Analisis homonimi terhadap kata Kufr dalam Al-Qur'an (studi komparatif : terjemahan H.B.Jassin dan Mahmud Yunus)

(1)

ABSTRAK

Deni wahyudin

“Homonimi terjemahan kata kufr terhadap terjemhan versi H.B. Jassin dan Mahmud Yunus”. Di bawah bimbingan Dr. Sukron Kamil, MA.

Penerjemahan merupakan sebuah kegiatan pemindahan makna dari bahasa sumber (Bsa) ke dalam bahasa sasaran (Bsa). Terjemahan dapat dikatakan baik bila benar-benar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sasaran (bahasa penerima) tidak boleh menyimpang dari makna dan gaya/nada yang diungkapkan dalam bahasa sumber.

Penulis melihat bahwa dalam bahasa Arab terdapat homonimi. Homonimi menjelaskan bahwa banyak terdapat kata secara pelafalannya sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Dalam dunia penerjemahan seseorang harus mempunya wawasan yang luas untuk dapat menerjemahkan kat-kata yang mengandung Homonim.

Skripsi ini mencoba melihat penerjemahan mengenai terjemahan kata kufr. Dengan memakai analisis homonimi. Sebagaimana terjemahan kata kufr tidak semata-mata diterjemahkan dengan kata ingkar. Seringkali terjadi perdebatan dan bahkan berujung pada pembunuhan lantaran salah menempatkan makna kufr. Penulis melakukan analisis perbandingan/ komparatif antara terjemahan Al-Qur’an versi H.B. Jassin dan Mahmud Yunus.

Penulis menarik kesimpulan bahwa hasil terjemahan antara H.B. Jassin dan Mahmud yunus secara makna sama. Sehingga menimbulkan pemahan yang sama ketika membacanya. Hal yang membedakannya adalah hanya dalam gaya bahasa dan pemilihan diksi saja.


(2)

PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 juni 2010

Deni Wahyudin

NIM: 105024000865      

                                       


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “Analisis Homonimi Terhadap Kata Kufr dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif : Terjemahan H.B. Jassin dan Mahmud Yunus), telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Jum’at, 18 juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.

Jakarta, 18 juni 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Ikhwan Azizi, MA. Dr. Ahmad Saekhuddin, M.Ag. NIP: 195708161994031001 NIP: 197005052000031001

Anggota

. Dr. Sukron Kamil, MA. NIP: 150 282 400


(4)

PRAKATA

Puji Syukur senantiasa Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan begitu banyak nikmat serta pertolongan kepada Penulis, sehingga karya ini bisa selesai dan hadir ke hadapan para pembaca. Salawat serta Salam Cinta senantiasa dilimpahkan kepada teladan alam semesta, Kanjeng Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat. Semoga kita mendapatkan “curahan syafa’atnya” di hari akhir nanti.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada civitas academica UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, terutama kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dr. Abdul Chaer, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi, MA., Ketua Jurusan Tarjamah serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, Ahmad Saekhuddin, M.Ag.

Terima Kasih yang tak terhingga pula kepada Dr. Sukron Kamil, MA yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan referensi serta memotivasi Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan Bapak.

Kepada Jajaran Dosen Tarjamah: Ibu Karlina Helmanita, M.Ag, Bpk. Syarif Hidayatullah, M.Hum, Bpk.Syukron Kamil, MA, Bpk. Irfan Abubakar, MA, Bpk. Drs. A. Syatibi, M.Ag, dan lainnya. Terima kasih yang tak terhingga. Semoga ilmu yang Penulis dapatkan menjadi manfaat di kemudian hari.

Penghormatan serta salam cinta Penulis haturkan kepada Kedua Orang Tua Penulis, Ayahanda Nazimuddin dan Ibunda Ida Rohani. Kepada sanak saudara Penulis yang ada di Lampung maupun di Jakarta yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis, sehingga Penulis bisa menyelesaikan studi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan seperjuangan di Tarjamah Angkatan 2005, terimakasih juga kepada teman-teman yang berada di basecamp ’sri makmur’ yang telah memberikan hiburan dan berbagai candaan, telah mengingatkan kekurangan dan kekhilafan Penulis dalam meyelesaikan skripsi ini, telah berbagi informasi dan pengalaman mereka sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini Dan juga tak lupa kepada teman basecamp ’charlie angels’ yang juga telah memberikan


(5)

dukungan kepada Penulis. serta teman-teman BEM-J Tarjamah dan juga kepada seluruh Kakak kelas dan adik kelas. Penulis menghaturkan beribu terima kasih kepada seluruh teman-teman atas pinjaman referensinya yang begitu berharga. yang telah mencerahkan dan memberikan paradigma baru kepada Penulis.

Semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Saran serta kritik konstruktif sangat Penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi.

Jakarta, 22 Juni 2010


(6)

ANALISIS HOMONIMI TERHADAP KATA KUFR (ﺮﻔآ ) DALAM AL-QUR’AN

( Studi Komparatif: Terjemahan H.B. Jassin dan Mahmud Yunus)

Skripsi

Diajukan kepada fakultas adab dan humaniora

Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana (S.S)

Deni Wahyudin

105024000865

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010


(7)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 juni 2010

Deni Wahyudin NIM: 105024000865


(8)

(9)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “Analisis Homonimi Terhadap Kata Kufr dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif : Terjemahan H.B. Jassin dan Mahmud Yunus), telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Jum’at, 18 juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.

Jakarta, 18 juni 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Ikhwan Azizi, MA. Dr. Ahmad Saekhuddin, M.Ag. NIP: 195708161994031001 NIP: 197005052000031001

Anggota

Dr. Sukron Kamil, MA. NIP: 150 282 400


(10)

PRAKATA

Puji Syukur senantiasa Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan begitu banyak nikmat serta pertolongan kepada Penulis, sehingga karya ini bisa selesai dan hadir ke hadapan para pembaca. Salawat serta Salam Cinta senantiasa dilimpahkan kepada teladan alam semesta, Kanjeng Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat. Semoga kita mendapatkan “curahan syafa’atnya” di hari akhir nanti.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada civitas academica UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, terutama kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dr. Abdul Chaer, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi, MA., Ketua Jurusan Tarjamah serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, Ahmad Saekhuddin, M.Ag.

Terima Kasih yang tak terhingga pula kepada Dr. Sukron Kamil, MA yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan referensi serta memotivasi Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan Bapak.

Kepada Jajaran Dosen Tarjamah: Ibu Karlina Helmanita, M.Ag, Bpk. Syarif Hidayatullah, M.Hum, Bpk.Syukron Kamil, MA, Bpk. Irfan Abubakar, MA, Bpk. Drs. A. Syatibi, M.Ag, dan lainnya. Terima kasih yang tak terhingga. Semoga ilmu yang Penulis dapatkan menjadi manfaat di kemudian hari.

Penghormatan serta salam cinta Penulis haturkan kepada Kedua Orang Tua Penulis, Ayahanda Nazimuddin dan Ibunda Ida Rohani. Kepada sanak saudara Penulis yang ada di Lampung maupun di Jakarta yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis, sehingga Penulis bisa menyelesaikan studi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan seperjuangan di Tarjamah Angkatan 2005, terimakasih juga kepada teman-teman yang berada di basecamp ’sri makmur’ yang telah memberikan hiburan dan berbagai candaan, telah mengingatkan kekurangan dan kekhilafan Penulis dalam meyelesaikan skripsi ini, telah berbagi informasi dan pengalaman mereka sehingga Penulis


(11)

dapat menyelesaikan skripsi ini Dan juga tak lupa kepada teman basecamp ’charlie angels’ yang juga telah memberikan dukungan kepada Penulis. serta teman-teman BEM-J Tarjamah dan juga kepada seluruh Kakak kelas dan adik kelas. Penulis menghaturkan beribu terima kasih kepada seluruh teman-teman atas pinjaman referensinya yang begitu berharga. yang telah mencerahkan dan memberikan paradigma baru kepada Penulis.

Semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Saran serta kritik konstruktif sangat Penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi.

Jakarta, 22 Juni 2010

Penulis


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iv

PRAKATA ... v

DAFTAR ISI ... vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ... ix

ABSTRAK ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metodologi Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II KERANGKA TEORI A. Gambaran Umum Tentang Penerjemahan ... 11

1. Definisi penerjemahan ... 11

2. Jenis penerjemahan ... 15

3. Tahap-tahap penerjemahan ... 19

4. Penerjemahan Al-Qur’an ... 22

B.Homonimi ... 31

1. Pengertian Homonimi ... 31

2. Homonimi dalam bahasa Arab ... 34

3. Homonimi dalam bahasa Indonesia ... 36

C.Pengertian Kufur ... 37


(13)

BAB III BIOGRAFI H.B. JASSIN

A. Riwayat H.B. Jassin ... 41

B. Karya-karya H.B. Jassin ... 45

1. Karangan Asli H.B. Jassin ... 45

2. Buku-Buku yang dieditori H.B. Jassin ... 47

3. Terjemahan H.B. Jassin ... 49

4. Kontroversi Penyusunan H.B. Jassin ... 50

5. Latar belakang H.B. Jassin dalam menyusun Terjemah Al-Qur’an ... 52

C. Biografi Mahmud Yunus ... 55

1. Riwayat Hidup dan Aktivitas Keilmuan ... 55

2. Karya-karya Mahmud Yunus ... 59

3. Metode Penerjemahan Mahmud Yunus ... 63

BAB IV ANALISIS HASIL TERJEMAHAN KATA KUFUR ... 65

Bab V PENUTUP A. Kesimpulan dan ... 81

B. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83


(14)

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam Buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin

ا ط T

ب b ظ Z

ت t ع ‘

ث ts غ Gh

ج j ف F

ح h ق Q

خ kh ك K

د d ل L

ذ dz م M

ر r ن N

ز z و W

س s ة H

ش sy ء `

ص s ي Y

ض d

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

A. Vokal tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

----

a Fathah

----

i Kasrah

---

u Dammah


(15)

B. Vokal rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

---ي ai a dan i

---و au a dan u

C. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي/ا---- â a dengan topi di atas

----ي î i dengan topi di atas

---و û u dengan topi di atas

3. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu لا , dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.

4. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda--- dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ةروﺮﻀﻟا tidak ditulis ad-darûrah melainkan al- darûrah, demikian seterusnya.

5. Ta Marbûtah

Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang sama juga berlaku, jika Ta Marbûtah tersebut diikuti oleh (na’t) atau kata


(16)

No. Kata Arab Alih Aksara

1 ﺔﻘ ﺮﻃ Tarîqah

2 ﺔ ﻣﻼﺳﻹاﺔﻌﻣﺎ ﻟا al-jâmi’ah al-islâmiyah 3 دﻮ ﻮﻟاةﺪﺣو wihdat al-wujûd

6. Huruf kapital

Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama tempat, dan sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf “al” a tidak boleh kapital.


(17)

xii

ABSTRAK

Deni wahyudin

“Homonimi terjemahan kata kufr terhadap terjemhan versi H.B. Jassin dan Mahmud Yunus”. Di bawah bimbingan Dr. Sukron Kamil, MA.

