PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI (STUDI DI KABUPATEN CILACAP)

  

Tema:6 (Rekayasa Sosial dan Pengembangan Perdesaan)

PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN TINDAK PIDANA

PERDAGANGAN ORANG DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI

  65 (STUDI DI KABUPATEN CILACAP)

Oleh:

  

Rani Hendriana,Rindha Widyaningsih, Dessi Perdani Yuris Puspita Sari

Universitas Jenderal Soedirman

ABSTRAK

  Perlindungan hukum korban TPPO di Kabupaten Cilacap, selama ini belum mengarah pada perspektif Viktimologi. Permasalahan mengenai bentuk perlindungan hukum dan faktor penghambat pelaksanaannya dalam perspektif Viktimologi. Penelitian ini menggunakan pendekan yuridis sosiologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum belum sepenuhnya

  • – mengarah pada kebutuhan korban, khususnya perlindungan hukum yang bersifat represif. Faktor faktor yang menghambat keberhasilan pelaksanaan perlindungan hukum antara lain, faktor struktur hukum, substansi hukum, budaya hukum, serta perilaku korban dalam merespon pemberian perlindungan hukum yang ditujukan kepadanya. Kata kunci: Perlindungan hukum, korban, TPPO, Viktimologi, Cilacap

  ABSTRACT

  The legal protection of victims of TPPO in Cilacap regency, has not yet led to the perspective of Viktuologi. Issues concerning the forms of legal protection and the inhibiting factors of their implementation in the perspective of the Victorology. This study uses sociological juridical stress.

  The results show that legal protection has not fully addressed the needs of the victims, especially the repressive legal protections. Factors that impede the successful implementation of legal protection are, among other things, the legal structure, legal substance, legal culture, and victim behavior in responding to the provision of legal protection directed against it.

  Keywords: Legal protection, victim, TPPO, Victimologi, Cilacap PENDAHULUAN

  Berdasarkan naskah rancangan ketigaThe International Criminal Codetahun 1954, slavery termasuk dalam 13 kejahatan yang ditetapkan dan dapat dijatuhi pidana berdasarkan hukum 66 intenasional sebagai kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan seluruh umat manusia. Eesensi dari perbudakan sesungguhnya masih hidup dan mewujudkan dalam wajah-wajah baru dari perbudakan itu sendiri, yakni perdanganan orang.Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) menjadipersoalan Bangsa Indonesia, International Organization for Migration menyatakan, bahwa 65 This article is the summary of the research result, funded by Dipa Universitas Jenderal Soedirman with contract Number 2378/UN.23.14/PN/2017, 1 Maret 2017. 66 Romli Atmasasmita, 2000. Pengantar Hukum Pidana Internasional, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 41-43.

  sebanyak 3.339 orang, dimana hampir 90% dari korban adalah perempuan, dan lebih dari 25% 67 adalah anak-anak. Hal ini sebagaimana terjadi pula di Kabupaten Cilacap, yang menjadi salah 68 satu daerah asal korban TPPO. Adapun data mengenai kasus Migran Indonesia/ Traffciking, sebagaimana dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

  Tabel 1.Kasus Buruh Migran Indonesi/ Traffciking di Kabupaten Cilacap Tahun 2005 s/d 2013 No. Tahun Jumlah Korban 1 2005

  8 2 2006

  5

  • 3 2007 4 2008

  3 5 2009 2 6 2010 3 7 2011

  28 8 2012 3 9 2013

  12 Sumber Data: Pusat Pelayanan Terpadu Korban Tindak Kekerasan terhadap perempuan dan Anak- Cilacap Tanpa Kekerasan (PPT CITRA) Kabupaten Cilacap.

  Viktimologi sebagai salah satu ilmu yang bersifat interdisipliner terdiri atas kumpulan pengetahuan dari berbagai disiplin antara lain kriminologi, hukum, kedokteran, psikologi, pendidikan pekerjaan sosial, administrasi umum, dan lain-lain. Viktimologi juga mencangkup berbagai aktivitas yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga kesejahteraan 69 sosial, lembaga pendidikan, perusahaan asuransi, serta lembaga perundang-undangan. Kajian perlindungan hukum korban TPPO di Kabupaten Cilacap dari perspektif Viktimologi perlu dilakukan, di mana nantinya akan mengarahkan pada perlindungan hukum yang berbijak pada akar permasalahan dan kebutuhan korban sesuai dengan bentuk penderitaaanya.

  Permasalahan yang akan dibahas adalah, Pertama, bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum korban TPPO di Kabupaten Cilacap dari perspektif Viktimologi. Kedua, faktor-faktor apa saja yangmenghambat pelaksanaan perlindungan hukum korban TPPO di Kabupaten Cilacap dari perspektif Viktimologi.

