Paper Politik Dan Demokrasi pdf

POLITIK DAN DEMOKRASI

Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Politik Tingkat Pemilihan Nasional dan Daerah yang di bina oleh Bapak Mochamad Rozikin.Drs,MAP

Oleh:

Mega Fataya

Arina Dinal Khaq

Yunita Rahmawati

Wulan Fitriawati

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015

A. Ilmu Politik

1. Perkembangan Ilmu Politik

Ilmu politik lahir pada abad ke-19 dan dipandang semata-mata sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memilki dasar, rangka, fokus, dan ruang lingkup yang jelas. Pada abad tersebut, ilmu politik berkembang secara pesat berdampingan dengan cabang-cabang ilmu sosial lainnya, seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, dan psikologi, dan dalam perkembangan ini ilmu-ilmu tersebut saling mepengaruhi antara satu dengan yang lain. Selain itu, ilmu politik ditinjau dalam rangka yang lebih luas, yaitu sebagai pembahasan secara rasional dari berbagai aspek negara dan kehidupan politik. Hal tersebut kemudian ilmu politik sendiri sering dinamakan sebagai ilmu sosial yang tertua di dunia.

Pada taraf perkembangan seperti demikian itulah kemudian, ilmu politik banyak bersandar pada sejarah dan filsafat. Seperti hal nya di Yunani Kuno, pemikiran mengenai sejarah sudah dimulai pada tahun 459 S.M, hal tersebut terbukti dalam karya-karya ahli sejarah Herodotus, atau filsuf-filsuf seperti Plato, Aristoteles, dan sebagainya. di Asia ada beberapa pusat kebudayaan, antara lain India dan China yang telah mewariskan berbagai tulisan politik yang bermutu. Tulisan-tulisan dari India terkumpul antara lain dalam kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra yang berasal dari masa kira-kira pada tahun 500 S.M. Diantara filsuf China yang terkenal ialah Confucius (± 350 S.M) dan mazhab Legalist, seperti Shang Yang (± 350 S.M).

Di Indonesia kita mendapati beberapa karya tulis yang membahas mengenai masalah sejarah dan kenegaraan, seperti misalnya Negarakertagama yang ditulis pada masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan ke -15 Masehi dan Babad Tanah Jawi. Sayangnya di negara-negara Asia tersebut kesusastraan yang mencakup bahasan politik mulai akhir abad ke-19 telah mengalami kemunduran karena terdesak oleh pemikiran barat yang dibawa oleh negara-negara seperti Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Belanda dalam rangka imperialism. Dinegara-negara benua Eropa seperti Jerman, Austria, dan Perancis bahasan mengenai politik dalam abad ke-18 dan ke-19 banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum dan karena itu fokus perhatiannya adalah semata-mata hanya tertuju pada negara. Di Inggris permasalahn politik dianggap termasuk filsafat, terutama moral philosophy, dan bahasanya tidak dapat terlepas dari sejarah. Akan tetapi dengan didirikannya Ecole Libredes Politiques di Paris (1870) dan London School of Economics and Political Science (1895), meupakan ilmu pertama kali di negara-negara tersebut yang dianggap sebagai displin tersendiri yang Di Indonesia kita mendapati beberapa karya tulis yang membahas mengenai masalah sejarah dan kenegaraan, seperti misalnya Negarakertagama yang ditulis pada masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan ke -15 Masehi dan Babad Tanah Jawi. Sayangnya di negara-negara Asia tersebut kesusastraan yang mencakup bahasan politik mulai akhir abad ke-19 telah mengalami kemunduran karena terdesak oleh pemikiran barat yang dibawa oleh negara-negara seperti Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Belanda dalam rangka imperialism. Dinegara-negara benua Eropa seperti Jerman, Austria, dan Perancis bahasan mengenai politik dalam abad ke-18 dan ke-19 banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum dan karena itu fokus perhatiannya adalah semata-mata hanya tertuju pada negara. Di Inggris permasalahn politik dianggap termasuk filsafat, terutama moral philosophy, dan bahasanya tidak dapat terlepas dari sejarah. Akan tetapi dengan didirikannya Ecole Libredes Politiques di Paris (1870) dan London School of Economics and Political Science (1895), meupakan ilmu pertama kali di negara-negara tersebut yang dianggap sebagai displin tersendiri yang

Perkembangan yang berbeda terdapat di Amerika Serikat. Dimana hal tersebut bermula dari adanya tekanan yuridis seperti yang terdapat di Eropa yang sangat menginginkan untuk membebaskan diri dari tekanan yuridis itu, dan lebih mendasarkan diri pada kumpulan data empiris. Pada perkembangan yang bertepatan dengan perkembangan sosiologi dan psikologis, sehingga kedua cabang ilmu sosial ini banyak mempengaruhi metodologi dan terminologi ilmu politik pada tahun 1858. Kejadian di Amerika tersebut dianggap sebagai pengakuan pertama terhadap ilmu politik sebagai ilmu tersendiri. Perkembangan selanjutnya berjalan secara cepat, yang dapat dilihat juga dari didirikannya American Politic Science Assosiation (APSA) pada tahun 1904.

Sesudah Perang Dunia II perkembangan ilmu politik semakin pesat lagi. Dinegeri Belanda, dimana sampai saat itu penelitian mengenai politik negara dimonopli oleh fakultas hukum, didirikan Faculteit Sociale en Politieke Wetenschappen (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik) pada tahun 1947 (sekarang namanya Faculteit der Sociale Wetenschappen – Fakultas Ilmu Sosial) yang berada di Amesterdam. Seperti pulan di Indonesia yang terdapat fakultas-fakultas serupa, yang dinamakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) seperti di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Disini ilmu politik menjadi jurusan tersendiri akan tetapi karena pendidikan tinggi ilmu hukum sangat maju, tidaklah mengherankan apabila pada awal perkembangannya, ilmu politik di Indonesia terpengaruh secara kuat oleh ilmu tersebut. Namun demikian, dewasa ini konsep-konsep ilmu politik yang baru berangsur-angsur mulai dikenal, dan sudah diterima baik oleh masyarakat.

