Sebab Sebab kekeliruan dalam penafsiran

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kitab suci Islam. Untuk lebih memahami isi dan
makna al-Qur’an, kajian tafsir al-Qur’an sangat diperlukan guna mengetahui
pesan Allah dibalik teks-teksnya yang terdapat dalam semua perintah dan larangan
yang telah ditetapkan-Nya bagi sekalian manusia, dan untuk menemukan serta
memahami petunjuk Allah di segala bidang. Al-Qur’an memiliki posisi sentral
dalam membentuk ajaran, pemikiran dan peradaban.
Al-Qur’an secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teks,
selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Karenanya, Al-Qur’an
selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan dengan
berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode
dan tafsir yang berkembang merupakan usaha untuk membedah makna terdalam
dari Al-Qur’an itu.1
Penafsiran Al-Qur’an telah berlangsung sejak zaman Rasul, Rasul sendiri
adalah mubayyin awal sesuai dengan kapasitasnya sebagai penyampai wahyu dan
menjelaskannya kepada Sahabat, tentang arti dan kandungan dari al-Qur’an,
walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua tersampaikan
akibat tidak sampainya riwayat-riwayat atau karena memang Rasulullah sendiri
tidak menjelaskan semua kandungan al-Qur’an,2 penafsiran ini berlanjut pada
zaman sahabat, tabi’in dan terus berlangsung sampai dewasa ini.

Penelitian tafsir-tafsir Al-Qur’an ditulis oleh para mufasirin sesuai dengan
zamannya masing-masing, sejak zaman para sahabat Nabi hingga zaman
sekarang. Tampak jelas

bahwa masing-masing tafsir terpengaruh oleh

perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial yang semakin menonjol
pada zamannya, dan tercermin di dalam pandangan, pendapat, dan aliran. Jarang
1 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Quran, kajian tematik atas Ayat-ayat hukum dalam
al-Qur’an, (Jakarta: Penamadani, 2005) hlm. 3
2 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 71

1

sekali tafsir Al-Qur’an yang samasekali tidak terpengaruh oleh pendapat,
pemikiran, dan hukum sesuai dengan zamannya, Maka dari ini tafsir tidak luput
dari kekurangan bahkan kesalahan dan penyimpangan.
B. Rumusan masalah
1. Apa Pengertian tafsir?

2. Apa Pengertian Kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an?
3. Apa Faktor-faktor kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an?
4. Bagaimana contoh kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an?

C. Pedoman Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis berpedoman pada buku “Panduan
Penulisan Tesis dan Disertasi Program Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Banda
Aceh” tahun 2015.

2

PEMBAHASAN
A. Tafsir
1. Pengertian Tafsir
Tafsir menurut Bahasa yaitu berasal dari kata ‫ الفسر‬berarti ‫البانة‬
menyingkapkan sesuatu dan menerangkan pengertian yang masuk akal 3. Dengan
demikian dapat dikatakan memberi penjelasan tentang sesuatu atau memberi
penjelasan begini dan begitu juga disebut tafsir. Tafsir yaitu menyingkapkan
maksud dari lafaz-lafaz yang sulit. Dalam al-Qur’an dikatakan:


‫ك باِل فحق ت‬
‫وتل ي تأ فتتوُن ت ت‬
‫ن تت ف‬
ً‫سيِررا‬
‫ف س‬
‫وأ ف‬
‫ح ت‬
‫س ت‬
‫ك بس ت‬
‫ل إ سلل س‬
‫جئ فتناِ ت س ت ق ت‬
‫مث ت ل‬
‫ت‬

Artinya: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu
yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang
paling baik penjelasannya” (QS. Al-Furqan: 33)
Menurut terminologi kata tafsir di kalangan para ulama tafsir mempunyai
pengertian:
a. Pengertian pertama yaitu penjelasan tentang kalam Allah dengan memberi

pengertian mengenai pemahaman kata demi kata, susunan kalimat yang
terdapat dalam al-Qur’an.
b. Pengertian kedua bahwa tafsir itu merupakan bagian dari ilmu badi’ yaitu
salah satu cabang ilmu sastra Arab yang mengutamakan keindahan makna

