju, 1994), cet. Ke-1, hal. 66

38

Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 938


(42)

31

Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, kata terjemah digunakan untuk dua macam pengertian yaitu:

a. Mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari satu bahasa ke bahasa lain, tanpa menerangkan makna bahasa yang diterjemahkan. b. Menafsirkan suatu pembicaraan dengan menerangkan maksud yang

terkandung di dalamnya, dengan menggunakan bahasa lain.

Apa yang telah diungkapkan di atas dapat disimpulkan bahwa terjemah adalah memindahkan bahasa sumber kebahasa sasaran dengan memperhatikan maksud yang terkandung di dalam bahasa sumber atau dengan kata lain mengalih bahasakan serangkaina pembicaraan dari bahasa satu ke bahasa lainnya, dengan tujuan memahami maksud yang terkandung di dalam bahasa asal.

Pada intinya, pengertian terjemahan al-Qur’an sama dengan terjemahan secara umum. Namun, dalam menerjemahkan al-Qur’an, penerjemah hendaknya menguasai ilmu yang berkaitan dengan ‘Ulumul Qur’an.

Terjemah al-Qur’an yakni memindahkan, menginterprestasikan al-Qur’an dari bahasa sumber, yaitu bahasa Arab, kepada bahasa sasaran, yaitu bahasa yang bukan bahasa Arab dan mencetak terjemahan ini ke dalam beberapa naskah agar dapat dibaca oleh orang yang tidak mengerti bahasa Arab sehingga ia dapat memahami maksud kitab Allah SWT dengan perantara terjemah ini.39

39

Mohammad Aly Ash Shabuny, Pengantar Study al-Qur‟an, (Bandung : At-Tibyan


(43)

32

2. Syarat Penerjemahan al-Qur’an

Seorang penerjemah yang ingin memahami sebuah ilmu terdahulu ia harus mempelajari ilmu itu sedetail mungkin, sampai ia menuju pada tingkat ahli dalam disiplin ilmu yang diinginkan. Al-Qur’an adalah tugas suci dan ilmiah yang sangat berat, karena yang diterjemahkan adalah al-Qur’an. Dengan begitu ada beberapa ulama yang tidak menerjemahkan al-Qur’an, mengapa?. Sebab, kekhawatiran mereka sebenarnya merupakan sikap kehati-hatian dan suatu rasa tanggung jawab terhadap kitab sucinya dari penyelewengan yang tidak diinginkan.

Hal ini menghasilkan keanekaragaman penerjemahan maupun penafsiran. Bahkan orang terdekat nabi (sahabat) sering berbeda pendapat dalam menerjemahkan dan menafsirkan serta menangkap firman-eirman Allah SWT.40

Kegiatan menerjemah, apalagi menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Asing, bukan merupakan perbuatan mudah yang dilakukan oleh sembarangan orang kecuali orang-orang yang berminat dan berbakat untuk menjadi seorang penerjemah. Untuk menerjemahkan al-Qur’an dalam bahasa-bahasa lain, maka penulis menyamakan kedudukan seorang mutarjim dengan seorang mufasir, sehingga harus memenuhi beberapa syarat yang sama dengan seoranf mufasir yaitu sebagai berikut:

a. Penerjemah dan penafsir haruslah seorang muslim, sehingga keIslamannya dapat dipertanggungjawabkan.

40


(44)

33

b. Penerjemah dan penafsir haruslah memiliki itikad yang benar dan mematuhi segala ajaran agama.

c. Penerjemah dan penafsir haruslah seorang yang adil dan tsiqah. Karenanya, seorang fasik tidak diperkenankan menerjemahkan al-Qur’an. d. Penerjemah dan penafsir haruslah menguasai bahasa sasaran dengan teknik

penyusunan kata. Ia harus mampu menulis ke dalam bahasa sasaran yang baik.

e. Penerjemah dan penafsir haruslah berpegang teguh pada prinsip-prinsip penafsiran al-Qur’an dan memiliki kriteria sebagai mufasir, karena penerjemah pada hakikatnya adalah seorang mufasir.