Penerjemahan merupakan sebuah kegiatan pemindahan makna dari bahasa sumber (Bsa) ke dalam bahasa sasaran (Bsa). Terjemahan dapat dikatakan baik bila benar-benar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sasaran (bahasa penerima) tidak boleh menyimpang dari makna dan gaya/nada yang diungkapkan dalam bahasa sumber.

Penulis melihat bahwa dalam bahasa Arab terdapat homonimi. Homonimi menjelaskan bahwa banyak terdapat kata secara pelafalannya sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Dalam dunia penerjemahan seseorang harus mempunya wawasan yang luas untuk dapat menerjemahkan kat-kata yang mengandung Homonim.

Skripsi ini mencoba melihat penerjemahan mengenai terjemahan kata kufr. Dengan memakai analisis homonimi. Sebagaimana terjemahan kata kufr tidak semata-mata diterjemahkan dengan kata ingkar. Seringkali terjadi perdebatan dan bahkan berujung pada pembunuhan lantaran salah menempatkan makna kufr. Penulis melakukan analisis perbandingan/ komparatif antara terjemahan Al-Qur’an versi H.B. Jassin dan Mahmud Yunus.

Penulis menarik kesimpulan bahwa hasil terjemahan antara H.B. Jassin dan Mahmud yunus secara makna sama. Sehingga menimbulkan pemahan yang sama ketika membacanya. Hal yang membedakannya adalah hanya dalam gaya bahasa dan pemilihan diksi saja.


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ilmu makna (semantik) sebagai ilmu baru yang berkembang pada tahun 1970-an di dunia linguistik dan semantik di Indonesia baru berkembang pada tahun 1980-an. Kemampuan mengolah dan memahami pemerian kebahasaan ada pada aspek makna dalam linguistik. Kemampuan suatu bahasa menjadi bahasa ilmu dapat dipertimbangkan melalui kecendekiaan bahasa antara lain yang dikemukakan oleh pemuka aliran praha (Prague school), kecendekiaan bahasa ditandai oleh (1) kemampuannya dalam membentuk dan menyampaikan pernyataan yang tepat, saksama dan kaya, (2) bentuk kalimatnya mencerminkan penelitian penalaran yang objektif sehingga relasi strukturnya sama dengan proposisi logika, dan (3) mampu menunjukkan antarkalimat yang selaras, logis, dan memiliki keutuhan. Dari ketiga syarat tersebut dapat mempertimbangkan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Indonesia nusantara dalam memenuhu syarat sebagai ilmu. Semantik berhubungan erat dengan syarat ketiganya, bila dipahami melalui proposisi logis tepat, selaras dan memiliki keutuhan (terutama dibidang acuan baik yang objektif (kongkret) maupun abstrak).

Dalam kajian semantik terdapat pembahasan mengenai homonimi, homonimi dapat diartikan sebagai nama sama untuk benda atau hal lain, secara semantik, Verhaar (1978) member definisi homonimi sebagai ungkapan


(19)

2

(berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga brupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama.1

Homonimi adalah relasi makna antar kata yang ditulis sama, tetapi maknanya berbeda. Di dalam kamus kata-kata yang termasuk homonim muncul sebagai lema (entri) yang terpisah. Misalnya saja, kata tahu dalam kamus besar bahasa Indonesia muncul sebagai dua lema:

Ta.hu v mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami)

Ta.hu n makanan dari kedelai putih yang digiling halus-halus, direbus dan dicetak.

Konsep kehomoniman sebagai pertalian makna antara dua atau lebih leksem yang sama bentuk merupakan gejala semesta bahasa (language universal). Konsekuensi logis munculnya gejala kehomoniman adalah ketaksaan ujaran atau kalimat yang disampaikan oleh pembicara kepada pendengar/lawan bicara. Akibat lebih jauh yang disebabkan oleh munculnya gejala kehomoniman adalah, di samping ketaksaan ujaran atau kalimat, terjadinya distorsi pesan yang ingin disampaikan.

Pemahaman yang baik terhadap kehomoniman suatu bahasa, khususnya bahasa Arab, dapat menghindari ketaksaan dan distorsi pesan yang terkandung dalam ujaran atau kalimat. Kajian kehomoniman dalam bahasa Arab masuk pada pokok bahasan Al-mustarak Al-lafzi (relasi makna), di samping kajian kepoliseman.

1


(20)

3

Dengan memakai pendekatan teori Lyons (1996) penelitian ini memperoleh formulasi klasifikasi homonimi bahasa Arab yang terdiri atas: (i) homonimi mutlak (absolute homonymy), dan (ii) homonimi sebagian (partial homonymy). Dalam menganalisis data, penelitian ini memanfaatkan juga pendekatan analisis komponen atau medan semantik.

Homonimi mutlak ditemukan pada semua kelas kata, baik nomina (al-ism), verba (fi'il), maupun partikel (alharf).

Homonimi sebagian diperoleh berdasarkan perbedaan lingkungan gramatikal dari leksem-leksem yang homonimis dan subklasifikasi homonimi sebagian ini terdiri atas (I) perbedaan infleksi aspektual (perfektif - imperfektif), (ii) perbedaan derivasi, (iii) perbedaan kategori gender (maskulin - feminin), dan (iv) perbedaan kategori jumlah (tunggal - jamak).2

Objek utama dari homonimi adalah teks. Ketika berhadapan dengan teks, maka kita akan menemukan dua unsur pembangun, yaitu penulis dan pembaca. Ketika kita menerjemahkan suatu teks, maka pada tataran ini kita juga melakukan kegiatan menfsirkan makna.

Homonim merupakan salah satu objek kajian dalam Al-Qur’an.3 Al-Qur’an sebagai kitab suci tidak hanya berisi mengenai kumpulan ayat-ayat yang tertulis dengan bahasa Arab, tetapi juga telah menjadi pedoman hidup umat Islam. Agar menjadi pegangan hidup, umat perlu menafsirkan Al-Qur’an

2

http://google.com (selasa 15 juni 2010)

3

Beberapa tahun terakhir Al-Qur’an telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa atas bantuan rabithah al alam al Islami dan dar al ifta wa al irsyad yang bermarkas di Saudi Arabia. Mujamma’ khadim al haramain al syarifain al malik fahd untuk pencetakkan mushaf, telah mencetak terjemahan Al-Qur’an dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Perancis, Turki, Urdu, China, Hausa, dan Indonesia. Departemen agama, Al-Qur’an dan terjemahannya (semarang: PT. Karya Toha Putra, 1990) h. 30


(21)

4

agar senantiasa dapat mengaplikasikan dirinya di dalam kehidupan. Hal ini tanpa terkecuali dalam ayat teologis yang berkaitan dengan kata kufr. Permasalahan mengenai kufr memang selalu menjadi salah satu titik poin yang sangat sensitif di kalangan umat muslim, khususnya masalah akidah. Seringkali terjadi perdebatan dan bahkan berujung pada pembunuhan lantaran salah menempatkan makna kufr. Kata kufr atau yang identik dengan ‘kafir’ seringkali diartikan sebagai keluar dari Islam (murtad). Memang benar kufr merupakan lawan dari iman. Hanya saja apakah setiap kata kufr selalu bermakna keluar dari Islam (murtad) itulah yang menjadi persoalan. Secara harfiah kufr berarti tertutup, terhalang, dan terhapus. Namun, kata ini menjadi istilah khusus dalam perbincangan masalah akidah, yang menjadi lawan dari iman.

Sebagai contoh dalam Q.S. Al-Maidah ayat 44:


(22)

5

44. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Q.S. Al-Maidah ayat 44)

Contoh lain dalam surat Ibrahim ayat 7

⌧ ⌧

7. Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S. Al-maidah ayat 7)

Dari dua contoh ayat di atas terdapat perbedaan makna, mengenai surat Al-Maidah ayat 44 kata ‘kafir’ apakah ditujukan kepada kaum muslimin atau kepada orang-orang ‘kafir’. Dalam tafsir Adhwa’ul Bayan diriwayatkan dari Asy-Sya’bi, ayat tersebut ditujukan kepada kaum muslimin, maksud kekufuran didalamnya adalah kekufuran yang bukan berarti kekafiran, dan


(23)

6

bukan yang berarti keluar dari agama, diriwayatkan pula dari ibnu abbas, mengenai ayat ini, dia berkata: bukan kekufuran seperti yang kalian katakana/kira. Abi Hatim dan Al Hakim meriwayatkan dirinya. Al Hakim mengatakan, shahih sesuai dengan kriteria Imam Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak menukilnya. Demikian kutipan dari Ibnu Katsir.

Sama halnya dengan tafsir Al-Misbah karangan Quraish Shihab, dalam ayat tersebut dapat dipahami dalam arti kecaman yang amat keras tarhadap mereka yang menetapkan hukum bertentangan dengan hukum-hukum Allah, tetapi ini oleh mayoritas ulama, seperti tulis Muhammad Sayyid Tanthawi – Mufti Mesir dan pemimpin tertinggi al-Azhar Mesir, dalam tafsirnya adalah bagi yang melecehkan hukum allah dan yang mengingkarinya. Demikian juga pendapat sahabat nabi Ibn Abbas. Memang satu kekufuran dapat berbeda dengan kekufuran yang lain. Kufurnya seorang muslim, kezaliman, dan kefasikannya tidak sama dengan kekufuran, kezaliman dan kefasikan non muslim. Kekufuran seorang muslim bisa diartikan pengingkaran nikmat. Demikian pendapat Atha’ salah seorang ulama yang hidup pada masa sahabat Nabi Muhammad saw.

Syekh Hasanain Makhluf, yang juga pernah menjabat mufti mesir, menulis tentang penggalan ayat ayat ini dan menyatakan bahwa, pakar-pakar tafsir berbeda pendapat tentang ayat ini dan kedua ayat serupa sesudah ayat ini. Ayat pertama (ayat 44) ditujukan kepada orang-orang muslim, yang kedua (ayat 45) ditujukan kepada orang-orang Yahudi, dan ayat ketiga (ayat 47) kepada prang-orang Nasrani. Selanjutnya ia menulis: sifat ‘kafir’ bila


(24)

7

disandangkan kepada orang yang beriman, maka ia dipahami dalam arti kecaman yang amat keras, bukan dalam arti kekufuran yang menjadikan seseorang keluar dari agama. Di sisi lain jika non muslim dinilai fasiq atau zalim, maka maksudnya adalah pelampauan batas dalam kekufuran.

Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang Yahudi, karena Allah SWT telah menyebutkan sebelumnya kepada mereka “merubah perkataan-perkataan dari tempat-tempatnya”, dan mereka mengatakan “jika kamu diberikan yang ini”, yakni hukum yang telah dirubah yang selain hukum Allah, “maka terimalah dan jika kamu tidak diberikan yang ini”, yakni yang telah dirubah, tapi kamu diberikan hukum Allah yang sebenarnya “maka hati-hatilah”. Mereka memerintahkan agar berhati-hati terhadap hukum Allah yang mereka tahu itu adalah kebenaran.