dalam penyusunan kalimat. Tafsir itu sangat dibutuhkan, karena seseorang
dapat

membicarakan

serta

mengemukakan

pikiran

dengan

cara


menyampaikan serangkaian kata-kata, kalimat yang kadangkala tidak dapat
dimengerti maksud dan tujuannya yang jelas tanpa disusul kata-kata lain, atau
kalimat yang menjelaskannya.4
Sedangkan Yusuf al-Qaradhawi mengutip pendapat as-Suyuthi yang dikutip
dari az-Zarkasyi tafsir menurut istilah adalah ilmu untuk memahami kitab Allah
SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan merupakan penjelasan
makna-makna serta kesimpulan hikmah dan hukum-hukum.5
3 Mana’ul quthan, Pembahasan Ilmu al-Quran 2, terj. Halimuddin (Jakarta: Rineka
Cipta, 1994), hlm. 163
4 Dr. Ahmad Syurbasy, Studi tentang sejarah perkembangan tafsir al-Quran al-Karim,
(Jakarta: Kalam Mulia, 1999) hlm. 7
5 Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan Al-Quran, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm.
285

3

Pada intinya tafsir adalah suatu kata yang menunjukkan sesuatu yang
khusus dalam Islam yang ditunjukan dalam menafsirkan al-Quran, baik itu
tentang sebab-sebab turunnya ayat, nasakh wa mansukh dan lain-lain.
2. Syarat-Syarat Mufasir

Sebagaimana yang kita maklum, bahwa al-Qur’an adalah kitab pedoman
hidup al-Qur’an (the way of life). Keterbatasan bahasa al-Qur’an yang
mengandung banyak penafsiran harus diuraikan dengan benar secara metodologis,
agar dapat dipahami dan dijadikan pedoman bagi umat Islam. Membaca dan
memahami al-Qur’an memang adalah hak, bahkan kewajiban setiap umat Muslim,
namun menafsirkan kandungan ayat al-Qur’an, tidak semua orang diperbolehkan
melakukanya. Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Seorang
mufasir. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah penafsiran (mal Praktek) akibat
tidak adanya ilmu yang mumpuni yang dikuasai mufasir.
Dr. Ahmad Syurbasyi mengutip pendapat Imam as-Sayuthi dalam kitabnya
“al-Itqan” ilmu yang harus dikuasai oleh mufasir sebagai berikut:
1. Ilmu Bahasa dalam menafsirkan al-Qur’an
2. Ilmu Nahu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan
sesuai dengan perbedaan i’rab.
3. Ilmu

Sharaf

karena


dengannya

dapat

diketahui binâ’ (struktur)

dan shîghah (tense) suatu kata
4. Ilmu Etimologi
5. Ilmu Balaghah
6. Ilmu Qiraat karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan alQur’an dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara
satu qâri’ dengan qâri’ lainnya
7. Ilmu Ushuluddin (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam al-Qur’an
berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh
ada pada Allah SWT. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal
itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak
boleh.

4

8. Ilmu ushul fiqh karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi

penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth
9. Ilmu asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat
diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
10. Ilmu

nasikh

dan

mansukh

agar

diketahui

mana

ayat

yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.

11. Ilmu

hadits

karena

hadits

penjelas

untuk

menafsirkan

yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
12. Ilmu mauhabah (bakat), yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada
orang yang mengamalkan ilmunya
13. Ilmu sain dan teknologi.6
Dari segi akhlak mufasir harus memiliki:
1. Hendaklah mufasir itu mempunyai akidah yang sah

2. Hendaklah mufasir itu kuat serta teguh pendiriannya pada Sunnah Nabi
Muhammad SAW, ajaran agama Islam.7
B. KEKELIRUAN DALAM TAFSIR
1. Pengertian Kekeliruan Dalam Penafsiran Al-Qur’an
Keliruan mempunyai arti kesalahan atau kekhilafan 8, kekeliruan dalam
penafsiran adalah kesalahan atau kekhilafan yang dilakukan mufasir dalam
melakukan penafsiran dalam al-Qur’an.
Perkembangan ilmu tafsir al-Qur’an telah mencapai kemajuan pesat
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dari abad ke abad para
ilmuwan Islam di bidang tafsir tampil ke panggung sejarah menyumbangkan
pikirannya bagi umat manusia dalam rangka memahami dan menghayati alQur’an sebagai sumber petunjuk dan ilmu. Menafsirkan al-Qur’an adalah tugas
mulia yang harus dikerjakan dengan sangat hati-hati mengingat kaitannya dengan
Kalam Rabbil ‘alamin, yang mengandung berita-berita dari Allah Yang Maha
6
Ahmad Syurbasy, Studi tentang sejarah………… hlm. 31
7 Ahmad Syurbasy, Studi tentang sejarah………… hlm. 38
8 Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, kemendikbud, 2012-12015) http://kbbi.web.id (diakses 01 Desember 2015)