Sementara itu, perkembangan ilmu-ilmu politik di Eropa Timur memperlihatkan bahwa pendekatan tradisional dari segi sejarah, filsafat, dan yuridis yang sudah lama digunakan, masih berlaku hingga dewasa ini. Tapi kemudian perkembangan ilmu politik mengalami kemajuan dengan pesat setelah runtuhnya komunisme pada akhir dekade 1990-an. Ini dicirikan dengan masih berlakunya pendekatan tradisional tapi ditambah dengan pendekatan-pendekatan lain yang tengah berkembang di negara-negara Barat. Pesatnya perkembangan ilmu politik sesudah Perang Dunia II tersebut juga disebabkan karena mendapat dorongan kuat dari beberapa badan Internasional, terutama UNESCO.

Terdorong oleh tidak adanya keseragaman dalam terminology dan metodologi dalam ilmu politik, UNESCO pada tahun 1948 menyelenggarakan suatu survei mengenai kedudukan ilmu politik di kira-kira 30 negara. Proyek ini yang di pimpin oleh W.Ebenstain dari Princeton University Amerika Serikat, kemudian dibahas oleh beberapa ahli dalam suatu pertemuan di Paris dan menghasilkan buku Contemporary Political Science (1948).Sebagai tindak lanjutnya UNESCO bersama International Political Science Assosiation (IPSA) yang didirikan pada tahun 1949, menyelenggarakan suatu penilitian mendalam yang mencakup kira-kira sepulu negara, di antaranya negara-negara Barat besar, disamping India, Mexico, dan Polandia. Pada tahun 1952 laporan-laporan ini dibahas dalam suatu konferensi di Cambridge , Inggris, dan hasilnya disusun oleh W.A. Robson dari London School of Economics and Political Sciences dalam buku The University Teaching of Social Sciences : Political Sciences . Buku ini merupakan bagian dari suatu rangkaian penerbitan UNESCO mengenai pengajaran beberapa ilmu sosial (termasuk ekonomi, antropologi budaya, dan kriminologi) di perguruan tinggi. Kedua karya ini merupakan usaha Internasional untuk membina perkembangan ilmu politik dan mempersatukan beberapa pandangan yang berbeda-beda.

Selanjutnya ilmu-ilmu sosial banyak memanfaatkan penemuan dari antropologi, psikologi, ekonomi, dan sosiologi, dan dengan demikian ilmu politik telah dapat meningkatkan mutu dengan banyak mengambil model dari cabang-cabang ilmu sosial lainnya. Hal ini telah banyak mengubah wajah ilmu politik. Berkat berbagai usaha tersebut diatas, ilmu politik telah menjadi ilmu politik terpandang yang perlu dipelajari untuk mengerti kehidupan politik.

2. Definisi Ilmu Politik

Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Politik mempunyai arti penting karena sejak dulu kala masyarakat mengatur kehidupan kolektif dengan baik mengingat masyarakat sering menghadapi terbatasnya sumber alam, atau perlu dicari satu cara distribusi sumber daya agar semua warga merasa bahagia dan puas. Pemikiran mengenai politik di dunia barat banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani Kuno pada abad ke-5 S.M. Filsuf seperti Plato dan Aristoteles menganggap bahwa politics sebagai suatu usaha untuk mencapai masyrakat politik ( polity ) yang terbaik.

hidup bahagia karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi. Namun demikian, pengertian politik sebagai usaha untuk mencapai suatu masyarakat yang lebih baik daripada yang dihadapinya. Seperti yang dikemukakan oleh Peter Merkl: “Politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan.

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik adalah usaha untuk menetukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat kea rah kehidupan bersama yang harmonis. Usaha untuk menggapai the good life ini terdiri dari berbagai macam kegiatan yang antara lain menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan tujuan itu. Utuk melaksanakan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan alokasi (allocation) dari sumber daya alam, perlu dimiliki kekuasaan (power) serta wewenang (authority). Kekuasaan ini diperlukan baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses pengambilan keputusan. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi (meyakinkan) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion) . Tanpa adanya unsur paksaan, kebijakan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka. Di pihak lain, di negara demokrasi, kegiatan ini memerlukan kerja sama karena kehidupan manusia bersifat kolektif. Dalam rangka ini politik pada dasarnya dapat dilihat sebagai usaha penyelesaian konflik (conflict resolution) atau konsensus (consensus).

Akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa dalam pelaksanaanya, disamping adanya beberapa dampak positif, juga terdapat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya kegiatan politik. Hal ini disebabkan karena politik mencerminkan tabiat manusia, baik nalurinya yang baik maupun nalurinya yang buruk. Perasaan manusia yang beraneka ragam sifatnya, sangat mendalam dan sering saling bertentangan. Tidak heran jika dalam realitas sehari-hari kita sering kali berhadapan dengan banyak kegiatan yang tidak terpuji, seperti yang telah dirumuskan oleh Peter Merkl sebagai berikut; “Politik, dalam bentuk yang paling buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri. Singkatnya, politik adalah perebutan kuasa, tahta, dan harta. Dibawah ini ada dua sarjana yang menguraikan definisi politik yang berkaitan dengan masalah konlik dan

1. Menurut Rid Hague et al; “Politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagiamana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya.

2. Menurut Andrew Heywood; “Politik adalah kegiatan suatu bangsa yang betujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik kerja sama.

Disamping itu terdapat beberapa definisi-definisi lain yang lebih bersifat pragmatis. Perbedaan-perbedaan dalam definisi yang kita jumpai disebabkan karena ini diperlukan sebagai konsep pokok yang akan dipakai untuk meneropong unsur- unsur lain. Dari uraian diatas dapat kita disimpulkan bahwa konsep-konsep pokok itu adalah:

1. Negara (State) Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memilki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Para sarjana yang menekankan negara sebagai inti dari politik, memusatkan perhatiannya pada lembaga-lembaga kenegaraan serta bentuk formalnya. Definisi-definisi ini bersifat tradisional dan agak sempit ruang lingkupnya. Pendekatan ini disebut dengan pendekatan institusional (institutional approach).