Maka ini menunjukkan bahwa perkataan tersebut ditujukan kepada mereka. Diantara mereka yang mengatakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada ahli kitab, sebagaimana yang ditunjukkan ayat tersebut adalah Al Barra’bin’Azib, Hudzaifah bin Al Yaman, Ibnu Abbas, Abu Mijlaz, Abu Raja’Al Utharidi, Ikrimah Ubaidillah bin Abdullah, Al Hasan Al Basri dan yang lainnya.

Menarik sekali untuk dilihat bahwa masing-masing penerjemah mempunyai pemahaman tersendiri terhadap teks. Perbedaan itu bisa saja dapat terjadi, karena lingkungan, latar belakang, pendidikan, dan sebagainya.


(25)

8

Kesemuanya itu turut memberikan corak tersendiri dalam pemahaman akan suatu entitas.

Di dalam Al-Qur’an kata kufr dengan berbagai bentuk perubahannya, diungkapkan sebanyak 525 kali. Dari sekian banyak bentuk kata kufr, penulis hanya mengelompokkan menjadi enam bentuk. Masing-masing bentuk kata memiliki makna yang berbeda. Berikut adalah beberapa kelompok bentuk kufr dalam Al-Qur’an:

ﺮﻔآ

-ﺮﻔﻜ

-ﺮ ﻔﻜﺗ

(

kaffara – yukaffiru – takfir

)

ةرﺎﻔآ(kaffaarah) رﻮ ﺎآ (kaafuur)

ﺮﻔآ

-ﺮﻔﻜ

-ﺮﻔآ (kafara – yakfuru – kufr) ةﺮﻔﻜﻟا

-رﺎﻔآ

-نوﺮ ﺎآ (al kafarah – kuffar – kaafiruun) رﺎﻔآ

-رﻮﻔآ (kaffaar – kafuur)

Atas dasar tersebut, penulis menulis skripsi yang berjudul ANALISIS HOMONIMI TERHADAP KATA KUFUR DALAM AL-QUR’AN

(STUDI KOMPARATIF TERJEMAHAN H.B. JASSIN DAN MAHMUD

YUNUS)

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

Penjelasan makna ini, maka penulis membatasi permaslahan ini hanya berkisar pada homonimi. Sample dari objek penelitian ini adalah ayat-ayat yang berisi tentang kufr.


(26)

9

Setelah memaparkan latar belakang, maka merasa perlu untuk memberikan pembatasan dan perumusan masalah, yaitu terjemahan Al-Quran H.B. Jassin dan Mahmud Yunus.

Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut : 1. Apakah terjemahan kata kufur dalam Al-Qur’an terjemahan H.B. Jassin

dan Mahmud Yunus diterjemahkan secara berbeda?

2. Apa pengaruh terjemahan tersebut terhadap teologi umat Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Mengetahui apakah ada perbedaan makna antara dua versi terjemahan terhadap dua ayat tersebut.

2. Mengetahui pengaruh terjemahan tersebut terhadap teologi umat Islam Adapun manfaatnya adalah :

Memberikan pengetahuan baru bagi yang mempelajari Bahasa Arab terutama penerjemahan, yaitu pengetahuan tentang perubahan makna terhadap penerjemahan.

D. Metode Penilitian

Sumber data yang diperoleh adalah kajian pustaka melalui sumber literer (library reaserch) yaitu dari kepustakaan, sedangkan metode penilitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitis yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dari Al Qur’an yang diterjemahkan oleh H.B. Jassin dan Mahmud Yunus sebagai bahan primer. Sedangkan untuk bahan sekunder adalah dengan mengumpulkan dari berbagai literatur yang relevan dengan


(27)

10

pokok permasalahan baik dari artikel, majalah, internet, maupun dari buku-buku lain yang berkaitan.

Adapun pedoman penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi, tesis, dan disertasi yang disusun oleh tim UIN Syarif Hidayatullah dan diterbitkan oleh UIN Jakarta press 2002.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari IV bab, yaitu :

Bab I Penulis akan menulis pendahuluan yang terdiri dari : latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penilitian dan sistematika penulisan.

Bab II Berupa kerangka teori yang terdiri dari : gambaran umum tentang penerjemahan yang di dalamnya terdapat definisi penerjemahan, jenis penerjemahan, tahap penerjemahan : tahap analisis, tahap pengalihan, tahap penyerasian, penerjemahan Al-Qur’an. Pengertian hominimi, homonimi dalam bahasa Arab, dan hominimi dalam bahasa Indonesia.

Bab III berisi biografi H.B. Jassin dan Mahmud yunus penerjemahan : sekilas tentang biografi H.B. Jassin dan Mahmud yunus, dan karya-karyanya.

Bab IV merupakan hasil analisis dari “hasil terjemahan kata kufur” dengan melakukan analisis komparatif antara hasil terjemahan H.B. Jassin dan Mahmud Yunus.


(28)

(29)

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Gambaran Umum Tentang Penerjemahan

1. Definisi Terjemahan

Seperti halnya ilmu-ilmu lain, di dalam bidang penerjemahan ditemukan banyak definisi. Berbagai macam definisi itu mencerminkan pandangan ahli yang membuat definisi tentang hakikat terjemahan. Berikut akan disajikan beberapa definisi yang sering dikutip dalam buku tentang penerjemahan.

Penerjemahan atau translation selama ini didefinisikan melalui berbagai cara dengan latar belakang teori serta pendekatan yang berbeda-beda dari berbagai segi, baik segi semantik (kemaknaan) maupun linguistik (kebahasaan) dan sebagainya. Meskipun tidak mewakili keseluruhan definisi yang ada dalam dunia penerjemahan dewasa ini.

Definisi terjemahan dalam arti luas adalah “semua kegiatan manusia dalam mengalihkan makna atau pesan, baik verbal maupun non verbal dari informasi asal atau informasi sumber (source information) ke dalam informasi sasaran (target information).” 1Sedangkan definisi terjemahan dalam arti sempit adalah “suatu proses pengalihan pesan yang terdapat di dalam teks bahasa sumber (source linguistik) dengan kesepadanan di dalam bahasa ke dua atau bahasa sasaran (target language).2

       1

Suhendra Yusuf, Teori Terjemah (Pengantar kearah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik). (Bandung. PT.Mandar Maju, 1994). Cet ke-1. h: 8

2

Ibid. h. 8


(30)

  12

Eugene a. Nida3 dan Charles R. Taber, dalam buku mereka The Theory and Practice of Translation, memberikan definisi terjemahan sebagai berikut : “Translating consist in reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source language message, first in the terms of meaning secondly in terms of style.”4

(menerjemahkan berarti menciptakan padanan yang dekat dalam bahasa penerima terhadap pesan bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua pada gaya bahasa).

Secara lebih sederhana, menerjemahkan dapat didefinisikan sebagai memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima (sasaran) dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya.

       3

Eugene A. Nida Lahir pada 11 November 1914, di Oklahoma City, Oklahoma, Eugene Nida dan keluarganya pindah ke Long Beach, California ketika ia berumur lima tahun. Ia mulai mempelajari bahasa Latin di bangku SMA dan tidak sabar untuk mampu menjadi misionaris yang tugasnya menerjemahkan Alkitab. Keinginannya itu semakin dekat untuk menjadi kenyataan saat ia meraih gelar kesarjanaan dalam bidang bahasa Yunani pada tahun 1963 dari University of California di Los Angeles dengan menyandang predikat “summa cum laude”. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Summer Institute of Linguistics (SIL) dan menemukan karya-karya ahli bahasa seperti Edward Sapir dan Leonard Bloomfield. Nida kemudian meraih gelar doktoral dalam bidang Perjanjian Baru berbahasa Yunani di University of Southern California. Pada tahun 1941, ia mulai mencoba merengkuh gelar Ph.D. dalam bidang ilmu bahasa di University of Michigan. Ia menyelesaikan studinya itu dua tahun kemudian. Disertasinya, “A Synopsis of English Syntax”, pada saat itu adalah sebuah analisa pertama yang menganalisa bahasa Inggris secara menyeluruh menurut teori “konstituen langsung” (immediate constituent).

Tahun 1943 adalah masa-masa sibuk bagi Eugene Nida. Ia ditasbihkan di Northern Baptist Convention untuk dapat benar-benar menyandang gelar Ph.D.. Ia menikahi Althea Sprague dan bekerja di American Bible Society (ABS) sebagai ahli bahasa. Meskipun pada awalnya, perekrutannya sebagai staf ABS hanyalah sebagai suatu percobaan, Nida akhirnya menjadi wakil sekretaris untuk divisi Versi Alkitab (Versions), dan kemudian menjadi sekretaris eksekutif untuk divisi Penerjemahan Alkitab (Translations) sampai ia pensiun pada awal tahun 1980-an. (http//www. Google. Com) 20 juni 2010.

4

Nida F.A. dan Charles R. Teber, The Theory and Patrice of Translation. (Leiden. E.J. Brill. 1996) h.24

   


(31)

  13

Di sini Nida dan Teber tidak mempermasalahkan bahasa yang terlibat dalam penerjemahan, tetapi lebih tertarik pada cara kerja penerjemahan. Seperti yang dikutip oleh Maurust Simatupang yakni mencari padanan alami yang semirip mungkin sehingga pesan dalam bahasa sumber bisa disampaikan dalam bahasa sasaran.5 Sehingga orang yang membaca atau yang mendengar pesan itu dalam bahasa sasaran pesannya sama dengan pesan orang yang membaca atau mendengar pesan itu dalam bahasa sumber.

Menurut resensi Willie Koen, nida dalam bukunya mengajarkan bahwa cara baru mnerjemahkan haruslah fokus pada respon penerima pesan. (cara lama berfokus pada bentuk pesan). Itu berarti terjemahan dapat dikatakan baik bila benar-benar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sasaran (bahasa penerima) tidak boleh menyimpang dari makna dan gaya/nada yang diungkapkan dalam bahasa sumber, itulah sebabnya nida mengatakan bahwa di dalam bahasa penerima harus terdapat “ The closest natural equivalent of the source language message, first in the terms of meaning secondly in terms of style.” Akan tetapi, ekuivalen itu haruslah natural (wajar, sesuai dengan langgam atau idiom bahasa kita sendiri).

Catford (1965) menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat kegiatan penerjemahan dan ia mendefinisikannya sebagai “The replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual       

5

Maurust Simatupang. Enam Makalah Tentang Penerjemahan. (Jakarta: PT.UKI.1993). h. 3

   


(32)

  14

material in another language (TL)”.6 (mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran). Newmark (1988) juga memberikan definisi serupa, namun lebih jelas lagi : “Rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text” (menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai yang dimaksudkan pengarang).