f. Penerjemah dan penafsir haruslah menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan dalam penafsiran dan penerjemahan yaitu :

1. Ilmu bahasa Arab (menguasai mufradat/kosakata) 2. Ilmu Nahwu (tata bahasa Arab)

3. Ilmu Sharaf (bentuk kosa kata) 4. Ilmu al-Isytiqaq (asal-usul kosakata) 5. Ilmu Balaghah

6. Ilmu Qira‟ah 7. Ilmu Ushuludin 8. Ilmu Ushul Fiqh 9. Ilmu Asbabul Nuzul 10. Ilmu Fiqh


(45)

34 11. Ilmu Hadits

12. Ilmu al-Mauhibah

13. An-Nasikh dan al-Mansukh41

Sedangkan menurut Hamka, persyaratan dari penafsir adalah:

a) Mengetahui bahasa Arab dengan pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan, supaya dapat mencapai makna sejelas-jelasnya. b) Jangan menyalahi dasar yang diterima dari Nabi Muhammad SAW. c) Jangan berkeras urat leher, mempertahankan satu mazhab pendirian, lalu

dibelok-belokkan maksud ayat yang dipertahankan. d) Niscaya ahli pula dalam bahasa tempat dia ditafsirkan.42

3. Metode penerjemahan al-Qur’an

Penerjemahan itu berarti memindahkan suatu masalah dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain, maka teks yang sudah diterjemahkan itu bersifat penafsiran atau penjelasan. Karenanya, ketika kita menerjemahkan ke dalam bahasa yang dituju, kita harus terlebih dahulu memilih artikulasi yang akurat untuk memperoleh pemahaman yang akurat seperti yang diinginkan oleh bahasa aslinya. Hal ini dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:

a. Penerjemahan tekstual adalah menerjemahkan setiap kata dari bahasa aslinya ke dalam kata dari bahasa penerjemah. Dalam terjemahan seperti

41

Abd. Al-Hayy, al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟iy, Ter. Suryan A. Jamrah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 7-10

42


(46)

35

ini sangat sulit sekali, karena menemukan kata-kata yang sama, dengan kriteria-kriteria yang sama dalam dua bahasa asli merupakan pekerjaan yang tidak mudah.

b. Penerjemahan bebas dalam metode ini, penerjemah berusaha memindahkan suatu makna dari suatu wadah ke wadah yang lain, dengan tujuan mencerminkan makna awal dengan sempurna.

c. Penerjemahan dengan metode penafsiran, metode ini menjelaskan dan menguarikan masalah yang tercantum dalam bahasa asli dengan menggunakan bahasa yang dikehendaki. Penerjemahan dengan metode tekstual sama sekali tidak bagus, karena tidak mungkin digunakan dalam pembahasan panjang.


(47)

36

BAB III

BIOGRAFI HAMKA DAN QURAISH SHIHAB

A.Mengenal Sosok Mufasir Hamka

1. Riwayat Hidup Hamka dan Aktivitas Keilmuan

Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Panggilan kecilnya adalah Abdul Malik. Ia dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1908 di Manijuratau lebih tepatnya lahir pada tanggal 13 Muharram 1362, di sebuah desa tanah Sirah, di tepi danau Maninjau Sumatra Barat. Ayahnya bernama Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah yang terkenal dengan sebutan Haji Rasul. Dia adalah seorang pelopor gerakan pemuda Minangkabau.43 Beliau diberi sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seorang yang dihormati.

