Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia surv (1)

198 Tare/cat Naqsyabandiyah di Indonesia

ijazah penuh dari Ali Wafa, sudah disebutkan di atas. Syarifah Fathimah, di Sumenep, adalah mursyid perempuan yang lain dengan pengikut yang sangat banyak (semuanya perempuan), tidak hanya di tempat
tersebut tetapi malah sampai di Kalimantan Barat dan Malang selatan.
Ia adalah putri dari seorang bemama Habib Muhammad dan seorang
perempuan Arab kebanyakan, dan rupa·rupanya tidak ada hubungan
keluarga dengan mursyid yang lain. Ia dibaiat masuk tarekat oleh Kiai
Sirajuddin, dan menerima ijazahnya dari Kiai Syamsuddin Umbul. 23
Satu lagi mursyid perempuan lain yang disebut oleh beberapa informan
adalah Syarifah Nor di Gondanglegi (panggilan orang setempat: Pah
Nong).
Adanya mursyid-mursyid perempuan ini, lebih mencerminkan
kenyataan bahwa tarekat ini mempunyai pengikut yang besar jumlahnya di antara kaum perempuan Madura. Tetapi hal yang sama terjadi di
banyak wilayah di Indonesia; menurut perkiraan kasar, sekitar 30
sampai 40% murid tarekat Naqsyabandiyah di seantero Nusantara adalah kaum perempuan. Namun patut ditambahkan, hanya di kalangan
masyarakat Madura mereka . bisa berbaiat kepada guru yang perempuan
juga. Fenomena ini agaknya hams kita pahami dalam konteks budaya
Madura. Ternyata bukan di tarekat Naqsyabandiyah saja melainkan
juga di tarekat Tijaniyah di Madura terdapat muqaddam (istilah Tijaniyah untuk pemimpin tarekat) yang perempuan. Kiaijauhari Prenduan,
muqaddam pertama di Madura, pernah memberikan ijazah kepada seorang keponakan perempuan (ibunda Kiai Badri Masduqi yang terkenal)
sebagai muqaddamah untuk membina para penganut tarekat dari kaum

perempuan. Di daerah Indonesia lainnya, sepengetahuan saya, tidak terdapat muqaddamah.
Apa yang menyebabkan tarekat di Madura mempunyai jaringan
organisasi independen untuk kaum perempuan?
Sudah barang tentu hubungan langsung antara seorang guru Iakilakl dengan mundnya yang perempuan selalu merupakan masalah,
tetapi orang-orang Madura tidak lebih ketat dalam hal-hal serupa 1ni
dibanding kebanyakan suku-suku bangsa yang lain, dan di tempat lain
tidak muncul mursyid perempuan. Barangkali, kehadiran para mursyidah tersebut menunjukkan toleransi orang-orang Madura yang lebih
besar terhadap kepemimpinan perempuan, meskipun terbatas di kalangan mereka sendiri.•

2$. lnformasi mengcnai Syarifah Fathimah ini saya perolch dari Kiai Lathifi Baidowi (wawan·

can, 2&-2-89).

BAB XIV
KELOMPOK-KELOMPOK NAQSYABANDIYAH
DI KALIMANTAN SELATAN
Di kalangan penduduk desa Kalimantan Selatan, lebih daripada di
tempat-tempat lain di Nusantara, adaptasi doktrin-doktrin mistik dan
kosmologis dari lbn 'Arabi ke dalam budaya setempat dalam bentuk
yang merakyat dan disederhanakan masih tetap hidup. Banyak dari

amalan-amalan tradisional lainnya pun, yang di tempat-tempat lain
telah dikikis hahis oleh ulama ortodok, masih bertahan kendatlpun ada
usaha-usaha pemumian oleh Majelis Ulama provinsi dan kabupaten
Walaupun orang Banjar dikenal sebagai orang yang taat beribadah,
namun secara umum pengetahuan agama mereka tidak begitu mendalam. Pesantren, yang mengikuti model di Jawa, dapat dikatakan
merupakan fenomena yang belum lama di. Kalimantan Selatan, barn
satu-dua dasawarsa ke belakang. Sebelumnya, anak laki-laki mempelajari dasar-dasar agama dengan bersimpuh di hadapan tuan guru
seternpat, dan mereka yang ingin menambah pengetahuan keagamaannya mestilah pergi ke J awa, Sumatera atau Makkah. Kurikulum di
pesantren Banjar temyata lebih sederhana dan lebih tradisional ketimbang kurikulum yang biasanya diberikan di pesantren di Jawa.
Dapat dimengerti mengapa di kalangan ulama Banjar ada suatu kesadaran yang kuat bahwa di sana masih terus berlangsung proses pengislaman, sebab di mata mereka pengislaman itu masih jauh dari sernpuma.
Islam yang formal yang berorientasi kepada syari'at seperti yang
diajarkan oleh para ulama tidak memuaskan kebutuhan religius semua
orang Banjar. Berulang kali muncul pernimpin-pemimpin barn agama
yang mengajarkan oorak keislaman yang lebih sufistik, sering sangat
diwarnai oleh ajaran-ajaran mengenai nur Muhammad dan martabat
tujuh, versi ajaran wahdat al·wujud yang populer di daerah tersebut. Di
seputar pemimpin·pemimpin ini, tumbuh aliran-aliran mirip tarekat,
biasanya hanya berlingkup lokal; penentangan dari pihak ulama "resmi"
(dalam kebanyakan kasus, Majelis Ulama) biasanya mencegah agar
pengaruh mereka tidak meluas benar. Pola munculnya aliran-aliran

semacam tarekat secara tiba-tiba yang kemudian pelan-pelan meng·
hilang merupakan ciri khas masyarakat Banjar; secara keseluruhan,
aliran-aliran tersebut berhasil menggaet jumlah pengikut yang berarti;
tetapi kalau dilihat per aliran jumlahnya agak kecil dan penyebarannya
terbatas pada daerah tertentu saja. Di sini tidak kita jumpai jaringan
tarekat besar yang luas penyebarannya, seperti di Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Jawa.
Di sini tarekat Naqsyabandiyah lebih kurang menyesuaikan diri
199

200 Tarekat Naqsyabandi:yah di Indonesia

dengan pola tadi: ada sejumlah guru, masing·masing punya kelompok
pengikut setempat, dan di antara mereka tidak ada hubungan. Bila sang
guru wafat, kelompok pengikut itu buyar lagi. Dua dasawarsa yang
lampau, sebagai contoh, terdapat cabang Naqsyabandiyab di Kecamatan
Negara (Hulu Sungai Selatan), dipimpin oleh seseorang bemama H.
Jaelani; sejak ia wafat, Naqsyabandiyah lenyap dari sana hampir tanpa
bekas. Satu-satunya hal yang masih teringat oleh penduduk setempat
adalah ritual yang luar biasa di mana para murid dibungkus dengan
kain kafan. 1 Temyata hal itu mengacu kepada upacara pembaiatan