5


Kuasa. Karena itu para mufasir sangat berhati-hati dalam menafsirkan al-Qur’an
agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam penafsiran al-Qur’an.
Seorang mufasir tidak mungkin dapat menafsirkan al-Qur’an dengan
pengertian yang benar kecuali berdasarkan keterangan dari Rasul Allah SAW yang
disampaikan melalui sahabat-sahabatnya, dan sahabat-sahabat merasa perlu
menerangkan kepada tabi’in dan berlanjut kepada tabi’i tabi’in ini yang disebut
dengan tafsir bi al-ma’tsur, setelah itu barulah lahir tafsir bi ar-ra’yi yang
menggunakan nalar untuk menafsirkan al-Qur’an, dalam bidang inilah timbul
berbagai aliran dan bermacam-macam pendapat yang berlawanan, karenanya
tafsir ada yang dipuji dan ada pula yang dicela mengingat dekat jauhnya dengan
hidayah al-Qur’an.9
2. Faktor-Faktor Kekeliruan Dalam Penafsiran Al-Quran
Faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran al-Qur’an
adalah sebagai berikut:
a. Subjektivitas dalam menerapkan metode atau kaidah
b. Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah
c. Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat
d. Kedangkalan pengetahuan tentang materi uarain (pembicaraan) ayat
e. Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan antara ayat,
maupun kondisi sosial masyarakat
f. Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicara
ditujukan.10
Dr. M. Quraish Shihab juga menyebutkan salah satu sebab pokok
kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an adalah keterbatasan
pengetahuan seseorang menyangkut subjek bahasan ayat-ayat al-Qur’an. Beliau
memberi contoh seorang mufasir mungkin sekali akan terjerumus kedalam
kesalahan

apabila

ia

menafsirkan

ayat-ayat

kauniyyah

tanpa

memiliki

9 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Quran, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2009) hlm. 189
10 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi. ….. hlm. 79

6

pengetahuan yang memadai tentang astronomi, demikian pula dengan pokokpokok bahasan ayat yang lain.11
Menurut Dr. Yusuf Qaradhawi, beliau berpendapat salah satu sebab-sebab
pokok yang membawa kepada penyimpangan dan kesesatan dari pemahaman
yang benar atas al-Qur’an dan Sunnah adalah dia meninggalkan pokok-pokok
yang jelas dan dali-dalil yang kuat, untuk kemudian mengikuti nas-nash yang
mutasyabihat yang mengandung banyak penakwilan, yang seharusnya nash-nash
yang mutasyabihat harus bersandarkan kepada nash-nash yang muhkamat.12
Secara lebih terperinci, DR.Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub dalam
kitab Asbab al-Khata‘fi al-Tafsir: Dirasatu wa Tashiliyyatu, menjelaskan empat
penyebab timbulnya kesalahan penafsiran yang sering ditemukan dalam kitabkitab tafsir yang ada, yaitu:
a. Berpaling dari sumber dan dasar tafsir yang otentik dan shahih.
Ada beberapa penyebab kesalahan penafsiran al-Qur’an yang termasuk
dalam kategori penyimpangan terhadap dasar dan sumber asli, diantaranya:
1) Menggunakan ijtihad dalam menafsirkan ayat, padahal ada nash lain
yang menjelaskan maksud ayat tersebut
2) Berpegang pada hadits maudu‘dan dha’if
3) Mengambil riwayat israiliyat
4) Berpegang pada prasangka dan dongeng
5) Hanya berpedoman pada makna bahasa semata dan mengutamakannya
dibanding riwayat yang shahih
6) Berpegang pada kewajiban yang bersifat majaziyah dan tunduk pada
tamsil dan imajinasi
7) Terlalu mendalam dalam membicarakan filsafat dan ilmu kalam
8) Hanya mengandalkan perkataan dari ahli bid’ah dan mengikuti hawa
nafsu
b. Tidak teliti dalam memahami teks ayat dan dalalah-nya