Pada tahun 1916, ketika Zainuddin Labai El-Yunusi mendirikan sekolah Diniyah petang hari di Pasar Usang Padang Panjang, Hamka dimasukkan oleh ayahnya ke sekolah ini. Pada pagi hari, Hamka pergi ke sekolah sekolah desa, sore harinya pergi belajar ke Sekolah Diniyah,44 dan pada malam hari berada di surau bersama teman-teman sebayanya. Inilah putaran kegiatan Hamka sehari-hari ketika ia masih kecil. Putaran kegiatan yang dirasakan oleh Hamka sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, sangat mengekang masa kanak-kanaknya. Kondisi ‘terkekang’ ini kemudian ditambah dengan sikap ayahnya yang

43

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Icthar Baru Van Hoeve, 1993), hal. 75

44

M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2004), cet. Ke-4, hal. 40


(48)

37 ‘otoriter’45

sebagai ulama yang disegani pada waktu itu, berakibat menimbulkan perilaku yang menyimpang46 dalam pertumbuhan Hamka. Itulah sebabnya, ia sebagai seorang ‘anak nakal’. Hal ini dibenarkan oleh A. R. Sutan Mansur, orang yang sangat berpengaruh dalam pribadi Hamka sebagai seorang mubaligh.47

Pada tahun 1918, Hamka dikhitan dan di waktu yang sama, ayahnya kembali dari perlawatan pertamanya ke tanah Jawa. Surau Jembatan Besi, tempat Syekh Abdul Karim Amrullah memberikan pelajaran agama dengan sistem lama, di ubah menjadi madrasah yang kemudian dikenal dengan nama Thawalib School. Dengan cita-cita agar anaknya kelak menjadi ulama seperti dia, ayah Hamka memasukkan Hamka ke dalam Thawalib School, sedangkan disekolah desa Hamka berhenti.

Berbicara tentang Hamka, maka tidak lepas pembicaraan kita tentang latar belakang di mana tokoh tersebut dilahirkan, baik dari kondisi sosial masyarakat ataupun letak geografisnya. Kalau diperhatikan keberhasilan Hamka sebagai seorang yang pandai dan terkenal tidaklah mengherankan, seperti kata pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Seperti itulah Hamka dikenal, Hamka dilahirkan dari keluarga yang memiliki pengetahuan keagamaan yang kuat serta disegani dalam lingkungannya. Kakeknya seorang ulama dan tokoh masyarakat yang dihormati, begitu juga ayahnya yang seorang ulama dan tokoh masyarakat

45

M. Yunan Yusuf, Op. Cit, hal. 40

46

Hamka tumbuh menjadi seorang anak yang nakal, pernah mencuri ayam bersama teman-teman sebayanya, suka berkelahi dan dikenal sebagai anak yang pemberani di kampung

halamannya. Lihat Leon Agusta, “Di Akhir Pementasan yang Rampung,” disebut dalam Nadir

Tamara, Buntaran Sanusi, dan Vincent Jauhari, Hamka di Mata Hati Umat, Sinar Harapan, Jakarta, 1984.

47

Panitia Peringatan Buku 70 tahun Buya Hamka, Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983), hal. xiii


(49)

38

yang memiliki pengetahuan dan pemikiran yang luas. Ini dapat dilihat dari aktifitasnya dalam berbagai organisasi yang diikutinya.

Pada akhir abad ke-19 dan petengahan abad ke-20 Haji Abdul Karim Amrullah (Ayah Hamka) dan ketiga tokoh lainnya antara lain yaitu Syekh Taher Jalalaludin, Syekh Muhammad Jamil Djambek, dan Haji Abdullah Ahmad melepori sebuah gerakan kebangkitan yang dikenal dengan sebutan kaum muda. Gerakan ini ditandai dengan munculnya berbagai publikasi, sekolah serta organisasi yang dikelola secara modern.48

Organisasi ini dikatakan organisasi pemuda, karena alasannya adalah bahwa pendirinya adalah kaum muda. Usia para pendiri ini belum sampai pada usia 40 tahun. Ayah Hamka sendiri, Tuan Rasul, usianya waktu itu kira-kira baru 30 tahun. Sedangkan ulama-ulama yang mempertahankan tarikat di tanah tersebut, kebanyakan mereka berusia 40-50 tahun dan relatif dibilang para golongan tua.