seperti yang dilakukan oleh cabang-cabang Naqsyabandiyah tertentu
(khususnya cabang-cabang Minangkabau yang berafiliasi kepada Dr. Jalaluddin, bdk. Djamil 1976). Informan lain yang telah berumur ingat
pula bahwa tarekat Naqsyabandiyah pernah diperkenalkan di Amuntai,
oleh seseorang bernama Muhammad Marahahan (dari Kecamatan Marabahan) dan seorang lagi bernama Haji Bajuri. Muhammad Marabahan
sudah lama wafat, dan cabang Naqsyabandiyahnya tampaknya sudah
tidak ada lagi.
Seperti aliran-aliran lainnya, kelompok-kelompok Naqsyabandiyah
tersebut juga cenderung menimbulkan kecurigaan dari para ulama
"resmi"z kebenaran sumber doktrin dan ritual mereka dipertanyakan
dan kadang-kadang menjadi pokok penyelidikan yang bersifat setengah
resmi. Tidak mustahil dalam ritual beberapa cabang Naqsyabandiyah
Banjar terdapat unsur-unsur yang kurang ortodok dan bersifat lokal,
tetapi kalaupun demikian mereka sangatlah merahasiakannya, persisnya karena adanya kecurigaan·kecurigaan tadi. Di antara kaum Naqsyabandiyah yang saya jumpai tidak saya dapati suatu pemikiran atau
ungkapan yang asing bagi tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya.
Saya tidak menemukan bukti adanya seorang penganut Naqsyabandiyah di Kalimantan Selatan pada abad kesembilan belas dan papih
pertama abad kedua puluh, tetapi hal itu tidaklah mengherankan, bila
kita lihat berdasarkan pada uraian di atas; bahkan seandainya pun ada
sebuah kelompok Naqsyabandiyah, katakanlah, setengah abad yang
lalu, pastilah sudah lenyap tanpajejak. Berikut ini catatan-catatan yang
tidak utuh mengenai satu-dua cabang yang sekarang aktif atau kehadirannya terekam belum lama berselang.

Belum lama ini, di dalam dan di sekitar kota Banjarmasin, paling
tidak terdapat tiga cabang Naqsyabandiyah. Salah satunya yang di·
pimpin oleh H.M. Saberiansyah berada di Desa Kelayan Luar. Ia wafat
tahun 1980. Sebenarnya, ia mengajarkan gabungan dari dua tarekat,
yang ia sebut Naqsyabandiyah-Khalwatiyah (Khalwatiyah,, seharusnya
dicatat, merupakan tarekat yang paling tersebar luas di Sulawesi Selatan

1. Pembkarrum pribadi dcngan Drs. Analiansyah dari IAIN Ant:asari, Banjarmasin. Ia berasal
dad Negara.

Bab XIV. Kelompok-kelompok Naqsyabandiyah di Kalimantan Selatan

201

dan juga di antara orang-orang Bugis dan Makasar yang bertempat
tinggal di Kalimantan Selatan. Juga dipercayai bahwa ulama besar
Muhammad Arsyad Al-Banjari memperkenalkan tarekat Sammaniyah,
sebuah cabang dari Khalwatiyah, di Kalimantan Selatan):Tidak banyak
diketahui mengenai cahang ini; satu-satunya laporan yang ada hanyalah
menceritakan bahwa Saberiansyah mempeJajari tarekat pada tahun

1954 kepada seorang bernama H. Ahmad Nawawi Abdul Qadir Al·
Banjari dan mulai mengajarkannya di rumahnya sendiri pada tahun
berikutnya. Tetap tidak jelas ke cabang Naqsyabandiyah dan Khalwatiyah yang mana kelompok ini beraf'diasi, dan dalam bentuk apa
kedua tarekat yang agak berbeda ini dipadukan.
Dilaporkan bahwa kebanyakan pengikut Saberiansyah tergolong
pada strata sosial bawah, dan tidak sedikit dari mereka adalah bekas
bajingan (sebetulnya, ini merupakan klaim yang dibuat oleh hampir
setiap guru sufi di Indonesia, dan hal itu tidak selalu benar). Pada waktu
sang guru wafat pada tahun 1980, tidak ada orang berkharisma yang
menggantikan tempatnya, dan para pengikutnya serta merta berkurang.
Pertemuan-pertemuan dari sisa pengikut yang masih setia dipimpin oleh
seorang badal yang masih muda bernama Hasan (lahir tahun 1954). 3
Kelompok kedua, di Anjir Pasar, kecamatan lain dekat Banjarmasin, merupakan kelompok tergolong kecil ketika diteliti pada tahun
1984. Hanya ada tujuh puluh anggota, lelaki da11 perempuan, dan kebanyakan dari mereka adalah petani. Ketompok itu dipimpin oleh ·Abu
Dakar dan Antung Ahmad, yang menggantikan guru yang kharismatik,
almarhum Syekh Muhammad Ruwandi (di bawah tuntunannyalah
kelompok itu menjadi lebih besar). Kelompok ini tampak jauh lebih
stabil ketimbang lainnya, sebab Muhammad Ruwandi sendiri sudah
merupakan pemimpin angkatan kedua; ia adalah pengganti J alaluddin,
yang mula-mula membawa tarekat ke Banjarmasin dari Semenanjung

Malaya. Gurunya adalah seseorang bemama H. Anwaruddin, yang adalah khalifah dari H. Umar dari Batu Pahat (Johor), yang pada gilirannya adalah seorang khalifah dari guru Naqsyabandiyah Melayu yang
prolifik - Abdulwahhab Rokan dari Babussalam di Langkat (lihat Bab
XI). Muhammad Ruwandi, di samping afiliasi ini, juga pemah melakukan suluk di Jabal Mina dekat Makkah, di bawah bimbingan Syaikh
'Abd Al-Ghani Al-Rasuli Al-Baghdadi. Satu-satunya uraian yang ada
mengenai kelompok ini lagi-lagi memberikan kepada kita sangat sedikit
informasi tambahan. Kenyataan bahwa para anggotanya tidak hanya
2. Sarwani Abdan, salah seorang keturunan M. Arsyad Al·Banjari yang paling terkenal dan
paling dihonnati, sekatang tingga1 di Bangil, Jawa Tunur. Diwawanc:arai di Bangil 12·2·
1987.
3. Demlkian Arifln 1984. H.M. Sabcriansyah meningplkan dua risalah yang belum dipublikasikan, dan tidak herhuil saya dapatkan: Diktat Tarekat Nalu:yabandiyah dan Tareka.t
Naksya.bandiyah A.l·Kha.lwa.tiyah. Yang disebut belakangan hanyalah teks yang digunakan
oleh murid·murid sang guru. (ibid.• ha!. 20, 24n).