11 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran…….hlm.133
12 Yusuf Al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan Al-Quran, (Jakarta: Gema Insani, 1999),
hlm. 390

7

c. Menundukkan Nash al-Qur’an untuk kepentingan hawa nafsu, fanatisme
madzhab, dan bid’ah
d. Mengabaikan sebagian syarat-syarat mufasir13
3. Contoh-Contoh Kekeliruan Dalam Penafsiran Al-Qur’an
Berikut ini dijabarkan tentang contoh-contoh penyimpangan dan
kekeliruan dalam penafsiran Al-Qur’an.
a. Penafsiran oleh Abu Abdurrahman As-Salmi dalam bukunya Haqa-iqut
Tafsir, surat An-Nisa’: 66

‫وألمموُ ْأ أنَمماَ ْك أتبنمماَ ْع أل أيهمم أ‬
ِ‫مممن‬
‫ن ْاقات ججلمموُاا ْأأنَ ج‬
‫م ْأ أمو ْا ا‬
‫جمموُاا ْ م‬
‫أاأ‬
‫أ ا ن‬
‫خجر ج‬
‫ف أ‬
‫سممك ج ا‬
‫ام ا‬
‫م ْأ م‬
‫د مأياَرم ج‬
.……‫كم‬
Artinya: “Dan andaikata Kami (berkehendak) mewajibkan mereka (Kami
katakan): Bunuh dirilah atau keluarlah dari dalam rumah-rumahmu....’
Mereka menafsirkan ayat ini dengan, “Bunuh dirilah dengan melawan
hawa nafsumu, atau keluarlah dari dalam rumah-rumahmu, dengan membuang
perasaan cintamu kepada kenikmatan duniawi dari dalam hatimu....”14
b. Penafsiran dalam Tafsir Al-Khazin, surat al-Anbiya’: 83-84 sebagai
berikut:

‫أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫أ‬
)ْ ِ‫ن‬
‫م ْٱلنرٲ م‬
‫ح م‬
‫ت ْأرذ أ‬
‫ى ْٱل ي‬
‫وأأييوُ أ‬
‫م ن‬
‫حمم ج‬
‫ضير ْوأأنَ أ‬
‫ه ْۥۥ ْأننَى ْ أ‬
‫ى ْأرب ن ج‬
‫ميمم أ‬
‫ب ْإ مذذ ْأنَاَد أ ى‬
‫سن م أ‬
‫شفذناَ ْماَ ْبهۦ ْمنِ ْضررر ْوأءاتيذنم ى أ‬
‫مثذل أجهم‬
‫ه ْۥ ْوأ م‬
‫ه ْۥ ْفأك أ أ أ أ م م م‬
‫( ْفأٱسذت أ أ‬٨٣
‫ه ْأهذل أ ج‬
‫جر أ أ أ ج‬
‫جبذأناَ ْل أ ج‬
ْ ِ‫ن‬
‫منذ ْ م‬
‫ى ْل ملذعأم ىب م م‬
‫م ةةر ْ ن‬
‫معأهجمذ ْأرحذ أ‬
‫ن‬
‫دي أ‬
‫عند مأنَاَ ْوأمذكأر ى‬
Artinya: “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya
Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan
yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang. Maka Kami pun
memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya
13 Mustofa Kamal, Studi Analisis Terhadap Sebab-Sebab Kekeliruan Dalam Penafsiran
Al-Qur’an,http://abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Manarul%20Quran/06.%20Studi
%20Analisis%20Terhadap%20Sebab-Sebab%20Kekeliruan%20-%20M.A.%20Mustofa
%20Kamal.pdf (di akses pada 1 Desember 2015)
14 Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan Dalam Penafsiran
Al-Qur’an, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), hlm. 15

