kebebasa dalam prespektif gender buddhisme

PENELITIAN ILMIAH
Konsep Kebebasan Dalam Prespektif Buddhisme

Oleh :
Nama : Galuh Nur Fattah
NIM : 13/347705/FI/03782

FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2014

Pendahuluan
Kebebasan adalah aspek yang selalu menjadi objek dan sekaligus menjadi
masalah yang sangat krusial untuk didiskusikan karena di mana ada kebebasan
di situ selalu ada hak-hak orang lain yang tidak bisa untuk disentuh oleh
kebebasn yang kita miliki, dan tidak jarang pada akhirnya menimbulkan suatu
gejolak yang terkadang berakhir menjadi suatu masalah yang mempengaruhi
berbagai aspek sehingga hidup tidak seimbang. Pada makalah ini saya ingin
sedikit mengurai masalah ” kebebasan dalam prespektif Buddhisme”. Namun
pada


pembahasan

didalamnya

yang

menjadi

sandaran

atau

sudut

pandangannya adalah agama sebagai sebagai bagian dari kebudayaan dan
melihat fenomena yang dibahas didalamnyapun menjadi pembahasan dalam
lingkup filsafat namun tidak meninggalkan maksud dan makna dari kebebasan
yang hendak di bahas di dalamnya sebagai sebuah sistem filsafat pada
umumnya. Karena pada prinsipnya Budhhisme memandang bahwa kebebasan
manusia merupakan bagian yang memang merupakan bagian paling sentral

dalam objek kajiannya karena dalam kebebasan di sini dibahas mengenai
kesengsaraan, penderitaan, dan rasa sakit yang kemudian menghalangi
kebebasan yang hakiki yang memang harus dimiliki manusia, namun pada
awalnya fenomena tersebut datang dari sebuah tatanan atau kehidupan
masyarakat tertentu .

Rumusan Masalah
1. Apa kebebasan itu menurut Buddhisme dan bagaimana kaitannya
dengan kebudayaan ?
2. Apa relasi antar kebebasan dan eksistensi manusia dalam prespektif
Buddhisme ?
3. Bagaimana manusia sebagai subjek dari kebudayaan bisa mendapatkan
suatu kebebasan yang hakiki jika?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengtahui bagaimana prespektif Buddhisme
mengenai konsep kebebasan karena ini menjadi sangat menarik untuk
dibahasa

karena


kita

tahu

bahwa

konsep

mengenai

kebebasan

yang

berkembang di barat dan konsep kebebasan yang berkembang di timur
memiliki banyak perbedaan terutama jika di lihat dari 2 paham yang cukup
mempengaruhi di dunia ini yaitu komunisme yang memandang bahwa
kebebasan di nilai adalah sebuah hal yang bisa dicapai secara hakiki jika
semua untuk kepentingan bersama dan didalamnya tidak terdapat hak-hak

atau kepemilikan secara pribadi dan yang ada didalamnya hanyalah hak-hak
atau kepemilikan bersama sedangkan satu paham yang lain yaitu liberlisme
yang menilai bahwa kebebasan yang hakiki adalah kebebasan yang datang
dari dari diri pribadi dan eksklusifitas pribadi adalah segala-galanya. Namun
tentu akan terasa berbeda jika kebebasan disni dilihat dari kacamata
buddhisme dan memamandanya sebagai produk dari sebuah bagian dari hasil
kebudayaan,dalam filsafat kebudayaan dikatakan bahwa dalam sebuah agama
terdapat simbol-simbol yang di dalamnya ada unsur-unsur yang merupakan
bagian dari kreasi dan hasil ekspresi manusia yang di purifikasikan, dalam
artian di purifikasikan dalam segi hal yang bersifat dogmatis namun jika di lihat
dari segi hal yang berkaitan dengan kebudayaan bisa di katakan memeliki sisi
dimana ada beberapa hal yang di modifikasi dan sifatnya sendiri manjadi
dinamis dan tidak stagnan, tentunya akan terasa berbeda dan akan menarik
untuk di kaji secara mendalam dan kaitkan sebagai bagian dari sebuah hasil
kebudayaan.