202 Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia

mengkaji Tanwir Al-Qulub-nya Muhammad Amin Al-Kurdi dan /hyanya Al-Ghazali tetapi juga Al-Durr Al-Nafis·nya M. Nafis Al-Banjari,
J>a.rangkali menunjukkan kecondongannya kepada doktrin martabat
'tujuh.4
Kelompok Naqsyabandiyah yang ketiga di Banjarmasin terdiri atas
murid Habib Muhsin Aly Alhinduan (lihat Bab XIll), dan dipimpin oleh

seorang Haji Adenan. Ini pun sebuah kelompok kecil, tetapi juga menarik pengikut dari tempat-tempat yang jauh di luar Banjarmasin. Habib
Muhsin Aly mengunjungi kelompok tersebut setiap tahun; setelah ia
wafat pada tahun 1980, kelompok itu pun berantakan. 5
Kelompok Naqsyabandiyah yang paling ..Banjar" adalah yang di·
pimpin oleh Haji Muhammad Nur dari Takisong (di sebelah selatan
Banjarmasin). 6 Guru ini membanggakan dirinya sebagai keturunan
generasi keenam dari Abdul Hamid yang legendaris itu, seorang Siti
Jenar-nya Banjar. 7 Ia mengklaim telah mewarisi tarekat Naqsyabandiyah, bersama dengan ilmu lainnya (ilmu-ilmu yang bersifat esoteris)
dari leluhurnya, tanpa usaha yang ia sadari untuk menguasainya.
Abdul Hamid dianggap seorang sepupu dari ulama besar Banjar,
Muhammad Arsyad. Sedangkan ulama kenamaan itu tidak diragukan
lagi adalah guru ilmu eksoteris (Islam yang lebih mengutamakan
syari'at) dan penasihat utama sultan untuk urusan keagamaan. Sementara Abdul Hamid dianggap telah mencapai kesempurnaan dalam
ma'rifat, Islam yang esoteris. Karena Abdul Hamid dan para muridnya
tidak pernah menghadiri shalat Jumat (yang oleh penguasa yang saith
itu dinyatakan sebagai kewajiban), Sultan memanggilnya untuk meng·
hadap ke istana. Ia memberikan jawaban kepada utusan Sultan bahwa
di rumah itu tidak ada Abdul Hamid, yang ada adalah Allah rendiri.
Terhadap penghujatan ini, Sultan memerintahkan agar ia dihukum mati,
tetapi segala usaha untuk membunuh Abdul Hamid gagal (legenda mencatat banyak perbuatan ip.agis yang dilakukan Abdul Hamid dalam

hubungannya dengan usaha-usaha ini, yang menunjukkan secara spiri·

4. Bahruddin 1984. A.I ·Durr A.l-Nafis mcrupakan salah satu kitab yang paling terkenal, clan
paling populer di Kalimantan Sdatan di antara teb yang mmguta:rakan paham wahdat
al-wujud. Untuk rlngkasan pendek kitab ini Bhat Abdullah 1985, hal.107-122.
5. fl. Djanawi dari Amuntai, wawancara 14-1-1987. IL Djanawi, ulama tedtenal di daerah
Huht Sungai, berjumpa dengan Habib Muhain Aly di Banjarmasin pada tahun 1977 clan
berbaiat. Ia masih menjalankan amalan-amalan tarekat secara pribadi, tetapi tidak ada
kontak dengan pengikut·pengikut lainnya.
6. Utaian berilwt didasarkan pada percakapan dengan H. Muhammad Nur dan sejumlah
muridnya di Takisong, pada 16·1-1988 dan sedikit informasi tamhahan yang terdapat
dalam Padhllah 1984. Saya lngin menghaturkan terimakasih kepada Drs. Analiansyah,
bertindak sebagai pemandu saya selama kuqjunglin saya di Takisong.
7.
mengenai Haji Abdul Hamid dikenal balk di seluruh Kalimantan Selatan. Kisah
mengenai klaimnya sebagai idcntik dengan Allah dieeritakan dalam Zamzam
1979,
12-14. Corak pabam ketubanannya diringkas di sana sebagai "Tiada maujud
melalnkan hanya Dia, tiada maujud yang lainnya. Tiada aku melalnkan Dia, Dialah aku,
dan aku adalah Dia".


Bab XIV. Kelompok-kelompok Naqsyabandiyah di Kalimantan Selatan

203

tual ia lebih tinggi). Akhimya, ketika wali yang dianggap murtad ini
mengetahui bahwa hari yang ditentukan Allah telah tiba, ia menjelaskan bagaimana caranya memutuskan urat nadinya. Darah pun
memancar, membentuk kata·kata la ilaha illallah di atas tanah. Sejak
masa itu, H. Muhammad Nur mengatakan kepada saya, terjadilah per·
seteruan antara keturunan dari kedua tokoh yang bersepupu itu.
Haji Muhammad Nur sendiri setidak-tidaknya mengalami juga
sedikit perseteruan itu. Pada tahun 1979, ia mulai membaiat pengikut
baru di Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan mengalami tidak sedikit
kecaman sehingga ia terpaksa harus menghentib;n ceramahnya di sana.
Di daerah tempat ia tinggal tidak pemah muncul konflik yang
parah, tetapi Majelis Ulama Banjarmasin 118llgat mencurigainya, walaupun tidak terdapat pertanda yang nyata bahwa ia mengajarkan doktrin
dan amalan yang 0 menyimpang".11 Bagaimanapun keturunan spiritual
yang ia klaim, yang menunjukkan adanya kecenderungan kepada paham
wahdat al-wujud yang ekstrem dan barangkali juga keterikatan kepada
tradisi lama setempat, namun saya jumpai bahwa ritual-ritual Naqsyabandiyah seperti yang ia dan murid·muridnya jelaskan kepada saya

sesuai dengan apa yang digariskan dalam te.ks-teks tarekat yang baku.
Yang mana sumber dari tarekat Naqsyabandiyah-nya Muhammad
Nur? Silsilah yang ia kemukakan tidak memberikan penjelasan yang
memuaskan. Silsilah itu hanya memuat nama Abdul Hamid dan namanama keturunannya saja:
Abdul Hamid
AbdulHamim
Abdullah Khatib
H. Muhammad Tamin [Amin?]
Ii. Ibrahim Khaurani
H. Muhammad Nur
Abdul Hamid memperoleh pengetahuan tarekat Naqsyabandiyah
dan ilmu lainnya, menurut Muhammad Nur. dari seorang bernama
Maghribi; selain itu tidak ada yang ia ingat mengenai silsilahnya. Ayahnya wafat ketika ia masih muda, pada tahun 1941, dan ia mengaku
tidak mempunyai guru-guru yang lain, jadi memperoleh ilmu karena
keturunan bukan karena belajar sebagaimana biasa. (Abdul Hamid,
menurut sebuah kisah yang dengan bangga dikutip oleh para muridnya,
menjanjikan bahwa sampai tujuh generasi keturunannya akan menjadi
ulama besar). Silsilah tersebut sama sekali berbeda dengan silsilah Naq·
syabandiyah; legenda tentang Abdul Hamid sulit dicocokkan dengan
riwayat seorang wali Naqsyabandiyah, dan wilayah Maghrib persisnya

8. Lihat Padhilah 1984, hal. 34, mengenai Peristiwa Hulu Sungai. Un.tuk informasi tentang
sikap Majelis Ulama Banjarmasin dan Takisong/Tanah Laut, saya berutang budi kcpada
Drs. Analiansyah.

