JAKUB SINULINGGA SINULINGGA NIM: 070707014

STUDI ORGANOLOGIS GENDANG GALANG PADA MASYARAKAT KARO JAHE, BUATAN BAPAK LAPE SITEPU DI DESA RAJA TENGAH, KECAMATAN KUALA, KABUPATEN LANGKAT SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN OL JAKUB SINULINGGA SINULINGGA NIM: 070707014 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2013

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Batak Karo adalah salah satu etnis yang terdapat di Sumatera Utara. Etnis Batak Karo termasuk dalam Sub Etnis Batak, yang diantaranya adalah, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, Angkola, ( Bangun, 1993 : 94 ). Berdasarkan wilayah administratif pemerintah, masyarakat Karo mendiami daerah kabupaten Karo (meliputi Tanah Karo dan sekitarnya) dan Kabupaten Langkat. Masyarakat Karo yang mendiami daerah kabupaten Karo sering disebut sebagai Karo Gugung yang artinya adalah masyarakat Karo yang mendiami dataran tinggi (pegunungan), dan masyarakat Karo yang menempati Kabupaten Langkat disebut sebagai Karo Jahe yang artinya adalah sebagian masyarakat Karo yang mendiami dataran rendah wilayah Langkat dan Deli Serdang ( Darwan Prints, 2004 : 12 )

Etnis Batak Karo memiliki budaya yang diwariskan dari leluhurnya secara turun-temurun. Salah satu bentuk dari kebudayaan itu adalah kesenian. Kesenian pada Etnis Batak Karo sangat banyak, diantaranya adalah seni tekstil, seni tari, seni ukir, seni patung dan juga seni musik. Dalam tulisan ini, penulis lebih berfokus untuk mengkaji aspek musik dari etnis Batak Karo yang di Kabupaten Langkat saja atau disebut dengan Karo Jahe.

Bagi masyarakat Karo Jahe , musik menjadi sebuah kebutuhan yang banyak digunakan untuk tujuan hiburan, ritual, upacara adat, dan juga upacara keagamaan, maka terdapatlah sebuah ensambel musik pada masyarakat Karo Jahe yang mendukung untuk kebutuhan tersebut, ensambel tersebut antara lain adalah Gendang Binge .

Pada ensambel Gendang Binge terdapat beberapa alat musik yang terdiri dari, sarune, gendang galang, gendang kitik, penganak, dan gung. Dalam tulisan ini si penulis berfokus Pada ensambel Gendang Binge terdapat beberapa alat musik yang terdiri dari, sarune, gendang galang, gendang kitik, penganak, dan gung. Dalam tulisan ini si penulis berfokus

Masyarakat Karo Jahe di Desa Nangka Lima mengatakan bahwa gendang galang adalah alat musik tradisional yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Sekarang, sejauh pengamatan penulis gendang galang di daerah tersebut hanya tinggal beberapa saja. Hal ini disebabkan karena sudah berkurangnya pengrajin alat musik tersebut, dan juga oleh karena semakin berkurangnya pemain gendang galang di daerah tersebut. Di desa Nangka Lima terdapat seorang yang ahli dalam pembuatan gendang galang, yaitu Bapak Lape Sitepu. Beliau berusia kurang lebih 57 tahun, dan berpengalaman dalam pembuatan alat – alat musik khususnya alat musik Gendang Binge Karo Jahe, seperti sarune, gendang kitik, penganak, dan gung. Pengalaman ini diperoleh dari orang tuanya sendiri kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu. Menurut beliau, sudah banyak orang yang menempah / membuat gendang galang dari beliau, baik dari Kabupaten Langkat sendiri maupun dari luar daerah seperti Medan dan Deli Serdang.

Dalam proses pembuatannya, Bapak Lape Sitepu masih tetap menggunakan alat-alat yang masih tergolong sederhana, yakni berupa Palu (martil), gergaji, pahat, ketam, parang, belati, paku, dan bahan-bahan yang juga sederhana yaitu, papan, kayu, tali, kertas pasir, dan pensil. Proses pembuatannya tergolong sederhana, karena hanya menggunakan tenaga manusia, tanpa bantuan mesin.

Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti, serta menuliskannya dalam sebuah tulisan ilmiah dengan judul :

“Studi Organologis Gendang Galang Pada Masyarakat Karo Jahe,

Buatan Bapak Lape Sitepu” ; Di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan sebelumnya, maka pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini adalah :

1. Bagaimana struktur gendang galang?

2. Bagaimana proses dan teknik pembuatan gendang galang?

3. Bagaimana teknik memainkan gendang galang?

4. Apa fungsi gendang galang pada Masyarakat Karo Jahe di Kabupaten Langkat?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian terhadap gendang galang Karo Jahe adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana struktur gendang galang

2. Untuk mengetahui proses dan teknik pembuatan gendang galang.

3. Untuk mengetahui teknik memainkan gendang galang.

4. Untuk mengetahui fungsi dari gendang galang pada masyarakat Karo Jahe di Kabupaten Langkat.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai gendang galang di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan gendang galang.

3. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang diperoleh penulis selama perkuliahan di Departemen Etnomusikologi.

4. Sebagai suatu upaya untuk memelihara dan melestarikan musik tradisional daerah sebagai bagian dari budaya Nasional.

5. Untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi program S-1 di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

1.4 Konsep dan Teori yang Digunakan

1.4.1 Konsep

Ada beberapa konsep dan teori yang dibutuhkan dalam membicarakan permasalahan terhadap objek penelitian ini, studi organologi yang dimaksud adalah sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Mantle Hood ( 1982 : 124 ), bahwa : organologi yang digunakan adalah berhubungan dengan alat musik. Istilah tersebut mempunyai tendensi untuk dijadikan batasan dalam mendeskripsikan penampilan fisik, properti akustik, dan sejarah alat musik. Selanjutnya menurut beliau organologi adalah ilmu pengetahuan alat musik, yang tidak hanya meliputi sejarah dan deskripsi alat musik, akan tetapi sama pentingnya dengan “ ilmu pengetahuan ’’ dari alat musik itu sendiri antara lain : teknik pertunjukan, fungsi musikal, dekoratif dan variasi dari sosial budaya.

Dari konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa studi organologis gendang galang pada masyarakat Karo Jahe, adalah penelitian secara mendalam mengenai sejarah dan deskripsi instrumen, juga mengenai teknik-teknik pembuatan, cara memainkan, dan fungsi dari alat musik gendang galang tersebut.