Pada definisi di atas tidak ditemukan tentang makna. Sementara itu secara garis besar terjemahan tidak bisa dipisahkan dari persoalan makna atau informasi. Sebagai ganti dari konsep makna adalah materi tekstual yang sepadan. Kesepadanan yang dimaksud materi tekstual oleh catford tidak harus naskah tulis. Sedangkan Zuhrudin mengatakah bahwa. “penerjemahan bisa berasal dari bahasa lisan atau tulisan.”7

Ungkapan lain tentang hakikat penerjemahan yang dikemukakan oleh Juliana House dalam disertasinya mengatakan bahwa penerjemahan adalah “penggantian kembali naskah bahasa sasaran yang secara semantik dan pragmatik sepadan.”8

Pada hakikatnya “esensi terjemahan itu terletak pada makna dari dua bahasa yang berbeda.”9 Oleh karena itu, house pun menjelaskan bahwa makna ber-aspek semantik erat kaitannya dengan makna denotative, yaitu makna yang terdapat dalam kamus (makna leksikal) dan

       6

Rochayah Machali. Pedoman bagi Penerjemah. (Jakarta: PT. Grasindo. Anggota IKAPI. 2000).h. 5

7

Zuhrudin Suryawinata.et. al. Translation (Bahasa Teori dan Penentu Menerjemahkan). Yogyakarta: Knisius. 2003). Cet. Ke-1.h. 11

8

Nurrahman Hanafi. Teori dan Sastra Menerjemahkan.(NTT: Nusa Indah. 1986). Cet. Ke-1.h. 26

9

Ibid. h. 27

   


(33)

  15

makna beraspek pragmatik bertautan dengan makna konotatif, yaitu makna yang berarti kiasan.

Dengan melihat definisi di atas, baik definisi penerjemahan dalam arti luas atau sempit, baik tinjauan semantik atau linguistik, sekilas masing-masing definisi tersebut berbeda-beda, yang sebenarnya mempunyai muatan yang sama, yaitu adanya persamaan dan penyusuaian pesan yang disampaikan oleh penulis naskah dengan pesan yang diterima pembaca.

2. Jenis Penerjemahan

Menerjemahkan pada dasarnya adalah mengubah suatu bentuk menjadi bentuk lain. Bentuk lain yang dimaksud bisa berupa bentuk bahasa sumber atau bahasa sasaran. Secara sederhana, menerjemahkan dapat didefinisikan yaitu, “memindahkan amanat dari bahasa sumber kebahasa sasaran, dengan pertama-tama memindahkan dan yang kedua mengungkapkan gaya bahasanya.”10

Dalam praktek menerjemahkan, diterapkan beberapa jenis penerjemahan. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Adanya perbedaan bahasa sumber dan sistem bahasa sasaran b. Adanya perbedaan jenis materi teks yang diterjemahkan c. Adanya anggapan bahwa terjemahan adalah alat komunikasi d. Adanya perbedaan tujuan dalam menerjemahkan suatu teks

Dalam kegiatan menerjemahkan sesungguhnya, keempat faktor tersebut tidak selalu berdiri sendiri dalam arti bahwa “ada kemungkinan       

10

Widya Martaya. Seni Terjemahan. (Yogyakarta: Knisius. 1991). Cet. Ke-1. h. 11

   


(34)

  16

kita menerapkan dua atau tiga jenis penerjemahan sekaligus dalam menerjemahkan sebuah teks”.11

Ada beberapa jenis terjemahan yang dapat kita terapkan dalam kegiatan menerjemahkan. Diantaranya yaitu:

a. Penerjemahan Kata Demi Kata

Penerjemahan ini disebut juga dengan interlinear translation, yaitu susunan kata bahasa sumber (Bsu) dipertahankan dan kata-kata diterjemahkan satu per satu dengan makna yang paling umum. Metode ini bertujuan untuk memahami mekanisme dalam bahasa sumber (Bsu) maupun untuk menganalasis teks yang sulit sebagai proses penerjemahan.

b. Penerjemahan Harfiah

Penerjemahan harfiah ini menggunakan metode konversi, yaitu konstruksi gramatikal bahasa sumber (Bsu) dikonversikan ke padanan bahasa sasaran (Bsa) yang paling dekat tetapi kata-kata leksikal masih diterjemahkan kata per kata. Penerjemahan ini memang akan membingungkan pembaca, oleh karena itu, penerjemah harus memberikan keterangan tambahan berupa catata kaki (Foot note). Biasanya metode penerjemahan ini di gunakan dalam menerjemahkan Al Qur’an.

c. Penerjemahan Setia

Penerjemahan ini merupakan proses menghasilkan kembali makna kontekstual bahasa sumber (Bsu) yang tepat, dengan mentransfer kata-      

11

M. Rudolf Nababan. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1991). Cet. Ke-1

   


(35)

  17

kata cultural dan tetap mempertahankan tingkat ketidakwajaran gramatikal dan leksikal dalam proses penerjemahan. Dalam metode penerjemahan ini, masih mempertahankan kata-kata yang bermuatan budaya, dan diterjemahkan secara harfiah.

d. Penerjemahan Semantik

Penerjemahan ini sudah lebih luwes, artinya sudah tidak mempertahankan lagi tingkat ketidakwajaran gramatikal dan leksikal dalam proses penerjemahan. Penerjemahan ini masih mempertimbangkan unsur estetika teks Bsu dengan memadukan makna selama masih dalam batas kewajaran. Dibandingkan dengan penerjemahan lain.12 Penerjemahan semantik lebih fleksibel.

e. Penerjemahan Saduran

Penerjemahan ini merupakan bentuk terjemahan bebas yang biasa dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi. Biasanya antara tema, karakter, dan plot masih dipertahankan, dan peralihan budaya bahasa sumber (Bsu) ke dalam budaya bahasa sasaran (Bsa) ditulis kembali serta diadaptasi ke dalam bahasa sasaran (Bsa).

f. Penerjemahan Bebas

Penerjemahan ini merupakan metode yang mengutamakan isi dan bahkan mengorbankan bentuk teks bahasa sumber (Bsu). Umumnya penerjemahan ini berbentuk parafrase yang dapat lebih pendek atau

       12

Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 52.

   


(36)

  18

lebih panjang dari teks aslinya dan biasa dipakai di kalangan media masa.

g. Penerjemahan Idiomatik

Penerjemahan ini dipakai dalam menerjemahkan teks idom atau istilah-istilah idiomatis. Penerjemahan ini brtujuan memproduksi pesan dalam teks bahasa sumber (Bsu) dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatic yang tidak didapati pada naskah aslinya, sehingga terjadi distorasi nuansa makna.

h. Penerjemahan Komunikasi

Penerjemahan ini merupakan upaya memberikan makna kontekstual bahasa sumber (Bsu) yang tepat, sehingga isi dan bahasanya dapat diterima dan dimengerti oleh pembaca. Metode ini tetap memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi seperti khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan, sehingga teks sumber dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi.

Menurut Manna Al-Qaththan,13 terjemahan dapat digunakan pada dua arti:

1) Terjemahan Harfiah, yaitu mengalihkan lafal-lafal yang serupa dari suatu bahasa ke dalam lafal-lafal yang serupa dari bahasa lain sedimikian rupa. Sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.

2) Terjemahan Tafsiriyah atau terjemahan maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat       

13

Manna Khalil al Qattan, Studi Ilmu-ilmu al Qur’an (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993), h. 443.

   


(37)

  19

dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.

3. Tahap-Tahap Penerjemahan

a. Tahap Analisis

Ketika seseornag ingin menuliskan sesuatu hendaknya ia ingin menyampaikan sesuatu kepada pembacanya. Hal ini juga berlaku bagi teks ekspresif (perwujudan persamaan) seperti puisi. Mustahil seseorang penulis puisi menulis sesuatu tanpa ingin perasaannya diwujudkan dalam puisi tersebut juga dirasakan orang lain. Dengan demikian, setiap teks tentunya bukanlah hal yang sacral. Justru karena tidak sacral itulah maka suatu teks bahasa sumber perlu dianalisis terlebih dahulu sebelum diterjemahkan.

Analisis itu bisa berupa pertanayaan seputar teks seperti: apa maksud pengarang menuliskan teks itu? Apakah untuk menjelaskan sesuatu (eksposisi), ataukah untuk bercerita (narasi), atau untuk mempengaruhi pendapat umum (persuasi), ataukah suatu ajakan sendiri? Bagaimana pengarang atau penulis menyampaikan maksud tersebut? Bagaimana pengarang mewujudkan gaya tersebut dalam pemilihan kata, frase, dan kalimat? Sesudah mempunyai gambaran yang jelas, barulah ia dapat memulai proses selanjutnya.

b. Tahap Pengalihan

Seorang penerjemah dalam tahap ini berupaya untuk menggantikan unsur teks bahasa sumber dengan unsur teks bahasa sasaran yang sepadan. “sepadan pada segala unsur dalam teks, baik

   


(38)

  20

yang bentuk maupun isinya disepadankan tapi kesepadanan bukanlah kesamaan.”14

Pada tahapan pengalihan, seorang penerjemah mengajukan beberapa pertanyaan sebagai upaya pertimbangan dalam melakukan kegiatan pengalihan. Dianatara pertanyaan tersebut adalah: apakah maksud yang ingin disampaikan pengarang tersebut harus dipertahankan dalam teks terjemahan? Dapatkah penerjemah mengubah maksud dalam teks? Jawaban dasar terhadap pertanyaan ini adalah: penerjemahan harus memeprtahankan maksud yang ingin disampaikan pengarang.

Pertanyaan selanjutnya yang mungkin timbul dalam tahap pengalihan ini adalah: bagaimana penerjemah menyampaikan maksud yang sepadan tersebut ke dalam bahasa sasaran? Apakah masih dapat digunakan kalimat-kalimat yang serupa? Misalnya, bagaimana kalimat-kalimat informasi dalalm bahasa sumber dapat tetap terasa membrikan informasi dalam bahasa sasaran? Alat bahasa apakah yang dipergunakan dalam hal ini?

Namun, apabila teks sumber yang diterjemahkan sangat sukar dan melibatkan kata-kata yang bermakna ganda. Kata-kata yang mengandung emosi dan sebagainya. Penerjemah dapat saja bolak-balik dari tahap analisis ke pengalihan dan sebaliknya sampai ia yakin yang harus dijalani adalah tahap penyerasian.

       14

Rochayah Machali. Pedoman bagi penerjemahan. (Jakarta: PT. Grasindo. 2000).h. 50

   


(39)

  21

c. Tahap Penyerasian

Pada saat ini penerjemah dapat menyelesaikan bahasanya yang masih terasa kaku untuk disesuaikan dengan kaidah bahasa sasaran. Disamping itu, mungkin juga terjadi penyerasian dalam hal peristilahan, misalnya apakah menggunakan istilah yang umum digunakan ataukah yang baku.