204 To:rekat Naqsyahandiyah di Indonesia

merupakan salah.satu wilayah dalain dunia Islam di mana tarekat Naqsyabandiyah tidak mempunyai pengaruh. Jika Abdul Hamid dikatakan
telah belajar kepada seseorang asal Magbribi (atau telah mempe..ari
ilmu maghribi), maka yang paling mungkin berarti ia menguasai ilmu
membuat jimat (wafaq). Dan ini sebenamya merupakan ilmu yangjuga
diklaim oleh Muhammad Nur menurun pada dirinya. Maka, tampaknya
silsilah tersebut adalah dalain kaitannya dengan ilmu ini.
Tiga nama dalain silsilah itu mirip-mirip dengan nama guru-gum
Naqsyabandiyah kenamaan, Ahmad Khatib (Sambas], Muhammad
Amin [ Al-Kurdi] dan Ibrahim Al-Kurani. Muhammad Nur menolak per·
kiraan yang saya kemukakan bahwa mungkin sedikit banyak ada
hubungannya dengan guru-gum tersebut, tetapi di antara judul-judul
kitab yang dipakainya, ia menyebut Fath Al-'Arifin-nya Ahmad
Khatib.' Seorang kerabatjauh Muhammad Nur, yang telah dibicarakannya kepada saya dan belakangan saya pun bertemu dengan dia, menceritakan kepada saya bahwa sepanjang pengeta!iuannya, Muhammad
Nur mengikuti tarekat Ahmad Khatib Sambas.10 Ka1au ini benar, ini
hanya mengacu kepada sisi kenaqsyabandiyahan tarekat ini; Muhammad Nur dengan tegas menolak zikir keru Qadiriyah. Penjelasannya
mengenai baiat, suluk, rabitW, zikir, dan muro.qabo.h sangat mirip
dengan apa yang dijelaskan dalain Fath Al-'Arifin dan juga dengan
keterangan dalain Tanwir Al-Qulub-nya Muhammad Amin, sehingga
menjadi tanda tanya saya apakah silsilah yang ia berikan tidak lain
merupakan daftar nama-nama tokoh yaug secara spiritual ia berutang
budi kepada mereka, dan bukannya nama nenek moyangnya yang sesungguhnya. Tidak ada bukti langsung bahwa Abdul Hamid yang legendaris itu pernah hidup; tempat yang sekarang dianggap sebagai makamnya, di Sungai Batang (dekat Martapura) ditemukan oleh Muhammad
Nur sendiri, mengikuti petunjuk yang diperolehnya Jewat mimpi.
dan dibesarkan di Jawa, walaupun
Muhammad Nur 、セォ。ョ@
keluarganya berasal dari Martapura. Ayahnya Ibrahim adalah seorang
guru tarekat dan ahli pengobatan. Setelah sang ayah wafat pada tahun
1941, banyak murid-muridnya yang datang kepada Muhammad Nur
dan memintanya untuk menggantikan tempat sang ayah. Semula ia
menolak, dan mengirim mereka kepada guru-guru lain, walaupun guruguru ini tidak mengajarka:n tarekat Naqsyaba:ndiyah melainkan Syadziliyah. Ketika ia berkesempatan menunaikan ibadah haji, ia mencari
seorang guru Naqsyabandiyah di Makkah, dan bertemu dengan seorang
syaikh asal India. Tetapi, ketika ia meminta ijazah dari orang tersebut,

9. Judul lain yang dlscbutkannya kcpada saya adalah Syarab Al-AS'Yiqin (barangkali karya
Hamzah Fansuri yang berjudul demlkian?). S-ng penditi lain mencatat bahwa la mengajar mw:id·muridnya dengan memakai kitab IRJuim (karva Ibnu 'Atha 'illah) dan Al·Durr
Al·Nafis·nya M. Nw Al·llanjari (PadhUah 1984).
10. Sarwani Abdan fbdk. eatatan kakI 2 di atal), wawaneara 12-2-1987.

Bah XIV. Kelompok-kelompok Naqsyabandiyah di Kalimantan Selatan

205

sang syaikh tertawa dan menganjurkan kepada Muhammad Nur agar ia
terus saja melakukan amal-ibadah sebagai yang telah selalu dilakukan·
nya. Ini merupakan dorongan baginya untuk mulai mengajarkan tarekat
kepada tetangga·tetangganya di Desa Takisong, di mana ia telah
membeli sebidang tanah da:n bekerja sebagai peta:ni. Hingga sekarang
ia telah melakukan hal itu selama dua puluh tahun (sejak 1968), dan
mengaku telah mempunyai murid ribuan orang.
Setiap malam Jumat ia memimpin majelis zikir di rumahnya
sendiri untuk pengikut-pengikutnya di desa setempat; pada malammalain lainnya ia memimpin pertemuan-pertemua:n di tempat-tempat
lain, khususnya di Martapura (bekas kediaman M. Arsyad, dan masih
merupakan pusat keagamaan yang penting). Setiap bulan Ramadhan, ia
menyelenggarakan kholwat (ia tak menggunakan istilab suluk) di dalam
sebuah bangunan sederhana di samping rumahnya sendiri. Khalwat itu
hanya berlangsung tiga hari tiga malain, dan selama itu makan, minum,
dan juga tidur, terbatas seperlunya saja (nasi putih ditaburi kelapa
parut, segelas air dua kali sehari; tidur pun tidak diperkenankan
memakai kasur). Murid yang menjala:nkan khalwat untuk pertama kalinya, diberi pelajaran dzi"kir qalbi; pada khalwat selanjutnya satu per
satu diberikan dzi"kir latha 'if. Pada majelis zikir mingguan, murid yang
ikut serta hanya diperbolehkan melakukan dzikir latha'if yang sudah
diajarkan ketika ber-khalwat; oleh sebab itu, anggota yang baru dibaiat,
yang belum melakukan khalwat, tidak diperkenankan serta dalam

dzikir wtha 'if.
Bagi para murid, sejauh yang dapat saya peroleh selama kunjungan
yang cuma semalam, pribadi Muhammad Nur tampaknya lebih penting
ketimbang tarekat yang ia ajarkan. Kehebatan dalam kekuatan spiritual
dan magis dilekatkan kepadanya, dan bukan kepada tarekat yang diajarkannya. Dengan sadar dan berhasil ia menggunakan garis keturunan dari
Abdul Hamid yang diklaimnya untuk memperkuat kharismanya sendiri.
Para murid memahami ilmu itu sebagai sesuatu yang melekat dalam diri
seseorang, diwarisi dari nenek-moyangnya. Oleh karena itu, ia merupa·
kan alternatif bagi Islam versi ulama resmi yang sangat menekankan
syari'at saja dan terasa kering. Pada waktu yang sama, pengaitan dirinya
dengan Abdul Hamid mengundang kecurigaan dari pihak Majelis Ulama
dan mengundang usulan dari sana-sini agar ajarannya dilarang (sebagai·
mana telah terjadi pada berbag-c1.i guru ajaran tasawuf).•

