Lahirnya Pers Islam di Indonesia
Lahirnya
Pers
Islam
di
Indonesia
Salah
satu
hal
yang
turut
menentukan
perjuangan
umat
Islam
adalah
penguasaan
media
massa.
Melalui
media
massa,
peperangan
pemikiran
yang
sengit,
penyebaran
ilmu
serta
penguasaan
opini
di
masyarakat
dapat
dikuasai.
Perjuangan
umat
Islam
di
Indonesia
melalui
media
massa
nyatanya
memang
telah
berurat
dan
berakar,
bahkan
jauh
sebelum
Indonesia
merdeka.
Jika
kita
bercermin
dari
lembaran
sejarah,
akan
terlihat
media
massa
Islam
menjadi
roda-‐roda
penggerak
perjuangan
umat
Islam,
menjadi
minyak
yang
membakar
perjuangan
umat
Islam,
bahkan
seiring
sejalan
dengan
terbit
atau
terpuruknya
nasib
umat
di
negeri
ini.
Selama
berabad-‐abad,
Umat
Islam
di
Indonesia
telah
menjadi
satu
bagian
penting
dari
umat
Islam
di
dunia.
Ulama-‐ulama
melayu-‐nusantara
merajut
ukhuwah
sekaligus
jaringan
keilmuan
dengan
ulama-‐ulama
lain
berbagai
penjuru
dunia.
Mereka
membaur,
memusat
di
Mekkah
dan
Madinah
yang
menjadi
pusat
menimba
ilmu
di
dunia.
Para
penuntut
ilmu
itu
membentuk
suatu
komunitas
jawi
(ashab
al-‐jawiyun).
Entah
mereka
berasal
dari
Sumatera,
Malaya,
Jawa,
Sulawesi
atau
bagian
lain
dari
nusantara,
mereka
akan
dikenal
sebagai
orang
Jawi.
Komunitas
ini
berperan
besar
dalam
transmisi
ilmu
di
nusantara.
Selepas
menuntut
ilmu,
sebagian
dari
mereka
menetap
dan
mengajar
di
Tanah
Suci,
sebagian
lainnya
kembali
ke
kampung
halamannya.
Menyebarkan
ilmunya,
mencerahkan
umat
di
tanah
air,
dan
mendirikan
institusi-‐institusi
pendidikan
seperti
pesantren,
surau
atau
dayah.
Melalui
institusi
semacam
inilah
pengetahuan
Islam
ditimba.
Dan
Ulama
menjadi
poros
keilmuan
Islam
di
masyarakat.
Lembaran
sejarah
memasuki
halaman
baru,
di
abad
ke
19.
Setelah
Mekkah
dan
Madinah,
Kairo
kemudian
mulai
dilirik
oleh
orang-‐orang
melayu-‐nusantara
sebagai
salah
satu
kiblat
pendidikan
Islam
di
dunia.
Pesona
institusi
bernama
Al
Azhar
menyinarkan
kemilaunya.
Namun
gerakan
pembaruan
(atau
biasa
disebut
reformasi)
Islam
yang
menjadi
ruh
utamanya.
Pengaruh
Al
Afghany
dan
khususnya
Muhammad
Abduh
meniupkan
sebuah
angin
perubahan
yang
kencang
mendera
seluruh
negeri,
sampai
menjalar
ke
tanah
air.
Banyak
dari
penuntut
ilmu
yang
sebelumnya
berguru
di
Mekkah
dan
Madinah,
kemudian
melanjutkan
studinya
di
Kairo.
Di
sini
para
penimba
ilmu
dari
Melayu-‐Nusantara,
membentuk
komunitas
pelajar
yang
berasal
dari
Hindia
Belanda
dan
Malaya,
yang
disebut
Jawi
riwaq1
.
Mereka
kemudian
menjadi
penyerap
ide-‐ide
Muhammad
Abduh,
yang
tersebar
melalui
sirkulasi
Majalah
Al
Manar.
Seruan
pembaruan
yang
menggelorakan
gerakan
kembali
ke
Al
Quran
dan
Sunnah
mendapat
sambutan
hangat.
Ide-‐ide
Abduh
yang
berusaha
menjawab
keterpurukan
umat
Islam
turut
menarik
perhatian
kala
itu.
Pemikiran
Abduh
semakin
meluas
dengan
dilanjutkan
oleh
muridnya
Rasyid
Ridha.
Salah
satu
yang
terpengaruh
oleh
ide-‐ide
ini
adalah
seorang
pelajar
bernama
Tahir
Jalaluddin
(1869-‐1956).
Pemuda
Minang,
keturunan
Tuanku
Nan
Tuo,
seorang
ulama
besar
pada
masa
paderi,
.
Setelah
12
tahun
belajar
di
Mekkah
dengan
Syekh
Ahmad
Khatib
Minangkabawi,
tahun
1895
Thahir
Jalaluddin
meneruskan
pendidikannya
di
Kairo.
Di
sini
ia
mulai
mengenal
Al-‐Manar
dan
mengenal
Rashid
Ridha.
Bersama
sahabatnya,
Syekh
Sayid
Al
Hadi
(1867-‐1934),
Thahir
Jalaluddin
menempa
ilmu
di
Kairo.
Paham
pemurnian
Islam
melaju
deras
bersama
modernisasi
dalam
gerak
Islam.
Pemakaian
mesin
cetak
untuk
media
massa
dan
buku-‐buku
pelajaran
Islam,
yang
sebelumnya
ditolak
oleh
sebagian
ulama
karena
dianggap
bagian
dari
sekularisasi,
nyata-‐
nyata
menginspirasi
para
murid
Riwaq
Jawi
ini.
Pemakaian
teknologi
ini
kemudian
melahirkan
sebuah
budaya
cetak
yang
revolusioner,
yang
akan
mengubah
wajah
dunia
Islam
di
Hindia
Belanda
dan
sekitarnya.2
Mesin
cetak
pertama
kali
dikenalkan
ke
nusantara,
bahkan
Asia
Tenggara,
oleh
missionaries
Kristen
Jesuit
tahun
1588
di
Filipina.
Namun
baru
1744
ketika
Vendunieuws
muncul
sebagai
surat
kabar
pertama
di
Batavia.
Kemudian
Bataviasche
Coloniale
Courant
(1801)
menyusul.
Keduanya
merupakan
surat
kabar
yang
kebanyakan
berisi
berita
pelelangan
dan
iklan.
Berikutnya
perkembangan
surat
kabar
tak
lagi
terbendung.
Pemilikan
dan
peruntukan
surat
kabar
mulai
dari
orang
asing,
hingga
yang
diperuntukkan
bagi
masyarakat
melayu,
yaitu
Al
Djuab
(1795-‐1801)
bersemi
saat
itu.
Namun,
yang
seringkali
dikenang
adalah
Bintang
Hindia,
yang
di
asuh
oleh
Abdul
Rivai,
karena
mulai
memberikan
gambaran
Hindia
sebagai
sebuah
bangsa.
Ada
pula
Tirtoadsurjo,
tokoh
Sarekat
Dagang
Islam
(SDI)
yang
dikenal
mula-‐mula,
mendirikan
Soenda
Berita,
sebuah
mingguan
berbahasa
melayu
pertama
di
Indonesia
tahun
1903.
3
Begitu
menjamurnya
surat
kabar,
namun
tak
satu
pun
yang
membawa
Islam
sebagai
benderanya.
Barulah
pada
tahun
1906,
selepas
pulang
dari
Kairo,
Syekh
Tahir
Jalaluddin
menerbitkan
Al
Imam
di
Singapura.
Bersama
Syekh
Al
Hadi
(Singapura),
serta
Haji
Abbas
bin
Muhammad
Taha
(Aceh)
merintis
Al
Imam
menjadi
media
massa
Islam
pertama
di
tanah
Melayu-‐Nusantara.
Tentu
saja
saati
itu
belum
ada
negara
bernama
Indonesia,
Singapura
ataupun
Malaysia.
Yang
ada
ialah
wilayah-‐wilayah
yang
dijajah
oleh
Inggris
dan
Belanda.
Al
Imam
mampu
menerobos
batas-‐batas
kolonial
itu,
hingga
mampu
menciptakan
bayangan
akan
sebuah
komunitas
bernama
bangsa
melayu.
Sebuah
bayangan
yang
mampu
untuk
menembus
sekat-‐sekat
wilayah
yang
diciptakan
penjajah
dan
mengikat
bangsa
Melayu
menjadi
satu
dalam
ikatan
agama
Islam.
Pernyataan
itu
di
tandai
oleh
Al
Imam
dengan
pemakaian
istilah
Umat
Timur,
Umat
Melayu,
Umat
Kita
sebelah
sini,
Umat
Islam
kita
di
sini,
oleh
Al
Imam
untuk
menyebut
bangsa
Melayu.4
Sejak
awal
Al
Imam
memang
bersuara
menyatakan
penyesalannya
akan
nasib
umat
Islam
di
tanah
melayu-‐nusantara
yang
tertajajah
di
mana-‐mana.
Dalam
sebuah
edisinya,
mereka
menyebut
Tanah
Sumatera,
Tanah
Manado,
Tanah
Jawa,
Tanah
Borneo
dalam
genggaman
Belanda,
hingga
tanah
melayu
peninsula
dalam
cengkeraman
Inggris.
(Al
Imam
Vol.
1,
No.
3,
19
September
1906).
Harapan
mereka
tak
lain
agar
umat
Islam
mampu
meraih
kemerdekaannya.5
Al
imam
berdiri
mengibarkan
Islam
sebagai
dasarnya.