8

dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan
mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi
semua yang menyembah Allah”.
Al-Khazin meriwayatkan sebuah kisah panjang yang tidak masuk akal dan
juga tidak bisa dibenarkan oleh agama. Kemudian Al-Khazin mengemukakan
beberapa buah keterangan yang menggelikan mengenai cara pemusnahan harta
Ayub. Tetapi, anehnya Al-Khazin merampungkan cerita ini tanpa memberikan
komentar dan menyatakan kecurigaan akan adanya manipulasi dan kelemahan
dalam kisah tersebut.15
c. Penafsiran dari para Kaum Khawarij yang terdapat dalam beberapa surat,
antara lain dalam Surat Al-Maidah ayat 44, yang berbunyi:

‫منِ ْل نمذ ْي أحذ ج‬
‫ه ْفأأ جوال أم ـىٮ ٮم أ‬
‫ما ْأأنَأز أ‬
…‫ن‬
‫م ْٱلذك أم ى م‬
‫فجرو أ‬
‫ك ْهج ج‬
‫ل ْٱلل ن ج‬
‫كم ْب م أ‬
‫ ْ…وأ أ‬

Artinya: “…Barangsiapa yang tidak menghukumi dengan hukuman yang
diberikan Allah maka mereka adalah orang-orang kafir…”.
Berdasarkan ayat tersebut di atas mereka mengatakan bahwa setiap orang
yang melakukan dosa berarti telah mengambil keputusan hukum dengan hukum
selain daripada yang diturunkan Allah.
Disamping itu mereka juga menggunakan firman Allah dalam Surat AtTaghabun ayat 2 sebagai landasan, yang berbunyi:

‫ن‬
‫خل أ أ‬
‫ذى ْ أ‬
‫مممؤذ م‬
‫منك جمممذ ْكمماَفم نرر ْوأ م‬
‫قك جمذ ْفأ م‬
‫وُ ْٱل ن م‬
‫مل جمموُ أ‬
‫ممماَ ْت أعذ أ‬
‫ه ْب م أ‬
‫م ننررن ْوأٱلل نمم ج‬
‫منك جممم ْ ي‬
‫هج أ‬
ْ ‫صيرر‬
‫بأ م‬
Artinya: “Dialah (Allah) yang menciptakan kamu semua; di antara kamu ada yang
kafir (ingkar) dan ada yang mukmin (beriman)”.
Menurut mereka ayat ini merupakan ketetapan bahwa orang yang tidak
beriman berarti kafir; sedangkan orang yang fasiq juga bukan mukmin karena itu
dia pun kafir.16

15 Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan Dalam ....hlm.31
16 Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan Dalam …..hlm.80

9

Salah satu kekeliruan penafsiran disebabkan kedangkalan seorang mufasir
dalam menguasai bahasa adalah pendapat Mu’tazilah dalam menafsirkan QS. AlBaqarah ayat 255

ْ .…‫ض‬
‫مم ىوُأا م‬
‫ع ْك جرذ م‬
‫…وأ م‬
‫س أ‬
‫ه ْٱل ن‬
‫س أ‬
‫سي ي ج‬
‫ت ْوأٱلذرذ أ‬
“….Kursi Allah meliputi langit dan bumi….” (Al-Baqarah: 255)
Dengan pengertian ilmu Allah meliputi langit dan bumi, penafsiran ini dikuatkan
dengan sebuah syair yang tidak popular:

‫ئ ْ م‬
‫م ْالل م‬
‫س ج‬
‫وأألي رك ارم م‬
‫مخَل جقر‬
‫ه ْ أ‬
‫عل ا ج‬
Ibn Qutaibah menyatakan bahwa seakan-akan syair itu menurut Mu’tazilah
berbunyi:

‫م ا‬
‫خَل جوُاقر‬
‫م ْ م‬
‫م ْالل م‬
‫ه ْ أ‬
‫عل ا أ‬
‫وأألي أعال أ ج‬
Mahkluk tidak mengetahui ilmu Allah
Padahal dalam kata