Pada tahap penyerasian ini, penerjemah dapat melakukannya sendiri, atau membiarkan orng lain melakukannya. Akan lebih baik apabila penyerasian itu dilakukan oleh orang lain. Ada dua alasan untuk hal ini, pertama, penerjemah biasanya sulit mengoreksi pekerjaannya sendiri, karena secara psikologis ia akan beranggapan bahwa terjemahannya sudah bagus, peristilahannya sudah tepat, bahasanya sudah cukup alamiyah dan wajar, dan sebagainya. Kedua, penerjemahan sebaiknya merupakan pekerjaan suatu team.15 Dalam hal ini, penerjemah terus menerjemahkan, sedangkan kegiatan penyerasian dilakukan oleh orang lain. Namun tidak ada salahnya apabila penerjemah sendiri yang melakukan penyerasian mereka masing-masing. Kebanyakan masyarakat barat mengerti mengenai ajaran agama islam dan Al-Qur’an berdasarkan apa yang telah diterjemahkan oleh kelompok orientalis ke dalam bahasa mereka. Baik mereka pada akhirnya mencaci Al-Qur’an atau justru masuk kedalam islam karena terjemahan Al-Qur’an tersebut. Dengan adanya penerjemahan yang dilakukan itu, seseorang dapat mempelajari       

15

Rochayah Machali. Pedoman bagi penerjemahan. (Jakarta: PT. Grasindo. 2000).h. 50

   


(40)

  22

kandungan Al-Qur’an terutama bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab (Al-Qur’an) dengan baik.

Dengan begitu, penerjemahan Al-Qur’an sangatlah penting dan berperan sekali dalam mengkaji lebih dalam segala sesuatu yang terkandung dalam Al-Qur’an.

4. Penerjemahan Al-Qur’an

a. Sejarah Penerjemahan Al-Qur’an

Al-Qur’anul karim telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, misalnya latin, Inggris, Perancis, Belanda dan sebagainya. Untuk pertama kalinya Al-Qur’an diterjemahkan pada tahun 1143 M, ke dalam bahasa latin, sebagai bahasa ilmu di eropa waktu itu. Al-Qur’an masuk ke eropa melalui andalus. Dari terjemahan bahasa latin inilah kemudian Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Itali, Jerman dan Belanda oleh para orientalis barat. Pada umumnya penterjemahan Al-Qur’an oleh para orientalis itu mempunyai kecenderungan atau tendensi negatif, yaitu menjelek-jelekkan islam, karena motif mereka bukan untuk menggali dan memahami petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, melainkan demi kepentingan misi mereka menyudutkan islam.

Maracci misalnya, ditahun 1689 mengeluarkan terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa latin, dengan teks Arab dan berbagai nukilan dari berbagai tafsir dalam bahasa Arab yang dipilih demikian rupa, ditujukan untuk memberi kesan buruk tentang islam di eropa. Maracci sendiri adalah orang yang pandai, dan dalam menterjemahkan

Al-   


(41)

  23

Qur’an itu jelas bertujuan menjelek-jelekkan islam dikalangan orang-orang Eropa dengan mengambil pendapat ulama-ulama islam sendiri, yang menurutnya menujukkan kerendahan islam. Maracci adalah seorang roma Katolik dan terjemahannya itu ia persembahkan kepada emperor Romawi.

Terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa inggris, yang itu pun sesungguhnya sebagai hasil terjemahan dari bahasa perancis, yang dilakukan oleh Du Ryer tahun 1647, untuk pertama kalinya dilakukan oleh A. Ross dan baru diterbitkan beberapa tahun setelah karya Du Ryer itu.

Mengingat luasnya tujuan-tujuan terselubung dari para orientalis yang non islam dan anti islam, dalam penterjemahan Al-Qur’an, menyebabkan penulis-penulis muslim berusaha menterjemhkan Al-Qur’an ke dalam bahasa inggris. sarjana muslim pertama-pertama melakukan penterjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa inggris ialah Dr. Muhammad Abdul Hakim Khan, dari Patiala, pada tahun 1905 M. Mirza Hairat dari Delhi juga menterjemahkan Al-Qur’an dan diterbitkan di Delhi tahun 1919. Nawab Imadul Mulk Sayid Husein Bilgrami dari Hyderabad Dacca juga menterjemahkan sebagian Al-Qur’an. Ia meniggal sebelum menyelesaikannya. Ahmadiyah Qadiani juga menterjemahkan bagian pertama Al-Qur’an, pada tahun 1915, Ahmadiyah Lahore juga menerbitkan terjemahan Maulvi Muhammad Ali yang pertama terbit tahun 1917. Terjemahan

   


(42)

  24

itu merupakan terjemahan ilmiah yang diberi catatan-catatan yang luas dan pendahuluan serta indek yang cukup.

Terjemahan Al-Qur’an lain yang perlu disebutkan ialah terjemahan oleh Hafidz Ghulam Sarwar yang diterbitkan tahun 1930. Dalam terjemahannya ia memberikan ringkasan, surat demi surat, bagian demi bagian, tetapi tidak diberinya footnote pada terjemahan itu. Catatan-catatan yang dimaksud kiranya sangat perlu untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Bahasa Al-Qur’an dengan ungkapan-ungkapan yang kaya akan arti memerlukan catatan-catatan yang memadai. Marmaduke Pichthall juga menterjemahkan Al-Qur’an, di terbitkan pada tahun 1930. Ia adalah seorang muslim berkebangsaan inggris yang pandai dan ahli dalam bahasa Arab.

Terjemahan ke dalam bahasa non eropa dilakukan ke dalam bahasa-bahasa : Persia, Turki, Urdu, Benggali, Indonesia dan berbagai bahasa timur serta beberapa bahasa Afrika. Terjemahan Al-Qur’an pertama dalam bahasa urdu dilakukan ole Syah Abdul Qadir dari Delhi (wafat 1826). Setelah itu banyak juga yang lain menterjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa urdu tersebut, yang pada umumnya terjemahan-terjemahan itu tidak sampai selesai. Di antara terjemahan yang lengkap yang dipergunakan sampai sekarang ialah terjemahan Syah Rafiuddin dari Delhi, Syah Asyraf Ali Thanawi dan Maulvi Nazir Ahmad (wafat 1912).

Al-Qur’anul karim diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia telah dilakukan oleh Abdul Ra’uf Al-Fansuri, seorang ulama dari

   


(43)

  25

Singkel, pada pertengahan abad ke-17 M, jelasnya kedalam bahasa melayu. Terjemahan tersebut bila dilihat dari segi ilmu bahasa/tata bahasa Indonesia modern belum sempurna, namun pekerjaan itu sungguh besar artinya, terutama sebagai parintis jalan.

Di antara terjemahan yang lain ialah terjemahan yang dilakukan oleh kemajuan islam Yogyakarta, Qur’an kejawen dan Qur’an sundawiyah, terbitan percetakan A.B. Siti Syamsiah Solo, tafsir Hidayaturrahman oleh K.H. Munawir Khalil, tafsir Al-Qur’an Indonesia oleh Prof. Mahmud Yunus (1935), Al Furqan dan tafsir Qur’an oleh A. Hasan dari Bandung (1928), tafsir Al-Qur’an oleh H. Zainuddin Hamidi Cs (1959), Al Ibris disusun oleh K.H. Bisyri Musthafa dari Rembang (1960), tafsir Qur’anul Hakim oleh H.M. Kasyim Bakry Cs (1960) dan lain-lain. Dari terjemahan-terjemahan Al-Qur’an tersebut ada yang lengkap dan ada yang tidak selesai. Terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia yang kemunculannya menimbulkan pro dan kontra ialah bacaan mulia oleh kritikus sastra H.B. Jassin, yang dalam penterjemahan itu menggunakan pendekatan puitis.

Pemerintah RI menaruh perhatian besar terhadap upaya terjemahan Al-Qur’an ini. Hal tersebut terlihat semenjak pola I pembangunan semesta berencana, sampai pada masa pemerintahan sekarang ini. Al-Qur’an dan terjemahannya yang telah beredar di masyarakat dan yang telah berulang kali dicetak ulang dengan

   


(44)

  26

penyempurnaan-penyempurnaan, adalah bukti nyata dari besarnya perhatian pemerintah terhadap penerjemahan Al-Qur’an itu.16 Dalam penerjemahan Al-Qur’an terdapat 2 jenis terjemahan, yaitu : 1) Terjemahan Al-Quran Harfiah

Terjemahan Al-Quran secara harfiah adalah terjemahan yang dilakukan dengan apa adanya, sesuai dengan susunan dan struktur dari bahasa sumber. Terjemahan harfiah dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang terdapat dalam teks terlebih dahulu, setelah benar-benar dipahami kemudian dicari padanannya yang tepat ke dalam Bsa.

Muhammad Husain Al-Dzahabi membagi terjemahan harfiah ini dalam dua bagian, yaitu :

a) Terjemah harfiah bi Al-Mitsl, yaitu terjemahan yang dilakukan apa adanya, terikat dengan susunan dan struktur bahasa sumber yang diterjemahkan.

b) Terjemah Al-Qur’an Bighairi Al-Mitsl, pada dasarnya sama dengan terjemahan sebelumnya, hanya saja sedikit lebih longgar keterikatannya dengan susunan dan struktur bahasa sumber yang akan diterjemahkan.

2) Terjemahan Al-Qur’an Tafsiriah

Terjemahan Al-Qur’an secara tafsiriah atau yang lebih dikenal dengan penerjemahan maknawiyah yaitu menjelaskan makna atau arti kata dengan bahasa lain, tanpa terikat dengan tertib kata-kata       

16

M. Ali Hasan dan Rif’at Syauqi Nawawi. Pengantar Ilmu Tafsir. (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988).h. 177-180

   


(45)

  27

bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya. Terjemahan ini lebih mengedepankan maksud atau isi kandungan yang terdapat dalam bahasa sumber yang diterjemahkan. Terjemahan ini tidak terikat dengan susunan dan struktur gaya bahasa yang diterjemahkan. Dengan kata lain dapat pula disebut dengan terjemahan bebas.

b. Pebedaan Penerjemahan dengan Tafsir

Sebelum penulis menjelaskan perbedaan penerjemahan dengan penafsiran, penulis ingin memaparkan tentang penafsiran terlebih dahulu.

Tafsir atau at-tafsir menurut bahasa mengandung arti antara lain : 1) Menjelaskan, menerangkan, ( ﻟاو حﺎ ﻹا ), yakni ada sesuatu

yang semula belum atau tidak jelas memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga jelas dan terang.

2) Keterangan sesuatu ( حﺮ ﻟا), yakni perluasan dan pengembangan dari ungkapan-ungkapan yang masih sangat umum dan global, sehingga menjadi lebih terperinci mudah dipahami serta dihayati. 3) ( ةﺮ ﻔ ﻟا ),yakni (alat-alat kedokteran yang khusus dipergunakan

untuk dapat mendeteksi/mengetahui segala penyakit yang diderita seorang pasien). Kalau tafsirah adalah alat kedokteran yang mengungkapkan penyakit dari seorang pasien, makna tafsir dapat mengeluarkan makna yang tersimpan dalam kandungan ayat-ayat Al-Quran.

   


(46)

  28

Tafsir menurut istilah (terminoligis), para ulama memberikan rumusan yang berbeda-beda, karena perbedaan dalam titik pusat perhatiannya, nama dalam segi arah dan tujuannya sama. Adapun definisi tafsir adalah sebagai berikut :

1) Menurut Syaikh Thahir Al-Jazairy, dalam At-Taujih :

ﻮهﺎ إﺔ ﻟاﻰ ﺮ ﻔ ﻟا ﺎ ﻟاﺪ ﻐ ﻟا ﻔ ﻟاحﺮ

ﻮه

ا

وا داﺮ تﻻﻻﺪﻟاقﺮ ىﺪ ﺈ ﺔﻟﻻد ﻟوا رﺎ

“Tafsir pada hakikatnya ialah menerangkan (maksud) lafazh yang sukar dipahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada maksud baginya, baik dengan mengemukakan sinonimnya atau kata yang mendekati sinonim itu, atau dengan mengemukakan uraian yang mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan dalalah.”