Selanjutnya, istilah membranophone (membranofon) adalah klasifikasi alat musik yang ditinjau berdasarkan penggetar utamanya sebagai penghasil bunyi yaitu berasal dari membran atau kulit (klasifikasi alat musik oleh Curt sach, 1961). Berdasarkan konsep di atas, maka dalam tulisan ini penulis mengkaji mengenai proses pembuatan instrumen gendang Selanjutnya, istilah membranophone (membranofon) adalah klasifikasi alat musik yang ditinjau berdasarkan penggetar utamanya sebagai penghasil bunyi yaitu berasal dari membran atau kulit (klasifikasi alat musik oleh Curt sach, 1961). Berdasarkan konsep di atas, maka dalam tulisan ini penulis mengkaji mengenai proses pembuatan instrumen gendang

1.4.2 Teori

Teori mempunyai hubungan yang erat dengan penelitian dan dapat meningkatkan arti dari penemuan penelitian. Tanpa teori, penemuan tersebut akan menjadi keterangan-keterangan empiris yang berpencar (Moh. Nazir, 1983 : 22-25) .

Dalam tulisan ini, penulis membahas tentang pendeskripsian alat musik gendang sikambang yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Susumu Khasima di dalam APTA ( Asia Performing Traditional Art 1978 : 74), yaitu: Dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk membahas alat musik, yakni pendekatan struktural dan fungsional. Secara struktural yaitu; aspek fisik instrumen musik, pengamatan, mengukur, merekam, serta menggambar bentuk instrumen, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai. Dan secara fungsional, yaitu; fungsi instrumen sebagai alat untuk memproduksi suara, meneliti, melakukan pengukuran dan mencatat metode, memainkan instrumen, penggunaan bunyi yang diproduksi, ( dalam kaitannya dengan komposisi musik) dan kekuatan suara.”

Untuk mengetahui teknik permainan gendang galang oleh bapak Lape Sitepu, penulis menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Nettl (1963 : 98) yaitu: ” Kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan musik dari apa yang kita

dengar, dan kita dapat menuliskan musik tersebut di atas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita lihat.” 1

Menurut teori yang dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel (1961) yaitu: sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yaitu:

- Idiofon, penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri, - Aerofon, penggetar utama bunyinya adalah udara, - Membranofon, penggetar utama bunyinya adalah membran atau kulit, - Kordofon, penggetar utama bunyinya adalah senar atau dawai. Mengacu pada teori tersebut, maka gendang galang adalah instrumen musik

membranofon dimana penggetar utama bunyinya melalui membran atau kulit.

1.5 Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan, (Koentjaraningrat 1997 : 16). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif ( Kirk dan Miller dalam Moleong dalam Metodologi Penelitian Kualitatif, 1990 : 3 ) yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Untuk memahami permasalahan yang terdapat dalam pembuatan gendang galang pada masyarakat Karo Jahe diperlukan tahap-tahap, yaitu tahap sebelum ke lapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, Analisis data dan Penulisan laporan. (Maleong, 2002 : 109). Di samping itu, untuk mendukung metode penelitian yang dikemukakan oleh Moleong, penulis juga menggunakan metode penelitian lainnya, yaitu: disiplin lapangan (field) dan disiplin laboratorium (laboratory discipline). Hasil dari kedua disiplin ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil akhir (a final study), (Meriam, 1964 : 37).

Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis menggunakan Metode Pengumpulan Data, umumnya ada dua macam, yakni: Menggunakan daftar pertanyaan (questionnaires), Menggunakan wawancara (interview). Untuk melengkapi pengumpulan data dengan daftar pertanyaan maupun wawancara tersebut dapat pula Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis menggunakan Metode Pengumpulan Data, umumnya ada dua macam, yakni: Menggunakan daftar pertanyaan (questionnaires), Menggunakan wawancara (interview). Untuk melengkapi pengumpulan data dengan daftar pertanyaan maupun wawancara tersebut dapat pula

25 ). Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan tiga tahap yaitu : ( 1 ) studi kepustakaan ; ( 2 ) kerja lapangan ; ( 3 ) kerja laboratorium.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Pada tahap sebelum ke lapangan (pra-lapangan), dan sebelum mengerjakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari dan membaca serta mempelajari buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah, literatur, majalah, situs internet dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek penelitian.

Studi pustaka ini diperlukan untuk mendapatkan konsep-konsep dan teori juga informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

1.5.2 Kerja Lapangan

Dalam hal ini, penulis langsung ke lokasi penelitian untuk melakukan tiga hal yang telah diketahui sebelumnya yaitu, observasi, wawancara, dan pemotretan ( pengambilan gambar ) dan langsung melakukan wawancara bebas dan juga wawancara mendalam antara penulis dengan informan yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, walaupun saat melakukan penelitian terdapat juga hal-hal baru, yang menjadi bahan pertanyaan yang dianggap mendukung dalam proses penelitian ini, semua ini dilakukan untuk tetap memperoleh keterangan-keterangan dan data-data yang dibutuhkan dan data yang benar, untuk mendukung proses penelitian.

1.5.3 Wawancara

Dalam proses melakukan wawancara penulis beracuan pada metode wawancara yang dikemukakan oleh Koenjaraningrat (1985 : 139), yaitu: Wawancara berfokus (Focused interview ), Wawancara bebas (Free interview), Wawancara sambil lalu (Casual interview).

Dalam hal ini penulis terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan saat wawancara, pertanyaan yang penulis ajukan bisa beralih dari satu topik ke topik lain secara bebas. Sedangkan data yang terkumpul dalam suatu wawancara bebas sangat beraneka ragam, tetapi tetap materinya berkaitan dengan topik penelitian.

Menurut Harja W. Bachtiar (1985 : 155), wawancara adalah untuk mencatat keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan maksud agar data atau keterangan tidak ada yang hilang. Untuk pemotretan dan perekaman wawancara penulis menggunakan kamera dan handphone bermerk nokia sebagai alat rekam Sedangkan untuk pengambilan gambar (foto) digunakan kamera digital bermerk Canon x-3s , di samping tulisan atas setiap keterangan yang diberikan oleh informan.

1.5.4 Kerja Laboratorium

Keseluruhan data yang telah terkumpul dari lapangan, selanjutnya diproses dalam kerja laboratorium. Data-data yang bersifat analisis disusun dengan sistematika penulisan ilmiah. Data-data berupa gambar dan rekaman diteliti kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis seperlunya. Semua hasil pengolahan data tersebut disusun dalam satu laporan hasil penelitian berbentuk skripsi. (Meriam 1995 : 85)

1.5.5 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian yang penulis pilih adalah di lokasi yang merupakan tempat tinggal narasumber yaitu bapak Lape sitepu , yang bertempat tinggal di Jalan Nangka Lima kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat yang juga merupakan lokasi bengkel instrumen beliau.