‫ئ‬
‫سمم ج‬
‫ ْي رك ارم م‬terdapat

‫ه‬
‫ ْك جرذ م‬tidak
‫سي ي ج‬

terdapat hamzah, sedangkan dalam kata

hamzah. Dia (ibnu Qutaibah) mengatakan bahwa yang

mendorong kaum Mu’tazilah berpendapat demikian dengan meninggalkan makna
yang sebenarnya, karena mereka tidak yakin bahwa Allah mempunyai kursi
(singgsana) dan menurut mereka ‘arasy mempunyai pengertian yang berbeda
dengan itu.17
Tafsir-tafsir yang disusun oleh firqah-firqah islam, kembali kepada tafsir
bi ar-ra’yi dan masuk ke dalam kategori yang dicela, dikarenakan maksud tafsirtafsir mereka itu untuk mengokohkan pendirian mereka atau membela mazhab
mereka, sebagai contoh tafsir-tafsir kaum Mu’tazilah, tafsir mereka sangat
dipengaruhi oleh akal dan oleh ilmu mantiq berdasarkan kaidah mereka: “yang
baik ialah dipandang baik oleh akal dan yang buruk ialah yang dipandang buruk
oleh akal”, nash-nash yang diperoleh dari Nabi dijadikan pegangan yang kedua,
atau bahkan sedikit sekali menggunakan nash-nash nabi untuk menerangkan
makna-makna ayat.18
17 Supiana, dan M.Karman, Ulumul Quran Dengan Pengenalan Metodologi Tafsir,
(Bandung: Pustaka Islamika, 2002) hlm.274
18 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Quran…… hlm.193

10

Tgk. Hasbi ash-shiddiqiey memberi contoh tafsir yang dicela adalah tafsir
al-jubba’y dan al-qadhi abd al-Jabar, untuk tafsir az-Zamakhsyari sebagian
pendapat mengatakan tafsir tersebut termasuk tafsir yang tercela karena
didalamnya terdapat paham-paham Mu’tazilah, akan tetapi sebagian lainnya
mengatakan tafsir tersebut termasuk tafsir terpuji, karena didalamnya terdapat
banyak faedah ilmiah yang penting.19
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi

menyebutkan

contoh

kekeliruan

dalam

menafsirkan al-Quran karena berpegang pada ayat mutasyabih untuk mendukung
pendapat yang rusak dan keyakinan yang batil, yaitu Muhyiddin Bin Arabi
berdalil dengan QS. Al-Baqarah ayat 115 untuk membenarkan mazhabnya yang
membenarkan semua keyakinan, baik yang mempunyai kita suci, atau paganisme,
dia menyamakan antara tauhid dan kemusyrikan dan antara ka’bah dengan
berhala.
Dia berkata: “Hendaklah engkau tidak mengikat diri dengan suatu
kepercayaan (akidah tertentu) untuk kemudian mengkafirkan yang lainnya,
sehingga engkau kehilangan banyak kebaikan. Hendaknya dalam dirimu terdapat
ruang bagi seluruh bentuk kepercayaan, karena Allah SWT lebih luas dan lebih
agung untuk diikat oleh suatu kepercayaan dan keyakinan saja, dia menafsirkan
“kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah…” dimana pun, akan ada
wajah Allah SWT, dan wajah sesuatu adalah hakikat-Nya dan dia menjelaskan
bahwa Dia berada dalam setiap arah, dan arah-arah itu adalah kepercayaankepercayaan, oleh karena itu, semuaya dalah benar, dan setiap yang benar akan
mendapatkan pahalanya, dan setiap yang mendapatkan pahala akan bahagia, dan
setiap yang bahagia diridhai .”20
Bunyi ayat tersebut adalah:

‫أ‬
‫مشذرم ج‬
‫ه ْأوا م‬
‫وأل مل ن م‬
‫سممعر‬
‫ه ْٱلل ن ههرن ْإ م ن‬
‫ن ْٱلل ن أ‬
‫م ْوأجذ ج‬
‫ماَ ْت جوُأيلوُاا ْفأث أ ن‬
‫برن ْفأأيذن أ أ‬
‫ق ْوأٱلذ أ‬
‫ه ْٱلذ أ‬
‫مغذرم ب‬
ْ ‫ع أملي رمن‬

19 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Quran…… hlm.218
20 Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan Al-Quran…… hlm. 393