Bab XV. Tarekat Naqsyabandiyah di Sulawesi Selatan

BAB XV
TAREKAT NAQSYABANDIY AH
DAN JEJAK-JEJAKNYA DI SULAWESI SELATAN

Pengaruh-pengaruh Naqsyabandiyah dalam Amalan Mistis·Magis Tradisional
Syaikh Yusuf Makassar, seperti sudah dikemukakan pada Bab II,
tidak hanya mempelajari tarekat Naqsyabandiyah selama perkelanaannya di Hijaz, tetapi tampaknya juga telah memasukkan unsur-unsur
tarekat ini ke dalam ajarannya sendiri. Jika benar bahwa dialah yang
menulis risalah berjudul Al-Risalah Al-Naqsybandiyah (lihat Abdullah
l 983, hal. 75-8), boleh jadi malah ia telah mengajarkan tarekat ini
kepada murid-murid pilihan, di samping versi Khalwatiyah hasil adaptasinya sendiri. J ejak Naqsyabandiyah yang tersebar dalam pelbagai
amalan di kalangan rakyat boleh jadi adalah berkat Yusuf atau berkat
seorang ulama lain dari zaman lampau yang ·telah masuk tarekat ini.
Di pelbagai tempat di Sulawesi Selatan, masyarakat masih (paling
tidak hingga belum lama ini) menjalankan amalan-amalan magis-mistis
yang mereka kaitkan dengan tarekat Naqsyabandiyah. Seorang informan yang terpelajar di Palopo 1 memberi tahu saya bahwa di Luwu,
tarekat Naqsyabandiyah (atau suatu paduan amalan yang disebut
dengan nama ini) biasanya diamalkan oleh banyak anggota bangsawan
"menengah'', terutama demi mendapatkan kekebalan tubuh terhadap
senjata dan pukulan. Sebenarnya ini adalah penggunaan zikir yang
sama sekali biasa; konon begitu pula dengan tarekat KhalwatiyahYusuf yang diamalkan oleh banyak orang (lagi·lagi terutama oleh
kalangan bangsawan) hanya untuk tujuan ini. Zikir yang diacu oleh
informan ini disaksikan langsung oleh antropolog Bugis Abu Hamid di
Wotu (Luwu utara) pada tahun 1963. Ia menerangkan kepada saya
bahwa para pesertanya (bangsawan Luwu) memang menyebut latihanlatihan mereka Naqsyabandiyah, tetapi diperhatikannya ada keanehan
tertentu: zikir yang diamalkan bukari zikir diam melainkan zikir keras
(sementara para bangsawan biasanya Iebih menyukai zikir diam, sebagaimana pada tarekat Khalwatiyah-Yusuf), dan di samping zikir
mereka pun tidak sedikit membaca wirid yang berbeda. 2 Ritual Naqsyabandiyah yang asli telah dibaurkan di sini dengan ritus-ritus ilmu

207

kekebalan kuno.
Bukan hanya di antara kalangan bangsawan, dan untuk tujuantujuan magis yang konkret, kita dapatkan corak-corak Naqsyabandiyah yang sudah merosot atau setidak-tidaknya telah mengalami adaptasi setempat yang sedang diamalkan orang. Dalam sekelompok desa di
Gowa, sebagian orang desa mengamalkan apa yang mereka sebut tarekat
Qasyabandiyah. 3 Berbeda dengan tarekat Khalwatiyah-Samman, yang
juga mempunyai pengikut di sini, tarekat "Qasyabandiyah" ini hampir
tidak memiliki jaringan organisasi dan hirarki kepemimpinan. Hanya
ada seorang guru, PuangJuma, yang telah mengajarkan tarekat ini sejak
permulaan tahun 1940-an, sebagai penerus mertuanya, Anrong Guru
Mohammad Asfar. Yang disebut belakangan tadi, seorang Bugis dari
Maros, konon telah belajar di Makkah selama sepuluh tahun sebelum ia
menetap di Gowa dengan maksud "mengislamkan" daerah itu. Kedua
guru tersebut dihormati tidak hanya karena pengetahuan mereka
mengenai Islam yang resmi tetapi khususnya karena penguasaan mereka
akan ilmu gaib. Kebanyakan pengikut tarekat di sini rupanya telah
melakukan baiat kepada guru mereka setelah mereka memerlukan
jasanya sebagai ahli pengobatan. Sebenamya, para pengikut tarekat itu
tampaknya jarang melaksanakan lebih daripada membaca wirid dan
zikir diam setiap selesai shalat lima waktu (atau paling tidak setelah
shalat subuh dan maghrib). Membaca wirid dan zikir merupakan salah
satu saja dari berbagai ritual lain yang diamalkan kelompok ini, dan itu
tidak khusus untuk tarekat Naqsyabandiyah. Banyak dari ritual yang
disebutkan dalam kajian Djamas kelihatannya tidak jauh berbeda dari
ritual tradisional kaum Muslim di tempat-tempat lain di Indonesia.
Tetapi, di antara mereka yang mengaku mengikuti ta{ekat tersebut,
terdapat pula beberapa orang yang baru sedikit terislamk.an dan hanya
menyelenggarakan ritual-ritual adat pra-Islam, sedangkan sang guru
tidak pula merasa segan untuk turut serta dalam ritual-ritual ini. Jelaslah, tarekat di sini berfungsi sebagai alat untuk mengislamkan orang·
orang Makasar yang baru dalam tahap Muslim KTP. Dalam hal ini, sang
guru secara sengaja menyesuaikan dirinya kepada kebutuhan religius
mereka. Sebagai akibatnya, tarekat Naqsyabandiyah tampaknya telah
mengambil ciri-ciri yang cukup sinkretis.
Seandainya memang benar bahwa guru Naqsyabandiyah yang pertama itu, Mohammad Asfar, pemah bermuk:im cukup lama di Makkah
sebelum menyebarkan tarekat di Gowa, maka boleh jadi ia adalah seorang murid atau malah seorang khalifah dari Ali Ridha di Jahal Abu
Qubais. Tetapi Djamas, sumber kita untuk penjelasan di atas, tidak

l. Andi Anton Pangeran, putra petinggi adat di Luwu, Opu Lele; diwawancarai di Palopo,

sekitar tangpl l-2·1985.
2. Wawancara dengan Drs. Abu Hamid, Ujung Pandang, 10-2·1985. Pastilah ini Naqsyabandi·
yab yang dimaksud oleh informan tadi, sebab salah seorang pesertanya yang utama adaiah
ayabnya, Opu Lele.

206

3. Pe1'iciallan berikut hanya didasarkan pada Djamas 1985, ha!. 349-364. Penprang ini
tampaknya kurang mqenal lsiam "tradisional" di tempat-tempat lain di Nusantara, dan
barangkali terlalu cenderung melih'at kcpcrcayaan dan amalan orang "ahhtssunnah wal
jama'ab"/tarckat Qasyabandiyah sebagai sisa-sisa agama Bugis-Makasar pra·Isiam.