Kerangka Teoritik
Pendahuluan
Pengertian kebebasan


Kebebasan adalah suatu kondisi dimana kehendak atau keinginan manusia
tidak berada dalam kondisi atau kehendak yang lain yang bukan berasal dari
kehendaknya sendiri, sehingga seseorang di mungkinkan untuk melakukan
segala sesuatu dengan bebas. Namun terkadang konsepk kebebasn ini sering
sekali menyimpang dari etika dan moral sehingga pada akhirnya terjebak
dalam

suatu

keadaan

dimana

seseorang

dengan

mengatasnamakan

kebebasnnya untuk merenggut kebebasan orang lain sehingga bukannya

kebebasan yang bertanggung jawab yang di dapatkannya melain sebuah
kebebasan yang kebablasan yang pada akhirnya malah merugikan orang lain
dan bukannya kebahagiaan yang di dapatkan melain suatu penderitaan atau
kesamsaraan dimana dalam kajian Buddhisme sendiri suatu kesamsaraan itu
membuktikan bahwa seseorang belum terbebas dari derita dan tentunya
kebebasan yang hakiki belum didapat secara menyeluruh.
Dalam Buddhisme ada sebuah konsep yang di sebut sebagai empat
kebenaran luhur yang isinya sebgai berikut :
1. Hidup adalah menderita (dukkha)
2. Penderitaan atau sengsara itu ada sebabnya (samudaya)
3. Sengsara bisa diatasi dengan melenyapkan keinginan (nirodha)
4. Jalan mengatasi sebab-sebab derita itu terdiri dari 8 jalan (marga)
Dari empat kebenran luhur di atas yang menjadi pusat objeknya adalah segala
hal yang berkaitan dengan asal muasal dari penderitaan, cara mengatasinya,
langkah apa yang harus di ambil untuk mengatasi hal tersebut. Dapat di ambil
suatu tesis bahwa penderitaan di atas adalah pokok yang menghalangi
seseorang untuk menuju suatu kebebasan yang bersifat hakiki dan kemudian
terlepas dari segala yang membelugunya.
Dalam Buddhisme juga di tekankan bahwa untuk menghilangkan kesemsaraan
perluadanya upaya untuk menghilangkan akar dari sebab atau benih dari

kesemsaraan diantaranya:

1. Menyangkut kenyataaan adanya derita yang meliputi 7 sengsara yang
dialami setiap orang. Namun tidak perlu semuanya sebagai definisi
sengsara, hanya sebagai contoh-contoh derita yang akrab dengan
manusia yang hidup di dunia. Dalam hal ini harus diingat bahwa nikmat
yang dialami seseorang sering kali merupakan malapetaka bagi yang
lain. Dan malapetaka sesama mengganggu kedamaian seseorang. Jadi,
orang kaya yang memiliki banyak harta

yang semestinya bahagia,

ternyata tidak bahagia. Sebab, manusia yang sungguh-sungguh peka
akan menangkap kepekaan sesamanya yang menderita dan mengusik
rasa puas dan senang atas harta miliknya
2. Sengsara bersumberdari keinginan manusia. Di satu sisi, sengsara di
sebabkan oleh keinginan mengenai apa yang tak bisa dimiliki seseorang.
Disisi lain, sengsara juga di sebabkan oleh keinginan untuk menolak apa
yang di tak di dapat ditolak. Jadi, misalnya keinginan orang miskin untuk
mempunyai uang membuatnya sengsara. Atau keinginan orang yang

sakit untuk mendapatkan kesehatan, ini yang membuatnya menderita.
Juga, keinginan akan kekekalan dalam berhadapan dengan kematian
yang selalu

tidak dapa di tolak membuatnya manusia menjadi

menderita dan seterusnya.
3. Penderitaan

dapat di hentikan dengan menganalisis sebab-sebab

penderitaan. Bila kerinduaan akan “aku” merupakan penyebab sengsara,
maka penghentian penderitaan terletak pada pemasifan keinginan
tersebut. Inilah yang di ajarkan Buddha
4. Jalan ini merupakan jalan menuju kelepasan dari sengsara. Jalan tengah
ini, pemadatan filsafat hidup yang merupakan ciri khas Buddhisme
sebagai filsafat praktis, dibangun di atas 8 prinsip pokok yang memberi
isi kebenaran luhur ke-4. Delapan prinsip pokok atau pedoman (8 jalan
luhur untuk mencapai kelepasan itu ) :
1) Memandang dengan benar (samma ditthi )