Pada tahun 1941, ayahnya diasingkan Belanda ke Sukabumi karena fatwa-fatwanya dianggap mengganggu keamanan dan keselamatan umum. Dan akhirnya ayahnya meninggal di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1945, tepatnya dua bulan sebelum Proklamasi. Ibunya bernama Siti Safiyah dan ayah dari ibunya bernama Gelanggang gelar Bagindo nan Batuah. Dikala mudanya terkenal sebagai guru tari, nyanyian dan pecak silat.

48

M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2004), cet. Ke-4, hal. 32


(50)

39

Ketika Hamka berusia 21 tahun, setelah kembali dari perjalanan ke Mekkah, ia dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang perempuan bernama Siti Raham yang berusia 15 tahun pada tanggal 5 April 1969 di Jakarta.

2. Karya-Karya Hamka

Hamka adalah pengarang yang paling banyak tulisannya tentang agama Islam. Hamka memang termasuk penulis yang produktif, yang jumlah karyanya sangat banyak dan selalu bernafaskan Islam. Banyak sastrawan lain yang jumlah karyanya cukup banyak, tetapi Hamkalah yang paling banyak. Haruslah kita ingat banyak penulis lain yang juga Islam, tetapi khasnya tidaklah berbentuk karya sastra.

Untuk lebih mengetahui berapa banyak buku yang dikarangnya, kita usahakan untuk menghitungnya berdasarkan judul-judul buku yang pernah ditulisnya, antara lain:

1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3, ditulis dalam huruf Arab. 2. Si Sabariah (1928).

3. Pembela Islam (Tarikh Sayidina Abu Bakar Shidiq), 1929. 4. Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929).

5. Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929). 6. Kepentingan Melakukan Tabligh (1929). 7. Hikmat Isra‟ dan Mikraj

8. Arkanul Islam (1932), di Makassar. 9. Laila Majnun (1932), Balai Pustaka.


(51)

40

10.Majallah Tentera (4 Nomor), 1932, di Makassar. 11.Majallah Al-Mahdi (9 Nomor), 1932, di Makassar. 12.Mati Mengandung Malu (Salinan Al-Manfaluthi), 1934.

13.Di Bawah Lindungan Ka‟bah (1936), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.

14.Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.

15.Di Dalam Lembah Kehidupan, 1939, Pedoman Masyrakat, Balai Pustaka.

16.Merantau ke Deli, 1940, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka. 17.Margaretta Gauthier (Terjemahan), 1940.

18.Tuan Direktur, 1939.

19.Dijemput Mamaknya, 1939. 20.Keadilan Ilahy, 1939. 21.Tashawwuf Modern, 1939. 22.Falsafah Hidup, 1939. 23.Lembaga Hidup, 1940. 24.Lembaga Budi, 1940.

25.Majallah Semangat Islam (Zaman Jepun, 1943).

26.Majallah Menara (terbit di Padang Panjang), sesudah Revolusi 1946.

27.Negara Islam, 1946.


(52)

41 29.Revolusi Pikiran, 1946. 30.Revolusi Agama, 1946.

31.Adat Minagkabau Menghadapi Revolusi, 1946. 32.Dibandingkan Ombak Masyarakat, 1946. 33.Di Dalam Lembah Cita-Cita, 1946. 34.Sesudah Naskah Renville, 1947.

35.Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, 1947.

36.Menunggu Beduk Berbunyi, 1949, di Bukit Tinggi, sedang Konperansi Meja Bundar.

37.Ayahku, 1950, di Jakarta.

38.Mandi Cahaya di Tanah Suci, 1950. 39.Mengembara Di Lembah Nyl, 1950. 40.Ditepi Sungai Dajlah, 1950.

41.Kenang-Kenangan Hidup 1, autobiografi sejak lahir 1908 sampai pada 1950.

42.Kenang-Kenangan Hidup 2. 43.Kenang-Kenangan Hidup 3. 44.Kenang-Kenangan Hidup 4.

45.Sejarah Ummat Islam, Jilid 1, ditulis tahun 1938, diangsur sampai 1950.

46.Sejarah Ummat Islam, Jilid 2. 47.Sejarah Ummat Islam, Jilid 3. 48.Sejarah Ummat Islam, Jilid 4.