BAB II : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KARO JAHE DI DESA RAJA TENGAH KABUPATEN LANGKAT, DAN BIOGRAFI RINGKAS LAPE SITEPU SEBAGAI SENIMAN MUSIK TRADISIONAL GENDANG GALANG LANGKAT

2.1 Sejarah Kabupaten Langkat

Kabupaten Langkat yang dikenal sekarang ini mempunyai sejarah yang cukup panjang. Kabupaten Langkat sebelumnya adalah sebuah kerajaan di mana wilayahnya terbentang antara aliran Sungai Seruwai atau daerah Tamiang sampai ke daerah aliran anak Sungai Wampu. Terdapat sebuah sungai lainnya di antara kedua sungai ini yaitu Sungai Batang Serangan yang merupakan jalur pusat kegiatan nelayan dan perdagangan penduduk setempat dengan luar negeri terutama ke Penang/Malaysia. Sungai Batang Serangan ketika bertemu dengan Sungai Wampu, namanya kemudian menjadi Sungai Langkat. Kedua sungai tersebut masing-masing bermuara di Kuala langkat dan Tapak Kuda. Adapun kata “Langkat” yang kemudian menjadi nama daerah ini berasal dari nama sejenis pohon yang dikenal oleh penduduk Melayu setempat dengan sebutan “pohon langkat”. Dahulu kala pohon langkat banyak tumbuh di sekitar Sungai Langkat tersebut. Jenis pohon ini sekarang sudah langka dan hanya dijumpai di hutan-hutan pedalaman daerah Langkat. Pohon ini menyerupai pohon langsat, tetapi rasa buahnya pahit dan kelat. Oleh karena pusat kerajaan Langkat berada di sekitar Sungai Langkat, maka kerajaan ini akhirnya populer dengan nama Kerajaan Langkat. Tentang asal mula Kerajaan Langkat berdasarkan tambo Langkat mengatakan bahwa nama leluhur dinasti Langkat yang terjauh diketahui ialah Dewa Syahdan yang hidup kira-kira tahun 1500 sampai 1580.

sampai 1612. Dewa Sakti selanjutnya digantikan oleh Sultan Abdullah yang lebih dikenal dengan nama Marhum Guri. Selanjutnya tambo Langkat mengatakan bahwa yang menggantikan Marhum Guri adalah puteranya Raja Kahar (± 1673). Raja Kahar adalah pendiri Kerajaan Langkat dan berzetel di Kota Dalam, daerah antara Stabat dengan Kampung Inai kira-kira pertengahan abad ke-18. Berpedoman kepada tradisi dan kebiasaan masyarakat Melayu Langkat, maka dapatlah ditetapkan kapan Raja Kahar mendirikan Kota Dalam yang merupakan cikal bakal Kerajaan Langkat kemudian hari. Setelah menelusuri beberapa sumber dan dilakukan perhitungan, maka Raja Kahar mendirikan kerajaannya bertepatan tanggal 12 Rabiul Awal 1163 H, atau tanggal 17 Januari 1750. Perkembangan selanjutnya Kota Binjai pernah jadi Ibu kota Kabupaten Langkat hingga pada saat ini Kabupaten Langkat beribukota Stabat, dan berdasarkan Perda Nomor 11 tahun 1995 telah ditetapkan Hari Jadi Kabupaten Langkat 17 Januari 1750, dengan Motto : ”Bersatu Sekata Berpadu Berjaya”.

2.2 Gambaran Umum Kabupaten Langkat

Kabupaten Langkat merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara. Jarak rata-ratanya dari Kota Medan sekitar 60 km ke arah barat laut, dan berbatasan langsung dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kabupaten Langkat beribukota di Stabat. Wilayah Kabupaten Langkat terletak pada koordinat 3°14’ - 4°13’ LU dan 97°52’ - 98°45’ BT dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Propinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD)

b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo

c. Sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Tanah Alas c. Sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Tanah Alas

Langkat, secara administratif terdapat dua puluh tiga Kecamatan yang ada di Kabupaten Langkat .

Kecamatan-kecamatan yang terdapat di Kabupaten Langkat :

1. Kecamatan Kuala

2. Kecamatan Sei Bingai

3. Kecamatan Salapian

4. Kecamatan Bahorok

5. Kecamatan Serapit

6. Kecamatan Kutambaru

7. Kecamatan Selesai

8. Kecamatan Binjai :

9. Kecamatan Stabat

10. Kecamatan Wampu

11. Kecamatan Secanggang

12. Kecamatan Hinai

13. Kecamatan Padang Tualang

14. Kecamatan Batang Serangan

15. Kecamatan Sawit Seberang

16. Kecamatan Tanjung Pura :

17. Kecamatan Babalan

18. Kecamatan Gebang

19. Kecamatan Brandan Barat

20. Kecamatan Sei Lepan

21. Kecamatan Pangkalan Susu

22. Kecamatan Besitang

23. Kecamatan Pematang Jaya . Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2012, penduduk Kabupaten Langkat mayoritas bersuku bangsa Melayu (70,87 persen), diikuti dengan suku Jawa (9,93 persen), Karo (7,22 persen), Tapanuli/ Toba (2 persen), Madina (2 persen) dan lainnya (5,94 persen). Sedangkan agama yang dianut penduduk Kabupaten Langkat mayoritas agama Islam (90,00 persen), Kristen 7,56 persen), Katolik (1,06 persen), Budha (0,95 persen) dan lainnya (0,34 persen).

2.2.1 Letak Lokasi Penelitian

Desa Raja Tengah merupakan tempat tinggal dari bapak Lape Sitepu, di lokasi tersebutlah beliau membuka bengkel instrumennya dan hidup dengan keluarganya, tepatnya di Dusun Nangka Lima, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat. Berikut ini merupakan gambaran umum mengenai Desa Raja Tengah. Desa Raja tengah memiliki luas wilayah 258 km².

berbatasan dengan:  Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kampung Baru

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Menjahong  Sebelah Barat berbatasan dengan Dalan Naman  Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sei Bingei

2.3 Bahasa

Bahasa karo jahe adalah bahasa yang dipergunakan masyarakat Nangka lima sehari-hari sebagai bahasa lisan untuk menyampaikan maksud dan tujuan di rumah maupun di luar rumah dan dalam pergaulan sehari-hari. Bahasa karo yang digunakan sudah dipengaruhi

Melayu . Peranan bahasa karo jahe menunjukkan keberadaanya di tangah-tengah masyarakat, di sekolah, upacara adat istiadat dan upacara agama.