2. Kekuasaan (Power) Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku. Sarjana yang melihat kekuasaan inti dari politik beranggapan bahwa politik adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Bisanya dianggap bahwa perjuangan kekuasaan (power struggle) ini mempunyai tujuan yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat. Pada pendekatan ini banyak terpengaruh oleh sosiologi, yang memilki ruang lingkup lebih luas dan juga mencakup gejala-gejala sosial seperti serika buruh, organisasi keagamaan, organisasi kemahasiswaan, dan kaum militer. Pendekatan ini lebih dinamis daripada pendekatan institusional karena memperhatikan proses.

3. Pengambilan keputusan (Decision making) Keputusan (decision) adalah hasil dari membuat pilihan di antara beberapa

alternatif, sedangkan istilah pengambilan kemputusan (decision making) menunjuk pada proses yang terjadi sampai keputusan itu tercapai. Pengambilan keputusan sebagai konsep pokok dari politik menyangkut keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif mengikat seluruh masyarakat. Keputusan-keputusan itu dapat menyangkut tujuan masyarakat, serta dapat pula menyangkut kebijakan-kebijakan untuk mencapai tujuan itu. Setiap proses membentuk kebijakan umum atau kebijakan pemerintah adalah hasil dari suatu proses mengambil keputusan, yaitu memilih beberapa alternatif yang akhirnya ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah. Misalnya jika Indonesia memutuskan untuk memberi prioritas kepada pengembangan pertanian (seperti dalampelita I), maka hal ini merupakan suatu keputusan yang diambil sesudah mempelajari beberapa alternatif lain misalnya memprioritaskan industri.

4. Kebijakan (Policy, Beleid) Kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh

seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsinya, pihak yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanaknnya. Para sarjana menekankan aspek kebijakan umum (public policy, beleid), menganggap bahwa setiap masyarakat mempunyai beberapa tujuan bersama dan cita-cita bersama yang ingin dicapai melalui usaha bersama, dan untuk itu perlu ditentukan rencana-rencana yang mengikat, yang dituang dalam kebijakan (policies) oleh pihak yang berwenang dalam hal ini adalah pemerintah.

5. Pembagian (Distribution) atau alokasi (allocation) Pembagian (distribution) dan alokasi (allocation) ialah pembagian dan nilai-

nilai (values) dalam masyarakat. Sarjana yang menekankan pada pembagian dan alokasi beranggapan bahwa politik tidak lain dan tidak bukan adalah membagikan dan menglokasikan nilai-nilai secara mengikat. Yang ditekankan oleh mereka adalah bahwa pembagian ini sering tidak merata dan karena itu menyebabkan konflik. Masalah tidak meratanya pembagian nilai-nilai perlu diteliti dalam hubungannya dengan kekuasaan dan kebijakan pemerintah. Dalam ilmu sosial, suatu nilai (value) nilai (values) dalam masyarakat. Sarjana yang menekankan pada pembagian dan alokasi beranggapan bahwa politik tidak lain dan tidak bukan adalah membagikan dan menglokasikan nilai-nilai secara mengikat. Yang ditekankan oleh mereka adalah bahwa pembagian ini sering tidak merata dan karena itu menyebabkan konflik. Masalah tidak meratanya pembagian nilai-nilai perlu diteliti dalam hubungannya dengan kekuasaan dan kebijakan pemerintah. Dalam ilmu sosial, suatu nilai (value)

3. Konsep-konsep Politik

Dalam perkembangan konsep ilmu politik terdapat lima pandangan yang meliputinya. Yaitu Pertama, politik dipandang sebagai usaha-usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan/atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting. Pandangan-pandangan dalam ilmu politik tersebut dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Pandangan Klasik Aristoteles mengemukakan bahwa pandangan klasik melihat politik sebagai suatu asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal yang menyangkut kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat. Ia membedakan urusan-urusan yang menyangkut kebaikan bersama (kepentingan publik) dengan urusan-urusan yang menyangkut kepentingan individu atau kelompok masyarakat (swasta). Urusan-urusan yang menyangkut kebaikan bersama memiliki nilai moral yang lebih tinggi dari pada urusan-urusan yang menyangkut kepentingan individu atau swasta.

Konsep politik menurut pandangan klasik ini nampak sangat kabur. Ketidakjelasan ini akan menghadapkan kita kepada kesukaran dalam menentukan patokan kepentingan umum yang disetujui bersama dalam masyarakat. Namun, satu hal yang patut mendapatkan perhatian dari

pandangan klasik berupa penekanan yang diberikan pada “apa yang seharusnya” dicapai demi kebaikan bersama seluruh warga negara polis, pandangan klasik berupa penekanan yang diberikan pada “apa yang seharusnya” dicapai demi kebaikan bersama seluruh warga negara polis,

dari pada aspek politik. Dalam pengertian politik terkandung tujuan dan etik masyarakat yang jelas. Berpolitik ialah membicarakan dan merumuskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dan ikut serta dalam upaya mengejar tujuan bersama. Barangkali aspek filosifis ini yang merupakan kelebihan, dan arena itu menjadi ciri khas pandangan klasik. Dalam hal ini aspek-aspek filosofis lebih ditekankan dari pada aspek politik. Oleh karena itu metode kajian yang digunakan bukan empirisme, melainkan metode spekulatif-normatif.

2. Pandangan Kelembagaan Pandangan ini melihat politik sebagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Max Weber melihat politik merupakan persaingan untuk membagi kekuasaan atau persaingan untuk mempengaruhi pembagian kekuasaan antarnegara maupun antar kelompok di dalam suatu Negara. Dalam hal ini, Max Weber merumuskan negara sebagai komunitas manusia yang secara sukses memonopoli penggunaan paksaan fisik yang sah dalam wilayah tertentu.