(53)

42

49.Pedoman Mubaligh Islam, Cetakan 1 1937; Cetakan ke-2 tahun 1950.

50.Pribadi, 1950.

51.Agama dan Perempuan, 1939.

52.Muhammadiyyah Melalui 3 Zaman, 1946, di Padang Panjang. 53.1001 Soal Hidup, (Kumpulan karangan dari pedoman masyarakat,

dibukukan 1950).

54.Pelajaran Agama Islam, 1956

55.Perkembangan Tashawwuf dari Abad Ke Abad, 1952 56.Empat Bulan di Amerika, 1953, jilid 1

57.Empat Bulan di Amerika, jilid 2

58.“Pengaruh Ajaran Muhammad Abduh di Indonesia” (pidato di Kairo, 1958), untuk Doktor Honoris Causa

59.Soal Jawab, 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM

60.Dari Perbendaharaan Lama, 1963, dicetak oleh M. Arbie Medan 61.Lembaga Hikmat, 1953, Bulan Bintang, Jakarta.

62.Islam dan Kebatinan, 1972, Bulan Bintang. 63.Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970

64.Sayid Jamaluddin Al-Afhany, 1965, Bulan Bintang

65.Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang 66.Hak Asasi Manusia Dipandang Dari Segi Islam, 1968 67.Falsafah Ideologi Islam, 1950 (sekembali dari Mekkah)


(54)

43

68.Keadilan Sosial Dalam Islam, 1950 (sekembali dari Mekkah) 69.“Cita-Cita Kenegaraan dalam Ajaran Islam,” kuliah umum

Universiti Keristen, 1970.

70.Studi Islam, 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat, 71.Himpunan Khutbah-Khutbah.

72.Urat Tunggang Pancasila.

73.Doa-Doa Rasulullah S.A.W, 1974. 74.Sejarah Islam di Sumatera.

75.Bohong di Dunia

76.Muhammadiyyah di Minangkabau, 1975, (menyambut Kongres Muhammadiyyah di Padang).

77.Pandangan Hidup Muslim, 1960.

78.Kedudukan Perempuan dalam Islam, 1973.

79.Tafsir Al-Azhar, Juzu 1-30, ditulis pada masa beliau dipenjara oleh Soekarno.

3. Aktifitas Lainnya

a) Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat dari tahun 1936 sampai 1942.

b) Memimpin Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1956.

c) Memimpin Majalah Mimbar Agama, Departemen Agama, 1950-1953.


(55)

44

4. Metode Penerjemahan Hamka

Al-qur’an sebagai sebuah teks telah memungkinkan banyak orang untuk melihat makna yang berbeda-beda di dalamnya. Dengan berbagai metedologi yang disuguhkan, para mufasir kerap terlihat mempunyai corak sendiri yang sangat menarik untuk ditelusuri. Dari mulai menafsirkan kata perkata dalam setiap ayat sampai menyambungkannya dengan masalah fikih, politik, ekonomi, tasawuf, sastra, kalam, dan lainnya.

Dalam buku karya Yunan Yusuf yang berjudul Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar diuraikan tentang pengaruh pemikiran kalam atas tafsir al-Qur’an. M. Quraish Shihab dalam pengantar buku ini memuji langkah yang diambil Yunan sebagai sebuah studi baru dan langkah di tanah air yang diharapkan bisa meningkatkan apresiasi atas tafsir al-Qur’an dalam hubungannya dengan minat mengkaji dan mendalami al-Qur’an.

Pandangan ini setidaknya terlihat dari kesimpulan yang diambil oleh Yunan bahwa Hamka dalam beberapa tafsirannya atas ayat terkesan sebagai pemikir kalam rasional-untuk tidak mengatakan cenderung Mu’tazilah yang member tekanan kuat pada kemerdekaan manusia dalam berkehendak dan berbuat. Sikap teologis ini melahirkan semangat kerja keras dan tidak mau menyerah pada keadaan dalam diri Hamka, sehingga mematri kredo hidupnya dengan ungkapan “sekali berbakti sesudah itu mati”. Ada beberapa metode yang digunakan Hamka dalam penafsirannya, antara lain:


(56)

45

Pertama, memandang al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang kompherensif, di mana setiap bagian mempunyai keterkaitan dan kesesuaian.