2) Memecahkan (masalah ) dengan benar (samma sankappa)
3) Berbicara dengan benar (samma vaca)
4) Bertindak dengan benar (samma kammanta)
5) Hidup dengan benar (samma ajiva)
6) Berikhitiar dengan benar (samma vayama)
7) Berpikir/bernalar dengan benar (samma sati)
8) Berkonsentrasi/bermeditasi dengan benar (samma samadhi)
Dari uraian mengenai benih kesengsaraan dan cara menanggulanginya dapat
di analisis bahwa dengan mengurai sumber tersebut dan kaitannya dengan
eksistensi manusia, maka akan di temukan bagaimana caranya untuk
mencapai untuk mencapi hakikat kebebasan manusia secara kodratnya.
Namun jika di lihat kembali bahwa sebenarnya dalam Buddhisme sendiri
terdapat ekspresi yang mencerminkan ekspresi manusia yang kita tahu bahwa
ekspresi sendiri adalah bagian atau hasil dari subjek yaitu manusia itu sendiri
dan tidak dapat di pungkiri bahwa itu menjadi suatu bagian dari sebuah
kebudayaan jika kita melihatnya dari definisi kebudayaan adalah segala
sesuatu yang di hasilkan oleh manusia baik melalui akal budi, intuisi, dan juga
emosi manusia. Di dalam 8 prinsip pokok budhisme di atas terdapat beberapa
unsur yang di katakan harus di jalani dan harus di lakukan oleh seseorang

dalam perjalananya untuk menuju ke arah kehidupan yang lebih baik dan
tertata serta juga pada akhirnya dapat melangkah pada suatu kebebasan yang
dari awal hendak di capai. Namun menurut ke-8 perintah tersebut nantinya
akan menjadi sebuah kebiasan yang di biasakan untuk di laksanakan dan di
sadari atau tidak pada akhirnya itu menjadi bagian dari kebudayaan karena
terus di lakukan secara terus menerus.

Metode Penelitian
Model penelitian

-

Anilisis kritis

-

Deskriptis

-


Sistematis dan reflektif

Tenik pengabilan data
Dari studi pusataka dan sumber internet yang bertanggung jawab
Jalan penelitian
Penilitan akan berjalan dengan aktivitas membaca serta menganalisis konsep
dan aliran-alirandalam buddhisme kemudian di korelasikan dengan konsep
kebebasan dalam prespektif Buddhisme serta di tambah dengan penjelasan
kebebsan secara universal
Sistematika penulisan
Bab 1 (bersisi penjelsan kebebasan secara umun dan kaitannya dengan konsep
Buddhisme sebagai bagian dari suatu Kebudayaan)
Bab 2 (penjelsan tentang hubungan antar kebebsan dalam prespektif
Buddhisme dan kaitannya dengan eksistensi manusia sebagai subjek dari
suatu kebudayaan )
Bab 3 (kesimpulan dan penutup )

Pembahasan

Bab 1:
KONSEP KEBEBASAN MENURUT BUDHISME DAN KAITANNYA
DENGAN UNSUR KEBUDAYAAN

Kebebasan adalah suatu kondisi dimana kehendak atau keinginan
manusia tidak berada dalam kondisi atau kehendak yang lain yang bukan
berasal dari kehendaknya sendiri, sehingga seseorang di mungkinkan untuk
melakukan segala sesuatu dengan bebas. Namun terkadang konsepk kebebasn
ini sering sekali menyimpang dari etika dan moral sehingga pada akhirnya
terjebak dalam suatu keadaan dimana seseorang dengan mengatasnamakan
kebebasnnya untuk merenggut kebebasan orang lain sehingga bukannya
kebebasan yang bertanggung jawab yang di dapatkannya melain sebuah
kebebasan yang kebablasan yang pada akhirnya malah merugikan orang lain
dan bukannya kebahagiaan yang di dapatkan melain suatu penderitaan atau
kesamsaraan dimana dalam kajian Buddhisme sendiri, suatu kesamsaraan itu
membuktikan bahwa seseorang belum terbebas dari derita dan tentunya
kebebasan yang hakiki belum didapat secara menyeluruh.
Dalam Buddhisme ada sebuah konsep yang di sebut sebagai empat
kebenaran luhur yang isinya sebgai berikut :
1. Hidup adalah menderita (dukkha)
2. Penderitaan atau sengsara itu ada sebabnya (samudaya)
3. Sengsara bisa diatasi dengan melenyapkan keinginan (nirodha)
4. Jalan mengatasi sebab-sebab derita itu terdiri dari 8 jalan (marga)
Dari empat kebenran luhur di atas yang menjadi pusat objeknya adalah segala
hal yang berkaitan dengan asal muasal dari penderitaan, cara mengatasinya,
langkah apa yang harus di ambil untuk mengatasi hal tersebut. Dapat di ambil
suatu tesis bahwa penderitaan di atas adalah pokok yang menghalangi
seseorang untuk menuju suatu kebebasan yang bersifat hakiki dan kemudian
terlepas dari segala yang membelugunya.
Dari penjelasan di atas jika di hubungkan dengan definisi “kebudayaan
adalah segala hal yang datang dari serangkaian kegiatan manusia baik itu di
hasilkan oleh akal budi, intuisi, dan emosi manusia yang terealisasikan” maka