208

Tarekat Naqsyabandfyah di lndonelia

memberikan informasi mengenai silsilah itu dan tidak merinci benar
mengenai bentuk ritualnya, sehingga kita hanya dapat berkata bahwa
tarekat Qasyabandiyah itu kemungkinan merupakan turunan dari
ta:rekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah sebagaimana yang diajarkan di
M1tkkah sebelum 1925.
Guru.guru Minang dan Pengaruh Naqsya.ba.ndiyah yang Tersebar
Mohammad Asfar bukanlah merupakan satu-satunya guru yang
menyebarkan Naqsyabandiyah, atau paling tidak unsur-unsut tarekat
itu, di Sulawesi Selatan dalam paruh pertama abad ini. Pendidikan
agama di Sulawesi Selatan masih tetap saja bersifat informal; anak·
anak hanya belajar membaca Al-Quran, dan mereka yang ingin belajar
lebih dari itu harus melakukannya secara pribadi, dengan mengunjungi
seseorang yang lebih terpelajar dan meminta kepadanya untuk menjelaskan kitab yang mereka pilih sendiri. Ulama as1i setempat relatif
sedikit, tetapi di anta:ra sekita:r tahun 1915 dan 1950, beberapa orang
Arab dan Minangkabau menetap di provinsi itu dan berlaku sebagai
guru agama. Di anta:ra mereka ada beberapa yang mengamalkan ta:rekat
Naqsyabandiyah, sedangkan Jainnya tergolong kaum modernis dan
sangat antita:rekat. Kelompok yang disebut terakhir ini tampaknya sejak
awal telah lebih berpengaruh; Muhammadiyahlah yang pertama sekali
mendirikan madrasah di sini, di Makasar (Ujung Pandang) dan di
beberapa kota lain, pada atau sekita:r tahun 1926.4 Madrasah "tradisional" yang pertama didirikan satu-dua tahun kemudian, Madrasah Amiriyah di lingkungan Istana Bone sekitar 1930,5 dan di Wajo Madrasatul
6
Arabiyah Islamiyah yang lebih berpengaruh, pada tahun 1932. Madra·
sah ini belakangan berganti nama menjadi Madrasatul As'adiyah, mengambil nama sang pendiri, M. As'ad bin Abdul R.asyid; di bawah penerus·
nya, Yunus Maratan, madrasah ini tetap menjadi salah satu pusat pendidikan Islam yang penting di propinsi tersebut. Pusat penting lainnya
juga didirikan oleh seorang murid As'ad, Haji Abdurrahman Ambo
Dalle, ulama tradisional Sulawesi Selatan yang paling kharismatis.
Darud Da 'wah wal Irsyad (DDI)-nya di Pare-Pare., merupakan pusat
suatu jaringan dari tidak sedikit cabang di Sulawesi Selatan dan di

4. MattuJada 1988, hal. 262·269. Motor penggerak di belakang Muhammadiyah adalah IC·
orang ulama (Bugis) setcmpat, Abdullah, dan aeorang saudapr batik dari Surabaya,
Mansur AJ·Yamani.
!i. Didlrikan atas prakarsa Raja Bone. Gw:u-guru termasuk orang Bugis setempat yang telah
belajar di Makkah dan dua orang ulama, 'Abd Al·'Azlz AJ.llasyimi dan 'Abd Al·Haroid Al·
Mishri. Lihat Yunus 1979, hal. 827·8; MattuJada 1988, haL 261-2. Penga.rang-pengarang
ini bertentangan satu sama lain mengenai tahun didirikannya: menw:ut Yunus, 19!18,
MattuJada memberikan angka tahun 1929.
6. Yunus 1979, hal. 829·3!10;MattuJada 1988, hal. 269-271.
7. Mula·mula didlrikan di Watans0ppeng pada tahun 1947. Lihat Yunus 1979, hai. 8!12·9;
MattuJada 198!1, hal. 285·7.

Bab XV. TarP.kat Naqsyalmndryah di Sulawesi Selatan

209

kehanyakan komunitas Bugis yang hesar di tempat-tempat lain wilayah
Nusantara. Salah satu kitab teks yang dipakai di kedua pusat As'adiyah
dan DDI itu - merupakan kejutan kecil - adalah Tanwir Al-Qulub
buah pena pengarang Naqsyabandiyah, Muhammad Amin Al-Kurdi.
Seperti telah dikemukakan di atas (Bah IV), kitab ini merupakan
paparan sistematis tentang tarekat Naqsyabandiyah yang paling
belakangan, tetapi bagian terbesar isinya mengupas masalah fiqih.
Hanya bagian inilah yang dipelajari oleh murid-murid yang lebih muda,
hagian yang khusus kenaqsyabandiyahan cuma dikaji oleh murid-murid
yang lebih tua. 8 Tetap tidak jelas bagi saya bagaimana sampai karya
ini diterima sebagai kitab pelajaran. Tidak K.H. As'ad dan juga tidak
penerus-penerusnya secara terbuka mengajarkan ta:rekat Naqsyabandi·
yah; K.H. As'ad telah tinggal setahun di Makkah, tetapi ini setelah
penaklukan Sa'udi (tabun 1927-28, menurut Yunus), sehingga agaknya
tidak mungkin baginya mempelajari ta:rekat Naqsyabandiyah di sana.
Pada paruh pertama abad ini, terdapat pengaruh Naqsyabandiyah,
kendatipun telah merembes hampir ke seluruh wilayah. Asal-usul "bau
Naqsyabandiyah" itu mungkin dapat dimengerti dari ·apa yang teringat
oleh seorang informan lain. Mustafa Zahri, pengarang beberapa kitab
tasawuf, dan sekarang guru Naqsyabandiyah di Ujung Pandang,9 mulamula mendenga:r tentang ta:rekat Naqsyabandiyah pada tahun 1927 di
Kecamatan Majene ketika ia masih remaja. Beberapa ulama di sana, baik
orang Mandar (suku setempat) maupun Minangkabau, secara pribadi
mengamalkan tarekat Naqsyabandiyah dan mengaja:rkan zikir dan wirid·
nya kepada murid mereka yang berminat. Mustafa sendiri belajar dasardasarnya yang pertama ketika sudah dewasa, ketika ia mengaji di Pulo
Salemo (daerah berpenduduk suku bangsa Bugis ). Gurunya di sana
hanya mengajarkan wirid, tidak zikir; secara resmi ia tak pemah dibaiat
dan tidak pemah mendengar tentang silsilah gurunya (yang barangkali
tidak memiliki ijazah resmi untuk mengajar). Tetapi minatnya kepada
tarekat Naqsyabandiyah dan rasa memilikinya tidak pernah luntur.
Dengan belajar sendiri ia meningkatkan pengetahuannya mengenai
tasawuf dan khususnya mengenai tarekat Naqsyabandiyah. Pada tahun
1974, ia mengirimkan salah satu kitabnya mengenai tasawuf kepada
Haji Jalaluddin dari· Bukittinggi (yang namanya ketika itu terkenal di
Sulawesi), dan menerimajawaban berupa sehuah ijazah sebagai khalifah
dan gelar doktor. Walaupun ia cukup kritis terhadap Jalaluddin dalam
pembicaraannya, ijazah dan gelar tadi tetap terus dipakainya.
Mustafa Zahri memang berbeda dengan banyak peminat tarekat
lain dalam hal bagaimana sebenarnya ia mulai mengajarkan tarekat
8. Pemhicaraan pribadi dengan Ahmad Rahman dari Balai Pengkajian Literatur
Ujung Pandang, seorang lulusan As'adiyah yang juga kcnal bail< dengan Amho
DDI.
9. Diwawancarai di Ujung Pandang, 7-9-1987.