Negara dipandang sebagai sumber utama hak untuk menggunakan paksaan fisik yang sah. Oleh karena itu, politik bagi Weber merupakan persaingan untuk membagi kekuasaan atau persaingan untuk mempengaruhi pembagian kekuasaan antar negara maupun antar kelompok di dalam suatu negara. Menurutnya, negara merupakan suatu struktur administrasi atau organisasi yang kongkret, dan ia membatasi pengertian negara semata-mata sebagai paksaan fisik yang digunakan untuk memaksakan ketaatan.

Berdasarkan pendapat Weber tersebut di atas dapat disimpulkan tiga aspek sebagai ciri negara, yaitu:

a. Berbagai struktur yang mempunyai fungsi yang berbeda, seperti jabatan, peranan, dan lembaga-lembaga yang memiliki tugas yang jelas batasnya, yang bersifat kompleks, formal, dan permanen.

b. Kekuasaan untuk menggunakan paksaan dimonopoli oleh b. Kekuasaan untuk menggunakan paksaan dimonopoli oleh

c. Kewenangan untuk menggunakan paksaan fisik hanya

berlaku dalam batas-batas wilayah negara tersebut.

Sebelum perang dunia kedua, para sarjana ilmu politik mengidentifikasikan politik sebagai studi mengenai negara.

Dalam hal ini, ada berbagai literatur yang berjudul “pengantar ilmu politik” yang diawali dengan pernyataan ilmu politik

bermula dan berakhir dengan negara. Akan tetapi, saat ini para sarjana ilmu politik tidak lagi

menggunakan konseptualisasi itu, sebab mereka berpendapat bahwa politik merupakan gejala serba hadir dalam masyarakat apa saja, yang tidak terbatas pada masyarakat negara atau negara modern. Lalu mereka mencari dan merumuskan konsep politik yang sejauh mungkin dapat diterapkan dalam sebanyak mungkin tempat dan waktu. Pandangan Kelembagaan menimbulkan empat kritik, yaitu: Pertama , konsep itu terlalu sempit, ciri- ciri negara yang disebutkan itu berlaku pada masyarakat yang berbentuk negara, khususnya negara-negara industri maju seperti Eropa Barat, dan Amerika Utara. Sebagaimana diketahui ada berbagai masyarakat suku atau masyarakat yang baru merdeka, yang sekalipun belum memenuhi ciri-ciri negara modern akan tetapi sudah malaksanakan proses dan kegiatan politik.

Masyarakat yang disebutkan terakhir ini belum memenuhi ciri-ciri negara modern, hal tersebut disebabkan antara lain :

a. Belum ada diferensiasi struktur dan spesialisasi peranan yang jelas. Satu struktur melaksanakan lebih dari satu fungsi. Dengan kata lain struktur masyarakatnya masih bersifat

sederhana dan informal, akan tetapi kegiatan politik sudah berlangsung.

b. Tidak memiliki struktur yang memonopoli kewenangan dalam menggunakan paksaan fisik sebab kekuasaan terpencar atau

terdistribusi kepada seluruh anggota masyarakat. Sanksi biasanya lebih kepada sanksi moral dan psikologis seperti pengucilan dari pergaulan, sindiran, teguran, dan gossip.

c. Batas wilayah masyarakat belum jelas sebab penduduk cenderung berpindah, termasuk apabila mereka tidak senang kepada pemimpin mereka.

Kedua , di negara-negara industri maju kekuasaan tidak terpusat pada negara melainkan terdistribusikan pada negara-negara bagian, dan kepada berbagai kekuatan politik dalam masyarakat. Ketiga , konseptualisasi di atas terlalu melihat negara dari sudut pandang yuridis- formal sehingga negara cenderung dilihat sebagai gejala yang statis. Keempat , yang melakukan kegiatan bukan lembaga negara (yang tidak memiliki nilai dan kepentingan), tetapi elit yang memegang jabatan tersebut yang ternyata memiliki nilai dan kepentingan sendiri. oleh karena itu, perilaku elit yang memiliki jabatan pada lembaga tersebut yang dipelajari, bukannya lembaganya. Demikian kritik yang diajukan oleh kaum behavioralist .

Akan tetapi, pada tahun 1980-an sejumlah ilmuwan politik Amerika Serikat kembali menjadikan negara sebagai fokus kajian. Mereka memandang negara tidak lagi sekadar arena persaingan kepentingan di antara berbagai kepentingan dalam masyarakat, tetapi juga sebagai lembaga yang memiliki otonomi (terlepas dari pengaruh masyarakat), dan memiliki kemampuan (yang melaksanakan kebijakan yang dibuat sendiri). negara dilihat sebagai lembaga yang memiliki kepentingan yang berbeda dari berbagai kepentingan yang bersaing atau bertentang yang ada di dalam masyarakat. Pandangan ini disebut juga statist perspective (perspektif negara).

3. Pandangan Kekuasaan Pandangan ketiga, melihat politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, ilmu 3. Pandangan Kekuasaan Pandangan ketiga, melihat politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, ilmu

Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan kekuasaan? Menurut pandangan ini, kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berfikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi. Kekuasaan dilihat sebagai interaksi antara pihak yang dipengaruhi dan mempengaruhi, atau yang satu mempengaruhi dan yang lain mematuhi. Hubungan ini selalu diamati dan dipelajari oleh ilmuwan politik yang mengikuti pandangan ketiga ini. Konsep politik sebagai perjuangan mencari dan mempertahankan kekuasaan juga memiliki sejumlah kelemahan. Pertama , konseptualisasi tersebut tidak membedakan kekuasaan yang beraspek politik dari kekuasaan yang tidak beraspek politik. Misalnya, kemampuan para kiyai atau pendeta untuk mempengaruhi jamaah agar melaksanakan ajaran agama tidaklah beraspek politik.