dapat di analisis bahwa awal dari buddhisme sendiri adalah sebuah sebuah
kekecewaan dan disini dapat di hubungkas dengan kondisi emosional manusia
yang kemungkinan di relisasikan

melalui sebuah upaya manusia untuk

menaggulangi setiap masalah berkaitan dengan emosional itu sendiri dalam
hal ini yang menjadi topik dari hal tersebut adalah kesamsaraan atau
kesengsaraan yang dan kemudian di wujudkan menjadi sebuah ajaran yang
kemudian jika di hubungkan dengan definisi di atas tadi tentunya bisa di
katakan bahwa ekspresikan yang demikian adalah merupakan bagian dari
suatu unsur kebudayaan. Yang kemudian di dalam ajaran tadi terdapat suatu
ke khsan , dimana Immanuel Kant mengatakan bahwa “kebudayaan adalah
bagian dari ke khasan manusia “ dengan kata lain ke khasan ini merupakan ke
khasan yang yang hanya di miliki manusia, karena posisi manusia sebagai
subjek dari kebudayaan.
Dalam Buddhisme juga di tekankan bahwa untuk menghilangkan
kesemsaraan perluadanya upaya untuk menghilangkan akar dari sebab atau
benih dari kesemsaraan diantaranya:
1. Menyangkut kenyataaan adanya derita yang meliputi 7 sengsara yang
dialami setiap orang. Namun tidak perlu semuanya sebagai definisi
sengsara, hanya sebagai contoh-contoh derita yang akrab dengan
manusia yang hidup di dunia. Dalam hal ini harus diingat bahwa nikmat
yang dialami seseorang sering kali merupakan malapetaka bagi yang
lain. Dan malapetaka sesama mengganggu kedamaian seseorang. Jadi,
orang kaya yang memiliki banyak harta

yang semestinya bahagia,

ternyata tidak bahagia. Sebab, manusia yang sungguh-sungguh peka
akan menangkap kepekaan sesamanya yang menderita dan mengusik
rasa puas dan senang atas harta miliknya.
2. Sengsara bersumber dari keinginan manusia. Di satu sisi, sengsara di
sebabkan oleh keinginan mengenai apa yang tak bisa dimiliki seseorang.
Disisi lain, sengsara juga di sebabkan oleh keinginan untuk menolak apa
yang di tak di dapat ditolak. Jadi, misalnya keinginan orang miskin untuk

mempunyai uang membuatnya sengsara. Atau keinginan orang yang
sakit untuk mendapatkan kesehatan, ini yang membuatnya menderita.
Juga, keinginan akan kekekalan dalam berhadapan dengan kematian
yang selalu

tidak dapat di tolak membuatnya manusia menjadi

menderita dan seterusnya.
3. Penderitaan

dapat di hentikan dengan menganalisis sebab-sebab

penderitaan. Bila kerinduaan akan “aku” merupakan penyebab sengsara,
maka penghentian penderitaan terletak pada pemasihan keinginan
tersebut. Inilah yang di ajarkan Buddha
4. Jalan ini merupakan jalan menuju kelepasan dari sengsara. Jalan tengah
ini, pemadatan filsafat hidup yang merupakan ciri khas Buddhisme
sebagai filsafat praktis, dibangun di atas 8 prinsip pokok yang memberi
isi kebenaran luhur ke-4. Delapan prinsip pokok atau pedoman (8 jalan
luhur untuk mencapai kelepasan itu ) :
1) Memandang dengan benar (samma ditthi )
2) Memecahkan (masalah ) dengan benar (samma sankappa)
3) Berbicara dengan benar (samma vaca)
4) Bertindak dengan benar (samma kammanta)
5) Hidup dengan benar (samma ajiva)
6) Berikhitiar dengan benar (samma vayama)
7) Berpikir/bernalar dengan benar (samma sati)
8) Berkonsentrasi/bermeditasi dengan benar (samma samadhi)
Dari pemaparan