2.4 Sistem Kekerabatan

Berikut adalah sistem kekerabatan di masyarakat Karo Jahe atau sering disebut Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Secara etimologis, daliken Sitelu berarti tungku yang tiga (Daliken = batu tungku, Si = yang, Telu = tiga). Arti ini menunjuk pada kenyataan bahwa untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat tidak lepas dari yang namanya tungku untuk menyalakan api (memasak). Lalu Rakut Sitelu berarti ikatan yang tiga. Artinya bahwa setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan ini. Namun ada pula yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh (kelengkapan hidup). Unsur Daliken Sitelu ini adalah

1. Kalimbubu

2. Sembuyak/Senina

3. Anak Beru Setiap anggota masyarakat Karo dapat berlaku baik sebagai kalimbubu,senina/sembuyak, anakberu, tergantung pada situasi dan kondisi saat itu.

1. Kalimbubu Kalimbubu adalah kelompok pihak pemberi wanita dan sangat dihormati dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Masyarakat Karo menyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga kalimbubu itu disebut juga dengan Dibata Ni Idah(Tuhan yang nampak). Sikap menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela. Kalau dahulu pada acara jamuan makan, pihak kalimbubu selalu mendapat prioritas utama, para anakberu (kelompok pihak penerima istri) tidak akan berani mendahului makan sebelum pihak kalimbubu memulainya, demikian juga bila selesai makan, 1. Kalimbubu Kalimbubu adalah kelompok pihak pemberi wanita dan sangat dihormati dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Masyarakat Karo menyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga kalimbubu itu disebut juga dengan Dibata Ni Idah(Tuhan yang nampak). Sikap menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela. Kalau dahulu pada acara jamuan makan, pihak kalimbubu selalu mendapat prioritas utama, para anakberu (kelompok pihak penerima istri) tidak akan berani mendahului makan sebelum pihak kalimbubu memulainya, demikian juga bila selesai makan,

1.Kalimbubu berdasarkan tutur o Kalimbubu Bena-Bena disebut juga kalimbubu tua adalah kelompok keluarga

pemberi dara kepada keluarga tertentu yang dianggap sebagai keluarga pemberi anak dara awal dari keluarga itu. Dikategorikan kalimbubu Bena-Bena, karena kelompok ini telah berfungsi sebagai pemberi dara sekurang-kurangnya tiga generasi.

o Kalimbubu Simajek Lulang adalah golongan kalimbubu yang ikut mendirikan

kampung. Status kalimbubu ini selamanya dan diwariskan secara turun temurun. Penentuan kalimbubu ini dilihat berdasarkan merga. Kalimbubu ini selalu diundang bila diadakan pesta-pesta adat di desa di Tanah Karo.

2. Kalimbubu berdasarkan kekerabatan (perkawinan) Kalimbubu Simupus/Simada Dareh adalah pihak pemberi wanita terhadap generasi ayah, atau pihak clan (semarga) dari ibu kandung ego (paman kandung ego). (Petra : ego maksudnya orang, objek yang dibicarakan)

o Kalimbubu I Perdemui atau (kalimbubu si erkimbang), adalah pihak kelompok dari mertua ego. Dalam bahasa yang populer adalah bapak mertua

berserta seluruh senina dan sembuyaknya dengan ketentuan bahwa si pemberi berserta seluruh senina dan sembuyaknya dengan ketentuan bahwa si pemberi

o Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu, yaitu pihak subclan

pemberi anak dara terhadap kalimbubu ego. Dalam bahasa sederhana pihak subclan dari istri saudara laki-laki istri ego.

o Kalimbubu Senina. Golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan jalur senina darikalimbubu ego. Dalam pesta-pesta adat, kedudukannya berada pada golongan kalimbubuego, peranannya adalah sebagai juru bicara bagi

kelompok subclan kalimbubu ego. o Kalimbubu Sendalanen/Sepengalon. Golongankalimbubu ini berhubungan

erat dengan kekerabatan dalam jalur kalimbubu dari senina sendalanen, sepengalon (akan dijelaskan pada halaman-halaman selanjutnya) pemilik pesta.

Ada pun hak kalimbubu ini dalam struktur masyarakat Karo : o Dihormati oleh anakberunya

o Dapat memberikan perintah kepada pihak anakberunya Tugas dan kewajiban dari kalimbubu : o Memberikan saran-saran kalau diminta oleh anakberunya

o Memerintahkan pendamaian kepada anakberu yang saling berselisih o Sebagai lambang supremasi kehormatan keluarga

o Mengosei anak berunya (meminjamkan dan mengenakan pakaian adat) di dalam

acara-acara adat o Berhak menerima ulu mas, bere-bere (bagian dari mahar) dari sebuah

perkawinan, maneh-maneh (tanda mata atau kenang-kenangan) dari salah seorang perkawinan, maneh-maneh (tanda mata atau kenang-kenangan) dari salah seorang

Pada dasarnya setiap ego Karo, baik yang belum menikah pun mempunyai kalimbubu, minimal kalimbubu si mada dareh. Kemudian bila ego (pria) menikah berdasarkan adat Karo, dia mendapat kalimbubu si erkimbang.

2. Senina/Sembuyak Hubungan perkerabatan senina disebabkan seclan, atau hubungan lain yang berdasarkan kekerabatan. Senina ini dapat dibagi dua :

o Senina berdasarkan tutur yaitu senina semerga. Mereka bersaudara karena satu clan (merga). o Senina berdasarkan kekerabatan :

o Senina Siparibanen, perkerabatan karena istri saling bersaudara. o Senina Sepemeren, mereka yang berkerabat karena ibu mereka saling

bersaudara, sehingga mereka mempunyai bebere (beru (clan) ibu) yang sama. o Senina Sepengalon (Sendalanen) persaudaraan karena pemberi wanita yang

berbeda merga dan berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau mereka yang bersaudara karena satu subclan (beru) istri mereka sama. Tetapi dibedakan berdasarkan jauh dekatnya hubungan mereka dengan clan istri. Dalam musyawarah adat, mereka tidak akan memberikan tanggapan atau pendapat apabila tidak diminta.

o Senina Secimbangen (untuk wanita) mereka yang bersenina karena suami

mereka sesubclan (bersembuyak). Tugas senina adalah memimpin pembicaraan dalam musyawarah, bila dikondisikan

dengan situasi sebuah organisasi adalah sebagai ketua dewan. Fungsinya adalah sebagai dengan situasi sebuah organisasi adalah sebagai ketua dewan. Fungsinya adalah sebagai

Sembuyak adalah mereka yang satu subclan, atau orang-orang yang seketurunan (dilahirkan dari satu rahim), tetapi tidak terbatas pada lingkungan keluarga batih, melainkan mencakup saudara seketurunan di dalam batas sejarah yang masih jelas diketahui. Saudara perempuan tidak termasuk sembuyak walaupun dilahirkan dari satu rahim, hal ini karena perempuan mengikuti suaminya.