di
dan

210 Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia

Naqsyabandiyah, tetapi pasti banyak orang seangkatannya yang, seperti
dia, sempat berkenalan, mempelajari, (ataupun mendalami unsur-unsur
tarekat Naqsyabandiyah. Informan lain yang banyak mengetahui 10
mengakui bahwa banyak u]ama dalam tahun-tahun sebelum kemerdekaan, terutama mereka yang berasal dari Minangkabau, mengajarkan wirid
dan zikir Naqsyabandiyah sebagai bagian dari ibadah sehari-hari, seringkali tanpa membaiat murid-murid mereka secara resmi. Banyak ulama
sepuh masih punya hubungan Naqsyabandiyah secara samar-samar.
Pengaruh Naqsyabandiyah yang menyebar ini paling kuat di antara
orang Mandar, tetapi juga terdapat di antara orang Bugis dan Makasar.
Sebagai guru Naqsyabandiyah yang sesungguhnya, pada masa permulaan di Majene, ia sebutkan Imam Lapio (Muhammad Thahir) yang
kharismatik. Ulama ini masih tersohor sekali di daerah Majene; jejak
tapak kaki di masjid pusat Majene, persis di depan mimbar, konon adaIah jejak sang imam.
Di Sulawesi Selatan, terdapat paling tidak dua kelompok, atau
lebih tepat jaringan Naqsyabandiyah, yang mempertahankan tarekat
dalam bentuknya yang lebih mumi. Kelompok-kelompok ini muncul
dua orang mursyid
belum lam11- berselang, dan ada kaitannya 、・セァ。ョ@
Naqsyabandiyah Indonesia yang paling banyak mengarang kitab, Haji
Jalaluddin dari Bukittinggi dan Muhsin Aly Alhinduan dari Sumenep
(tentang mereka lihat Bab X dan XIlI). Seorang khalifah darija1a1uddin
memperkenalkan (kembali) tarekat di Kecamatan Majene (di barat laut
Sulawesi Selatan yang berpenduduk suku Mandar) pada tahun 1961,
dan Muhsin Aly mempunyai sekelompok murid di Ujung Pandang sejak
penghujung tahun 1960-an.
Pada tahun 1973, Kantor Wilayah Departemen Agamamelakukan
inventarisasi tarekat dan jumlah pengikutnya di Sulawesi Selatan (setelah im tidak ada penghitungan yang lebih mutakhir). Walaupun
ketepatan dan kecermatan statistik ini dapat diragukan, setidak-tidaknya ia memberikan kesan secara kasar mengenai jumlah pengikut berbagai tarekat di provinsi tersebut:
TABEL 4. JUMLAH PENGIKUT DAN JNVENTARJSASI TAllEKAT
NAQSYABANDIYAH DI StJLAWESI SELATAN

Khalwatiyah-Samman
Khalwatiyah-Yusuf
Qad.iriyah
Syadziliyah
Naqsyabandivah

117 .435
25.100
3.150
1.000
3.941

(lebih dari 70.000 di Maros}
(di Maros dan Pangkap)
(terutamadi Polmas)
(di Pangkap)
(2.121 dari jumlah itu di Majene)

l 0. Drs. Abu Hamid, yang 11.yahnya sendiri 11.dalah scorang Naqsyabandi yang telah belajar
tarekat di Makkah dan belakangan mengabdi sebagai guru apma di pdbagai tempat di
Sulawesi Selatan.

Bab XV. Turek.at Naqsyabandiyak di Sulawesi Selatan

211

Dibandingkan dengan dua ragam Khalwatiyah, temyata tarekat
Naqsyabandiyah hanya memainkan peran yang kecil saja; tetapi, tarekat
Naqsyabandiyah memang sangat terlokalisasi, dan di satu-dua tempat,
terutama di Kecamatan Malene (yang dihuni oleh orang Mandar),
pengaruhnya cukup penting. 1
Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah-nya HajiJa1a1uddin
Seorang khalifah dari Haji Ja1a1uddin, Haji Abdurrahman Qadir,
tiba di Kecamatan Majene pada tahun 1961 dan mulai menyiarkan
kembali tarekat Naqsyabandiyah di sana. 12 Barangkali karena nama
Naqsyabandiyah itu sendiri sudah membawa kesan positif, usahanya
membaiat pengikut cukup berhasil. Dalam waktu singkat, ia mengangkat sembilan khalifah setempat (orang Mandar ):









Syaikh Haji Ma'shum
Muhsin Ali
Muhammad Yunus
Hasan
Muhammad Sanusi
Najmuddin
Muhammad Yahya
Muhammad Hayad

di Tanjung Batu
Saleppa
Sendana
Banggae
Polewali
Tinambung
Wonomulyo
Renggean

Dalam risalah terakhir oleh Hajija1a1uddin yang saya peroleh, bertahun 1975, Muhsin Ali dari Saleppa di atas disebutkan sebagai anggota
pengurus PPTI, dan kepala perwakilan .J alaluddin di Sulawesi Selatan. 13
Dewasa ini, syaikh Naqsyabandiyah yang paling banyak muridnya di
provinsi tersebut adalah seorang bernama Abdurrazaq di Kabupaten
Polewali-Mamasa (Polmas), seorang khalifah dari Muhammad Sanusi
yang telah disebutkan di atas. 14
Rupa-rupanya Haji Jalaluddin pun mengangkat beberapa khalifah
lagi di wilayah lain di Sulawe.si Selatan; Mustafa Zahri yang telah disebut terdahulu, yang menerima ijazah tanpa kontak pribadi dengannya, adalah sebuah kasus, dan pastilah ada beberapa lainnya. Terdapat
sekelompok pengikut di Ujung Pandang, misalnya, sebelum Mustafa
Zahri mendirikan kelompoknya sendiri; seorang informan mengemuka11. Mustafa Zahri membcrikan perkiraan yang jauh lebih tingi mengenai jumlah pengikut
Naqsyabandiyah. la mengklaim ada sckitar 60.000 orang sekitar tahun 197!1, sementa:ra
jumlahnya sckarang menyusut hingp !I0.000. Menlll'Utnya, jumlah terbanyak berada di
Kabupaten Polewali·Mamasa (Polmas). Ilhat di bawah.
12. Al·Mandari 1982, hal. 68·9, berdaaarkan wawancara dengan scorang sya.ikh Naqsyabandi·
yah sctempat, Yusuf Amrullah. Sumber ini tetap tidak membcrikan kejelasan mengenai
asal-usul khalifah ini, tetapi tampaknya ia berasal dari Sumatera dikirlm khusus oleh Haji
• Jalaluddin.
U. Dr. Syekh H. Jalaluddin, Buku Penut:up Umur, jilid 9 (karyanya yang ke-1!19, menurut
· halamanjudul). T.tp. [Medan), t.th. [1975].
14. Mustafa Zahri, wawancan., Ujung Pandang 7-9·1987.