Kedua, menekankan pesan-pesan pokok al-Qur’an dalam memahaminya. Ia berpendapat bahwa salah satu tujuan terpenting penulisan tafsir Fi Zhilal al-Qur‟an adalah merealisasikan pesan-pesan al-Qur’an dalam kehidupan nyata.

Ketiga, menerangkan korelasi (munasabah) antara surat yang ditafsirkan dengan surat yang sebelumnya.

Keempat, sangat hati-hati terhadap cerita-cerita Isra‟iliyat, meninggalkan perbedaan fiqiyah dan tidak mau membahasnya lebih jauh, serta tidak membahas masalah kalam atau filsafat.

Kelima, menjelaskan sebab turunnya ayat yang hanya berfungsi sebagai qarinah, yang ikut membantu dalam memahami makna ayat, tidak sebagaimana umumnya para mufasir yang lebih cenderung berpegang kepada keumuman lafaz daripada kekhususan sebab.

Keenam, memandang al-Qur’an bukan sekedar bacaan atau wahana untuk memperoleh pahala, bukan sekedar rekaman budaya, fiqih, bahasa, atau sejarah. Tetapi, al-Qur’an dalam pandangan Quthub ialah sesuatu yang hidup yang bisa dijadikan panduan untuk memimpin, mendidik, dan menyiapkan manusia menuju kepemimpinan yang benar.

Ketujuh, memperhatikan kondisi sosial.


(57)

46

Kesembilan, menjelaskan surat-surat yang ditafsirkan berdasarkan Makiyyah dan Madaniyyah, serta membandingkan keduanya dari segi karakteristik dan topik-topik yang dibahas.

Menurut Yunan Yusuf, Hamka telah menempuh tiga pendekatan dalam tafsirnya, yaitu pendekatan keindahan bahasa, pendekatan pemikiran, dan pendekatan pergerakan.

Dan berdasarkan hasil pantauan penulis, Hamka dalam menerjemahkan bukunya yang berjudul “Tafsir Al-Azhar” lebih bersifat apa adanya, artinya teks naskah tersebut diterjemahkan sesuai dengan struktur bahasa sumber dan tidak menyimpang dari struktur bahasa sasaran, maka digunakanlah metode penerjemahan harfiyah. Sebaliknya, apabila teks tersebut harus mengalami perubahan struktur bahasa sumber ketika diterjemahkan, maka digunakanlah metode penerjemahan bebas. Bebas di sini bukan berarti penerjemah boleh menerjemahkan sekehendak hatinya sehingga esensi terjemah sendiri itu hilang. Bebas di sini berarti penerjemah dalam menjalankan misinya tidak terlalu terikat oleh bentuk maupun struktur kalimat dengan tujuan agar pesan atau maksud penulis naskah mudah dimengerti oleh pembacanya.


(58)

47

B.Mengenal Sosok Mufasir Quraish Shihab

1. Riwayat Hidup Quraish Shihab dan Aktivitas Keilmuwan

Pada saat ini bisa dikatakan cendikiawan muslim yang sangat mendalam ilmunya dalam studi-studi ilmu-ilmu al-Qur’annya (tafsir) di Indonesia adalah Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab. Dengan kedalaman, keluasan, dan keluasan ilmunya dibidang tafsir al-Qur’an telah mengangkat namanya menjadi salah satu ikon gerakan pemikiran Islam di Indonesia. Apalagi pendapat atau pandangan-pandangan keagamaan beliau yang moderat, menyebabkan beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan. Sehingga tidak mengherankan, Shihab sebagai posisi penting dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan sampai politik, dari non formal sampai formal. Walaupun tidak bisa dinafikan masi ada beberapa kalangan yang tidak sepakat dengan pendapat-pendapatnya.