  67 Maslihati Nur Hidayat, “Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Perdagangan Orang Melalui

Hukum Internasional dan Hukum Positif Indonesia”, Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, Vol. 1

No. 3 Maret 2013, Jakarta: Universitas Al-Azhar Indonesia, p. 163. 68 Harkristuti Harkrisnowo, 2003, Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia, Jakarta: Sentra HAM UI, hlm. 5. 69 Wilian G. Doerner/Steven P.Lab, 1998, Victimology, Secon Edition, Anderson Publishing co, page 9, dalam Iswanto dan Angkasa, 2009, Viktimologi, Purwokerto: Fakultas Hukum Unsoed, hlm 15.

  METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan pendekatan yuridis sosiologis.

  Pendekatan ini merupakan kajian yang menekan kepada pencarian keajegan-keajegan empirik, karena mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi kehidupan masyarakat itu sendiri di dalam 70 praktiknya. Informan penelitian sebagai sampel penelitian adalah anggota Polri Polres Cilacap dan PPT-Citra Kabupaten Banyumas.

  HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum Korban TPPO di Kabupaten Cilacap dari Perspektif Viktimologi

  Terdapat tiga tujuan Viktimologi antara lain: (1)to analyze the manifold aspect of the

  

victim’s problem; (2) to explain the causes for victimization; (3) to develop a system of measures

71

for reducing human suffering . Berkaitan dengan tujuan Viktimologi yang pertama, hasil penelitian

  menunjukkan bahwa secara umum korban TPPO di Kabupaten Cilacap mengalami kerugian atau penderitaan secara (a) Psikis; (b) Fisik; (c) Ekonomi.Pengertian perlindungankorbanmenurut Barda Nawai Arief dapatdilihatdari 2 (dua) makna, yaitu:

  a. Pertama, dapat diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana; (preventif); b. Kedua, dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/ santunan hukum atas penderitaan/ kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana (jadi identik dengan penyantunan korban). Hak korban akan ganti rugi pada dasarnya merupakan bagian 72 integral dari hak asasi manusia di bidang kesejahteraan/ jaminan sosial. (represfif)

  Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan penelitian dari unsur Polres Cilacap hanya melakukan perlindungan hukum yang bersifat preventif yakni pencegahan untuk menekan risiko korban potensial dalam bentuk sosialisasi, antara lain: (a) Penyuluhan di panti-panti pijat, tempat karoke, dan PJTKI secara rutin; (b) Sidak KTP bagi seseorang yang belum cukup umur dalam bekerja, untuk mencegah terjadinya TPPO. Adapun bentuk perlindungan yang diberikan oleh PPT Citra Kabupaten Cilacap lebih komprehensif, berdasarkan keterangan Informan penelitian dari unsur PPT PKBGA, bahwa perlindungan tidak hanya bersifat preventif melainkan juga bersifat preventif. Bentuk perlindungan hukum secara preventif berupa sosialisasi ke sekolah-sekolah maupun kepada warga, baik melalui PKK maupun perangkat desa.Perlindungan hukum yang

  70 Rahadi Wasi Bintoro, “Implementasi Mediasi Litigasi Di Lingkungan Yurisdiksi

Pengadilan Negeri Purwokerto”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 No. 1, Januari 2014,

Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 16. 71 72 Iswanto dan Angkasa, Ibid, hlm. 15-16.

  Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bhakti, hlm.56 kebutuhan korban TPPO. Adapun di sisi lain, teknis penanganan korban TPPO yang dilakukan oleh PPT Citra, antara lain: (1) menanyakan identitas korban; (2)memberitahukan kepada korban mengenai konsep layanan PPT Citra; (3) memberitahukan kepada korban bahwa semua layanan gratis (non- biaya); (4) memberitahukan hak klien.

