PENGGUNAAN HIJAUAN MAKANAN TERNAK YANG T

PENGGUNAAN HIJAUAN MAKANAN TERNAK YANG TEPAT UNTUK
PENGEMBANGAN PETERNAKAN DI INDONESIA

M Askari Zakariah
09/288529/PT/05771

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2012

Pendahuluan

Pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam sebuah
peternakan. Biaya untuk pakan sebesar 70-80% dari biaya produksi,
sehingga dirasa perlu adanya perhatian dalam persedian pakan baik dari segi
kualitas maupun kuantitas. Kebutuhan pokok konsumsi tanaman hijauan
untuk setiap harinya berkisar 10% dari berat badan ternak, sehingga dirasa
perlu untuk meningkatkan produktivitas suatu lahan untuk mencukupi
kebutuhan tersebut. Menurut (Sunarminto, 2010) sukses tidaknya industri
peternakan di Indonesia, khususnya industri ternak ruminansia tergantung
pada beberapa faktor. Salah satu faktor yang sangat penting adalah

pengemabangan tanaman untuk penyedian pakan utamanya yang berupa
hijauan.
Pada ternak ruminansia, kemampuan untuk memanfaatkan zat-zat
makanan dari pakan yang dikonsumsi

sangat bergantung pada kondisi

ekologi rumen. Rumen merupakan habitat istimewa sebagai alat pencernaan
fermentatif mikroorganisme, didalamnya terdapat kondisi yang sangat baik
untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisma dengan didukung
suhu, pH, dan kelembaban yang relatif konstan. Proses fermentasi yang
terjadi dalam rumen akan mengubah komponen-komponen pakan yang
kompleks menjadi produk-produk yang lebih sederhana dan berguna bagi
ternak. Pakan utama ternak ruminansia adalah hijauan, hijauan memiliki
kadar serat kasar yang tinggi. Komponen terbesar dari serat kasar adalah
berupa dinding sel yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin.

Pembahasan
Ekosistem mikrobia dalam rumen
Mikrobia yang terdapat dalam saluran pencernaan pada ternak

vertebrata herbiovora sangat memegang peranan penting dalah hal proses
digesti karbohidrat kompleks. Menurut Churc (1988), type mikroorganisme
yang berkembang dalam rumen adalah mikroorganisme yang memiliki daya
adaptasi terhadap kondisi ekosistem yang spesifik dari rumen tersebut.
Bakteri dalam rumen dapat ditemukan sebanyak 1010 sampai 1011 sel/gram
dari isi rumen. Bakteri rumen dapat diklasifikasikan menjadi bebrapa bagian
berupa:

bakteri

selulolitik,

amilolitik,

hemiselulolitik,

pengguna

gula


sederhana, pengguna intermediate acid proteolitik, penghasil ammonia,
lipolitik, penghasil methan. Sedangkan jumlah protozoa dalam rumen berkisar
sekitar 105 sampai 106 sel/g dari isi rumen, yang mana terdiri dari protozoa
yang berflagellata dan berciliata. Mikrobia yang lainnya selain bakteri dan
protozoa adalah fungi. Menurut Van Soest (1982), fungi yang bersifat
anaerob terdapat dalam rumen, sebelumnya diketahui bahwa hal tersebut
adalah zoospore maka orang-orang berasumsi bahwa hal itu adalah protozoa
yang berflagellat. Hal ini karena zoospora yang sangat kuat melekat pada
ingesta serat tanaman. Oleh karena itu, sampel tersebut dipreparasi dan
dipaparkan ternyata didapatkan hal baru dari scane mikrobiologi.

Fermentasi bahan pakan berserat di dalam rumen
Makanan

ternak

ruminansia

yang


utama

yaitu

hijauan

yang

mengandung banyak selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Kandungan selulosa
dan hemiselulosa diperkirakan sekitar 40% dari bahan kering. Selulosa dan
hemiselulosa tidak bisa terhidrolisis oleh enzim yang terdapat pada usus
halus, tetapi terhidrolisis oleh enzim yang dihasilkan oleh enzim mikrobia.
Sebagain besar karbohidrat akan terfermentasi menjadi volatil fatty acid
(VFA) oleh mikrobia selulolitik dalam rumen, VFA tersusun dari asam asetat,

propionat dan butirat. Bakteri selulolitik yang dominan dalam rumen, White
(1991), spesies Butyrivibrio fibriosolvens, Fibribacter succinogenes, R. Albus,
R. flavefaciens merupakan mikrobia seluloltik yang mendominasi fermentasi
selulosa.
Fibrobacter succinogenes merupakan salah satu bakteri selulolitik