pemaparan di atas di jelaskan bahwa keinginan dan

pengharapan adalah sumber dari kesengsaraan yang kemudian dalam
hal ini tujuan dari budhisme sendiri hendak memadamkan keinginan itu
demi mendapatkan kebebasan dan terhendar dari segala belenggu yang
menghalanginya untuk mendaatkan kebebasan itu. Namun jika melihat

konsep tentang tingkat perkembangan alam pemikiran manusia menurut
filsafat kebudayaan yang di sampaikan oleh Van Peursen, konsep
pemikiran dari Buddhisme sendiri masuk kedalam konsep yang masuk
dalam kajian alam pemikiran ontologis mengapa demikian? karena
menurut saya pemaknaan tentang terlepasnya atau bebasnya seseorang
dari belenggu penderitaan, merupakan suatu upaya mengukuhkan
eksistensi manusia itu sendiri dalam suatu keadaan yang terlepas dari
kesengsaraan seperti yang telah di bahas sebelumnya. Selain itu
layaknya agama yang menginduk pada suatus istem filsafat tertentu
sperti agama hindu dan agama- agama yang lain agama Buddha juga
memiliki suatu sistem keagamaan tertentu yang di dalamnya membahas
membahas konsep mengenai apa yang di maksud dengan konsep atau
ajaran yang di sebut dengan paticca samphada yaitu suatu ajaran yang
menjelaskan tentang suatu kejadin yang berputar secara

tertur di

dalmnya terdapat penjelsan mengenai yang secararealitas menerangkan
perputaran layaknya seprti sebuah roda, atau sering di sebut juga
dengan lingkaran kehidupan dan juga di dalamnya ada konsep dimana
seseorang akan terlahir kembali sebagai manusia ke dunia jika
seseorang tersebut belum mencapi tingkatan untuk mencapai nirwana
layaknya sang Buddha, proses tersebut di mulai dari kelahiran, menjadi,
memahami, keinginan, persepsi,indera (kesan-kesan), indera, tubuh
meliputi

akal

dan

budi,

keadaran,

dorongan

untuk

bertindak,

ketidaktahuan, umur menjadi tua, kematian dan kemudian kelahiran
kembali dan

kejadian ini terjadi terus menerus sebelum seseorang

mencapai kesempurnaan sebagai manusia sepertilayaknya buddha
gautama, namun dalam inti dari putaran roda tersebut sesuatu yang
perlu untuk di hilanhkan yaitu kebodohan, napsu, dan kebencian karena
kesemuanya

menimbulkan

kesengsaraan

yang

mengakibatkan

seseorang sulit untuk terbebas dari belenggu kesengsaraan.
Konsep yang di jelaskan mengenai roda kehidupan menurut saya
memberia arti lain tentang salah satu hasil kebudayaan yaitu simbol,

mengapa demikian ? karena dalam bentuk roda tersebut memiliki suatu
bentuk tertentu yang memiliki suatu makna dan mencerminkan suatu
corak atau identitas dari suatu agama tertentu dalam konteks agama
sebagai produk kebudayaan. Karena simbol tidak hanya tersampaikan
dari suatu yang yang tersurat dan konkret melainkan dari sesuatu yang
tersirat dan abstrak oleh karena makna pembebasan dalam hal di sini di
tekankan pada aspek di mana kebebasan yang hakiki menurut budhisme
yaitu

terbebas

dari

semua

kesengsaraan

dan

kita

tahu

bahwa

kesengsaraan adalah sesuatu yang abstrak dan tidak bisa di wujudkan
oleh karena itu saya menganggapnya sebagai bagi yang masuk dalam
simbol dalam kebudayaan.