2) Menurut Syaikh Al-Jurjani dalam At-Ta’rifat :

رﺎﻬ ﻹاو ﻜﻟا ﻷاﻰ ﺮ ﻔ ﻟا ﺔ ﻻاﻰ ﻮﺗعﺮ ﻟاﻰ و

:

ﺎﻬ و ﺎﻬ

ةﺮهﺎ ﺔﻟﻻد لﺪ ﻟﺬ ىﺬﻟا ﻟاو “Pada asalnya tafsir berartu membuka atau melahirkan, dalam pengertian syara’, (tafsir) ialah menjelaskan makna ayat : dari segi segala persoalannya, kisahnya, asbabun nuzulnya, dengan menggunakan lafazh yang menunjukkan kepadanya secara terang.”17

Terjemah, baik harfiyah maupun tafsiriyah bukanlah tafsir, terjemah tidak identik dengan tafsir. Banyak orang mengira bahwa       

17

M. Ali Hasan dan Rif’at Syauqi Nawawi. Pengantar Ilmu Tafsir. (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988).h. 139-141

   


(47)

  29

terjemah tafsiriyah itu pada hakikatnya adalah tafsir yang memakai bahasa non-Arab, atau terjemah tafsiriyah itu adalah terjemahan dari tafsir yang berbahasa Arab. Persoalan ini memang sejak dulu diperdebatkan dan dipersilisihkan. Antara keduanya jelas ada unsur kesamaan, yaitu bahwa baik tafsir maupun terjemah bertujuan untuk menjelaskan, tafsir menjelaskan

Sesuatu maksud yang semula sulit dipahami, sedangkan terjemah juga menjelaskan makna dari suatu bahasa yang tidak dikuasai melalui bahasa lain yang dikuasai. Ada unsur persamaan antara keduanya buakn berarti keduanya sama secara mutlak. Perbedaan-perbedaan keduanya antara lain :

1) Pada terjemah terjadi peralihan bahasa, dari bahasa sumber kebahasa sasaran, tidak ada lagi lafazh atau kosa kata pada bahasa sumber itu melekat pada bahasa sasaran. Bentuk terjemah telah lepas sama sekali dari bahasa yang diterjemahkan. Tidak demikian halnya dengan tafsir. Tafsir selalu ada keterikatan dengan bahasa sumbernya, dan dalam tafsir tidak terjadi peralihan bahasa, sebagaimana lazimnya dalam terjemah. Yang terpenting dan menonjol dalam tafsir ialah ada penjelasan, baik penjelasan kata-kata mufrad (kosa kata-kata) maupun penjelasan susunan kalimat. 2) Pada terjemahan sekali-kali tidak boleh melakukan “ داﺮ إ“

yakni penguraian luas melebihi dari sekedar mencari padanan kata, sedangkan dalam tafsir, pada kondisi tertentu, tidak hanya boleh melakukan penguraian meluas itu, tetapi justru penguraian luas itu

   


(48)

  30

3) Terjemah pada lazimnya mengandung tuntutan dipenuhi semua makna yang dikehendaki oleh bahasa sumber, tidak demiian halnya dengan tafsir. Yang menjadi pokok perhatiannya ialah tercapai penjelasan yang sebaik-baiknya, baik secara global maupun secara terperinci, baik mencakup keseluruhan makna saja, tergantung pada apa yang diperhatikan mufassir dan orang yang menerima tafsir itu.

4) Terjemah lazimnya mengandung tuntutan ada pengakuan, bahwa semua makna yang dimaksud, yang telah dialihbahasakan oleh

   


(49)

  31

penterjemah adalah makna yang ditunjuk oleh pembicaraan bahasa sumber dan memang itulah yang dikehendaki oleh penutur bahasa. Tidak demikian halnya dengan tafsir. Dalam dunia tafsir soal pengakuan sangat relative, tergantung pada factor kredibilitas mufassirnya. Mufassir akan mendapatkan pengakuan jika dalam menafsir itu ia didukung oleh banyak dalil yang dikemukakannya, sebaliknya ia tidak akan mendapatkan pengakuan ketika hasil tafsirnya itu tidak didukung oleh dalil-dalil.

Demikian pula jika yang melakukan penafsira itu orang yang sehaluan dengan yang membaca atau mendengar hasil tafsiran, maka akan mendapat pengakuan, akan tetapi jika tidak sehaluan, mungkin pengakuan itu tidak ada, atau jika ilmunya lebih rendah dari yang membaca atau yang mendengar hasil tafsiran itu, maka pengakuanpun tidak ada, demikian pula sebaliknya.18

B. Homonimi

1. Pengertian Hominimi

Homonimi berasal dari bahasa yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai “nama sama untuk benda atau hal lain’. Secara seamntik, verhaar (1978) member definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama.

       18

Ibid,. h. 175-177

   


(50)

  32

Umpamanya kata pacar yang berarti ‘inai’ dengan pacar yang berarti ‘kekasih’, antara kata bisa yang bererti racun ular dan kata bisa yang berarti sanggup, dapat. Contoh lain, antara kata baku yang berari standar dengan baku yang berarti saling, atau antara kata Bandar yang berarti pelabuhan dengan Bandar yang berarti parit dan Bandar yang berarti pemegang uang dalam perjudian.

Hubungan antara kata pacar dengan arti ini dan kata pacar dengan arti kekasih inilah yang disebut Homonim. Jadi kata pacar yang pertama berhomonim dengan kata pacar yang kedua. Begitu juga sebaliknya karena hubungan homonimi ini bersifat dua arah. Dalam kasus Bandar yang menjadi contoh di atas, homonimi ini terjadi pada tiga buah kata. Dalam bahasa Indonesia banyaj juga homonimi yang terdiri dari tiga buah kata.

Hubungan antara dua buah kata yang homonym bersifat dua arah. Artinya, kalau kata bisa yang berarti racun ular homonym dengan kata bisa yang berarti sanggup, maka kata bisa yang berarti sanggup juga homonim dengan kata bisa yang berarti racun ular. Kalau ditanyakan, bagaimana bisa terjadi bentuk-bentuk yang homonimi ini? Ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonimi.

Pertama, bentuk-bentuk homonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya kata bisa yang berarti racun ular berasal dari bahasa melayu, sedangkan bisa yang berarti sanggup berasal dari bahasa jawa. Contoh lain kata bang yang berarti adzan berasal dari bahasa jawaq, sedangkan kata bang (kependekan dari abang) yang berarti kakak laki-laki berasal dari bahasa melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang berarti pangkal

   


(51)

  33

permulaan berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal yang berarti kalau berasal dari dialek Jakarta.

Kedua, bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologis. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat ibu sedang mengukur kelapa di dapur adalah berhomonimi dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata kukur (me + kukur = mengukur), sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me + ukur = mengukur).

Sama halnya dengan sinonimi dan antonimi, homonimi ini pun dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.

Homonimi antar morfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya. Misalnya, antara morfem- nya pada kalimat: ini buku saya, itu bukumu, dan yang di sana bukunya’ berhomonimi dengan –nya pada kalimat “mau belajar tetapi bukunya belum ada.” Morfem –nya adalah kata ganti orang ketiga, sedangkan morfem –nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu.

Homonimi antar kata, misalnya antara kata bisa yang berarti racun ular dan kata bisa yang berarti snaggup atau dapat sperti sudah disebutkan di muka.

Homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya dan frase cinta anak yang berarti cinta kepada anak dari seornag ibu. Contoh lain, ornag tua yang

   


(52)

  34

berarti ayah ibu dan frase orang tua yang berarti orang yang sudah tua. Juga antara frase lukisan yusuf yang berarti lukisan milik yusuf dan lukisan yusuf yang berarti lukisan hasil karya yusuf, serta lukisan yusuf yang berarti lukisan wajah yusuf.

Homonimi antar kalimat, misalnya antara istri lurah yang baru itu cantik yang berarti lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik, dan kalimat istri lurah yang baru itu cantik yang berarti lurah itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik.19

2. Homonim dalam Bahasa Arab

Homonim (Al-Musytarak Al-Lafdzi)

Homonimi adalah beberapa kata yang sama, baik pelapalannya maupun bentuk tulisannya, tetapi maknanya berlainan. Menurut Moeliono, homo sedikitnya mempunyai dua makna. Pertama, homo yang berasal dari bahasa latin yang bermakna ‘manusia’. Kedua, homo yang berasal dari bahasa Yunani yang bermakna ‘sama’. Dalam kasus ini, homo yang terdapat dalam homonim berasal dari bahasa Yunani. Setidaknya inilah yang dikemukakan oleh Matthews. Nim (-nym) sendiri merupakan combining form yang mempunyai makna ‘nama’ atau ‘kata’. Jadi, homonim adalah beberapa kata yang mempunyai kesamaan bentuk dan pelafalan tetapi maknanya berbeda. Oleh Fromkin dan Rodman (1998:163), homonim diperkenalkan dengan nama lain homofon. Untuk

       19

Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta,1994) h. 93-96

   


(53)

  35

lebih sederhananya, Verhaar (1999:394) memperlambangkan homonim dengan X dan Y yang bermakna lain tetapi berbentuk sama.20

Pengaruh bahsa (kata) asing ked lam bahasa Indonesia ternyata mengakibatkan munculnya banyak homonimi. Homonin dalam bahasa Arab banyak sekali dapat ditemukan. Berikut contoh homonim dalam bahasa Arab:

a. Kata dharaba (بﺮ ) mempunyai artî (1) berdenyut; (2) mengepung; (3) memikat; (4) menembak; (5) memukul; (6) menyengat; (7) cenderung; (8) menentukan; (9) mengetuk. Semua kata dharaba yang mempunyai sedikitnya 9 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.

b. Kata tawallâﻰﻟﻮﺗ mempunyai artî (1) berkuasa; (2) menaruh perhatian; (3) mengendalikan diri; (4) mengerjakan; (5) mengemudikan; (6) memimpin. Semua kata tawallâ yang mempunyai sedikitnya 6 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.

c. Kata rusydﺪ ر mempunyai artî (1) dewasa; (2) sadar; (3) petunjuk; (4) rasio. Semua kata rusyd yang mempunyai sedikitnya 4 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.

d. Kata qabadha mempunyai artî (1) menekan; (2) mengembalikan; (3) mengerutkan: (4) menyempitkan; (5) melepaskan; (6) meninggalkan; (7) bersegera. Semua kata qabadha yang mempunyai sedikitnya 7 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.

       20

http//google.com diakses selasa15 juni 2010

   


(54)

  36

e. Tahlil n Puji-pujian kepada tuhan dengan menyebut la ila ha illallah. Tahlil n Pengesahan perkawinan antara suami istri yang telah bercerai tiga kali dengan perantaraan muhalil.

f. Sirat n Mata jala (jarring, rajut), Sirat n Celah, sela (antara gigi dan gigi), Sirat n Jembatan.