Hal itu karena tidak berkaitan dengan pemerintah selaku pemegang kewenangan yang mendistribusikan nilai-nilai, melainkan menyangkut lingkungan masyarakat yang lebih terbatas. Namun, apabila konseptualisasi di atas diikuti maka kemampuan para pemimpin agama untuk mempengaruhi cara berfikir dan perilaku anggota jamaah termasuk dalam kategori kegiatan politik. Kedua , kekuasaan hanya salah satu konsep dalam ilmu politik. Selain kekuasaan, ilmu politik masih memiliki konsep-konsep yang lain seperti kewenangan, legitimasi, konflik, konsensus, kebijakan umum, integrasi politik, dan ideologi. Jadi politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan semata dalam

Walaupun harus diakui bahwa konsep kekuasaan politik merupakan salah satu konsep yang tidak terpisahkan dari ilmu politik.

4. Pandangan Fungsionalisme Fungsionalisme memandang politik sebagai kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum. Menyimpang dari pandangan kelembagaan tersebut di atas. Dewasa ini para sarjana politik memandang politik dari kacamata fungsional. Menurut mereka, politik merupakan kegiatan para elit politik dalam membuat dan melaksanakan kebijakan umum. Di antara sarjana politik yang menggunakan pandangan fungsional dalam mempelajri gejala politik ialah David Easton dan Harold Lasswell. David Easton merumuskan politik sebagai the authoritative allocation of values for a society , atau alokasi nilai-nilai secara otoritatif, berdasarkan kewenangan, dan karena itu mengikat untuk suatu masyarakat.

Oleh karena itu, yang digolongkan sebagai perilaku politik berupa setiap kegiatan yang mempengaruhi (mendukung, mengubah, menentang) proses pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Sementara itu, Lasswell menyimpulkan proses politik sebagai masalah who gets what, when, how , atau masalah siapa yang mendapatkan apa, kapan, dan

bagaimana. “Mendapatkan apa” artinya mendapatkan nilai-nilai, “Kapan” berarti ukuran pengaruh yang digunakan untuk menentukan siapa yang

akan mendapatkan nilai- nilai terbanyak, “Bagaimana” berarti dengan cara apa seseorang mendapatkan nilai-nilai. Kemudian yang menjadi pertanyaan, apa yang dimaksud dengan nilai-nilai sebagai hal-hal yang diinginkan, hal-hal yang dikejar oleh manusia, dengan derajat kedalaman upaya yang berbeda untuk mencapainya.

Nilai-nilai itu ada yang bersifat abstrak berupa prinsip-prinsip hidup yang dianggap baik seperti keadilan, keamanan, kebebasan persamaan, demokrasi, kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, kemanusiaan, kehormatan, dan nasionalisme. Di samping yang bersifat abstrak, ada pula nilai-nilai yang bersifat kongkret seperti pangan, sandang, perumahan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, sarana perhubungan, komunikasi, dan rekreasi. Nilai-nilai itu ada yang berupa kebutuhan spiritual, ada pula yang berupa kebutuhan materi-jasmaniah. Nilai yang Nilai-nilai itu ada yang bersifat abstrak berupa prinsip-prinsip hidup yang dianggap baik seperti keadilan, keamanan, kebebasan persamaan, demokrasi, kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, kemanusiaan, kehormatan, dan nasionalisme. Di samping yang bersifat abstrak, ada pula nilai-nilai yang bersifat kongkret seperti pangan, sandang, perumahan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, sarana perhubungan, komunikasi, dan rekreasi. Nilai-nilai itu ada yang berupa kebutuhan spiritual, ada pula yang berupa kebutuhan materi-jasmaniah. Nilai yang

Fungsionalisme mengabaikan kenyataan bahwa pemerintah juga memiliki kepentingan sendiri, baik berupa kepentingan yang melekat pada kepentingan lembaga pemerintah (yang mewakili kepentingan umum), maupun kepentingan para elit yang memegang jabatan (melaksanakan peranan). Di samping itu, fungsionalisme cenderung melihat nilai-nilai secara instrumental bukan sebagai tujuan seperti yag ditekankan pandangan klasik. Bagi fungsionalisme nilai-nilai sebagai tujuan bersifat sangat relatif karena berbeda dari satu tempat dan waktu ke tempat dan waktu yang lain. Dalam hal ini, politik tidak dapat pernah bersifat netral, bahwa politik secara ideal seharusnya menyangkut kebaikan bersama.

5. Pandangan Konflik Menurut pandangan ini, kegiatan untuk mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum tiada lain selain upaya untuk mendapatkan

nilai-nilai. Dalam memperjuangkan hal itu seringkali terjadi perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan yang bersifat fisik di antara berbagai pihak. Dalam hal ini di antara pihak yang berupaya mendapatkan nilai- nilai, dan pihak yang berupaya keras mempertahankan apa yang selama ini telah mereka dapatkan, antara pihak yang sama-sama berupaya keras untuk mendapatkan nilai-nilai yang sama dan pihak yang sama-sama mempertahankan nilai-nilai yang selama ini mereka kuasai.

dan/atau

mempertahankan

Perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan dan perebutan dalam mendapatkan dan/atau mempertahankan nilai-nilai disebut konflik. Oleh karena itu menurut pandangan konflik, pada dasarnya politik adalah konflik. Pandangan ini ada benarnya sebab konflik Perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan dan perebutan dalam mendapatkan dan/atau mempertahankan nilai-nilai disebut konflik. Oleh karena itu menurut pandangan konflik, pada dasarnya politik adalah konflik. Pandangan ini ada benarnya sebab konflik

Oleh karena itu, keputusan politik merupakan upaya menyelesaikan konflik politik. Kelemahan lain dari konseptualisasi ini ialah konflik tidak semua berdimensi politik sebab selain konflik politik terdapat pula konflik pribadi, konflik ekonomi, konflik agama yang tidak selalu diselesaikan melalui proses politik. Apabila konflik-konflik yang disebutkan terakhir ini berkaitan dengan pemerintah atau diselesaikan melalui proses politik maka konflik-konflik yang semula tidak berdimensi politik berkembang menjadi konflik politik. Dari segi metodologi, kelima pandangan ini acapkali dikelompokkan menjadi dua kategori umum, yakni tradisionalme dan behavioralisme. Ilmu politik tradisionalisme memandang gejala politik dari segi normatif, dan menganggap tugas ilmu politik untuk memahami dan memberikan gejala politik, bukan menjelaskan apalagi memperkirakan apa yang akan terjadi. Ilmu politik tradisional melihat politik sebagai perwujudan tujuan masyarakat-negara. Termasuk ilmu politik tradisional dalam hal ini berupa pandangan klasik dan pandangan kelembagaan.