Peranan sembuyak adalah bertanggungjawab kepada setiap upacara adat sembuyak- sembuyaknya, baik ke dalam maupun keluar. Bila perlu mengadopsi anak yatim piatu yang ditinggalkan oleh saudara yang satu clan. Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan seperut, sama dengan saudara kandung. Satu subclan sama dengan saudara kandung.

Sembuyak dapat dibagi dua bagian :

1. Sembuyak berdasarkan tutur. Mereka bersaudara karena sesubklen (merga).

2. Sembuyak berdasarkan kekerabatan, ini dapat dibagi atas: o Sembuyak Kakek adalah kakek yang bersaudara kandung.

o Sembuyak Bapa adalah bapak yang bersaudara kandung. o Sembuyak Nande adalah ibu yang bersaudara kandung.

3. Anak Beru Anakberu adalah pihak pengambil anak dara atau penerima anak gadis untuk diperistri. Oleh Darwan Prints, anakberu ini diumpamakan sebagai yudikatif, kekuasaan peradilan.

Hal ini maka anakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, tugasnyalah mendamaikan perselisihan tersebut. Anakberu dapat dibagi atas 2:

1. Anakberu berdasarkan tutur : o Anakberu Tua adalah pihak penerima anak wanita dalam tingkatan nenek

moyang yang secara bertingkat terus menerus minimal tiga generasi.

o Anakberu Taneh adalah penerima wanita pertama, ketika sebuah kampung selesai didirikan.

2. Anakberu berdasarkan kekerabatan : o Anakberu Jabu (Cekoh Baka Tutup, dan Cekoh Baka Buka). Cekoh Baka artinya orang yang langsung boleh mengambil barang

simpanankalimbubunya. Dipercaya dan diberi kekuasaan seperti ini karena dia merupakan anak kandung saudara perempuan ayah.

o Anakberu Iangkip, adalah penerima wanita yang menciptakan jalinan

keluarga yang pertama karena di atas generasinya belum pernah mengambil anak wanita dari pihak kalimbubunya yang sekarang. Anakberu ini disebut juga anakberu langsung yaitu karena dia langsung mengawini anak wanita dari keluarga tertentu. Masalah peranannya di dalam tugas-tugas adat, harus dipilah lagi, kalau masih orang pertama yang menikahi keluarga tersebut, dia tidak dibenarkan mencampuri urusan warisan adat dari pihak mertuanya. Yang boleh mencampurinya hanyalah Anakberu Jabu.

o Anakberu Menteri adalah anakberu darianakberu. Fungsinya menjaga

penyimpangan-penyimpangan adat, baik dalam bermusyawarah maupun penyimpangan-penyimpangan adat, baik dalam bermusyawarah maupun

o Anakberu Singikuri adalah anakberu darianakberu menteri, fungsinya memberi saran, petunjuk di dalam landasan adat dan sekaligus memberi dukungan tenaga yang diperlukan.

Dalam pelaksanaan acara adat peran anakberu adalah yang paling penting. Anakberulah yang pertama datang dan juga yang terakhir pada acara adat tersebut. Lebih lanjut tugas- tugasnya antara lain :

o Mengatur jalannya pembicaraan runggu (musyawarah) adat. o Menyiapkan hidangan pada pesta. o Menyiapkan peralatan yang diperlukan pesta. o Menanggulangi sementara semua biaya pesta. o Mengawasi semua harta milik kalimbubunya yaitu wajib menjaga dan mengetahui

harta benda kalimbubunya. o Menjadwal pertemuan keluarga.

o Memberi khabar kepada para kerabat yang lain bila ada pihak kalimbubunya berduka cita. o Memberi pesan kepada puang kalimbubunya agar membawa ose (pakaian adat)

bagi kalimbubunya. o Menjadi juru damai bagi pihak kalimbubunya,

Anakberu berhak untuk : o Berhak mengawini putri kalimbubunya, dan biasanya para kalimbubu tidak berhak menolak.

o Berhak mendapat warisan kalimbubu yang meninggal dunia. Warisan ini berupa

barang dan disebut morah-morah atau maneh-maneh, seperti parang, pisau, pakaian almarhum dan lainnya sebagai kenang-kenangan.

Selain itu juga karena pentingnya kedudukan anakberu, biasanya pihak kalimbubu menunjukkan kemurahan hati dengan :

o Meminjamkan tanah perladangan secara cuma-cuma kepada anakberunya. o Memberikan hak untuk mengambil hasil hutan (dahulu karena

pihak kalimbubu adalah pendiri kampung, mereka mempunyai hutan sendiri di sekeliling desanya).

o Merasa bangga dan senang bila anak perempuannya dipinang oleh pihak anakberunya. Ini akan melanjutkan dan mempererat hubungan

kekerabatan yang sudah terjalin. o Mengantarkan makanan kepada anaknya pada waktu tertentu misalnya pada waktu

menanti kelahiran bayi atau lanjut usia. o Membawa pakaian atau ose (seperangkat pakaian kebesaran adat) bagi anakberunya pada waktu pesta besar di dalam clan anakberunya.

Adapun istilah-istilah yang diberikan kalimbubu, kepadaanakberunya adalah :

o Tumpak Perang, atau Lemba-lemba. Artinya adalah ujung tombak. Maksudnya,

bila kalimbubunya ingin pergi ke satu daerah, maka yang berada di depan sebagai pengaman jalan dan sebagai perisai dari bahaya adalah pihakanakberu. Dalam bahasa lain anakberu sebagai tim pengaman jalan.