Menyebarkan
dakwah
Islam.
Mengikuti
jejak
jejak
Al
Manar
dengan
semangat
pembaruan
dan
pemurnian
Islam,
Al
Imam
menegaskan
haluannya
untuk
;
mengingatkan
mereka
yang
terlupa;
membangunkan
mereka
yang
terlelap;
menunjukkan
arah
yang
benar
kepada
mereka
yang
tersesat;
memberi
suara
kepada
mereka
yang
berbicara
dengan
bijak;
mengajak
umat
Islam
berupaya
sebisa
mungkin
untuk
hidup
menurut
perintah
Allah;
serta
mencapai
kebahagiaan
terbesar
di
dunia
dan
memperoleh
kenikmatan
Tuhan
di
Akhirat
(Al
Imam,
I
Juli
1906).
6
Nyatanya
pengaruh
Abduh
dan
Ridha
memang
besar
bagi
Al
Imam.
Majalah
Al
Manar
mewarnai
Al
Imam
begitu
kental.
Bahkan
Al
Imam
memuat
tafsir
Muhammad
Abduh
yang
dimuat
oleh
Al
Manar.
Tafsir
ini
mereka
muat
tahun
1908,
atau
dua
tahun
setelah
terbitnya
Al
Imam.
Pemuatan
tafsir
Al
Manar
karya
Muhammad
Abduh
ini,
bagaimana
pun
membuka
pintu
reformasi
agama
di
tanah
melayu
dan
Hindia
Belanda.
Jika
sebelumnya
tafsir
yang
dipakai
di
Hindia
Belanda
umumnya
adalah
tafsir
Jalalain
(Al-‐Suyuthi)
yang
hanya
dipelajari
di
pesantren,
maka
kini
Al
Imam
membuat
tafsir
yang
dapat
dibaca
oleh
kalangan
yang
lebih
luas.
Melalui
media
massa
cetak
pula,
Al
Imam
membuka
pintu
pembelajaran
bagi
umat
Islam,
yang
biasanya
hanya
di
lakukan
di
pesantren.
Hal
ini
turut
melepas
‘monopoli’
ulama
tradisional
di
Pesantren
sebagai
satu-‐satunya
pemegang
otoritas
keilmuan.
Dan
yang
terpenting
Al
Imam
membawa
budaya
baru
bagi
umat
Islam
di
Melayu
dan
Hindia
Belanda,
yaitu
budaya
cetak.
Kemajuan
inilah
yang
akhirnya
membuka
pintu
lahirnya
pers
Islam
lainnya
di
Indonesia.
Jejak
Al
Imam
meresap
begitu
mendalam
bagi
umat
Islam
di
Hindia
Belanda,
hingga
tahun
1911
di
Sumatera
Barat
terbitlah
sebuah
majalah
bernama
Al
Munir.
Al
Munir
didirikan
sebagai
wadah
bagi
kaum
muda
yang
menggelorakan
pembaruan
Islam
di
Sumatera
Barat.
Didirikan
oleh
Haji
Abdullah
Ahmad,
Al
Munir
menjadikan
Al
Imam
sebagai
contohnya.
Haji
Abdullah
Ahmad
sendiri
sebelumnya
adalah
perwakilan
Al
Imam
di
Padang
Panjang.
Kunjungannya
ke
Singapura
memungkinkan
dirinya
untuk
mempelajari
manajemen
penerbitan
ala
Al
Imam
dan
keterampilan
teknis
menerbitkan
majalah.
Begitu
sentralnya
peran
Haji
Abdullah
Ahmad,
hingga
ia
seringkali
dipanggil,
Haji
Abdullah
Al
Munir.7
Haji
Abdullah
Ahmad
tidak
sendirian
dalam
membesarkan
Al
Munir.
Ia
membesarkan
bersama
dua
orang
sahabatnya,
Haji
Abdul
Karim
Amrullah
(ayah
dari
Buya
Hamka)
dan
Syekh
Jamil
Jambek.
Mereka
merupakan
murid
langsung
dari
Syekh
Ahmad
Khatib
Minangkabawi.
Sepulang
dari
Mekkah,
mereka
kembali
ke
sumatera
Barat
untuk
menggerakan
paham
pembaruan
agama
di
sana.
Maka
tak
heran
jika
Al
munir
bertujuan
untuk;
memperoleh
agama
Islam
yang
sejati
serta
menegakkan
syariat
Nabi
Muhammad
yang
benar
dengan
dorongan
menghidupkan
kembali
tradisi
Nabi
dan
mengutuk
bid’ah
dalam
praktik
ibadah
umat
Muslim
(Al
Munir
3,
2,
1913).
Seperti
Al
Imam,
Al
Munir
juga
memiliki
hubungan
yang
erat
dengan
Al
Manar
dibawah
kendali
Rashid
Ridha.
Seringkali
Al
Munir
merujuk
pada
fatwa-‐fatwa
yang
terdapat
dalam
Al
Manar.
Umpamanya
mengenai
pakaian
barat,
yang
dahulu
sering
dilarang
oleh
ulama
tradisional
karena
indentik
dengan
orang
kafir.
Pendapat
Rashid
Ridha
yang
menolak
pendapat
ini,
dijadikan
rujukan
oleh
Haji
Abdullah
Ahmad.
8
Pada
praktiknya,
Al
Munir
tidak
hanya
bersuara
keras
terhadap
praktik
bid’ah,
tetapi
juga
pada
pemerintah
kolonial
Belanda.
Kritik-‐kritik
keras
terhadap
pemerintah
kolonial
membuat
mereka
mendapatkan
tekanan
dan
pengawasan
dari
pemerintah
kolonial
saat
itu.
Al
Munir
pun
kerap
bersuara
mengenai
kemerdekaan
bangsa
di
Hindia
Belanda.
Namun
ketatnya
pengawasan
pemerintah
kolonial,
membuat
mereka
menyampaikannya
secara
hati-‐hati
dan
terselubung,
misalnya
dengan
membahas
kemerdekaan
Turki,
Mesir
dan
India
dari
jeratan
penjajah.
Bahkan
ketika
membahas
suatu
tulisan
tentang
ilmu
pengetahuan-‐pun,
ujungnya
akan
membahas
bagaimana
mencapai
kemerdekaan.9
Pada
masa
jayanya,
Al
Munir
tidak
hanya
berpusat
pada
media
massa,
tetapi
juga
memiliki
usaha
percetakan.
Penyebaran
Al
Munir
tidak
hanya
di
Sumatera
barat,
namun
sampai
ke
Jawa,
Sulawesi,
Kalimantan
dan
Malaya.
Dalam
penerbitannya,
Al
munir
memuat
tulisan
mengenai
persatuan
umat
Islam,
pengetahuan
agama,
serta
hukum
agama
yang
berkaitan
dengan
adat.
Keistimewaan
Al
Munir
adalah
ia
menjadi
majalah
yang
masih
menggunakan
huruf
arab
melayu.
Namun
pemakaian
huruf
arab
melayu
memang
berada
di
tepi
jurang.
Membanjirnya
mesin
cetak
yang
memakai
huruf
latin
membuat
pencetakan
dengan
huruf
arab
melayu
sulit
bersaing.
Hal
ini
pula
yang
turut
menerpa
Al
Munir.
Namun
terbakarnya
kantor
mereka
menjadi
pertanda
lonceng
kematiannya.
Di
Sumatera
Barat
tak
hanya
Al
Munir,
pers
yang
berlandaskan
Islam.
Hadir
pula
Al
Itqan,
Al
Bayan
dan
Munirul
Manar
yang
diterbitkan
perguruan
Sumatera
Thawalib.
Saat
itu
memang
masa-‐masa
keemasan
pers
di
Sumatera
Barat.
Tetapi
di
pulau
Jawa,tempat
lahirnya
Sarekat
Islam,
gaung
pers
Islam
juga
terdengar
kencang.
Melahirkan
berbagai
media
massa
yang
menyokong
perjuangan
mereka.
Sarekat
Islam,
semenjak
di
bawah
kemudi
Hadji
Omar
Said
Tjokroaminoto
memainkan
peran
besar
dalam
pergerakan
Islam
di
tanah
air.
Dengan
karisma
dan
pidatonya
yang
memukau
Tjokroaminoto
memiliki
banyak
pengikut,
bahkan
tak
sedikit
yang
menanggapnya
sebagai
Ratu
Adil.
Namun
kepiawaian
Raja
Jawa
tanpa
mahkota
ini
tak
hanya
di
mimbar
rapat-‐rapat
umum.
Tetapi
juga
di
media
massa.
Oetoesan
Hindia
adalah
media
massa
pertama
yang
menjadi
corong
Sarekat
Islam.
Terbit
tahun
1913,
Oetoesan
Hindia
adalah
harian
yang
di
gawangi
oleh
Tjokroaminoto.
Beberapa
bulan
kemudian
Sarekat
Islam
(SI)
cabang
Bandung
menerbitkan
Hindia
Serikat
yang
salah
satunya
dibidani
oleh
Abdul
Muis.
Di
Batavia,
SI
menerbitkan
Pantjaran
Warta
yang
dikemudikan
oleh
Goenawan.
Di
Semarang,
SI
Semarang
mulai
menerbitkan
Sinar
Djawa.10
Sarekat
Islam
semakin
bergerak
maju
ketika
pada
tahun
1916,
mereka
menerbitkan
Al
Islam.
Di
kemudikan
oleh
Tjokroaminoto
dan
Haji
Abdullah
Ahmad
(Al
Munir),
Al
Islam
bersuara
lebih
kencang
dalam
hal
politik.