11

Artinya: “Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemana pun
kamu menghadapa disitulah wajah Allah, sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi maha mengetahui.”(QS. Al-Baqarah ayat 115).
Contoh kekeliruan penafsiran dikarenakan pemenggalan kata-kata dalam
ayat al-Qur’an, belakangan ini para da’i sering memenggal ayat 112 dari surat Ali‘Imran “hablun minan-nas” sebagai dalil untuk kerukunan antar umat beragama
dan sebagai landasan Allah sangat peduli dengan kerukunan antarmanusia,
meskipun mereka bukan orang mukmin, para da’i memberi gambaran kalau sudah
berpegang teguh kepada tali Allah secara vertical kepada Allah dan secara
horizontal kepada sesama manusia, maka manuasia akan jauh dari kehancuran dan
kehinaan.21
Apabila dilihat dari keseluruhan ayat tersebut, maka sangat tidak tepat
apabila ayat tersebut dijadikan dalil untuk mewujudkan kerukunan antar umat
beragama, sebab ayat ini tidak berbicara tentang manusia melainkan menceritakan
tentang kaum kafir, tepatnya kaum Ahli Kitab, yaitu kaum Yahudi dan Nasrani,
jadi kata mereka diawal ayat itu tidak sesuai bila diartikan manusia, sebab ayat
sebelumnya berbicara tentang orang-orang Ahli Kitab, dan ayat itu juga ditutup
dengan berbicara tentang orang-orang kafir.22

21 Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 23
22 Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini……, hlm. 24

12

PENUTUP
A. Kesimpulan
Tafsir adalah suatu kata yang menunjukkan sesuatu yang khusus dalam
Islam yang ditunjukan dalam menafsirkan al-Quran, baik itu tentang sebab-sebab
turunnya ayat, nasakh wa mansukh dan lain-lain. Untuk menjadi seorang mufasir
harus memiliki
Dari keseluruhan pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
penafsiran terhadap al-Qur’an sangat diperlukan untuk dapat mengetahui makna
dari al-Quran. Tetapi dibalik keharusan tersebut, dibutuhkan pengetahuan yang
khusus, berakhlak yang mulia dan juga kehati-hatian mufasir dalam menafsirkan
al-Qur’an sehingga menghasilkan penafsiran yang benar, dan memerlukan
persyaratan-persyaratan lainnya yang tidak selayaknya dilanggar. Meskipun
beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama tersebut merupakan
hasil ijtihad, tetapi minimal dapat dipahami sebagai patokan dasar yang
selayaknya diperhatikan.
Pelanggaran terhadap patokan-patokan dasar tersebut kemungkinan
terjadinya kesalahan, dan juga pengaruh perbedaan mazhab dan aliran turut
mewarnai perbedaan penafsiran. Bahkan adanya fanatisme yang berlebihan dari
seorang mufasir sering kali melahirkan kesalahan-kesalahan pada produk tafsir
yang dihasilkan, seperti contoh yang sudah dikemukakan di atas.
B. Saran
Demikianlah, makalah yang disajikan oleh penulis. Banyak kelebihan dan
kekurangan yang dimiliki oleh makalah ini. Untuk itu, demi kesempurnaan
makalah ini diperlukan kritik dan saran dari pembaca.

13

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syurbasy, Studi tentang sejarah perkembangan tafsir al-Quran al-Karim,
Jakarta: Kalam Mulia, 1999
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Ilmu-ilmu Al-Quran, Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2009
Adz-Dzahabi, Muhammad Husein, Penyimpangan-penyimpangan
Penafsiran Al-Qur’an, Jakarta: CV. Rajawali, 1986

Dalam

Mana’ul quthan, Pembahasan Ilmu al-Quran 2, terj. Halimuddin Jakarta: Rineka
Cipta, 1994
Supiana, dan M.Karman, Ulumul Quran Dengan Pengenalan Metodologi Tafsir,
Bandung: Pustaka Islamika, 2002
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Quran, kajian tematik atas Ayat-ayat hukum
dalam al-Qur’an, Jakarta: Penamadani, 2005
Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994
Yaqub, Ali Mustafa, Islam Masa Kini, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan Al-Quran, Jakarta: Gema Insani, 1999
Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, kemendikbud, 2012-12015) http://kbbi.web.id (diakses 01
Desember 2015)
Mustofa Kamal, Studi Analisis Terhadap Sebab-Sebab Kekeliruan Dalam
Penafsiran Al-Qur’an, http://abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Manarul
%20Quran/06.%20Studi%20Analisis%20Terhadap%20Sebab-Sebab
%20Kekeliruan%20-%20M.A.%20Mustofa%20Kamal.pdf(di akses pada 1
Desember 2015)

14