Behavioralisme memandang politik dari segi apa adanya ( what it is ) yang berupaya menjelaskan mengapa gejala politik tertentu terjadi, kalau mungkin juga memperkirakan gejala politik apa yang akan terjadi. Behavioralisme memandang politik sebagai kegiatan (perilaku), yang berawal dari asumsi terdapat keajegan atau pola dalam perilaku manusia. Oleh karena itu, politik sebagai pola perilaku dapat dijelaskan dan diperkirakan. Termasuk behavioralisme dalam hal ini berupa pandangan kekuasaan, pandangan konflik, dan pandangan fungsionalisme.

4. Pendekatan-pendekatan dalam Politik

Didalam ilmu politik terdapat enam macam pendekatan yaitu:

1. Pendekatan Legal/institusional Negara menjadi fokus utama dalam pendekatan ini, terutama pada aspek yuridis dan konstitusional. Pada pendekatan ini Negara menjadi fokus utama, terutama konstitusional dan yurisidisnya. Pendekatan Legal/Rasional menjelaskan mengenai sifat dari undang-undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif. Pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan Tradisional. Pendekatan tradisional mencakup unsur illegal maupun unsur institusional.

Pendekatan Legal/Rasional lebih sering bersifat normatif dengan mengasumsikan norma-norma demokrasi baratserta Negara lebih di tafsirkan sebagai suatu badan dari norma-norma konstitusional yang formal. Pada pertengahan 1930-an para sarjana di amerika serikat mulai mengemukakan suatu pandangan yang lebih melihat politik sebagai proses, dan negara sarana perebutan ktujuanekuasaan antara berbagai kelompok. Serta bagi mereka politik adalah kekuasaan, terutama kekuasaan yang menentukan kebijakan publik.

2. Pendekatan Perilaku Pendekatan ini muncul dan berkembang di amerika pada tahun 1950-an. Kemunculannya disebabkan oleh sifat deskriptif dari ilmu politikdianggap tidak memuaskan, adanya kekhawatiran bahwa jika ilmu politik tidak akan maju dengan pesat, dan munculnya keraguan mengenai kemampuan para sarjana ilmu politik untuk menerangkan fenomena politik di kalangan pemerintah Amerika. Pendekatan ini tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai sentral atau actor independen, tetapi sebagai kerangka. Prilaku ini mempelajari prilaku anggota parleman seperti pola pemberian suara rancangan undang-undang. Salah satu ciri khas dari pendekatan prilaku ini adalah pandangan bahwa masyarakat dapat melihat sebagai suatu sistem sosial, dan Negara sebagai sistem politik yang menjadi subsistem dari sistem sosial.

3. Pendekatan Neo-Marxis Kalangan Neo-Marxis berasal dari kalanagan cendekiawan yang berasal

dari Kalangan “Bor juis. Seprti cendekiawan lainnya mereka enggan bergabung dari Kalangan “Bor juis. Seprti cendekiawan lainnya mereka enggan bergabung

4. Pendekatan Ketergantungan Bertolak belakang dengan konsep Lenin mengenai imprealisme, mereka beranggapan bahwa imprealisme masih hidup tapi dalam bnetuk lain seprti ekonomi yang didominasi Negara-negara kaya. Pembangunan Negara kurang maju selalu berkaitan dengan kepentingan pihak lain seperti:

1) Negara jajahan dapat menyediakan sumber daya manusia atau sumber daya alam.

2) Negara kurang maju dapat menjadi pasar untuk hasil produksi Negara maju. Pendekatan ini berpendapat bahwa gejala ini sudah menjadi gejala seluruh dunia. Pendekatan ketergantungan juga memandang akibat dari dominasi ekonomi yang mana dapat dilihat dari membumbungnya hutang dan kesenjangan sosial.

5. Pandangan Pilihan Rasional Pendekatan ini muncul dan berkembang setelah pertentangan anatara pendekatan-pendekatan sebelumnya. Inti dari politik menurut pendekatan ini adalah individu sebagai aktor terpenting dalam dunia politik. Sebagai mahkluk rasional mereka selalu memiliki tujuan tersendiri. Pelaku rasional ini terutama politisi, birokrat, pemilih, dan aktor ekonomi, pada dasrnya egois dan segalanya tindakannya berdasarkan kecenderungan ini. Dasar dari pendekatan ini adalah :

1) Tindakan manusia adalah instrument agar perilaku manusia dapat dijelaskan

sebagai usaha untuk mencapai suatu tujuan yang sedikit banyak jarak jauh.

2) Para aktor merumuskan perilakunya melalui perhitungan rasional mengenai aksi mana yang akan memaksimalkan keuntungannya.

3) Proses sosial berkala besar termasuk hal-hal seperti ratings, institusi dan praktik-praktik merupakan hasil dari kalkulasi seperti itu.

6. Pandangan Institusional Baru Institusionalisme baru melihat institusi Negara sebagi hal yang dapat diperbaiki kearah tujuan tertentu. Pendekatan ini sebenarnya dipicu oleh pendekatan behavioralis yang melihat politik dari kebijakan public sebagai hasil dari perilaku dari kelompok besar atau massa, dan pemerintahan sebagai institusi yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu. Bentuk dan sifat dari institusi tergantung dari aktornya. Ada semacam konsensus bahwa inti dari institusi politik adalah rules or the game (Aturan main). Institusi tidak hanya merupakan refleksi dari kekuatan sosial. Institusi seperti pemerintahan, parlemen, parpol, dan birokrasi. Dapat dikatakan suatu institusi adalah organisasi yang tertata melalui pola prilaku yang diatur oleh peraturan.