Ia
menjadi
jembatan
bagi
gerakan
politik
Islam.
Al
Islam
menyatakan
dirinya
sebagai,
‘
Tempat
soeara
anak
Hindia
yang
tjinta
igama
dan
tanah
ajernjya.’11Dengan
darah
pembaruan
agama
yang
dibawa
Haji
Abdullah
Ahmad
serta
kecenderungan
politik
radikal
Tjokroaminoto,
Al
Islam
menggelorakan
pembaruan
agama
dan
politik.
Al
Islam
semakin
merangsek
wacana
di
Hindia
Belanda
saat
itu,
dengan
berani
menyuarakan
hak
untuk
memerintah
bagi
bangsa
sendiri.
Untuk
menyuarakannya,
Al
Islam
menggulirkan
istilah
Bangsa
Islam
tanah
Hindia.12
Al
Islam
tidak
sendirian,
tokoh
SI
lainnya,
Haji
Agus
Salim,
bersama
Abdul
Muis
menerbitkan
harian
Neratja,
yang
juga
berorientasi
politik.
Haji
Agus
Salim
pun
nantinya
dikenal
sebagai
orang
dibalik
Hindia
Baru
(1925-‐1926),
Bendera
Islam
(bersama
Tjokroaminoto)
dan
Fajar
Asia
(Tjokroaminoto-‐H.
Agus
Salim
kemudian
Kartosuwirjo;
1927-‐1930
).13
Harian
Fajar
Asia,
saat
itu
adalah
kerikil
tajam
bagi
pemerintah
kolonial.
Harian
itu
terkenal
gigih
membuka
kebusukan
praktek
poenale
sanctie
(yang
menggiring
puluhan
ribu
anak
bangsa
bekerja
sebagai
kuli
kontrak
di
perkebunan
Sumatera),
heerendienst
(kerja
rodi)
dan
erfpacht
(yang
mengeksploitasi
tanah
dengan
system
sewa
kontrak),
dimana
buruh
dihisap,
tenaganya
diperas
habis-‐habisan
serta
berbagai
kebiadaban
yang
mengiringinya.
Tajamnya
kritik
H.
Agus
Salim
melalui
Fajar
Asia
(kemudian)
Mustika,
membuatnya
dikenal
sebagai
pembela
hak-‐hak
buruh.
14
Di
Jogjakarta,
muncullah
nama
tokoh
Muhammadiyah,
H.
Fachrodin.
Ia
adalah
diantara
murid-‐
murid
langsung
KH
Ahmad
Dahlan
dan
merupakan
saudara
kandung
dari
Ki
Bagus
Hadikusumo.
Nama
H.
Fachrodin
malang
melintang
di
berbagai
media
massa
saat
itu.
Ia
pernah
menjadi
koresponden
tetap
dari
Doenia
Bergerak
(terbit
1914),
sebuah
surat
kabar
berhaluan
kiri.
Selain
itu
H.
Fachrodin
pernah
menjadi
redaktur
Medan
Muslimin
(1915),
sebuah
surat
kabar
radikal
dibawah
pimpinan,
‘Haji
Merah’
Haji
Misbach.
Berikutnya
H.
Fachrodin
menjadi
hoofdredacteur
(pemimpin
redaksi),
Srie
Diponegoro
(1918),
Soewara
Moehammadijah,
dan
Bintang
Islam.
15
Di
tengah
Bintang
Islam-‐lah,
nama
H.
Fachrodin
banyak
meninggalkan
kesan.
Berdiri
tahun
1922,
Bintang
Islam
menjadi
majalah
dwi
mingguan
Islam
yang
dikelola
secara
professional.
Tirasnya
mencapai
1500
eksmeplar
dan
menjangkau
hingga
Singapura,
Perak
dan
Johor.
Bintang
Islam
memuat
berita
seputar
Islam
di
tanah
air
dan
luar
negeri.
Bahkan
Bung
Hatta
pernah
menjadi
koresponden
Bintang
Islam,
saat
ia
masih
di
Amsterdam.
Sampai
meninggalnya,
H.
Fachrodin
menjabat
selaku
hoofdredacteur
Bintang
Islam.
16
Tulisan
H.
Fachrodin
menyebar
di
berbagai
media
saat
itu,
merentang
pembahasannya,
mulai
dari
agama
Islam,
Kristen,
hingga
kepeduliannya
terhadap
nasib
rakyat
yang
begitu
menderita.
Ia
misalnya
pernah
menulis
tentang
‘Christen
dan
Moehammadijah’
dan
‘Islam
Njawa
Kemadjoean’
(di
Soewara
Moehammadijah),
Verslag
saja
selama
bepergian
ke
Mekkah
(di
Soewara
Moehammadijah
&
Islam
Bergerak),
dan
sebuah
kritik
yang
tajam,
dan
mengantarkannya
meringkuk
dibalik
terali
besi
oleh
pemerintah
kolonial.
Penyebabnya
karena
kala
itu
Ia
menulis
nasib
rakyat
yang
menderita,
“Kebon
tebu
jang
ditanam
diatas
tanah
kita
dengan
djalan
jang
koerang
menjenangkan,
sehingga
menjebabkan
kelaparannja
anak-‐anak
boemi…”
(Srie
Diponegoro).17
Selepas
wafatnya
H.
Fachrodin,
Majalah
Bintang
Islam
kemudian
mengenang
beliau
dalam
edisi
khusus
‘Fachrodin
Nummer.’
“Pandai
beliau
menoelis
dan
mengarang
pada
kemoediannja
itoe,
ialah
dari
kawan-‐kawannja
jang
selaloe
bergaoelan
dan
bermain-‐main…,
Begitoe
joega,
kerap
sekali
beliaoe
membawa
pertanjakan
kepada
orang
jang
lebih
pandai,
tentang
apa
sahadja,
sehingga
dimengertilah
matjam-‐matjam
pengetahoean.”
(Bintang
Islam
no
14-‐15
th
1930).
Pers
Islam
pada
masa
itu
memang
menjadi
pers
yang
ideologis
dan
tidak
menjaga
jarak
dengan
penderitaan
rakyat.
Terlebih
jika
berhubungan
dengan
kepentingan
umat
Islam,
maka
menjadi
suara
yang
lantang.
Suara-‐suara
itu
semakin
lantang,
jika
Islam
dinistakan.
Dan
salah
satu
yang
dikenal
sebagai
benteng
umat
Islam
adalah
majalah
Pembela
Islam.
Pembela
Islam
adalah
majalah
dua
bulanan
yang
diterbitkan
oleh
tokoh
Persatuan
Islam
(Persis),
Ustad
A.
Hassan
tahun
1929.
Bersama
Fachrudin
Al
Kahiri
dan
M.
Natsir,
Pembela
Islam
menjadi
pers
Islam
yang
gigih
membela
Islam.
Pembela
Islam
menjadi
salah
satu
lawan
dari
tokoh-‐tokoh
Nasionalis
sekuler
yang
kerap
menggelorakan
ide
sekularisme.
Tulisan-‐tulisan
seperti
‘Merdeka
buat
apa?’,
dan
‘Kebangsaan
jangan
di
Bawa-‐bawa’
menjadi
beberapa
contoh
aktifnya
Pembela
Islam
mengutuk
ide
nasionalisme
dan
sekularisme.
Namun
salah
satu
yang
patut
dikenang
hingga
kini
adalah
polemik
antara
Sukarno
dan
M.
Natsir
mengenai
Islam
melawan
sekularisme.
Pembela
Islam
juga
kerap
bersuara
mengecam
orang-‐orang
yang
menistakan
Islam
dan
ajarannya.
Salah
satunya
adalah
tulisan
Dr.
Soetomo,
yang
menganggap
pengasingan
di
Digul
lebih
baik
daripada
Mekkah.Ia
menganggap
orang
yang
diasingkan
ke
Digul
adalah
orang-‐orang
yang
dihukum,
tetapi
pergi
ke
Mekkah
hanyalah
soal
kewajiban
agama
semata.
M.
Natsir
menanggapi
tulisan
Dr.
Soetomo
dengan
menyebutnya
meniru
dengan
buta
buku-‐buku
barat.
Natsir
justru
mengingatkan
betapa
para
haji
yang
pulang
dari
Mekkah
sangat
ditakuti
oleh
pemerintah
kolonial.
Pembela
Islam
juga
menyerang
paham
sesat
Ahmadiyah
Qadian,
dengan
menurunkan
tulisan
perdebatan
langsung
antara
A.
Hassan
dengan
Rahmat
Ali
dari
Ahmadiyah
di
tahun
1933
dan
1934.
Praktek
kristenisasi
dan
pelecehan
oleh
missionaries
terhadap
Islam
tak
luput
dari
kritik
keras
Pembela
Islam.
Seperti
misalnya
tulisan
Natsir
yang
berjudul
Zending
Contra
Islam
(1931).
18
Maka
tak
salah
ketika
Buya
Hamka,
yang
menjadi
salah
satu
pembaca
Pembela
Islam,
mengatakan,
“Mulai
saja
majalah
itu
dibaca,
timbullah
dalam
jiwa
semangat
yang
terpendam
yaitu
semangat
hendak
turut
berjuang
dalam
Islam.
Artikel-‐artikel
yang
dimuat
di
dalamnya
menggugah
perasaan
hati
untuk
bangun,
bergerak,
berjuang
hidup
dan
mati
dalam
Islam.”19
Ia
lalu
menambahkan,
yang
ditunggu-‐tunggu
dari
Pembela
Islam
adalah
tulisan-‐tulisan
M.