rumen berbentuk basil dan bersifat gram negatif. Seperti halnya bakteri
rumen lainnya, F. succinogenes membutuhkan kondisi anaerob untuk dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik. F. succinogenes termasuk kelompok
bakteri mesophyl yang memiliki kisaran suhu optimum 25o – 40oC, bakteri ini
tidak mampu membentuk spora bila kondisi lingkungan tidak sesuai lysis
pada umumnya terjadi pada fase stationer dimana bakteri membutuhkan
nutrisi lebih banyak, tetapi F. succinogenes mengalami lysis lebih cepat.
Pada kondisi stress, peptidoglycan dideposit pada permukaan terdalam dan
tertua, permukaan luar kemudian dipotong oleh enzym otolitik. Proses
sintesis dan degradasi yang terus-menerus menyebabkan stress ditransfer ke
bagian-bagian yang baru saja mensintesis peptidogylcan (Wells and Russel,
1996). Hasil fermentasi karbohidrat oleh F. succinogenes adalah suksinat,
asetat dan format (Brock and Madiggan, 1991). Asetat, format, H2 dan CO2
merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat oleh Ruminococcus albus.
Seperti halnya F. succinogenes, R. albus merupakan bakteri gram negatif.
Ruminococcus memproduksi sejumlah besar enzym selulase (> 2.000.000
berat molekul) yang diekskresikan kedalam rumen untuk mendegradasi
selulosa (Brock and Medigan, 1991). Pada kondisi substrat selulosa yang
terbatas, R. albus merupakan mikroba selulolitik dengan populasi terendah
dibandingkan R. flavefaciens dan F. succinogenes (Shi and Weimer, 1995).

Menurut Murti (2009), lemak susu merupakan komponen susu yang
paling beragam, sebagian besar lemak susu terdiri dari atas trigliserida.
Bahan pembentuk lemak susu yang utama adalah glukosa , asam asetat,
asam beta hidroksibutirat, trigliserida dasri kilomikra, dan low density

lipopoprotein serta darah, sebanyak 75% hingga 90% dari asam lemak rantai
pendek dan 30% dari asam palmitat yang disusun dalam kelenjar susu
berasal dari asam asetat. Secara keseluruhan, diduga 30% dari atom karbon
yang terdapat dalam lemak susu berasal dari dari asam asetat dan sisanya
berasal dari asam-asam lemak.
Kebutuhan energi yang sangat tinggi sangat dibutuhkan untuk
produksi susu yang tinggi pula, karbohidrat non struktural merupakan nutrient
utama dan cepat terdegradasi sehingga sangat dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan sapi perah dalam memproduksi susu. Masalah-masalah yang
sering timbul dalam perusahaan sapi perah adalah kejadian asidosis karena
pemberian bahan pakan konsentrat yang berlebih dapat menghasilkan
fermentasi Volatil fatty acid dengan cepat and berlebihan dalam rumen
sehingga dapat mengganggu ekosistem mikrobia rumen dengan adanya
perubahan pH.
Kejadian asidosis banyak terjadi karena pemberian konsentrat yang

berlebihan, pemberian konsentrat yang berlebihan mempunyai alasan karena
kebutuhan energi tidak dapat terpenuhi dari bahan pakan hijauan. Menurut
Prihadi (2003), hijauan yang berasal dari rumput dan daun-daunan yang
berkualitas bagus, akan menjadikan sapi hanya dapat berproduksi 70% dari
kemampuan yang seharusnya. Walaupun demikian rumput dan daun-daunan
merupakan pakan dasar bagi sapi perah karena harganya relatif murah.
Makanan kasar berupa hijauan sangat diperlukan ternak ruminansia karena
mengadung serat kasar tinggi yang berperan merangsang kerja rumen dan
menentukan kadar lemak susu.
Seekor sapi yang diharapkan memproduksi susu yang tinggi
membutuhkan energi yang tinggi pula sehingga pemilihan jenis hijauan
sangat perlu diperhatikan. Menurut Moran (2005), sapi perah yang memiliki
produksi 20 liter akan membutuhkan energi perhari sekitar 161 MJME,
sehingga jika dalam suatu padang pastura hijauan memilki kandungan energi

8 MJ/Kg Dry Matter(DM) maka untuk mencapai produksi susu maksimal, sapi
tersebut harus memiliki feed intake yang tinggi, jika padang pastura memilki
kandungan lebih rendah dari 8 MJ/Kg Dry Matter(DM) maka sapi tersebut
harus memilki feed intake yang lebih tinggi pula.
Produksi tinggi membutuhkan energi yang tinggi, sehingga harus

tersedia nutrien terlarut pada substrat yang dapat menghasilkan asam lemak
terbang dalam bentuk propionat dalam proporsi yang lebih tinggi. Produksi
gas dari pembentukan asam propionat lebih tinggi dibandingkan asam asetat.
Produksi gas terjadi secara langsung dari fermentasi karbohidrat dan secara
tidak langsung dari proses buffering.
Hijauan berupa P. purpureum, P. maximum, C. muconoides, dan P.
phaseoloides sangat baik untuk dikembangkan pada peternakan sapi perah
hal ini disebabkan kandungan nutrient dan produksi Bahan kering(BK) yang
cukup tinggi.
Nama Hijauan