B. Demokrasi

1. Pengertian Demokrasi

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos artinya rakyat dan kratein artinya pemerintah. Secara sederhana, demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat, dalam hal ini kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Menurut Abraham Lincoln demokrasi secara sederhana berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sedangkan menurut Koentjoro Poerbopranoto demokrasi adalah sebuah sistem dimana rakyat ikut berpartisipasi secara aktif dalam pemerintahan negara. Dalam pengertian yang lebih kompleks, demokrasi berarti suatu sistem pemerintahan yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dengan tanpa memandang partisipasi mereka dalam kehidupan politik, sementara pengisian jabatan-jabatan publik dilakukan dengan dukungan suara rakyat dan merekan memiliki hak untuk memilih dan dipilih.

Pada masa kini, ketika jumlah penduduk semakin banyak, kita membutuhkan demokrasi perwakilan untuk memutuskan berbagai persoalan bersama. Maka dibentuklah pemerintahan dan dewan perwakilan yang dipilih oleh rakyat. Dengan demikian, lembaga-lembaga tersebut memiliki mandat dari rakyat untuk menjalankan tugas eksekutif dan legislatif. Karena dipilih dan memperoleh mandat dari rakyat, maka merekapun harus mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pemerintahan tersebut kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

2. Ciri-ciri Pemerintahan Demokrasi

Sebuah Negara bisa di sebut sebagai Negara demokrasi manakala memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Kedaulatan rakyat Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi. Dalam Negara demokrasi, pemilik kedaulatan adalah rakyat bukan penguasa. Kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Kekuasaan yang dimiluki oleh penguasa berasal dari rakyat.

b. Pemerintahan didasarkan pada persetujuan rakyat Prinsip ini menghendaki adanya pengawasan rakyat terhadap pemerintahan. Dalam hal ini, penguasa Negara tidak bisadan tidak boleh menjalankan kehidupan Negara berdasarkan kemauannya sendiri.

c. Pemerintahan mayoritas dan perlindungan hak-hak minoritas Prinsip ini menghendaki adanya keadilan dalam keputusan. Keputusan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Dalam kenyataan, kehendak rakyat bias berbeda-beda, tidak sama. Dalam hal demikian, berlaku prinsip majority rule . maksudnya keputusan diambil sesuai kehendak mayoritas rakyat. Namun, keputusan tersebut hatus menghormati hak- hak minoritas ( minority rights ).

d. Jaminan hak-hak asasi manusia Prinsip ini menghendaki adanya jaminan hak-hak asasi. Jaminan tersebut dinyatakan dalam konstitusi. Jaminan hak asasi itu sekurang- kurangnya meliputi hak-hak dasar. Hak-kah tersebut meliputi: hak mengemukakan pendapat, berekspresi, dan pers bebas; hak beragama; hak hidup, hak berserikat dan berkumpul; hak persamaan perlindungan hokum; hak atas proses peradilan yang bebas. Namun demikian. Di sini berlaku prinsip: hak asasi manusia harus senantiasa dikembangkan (diperbaiki, dipertajam, dan ditambah hak-hak lainnya).

e. Pemilu yang bebas dan adil Prinsip ini menghendaki adanya pergantian pimpinan pemerintahan secara damai dan teratur. Hal ini penting untuk menjaga agar e. Pemilu yang bebas dan adil Prinsip ini menghendaki adanya pergantian pimpinan pemerintahan secara damai dan teratur. Hal ini penting untuk menjaga agar

selewengkan. Untuk itu diselenggarakanpemilihan umum (pemilu).

tidak

di

f. Persamaan di depan hukum Prinsip ini menghendaki adaanya persamaan politik. Maksudnya, secara hukum (didepan hukum) setiap warga Negara mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Jadi, siapa saja memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. Itu berarti tidak boleh ada sikap membeda- bedakan (diskriminasi), entah berdasarkan suku, ras, agama, antargolongan maupun jenis kelamin.

g. Perlindungan hukum Prinsip ini menghendaki adanya perlindungan hukum warga Negara dari tindakan sewenang-wenang oleh Negara. Misalnya warga Negara tak boleh di tangkap tanpa alasan hukum yang jelas; warga Negara tak boleh dipenjarakan tanpa melalui proses hukum yang terbuka.

h. Pemerintahan di batasi oleh konstitusi Prinsip ini menghendaki adanya pembatasan kekuasaan pemerintah melalui hokum. Pembatasan itu di tuangkan dalam konstitusi. Selanjutnya konstitusi itu menjadi dasar penyelenggaraan Negara yang harus di patuhi oleh pemerintah. Itulah sebabnya pemerintahan demokrasi sering di sebut “demokrasi konstitusional” dengan demikian,

pemerintahan demokrasi dijalankan sesuai prinsip supremasi hukum ( rule of law ). Itu berarti kebijakan Negara harus didasarkan pada hukum.

i. Penghargaan pada keberagaman Prinsip ini menghendaki agar tiap-tiap kelompok social-budaya, ekonomi, ataupun politik diakui dan dijamin keberadaannya. Masing- masing kelompok memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehidupan Negara. j. Penghargaan terhadap nilai-nilai demokrasi Prinsip ini menghendaki agar kehidupan Negara senantiasa diwarnai oleh toleransi, kemanfaatan, kerja sama dan konsesus. tolenrasi berarti kesedian untuk menahan diri, bersikap sabar, membiarkan dan berhati

Kemanfaatan berarti demokrasi haruslah mendatangkan manfaat konkret, yaitu perbaikan kehidupan rakyat. kerja sama berarti semua pihak bersedia untuk menyumbangkan kemampuan terbaiknya dalam mewujudkan cita-cita bersama. Kompromi berarti ada komitmen untuk mencari titik temu di antara berbagai macam pandangan dan perbedaan pendapat guna mencari pemecahan untuk kebaiakn bersama.