Natsir.
“Artikel-‐artikel
dari
M.
Natsir
di
dalam
majalah
Pembela
Islam
itu
sangat
menarik
hati
saya.
Saya
pun
seorang
pengarang.
Tetapi
saya
mengakui
bahwa
karangan
Natsir
memberi
saya
bahan
untuk
hidup,
sehingga
saking
tertariknya
saya
kepada
tulisan-‐tulisannya
itu,
saya
pun
mencoba
mengirim
karangan
kepada
Pembela
Islam,dan
karangan
saya
disambut
baik
dan
dimuat
dalam
Pembela
Islam.”
Begitulah
kesaksian
Buya
Hamka.
20
Masa-‐masa
semaraknya
pers
Islam
di
Indonesia
juga
menghampiri
dunia
pesantren.
Di
kalangan
Nadhlatul
Ulama,
terbit
Suara
NU
yang
beraksara
arab
pegon.
Ada
pula
Berita
NU,
dipimpin
oleh
KH
Mahfudz
Shiddiq
yang
beraksara
latin.
Tahun
1941
menyusul
terbit
Soeloeh
NU
yang
diterbitkan
oleh
Hoofdbestur
NU
Bagian
Ma’arif.
Soeloeh
NU
di
pimpin
langsung
oleh
KH
A.
Wahid
Hasyim.
Terbitnya
Soeloeh
NU,
tak
lain
sebagai
wadah
informasi
dan
saluran
modernisasi
di
NU,
sebagaimana
tujuannya;
Bulanan,
membicarakan
perkara-‐perkara
kemadrasahan.21
Pers
Islam
semakin
bertaburan
menghiasi
pergerakan
di
Indonesia.
Tak
hanya
di
Sumatera
Barat
dan
Jawa,
tetapi
merambah
hingga
Kalimantan,
hingga
Ambon.
Di
Kalimantan
hadir
Persatuan
(Samarinda),
Pelita
Islam
(Banjarmasin).
Di
Bangkalan,
Madura,
terdengar
Al
Islah
(yang
kemudian
dibredel
tahun
1936).
Di
Ambon,
hadir
SUISMA
yang
terbit
tiga
kali
dalam
sebulan.
Namun,
yang
mencolok
kala
itu
adalah
Sumatera
Utara
(Medan).
Medan
kemudian
dikenal
sebagai
gudangnya
pers
Islam.
Sebut
saja
Suluh
Islam
(KH
Abdul
Madjid
Abdullah),
Medan
Islam,
Al
Hidayah,
Medan
Islam,
Menara
Puteri
(Rangkayo
Rasuna
Said)
hingga
Panji
Islam
(ZA
Ahmad-‐kelak
menjadi
tokoh
Masyumi).
Namun
tak
ada
yang
dapat
menandingi
prestasi
Pedoman
Masyarakat.
Terbit
di
Medan,
Sumatera
Utara
tahun
1935,
Pedoman
Masyarakat
identik
dengan
nama
Buya
Hamka
dan
Yunan
Nasution
(kelak
keduanya
bertemu
kembali
di
Masyumi).
Bergabung
pada
usia
28
tahun,
Buya
Hamka
menjadi
Pemimpin
Redaksi
Pedoman
Masyarakat,
awalnya
hanya
beroplah
500
eksemplar,
namun
ditangannya,
melonjak
oplahnya
hingga
4000
eksemplar.
Suatu
prestasi
yang
luar
biasa
untuk
sebuah
majalah
pada
masa
itu
dikenal
sebagai
zaman
sulit.
Memasang
motto
‘Memajukan
Pengetahuan
dan
Peradaban
Berdasarkan
Islam’,
Pedoman
Masyarakat
nyata-‐nyata
bekerja
untuk
peradaban.
Di
kupasnya
masalah
pengetahuan
umum,
agama,
sejarah,’
Alam
perempuan’,
‘Dunia
Islam’
serta
‘Cermin
Hidup’.
Di
ruang
inilah
lahir
karya-‐
karya
besar
Buya
Hamka
seperti,
Merantau
ke
Deli,
Tenggelamnya
Kapal
Van
Der
Wijk,
Tasauf
Modern
dan
lain-‐lain.
Sementara
Yunan
Nasution
memegang
peran
penting
sebagai
penulis
rubrik
editorial,
Syma
Nare.
Namun
Pedoman
Masyarakat
tidak
hanya
mengandalkan
penulisnya
sendiri,
beragam
kalangan
dimuat
tulisannya
oleh
Pedoman
Masyarakat,
seperti
Soekarno
dari
nasionalis,
sederet
tokoh
Islam
seperti
H.
Agus
Salim,
dan
M.
Natsir,
KH
Mas
Mansyur,
hingga
tokoh
perempuan
seperti
Rangkayo
Rasuna
Said.
Pedoman
Masyarakat
juga
tak
luput
dari
pengawasan
pemerintah
kolonial.
Kritik-‐kritik
tajamnya
membuat
Pedoman
berkali-‐kali
nyaris
bersalaman
dengan
pembredelan.
Namun
dicengkaraman
penjajahan
Jepang-‐lah
Pedoman
Masyarakat
beserta
banyak
media
massa
lainnya
menemui
ajalnya.
Sulitnya
bahan
baku
kertas
serta
penindasan
jepang
membuat
masa
itu
menjadi
kuburan
massal
bagi
pers
kala
itu.
Dibalik
kesulitan-‐kesulitan
yang
mengepung,
pers
Islam
tetap
berkiprah
dengan
semangat
yang
membara.
Mereka
terus
bersuara
lantang,
dengan
landasan
Islam.
Menjadi
pembela
hak-‐hak
rakyat
yang
terjajah,
walaupun
kerap
diintai
ranjau
undang-‐undang
pers
yang
sewenang-‐wenang
dan
siap
membungkam.
Namun
nyatanya
pers
Islam
tetap
bergerak.
Pers
Islam
tidak
hanya
menjadi
pembentuk
opini
untuk
meninggikan
kalimat
Allah,
tetapi
juga
menjadi
pembela
agamanya.
Pers
Islam
tidak
pernah
menanggalkan
identitasnya,
dan
justru
karena
identitas
Islam
itu,
pers
Islam
tidak
pernah
tertinggal
dalam
setiap
peristiwa
nasional
yang
mewarnai
perjalanan
bangsa
ini.
Mulai
dari
pembentukan
sebuah
bayangan
akan
komunitas
yang
kelak
bernama
Indonesia,
hingga
melawan
penjajahan
dan
pendukung
kemerdekaan.
Pers
Islam
tidak
hanya
berenang-‐renang
ditepian,
tapi
ia
terjun
dipusaran
perjalanan
negeri
kita.
Oleh:
Beggy
Rizkiyansyah
Pegiat
Jejak
Islam
untuk
Bangsa
(JIB)
www.jejakislam.net
1
Zakariya,
Hafiz.
2011.
Cairo
and
The
Printing
Presses
as
The
Modes
in
the
Dissemination
of
Muhammad
Abduh’s
Reformism
to
Colonial
Malaya.
IPEDR,
vol
17.
2
th
Burhanuddin,
Jajat.
2004.
The
Fragmentation
of
Religius
Authority
:
Islamic
Print
Media
in
Early
20
Century
Indonesia.Studia
Islamika,
11
(1)
3
Sunarti,
Sastri.
2013.
Kajian
Lintas
Media,
Kelisanan
dan
Keberaksaraan
dalam
Surat
Kabar
Terbitan
Awal
di
Minangkabau
(1859-‐1940-‐an).
Jakarta
:
KPG
4
Laffan,
Michael
Francis.
2003.
Islamic
Nation
Hood
and
Colonial
Indonesia,
The
Umma
Below
the
Winds.
New
York
:
RoudledgeCurzon.
5
Ibid
6
Burhanudin,
Jajat.
2012.
Ulama
&
Kekuasaan,
Pergumulan
Elite
Muslim
dalam
Sejarah
Indonesia.Jakarta
:
Mizan
Publika
7
Ibid
8
Jajat
ulama
kekuasaan
9
Sunarti,
Sastri.
2013.
Kajian
Lintas
Media,
Kelisanan
dan
Keberaksaraan
dalam
Surat
Kabar
Terbitan
Awal
di
Minangkabau
(1859-‐1940-‐an).
Jakarta
:
KPG
10
th
Burhanuddin,
Jajat.
2004.
The
Fragmentation
of
Religius
Authority
:
Islamic
Print
Media
in
Early
20
Century
Indonesia.Studia
Islamika,
11
(1)
11
ibid
12
Ibid
13
Ibid
14
Busyairi,
Badruzzaman.
1985.
Catatan
Perjuangan
HM
Yunan
Nasution.
Jakarta
:
Pustaka
Panjimas.
15
Mu’arif.
2010.
Benteng
Muhammadiyah.
Yogyakarta
:
Suara
Muhammadiyah.
16
Ibid
17
ibid
18
Federspiel,
Howard
M.
1966.
The
Persatuan
Islam
(Islamic
Union).
Tesis
Phd.
Institute
of
Islamic
Studies,
McGill
University,Montreal.
19
Panitya
Peringatan
M.
Natsir/M.
Roem
70
tahun.
1978.
M.
Natsir
70
tahun
Kenang-‐kenangan
Kehidupan
&
Perjuangan.
Jakarta:
Pustaka
Antara.
20
Ibid
21
H.
Aboebakar.
2011.
Sejarah
Hidup
K.H.
A.
Wahid
Hasjim.