o Kuda Dalan (Kuda jalan/beban). Dahulu sebelum ada alat transportasi hanya kuda, untuk membawa barang-barang atau untuk menyampaikan informasi dari satu desa

ke desa lain, dipergunakanlah kuda. Arti Kuda Dalam dalam istilah ini adalah alat ke desa lain, dipergunakanlah kuda. Arti Kuda Dalam dalam istilah ini adalah alat

o Piso Entelap (pisau tajam). Dalam pesta adat atau pekerjaan adat pisau tajam dipergunakan untuk memotong daging atau kayu api atau untuk mendirikan teratak

tempat berkumpul. Setiap anakberu harus memiliki pisau yang yang demikian agar tangkas dan sempurna mengerjakan pekerjaan yang diberikankalimbubunya. Menjadi kebiasaan dalam tradisi Karo, pisau dari pihak kalimbubu yang meninggal dunia diserahkan kepada anakberunya. Pisau ini disebut maneh-maneh, pemberiannya bertujuan agar pekerjaankalimbubu terus tetap dilanjutkan oleh penerimanya. Dalam pengertian lain dalam acara-acara adat di dalam keluarga kalimbubu, anakberulah yang menjadi ujung tombak pelaksanaan tugas tersebut, mulai dari menyediakan makanan sampai menyusun acaranya. Ketiga jenis pekerjaan di atas, dikerjakan tanpa mendapat imbalan materi apapun, maka anakberu yang selalu lupa kepada kalimbubunya dianggap tercela di mata masyarakat. Bahkan dipercayai bila terjadi sesuatu bencana di dalam lingkungan keluarga dari anakberuyang melupakan kalimbubunya, ini dianggap sebagai

kutukan dari arwah nenek moyang mereka yang tetap melindungi kalimbubu.

2.5 Mata Pencaharian

Mata pencaharian masyarakat Karo Jahe sangat beragam, disesuaikan dengan keahlian pribadi yang dimiliki oleh seseorang, dan tidak terbatas pada satu bidang saja. Banyak warga Karo Jahe yang bekerja sebagai pedagang, petani, PNS (pegawai negeri sipil), guru, pegawai swasta, dan lain-lain. Dari hasil wawancara dengan bapak Lape Sitepu, bahwa beliau selain sebagai seorang seniman juga sebagai seorang pekerja bangunan dan petani. Diakui oleh beliau, penghasilan Mata pencaharian masyarakat Karo Jahe sangat beragam, disesuaikan dengan keahlian pribadi yang dimiliki oleh seseorang, dan tidak terbatas pada satu bidang saja. Banyak warga Karo Jahe yang bekerja sebagai pedagang, petani, PNS (pegawai negeri sipil), guru, pegawai swasta, dan lain-lain. Dari hasil wawancara dengan bapak Lape Sitepu, bahwa beliau selain sebagai seorang seniman juga sebagai seorang pekerja bangunan dan petani. Diakui oleh beliau, penghasilan

2.6 Sistem Kesenian

Dalam musik instrumental ada beberapa instrumen yang lazim digunakan dalam ansambel maupun disajikan dalam permainan tunggal, baik dalam kaitannya dalam upacara adat, religi maupun sebagai hiburan.

Pada masyarakat Karo Jahe terdapat ensambel musik tradisional, yaitu ansambel gendang Binge. Selain itu ada juga instrument musik tradisional yang digunakan secara tunggal.

2.6.1 Ensambel Gendang Binge

Beberapa instrumen yang terdapat dalam ansambel gendang Binge adalah sebagai berikut:

1. Sarune, kelompok aerophone yang memiliki reed tunggal (single reed) dimainkan dengan meniup terus menerus.

2. Gendang Galang, kelompok membranofone klasifikasi frame drum

3. Gendang Kitik, kelompok membranofone klasifikasi frame drum

4. Gung, instrumen idiophone sebagai pembawa tempo (ketukan dasar).

2.7 Pengertian Biografi

Dalam disiplin ilmu sejarah biografi dapat didefenisiskan sebagai sebuah riwayat hidup seseorang. Sebuah tulisan biografi dapat berbentuk beberapa baris kalimat saja, namun juga dapat berupa tulisan yang lebih dari satu buku. Perbedaannya adalah, biografi singkat hanya memaparkan tentang fakta-fakta kehidupan seseorang dan peranan pentingnya dalam masyarakat. Sedangkan biografi yang lengkap biasanya memuat dan mengkaji informasi- Dalam disiplin ilmu sejarah biografi dapat didefenisiskan sebagai sebuah riwayat hidup seseorang. Sebuah tulisan biografi dapat berbentuk beberapa baris kalimat saja, namun juga dapat berupa tulisan yang lebih dari satu buku. Perbedaannya adalah, biografi singkat hanya memaparkan tentang fakta-fakta kehidupan seseorang dan peranan pentingnya dalam masyarakat. Sedangkan biografi yang lengkap biasanya memuat dan mengkaji informasi-

Sebuah biografi biasanya menganalisia dan menerangkan kejadian-kejadian pada hidup seorang tokoh yang menjadi objek pembahasannya. Dengan membaca biografi, pembaca akan menemukan hubungan keterangan dari tindakan yang dilakukan dalam kehidupan seseorang tersebut, juga mengenai cerita-cerita atau pengalaman-pengalaman selama hidupnya.

Suatu karya biografi biasanya becerita tentang kehidupan orang terkenal dan orang tidak terkenal, dan biasanya biografi tentang orang yang tidak terkenal akan menjadikan orang tersebut dikenal secara luas, jika didalam biografinya terdapat sesuatu yang menarik untuk disimak oleh pembacanya, namun demikian biasanya biografi hanya berfokus pada orang-orang atau tokoh-tokoh terkenal saja.

Tulisan biografi biasanya bercerita mengenai seorang tokoh yang sudah meninggal dunia, namun tidak jarang juga mengenai orang atau tokoh yang masih hidup. Banyak biografi yang ditulis secara kronologis atau memiliki suatu alur tertentu, misalnya memulai dengan menceritakan masa anak-anak sampai masa dewasa seseorang, namun ada juga beberapa biografi yang lebih berfokus pada suatu topik-topik pencapaian tertentu.

Biografi memerlukan bahan-bahan utama dan bahan pendukung. Bahan utama dapat berupa benda-benda seperti surat-surat, buku harian, atau kliping koran. Sedangkan bahan pendukung biasanya berupa biografi lain, buku-buku referensi atau sejarah yang memparkan peranan subjek biografi tersebut.

Beberapa aspek yang perlu dilakukan dalam menulis sebuah biografi antara lain: (a) Pilih seseorang yang menarik perhatian anda; (b) Temukan fakta-fakta utama mengenai kehidupan orang tersebut; (c) Mulailah dengan ensiklopedia dan catatan waktu; (d)

Pikirkan, hal apa lagi yang perlu anda ketahui mengenai orang tersebut, bagian mana dari cerita tentang beliau yang ingin lebih banyak anda utarakan dan tuliskan.