3. Homonimi dalam Bahasa Indonesia

Saeed (2000:63) menyebutkan bahwa homonimi adalah relasi antara kata fonologis yang sama namun maknanya tidak berhubungan. Definisi ini agak berbeda dengan definisi dari Matthews (1997:164) yang menyebut homonimi sebagai relasi antara kata-kata yang bentuknya sama namun maknanya berbeda dan tidak bisa dihubungkan. Menurut pendapat saya, definisi homonimi menurut Saeed rancu dengan definisi homofon, sedangkan definisi hominimi menurut Matthews rancu dengan definisi homograf. Homonimi seharusnya mencakup relasi antara kata yang pengucapannya dan bentuknya sama, namun maknanya tidak berhubungan.21

Berikut contoh homonim dalam bahasa Indonesia

• Rapat (berdempet-dempetan) dengan kata Rapat (meeting) • Beruang (hewan) dengan kata Beruang (punya uang) • Bisa (dapat) dengan kata Bisa (racun ular)

• Pacar (inai) dengan kata Pacar (kekasih)

• Bandar (pelabuhan), Bandar (parit), Bandar (pemegang uang dalam perjudian) 

       21

http//google.com diakses selasa15 juni 2010

   


(55)

  37

C. Pengertian kufr

Pada dasarnya, kufr merupakan sebuah perbuatan yang bertolak belakang dengan ketaatan sehingga sering kali diartikan sebagai sebuah pengingkaran. Kufr adalah bentuk ketidaktaatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh tuhan. Berkenaan dengan itu, lafadz kufr memilki arti yang kompleks dalam pemaknan lafaznya. Cawidu dalam penelitiannya telah menemukan sejumlah padanan kata yang berhubungan dengannya seperti term yang memilki hubungan secara eksplisit ataupun implicit. Term-term yang memilki sinonim dengan kufr itu sendiri secara eksplisit (mengandung makna kufr dalam dirinya) ialah juhud, ilhad, inkar, dan syirik. Sedangkan term-term lain yang hanya mengandung makna secara implisit (mengandung makna kekafiran) ialah fisq (keluar dari pkok agama), zulm (menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya), fujur (menyingkap penutup agama, berbuat dosa besar), jurm (berbuat hal yang tidak disenangi [perbuatan makruh]), dalal (menyimpang dari jalan yang lurus dengan mengingat tujuan), ghayy (menyimpang dari jalan yang lurus dengan melupakan tujuan), fasad (melakukan perbuatan yang merusak baik itu terhadap tatanan alam maupun manusia), I’tida (melampui batas atau menyimpang dalam kejahatan terhadap hak-hak orang lain), israf (melampui batas atau menyimpang dalam kejahatan), ‘isyan (berbuat dosa besar dan kecil), kibr (menunjukkan sikap angkuh dan membangkang dari rasul dan ajarannya serta ayat-ayat tuhan), kidzb (mendustakan hal-hal

   


(56)

  38

mengenai kebenaran) dan ghaflat (kealpaan memparhatikan ayat-ayat tuhan).22

Kufr ditinjau dari segi etimologi ialah berarti satira (menutupi), ‘asa (durhaka atau tidak taat), imtina (menghindar), jahada (mendustakan), ghata (menutupi).23 Adapun penggunaan secara bahasa yang sering digunakan oleh ulama ialah satira yang memilki arti menutupi. Pemilihan tersebut didasarkan pada sikap orang-orang kafir yang selalu enggan menerima kebenaran sehingga mereka selalu menutup-nutupinya. Sedangkan lawan dari kufr itu sendirir adalah iman atau keimanan yang berpihak pada kebenaran.24 Maka orang-orang ‘kafir’ enggan menyatakan keimanannya dan selalu melawan kebenaran.

Dalam ensiklopedi Indonesia, orang-orang yang mengingkari keimanan yakni orang yang menyangkal keesaan Allah dan kerasulan nabi Muhammad SAW, disebut sebagai orang yang ‘kafir’.25 Oleh karena itu, orang ‘kafir’ cenderung menyangkal kebenaran wahyu Allah yang telah dibawa oleh nabi Muhammad saw, kemudian dijelaskan melalui kitab Al-Qur’an dan ajaran-ajarannya (hadits). Pengingkaran atau kekufuran terhadap akidah yang tertera pada kedua sumber tersebut walaupun dalam bentuk masalah-masalah yang kecil seperti mengingkari salah satu rasul atau malaikat

       22

Harifuddin Cawidu. Konsep Kufr dalam Al-Quran, h. 54-87

23

Ibnu Mandzur, Lisan al’arab, jilid V (Beirut: dar el fikr, 1994),h.144-145

24

Ibnu mandzur, lisan al’arab, h.144. kafara: al-kafru: naqid al-iman (‘lawan dari iman’)

25

Hassan Shadiliy, Ensiklopedi Indonesia, Penyunting Susilastuti Suyoko (Jakarta: Ichtiar baru-Van Hoeve bekerjasam dengan Elsevier Publishing Project,tt), h.1394

   


(57)

  39

tetap saja dinyatakan sebagai kelompok orang-orang yang tidak beriman atau ‘kafir’.26

Harifuddin cawidu menganggap bahwa orang-orang ‘kafir’ itu adalah mereka yang menutup-nutupi kebenaran (kebenaran tuhan secara mutlak dan segala sumber kebenaran yang mengarah kepada-Nya). Kemudian ia juga membagi pengertian kufr menjadi dua bagian yakni kekafiran yang menyebabkan pelakunya tidak lagi behak disebut muslim (termasuk di dalamnya kufr syirik, kufr ingkar, kufr nifaq, dan kufr riddah) dan kekafiran yang mencakup semua perbuatan maksiat, dalam arti menyalahi perintah Allah dan melakukan larangan-larangannya, yang secara umum bisa disebut kufr nikmat. Pelaku dari jenis kufr kedua menurutnya tidaklah keluar dari islam meskipun dia akan menjalani hukuman tuhan.27

Pengingkaran terhadap masalah-masalh kecil atau pelanggaran terhadap perintah dan larangan tuhan yang berskala kecil, barang tentu akan mengantarkan pada pengingkaran hal-hal yang besar, begitupun juga dengan kekufuran, yang semula hanya bermakna tidak mensyukuri nikmat tiba-tiba bergeser secara alami menjadi makna tidak beriman.28 Dalam ensiklopedi islam karya Cyrill Glasse, orang ‘kafir’ diartikan sebagai orang yang mengingkari bukti kebenaran wahyu tuhan yang terdapat dalam ajaran nabi Muhammad, atau yang diajarkan pada nabi-nabi sebelumnya, termasuk mereka yang tidak bersyukur atas nikmat Allah dan juga kalangan atheis.29

       26

Umar Sulaiman Al-Asyqar, Belajar Tentang Allah SWT, Penerjemah Yusuf Syahrudin (Jakarta: Sahara Pulisher. 2008). h. 36

27

Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Quran (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 160-161

28

Faruq Sheriff, Al-Quran menurut Al-Quran, Penerjemah M.h. Assegaf dan Nur Hidayah (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001), cet. I, h. 169

29

Cyrill Glasse, Ensiklopedi Islam (ringkas), Penerjemah Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), cet,kedua, h. 201

   


(58)

 

   

40

       

Kata Al-kufr atau yang identik dengan ‘kafir’ sering diartikan sebagai keluar dari islam (murtad). Memang benar kufr merupakan lawan dari iman. Hanya saja, apakah setiap kata kufr selalu bermakna demikian, itulah yang menjadi persoalan. Kesalahan dalam menangkap makna kufr dapat berakibat fatal. Banyak orang yang salah memahami kufr, khususnya yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an.

Secara harfiah, kufr berarti tertutup, terhalang, dan terhapus. Namun, kata ini menjadi istilah khusus dalam perbincangan masalah akidah, yang menjadi lawan dari iman. Karenanya, ketika seseorang tidak lagi beriman, maka secara otomatis menjadi ‘kafir’.

Pada dasarnya, kata ini memiliki banyak arti yang di antaranya adalah ingkar, yaitu inkar terhadap wujud Allah. Masuk dalam kategori ini adalah orang-orang ateis. Makna kedua yaitu mengakui tetapi menolak karena gengsi atau dengki pada pembawa kebanaran (juhud), atau sebaliknya yaitu mengakui secara lisan namun hatinya menolak (nifaq). Orang seperti ini akan selalu menolak kebenaran meskipun pada dasarnya ia tahu bahwa hal itu adalah benar. Makna berikutnya adalah kufr nikmat,30 yaitu tidak mensyukuri nikmat Allah. Selain itu, kufr juga dapat berarti enggan melaksanakan perintah agama, tidak merestui atau berlepas diri, dan yang terakhir adalah syirik atau murtad.

Pemaknaan sebuah kata atau bahasa sangat erat kaitannya dengan budaya yang melatarbelakanginya. Karena suatu bahasa merupakan alat konunikasi,

  30

Ada beberapa faktor yang menjadikan seseorang terjerumus dalam kekufuran. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu:

1. Faktor internal : kepicikan, kebodohan, kesombongan dan keangkuhan, keputusasaan, kesuksesan dan kesenangan dunia.

2. Faktor eksternal : lingkungan, yaitu terlalu kuat dalam berpegang teguh pada tradisi nenek moyang, sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah : 170, yang memberikan isyarat bahwa lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai kekufuran kemudian ditambah dengan watak taklid dapat menyebabkan kekufuran dan penolakan terhadap kebenaran. Harifuddin Cawidu,


(59)

 

   

41

maka manusia sebagai pemakai bahasa selalui berusaha untuk memaknai bahasa itu sesuai dengan perkembangan manusia tersebut agar komunikasi yang dibangun selalu relevan dengan kondisi masayarakat tersebut. Demikian juga halnya dengan apa yang penulis bahas pada skripsi ini, yaitu kufr.


(60)

BAB III

BIOGRAFI H.B. JASSIN

A. Riwayat Hidup H. B. Jassin

Hans Bague Jassin atau sering disebut H.B. Jassin dilahirkan tanggal 31 juli 1917 di Gorontalo, Sulawesi Utara, dari keluarga Islam.1 Ayahnya bernama Bague mantu Jassin seorang kerani Bataafsche Petroleum Maatsschappij (BPM), dan ibunya bernama Habiba jau. Setelah menamatkan Gouverments HIS Gorontalo pada tahun 1932, Jassin melanjutkan pelajaran ke HBS-B 5 tahundi Medan, dan tamat akhir 1938.

Bulan Januari 1939, Jassin kembali ke Gorontalo. Antara bulan Agustus dan Desember 1939, Jassin bekerja sebagai volontair di kantor Asisten Residen Gorontalo. Akhir Januari 1940, Jassin menuju Jakarta dan mulai Februari 1940 hinnga 21 Juli 1947 bekerja di Balai Pustaka. Mula-mula dalam sidang pengarang redaksi buku (1940-1942), kemudian menjadi redaktur Panji Pustaka (1942-1945), dan wakil pemimpin redaksi Panca Raya (1945-21 juli 1947).