Bandung:
Mizan
Pers
Islam
di
Indonesia
Salah
satu
hal
yang
turut
menentukan
perjuangan
umat
Islam
adalah
penguasaan
media
massa.
Melalui
media
massa,
peperangan
pemikiran
yang
sengit,
penyebaran
ilmu
serta
penguasaan
opini
di
masyarakat
dapat
dikuasai.
Perjuangan
umat
Islam
di
Indonesia
melalui
media
massa
nyatanya
memang
telah
berurat
dan
berakar,
bahkan
jauh
sebelum
Indonesia
merdeka.
Jika
kita
bercermin
dari
lembaran
sejarah,
akan
terlihat
media
massa
Islam
menjadi
roda-‐roda
penggerak
perjuangan
umat
Islam,
menjadi
minyak
yang
membakar
perjuangan
umat
Islam,
bahkan
seiring
sejalan
dengan
terbit
atau
terpuruknya
nasib
umat
di
negeri
ini.
Selama
berabad-‐abad,
Umat
Islam
di
Indonesia
telah
menjadi
satu
bagian
penting
dari
umat
Islam
di
dunia.
Ulama-‐ulama
melayu-‐nusantara
merajut
ukhuwah
sekaligus
jaringan
keilmuan
dengan
ulama-‐ulama
lain
berbagai
penjuru
dunia.
Mereka
membaur,
memusat
di
Mekkah
dan
Madinah
yang
menjadi
pusat
menimba
ilmu
di
dunia.
Para
penuntut
ilmu
itu
membentuk
suatu
komunitas
jawi
(ashab
al-‐jawiyun).
Entah
mereka
berasal
dari
Sumatera,
Malaya,
Jawa,
Sulawesi
atau
bagian
lain
dari
nusantara,
mereka
akan
dikenal
sebagai
orang
Jawi.
Komunitas
ini
berperan
besar
dalam
transmisi
ilmu
di
nusantara.
Selepas
menuntut
ilmu,
sebagian
dari
mereka
menetap
dan
mengajar
di
Tanah
Suci,
sebagian
lainnya
kembali
ke
kampung
halamannya.
Menyebarkan
ilmunya,
mencerahkan
umat
di
tanah
air,
dan
mendirikan
institusi-‐institusi
pendidikan
seperti
pesantren,
surau
atau
dayah.
Melalui
institusi
semacam
inilah
pengetahuan
Islam
ditimba.
Dan
Ulama
menjadi
poros
keilmuan
Islam
di
masyarakat.
Lembaran
sejarah
memasuki
halaman
baru,
di
abad
ke
19.
Setelah
Mekkah
dan
Madinah,
Kairo
kemudian
mulai
dilirik
oleh
orang-‐orang
melayu-‐nusantara
sebagai
salah
satu
kiblat
pendidikan
Islam
di
dunia.
Pesona
institusi
bernama
Al
Azhar
menyinarkan
kemilaunya.
Namun
gerakan
pembaruan
(atau
biasa
disebut
reformasi)
Islam
yang
menjadi
ruh
utamanya.
Pengaruh
Al
Afghany
dan
khususnya
Muhammad
Abduh
meniupkan
sebuah
angin
perubahan
yang
kencang
mendera
seluruh
negeri,
sampai
menjalar
ke
tanah
air.
Banyak
dari
penuntut
ilmu
yang
sebelumnya
berguru
di
Mekkah
dan
Madinah,
kemudian
melanjutkan
studinya
di
Kairo.
Di
sini
para
penimba
ilmu
dari
Melayu-‐Nusantara,
membentuk
komunitas
pelajar
yang
berasal
dari
Hindia
Belanda
dan
Malaya,
yang
disebut
Jawi
riwaq1
.
Mereka
kemudian
menjadi
penyerap
ide-‐ide
Muhammad
Abduh,
yang
tersebar
melalui
sirkulasi
Majalah
Al
Manar.
Seruan
pembaruan
yang
menggelorakan
gerakan
kembali
ke
Al
Quran
dan
Sunnah
mendapat
sambutan
hangat.
Ide-‐ide
Abduh
yang
berusaha
menjawab
keterpurukan
umat
Islam
turut
menarik
perhatian
kala
itu.
Pemikiran
Abduh
semakin
meluas
dengan
dilanjutkan
oleh
muridnya
Rasyid
Ridha.
Salah
satu
yang
terpengaruh
oleh
ide-‐ide
ini
adalah
seorang
pelajar
bernama
Tahir
Jalaluddin
(1869-‐1956).
Pemuda
Minang,
keturunan
Tuanku
Nan
Tuo,
seorang
ulama
besar
pada
masa
paderi,
.
Setelah
12
tahun
belajar
di
Mekkah
dengan
Syekh
Ahmad
Khatib
Minangkabawi,
tahun
1895
Thahir
Jalaluddin
meneruskan
pendidikannya
di
Kairo.
Di
sini
ia
mulai
mengenal
Al-‐Manar
dan
mengenal
Rashid
Ridha.
Bersama
sahabatnya,
Syekh
Sayid
Al
Hadi
(1867-‐1934),
Thahir
Jalaluddin
menempa
ilmu
di
Kairo.
Paham
pemurnian
Islam
melaju
deras
bersama
modernisasi
dalam
gerak
Islam.
Pemakaian
mesin
cetak
untuk
media
massa
dan
buku-‐buku
pelajaran
Islam,
yang
sebelumnya
ditolak
oleh
sebagian
ulama
karena
dianggap
bagian
dari
sekularisasi,
nyata-‐
nyata
menginspirasi
para
murid
Riwaq
Jawi
ini.
Pemakaian
teknologi
ini
kemudian
melahirkan
sebuah
budaya
cetak
yang
revolusioner,
yang
akan
mengubah
wajah
dunia
Islam
di
Hindia
Belanda
dan
sekitarnya.2
Mesin
cetak
pertama
kali
dikenalkan
ke
nusantara,
bahkan
Asia
Tenggara,
oleh
missionaries
Kristen
Jesuit
tahun
1588
di
Filipina.
Namun
baru
1744
ketika
Vendunieuws
muncul
sebagai
surat
kabar
pertama
di
Batavia.
Kemudian
Bataviasche
Coloniale
Courant
(1801)
menyusul.
Keduanya
merupakan
surat
kabar
yang
kebanyakan
berisi
berita
pelelangan
dan
iklan.
Berikutnya
perkembangan
surat
kabar
tak
lagi
terbendung.
Pemilikan
dan
peruntukan
surat
kabar
mulai
dari
orang
asing,
hingga
yang
diperuntukkan
bagi
masyarakat
melayu,
yaitu
Al
Djuab
(1795-‐1801)
bersemi
saat
itu.
Namun,
yang
seringkali
dikenang
adalah
Bintang
Hindia,
yang
di
asuh
oleh
Abdul
Rivai,
karena
mulai
memberikan
gambaran
Hindia
sebagai
sebuah
bangsa.
Ada
pula
Tirtoadsurjo,
tokoh
Sarekat
Dagang
Islam
(SDI)
yang
dikenal
mula-‐mula,
mendirikan
Soenda
Berita,
sebuah
mingguan
berbahasa
melayu
pertama
di
Indonesia
tahun
1903.
3
Begitu
menjamurnya
surat
kabar,
namun
tak
satu
pun
yang
membawa
Islam
sebagai
benderanya.
Barulah
pada
tahun
1906,
selepas
pulang
dari
Kairo,
Syekh
Tahir
Jalaluddin
menerbitkan
Al
Imam
di
Singapura.
Bersama
Syekh
Al
Hadi
(Singapura),
serta
Haji
Abbas
bin
Muhammad
Taha
(Aceh)
merintis
Al
Imam
menjadi
media
massa
Islam
pertama
di
tanah
Melayu-‐Nusantara.
Tentu
saja
saati
itu
belum
ada
negara
bernama
Indonesia,
Singapura
ataupun
Malaysia.
Yang
ada
ialah
wilayah-‐wilayah
yang
dijajah
oleh
Inggris
dan
Belanda.
Al
Imam
mampu
menerobos
batas-‐batas
kolonial
itu,
hingga
mampu
menciptakan
bayangan
akan
sebuah
komunitas
bernama
bangsa
melayu.
Sebuah
bayangan
yang
mampu
untuk
menembus
sekat-‐sekat
wilayah
yang
diciptakan
penjajah
dan
mengikat
bangsa
Melayu
menjadi
satu
dalam
ikatan
agama
Islam.
Pernyataan
itu
di
tandai
oleh
Al
Imam
dengan
pemakaian
istilah
Umat
Timur,
Umat
Melayu,
Umat
Kita
sebelah
sini,
Umat
Islam
kita
di
sini,
oleh
Al
Imam
untuk
menyebut
bangsa
Melayu.4
Sejak
awal
Al
Imam
memang
bersuara
menyatakan
penyesalannya
akan
nasib
umat
Islam
di
tanah
melayu-‐nusantara
yang
tertajajah
di
mana-‐mana.
Dalam
sebuah
edisinya,
mereka
menyebut
Tanah
Sumatera,
Tanah
Manado,
Tanah
Jawa,
Tanah
Borneo
dalam
genggaman
Belanda,
hingga
tanah
melayu
peninsula
dalam
cengkeraman
Inggris.
(Al
Imam
Vol.
1,
No.
3,
19
September
1906).
Harapan
mereka
tak
lain
agar
umat
Islam
mampu
meraih
kemerdekaannya.5
Al
imam
berdiri
mengibarkan
Islam
sebagai
dasarnya.