Sebagaimana yang telah penulis singgung di atas tadi, Quraish Shihab memiliki pandangan keagamaan yang moderat. Sikap moderat Quraish Shihab yang dimaksud di atas mempunyai pengertian bahwa dia berusaha tidak merendahkan kalangan atau pendapat tertentu, tetapi memberikan apresiasi kepada setiap pendapat yang berbeda. Adapun pendapat yang ia ambil akan ia beri alasan yang jelas kenapa sampai ia mengambil alasan itu. Misalnya saja ketika ia berpendapat tentang bidang keahliannya yaitu tafsir.

Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dilahirkan di Rappang, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944.49 Ia berasal dari keturunan Arab yang terpelajar. Sosok

49

M. Quraish Shihab, Logika Agama; Batas-Batas Akal dan Kedudukan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Lentera Hati, 2005)


(59)

48

Quraish Shihab berperawakan, tegap dan karismatik dengan tinggi 172 cm, berat 69, warna rambut hitam, muka lonjong dan kulit berwarna putih.50

Kini beliau menjabat sebagai Direktur Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) dan Guru Besar Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta. Beliau adalah kakak kandung mantan Menko Kesra pada Kabinet Indonesia Bersatu, Alwi Shihab. Sekarang beliau bersama istri bernama Fatmawati telah dianugerahi lima orang anak, yaitu, Najla, Najwa, Naswa, Ahmad dan Nahla.

Ayahnya Abdurrahman Shihab (1905-1986), seorang guru besar dalam bidang tafsir.51 Abdurrahman sering sekali mengajak Quraish Shihab bersama saudaranya yang lain untuk duduk bareng bercengkrama bersama dan sesekali memberikan petuah-petuah keagamaan. Dari sinilah rupanya mulai cinta dalam diri Quraish Shihab terhadap Studi Al-Qur’an.

Pengkajian terhadap al-Qur’an dan tafsirnya, beliau lebih mendalaminya lagi di Universitas Al-Azhar Kairo, setelah melalui pendidikan dasarnya yaitu SD dan SLTP di Ujung Pandang dan pendidikan menengahnya di Malang (1956-1958) sekaligus menjadi santri di Pondok Pesantren Darul Hadits al-Fiqiyyah, Malang.

Pada tahun 1958, beliau berangkat ke Kairo, Mesir, untuk melanjutkan pendidikan dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Pada tahun 1967, beliau meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits

50

Kusmana, “Membangun Citra” dalam Badri Yatim dan Hasan Nasuhi, (ed), Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam: Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: IAIN Press,2002), cet. Ke-1, hal 245.

51

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2001), Cet. Ke-XXII, hal. 14


(1)

93

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progessif, 1997.

Parera, J. D. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga, 2004.

Pateda, Mansoer. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Rudolf, M. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1949.

Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Shihab, Quraish. Logika Agama, Batas-batas Akal dan Kedudukan Wahyu dalam Islam. Jakarta: Lentera hati, 2005.

Shihab, Quraish. Studi Membumikan Al-Qur‟an. Bandung: Mizan, 2001.

Syihabuddin. Penerjemahan Arab Indonesia: Teori dan Praktek. Bandung: Humaniora, 2005.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Ullmann, Stephen. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.


(2)

94

Widyamartaya, A. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius, 1989.

Yusuf, Suhendra. Teori Terjemah: Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik. Bandung: Mandar Maju, 1994.

Yusuf, Yunan M. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam. Jakarta: Penamadani, 2004.