  Bentuk perlindungan hukum secara represif juga telah merujuk pada hak-hak korban TPPO yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO, antara lain: hakkerahasiaan identitas korban tindak pidana perdagangan orang dan keluarganya sampai derajat kedua (Pasal 44), hak untuk mendapat perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan/ atau hartanya (Pasal 47), hak untuk mendapat restitusi (Pasal 48), hak untuk memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasisosial, pemulangan dan reintegrasi sosial dari pemerintah (Pasal 51).Berdasarkan keterangan Informan penelitian dari unsur PPT Citra bahwa dalam hal rehabilitasi kesehatan selain terdapat psikolog, PPT Citra juga telah bekerjasama dengan rumah sakit, sedangkan dalam hal pemulangan korban dibantu oleh dinas sosial. Hal ini dikarenakan belum teranggarkan di PPT Citra atau anggaran tidak ada untuk dua tahun terakhir. Pelaksanaan rehabilitasi sosial terhadap korban yakni dengan diberi modal kerja dan keterampilan dari dinas sosial, termasuk pula pendidikan atau sekolah dari dinas sosial melalui program PKH Anggaran NGO dari Lapeksdam dan IPBMI (Ikatan Persatuan Buruh Migran Indonesia).Termasuk hak korban yang tertuang dalam UU No. 31 Tahun 2014, PPT Citra juga memberikan perlindungan hukum berupa hak-hak korban sebagaimana terkandung dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 dan Pasal 7 A UU No. 31 Tahun 2014.

  Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan penelitian dari unsur PPT Citra bahwa bentuk perlindungan hukum yang belum optimal antara lain. Pertama, korban belum mendapat informasi mengenai putusan pengadilan (Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2014 tentang PSK). Hal ini dikarenakan, kasus terhenti dan korban dipulangkan, di manakorban lebih memilih mendapatkan uang dari pelaku. Kedua, Korban belum mendapatkan informasi dalam hal terpidana dibebaskan (Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2014 tentang PSK). Ketiga, berkaitan restitusi (Pasal 48 UU No. 21 Tahun 2007 dan Pasal 7 A UU No. 31 Tahun 204), PPT Citra Cilacap telah berupaya mengajukan restitusi, akan tetapi di tolak, karena harus memberikan rincian dana dan bukti-bukti (pada kasus tersebut pun terdapat perbedaan perspektif mengenai dasar hukum yang digunakan, di mana menurut PPT Citra kasus tersebut merupakan TPPO, namun menurut kepolisian bukan TPPO melainkan lebih pada perlindungan anak).

  Terlihat pula bahwa perilaku korban dalam menyikapi TPPO lebih menempuh non-litigasi guna mendapatkan ganti rugi. Termasuk pula komitmen aparat penegak hukum yang belum berpijak pada kepentingan korban. Hal ini tampak dengan tidak adanya infomasi dalam hal terpidana di bebaskan, maupun upaya restitusi terhadap korban. Berdasarkan hal tersebut, maka implementasi tujuan Viktimologi ketiga belum tercapai secara maksimal.

  

Faktor-FaktorPenghambat Pelaksanaan Perlindungan HukumKorban TPPO di

Kabupaten Cilacap dalam Perspektif Viktmologi.

  Penilaian sebuah hukum yang baik maka dapat memilah-milah dari beberapa pendekatan, antara lain melalui komponen-komponen yang harus termuat dalam sistem hukum. Tiga komponen yang harus termuat dalam sistem hukum menurut Lawrence Meir Friedman antara lain komponen 73 struktur, substantif dan cultural. Adapun faktor penghambat dalam pelaksanaan perlindungan hukum korban TPPO di Kabupaten Cilacap, dengan merujuk teori di atas, adalah sebagai berikut.

1. Komponen Struktur

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelemahan dalam komponen struktur menjadi penghambat pelaksanaan perlindungan hukum korban TPPO. Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan penelitian dari unsur PPT Citra bahwa kelemahan tersebut, antara lain:

  Pertama , masih belum maksimalnya komitmen aparat penegak hukum dalam menuntaskan

  kasus TPPO. Kedua, kurangnya komitmen pemerintah dalam pendanaan, di mana anggaran untuk korban TPPO tidak ada atau tidak teranggarkan sejak 2 tahun ini. Ketiga, (a) Kurangnya personil petugas layanan yang berlatar belakang psikolog; (b) Kurangnya peningkatan SDM melalui pelatihan petugas layanan, sehingga belum optimalnya kompeten petugas dalam penanganan pelayanan. Keempat, kurangnya anggaran pemberdayaan pasca pendampingan atau pasca penanganan. Sekalipun koordinasi dengan dinas-dinas terkait menjadi suatu solusi permasalahan tersebut, namun demikian secara tidak langsung hal ini menunjukkan masih kurangnya komitmen pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pusat dalam mengalokasikan anggaran bagi korban TPPO, maupun dalam peningkatan SDM personil PPT Citra.

  Sejatinya, optimalisasi pengungkapan kasus dan penegakan hukum, merupakan hak korban TPPO. Tidak terungkapnya kasus TPPO, tentunya berakibat pada belum teridentifikasikannya korban, sehingga terhadapnya belum mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini mendasarkan pada hasil wawancara dengan Informan penelitian dari unsur Polres Banyumas yang menyatakan bahwa “Berkaitan dengan penderitaan korban TPPO, bahwa sampat saat ini belum pernah ada kasus TPPO, termasuk juga di PPA belum pernah menangani kasus TPPO, jadi tidak bisa kami jawab. Namun demikian, berkaitan perlindungan hukum korban TPPO, yang kami lakukan lebih bersifat preventif .

  Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat kasus TPPO yang terdata di (pencegahan)” Polres Cilacap. Adapun data yang diperoleh peneliti adalah data dari PPT Citra, di mana data tersebut adalah data yang diduga menurut analisa PPT Citra sebagai korban Buruh Migran Indonesia atau korban TPPO.

73 Rani Hendriana, “Perlindungan Hukum Tindak Pidana Terorisme: Antara Desiderata dan Realita”, Jurnal Kosmik Hukum, Vol. 16 No. 1, Januari 2016, Purwokerto: FH UMP, hlm. 34.

  preventif membawa dampak positif tersendiri yakni mencegah suatu kejahatan perdagangan orang, sehingga berkonsekuensi pada tidak adanya kasus TPPO yang terjadi, terungkap atau dilaporkan. Namun demikian, hal ini patut dikritisi bahwa menjadi suatu hal yang tidak logis, jika Kabupaten Cilacap yang merupakan kantong-kantong TKI dan terindikasi berpotensi terjadinya TPPO, namun tidak ada kasus yang terdata di Polres Cilacap. Perlu dipahami bahwa, terjadinya TPPO dapat terjadi pada pra penempatan, penempatan dan pasca penempatan TKI. Terlebih, berdasarkan hasil penelitian di Polres Banyumas, bahwa dalam kasus TPPO yang ditangani oleh Polres Banyumas terdapat korban yang berasal dari Kabupaten Cilacap. Hal ini tentunya menjadi suatu kelebihan dan sekaliguas kelemahan dalam aspek komponen struktur hukum, di mana perlindungan hukum secara preventif (pencegahan) tidak diimbangi dengan perlindungan hukum secara represif, yakni baik dalam bentuk penanganan korban maupun pengungkapan kasus dan penegakan hukumnya terhadap pelaku.

  Hal lain yang diperlu dikritisi adalah, korban TPPO di Kabupaten Cilacap tidak mendapatkan restitusi dari pelaku. Sekalipun PPT Citra dalam hal ini pernah membantu korban dalam mengajukan restitusi, namun dikarenakan kurangnya bukti-bukti, maka hakim tidak mengabulkan restitusi. Hal ini semakin menunjukkan kurangnya komitmen aparat penegak hukum (jaksa dan hakim) terhadap pemberian perlindungan hukum bagi korban dan kurangnya kualitas personil PPT Citra dalam memenuhi syarat-syarat pengajuan restitusi.

  2. Komponen Substantif Masih terdapat beberapa kelemahan substansi. Pertama, UU No. 31 Tahun 20014 merupakan hasil pembaharuan dari undang-undang sebelumnya UU No. 13 Tahun 2006.

  Adapun telah terjadi perubahan, namun demikian Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Retitusi dan Bantuan masih belum dicabut dan diperbaruhi.Kedua, No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak menyebutkan secara spesifik bagaimana perlindungan 74 anak yang menjadi korban perdagangan orang tersebut. Ketiga, Kabupaten Cilacap belum memiliki Perda yang secara khusus mengatur korban human trafficking atau TPPO.

  3. Komponen Kultural Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan penelitian dari unsur PPT Citra bahwa bahwa masyarakat kurang peka terhadap isu TPPO dan korban TPPO, di sisi lain

74 I Nelsa Fadila, “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 5 No.2, Juli 2015, hlm. 191-192.

  dugaan terjadinya TPPO. Berpijak pada tujuan Viktimologi yang kedua, yakni to explain the causes for victimization). Melalui kajian Viktimologi akan tampak bahwa timbulnya korban tidak mutlak disebabkan oleh kesalahan pelaku kejahatan, namun dapat pula disebabkan oleh kesalahan korban dari tingkat yang 75 ringan hingga kesalahan penuh dipihak korban. Berkaitan dengan korban TPPO di Kabupaten

  Cilacap, di peroleh bahwa terdapat jenis korban yang turut berperan atau mempengaruhi dalam terjadinya TPPO, sehingga mengakibatkan dirinya menjadi korban. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: a.