Menyebarkan
dakwah
Islam.
Mengikuti
jejak
jejak
Al
Manar
dengan
semangat
pembaruan
dan
pemurnian
Islam,
Al
Imam
menegaskan
haluannya
untuk
;
mengingatkan
mereka
yang
terlupa;
membangunkan
mereka
yang
terlelap;
menunjukkan
arah
yang
benar
kepada
mereka
yang
tersesat;
memberi
suara
kepada
mereka
yang
berbicara
dengan
bijak;
mengajak
umat
Islam
berupaya
sebisa
mungkin
untuk
hidup
menurut
perintah
Allah;
serta
mencapai
kebahagiaan
terbesar
di
dunia
dan
memperoleh
kenikmatan
Tuhan
di
Akhirat
(Al
Imam,
I
Juli
1906).
6
Nyatanya
pengaruh
Abduh
dan
Ridha
memang
besar
bagi
Al
Imam.
Majalah
Al
Manar
mewarnai
Al
Imam
begitu
kental.
Bahkan
Al
Imam
memuat
tafsir
Muhammad
Abduh
yang
dimuat
oleh
Al
Manar.
Tafsir
ini
mereka
muat
tahun
1908,
atau
dua
tahun
setelah
terbitnya
Al
Imam.
Pemuatan
tafsir
Al
Manar
karya
Muhammad
Abduh
ini,
bagaimana
pun
membuka
pintu
reformasi
agama
di
tanah
melayu
dan
Hindia
Belanda.
Jika
sebelumnya
tafsir
yang
dipakai
di
Hindia
Belanda
umumnya
adalah
tafsir
Jalalain
(Al-‐Suyuthi)
yang
hanya
dipelajari
di
pesantren,
maka
kini
Al
Imam
membuat
tafsir
yang
dapat
dibaca
oleh
kalangan
yang
lebih
luas.
Melalui
media
massa
cetak
pula,
Al
Imam
membuka
pintu
pembelajaran
bagi
umat
Islam,
yang
biasanya
hanya
di
lakukan
di
pesantren.
Hal
ini
turut
melepas
‘monopoli’
ulama
tradisional
di
Pesantren
sebagai
satu-‐satunya
pemegang
otoritas
keilmuan.
Dan
yang
terpenting
Al
Imam
membawa
budaya
baru
bagi
umat
Islam
di
Melayu
dan
Hindia
Belanda,
yaitu
budaya
cetak.
Kemajuan
inilah
yang
akhirnya
membuka
pintu
lahirnya
pers
Islam
lainnya
di
Indonesia.
Jejak
Al
Imam
meresap
begitu
mendalam
bagi
umat
Islam
di
Hindia
Belanda,
hingga
tahun
1911
di
Sumatera
Barat
terbitlah
sebuah
majalah
bernama
Al
Munir.
Al
Munir
didirikan
sebagai
wadah
bagi
kaum
muda
yang
menggelorakan
pembaruan
Islam
di
Sumatera
Barat.
Didirikan
oleh
Haji
Abdullah
Ahmad,
Al
Munir
menjadikan
Al
Imam
sebagai
contohnya.
Haji
Abdullah
Ahmad
sendiri
sebelumnya
adalah
perwakilan
Al
Imam
di
Padang
Panjang.
Kunjungannya
ke
Singapura
memungkinkan
dirinya
untuk
mempelajari
manajemen
penerbitan
ala
Al
Imam
dan
keterampilan
teknis
menerbitkan
majalah.
Begitu
sentralnya
peran
Haji
Abdullah
Ahmad,
hingga
ia
seringkali
dipanggil,
Haji
Abdullah
Al
Munir.7
Haji
Abdullah
Ahmad
tidak
sendirian
dalam
membesarkan
Al
Munir.
Ia
membesarkan
bersama
dua
orang
sahabatnya,
Haji
Abdul
Karim
Amrullah
(ayah
dari
Buya
Hamka)
dan
Syekh
Jamil
Jambek.
Mereka
merupakan
murid
langsung
dari
Syekh
Ahmad
Khatib
Minangkabawi.
Sepulang
dari
Mekkah,
mereka
kembali
ke
sumatera
Barat
untuk
menggerakan
paham
pembaruan
agama
di
sana.
Maka
tak
heran
jika
Al
munir
bertujuan
untuk;
memperoleh
agama
Islam
yang
sejati
serta
menegakkan
syariat
Nabi
Muhammad
yang
benar
dengan
dorongan
menghidupkan
kembali
tradisi
Nabi
dan
mengutuk
bid’ah
dalam
praktik
ibadah
umat
Muslim
(Al
Munir
3,
2,
1913).
Seperti
Al
Imam,
Al
Munir
juga
memiliki
hubungan
yang
erat
dengan
Al
Manar
dibawah
kendali
Rashid
Ridha.
Seringkali
Al
Munir
merujuk
pada
fatwa-‐fatwa
yang
terdapat
dalam
Al
Manar.
Umpamanya
mengenai
pakaian
barat,
yang
dahulu
sering
dilarang
oleh
ulama
tradisional
karena
indentik
dengan
orang
kafir.
Pendapat
Rashid
Ridha
yang
menolak
pendapat
ini,
dijadikan
rujukan
oleh
Haji
Abdullah
Ahmad.
8
Pada
praktiknya,
Al
Munir
tidak
hanya
bersuara
keras
terhadap
praktik
bid’ah,
tetapi
juga
pada
pemerintah
kolonial
Belanda.
Kritik-‐kritik
keras
terhadap
pemerintah
kolonial
membuat
mereka
mendapatkan
tekanan
dan
pengawasan
dari
pemerintah
kolonial
saat
itu.
Al
Munir
pun
kerap
bersuara
mengenai
kemerdekaan
bangsa
di
Hindia
Belanda.
Namun
ketatnya
pengawasan
pemerintah
kolonial,
membuat
mereka
menyampaikannya
secara
hati-‐hati
dan
terselubung,
misalnya
dengan
membahas
kemerdekaan
Turki,
Mesir
dan
India
dari
jeratan
penjajah.
Bahkan
ketika
membahas
suatu
tulisan
tentang
ilmu
pengetahuan-‐pun,
ujungnya
akan
membahas
bagaimana
mencapai
kemerdekaan.9
Pada
masa
jayanya,
Al
Munir
tidak
hanya
berpusat
pada
media
massa,
tetapi
juga
memiliki
usaha
percetakan.
Penyebaran
Al
Munir
tidak
hanya
di
Sumatera
barat,
namun
sampai
ke
Jawa,
Sulawesi,
Kalimantan
dan
Malaya.
Dalam
penerbitannya,
Al
munir
memuat
tulisan
mengenai
persatuan
umat
Islam,
pengetahuan
agama,
serta
hukum
agama
yang
berkaitan
dengan
adat.
Keistimewaan
Al
Munir
adalah
ia
menjadi
majalah
yang
masih
menggunakan
huruf
arab
melayu.
Namun
pemakaian
huruf
arab
melayu
memang
berada
di
tepi
jurang.
Membanjirnya
mesin
cetak
yang
memakai
huruf
latin
membuat
pencetakan
dengan
huruf
arab
melayu
sulit
bersaing.
Hal
ini
pula
yang
turut
menerpa
Al
Munir.
Namun
terbakarnya
kantor
mereka
menjadi
pertanda
lonceng
kematiannya.
Di
Sumatera
Barat
tak
hanya
Al
Munir,
pers
yang
berlandaskan
Islam.
Hadir
pula
Al
Itqan,
Al
Bayan
dan
Munirul
Manar
yang
diterbitkan
perguruan
Sumatera
Thawalib.
Saat
itu
memang
masa-‐masa
keemasan
pers
di
Sumatera
Barat.
Tetapi
di
pulau
Jawa,tempat
lahirnya
Sarekat
Islam,
gaung
pers
Islam
juga
terdengar
kencang.
Melahirkan
berbagai
media
massa
yang
menyokong
perjuangan
mereka.
Sarekat
Islam,
semenjak
di
bawah
kemudi
Hadji
Omar
Said
Tjokroaminoto
memainkan
peran
besar
dalam
pergerakan
Islam
di
tanah
air.
Dengan
karisma
dan
pidatonya
yang
memukau
Tjokroaminoto
memiliki
banyak
pengikut,
bahkan
tak
sedikit
yang
menanggapnya
sebagai
Ratu
Adil.
Namun
kepiawaian
Raja
Jawa
tanpa
mahkota
ini
tak
hanya
di
mimbar
rapat-‐rapat
umum.
Tetapi
juga
di
media
massa.
Oetoesan
Hindia
adalah
media
massa
pertama
yang
menjadi
corong
Sarekat
Islam.
Terbit
tahun
1913,
Oetoesan
Hindia
adalah
harian
yang
di
gawangi
oleh
Tjokroaminoto.
Beberapa
bulan
kemudian
Sarekat
Islam
(SI)
cabang
Bandung
menerbitkan
Hindia
Serikat
yang
salah
satunya
dibidani
oleh
Abdul
Muis.
Di
Batavia,
SI
menerbitkan
Pantjaran
Warta
yang
dikemudikan
oleh
Goenawan.
Di
Semarang,
SI
Semarang
mulai
menerbitkan
Sinar
Djawa.10
Sarekat
Islam
semakin
bergerak
maju
ketika
pada
tahun
1916,
mereka
menerbitkan
Al
Islam.
Di
kemudikan
oleh
Tjokroaminoto
dan
Haji
Abdullah
Ahmad
(Al
Munir),
Al
Islam
bersuara
lebih
kencang
dalam
hal
politik.