Bab 2 :
PENJELSAN TENTANG HUBUNGAN ANTAR KEBEBSAN DALAM
PRESPEKTIF BUDDHISME DAN KAITANNYA DENGAN
EKSISTENSI MANUSIA SEBAGAI SUBJEK DARI SUATU
KEBUDAYAAN
Dalam pembagian tentang tingkat pola pemikiran manusia Van peursen
membagi alam pemikiran manusia menjadi 3 bagian yaitu : alam pemikirian
mitis, alam pemikiran ontologi dan alam pemikiran fungsional. Namun dalam
pembahasan di dalam bab tidak akan di jelaskan kesemua hal yang Van
peursen jelaskan dalam teorinya. hanya saja di sini saya hanya mengabil salah
satu bagian dari teori yang di jelaskan oleh Van peursen yaitu pada bagian
alam pemikiran ontologisnya saja, dari penjelasan pada bab sebelumnya telah
di singgung bahwa bahwa awal dari konspe buddhisme berawal dari suatu
situasi emosional manusia yang begitu mendalami dan menghayati konsep
kesengsaraan dan mencoba untuk mencapai suatu kebebasan yang hakiki
dengan cara melepaskan diri dari kesengsaraan tersebut. Kemudian dalam

pembagiannya di kaitkan dengan pemikiran Van peursen mengenai alam
pemikiran ontologis karena berhubngan dengan penggambaran dan eksistensi
diri dan dalam agama buddha sendiri konsep tersebut di kenal dengan nama
Abhidhamma. Intidari abhidhamma sendiri menjelaskan terdapat sebuah arus
yang terus mengalirkan unsur – unsur sensasi (inderawi), kesadaran, perasaan,
dorongan – dorongan bertindak serta proses – proses kerja badani. Unsur –
unsur yang selalu bergerak ini memberi kegairahan penampilan maupun
menjaga tetap berlangsungnya “diri”. Tetapi yang kelihatan seharusnya tidak
diperhatikan, sedang di balik unsur-unsur yang sementara dan terbatas ini
harus di perhatikan unsur –unsur yang sejati yaitu unsur nirvana, yaitu
unsuryang tidak sementara dan tidak terkondisikan. Nirvana pada umumnya
dipandang mengatasi deskripsi dan definisi. Namun ketika para filsuf didesak
untuk

menjelaskannya

kemudian

mereka

menjelaskannya

atau

menyebutkannya sebagai esensi tak termusnahkan dari berbagai unsur –unsur
yang sementara dan terbatas , dalam kondisi tenangnya, nirvana atau
keselamatan di pahami

sebagai kedaan pendudukannya, penenangan dari

unsur-unsur yang ada, terbatas dan semantara.
Ada

banyak

daftar

mengenai

unsur-unsur

dasar

realitas.

Tetapi

umumnya daftar-daftar itu menyebutkan bahwa unsur-unsur dasar atau
dhamma merupakan hakikat dari kekuatan-kekuatan elemental daripada
substansi-substansi elemental. Dhamma sama dengan energi unsur yang
dengan gerak dan kombinasi –kombinasinya memberi daya bangkit pada
proses-proses yang ada.

Ajaran Abhidhamma mengenai diri “diri”
“Diri” manusia disusun dari lima kelompok dhamma:
1. kumpulan proses kegiatan badan yang di gerakan oleh dhammadhamma dari telinga, mata, hidung, lidah, kulit serta dhamma-dhamma
pelengkap dari warna, suara, bau, rasa dan daya tahan.
2. Kumpulan kegiatan inderawi (vedana )
3. Proses pembentukan persepsi

4. Proses pembentuk naluri sadar dan tak sadar untuk
(sankhara), terbagi dalam:
1) Unsur –unsur penyusun

aktivitas

batin

bertindak

dalamkesadaran:

perasaan, persepsi, kehendak, sensasi, langsung, keinginan,
pengertian, kecenderungan, dan konsentrasi
2) Unsur –unsuryang menyusun keutamaan: iman, keberanian,
kesopanan, rasa muak akan hal – hal yang tidak baik, tidak
loba, tidak benci, sabar, nalar.
3) Pembentuk cacat kelemahan:
kecerobohan,ketidaksopanan,

keras

kepala,

kemarahan,

.keraguan

kemunafikan,

,
iri

hati, cemburu, pembohong, menipu, benci, dan sombong
5. Kumpulan kegiatan –kegiaan kesadaran dibagi dalam unsur-unsur atau
dhamma yang bertanggung jawab atas tiga kategori kesadaran :
kesadaran murni, tidak murni, dan tidak jelas murni atau tidak. Semua
tiga kategori kesadaran ini meliputi 89 unsur –unsur atau dhamma.
Yangbila

dikaitkan

dengan

macan-macam

kumpulan

proses

pembentukan sankhara.