Sebelum menuliskan sebuah biografi seseorang, ada beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan pertimbangan, misalnya: (a) Apa yang membuat orang tersebut istimewa atau menarik untuk dibahas; (b) Dampak apa yang telah beliau lakukan bagi dunia atau dalam suatu bidang tertentu juga bagi orang lain; (c) Sifat apa yang akan sering penulis gunakan untuk menggambarkan orang tersebut; (d) Contoh apa yang dapat dilihat dari hidupnya yang menggambarkan sifat tersebut; (e) Kejadian apa yang membentuk atau mengubah kehidupan orang tersebut; (f) Apakah beliau memiliki banyak jalan keluar untuk mengatasi masalah dalam hidupnya; (g) Apakah beliau mengatasi masalahnya dengan mengambil resiko, atau karena keberuntungan; (h) Apakah dunia atau suatu hal yang terkait dengan beliau akan menjadi lebih buruk atau lebih baik jika orang tersebut hidup ataupun tidak hidup, bagaimana, dan mengapa demikian.

Lakukan juga penelitian lebih lanjut dengan bahan-bahan dari studi perpustakaan atau internet untuk membantu penulis dalam menjawab serta menulis biografi orang tersebut dan supaya tulisan si peneliti dapat dipertanggungjawabkan, lengkap dan menarik. Terjemahan Ary (2007) dari situs: (www.infoplease.com/homework/wsbiography.html).

2.8 Alasan Dipilihnya Lape Sitepu

Dalam tulisan ini, penulis memilih Lape Sitepu sebagai objek penelitian, dikarenakan beliau mampu memainkan dan membuat alat musik tradisional Karo Jahe diantaranya adalah: (a) Beliau adalah satu-satunya orang yang dapat membuat gendang galang yang merupakan alat musik tradisional Karo Jahe; (b) Beliau dapat memainkan alat musik tradisional Karo Jahe dengan sangat baik; (c) Gendang galang hasil buatan Lape Sitepu banyak dipakai oleh para masyarakat baik di dusun tempat Lape Sitepu tinggal ataupun di luar dusun tersebut; (d) Dalam tulisan ini, penulis memilih Lape Sitepu sebagai objek penelitian, dikarenakan beliau mampu memainkan dan membuat alat musik tradisional Karo Jahe diantaranya adalah: (a) Beliau adalah satu-satunya orang yang dapat membuat gendang galang yang merupakan alat musik tradisional Karo Jahe; (b) Beliau dapat memainkan alat musik tradisional Karo Jahe dengan sangat baik; (c) Gendang galang hasil buatan Lape Sitepu banyak dipakai oleh para masyarakat baik di dusun tempat Lape Sitepu tinggal ataupun di luar dusun tersebut; (d)

Hal-hal tersebut penulis ketahui dari hasil percakapan/wawancara dengan Lape Sitepu dan juga dari sudara-saudara, dan rekan-rekan. Peranan dan pengalaman beliau yang banyak ini menjadi alasan ketertarikan penulis menemukan fakta-fakta mengenai kehidupan beliau, dalam hal ini penulis lebih fokus kepada kehidupan beliau sebagai pembuat alat musik dan lebih dikhususkan kepada instrumen musik gendang buatan beliau.

Melalui wawancara penulis akan mencatat kehidupannya berdasarkan dimensi waktu, ide-ide kreatif beliau dalam pembuatan instrumen musik tradisional Karo Jahe, dalam hal ini gendang galang adalah salah satu instrumen musik tradisional Karo Jahe dan juga akan membahas bagaimana pengalaman hidup beliau, tanggapan masyarakat khususnya masyarakat Karo Jahe mengenai bentuk instrumen musik tradisional Karo Jahe yang dibuat oleh beliau yang sama sekali tidak ada perbedaan dengan yang terdahulu, khususnya pada instrumen gendang galang, bagaimana pendapat orang mengenai dirinya, dan hal-hal lain.

2.9 Biografi Lape Sitepu

Biografi Lape Sitepu yang akan dideskrpsikan dalam tulisan ini, mencakup aspek- aspek: latar belakang keluarga, pendidikan beliau, kehidupan sebagai pemusik, kehidupan sebagai pembuat alat musik dan tanggapan masyarakat khususnya para masyarakat di Langkat mengenai keberadaan Lape Sitepu, khususnya mengenai gendang galang buatan beliau tersebut.

2.9.1 Latar Belakang Keluarga

Lape Sitepu lahir di desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat pada tanggal 10 Oktober 1955, anak dari ayah bapak T. Sitepu dan ibu T. Ginting. Lape lahir dari Lape Sitepu lahir di desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat pada tanggal 10 Oktober 1955, anak dari ayah bapak T. Sitepu dan ibu T. Ginting. Lape lahir dari

Profesi keseharian ayah beliau yang adalah pemain sekaligus pembuat instrumen musik tradisional Karo Jahe, sering juga membuat Lape sering terlibat membantu ayahnya dalam membuat alat musik juga dalam bermain musik, hal tersebutlah yang membuat Lape menjadi sangat akrab dengan musik tradisional Karo Jahe dan menguasai banyak permainan instrumen musik tradisional juga proses pembuatan nya.

Lape Sitepu merupakan anak pertama dari 4 bersaudara masing-masing adalah sebagai berikut:

1. Lape Sitepu ( pembuat gendang, laki – laki )

2. Nor Sitepu ( perempuan )

3. Hemat Sitepu ( Laki – Laki )

4. Sedia Sitepu ( Laki – Laki )

2.9.2 Latar Belakang Pendidikan

Lape Sitepu hanya sempat menginjakkan dirinya di bangku SD di desa Raja tengah pada Tahun 1961 dan itupun hanya kelas 1 SD saja. Setelah itu dia tidak melanjutkan pendidikan apapun karena terkendala di biaya.

2.9.3 Berumah Tangga

Lape Sitepu menikah pada tanggal 10 Oktober 1984 dengan istrinya Arihta Ginting, dari pernikahan mereka lahirlah 3 orang anak, 1 orang putra dan 2 orang putri, yaitu:

1. Pirak Sitepu (anak sulung, laki-laki)

2. Carina Sitepu (perempuan)

3. Lusiana Sitepu (perempuan) Setelah menikah beliau memilih untuk berprofesi sebagai tukang bangunan dan

sekaligus sebagai pembuat alat musik tradisional Karo Jahe khususnya gendang galang di rumah beliau yang beralamat di dusun Nangka Lima desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

2.10 Lape Sitepu Sebagai Pemusik Tradisional Gendang Galang Pada Masyarakat Karo Jahe

Kemampuan bermusik khususnya musik tradisional Karo Jahe sudah dimiliki beliau sejak masa kanak-kanaknya, dikarenakan latar belakang keluarga beliau yang merupakan keluarga seniman musik tradisional Karo Jahe di Kabupaten Langkat, ayah beliau bapak Terimbang Sitepu adalah seorang pemusik tradisional Karo Jahe yang terkenal di Kabupaten Langkat, dan juga sebagai pembuat alat musik tradisional Karo Jahe yang juga terkenal di sana. Kemampuan bermusik beliau sewaktu anak-anak tidak diragukan lagi terbukti dari beberapa event yang diikuti di daerahnya.