(3)

A. Terjemahan Makna Wali dan Auliya Versi Hamka dalam Padanan al-Qur’an No Makna Ayat-Ayat Al-Qur’an

1 Pelindung Q.S. Al- An’am: 51

Q.S. Al-‘Araf: 155 dan 196 Q.S. Al-Isra: 97

Q.S Al-Kahfi: 26 dan 102 Q.S At-Taubah: 116 dan 74 Q.S Zumar: 3

Q.S. Fushilat: 31

Q.S Al-Ahzab: 17 dan 65 Q.S Saba: 41

Q.S Yusuf: 101

Q.S Ar-Rad: 16 dan 37 Q.S Hud: 20

Q.S Ali Imran: 112

Q.S An-Nisa: 119,123,dan 173 Q.S Jatsyiyah: 20 dan 16 Q.S As-Syura: 6,8, dan 9 2 Pemimpin Q.S Al-An’am: 14

Q.S Al-‘Araf: 27 dan 30 Q.S Al-Kahfi: 50

Q.S At-Taubah: 23 dan 71 Q.S Al-Furqon: 18

Q.S An-Nahl: 63 Q.S Al-Baqarah: 257 Q.S Ali Imran: 28

Q.S An-Nisa: 139 dan 144

Q.S Al-Maidah: 51, 55, 57, dan 81 3 Pengikut Q.S Al-An’am: 121 dan 128

Q. S Ali Imran: 175 Q.S An-Nisa: 76


(4)

4 Penolong Q.S Al-‘Araf: 3 Q.S Al-Isra: 111 Q.S Al-Kahfi: 17 Q.S Sajadah: 4 Q.S Hud: 113

Q.S Al-Mumtahanah: 1 5 Pengurus Q.S Al-Anfal: 34 6 Penulis Q.S Al-Baqarah: 282 7 Pembela Q.S An-Nisa: 76

8 Wali Q.S Al-Anfaal: 72 dan 73 Q.S Al-Isra: 33

Q.S Yunus: 62 Q.S An-Naml: 49 Q.S An-Nisa: 45 9 Auliya Q.S Jumu’ah: 6 10 Teman setia Q.S Fushilat: 34

Q.S Al-Ahzab: 6 Q.S Ali Imran: 68 Q.S An-Nisa: 89


(5)

B. Terjemahan Makna Wali dan Auliya Versi M. Quraish Shihab No Makna Ayat-Ayat Al-Qur’an

1 Pelindung Q.S Al-Baqarah: 107, 120, 148, dan 257 Q.S An-Nisa: 75, 119, 123, dan 173 Q.S Al-An’am: 14, 51, dan 70 Q.S Yusuf: 101

Q.S Ar-Rad: 16 dan 37 Q.S Al-Kahfi: 26

Q.S Al-Ankabut: 22 dan 41 Q.S Al-Ahzab: 17 dan 65 Q.S Saba: 41

Q.S Zumar: 3 Q.S Fushilat: 31

Q.S As-Syura: 6, 8, dan 9 Q.S Al-Ahqaf: 32

Q.S Al-Fath: 22 Q.S Al-Furqon: 18

Q.S Al-‘Araaf: 30 dan 196 Q. S At-Taubah: 74 dan 116 2 Penulis Q. S Al-Baqarah: 282 3 Teman Dekat Q. S Ali Imran: 68 dan175

Q.S An-Nisa: 89

Q.S Al-An’am: 121 dan 128 Q.S Maryam: 45 dan 5 Q.S Fushilat: 34 Q. S Mumtahanah: 1

Q.S Jumu’ah: 6

4 Auliya Q.S An-Nisa: 144

Q.S Al-Maidah: 51, 57, dan 81 Q.S Al-Ahzab: 6


(6)

5 Penolong Q.S Ali Imran: 122 Q.S Al-Isra: 97 dan 111 Q.S Hud 20 dan 113 Q.S Al-Kahfi: 44 dan 102 Q.S Sajadah: 4

Q.S Jatsyiyah: 19 Q.S At-Taubah: 71 6 Wali Q.S Ali-Imaran: 28

Q.S An-Nisa: 45 dan 76 Q.S Al-Maidah: 55 Q.S Al-Isra: 33 Q.S Yunus: 62 7 Pemimpin Q.S An_Nahl: 63

Q.S Al-Kahfi: 17 dan 50 Q.S Al-‘Araaf: 3, 27 dan 155 Q.S At-Taubah: 23