Diri Sebagai Apa Adanya
Kekurangpuasan mengenaui jati diri yang dijelaskan sebagai pribadi oleh
sekolah personalis itu mendorong para filsuf mahayanauntuk menjawab
persoalan siapakah “diri” atau jati diri itu ? salah seorang filsuf mahayana,
bernama Ashvaghosa, mengganti istilah pribadi (pudgala) atau jati diri
dengan kata kunci tathata atau seperti adanya.
Para filsuf –filsuf lain dalam alian Madhyamika (mahayana), menyatakan
bahwa jati diri itu adalah shunyata atau kekosongan (emptiness). Penting
diingat di sini bahwa tathata maupun shunyata bukan untuk menjelaskan
kelangsungan hidup jati diri individu tetapi untuk menerangkan hubungan
antara diri empiris individual (material) dengan diri yang sudah diterangi ,

antara diri fana (yang karena ketidaktahuan) dengan diri yang telah
menjangkau nirvana dengan menerima Buddhi . jadi disatu pihak , ada diri
fana, yang sementara akan dicapai bahagia,yang terlepas dari yang fana
itu. Keduannya masih menyatu dan ada dalam satu diri individual orang
tersebut. Karena diri yang sudah diterangi itulah yang menjadi sasaran
pendalaman aliran ini : siapakah jati diri buddha (yang sudah mendapat
penerangan) itu ?
Kemustahilan keinginan mengenal jati diri Buddha (yang kekal) terletak
pada fakta bahwa yang mau mengenali itu tetaplah “diri” yang tidak tahu
(yang sementara , yang masih terus didukung oleh dukha , yang terbatas).
Apakah mungkin”diri” yang terbatas mau mengenal tak terbatas ?
Karenaitu sebenarnya bisa di mengerti bila kelompok personalis
menyimpulkan bahwa “sang pribadi” itu tak mampu terumuskan dan tak
terumuskan.
Pemahaman di atas pada akhirnya menjelaskan bahwa eksistensi
manusia yang memiliki arus yang terdiri dari unsur-unsur sensasi inderawi
yang kemudian yang pada inti dari pendapat tersebut merupakan salah
satu dari kajian yang pernah di katakan dalam pemikiran Van peursen
dalam salah satu tingkat alam pemikiran yang ada di salah satu teorinya
yaitu berada tingkat alam pemikiran ontologis atau di mana pada dasarnya
eksistensi yang di jelaskan di dalanya menjelaskan mengenai penggabaran
diri yang ideal berkaitan dengan kebebasan yang hakiki tanpa ada
pengalang yang berapa penderitaan yang di jelaskan dalam beberapa inti
ajaran Buddha di dalamnya.

Bab 3:
Penutup dan Kesipulan

Demikianlah hasil dari penelitian ini pada intinya bahwa Buddhisme
sebagai agama dalam kaitannya juga sebagai bagian dariproduk kebudayaan
memeiliki banyak sekali konsep yang bisa di ambil di dalamnya konsep
tersebut bisa dikitakan sangat universal karena semua bagian dari apa yang di
bahas dalam

agama tersebut pastinya juga dapat di bahas dan di kaitkan

dengan topik kebudayaan, karena kaitannya tadi bahwa agama adalah salah
satu bagian dari kebudayaan namun disini yang menjadi perhatian dan
sekaligus pengetahuan baru adalah suatu pembahasan khas dari Budhisme
yaitu konsep mengenai kesengsaraan dan cara untuk membebaskan dirinya
dan padaakhirnya dapat mendapatkan kebebasan yang hakiki. dan disini dapat
di simpulkan bahwa pada dasrnya agama buddha adalah agama yang datang
dan

berawal

dari

ekspresi

dan

emosional

manusia

dalam

memaknai

kesengsaraan dalam hidup. Dan itulah mengapa kebebasan itu sendiri sangat
erat kaitannya dengan filsafat kebudayaan.

Daftar Pustaka
Sutrisno, FX. Mudji. 1993. Buddhisme Pengaruhnya Dalam Abad Modern.
Yogyakarta: Kanisius
Venerable S. Dhammika ,Tjahyadi. 1990. “Dasar Pandangan Agama Buddha”.
Surabaya: Yayasan Dhammadipa Arma
Ikeda Daisaku, kamil Ediati. 1992. “Bunga Buddhisme Cina”. Jakarta: Indira

Kalupahana, David J. Causality .1975. The Central Philosophy of Buddhism.
Honolulu: University of Hawaii press
Yacobson, Nolan Pliny.1966. Buddhism: The Religion of Analysis. London: Allen
And Unwin