Karir beliau sebagai pemusik tradisional gendang galang dimulai bersama saudaranya Sedia Sitepu, dan mereka mulai bermain musik di beberapa acara-acara adat maupun acara- acara seperti peresmian seperti gedung pemerintahan di binjai tahun 1995.

2.11 Lape Sitepu Sebagai Pembuat Alat Musik

Seperti yang telah dibahas di sub bab sebelumnya, bahwa latar belakang keluarga banyak mempengaruhi dan membuat Lape Sitepu seorang yang piawai dalam bermain musik tradisional Karo Jahe. Demikian juga halnya sebagai pembuat instrumen musik Karo Jahe.

Kemampuan dalam membuat instrumen musik tradisional masyarakat Karo Jahe diperoleh bapak Lape Sitepu semenjak dia masih anak-anak, beliau sering membantu Kemampuan dalam membuat instrumen musik tradisional masyarakat Karo Jahe diperoleh bapak Lape Sitepu semenjak dia masih anak-anak, beliau sering membantu

Pada awal karirnya sebagai pembuat alat musik, sebenarnya diakui beliau adalah didasari kebutuhan pribadi juga beberapa saudara kandungnya yang juga sebagai pemusik tradisional pada masyarakat Karo Jahe, sehingga beliau membuat instrumen musik tradisional tersebut seperti apa yang pernah dialami dan dipelajari beliau ketika bersama dengan ayahnya. Sarune, gendang kitik, dan gung adalah jenis instrumen musik tradisional yang sering dibuat oleh bapak Lape Sitepu , karena keempat instrumen tersebutlah yang kerap digunakan oleh bapak Lape Sitepu dan saudaranya dalam setiap pertunjukan yang mereka adakan maupun yang mengundang mereka untuk bermain musik tradisional. Dengan seringnya instrumen musik tradisional buatan bapak Lape Sitepu tersebut ditampilkan di beberapa acara-acara Kabupaten Langkat, maka hal tersebut lambat laun mulai diketahui oleh pemusik tradisional Karo lainnya, dan merekapun mulai meminta kepada bapak Lape Sitepu untuk dibuatkan juga instrumen musik serupa. Dari hasil penjualan instrumen tersebut membuat Junihar tertarik untuk mulai menekuni karirnya sebagai pembuat instrumen musik tradisional gendang galang pada masyarakat Karo Jahe.

BAB III : PERSPEKTIF , STRUKTUR DAN TEKNIK PEMBUATAN GENDANG GALANG

3.1 Perspektif Masuknya Gendang Galang Ke Langkat

Pada tahun 1949 Indonesia mengesahkan dirinya menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Mulailah berdatangan para suku-suku karo gugung ke daerah Langkat dan mulai bertempat tinggal dan melanjutkan hidup di Langkat. Banyaknya suku Karo yang mendiami daerah Langkat sehingga menjadikan mereka disebut “karo Jahe”.

Budaya yang sama baik dalam segi bahasa, acara adat, dll, sehingga para suku karo yang ada saat mengadakan acara-acara tertentu pasti menggunakan setiap nilai-nilai kebudayaannya baik tata cara maupun alat musik yang digunakan dalam setiap acara tersebut.

Ada beberapa alat musik karo yang digunakan dalam setiap acara adat suku karo seperti : serune, gong, gendang kitik dan gendang galang. Dan dalam setiap acara adat yang dilakukan semua alat musik ini harus lengkap. Seperti halnya dibawah akan dibahas mengenai salah satu alat musik karo yang merupakan objek penelitian bagi peneliti yaitu gendang galang .

Awal pertama sekali gendang galang itu diperkenalkan kepada warga suku karo yang yaitu oleh bapak Terimbang Sitepu yang merupakan orang tua dari bapak Lape Sitepu yang menjadi informan penelitian. Lebih kurang gendang galang ini diperkenalkan oleh bapak Terimbang Sitepu sejak 100 tahun yang lalu. Namun pada masyarakat di Langkat gendang ini diperkenalkan oleh bapak Lape Sitepu setahun setelah dia pindah ke Langkat pada tahun 1953.

Gendang galang ini dipergunakan untuk setiap acara-acara yang dilakukan oleh para suku karo seperti : acara pernikahan, masuk rumah baru, memindahkan tulang-belulang para Gendang galang ini dipergunakan untuk setiap acara-acara yang dilakukan oleh para suku karo seperti : acara pernikahan, masuk rumah baru, memindahkan tulang-belulang para

Seiring berjalannya waktu, bapak Lape Sitepu semakin terkenal namanya sebagai pemain alat musik karo yaitu pada tahun 1958, yang menyebabkan banyak orang yang mengenal dia hingga akhirnya ada 6 orang yang memesan alat musik karo untuk dia buat seperti : Gendang galang atau serune. Dan bahkan dia memberikan 3 teman terdekatnya masing-masing 1 alat musik karo.

Masyarakat sekitar baik yang bersuku karo ataupun tidak (pendatang seperti jawa, melayu, dll ) menerima keberadaan Gendang galang dikarenakan mereka mengerti bahwasanya itu merupakan bagian dari seni budaya yaitu budaya karo. Dan bahkan diantara suku-suku yang lain ada yang menyukai salah satu alat musik karo tersebut yaitu Gendang galang .

3.2 Struktur dan Ukuran Gendang Galang

3.2.1 Struktur Gendang Galang

Berikut struktur atau bagian-bagian gendang galang :

Kulit / Membran

Bingke Atas

Bingke bawah

Gambar 1.Struktur Gendang Galang

3.2.1.1 Kulit/Membran

Kulit atau membran terbuat dari kulit napoh / kancil. Biasanya menggunakan kulit kancil yang berusia sekitar usia 1 – 2 tahun. Tidak hanya usia, dari jenis kelamin kancil, kulit kancil yang digunakan baiknya kulit kancil betina karena dibandingkan kulit kancil jantan memiliki kulit yang tebal sehingga dengan menggunakan kulit yang tipis, bunyi yang dihasilkan lebih nyaring.

Gambar 2. Kulit napoh

Kulit napoh yang digunakan bapak Lape sitepu biasanya diperoleh dari masyarakat di desa Marike yang masih membudidayakan kancil. Satu ekor kancil, kulitnya hanya bisa menghasilkan satu membran saja.