3. Prinsip Demokrasi

Dalam prinsip negara demokrasi, tidak terdapat dominasi pemerintah yang berlebihan, maksudnya tidak setiap aspek kehidupan dikendalikan secara monopolistik dan terpusat oleh negara. Karena itu warga negara seharusnya terlibat dalam hal tertentu seperti pembuatan keputusan-keputusan politik, baik secara langsung melalui wakil-wakil pilihan mereka. Selain itu, mereka memiliki kebebasan untuk berpartisipasi dan memperoleh informasi serta berkomunikasi. Prinsip-prinsp demokrasi mencakup :

a. Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik

Keterlibatan warga negara dalam pemerintahan, terutama ditujukan mengandalkan tindakan para pemimpin politik. Dalam hal ini, pemilu menjadi salah satu cara untuk melakukan persiapan. Selain itu, masyarakat pula menyampaikan kritik, mengajukan usul, atau memperjuangkan kepentingan melalui saluran-saluran lain yang demokratis sesuai dengan undang-undang. Ada dua pendekatan tentang keterlibatan warga negara, yaitu teori elitis dan partisipatori.

1. Pendekatan Elitis, menegaskan bahwa demokrasi adalah suatu metode administrasi pembuatan kebijaksanaan umum menuntut adanya kualitas ketanggapan pihak penguasan/kaum elit terhadap pendapat umum. Dalam prakteknya hal ini dapat kita lihat pada demokrasi perwakilan.

2. Pendekatan partisipatori, menegaskan bahwa demokrasi menuntut adanya tingkat keterlibatan yang lebih tinggi, karena itu untuk mendapatkan keuntungan seperti ini kita harus menegakkan kembali demokrasi langsung.

b. Tingkat persamaan (kesetaraan) tertentu diantara warga negara.

Masalah persamaan, hal ini menjadi kepentingan utama dalam teori dan praktek politik. Untuk membuktikan hal tersebut tidak sulit, karena baik Masalah persamaan, hal ini menjadi kepentingan utama dalam teori dan praktek politik. Untuk membuktikan hal tersebut tidak sulit, karena baik

c. Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh para warga negara.

Kebebasan dan kemerdekaan pada awalnya timbul dalam kehidupan politik sebagai reaksi terhadap absolutisme. Kedua hal ini diperlukan untuk memberi kesempatan kepada warga negara agar dapat memperjuangkan kepentingan dan kehendaknya serta melakukan kontrol terhadap penyelenggara negara. Kebebsan tersebut terutama menyangkut hak-hak kebebasan yang telah tercakup dalam hak asasi manusia (seperti hak politik, ekonomi, kesetaraan di depan hukum dan pemerintahanm ekspresi kebudayaan, dan hak pribadi). Dalam pemahaman yang sangat mendasar hak-hak tersebut harus diakui dan dilindungi oleh negara.

d. Penghormatan terhadap supremasi hukum. Penghormatan terhadap hukum harus dikedepankan baik oleh pihak penguasa maupun oleh rakyat.

Tidak terdapat kesewenang-wenangan yang bisa dilakukan atas nama hukum, karena itu pemerintahan harus didasarkan kepada hukum yang berpihak kepada keadilan (Rule Of Low). Segala warga negara berdiri setara di depan hukum tanpa ada kecualinya. Jika hukum dibuat atas nama keadilan dan disusun dengan memperhatikan pendapat rakyat, maka tidak ada alasan untuk mengabaikan apalagi melecehkan hukum dan lembaga hukum. Dengan demikian, keadilan dan ketaatan terhadap hukum merupakan salah satu syarat mendasar bagi terwujudnya masyarakat yang demokratis.

4. Asas Demokrasi

Suatu negara dapat disebut sebagai negara demokrasi apabila memiliki dua asas yaitu:

a. Pengakuan Hak Asasi Manusia sebagai penghargaan martabat manusia Pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia diwujudkan dalam tindakan- tindakan

negara/ pemerintah untuk melindungi Hak Asasi Manusia tanpa melupakan negara/ pemerintah untuk melindungi Hak Asasi Manusia tanpa melupakan

b. Pengakuan partisipasi rakyat pemerintahan Dalam negara demokrasi pemerintahan yang berkuasa merupakan pemerintahan yang dibentuk oleh rakyat. Pemerintah yang mengatur negara harus mendapat dukungan dan partisipasi dari rakyat. Apabila pemerintahan yang ada sudah tidak mendapat dukungan/partisipasi dari rakyat, maka pemerintahan itu akan runtuh. Antara rakyat dan pemerintah terjadi

hubungan timbal balik dan saling ketergantungan.Pemerintah hanya menjalankan amanat dan mandat dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan/kekuasaan. Pemerintah berfungsi melindungi rakyat, tanpa ada pemerintah, rakyat tidak bisa hidup dengan teratur, dan mudah dihancurkan bangsa lain sebaliknya pemerintah tanpa dukungan rakyat tidak dapat berbuat apa-apa, program-program pemerintah tidak akan dapat dijalankan dengan baik.

5. Konsep Demokrasi

a. Demokrasi Konstitusional/Demokrasi Parlementer Ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya (Miriam Budiarjo,2010:107). Pembatasan kekuasaan tersebut adalah berdasarkan konstitusi dan terdapat peranan yang menonjol terhadap para anggota parlemen. Berdasarkan UUD 1950 menyatakan bahwa demokrasi parlementer adalah dimana badan eksekutif yang terdiri atas presiden sebagai kepala negara konstitusional dan menteri-menterinya mempunyai tanggung jawab politik. Demokrasi ini sendiri berlangsung dari tahun 1945-1959 (Miriam Budiarjo,2010:128).

b. Demokrasi Terpimpin Demokrasi ini memiliki ciri adanya dominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembang pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial-politik. Demokrasi ini sendiri di Indonesia berlangsung dari tahun 1959-1965 (Miriam Budiarjo,2010:129).