  Korban karena kelalaiannya atau korban dengan kesalahan kecil Merujuk pada tipologi korban dari Mandelsohn, tipe ini disebut sebagai “The victim 76 Terjadinya korban TPPO with minor guilt and the victim due to his ignorance”. dikarenakan terdapat kelalaian atau kesalahan kecil dari korbannya yang berakibat fatal. Hal ini sebagaimana di sampaikan oleh informan penelitian, bahwa pada kasus tertentu sikap korban itu sendiri yang menyebabkan dirinya menjadi korban atau turut memberikan peranan atau turut andil dirinya menjadi korban. Sebagai contoh menurut Informan penelitian bahwa korban mengetahui dan orang tua korban juga mengijinkan dokumen korban di palsukan pada saat akan menjadi TKI. Ada juga korban dari Cilacap yang daftar menjadi TKI justru melalui Jakarta, Kebumen, dan sebagainya.

  b.

  Korban pura-pura 77 Merujuk pada tipologi korban dari Mandelsohn, tipe ini disebut sebagai “The

  simulating victim”, di mana oleh Mandelshon dicontohkan pada mereka yang mengaku

  menjadi korban demi kepentingan tertentu. Hal ini, terjadi pula di Kabupaten Cilacap, sebagaimana menurut informan penelitian bahwa adanya perilaku korban yang pura-pura menjadi korban. Respon korban terhadap pemberian perlindungan hukum terhadapnya dan penegakan hukum kasusnya, juga menjadi faktor penghambat. Hal ini sebagaimana di sampaikan Informan penelitian dari unsur PPT Citra bahwa “Kurangnya komitmen korban dalam memperjuangkan hak-haknya dengan memproses kasusnya secara hukum, di mana dalam hal ini korban lebih memilih perdamaian dengan PJTKI tanpa sepengetahu an PPT Citra.”

  75 Wilian G. Doerner/Steven P.Lab, 1998, Victimology, Secon Edition, Anderson Publishing co, page 9, dalam Iswanto dan Angkasa, Op.Cit, hlm. 15. 76 77 Iswanto dan Angkasa, Op.Cit, hlm. 28.

  Iswanto dan Angkasa, Op.Cit, hlm. 28.

  KESIMPULAN

  Perlindungan hukum korban TPPO di Kabupaten Cilacap belum berpijak pada perspektif Viktimologi, di mana ditandai dengan kurangnya perlindungan hukum yang bersifat represif. Hal ini tidak terlepas dari adanya faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan perlindungan hukum korban TPPO. Kelemahan faktor struktur hukum, tampak pada (1) Masih belum maksimalnya komitmen dari aparat penegak hukum dalam menuntaskan kasus TPPO; (2) Kurangnya komitmen pemerintah dalam pendanaan(3) Kurangnya personil petugas layanan PPT Citra yang berlatar belakang psikolog; (4) Kurangnya peningkatan SDM PPT Citra melalui pelatihan petugas layanan(5) Kurangnya anggaran pemberdayaan pasca pendampingan atau pasca penanganan; (6) Perlindungan hukum yang dilakukan oleh Polres Cilacap belum komprehensif, yakni belum menyentuh pada perlindungan hukum yang bersifat represif, sehingga data korban TPPO belum teridentifikasikan. Termasuk pula budaya hukum, di mana kurangnya kepekaan masyarakat terhadap isu TPPO dankorban TPPO.Termasuk perilaku korban, di mana beberapa di antaranya lebih memilih menyelesaikan kasus TPPO secara damai.

DAFTAR PUSTAKA

  Ali, Mahrus dan Bayu Aji Pramono. 2011. Perdagangan Orang: Dimensi, Instrumen. Internasional dan Pengaturannya di Indonesia . Bandung: Citra Aditya Bakti. Arief, B. N. 2001. Masalah Penegakan & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bhakti. Atmasasmita, R. 2000. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung: PT. Refika Aditama. Bintoro, R. W. “Implementasi Mediasi Litigasi Di Lingkungan Yurisdiksi Pengadilan Negeri Purwokerto”. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 14 No. 1, Januari 2014.

  Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Fadila, N. “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang”. Jurnal Hukum dan Peradilan. Vol. 5 No.2, Juli 2015.

  Harkrisnowo, H. 2003. Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia. Jakarta: Sentra HAM UI. Hendriana, R. “Perlindungan Hukum Tindak Pidana Terorisme: Antara Desiderata dan Realita”.

  Jurnal Kosmik Hukum. Vol. 16 No. 1. Januari 2016, Purwokerto: FH UMP.

  Hidayat, M. N. “Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Hukum Internasional dan Hukum Positif Indonesia”. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial. Vol. 1 No. 3. Maret 2013. Jakarta: Universitas Al-Azhar Indonesia.

  Iswanto dan Angkasa. 2009. Viktimologi. Purwokerto: Fakultas Hukum Unsoed.