Ia
menjadi
jembatan
bagi
gerakan
politik
Islam.
Al
Islam
menyatakan
dirinya
sebagai,
‘
Tempat
soeara
anak
Hindia
yang
tjinta
igama
dan
tanah
ajernjya.’11Dengan
darah
pembaruan
agama
yang
dibawa
Haji
Abdullah
Ahmad
serta
kecenderungan
politik
radikal
Tjokroaminoto,
Al
Islam
menggelorakan
pembaruan
agama
dan
politik.
Al
Islam
semakin
merangsek
wacana
di
Hindia
Belanda
saat
itu,
dengan
berani
menyuarakan
hak
untuk
memerintah
bagi
bangsa
sendiri.
Untuk
menyuarakannya,
Al
Islam
menggulirkan
istilah
Bangsa
Islam
tanah
Hindia.12
Al
Islam
tidak
sendirian,
tokoh
SI
lainnya,
Haji
Agus
Salim,
bersama
Abdul
Muis
menerbitkan
harian
Neratja,
yang
juga
berorientasi
politik.
Haji
Agus
Salim
pun
nantinya
dikenal
sebagai
orang
dibalik
Hindia
Baru
(1925-‐1926),
Bendera
Islam
(bersama
Tjokroaminoto)
dan
Fajar
Asia
(Tjokroaminoto-‐H.
Agus
Salim
kemudian
Kartosuwirjo;
1927-‐1930
).13
Harian
Fajar
Asia,
saat
itu
adalah
kerikil
tajam
bagi
pemerintah
kolonial.
Harian
itu
terkenal
gigih
membuka
kebusukan
praktek
poenale
sanctie
(yang
menggiring
puluhan
ribu
anak
bangsa
bekerja
sebagai
kuli
kontrak
di
perkebunan
Sumatera),
heerendienst
(kerja
rodi)
dan
erfpacht
(yang
mengeksploitasi
tanah
dengan
system
sewa
kontrak),
dimana
buruh
dihisap,
tenaganya
diperas
habis-‐habisan
serta
berbagai
kebiadaban
yang
mengiringinya.
Tajamnya
kritik
H.
Agus
Salim
melalui
Fajar
Asia
(kemudian)
Mustika,
membuatnya
dikenal
sebagai
pembela
hak-‐hak
buruh.
14
Di
Jogjakarta,
muncullah
nama
tokoh
Muhammadiyah,
H.
Fachrodin.
Ia
adalah
diantara
murid-‐
murid
langsung
KH
Ahmad
Dahlan
dan
merupakan
saudara
kandung
dari
Ki
Bagus
Hadikusumo.
Nama
H.
Fachrodin
malang
melintang
di
berbagai
media
massa
saat
itu.
Ia
pernah
menjadi
koresponden
tetap
dari
Doenia
Bergerak
(terbit
1914),
sebuah
surat
kabar
berhaluan
kiri.
Selain
itu
H.
Fachrodin
pernah
menjadi
redaktur
Medan
Muslimin
(1915),
sebuah
surat
kabar
radikal
dibawah
pimpinan,
‘Haji
Merah’
Haji
Misbach.
Berikutnya
H.
Fachrodin
menjadi
hoofdredacteur
(pemimpin
redaksi),
Srie
Diponegoro
(1918),
Soewara
Moehammadijah,
dan
Bintang
Islam.
15
Di
tengah
Bintang
Islam-‐lah,
nama
H.
Fachrodin
banyak
meninggalkan
kesan.
Berdiri
tahun
1922,
Bintang
Islam
menjadi
majalah
dwi
mingguan
Islam
yang
dikelola
secara
professional.
Tirasnya
mencapai
1500
eksmeplar
dan
menjangkau
hingga
Singapura,
Perak
dan
Johor.
Bintang
Islam
memuat
berita
seputar
Islam
di
tanah
air
dan
luar
negeri.
Bahkan
Bung
Hatta
pernah
menjadi
koresponden
Bintang
Islam,
saat
ia
masih
di
Amsterdam.
Sampai
meninggalnya,
H.
Fachrodin
menjabat
selaku
hoofdredacteur
Bintang
Islam.
16
Tulisan
H.
Fachrodin
menyebar
di
berbagai
media
saat
itu,
merentang
pembahasannya,
mulai
dari
agama
Islam,
Kristen,
hingga
kepeduliannya
terhadap
nasib
rakyat
yang
begitu
menderita.
Ia
misalnya
pernah
menulis
tentang
‘Christen
dan
Moehammadijah’
dan
‘Islam
Njawa
Kemadjoean’
(di
Soewara
Moehammadijah),
Verslag
saja
selama
bepergian
ke
Mekkah
(di
Soewara
Moehammadijah
&
Islam
Bergerak),
dan
sebuah
kritik
yang
tajam,
dan
mengantarkannya
meringkuk
dibalik
terali
besi
oleh
pemerintah
kolonial.
Penyebabnya
karena
kala
itu
Ia
menulis
nasib
rakyat
yang
menderita,
“Kebon
tebu
jang
ditanam
diatas
tanah
kita
dengan
djalan
jang
koerang
menjenangkan,
sehingga
menjebabkan
kelaparannja
anak-‐anak
boemi…”
(Srie
Diponegoro).17
Selepas
wafatnya
H.
Fachrodin,
Majalah
Bintang
Islam
kemudian
mengenang
beliau
dalam
edisi
khusus
‘Fachrodin
Nummer.’
“Pandai
beliau
menoelis
dan
mengarang
pada
kemoediannja
itoe,
ialah
dari
kawan-‐kawannja
jang
selaloe
bergaoelan
dan
bermain-‐main…,
Begitoe
joega,
kerap
sekali
beliaoe
membawa
pertanjakan
kepada
orang
jang
lebih
pandai,
tentang
apa
sahadja,
sehingga
dimengertilah
matjam-‐matjam
pengetahoean.”
(Bintang
Islam
no
14-‐15
th
1930).
Pers
Islam
pada
masa
itu
memang
menjadi
pers
yang
ideologis
dan
tidak
menjaga
jarak
dengan
penderitaan
rakyat.
Terlebih
jika
berhubungan
dengan
kepentingan
umat
Islam,
maka
menjadi
suara
yang
lantang.
Suara-‐suara
itu
semakin
lantang,
jika
Islam
dinistakan.
Dan
salah
satu
yang
dikenal
sebagai
benteng
umat
Islam
adalah
majalah
Pembela
Islam.
Pembela
Islam
adalah
majalah
dua
bulanan
yang
diterbitkan
oleh
tokoh
Persatuan
Islam
(Persis),
Ustad
A.
Hassan
tahun
1929.
Bersama
Fachrudin
Al
Kahiri
dan
M.
Natsir,
Pembela
Islam
menjadi
pers
Islam
yang
gigih
membela
Islam.
Pembela
Islam
menjadi
salah
satu
lawan
dari
tokoh-‐tokoh
Nasionalis
sekuler
yang
kerap
menggelorakan
ide
sekularisme.
Tulisan-‐tulisan
seperti
‘Merdeka
buat
apa?’,
dan
‘Kebangsaan
jangan
di
Bawa-‐bawa’
menjadi
beberapa
contoh
aktifnya
Pembela
Islam
mengutuk
ide
nasionalisme
dan
sekularisme.
Namun
salah
satu
yang
patut
dikenang
hingga
kini
adalah
polemik
antara
Sukarno
dan
M.
Natsir
mengenai
Islam
melawan
sekularisme.
Pembela
Islam
juga
kerap
bersuara
mengecam
orang-‐orang
yang
menistakan
Islam
dan
ajarannya.
Salah
satunya
adalah
tulisan
Dr.
Soetomo,
yang
menganggap
pengasingan
di
Digul
lebih
baik
daripada
Mekkah.Ia
menganggap
orang
yang
diasingkan
ke
Digul
adalah
orang-‐orang
yang
dihukum,
tetapi
pergi
ke
Mekkah
hanyalah
soal
kewajiban
agama
semata.
M.
Natsir
menanggapi
tulisan
Dr.
Soetomo
dengan
menyebutnya
meniru
dengan
buta
buku-‐buku
barat.
Natsir
justru
mengingatkan
betapa
para
haji
yang
pulang
dari
Mekkah
sangat
ditakuti
oleh
pemerintah
kolonial.
Pembela
Islam
juga
menyerang
paham
sesat
Ahmadiyah
Qadian,
dengan
menurunkan
tulisan
perdebatan
langsung
antara
A.
Hassan
dengan
Rahmat
Ali
dari
Ahmadiyah
di
tahun
1933
dan
1934.
Praktek
kristenisasi
dan
pelecehan
oleh
missionaries
terhadap
Islam
tak
luput
dari
kritik
keras
Pembela
Islam.
Seperti
misalnya
tulisan
Natsir
yang
berjudul
Zending
Contra
Islam
(1931).
18
Maka
tak
salah
ketika
Buya
Hamka,
yang
menjadi
salah
satu
pembaca
Pembela
Islam,
mengatakan,
“Mulai
saja
majalah
itu
dibaca,
timbullah
dalam
jiwa
semangat
yang
terpendam
yaitu
semangat
hendak
turut
berjuang
dalam
Islam.
Artikel-‐artikel
yang
dimuat
di
dalamnya
menggugah
perasaan
hati
untuk
bangun,
bergerak,
berjuang
hidup
dan
mati
dalam
Islam.”19
Ia
lalu
menambahkan,
yang
ditunggu-‐tunggu
dari
Pembela
Islam
adalah
tulisan-‐tulisan
M.