212 Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia

kan bahwa kelompok itu telah berdiri sejak tahun 195 7 atau malah
lebih awal lagi, oleh seorang khalifah dari Jalaluddin yang berasal dari
Sumatera. Saya menemukan beberapa publikasi Jalaluddin pada orangorang yang sudah sepuh di Gowa. Mustafa Zahri sendiri memimpin
sebuah kelompok Naqsyabandiyah yang sangat kecil, tanpa masjid atau
rumah suluk sendiri. Menurut pengakuannya sendiri, ia sangat jarang
menyelenggarakan suluk, dan kalaupun diselenggarakan tak lebih dari
tiga hari. Karena kekurangan tempat, ia memberikan pelajaran per·
seorangan kepada murid-muridnya dan meminta mereka untuk bersuluk
di rumah mereka masing-masing. Lebih daripada seorang guru, ia adalah
seorang organisator: sudah sejak lama ia duduk dalam kepengurusan
PPTl-nya Haji Jalaluddin cabang Sulawesi Selatan. 15 Setelah Haji Jala·
luddin wafat pada tahun 1976, pengaruh jaringan khalifahnya, dan
jumlah pengikutnya menurun dengan cepat (hingga sekitar 50%
menurut seorang informan 16 ). Sebenarnya kemerosotan ini telah mulai
sebelum ia wafat; beberapa pengikut kecewa dengan kekurangseriusan
dan oportunisme politiknya yang mereka saksikan sendiri, atau karena
percaya bahwa ajaran-ajarannya tidaklah mewakili tarekat Naqsyabandiyah yang sebenamya.
Tarekat Naqsyabandiyah Mazhariyah-nya Muhsin Aly Alhinduan
Salah seorang dari para pengikut yang kecewa tadi, yang telah
mendengar tentang Muhsin Aly Alhinduan dan tarekat Naqsyabandiyah
Muz·hariyah dengan tradisinya yang sedikit berbeda (lihat Bab IV dan
XIIl), pergi mengunjungi sang guru di Sumenep, pada tahun 1966.
Beberapa yang lain kemudian mengikutinya dan mengangkat sumpah
setia (baiat) kepada Muhsin Aly. Dari tahun 1970 hingga wafatnya pada
tahun 1980, syaikh tersebut mengadakan kunjungan setiap tahunnya ke
Ujung Pandang, dan kelompok pengikut pun pelan-pelan bertambah
banyak. Di samping Ujung Pandang, cabang-cabang pun berdiri di Bone,
Barru dan Soppeng. 17 Kelompok yang saya temui di Ujung Pandang terdiri atas 50 sampai 100 orang; mereka mengaku bahwa di seantero provinsi terdapat ribuan pengikut (klaim yang tampaknya tidak masuk
akal). Suatu kepengurusan resmi dibentuk, dan Muhsin Aly mengangkat
sejumlah orang sebagai kepala hojakan, "pemimpin ritual Khwajagan"
15. Idem. Sctelah wafatnya Haji Jalaluddin, PPTI mengalami beberapa pcrpecahan. Hanya saui
organisasi basil pcrpecahan itu {semuanya disebut PPTI) yang menerima pengakuan resmi.
Mustafa Zahri memimpin cahang Sulawesi Selatan, yang kebetulan merupakan cabang terbesar. Di samping tarekat Naqsyahandiyah-Khalidiyah, di sini PPTI mengklaim mewakili
tarekat Khalwatiyah-Samman, tarekat Qadiriyah wa Naqsyahandiyah dan tarekat
Muhammadiyah.
16. Idem, bdk. catatar. kaki 11 di atas.
l 7. Kiai Lathifi Baidowi, yang mengambil alih sebagian besar pengikut Muhsin Aly di Sulawesi Selatan setelah Muhlin Aly wafat, mengaku mempunyai murid di enam kabupaten
di sana: Ujung Pandang, Maros, Barru, l'angkep, Sinjai dan Bone (wawancara, Gondanglegi, 28-2-1989).

Bab XV. Tarekat Naqsyabandiyah di Sulawesi Selatan

213

(sama dengan badal). Baik di sini maupun di tempat lain ia tidak mengangkat seorang khalifah, sehingga tidak seorang pun yang menggantikannya ketika ia wafat. Mula-mula para pengikutnya terus melakukan
rabithah dengan arwah Muhsin Aly, sebagaimana telah diperintahkannya, tetapi banyak dari mereka yang makin lama makin merasakan su1it
untuk menjalin hubungan spiritual. Di antara para pengikut yang setia,
terdapat kepercayaan bahwa sang syaikh pada suatu waktu akan menunjuk penggantinya lewat pemunculannya dalam mimpi yang sama
pada sekurang-kurangnya tiga orang murid; putranya Amin, yang saya
jumpai di sini, tampaknya sedang bersiap untuk peran ini. Tetapi
mereka hanyalah merupakan suatu kelompok kecil saja, yang tanpa melenceng sedikit pun senantiasa setia kepada sang mursyid almarhum.
Pemimpin mereka adalah Muhammad Noor (mantan anggota Muhammadiyah yang aktifl). Kebanyakan pengikut lain tidak begitu sabar;
sebagian kelompok itu (yang sebetulnya merupakan mayoritas) sementara itu mengafiliasikan diri dengan mursyid baru, Kiai Lathifi dari
Gondanglegi yang asli Madura (lihat Bab XID).
Kebanyakan anggota cabang Naqsyabandiyah ini, sejauh yang
dapat saya amati, tampaknya berasal dari kalangan yang amat sederhana
dan sama sekali tidak pemah mengikuti pendidikan agama secara mendalam. Tetapi, diperkirakan beberapa ulama juga turut bergabung, dan
pastilah setidak-tidaknya terdapat satu-dua anggota yang sa.ngat
mampu, sebab kelompok tersebut memiliki masjid sendiri yang mewah
penampilannya dan Kiai Lathifi datang secara teratur dengan pesawat
udara.
Para pengikut Muz-hariyah ini dalam pembicaraannya sering memandang remeh orang-orang Khalidiyah setempat, yang oleh mereka dituduh telah menyimpang dari garis Naqsyabandiyah yang sebenarnya.
Untuk sebagian mereka mengklaim, ini disebabkan tiadanya guru berijazah di antara para penganut Naqsyabandiyah-Khalidiyah, tetapi
untuk sebagian penyimpangan-penyimpangan ini pun sudah inheren
dalam ajaran-ajaran Jalaluddin. Dua perbedaan yang mereka anggap
paling tajam adalah ajaran Khalidiyah bahwa semua murid baru sekaligus diajarkan dza'kir latha 'if {Muhsin Aly mengajarkan zikir tersebut
satu per satu dan hanya kepada murid-murid yang sudah lanjut tingkatannya), dan adaptasi mereka dalam hal ritual pembaiatan. Dalam ritual
itu, sang murid dimandikan seperti mayat dan ditidurkan dengan dibungkus kain kafan, dan dalam keadaan seperti itulah diharapkan ia
akan mengalami impian yang bersifat simbolik. 18 Memang benar bahwa
18. Ritual pembaiatan ini (terdiri atas istighfar, ghusl al·t.aubah, naum al-istikharah, dan
mubaya'ah) dipaparkan dalam Al-Mandari 1982, haL 78-5. Itu sama dengan pemaparan
dalam Djamil 1976 dan yang dijelaskan dalam karya Jalaluddin sendiri: Rahasia Mutiam.

214 Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia

pembaiatan masuk Muz-hariyah Madura jauh lebih sederhana bentuknya, tetapi Muhsin Alhinduan sendiri rupanya tidak menganggap hal itu
sebagai perbedaan yang mendasar. Menurut pengakuan putranya, Amin,
tentunya ia sudah mengalami sendiri seluruh tata cara itu, karena ia
pemah melakukan suluk di bawah bimbingan Haji Jalaluddin, dan men·
dapat penghargaan dari Haji Jalaluddin berupa gelar "Prof. Dr.". Perbedaan dalam hal pembaiatan ini terlalu ditekankan oleh para pengikut
Muhsin Aly yang mestlnya disebabkan oleh dua ke