Setelah Panca Raya tidak terbit lagi, secara berturut-turut Jassin menjadi redaktur majalah Mimbar Indonesia (1947-1966), Zenith (1951-1954), Bahasa dan Budaya (1952-1963), Kisah (1953-1956), Seni (1955), Sastra (1961-1964 dan 1967-1969), Horrison (1966 sampai sekarang), dan Bahasa dan Sastra (1975).

       1

Pamusuk eneste, H.B. Jassin; Paus Sastra Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1987), h. 76 


(61)

  42

Mulai Agustus 1953, Jassin menjadi dosen luar biasa untuk mata kuliah Kesusastraan Indonesia Modern pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Disamping mengajar, Jassin juga mengikuti kuliah di fakultas yang sama. Tanggal 15 Agustus 1957, Jassin meraih gelar kesarjanaannya di Fakultas Sastra UI, dan kemudian memperdalam pengetahuan mengenai ilmu perbandingan sastra di Universitas Yale, Amerika Serikat (1958-1959).

Sebelum berangkat ke Amerika Serikat, Jassin pernah berencana untuk menulis disertasi mengenai Pujangga Baru, timbulnya, pertumbuhannya, bubarnya, lengkap dan latar belakangnya. Promotornya pun sudah ada yakni. Prof. Dr. Priyono.2 Akan tetapi, sepulang dari amerika serikat, Jassin tidak pernah lagi berbicara mengenai rencana itu. Bukan hanya itu, bahkan Jassin tidak mau lagi mengajar karena ia lebih tertarik dalam dunia penulisan daripada berdiri di depan kelas.3

Sejak Januari 1961, Jassin kembali menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Sastra UI. Akan tetapi, tidak lagi berdiri di depan kelas, melainkan hanya membimbing para mahasiswa yang membuat skripsi. Antara lain, Jassin membimbing penulisan skripsi boen s. oemarjati, m. saleh saad, m. s. hutagalung, j.u. nasution, bahrum rangkuti, dan lain-lain.

Jassin adalah salah seorang tokoh manifes kebudayaan, sebuah manifest yang dibuat 17 Agustus 1963 guna menentang pihak lembaga kebudayaan rakyat (lekra). Akibatnya sejak dilarang manifest kebudayaan oleh Bung Karno (3 Mei 1964), Jassin pun dipecat dari Fakultas Sastra UI.       

2

H.B. Jassin, surat-surat 1943-1983, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 136-138 dan 140 

3


(1)

Terjemahan versi Mahmud Yunus

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, kemudian menjadi kafir, kemudian beriman lagi, kemudian kafir pula, kemudian makin tambah kekafirannya, tiadalah Allah mengampuni mereka itu dan tiada pula menunjuki mereka ke jalan (kebenaran)”.

Penulis melihat bahwa tidak ada perbedaan makna antara dua versi terjemahan tersebut. Di sini penulis juga melihat terdapat homonim pada contoh ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 217 dan An-Nisa. kufr irtidad merupakan homonim dari kata kufr, kufr irtidad di sini mempunyai makna kembali kepada kekafiran.menjelaskan bahwa orang yang sudah beriman kembali menjadi ‘kafir’. Dari dua ayat di atas mempunyai makna penegasan bahwa orang yang Islam yang murtad dari agamanya lalu mati dalam keadaan ‘kafir’.

Dari segi historis, setidaknya pernah terjadi tiga kali peristiwa riddat dai masa rasulullah saw. Yang pertama, murtadnya Banu Mudlaj pimpinan Al-Aswad, yang ke dua murtadnya Banu Hanifah pimpinan Musailamah Al-Kadzab, yang ketiga, adalah murtadnya Banu Asad pimpinan Tulayhat bin Khuwailid. Al-Aswad dibunuh di Yaman oleh Fayruz Al-Daylami, Musailamah dibunuh pada zaman Abu Bakar As-Siddiq oleh Washi, sedangkan Tulayhat bersama kaumnya masuk Islam kembali setelah di taklukan oleh pasukan abu bakar di bawah panglima Khalid bin Al-Walid.

Dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara jelas faktor-faktor apa yang menyebabkan seorang muslim keluar dari agamanya dan menjadi ‘kafir’ (murtad). Al-Qur’an hanya member peringatan bahwa orang-orang


(2)

‘kafir’, khususnya di masa rasulullah, senantiasa berupaya keras agar orang-orang mukmin kembali menjadi ‘kafir’. Ini berarti orang-orang yang mengaku mukmin harus siap menghadapi berbagai godaan dan tantangan yang dapat menjerumuskan kepada kekafiran.

Terlihat jelas sekali penulis melihat bahwa homonimi dalam kata kufr memang banyak dan masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda dan juga mempunyai pemahaman yang berbeda.

Melihat dari terjemahan versi H.B. Jassin dan terjemahan versi Mahmud Yunus tidak ada perbedaan dari segi makna, tetepi berbeda dalam pemilihan diksi, dalam penerjemahan Mahmud yunus lebih menekankan pada bahasa sumber. Terjemahannya tidak mengulas tentang seni-seni bahasa dan nahwu kecuali sedikit sekali, beliau menjelaskan ayat-ayat dengan gaya bahasanya yang apa adanya, menyingkap beberapa makna dengan ungkapan yang mudah dan dapat diterima oleh kalangan awam, disertai penjelasan mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang dirasa rumit. Berbeda dengan H.B. Jassin pada terjemahnnya ia mengandung nilai-nilai seni, beliau menjelaskan ayat-ayat dengan gaya bahasa yang berisfat puitis. Menurut penulis terjemahan versi H.B. Jassin cukup akurat dalam pemilihan diksinya masih bisa dipahami, sedangkan terjemahan versi Mahmud Yunus masih kurang akurat terkadang masih ada yang sulit dipahami oleh pembaca, karena pada terjemahan beliau terkadang masih menekankan pada bahasa sumber. Menurut penulis, pemilihan diksi yang digunakan oleh Mahmud Yunus sudah baik. Karena mungkin latar belakang penerjemahnya seorang yang terjun pada bidang pendidikan.


(3)

A. Kesimpulan

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, diantara dua versi terjemahan (H.B. Jassin dan Mahmud Yunus) tidak ada perbedaan secara makna, tetapi berbeda dalam pemilihan diksi. Di sini Mahmud yunus masih menekankan pada bahasa sumber sedangkan terjemahan versi H.B. Jassin terjemhannya mengandung nilai-nilai seni. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh latar belakang penerjemah.

Perbincangan mengenai hakikat kufr memang menjadi salah satu titik poin yang sangat sensitif dikalangan muslim, khususnya masalah teologi umat muslim. Sering kali terjadi perdebatan dan bahkan berujung pada pembunuhan lantaran salah menempatkan kata kufr. Kesalahan dalam menangkap kata kufr dapat berakibat fatal. Banyak orang yang salah memahami kufr, khususnya yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an. Iman merupakan gambaran akidah manusia yang sebenarnya. Kita bisa mengatakan yang sebaliknya, yaitu kufr merupakan potret kebalikan dari iman. Ucapan atau amalan dapat menjadi sarana merefleksikan segi akidah dalm potret yang batil, yaitu potret kufr. Masalah keyakinan bersangkutan dengan hati, sedangkan kemampuan kita untuk mengetahuinya sangat terbatas, yaitu hanya melalui ucapan atau perilaku. Dengan demikian, kita harus menjadikan ucapan dan perilaku sebagai bukti keyakinan yang tersimpan di dalam hati seseorang.


(4)

  B. Saran

Melihat dari hasil kesimpulan di atas, agaknya akan menjadi tantangan besar bagi penerjemah Indonesia untuk dapat menciptakan sebuah terjemahan al-Qur’an dengan menyelaraskan budaya bangsa kita yang majemuk dan problematika kekinian. Hal ini diperlukan karena konteks budaya kita yang berbeda jauh dengan konteks budaya Timur Tengah di mana al-Qur’an diturunkan dan dimensi waktu pada saat al-Qur’an diwahyukan. Sedangkan ayat-ayat al-Qur’an berlaku secara universal, di semua tempat di seluruh dunia dan sepanjang zaman. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat teknis dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi zaman, selama tak menyimpang dari garis norma dan kaidah ketatabahasaan yang berlaku.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Cawidu, harifuddin. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang. 1991.

Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Cet ke dua. Jakarta: Rineka Cipta.2003.

___________. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Edisi revisi. Cet ke dua. Jakarta: Rineka Cipta.1994.

Djajasudarma, Fatimah. Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Refika. 1999.

Eneste, Pamusuk. H.B. Jassin: Paus Sastra Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1987. Federspiel, Howard M. Kajian Al-Qur’an di Indonesia; dari Mahmud Yunus

hingga M. Quraish Shihab. Bandung: Mizan. 1996.

Glasse, Cyrill. Ensiklopedi Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1999.

Habanakah, Abdurrahman. Pokok-Pokok Aqidah Islam. Jakarta: Gema Insane. 1998.

Jassin, H.B. Al-Qur’an Karim Bacaan Mulia. Jakarta: Yayasan 23 Januari 1982. ________. Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi. Jakarta: Pustaka Utama

Graffiti. 1995.

_________. Surat-Surat 1943-1983. Jakarta: Gramedia. 1984. _________. Majalah Tempo. Jakarta. 1975.

_________. Majalah Harmoni. Jakarta. 1994.

Keraf, Gorys. Komposisi. Jakarta: Penerbit Nusa Indah. 1979.

Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka. Utama. 1993.

___________. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Edisi kedua. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1996.

Kurrotulaini, siti. Analisis Semantik Terhadap Terjemahan Al-Qur’an Juz 30 (Surat al-Qadr, al-Alaq dan al-Ikhlash) Studi Komparatif antara


(6)

Terjemahan Hamka dengan Terjemahan Mahmud Yunus, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2008). Kushartanti. Pesona Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2005.

M. Ali Hasan dan Rif’at Syauqi Nawawi. Pengantar ilmu tafsir. Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1988.

Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemahan. Jakarta: PT. Grasindo. 2000. Mandzur, ibnu. Lisan al’Arab. jilid V. Beirut: dar el fikr. 1994.

Parera, J.D. Teori Semantik: Penerbit Erlangga.2004.

Rahman, abdur. Garis Pemisah Antara Muslim dan Kafir. Jakarta: Penerbit Firdaus. 1992.

Setiawan, M. Nur Kholis. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: El SAQ Press. 2005

Sheriff, Faruq. Al-Qur’an menurut Al-Qur’an. Penerjemah M.h. Assegaf dan Nur Hidayah. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. 2001.

Sulaiman, umar Al-Asyqar. Belajar Tentang Allah SWT. Penerjemah Yusuf Syahrudin. Jakarta: Sahara Pulisher. 2008.

Taryadi, Alfons. Seandainya Tak Ada H.B. Jassin. Kompas, 10 Juni 1975

Yunus, Mahmud. Tafsir Al-Qur’an Karim. Jakarta: Hidakarya Agung, Cet. Ke 73. 2004.