Natsir.
“Artikel-‐artikel
dari
M.
Natsir
di
dalam
majalah
Pembela
Islam
itu
sangat
menarik
hati
saya.
Saya
pun
seorang
pengarang.
Tetapi
saya
mengakui
bahwa
karangan
Natsir
memberi
saya
bahan
untuk
hidup,
sehingga
saking
tertariknya
saya
kepada
tulisan-‐tulisannya
itu,
saya
pun
mencoba
mengirim
karangan
kepada
Pembela
Islam,dan
karangan
saya
disambut
baik
dan
dimuat
dalam
Pembela
Islam.”
Begitulah
kesaksian
Buya
Hamka.
20
Masa-‐masa
semaraknya
pers
Islam
di
Indonesia
juga
menghampiri
dunia
pesantren.
Di
kalangan
Nadhlatul
Ulama,
terbit
Suara
NU
yang
beraksara
arab
pegon.
Ada
pula
Berita
NU,
dipimpin
oleh
KH
Mahfudz
Shiddiq
yang
beraksara
latin.
Tahun
1941
menyusul
terbit
Soeloeh
NU
yang
diterbitkan
oleh
Hoofdbestur
NU
Bagian
Ma’arif.
Soeloeh
NU
di
pimpin
langsung
oleh
KH
A.
Wahid
Hasyim.
Terbitnya
Soeloeh
NU,
tak
lain
sebagai
wadah
informasi
dan
saluran
modernisasi
di
NU,
sebagaimana
tujuannya;
Bulanan,
membicarakan
perkara-‐perkara
kemadrasahan.21
Pers
Islam
semakin
bertaburan
menghiasi
pergerakan
di
Indonesia.
Tak
hanya
di
Sumatera
Barat
dan
Jawa,
tetapi
merambah
hingga
Kalimantan,
hingga
Ambon.
Di
Kalimantan
hadir
Persatuan
(Samarinda),
Pelita
Islam
(Banjarmasin).
Di
Bangkalan,
Madura,
terdengar
Al
Islah
(yang
kemudian
dibredel
tahun
1936).
Di
Ambon,
hadir
SUISMA
yang
terbit
tiga
kali
dalam
sebulan.
Namun,
yang
mencolok
kala
itu
adalah
Sumatera
Utara
(Medan).
Medan
kemudian
dikenal
sebagai
gudangnya
pers
Islam.
Sebut
saja
Suluh
Islam
(KH
Abdul
Madjid
Abdullah),
Medan
Islam,
Al
Hidayah,
Medan
Islam,
Menara
Puteri
(Rangkayo
Rasuna
Said)
hingga
Panji
Islam
(ZA
Ahmad-‐kelak
menjadi
tokoh
Masyumi).
Namun
tak
ada
yang
dapat
menandingi
prestasi
Pedoman
Masyarakat.
Terbit
di
Medan,
Sumatera
Utara
tahun
1935,
Pedoman
Masyarakat
identik
dengan
nama
Buya
Hamka
dan
Yunan
Nasution
(kelak
keduanya
bertemu
kembali
di
Masyumi).
Bergabung
pada
usia
28
tahun,
Buya
Hamka
menjadi
Pemimpin
Redaksi
Pedoman
Masyarakat,
awalnya
hanya
beroplah
500
eksemplar,
namun
ditangannya,
melonjak
oplahnya
hingga
4000
eksemplar.
Suatu
prestasi
yang
luar
biasa
untuk
sebuah
majalah
pada
masa
itu
dikenal
sebagai
zaman
sulit.
Memasang
motto
‘Memajukan
Pengetahuan
dan
Peradaban
Berdasarkan
Islam’,
Pedoman
Masyarakat
nyata-‐nyata
bekerja
untuk
peradaban.
Di
kupasnya
masalah
pengetahuan
umum,
agama,
sejarah,’
Alam
perempuan’,
‘Dunia
Islam’
serta
‘Cermin
Hidup’.
Di
ruang
inilah
lahir
karya-‐
karya
besar
Buya
Hamka
seperti,
Merantau
ke
Deli,
Tenggelamnya
Kapal
Van
Der
Wijk,
Tasauf
Modern
dan
lain-‐lain.
Sementara
Yunan
Nasution
memegang
peran
penting
sebagai
penulis
rubrik
editorial,
Syma
Nare.
Namun
Pedoman
Masyarakat
tidak
hanya
mengandalkan
penulisnya
sendiri,
beragam
kalangan
dimuat
tulisannya
oleh
Pedoman
Masyarakat,
seperti
Soekarno
dari
nasionalis,
sederet
tokoh
Islam
seperti
H.
Agus
Salim,
dan
M.
Natsir,
KH
Mas
Mansyur,
hingga
tokoh
perempuan
seperti
Rangkayo
Rasuna
Said.
Pedoman
Masyarakat
juga
tak
luput
dari
pengawasan
pemerintah
kolonial.
Kritik-‐kritik
tajamnya
membuat
Pedoman
berkali-‐kali
nyaris
bersalaman
dengan
pembredelan.
Namun
dicengkaraman
penjajahan
Jepang-‐lah
Pedoman
Masyarakat
beserta
banyak
media
massa
lainnya
menemui
ajalnya.
Sulitnya
bahan
baku
kertas
serta
penindasan
jepang
membuat
masa
itu
menjadi
kuburan
massal
bagi
pers
kala
itu.
Dibalik
kesulitan-‐kesulitan
yang
mengepung,
pers
Islam
tetap
berkiprah
dengan
semangat
yang
membara.
Mereka
terus
bersuara
lantang,
dengan
landasan
Islam.
Menjadi
pembela
hak-‐hak
rakyat
yang
terjajah,
walaupun
kerap
diintai
ranjau
undang-‐undang
pers
yang
sewenang-‐wenang
dan
siap
membungkam.
Namun
nyatanya
pers
Islam
tetap
bergerak.
Pers
Islam
tidak
hanya
menjadi
pembentuk
opini
untuk
meninggikan
kalimat
Allah,
tetapi
juga
menjadi
pembela
agamanya.
Pers
Islam
tidak
pernah
menanggalkan
identitasnya,
dan
justru
karena
identitas
Islam
itu,
pers
Islam
tidak
pernah
tertinggal
dalam
setiap
peristiwa
nasional
yang
mewarnai
perjalanan
bangsa
ini.
Mulai
dari
pembentukan
sebuah
bayangan
akan
komunitas
yang
kelak
bernama
Indonesia,
hingga
melawan
penjajahan
dan
pendukung
kemerdekaan.
Pers
Islam
tidak
hanya
berenang-‐renang
ditepian,
tapi
ia
terjun
dipusaran
perjalanan
negeri
kita.
Oleh:
Beggy
Rizkiyansyah
Pegiat
Jejak
Islam
untuk
Bangsa
(JIB)
www.jejakislam.net
1
Zakariya,
Hafiz.
2011.
Cairo
and
The
Printing
Presses
as
The
Modes
in
the
Dissemination
of
Muhammad
Abduh’s
Reformism
to
Colonial
Malaya.
IPEDR,
vol
17.
2
th
Burhanuddin,
Jajat.
2004.
The
Fragmentation
of
Religius
Authority
:
Islamic
Media
in
Early
20
Century
Indonesia.Studia
Islamika,
11
(1)
3
Sunarti,
Sastri.
2013.
Kajian
Lintas
Media,
Kelisanan
dan
Keberaksaraan
dalam
Surat
Kabar
Terbitan
Awal
di
Minangkabau
(1859-‐1940-‐an).
Jakarta
:
KPG
4
Laffan,
Michael
Francis.
2003.
Islamic
Nation
Hood
and
Colonial
Indonesia,
The
Umma
Below
the
Winds.
New
York
:
RoudledgeCurzon.
5
Ibid
6
Burhanudin,
Jajat.
2012.
Ulama
&
Kekuasaan,
Pergumulan
Elite
Muslim
dalam
Sejarah
Indonesia.Jakarta
:
Mizan
Publika
7
Ibid
8
Jajat
ulama
kekuasaan
9
Sunarti,
Sastri.
2013.
Kajian
Lintas
Media,
Kelisanan
dan
Keberaksaraan
dalam
Surat
Kabar
Terbitan
Awal
di
Minangkabau
(1859-‐1940-‐an).
Jakarta
:
KPG
10
th
Burhanuddin,
Jajat.
2004.
The
Fragmentation
of
Religius
Authority
:
Islamic
Media
in
Early
20
Century
Indonesia.Studia
Islamika,
11
(1)
11
ibid
12
Ibid
13
Ibid
14
Busyairi,
Badruzzaman.
1985.
Catatan
Perjuangan
HM
Yunan
Nasution.
Jakarta
:
Pustaka
Panjimas.
15
Mu’arif.
2010.
Benteng
Muhammadiyah.
Yogyakarta
:
Suara
Muhammadiyah.
16
Ibid
17
ibid
18
Federspiel,
Howard
M.
1966.
The
Persatuan
Islam
(Islamic
Union).
Tesis
Phd.
Institute
of
Islamic
Studies,
McGill
University,Montreal.
19
Panitya
Peringatan
M.
Natsir/M.
Roem
70
tahun.
1978.
M.
Natsir
70
tahun
Kenang-‐kenangan
Kehidupan
&
Perjuangan.
Jakarta:
Pustaka
Antara.
20
Ibid
21
H.
Aboebakar.
2011.
Sejarah
Hidup
K.H.
A.
Wahid
Hasjim.
Bandung:
Mizan