P. purpureum
P. maximum
C. muconoides
P. phaseoloides

BK
(%)

SK

(%)

18
24
30
23

33
33,6
34
34,6

Produksi BK
DE
Mcal
/Kg
9,1
51
2,25
26 ton/ha

8,8
53
2,32
26,6-36 ton/ha
14,7
58
2,54
13,55 ton/ha
19,2
60
2,64
19,7 ton/ha
(Hartadi, 2005 ; Reksohadiprodjo, 1985)
PK
(%)

TDN
(%)

Rumput gajah (Pennisetum purpureum Schum) adalah salah satu jenis

hijauan unggulan yang berproduksi tinggi dan daya adaptasi tinggi. Tanaman
ini dapat hidup dan tumbuh pada tanah kritis atau tanah dengan minimal
nutrisi dimana tanaman lain sebagian besar relatif tidak dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik. Produktifitas rumput gajah di Indonesia yaitu
Rumput gajah cv. Hawai 525 ton per hektar dan Rumput gajah cv. Afrika 365
ton per hektar (serdangbedagaikab.go.id, 2009).

Rumput benggala (P. maximum ) merupakan rumput yang berdaun
lebat, tingginya bervariasi, berkembang dengan potongan bungkul akar dan
tunas aau rhizoma. Rumput tumbuh di daerah yang curah hujan 760 cm
setahun. Peka terhdap kejutan beku, tahan naungan, agak tahan kering, tidak
tumbuh pada tanah dengan drainase yang buruk. Rumput dapat tumbuh dari
biji, mempunyai respon yang baik terhadap pemupukan, dapat tumbuh
dengan campuran legum (Reksohadiprodjo, 1985).
Kalopo (Calopogonium mucunoides Desv.) merupakan legum yang
lazim dipergunakan sebagai penutup tanah (Cover crop) dan pengendalian
gulma di perkebunan

(Umiyasih dan Anggraeni, 2003).

Legum Kalopo

mempunyai toleransi yang sedang terhadap naungan dan ketahanan yang
kuat terhadap tekanan penggembalaan, memiliki kemampuan fiksasi N2 3,8
mg N hari

-1

tanaman -1. Kalopo cocok (compatible) tumbuh bersama rumput

dari genus Panicum, Hyparrhenia dan Brachiaria (FAO, 2002 ).

Kesimpulan
Hijauan berupa P. purpureum, P. maximum, C. muconoides, dan P.
phaseoloides sangat baik untuk dikembangkan pada peternakan sapi perah.
Hal ini disebabkan kandungan nutrient dan produksi Bahan kering (BK) yang
cukup tinggi. Kandungan energi yang tinggi sangat dibutuhkan untuk
peningkatan produksi karena semua proses sintesis biokimia membutuhkan
energi. Peternakan sapi perah luar negeri sudah tidak memakai konsentrat
karena komposisi hijauan yang tersedia di pasture sudah cukup dalam
menunjang produksi baik ditinju dari segi kualitas dan kuantitas nutrient.

Daftar Pustaka
Brock, T.D. and Michael T. Madigan. 1991. Biology of Microorganism. Sixt
Edition. Prentice Hall. Englewood Cliffs. New Jersey. 07632.
Church, D. C. 1988. The Ruminant Animal Digestive Physiology And
Nutrition. Prentice Hall. London.
FAO.

2002. Calopogonium mucunoides Desv.
http://www.fao/AG/Agp/agpc/doc/Gbase/DATA/pf000011.htm.
Diakses tanggal 10 Juni 2012.

Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo., A. D. Tillman. 2005. Tabel Komposisi Pakan
Untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Moran, J. 2005. Tropical Dairy Farming Feeding Management For Small
Holder Dairy Farmers In Humid Tropics. CSIRO Publishing.
Australia.
Murti, T. W. 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Prihadi, S. 2003.
Manajemen Ternak Perah. Fakultas Peternakan.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak
Tropik. BPFE. Yogyakarta.
Serdangbedagaikab.go.id, 2009. Diakses tanggal 10 Juni 2012.
Shi, Y. and P.J. Weimer, 1995. Predicted Outcome of Competition Among
Ruminal Cellulolytic Bacteria for Soluble Product of Cellulose
Digestion. U.S Dairy Forage Research Center Research
Summaries.
Umiyasih, U dan Y.N. Anggraeni. 2003. Keterpaduan Sistem Usaha
Perkebunan dengan Ternak : Tinjauan Tentang Ketersediaan Hijauan
Pakan Untuk Sapi Potong di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit.
Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi.
Departemen Pertanian.
Van soest, P. J. 1982. Nutritional Ecology Of The Ruminant. Cornell
University Press. London Varrel, V.H. and Burk A. Dehority. 1989.
Ruminal Cellulolytic Bacteria and Protozoa From Bison, Cattle –

Bisson Hybrids, and Cattle Feed Three Alfalfa – Coin Diets. Applied
and Environmental Microbiology. Vol. 55 No. 1
.